Anda di halaman 1dari 17

KONSEKUENSI PEMBATALAN UNDANG-UNDANG RATIFIKASI

TERHADAP KETERIKATAN PEMERINTAH INDONESIA PADA


PERJANJIAN INTERNASIONAL*

Andi Sandi Ant.T.T.** dan Agustina Merdekawati***

Bagian Hukum Tata negara dan Bagian Hukum Internasional,


Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Jalan Sosio Justicia Nomor 1, Bulaksumur, Sleman, D.I. Yogyakarta 55281

Abstract
This research aims to analyse the legal consequences of the repeal of a ratification act by the Constitutional
Court in relation with the Indonesian Government’s participation in the ratified or acceded international
treaty. This normative legal research employs a collaborative method in data collecting process, viz.
literature research to collect secondary data and field research to equip and support the data collected from
literature research. The data is analysed using a qualitative descriptive method. We find that there is no
correlation between the repeal of a ratification act and the participation of Indonesia in the international
forum initiated by the repealed act.
Keywords: international treaties, ratification, repeal of a ratification act.

Intisari
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsekuensi hukum atas pembatalan undang-undang ratifikasi
perjanjian internasional oleh Mahkamah Konstitusi terhadap keikutsertaan Indonesia dalam suatu
perjanjian internasional yang telah diratifikasi maupun diaksesi. Penelitian ini merupakan penelitian
yuridis normatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode kolaboratif antara metode
penelitian kepustakaan (literature research) yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder di bidang
hukum dan penelitian lapangan (field research) yang dilakukan untuk melengkapi sekaligus menunjang
data kepustakaan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembatalan undang-undang ratifikasi
perjanjian internasional tidak memiliki korelasi langsung dengan keterikatan Indonesia dalam perjanjian
internasional yang dibatalkan tersebut.
Kata Kunci: perjanjian internasional, ratifikasi, pembatalan undang-undang ratifikasi.

Pokok Muatan
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................................ 460
B. Metode Penelitian ...................................................................................................................... 462
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan............................................................................................... 462.
1. Kedudukan Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Indonesia............................. 462
2. Pengujian Undang-undang Pengesahan Perjanjian Internasional....................................... 467
3. Implikasi Pembatalan Undang-undang Ratifikasi Perjanjian Internasional terhadap Ke-
ikutsertaan Pemerintah Indonesia dalam Perjanjian Internasional yang Dibatalkan............ 468
D. Kesimpulan................................................................................................................................. 473

*
Hasil Penelitian Lintas Bagian yang didanai Unit Penelitian dan Pengembangan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
Tahun 2012.
**
Alamat korespodensi: andi.sandi@ugm.ac.id
***
Alamat korespodensi: merdekawati_agustina@yahoo.com
460 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569

A. Latar Belakang Masalah hukum nasional ataukah hukum internasional?


Globalisasi telah menjangkau berbagai sektor Kedua, bagaimana mekanisme pemberlakuan
termasuk dalam bidang hukum yang sangat perjanjian internasional dalam sistem hukum
diperlukan dalam sebuah interaksi internasional nasional Indonesia apakah menggunakan
yang sarat dengan pertentangan kepentingan sistem inkorporasi (delegasi) ataupun dengan
(conflict of interest) antara negara yang satu menggunakan sistem transformasi. Dalam
dengan negara yang lain dalam satu hubungan praktek di Indonesia, beberapa konvensi inter-
internasional. Sebagai konsekuensinya, terjadi nasional diberlakukan melalui delegasi dan
akselerasi interaksi antara hukum internasional beberapa konvensi lainnya diberlakukan dengan
dan hukum nasional suatu negara. Dalam konteks transformasi. Kondisi ini menimbulkan keraguan
Indonesia, sejak proklamasi kemerdekaan 1945, dalam mengaplikasi pasal-pasal dalam perjanjian
Indonesia telah melakukan interaksi dengan internasional tersebut, apakah sebuah delegasi
berbagai negara dan organisasi internasional yang telah menempatkan hukum internasional tersebut
jumlahnya setiap tahun semakin meningkat.1 dalam hukum nasional Indonesia ataukah perlu
Hal ini berarti bahwa interaksi antara perjanjian adanya transformasi terlebih dahulu.
internasional baik yang berbentuk treaty, Ketiga, bagaimana kekuatan mengikat pasal-
convention, agreement maupun bentuk-bentuk pasal dalam perjanjian internasional yang telah
lainnya dengan hukum nasional Indonesia juga diratifikasi/diaksesi dalam hubungan dengan
semakin meningkat dan menimbulkan banyak persoalan warga negara dalam negara Indonesia,
permasalahan terkait dengan status perjanjian apakah mungkin pasal-pasal tersebut secara
dalam sistem hukum Indonesia. langsung dapat diterapkan atau dijadikan dasar
Tiga persoalan mendasar yang sering menjadi di muka pengadilan tanpa adanya implementing
perdebatan terkait dengan kekuatan mengikatnya legislation. Istilah lain yang umum digunakan
perjanjian internasional dalam sistem hukum dalam konteks ini yakni memperdebatkan treaty
nasional Indonesia yakni: pertama, pandangan apa yang sudah diratifikasi tersebut apakah berada
yang dianut oleh Indonesia dalam memposisikan dalam konteks self executing treaty atau non
perjanjian internasional dalam sistem hukum self executing treaty2. Ketiadaan penegasan ini
nasional Indonesia, pada pandangan monisme membuat ketidakpastian, mengingat faktanya
(monisme primat hukum internasional/monisme tidak semua perjanjian internasional yang telah
primat hukum nasional), pada pandangan dualisme, diratifikasi dapat dijadikan sebagai rujukan bagi
atau modifikasi dari keduanya. Penegasan ini warga negara yang merasa haknya terlanggar dan
sangat penting untuk menentukan sebenarnya di tidak semua perjanjian internasional yang telah
mana posisi perjanjian internasional dalam sistem diratifikasi dapat dijadikan sebagai rujukan oleh
hukum nasional Indonesia, apalagi jika terjadi hakim dalam mengadili suatu perkara.
pertentangan di antara hukum internasional yang Ketiga persoalan tersebut telah menjadi
telah diratifikasi/diaksesi dengan hukum nasional perdebatan dalam kerangka pergulatan antar
Indonesia. Apakah negara akan mengutamakan perbagai pakar hukum internasional dari waktu

1
Pemerintah Indonesia saat ini telah memiliki sebanyak 130 perwakilan yang terdiri dari 95 kedutaan besar, 3 Perutusan Tetap untuk PBB
di New York dan Jenewa, serta Perutusan Tetap untuk ASEAN di Jakarta, 29 konsulat jenderal dan 3 konsulat Republik Indonesia. Selain
itu Indonesia juga telah mengangkat 64 konsul kehormatan.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, “Kedutaan/Konsulat”, http://www.kemlu.go.id/Pages/Mission.aspx?l=id, diakses Juni
2012.
2
Di Indonesia, pemahaman atas kedua konsep tersebut sedikit berbeda di mana self–executing treaty digunakan untuk perjanjian-perjanjian
internasional yang penerapannya tidak memerlukan ratifikasi tetapi hanya cukup dengan proses penandatangan saja. Sementara non
self–executing treaty adalah untuk merujuk pada perjanjian-perjanjian yang berlakunya memerlukan tindakan ratifikasi terlebih dahulu.
Lebih lanjut lihat Wisnu Aryo Dewanto, 2011, Perjanjian Internasional Self-Executing Treaty dan Non Self- Executing Treaty, Disertasi,
Program Doktor Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hlm. 59.
Sandi dan Merdekawati, Konsekuensi Pembatalan Undang-Undang Ratifikasi 461

ke waktu. Keberadaan berbagai peraturan yang Persoalan klasik yang semula hanya menjadi
mencoba menjawab persoalan tersebut juga belum perdebatan dalam tataran teori, khususnya
dapat membawa titik terang persoalan tersebut, bagi pakar hukum internasional dan pakar
mulai dari Pasal 11 Undang-undang Dasar Negara hukum tata negara di Indonesia, pada tahun
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI 2010 mulai menjadi persoalan dalam aplikasi
Tahun 1945), Surat Presiden Republik Indonesia pelaksanaannya. Persoalan serius dalam tataran
No. 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 praktek tersebut muncul dengan adanya tuntutan
tentang Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat
Negara Lain, hingga Undang-undang Nomor 24 yang mempersoalkan Piagam ASEAN “yang
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. membentuk pasar bebas”. Hal ini dinilai oleh
Praktek di beberapa negara umumnya tidak para pemohon akan bertentangan dengan UUD
mengalami kerancuan seperti yang terjadi di Negara RI Tahun 1945, khususnya terkait dengan
Indonesia karena dalam konstitusinya sudah jaminan hak ekonomi rakyat Indonesia karena
memberikan penegasan yang jelas dalam ASEAN Charter sarat akan penjajahan ekonomi
hubungan antara hukum nasional dan hukum baru. Mereka kemudian mengajukan gugatan
internasional. Konstitusi Belanda mengatur ke Mahkamah Konstitusi dengan meminta
bahwa “traktat berkedudukan lebih tinggi dari pengujian Undang-undang Nomor 38 Tahun 2008
undang-undang, termasuk undang-undang tentang Pengesahan Charter of the Association of
dasar” (menganut monisme primat hukum Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan
internasional). Sebelum traktat diratifikasi oleh Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) terhadap UUD
raja, traktat tersebut perlu mendapat persetujuan 1945, melalui perkara nomor 33/PUU-IX/2011.
parlemen. Persetujuan parlemen ini dituangkan Konsekuensi pembatalan undang-undang
dalam bentuk undang-undang (wet), namun perlu ratifikasi terhadap keterikatan Indonesia atas
digarisbawahi pula bahwa wet ini hanya format suatu perjanjian internasional juga menimbulkan
persetujuan parlemen dan bukan dimaksudkan pertanyaan hukum, yaitu apakah pembatalan
sebagai wet dalam arti yang lazim. Sekalipun undang-undang ratifikasi perjanjian internasional
parlemen sudah menyetujui, tidak otomatis raja tersebut akan berakibat kepada penarikan
berkewajiban untuk meratifikasinya. Sementara keikutsertaan Indonesia? Padahal sebelum
di Jerman penyataan tersebut tertuang tegas dilakukannya ratifikasi melalui undang-undang,
dalam Pasal 25 Undang-undang Dasar Republik Indonesia telah menyatakan keikutsertaannya
Federasi Jerman. Ketentuan hukum internasional melalui penandatanganan perjanjian internasional
akan lebih tinggi kedudukannya dari undang- tersebut secara langsung atau melalui acceptance,
undang (nasional), namun bukan konstitusi dan approval, ataupun accession. Artinya, ada dua
langsung mengakibatkan hak dan kewajiban bagi sisi pemberlakuan, yaitu ke dalam dan ke luar.
penduduk wilayah Republik Federasi Jerman. Pada sisi ke dalam, akan terjadi pertentangan
Sementara di Perancis, Pasal 55 Konstitusi hukum nasional dan hukum internasional sebab
Perancis mengatur bahwa dalam hal ditemukan pembatalan tersebut tidak hanya penting bagi para
adanya suatu ketentuan hukum internasional yang pemohon pengujian undang-undang namun akan
bertentangan dengan ketentuan dalam konstitusi menjadi precedent untuk kasus-kasus dengan
maka kewenangan untuk melakukan ratifikasi tema yang sama di kemudian hari. Di sisi yang
atau penerimaan terhadap ketentuan internasional lain, ke luar, bahwa perjanjian internasional yang
tersebut hanya dapat diberikan dengan catatan diujimaterialkan adalah perjanjian internasional
bahwa telah diadakan terlebih dahulu amandemen “khusus” karena terkait dengan konstituen
konstitusi. instrumen dari suatu organisasi internasional
462 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569

yang pada umumnya tidak mengatur masalah dalam penelitian ini adalah metode analisis
penarikan diri (withdrawal). Oleh karena itu, deskriptif, yaitu memaparkan semua hasil
penelitian mengenai “Konsekuensi Pembatalan penelitian dalam beberapa variabel sehingga
Undang-undang Ratifikasi terhadap Keterikatan dihasilkan data deskriptif analitis. Metode analisis
Pemerintah Indonesia pada Perjanjian Inter- kualitatif juga dilakukan dengan cara melakukan
nasional” perlu dilakukan untuk memberikan kualifikasi dan perbandingan berdasarkan ke-
solusi terhadap kemungkinan-kemungkinan ter- manfaatan dan kepastian hukum terhadap
jadinya pertentangan antara hukum nasional dan semua ketentuan-ketentuan hukum nasional dan
hukum internasional. internasional berdasarkan relevansinya masing-
Berdasarkan uraian pada latar belakang masing terhadap permasalahan yang diteliti.
tersebut di atas, permasalahan dalam kajian ini
adalah: 1) Bagaimana posisi hukum internasional C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
dalam sistem hukum Indonesia? 2) Apakah suatu 1. Kedudukan Perjanjian Internasional
undang-undang ratifikasi perjanjian internasional dalam Hukum Nasional Indonesia
dapat untuk di-ujikan jika dianggap bertentang- Pengaturan secara normatif perihal perjanji-
an dengan UUD Negara RI Tahun 1945? 3) an internasional dapat ditemukan dalam Pasal
Bagaimana konsekuensi hukum atas pembatalan 11 UUD Negara RI Tahun 19454 dan Undang-
undang-undang ratifikasi per-janjian internasional Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
terhadap keterikatan Indonesia atas suatu Internasional (UUPI). Kedua norma tersebut
perjanjian internasional yang telah diratifikasi saat ini merupakan dasar hukum pemerintah
maupun diaksesi oleh pemerintah Indonesia? Republik Indonesia dalam membuat perjanjian
internasional. Namun satu catatan menarik terkait
B. Metode Penelitian dengan kedua dasar hukum di atas, bahwa UUPI
Dalam penelitian ini telah dilakukan lahir lebih dahulu sebelum lahirnya Pasal 11 UUD
beberapa langkah, yaitu pertama meneliti ber- Negara RI Tahun 1945, yang berarti bahwa dasar
bagai peraturan perundangan. Kemudian, peneliti acuan yang digunakan dalam UUPI merupakan
juga melakukan pengkajian terhadap berbagai Pasal 11 Undang-undang Dasar 1945 sebelum
kasus yang mengangkat tema terkait, untuk perubahan (UUD 1945), yang secara sederhana
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas mengatur kewenangan konstitusional Presiden
permasalahan-permasalahan yang timbul.3 untuk membuat perjanjian internasional, dengan
Metode pengumpulan data dalam penelitian rumusan norma, “Presiden dengan persetujuan
ini menggunakan metode kolaboratif antara: Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
Metode penelitian kepustakaan (literature membuat perdamaian dan perjanjian dengan
reseach) yang dilakukan untuk memperoleh negara lain”.5
data sekunder di bidang hukum dan penelitian Pascaamandemen konstitusi, rumusan norma
lapangan (field reseach) yang dilakukan untuk Pasal 11 menjadi semakin spesifik dalam mengatur
melengkapi sekaligus menunjang data kepusta- mengenai perjanjian internasional. Melalui pe-
kaan tersebut. Metode analisis yang digunakan nafsiran gramatikal, Peneliti menangkap maksud

3
Lebih lanjut lihat Michael Salter dan Julie Mason, 2007, Writing Law Dissertations: an Introduction and Guide to the Conduct of Legal
Reseach, Edisi Pertama, Pearson Education Limited, England.
4
Sejak periode berlakunya kembali UUD 1945 di Indonesia pada tanggal 5 Juli 1959 hingga saat ini tercatat bahwa UUD Negara RI Tahun
1945 yang merupakan hukum dasar tertulis (basic law) Indonesia telah mengalami perubahan sebanyak 4 kali: perubahan pertama pada
tanggal 14-21 Oktober 1999, perubahan kedua pada tanggal 7-18 Agustus 2000, perubahan ketiga pada tanggal 1-9 November 2001, dan
perubahan keempat pada tanggal 1-11 Agustus 2002.
5
Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Perubahan.
Sandi dan Merdekawati, Konsekuensi Pembatalan Undang-Undang Ratifikasi 463

Pasal 11 UUD Negara RI Tahun 1945,6 khususnya c) Peraturan perundang-undangan tertulis;


ayat (1) dan ayat (2) membedakan subyek yang d) Yurisprudensi peradilan;
e) Konvensi ketatanegaraan atau constitutional
menjadi pihak dalam perjanjian internasional.
conventions;
Pada ayat (1), konstitusi menekankan pengaturan f) Doktrin ilmu hukum yang telah menjadi
pada perjanjian internasional yang dilakukan ius comminis opinio doctorum; dan
oleh Indonesia dengan negara lain, sedangkan g) Hukum internasional yang telah diratifi-
pada ayat (2) konstitusi mengakomodasi apabila kasi atau telah berlaku sebagai hukum
kebiasaan internasional.
pemerintah hendak membuat perjanjian dengan
Di antara ketujuh sumber hukum tersebut,
subyek hukum internasional yang lain7. Selain itu,
hanya hukum internasional atau perjanjian
pengaturan konstitusi pada Pasal 11 ayat (3) UUD
internasional yang tidak memiliki bentuk mandiri,
Negara RI Tahun 1945 pun mengamanatkan untuk
karena diperlukan ratifikasi untuk mengakuinya
dibentuk suatu UU untuk menjabarkan lebih lanjut
sebagai bagian dari sumber hukum tata negara.
mengenai perjanjian internasional.
Setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh
Dalam perspektif historis ketatanegaraan
Pemerintah diberi wadah nomenklatur produk
kemudian dapat dipahami bahwa keberadaan
hukum nasional, yaitu undang-undang atau ke-
UUPI sebenarnya tidak membawa semangat Pasal
putusan presiden (sekarang peraturan presiden).9
11 UUD Negara RI Tahun 1945, dikarenakan
Oleh karena itu, muncul sebuah pandangan bahwa
dibentuk sebelum lahirnya norma tersebut. Terlihat
secara materiil (substansi) perjanjian internasional
bahwa UUPI diundangkan pada tanggal 23
merupakan hukum internasional, namun secara
Oktober 2000, sedangkan momentum perubahan
formil (bentuk dan pewadahan) adalah hukum
ketiga konstitusi adalah tanggal 1-9 November
nasional. Terdapat kontradiksi karena di satu pihak
2001. Maka, sejatinya amanat konstitusi untuk
perjanjian internasional ditempatkan sebagai
membentuk undang-undang khusus sebagai
sumber hukum yang berdiri sendiri, namun di
bentuk perwujudan norma “ketentuan lebih lanjut
pihak lain perjanjian internasional diwadahi
tentang perjanjian internasional diatur dengan
hukum nasional dengan diberi bentuk undang-
undang-undang” belum dilaksanakan.
undang (UU) atau peraturan presiden (Perpres).10
Spesifik dalam konteks kajian teoritik
Menjadi tanda tanya kemudian mengapa
hukum tata negara, dikenal beberapa sumber
perjanjian internasional diwadahi ke dalam UU.
hukum tata negara, seperti yang diungkapkan
Padahal Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUD
oleh John Alder, sebagaimana dikutip oleh Jimly
Negara RI Tahun 1945 hanya menyebutkan
Asshiddiqie, menyebutkan beberapa sumber
dengan “persetujuan” Dewan Perwakilan Rakyat
hukum tata negara, yaitu:8
a) Nilai-nilai konstitusi yang tidak tertulis; (DPR)? Mohammad Yamin sebagai salah satu
b) Undang-undang dasar, baik pembukaannya perumus UUD 1945 menyatakan bahwa, “…
maupun pasal-pasalnya; tidak diterapkan bentuk yuridis lain daripada

6
Pasal II Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Perubahan berbunyi “(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. (2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang
perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.”
7
Dalam konteks hukum intrenasional dengan mengacu pada Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 dan Vienna Convention on
the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations 1986 maka yang dimaksud
dengan subjek hukum yang mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian internasional adalah negara dan organisasi internasional.
8
John Alder, 1989, Constitutional and Administrative Law, Macmillan, London, hlm. 24. Lihat juga dalam Jimly Asshiddiqie, 2006,
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 166.
9
Pasal 9 ayat (2) UUPI.
10
Bagir Manan, “Akibat Hukum di Dalam Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional (Tinjauan Hukum Tatanegara)”, Makalah, Focus
Group Discussion Departemen Luar Negeri dan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 29 November 2008.
464 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569

persetujuan DPR, sehingga persetujuan DPR itu making power berada di tangan pemerintah
sendiri “berupa apapun” telah mencakup syarat sebagai lembaga eksekutif. Kondisi ini mengingat
formil menurut konstitusi Pasal 11…”.11 Maknanya konstitusi Indonesia menganut pembagian
adalah bahwa sebenarnya persetujuan DPR dapat kewenangan antara eksekutif dan legislative.17
mengambil bentuk apapun, dan hanya merupakan Hal ini dimaksudkan juga agar DPR dapat
syarat formal untuk dibuatnya suatu perjanjian menerapkan mekanisme pengawasan (control
internasional. Namun, dalam perkembangan mechanism) melalui pengesahan dengan UU
ketatanegaraan Indonesia, wujud dari persetujuan terhadap perjanjian internasional yang dibuat
DPR ini berupa UU atau Perpres. oleh pemerintah. Apabila DPR menolak RUU
Berbeda dengan Yamin, Bagir Manan pengesahannya, maka perjanjian internasional
mengemukakan terdapat alasan mengapa perse- yang dimaksud tidak dapat diberlakukan karena
tujuan DPR dimaknai sebagai UU, yaitu karena tidak memenuhi persyaratan prosedur sebagai-
perjanjian internasional memiliki relasi dengan mana yang diatur dalam Konstitusi.
fungsi DPR dalam membuat UU sebagaimana Pasal 11 UUD 1945 menyebutkan bahwa
yang diatur dalam Pasal 20A UUD Negara RI Presiden dengan persetujuan DPR membuat
Tahun 1945, yaitu “Dewan Perwakilan Rakyat perjanjian dengan negara lain. Maka berangkat
memiliki fungsi legislasi,12 fungsi anggaran13 dan dari pemikiran Bagir Manan seharusnya tiada
fungsi pengawasan.14 Tidak ada bentuk peraturan bentuk lain persetujuan DPR selain dalam bentuk
perundang-undangan yang bersifat umum yang UU. Walaupun, menurut Yamin tidak ada suatu
dapat dibuat DPR, kecuali UU.15 Oleh karena itu, bentuk khusus yang diamanatkan oleh konstitusi,
setiap perjanjian internasional yang memerlukan tetapi berdasarkan penafsiran gramatikal Pasal
persetujuan DPR yang kemudian diberi wadah 11 UUD 1945 lebih relevan bila dimaknai perse-
UU. Pendapat ini senada dengan keterangan tujuan DPR adalah melalui UU dan bukan
pemerintah atas Rancangan Undang-undang Pem- nomenklatur yang lain, karena mengingat perse-
buatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional,16 tujuan tersebut merupakan afirmasi terhadap
di mana dalam penjelasannya pemerintah mem- infiltrasi suatu produk hukum internasional ke
berikan penjelasan mengapa bentuk persetujuan dalam tatanan hukum nasional. Maka, relevan
dari DPR adalah dalam bentuk UU. Dalam bila DPR selaku pemegang kekuasaan legislasi
penjelasannya pemerintah menyatakan bahwa memberikan persetujuan berupa UU. Namun,
“persetujuan” dalam Pasal 11 UUD Negara RI dikarenakan pada UUD 1945 memberikan
Tahun 1945 dapat diartikan sebagai pengesahan kekuasaan membentuk UU pada Presiden,18 maka
sesuai dengan fungsi dan wewenang dari DPR Surat Presiden di atas menafsirkan secara mandiri
sebagai lembaga legislatif dan bahwa wewenang dengan membuat pilihan kebijakan pengesahan
membuat perjanjian internasional atau treaty perjanjian internasional melalui dua nomenkla-

11
Mohammad Yamin, 1960, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Jilid Ketiga, Sekretariat Negara, Jakarta, hlm. 784.
12
Fungsi legislasi mempertegas kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang.
13
Fungsi anggaran mempertegas kedudukan DPR untuk membahas (termasuk mengubah) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (RAPBN) dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat.
14
Fungsi pengawasan adalah fungsi DPR dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan
oleh Presiden (pemerintah).
15
Bagir Manan, Loc.cit.
16
Jawaban Pemerintah terhadap Pemandangan Umum Fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atas Rancangan Undang-
undang tentang Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional, Jakarta 5 Juni 2000.
17
Boer Mauna menjelaskan bahwa pada prinsipnya sistem pembagian kewenangan antara eksekutif dan legislatif adalah umum dilakukan
pada beberapa negara yang menganut sistem presidential seperti di Indonesia, di mana teknisnya kewenangan dalam pembuatan perjanjian
internasional akan berada di tangan lembaga eksekutif, namun dalam melaksanakan kewenangan tersebut lembaga eksekutif harus
mendapat persetujuan dari lembaga legislatif. Boer Mauna, 2000, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 97.
18
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945.
Sandi dan Merdekawati, Konsekuensi Pembatalan Undang-Undang Ratifikasi 465

tur, yaitu UU19 dan Keppres atau sekarang dengan nasional hanya akan membuat tujuan pembuatan
Perpres,20 yang kemudian menjadi kebiasaan hukum internasional tidak akan tercapai. Namun
dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia dan Ibrahim R., tidak sepakat dengan pendapat
dinormatifikasi dalam Pasal 9 ayat (2) UUPI.21 ini karena menurut beliau, saat ini Indonesia
Dari pendekatan teoritik, harus dipahami dan beberapa negara berkembang lainnya
infiltrasi hukum internasional dan perjanjian kecenderungan dan seharusnya menganut aliran
internasional dalam hukum nasional sangat ter- dualisme, dan kalaupun memilih monisme
kait dengan kedudukan hukum internasional harusnya adalah monisme dengan primat hukum
dalam hukum nasional yang secara umum nasional.23
dijelaskan oleh dua teori yakni teori monisme Dalam praktik di antara kedua aliran tersebut,
dan teori dualisme. Dari kedua teori tersebut muncul teori bagaimana penerapan hukum
Indonesia tidak secara spesifik memilih salah internasional dalam ranah hukum nasional, yaitu
satu antara monisme, dualisme, atau kombinasi teori transformasi,24 delegasi,25 dan inkorporasi.26,27
keduanya. Namun, Mochtar Kusumaatmadja Namun, praktis Indonesia tidak memilih satupun
dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional di antara kelaziman teori tersebut.
mengatakan bahwa berdasarkan pengamatannya Kondisi ketiadaan kejelasan sikap Indonesia
beliau berkesimpulan bahwa kecenderungan Indo- mengenai penerapan hukum internasional dalam
nesia menganut aliran monisme dengan primat ranah hukum nasional baik dalam konstitusi
hukum internasional.22 Hal ini karena Indonesia maupun dalam UUPI, menimbulkan kerancuan
lebih condong kepada negara-negara Kontinental dalam praktek “apakah perjanjian internasional
Eropa yang menganggap bahwa suatu negara yang sudah disahkan (oleh pemerintah baik
secara otomatis akan terikat dalam kewajiban dalam instrumen undang-undang maupun dalam
untuk melaksanakan dan mentaati semua ke- peraturan presiden) termasuk atau menjadi hukum
tentuan perjanjian dan konvensi yang telah positif yang berlaku di Indonesia? Persoalan
disahkan tanpa perlu mengadakan lagi peraturan semacam ini sebenarnya banyak terjadi di
perundangan pelaksana (implementing legisla- berbagai negara. Hanya dalam konteks ini hukum
tion). Hal ini dilandasi semangat awal pemben- internasional akan menyerahkan sepenuhnya pada
tukan dan keikutsertaan dalam perjanjian inter- sistem hukum ketatanegaraan dalam suatu negara
nasional adalah untuk menciptakan ketertiban untuk menyediakan alternatif solusi yang terbaik.
dalam kehidupan internasional, sehingga penyang- Di Amerika Serikat, jika pengadilan menetapkan
kalan terhadap pemberlakuan perjanjian inter- bahwa suatu perjanjian internasional tidak

19
Pasal 10 UUPI ”Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang- undang apabila berkenaan dengan : (a) masalah politik,
perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; (b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; (c)
kedaulatan atau hak berdaulat negara; (d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; (e) pembentukan kaidah hukum baru; (f) pinjaman dan/
atau hibah luar negeri.
20
Pasal 11 UUPI “Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal10, dilakukan
dengan keputusan presiden”.
21
Pasal 9 (2) UUPI, “Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau
keputusan presiden.”
22
Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan II, Penerbit Bina Cipta, Bandung.
23
Ibrahim R., “Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional di dalam Hukum Nasional (Permasalah Teoritik dan Praktek)”,
Makalah, Lokakarya Evaluasi Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Surabaya, 18-19 Oktober 2008.
24
Bahwa hukum internasional untuk dapat berlaku dalam hukum nasional harus dijelmakan (transformasikan) ke dalam hukum nasional
secara formal (bentuknya) dan substantif (materinya).
25
Pemberlakuan hukum internasional kedalam hukum nasional adalah melalui delegasi aturan-aturan konstitusional hukum internasional
mendelegasikan kepada masing-masing konstitusi negara untuk menentukan kapan ketentuan perjanjian internasional berlaku dalam
hukum nasional berikut prosedur atau metode yang digunakan.
26
Suatu ajaran (doktrin) yang mengatakan bahwa hukum internasional adalah hukum negara (internatonal law is the law of the land).
27
Mohd. Burhan Tsani, “Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Republik Indonesia (Dalam
Perspektif Hukum Tata Negara)”, Makalah, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 23 Juni 2009.
466 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569

bertentangan dengan konstitusi dan termasuk annya masih membutuhkan Undang-


golongan perjanjian internasional self executing, undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
maka perjanjian tersebut dianggap bagian dari Narkotika.
hukum nasional Amerika Serikat dan tidak b) Perjanjian internasional yang ketika
memerlukan pengundangan nasional. Sedangkan sudah diratifikasi dengan UU, dapat
jika perjanjian internasional tersebut termasuk langsung diimplementasikan tanpa
perjanjian non self executing maka diperlukan membutuhkan implementation legisla-
pengundangan nasional. Di Inggris terdapat tion yang berupa UU dalam pelaksana-
ketentuan Ponsonby Rule; yang pada intinya annya misalnya Vienna Convention on
telah membuat penetapan kategori atas perjanjian Diplomatic Relations 1961 dan Vienna
internasional yang memerlukan persetujuan Convention on Consular Relations 1963
parlemen dan memerlukan pengundangan nasio- yang diratifikasikan melalui Undang-
nal bagi berlakunya secara intern (implementing undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang
legislation). Pengesahan Konvensi Wina Mengenai
Untuk konteks Indonesia dengan mengacu Hubungan Diplomatik Beserta Protokol
pada hukum positif yang ada saat ini baik dalam Opsionalnya Mengenai Hal Memperoleh
Pasal 11 UUD Negara RI Tahun 1945 dan UUPI ke- Kewarganegaraan (Vienna Convention
duanya tidak memberikan jawaban terhadap per- on Diplomatic Relations and Optional
soalan tersebut. Maka acuan mengenai penerapan Protocol to the Vienna Convention
hukum internasional dalam ranah hukum nasional on Diplomatic Relations Concerning
dapat dilihat dalam praktek yang secara umum Acquisition of Nationality, 1961) dan
terbaca dalam dua kategori sebagai berikut: Pengesahan Konvensi Wina Mengenai
a) Perjanjian internasional yang sudah di- Hubungan Konsuler Beserta Protokol
ratifikasi dengan UU, namun tetap mem- Opsionalnya Mengenai Hal Memperoleh
butuhkan implementing legislation yang Kewarganegaraan (Vienna Convention
berupa UU dalam pelaksanaannya, on Consular Relations and Optional
misalnya: Protocol to the Vienna Convention
1) Convention on the Law of the Sea on Consular Relations Concerning
1982 yang diratifikasi dengan Acquisition of Nationality, 1963).
Undang-Undang Nomor 17 Tahun Dengan melihat contoh di atas terlihat bahwa
1985 tentang Pengesahan United dalam praktik diketemukan 2 jenis UU yang
Nations Convention on The Law digunakan untuk melakukan pengesahan terhadap
of the Sea (Konvensi Perserikatan perjanjian internasional, yaitu UU ratifikasi
Bangsa-Bangsa tentang Hukum dan UU implementasi. UU ratifikasi tidak serta
Laut), tetap membutuhkan Undang- merta membuat perjanjian internasional menjadi
undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang hukum nasional Indonesia. UU ratifikasi hanya
Perairan Indonesia. membuat Indonesia terikat terhadap perjanjian
2) Convention on Psychotropic Subs- internasional sebagai perwujudan dari persetuju-
tances 1971 yang diratifikasi dengan an DPR sebagaimana amanat konstitusi. Dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun mentransformasikan materi muatan perjanjian
1996 tentang Pengesahan Pengesah- internasional diperlukan suatu peraturan
an Convention on Psychotropic implementasi yang memasukkan perjanjian inter-
Substances 1971 (Konvensi Psiko- nasional dalam tatanan hukum tatanan hukum
tropika 1971) yang untuk pelaksana- nasional. Peraturan implementasi diperlukan
Sandi dan Merdekawati, Konsekuensi Pembatalan Undang-Undang Ratifikasi 467

untuk mengabsorbsi atau menyerap materi muatan mengesahkan perjanjian internasional tersebut
perjanjian internasional ke dalam hukum nasional diuji oleh Mahkamah Konstitusi?30
Indonesia. Dengan diabsorbsinya materi muatan Jika yang diuji adalah UU implementasi
perjanjian internasional ke dalam peraturan perjanjian internasional relatif tidak bermasalah
implementasi maka secara nyata perjanjian karena memang materi muatan perjanjian
internasional telah bertransformasi dan menjadi internasional telah disesuaikan tatanan hukum
hukum nasional. nasional Indonesia, tetapi untuk UU ratifikasi
2. Pengujian Undang-undang Pengesahan relatif problematik, karena secara bentuk memang
Perjanjian Internasional nomenklatur hukum nasional, tetapi untuk materi
Seperti dikemukakan pada uraian sebelum- muatan merupakan hukum internasional secara
nya bahwa salah satu keterikatan Indonesia utuh. Apakah Mahkamah Konstitusi mempunyai
dalam perjanjian internasional apabila dilakukan kewenangan untuk menilai materi muatan hukum
pengesahan dengan dibentuknya UU atau Perpres internasional untuk diuji dengan alas uji UUD
ratifikasi.28 Ratifikasi ini merupakan tahap wajib Negara RI Tahun 1945? Pertanyaan selanjutnya
yang harus dilakukan dalam pembuatan sebuah adalah apakah UU ratifikasi merupakan sebuah
perjanjian internasional khususnya perjanjian UU yang menjadi domain kewenangan Mahkamah
internasional yang sifatnya multilateral sebagai Konstitusi?
tanda penerimaan atau pengesahan terhadap Menjawab pertanyaan di atas, harus dipahami
sebuah naskah perjanjian internasional untuk bahwa sejatinya UU ratifikasi merupakan UU yang
menciptakan ikatan hukum bagi para pihaknya.29 sejenis dengan UU lain, dengan titik perbedaan
Dalam konteks Indonesia mengingat sistem minor pada materi muatan di dalamnya. Dalam
hukum Indonesia pada prinsipnya lebih condong literatur Belanda dikenal istilah wet yang memiliki
untuk menempatkan perjanjian internasional yang dua macam arti, yakni wet in formele zin dan
telah diratifikasi sebagai non self executing treaty, wet in materiële zin. Wet in formele zin adalah
maka harusnya dalam rangka memasukkan hukum pengertian UU yang didasarkan kepada bentuk
internasional ke dalam hukum nasional juga dan cara terbentuknya, sementara wet in materiële
diperlukan pula adanya peraturan implementasi. zin adalah pengertian UU yang didasarkan ke-
Namun mengingat tidak ada ketegasan yang pada isi atau substansinya yang mengikat
jelas baik dalam konstitusi maupun dalam UUPI masyarakat.31 Suatu peraturan dikatakan UU
konsekuensi lain yang muncul adalah terkait apabila ia memenuhi wet in formele zin dan wet in
dengan persoalan dapatkah UU ratifikasi yang materiële zin.

28
Sebenarnya penggunaan kata ratifikasi disini ini, tidaklah seperti istilah ratifikasi yang dimaksudkan dalam Konvensi Wina 1969, di
mana istilah ratifikasi ini lebih dimaksudkan sebagai pengesahan atas perjanjian internasional. Menurut Konvensi Wina 1969 sebenarnya
penyesahan suatu perjanjian internasional tidak selalu dengan ratifikasi melainkan ada beberapa cara yakni dengan: ratifikasi (ratification),
jika Negara yang bersangkutan termasuk sebagai negara perunding/negosiating state, aksesi (accession) jika negara yang bersangkutan
bukan merupakan negara perunding dalam perjanjian yang akan disahkan) dan penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yang
umumnya dipakai untuk pengesahan atas penerimaan amandemen atas suatu perjanjian internasional.
29
Ada beberapa perjanjian internasional yang dalam proses pembuatannya tidak mewajibkan untuk melakukan tahap ratifikasi namun hanya
dengan penandatangan saja sudah dapat menciptakan ikatan hukum dengan negara pihak. Biasanya perjanjian internasional semacam ini
adalah perjanjian internasional yang sifatnya bilateral atau materi yang diatur hanya materi sederhana, dan itupun harus dinyatakan dalam
salah satu pasal dalam klausula formal perjanjian bahwa perjanjian tersebut berlaku sejak diadakan penandatangan perjanjian oleh para
pihak. Sebagain besar perjanjian internasional yang ada mewajibkan adanya tahap ratifikasi sementara penandatangan hanya dimaksudkan
sebagai persetujuan atau legalitas atas naskah yang dihasilkan menjadi naskah autentik.
30
Dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dicantumkan dengan tegas mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi. Pasal 24C UUD 1945
menentukan 4 kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers) dan 1 kewajiban konstitusional (constitutional obligation).
Keempat kewenangan itu adalah 1). menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; 2). memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar; 3). memutus pembubaran partai politik; dan 4). memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. Sementara satu kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memutus tudingan DPR bahwa Presiden/Wakil
Presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hokum ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
31
Amiroeddin Syarif, 1997, Perundang-undangan (Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatnya), Rhineka Cipta, Bandung, hlm. 4-6.
468 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569

Secara muatan UU ratifikasi termasuk dalam dipahami kembali bahwa tujuan dari UU ratifikasi
pengertian wet in materiële zin karena pengesah- adalah semata untuk mengesahkan perjanjian
an perjanjian internasional termasuk satu dari internasional, bukan untuk menginfiltrasikan
sekian materi muatan yang harus diatur dengan hukum internasional ke dalam hukum nasional.
UU. Secara prosedur pun UU ratifikasi merupakan Agar materi muatan perjanjian internasional
wet in formele zin. Hal tersebut sejalan dengan dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi seharusnya
pendapat Bagir Manan yang menyatakan materi muatan perjanjian internasional tersebut
bahwa ketika perjanjian internasional diberi haruslah ditransformasikan terlebih dahulu dalam
bentuk undang-undang, maka segala tata cara sebuah UU implementasi yang secara harmonis
pembentukan undang-undang berlaku pada UU memasukkan materi perjanjian internasional
ratifikasi. dalam tatanan hukum nasional.
Pada dasarnya tata cara atau prosedur Maka, dapat dimaknai bahwa sejatinya peng-
pembentukan UU ratifikasi tidak berbeda dengan ujian UU ratifikasi di Mahkamah Konstitusi
UU lainnya sepanjang mengikuti tata cara yang memiliki dampak yang lebih sempit dibandingkan
diatur dalam UUPI dan Undang-undang Nomor pengujian UU pada umumnya. Hal ini dikarenakan
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan secara sistematika UU ratifikasi hanya berisi
Perundang-undangan. Dengan begitu, hal ini beberapa pasal yang berfungsi sebagai norma yang
menjadi justifikasi bahwa UU ratifikasi dapat pengesahan perjanjian internasional. Selain itu,
diuji di Mahkamah Konstitusi. Argumen penguat lampiran UU ratifikasi juga berisi materi muatan
lainnya bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD Negara RI yang secara utuh merupakan produk hukum
Tahun 1945 secara expressis verbis menyatakan internasional, sehingga tidak tepat Mahkamah
bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Konstitusi menilai materi muatan hukum inter-
UU terhadap UUD. Dalam ketentuan tersebut nasional berbatu uji pada konstitusi. Dengan demi-
tidak dikecualikan bahwa UU ratifikasi bukanlah kian dampak pengujian UU ratifikasi oleh Mah-
objek pengujian Mahkamah Konstitusi, maka kamah Konstitusi memiliki dimensi yang lebih
tidak ada alasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk sempit dan terbatas pada pengesahan perjanjian
menolak menguji UU ratifikasi. internasionalnya, bukan pada substansi perjanjian
Akan tetapi, sebagaimana telah diuraikan internasional yang berdampak pada keikutsertaan
sebelumnya bahwasanya UU ratifikasi ialah UU Indonesia pada perjanjian internasional tersebut.
yang dibentuk semata untuk mengesahkan per-
janjian internasional, sedangkan materi perjanji- 3. Implikasi Pembatalan Undang-undang Ra-
an internasional belum diabsorbsi atau di- tifikasi Perjanjian Internasional terhadap
implementasikan dalam UU ratifikasi, melainkan Keikutsertaan Pemerintah Indonesia
hanya dilampirkan salinan dalam Bahasa Indo- dalam Perjanjian Internasional yang
nesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Dibatalkan
UU ratifikasi. Apabila pasal-pasal dalam UU Sebagaimana dikemukakan sebelumnya
ratifikasi dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki ke-
lantas apakah Mahkamah Konstitusi juga wenangan untuk menguji UU ratifikasi. Akan
berwenang untuk menguji salinan naskah asli tetapi, masih terdapat perdebatan mengenai
perjanjian internasional seperti yang terlampir salinan terjemahan perjanjian internasional
dalam UU ratifikasi? yang dimasukkan dalam lampiran UU karena
Bila dicermati lebih lanjut sejatinya lampiran lampiran tersebut masih secara utuh merupakan
berupa salinan terjemahan perjanjian internasional materi hukum internasional. Pertanyaan yang
bukanlah bagian dari hukum Indonesia. Harus timbul adalah apakah kewenangan Mahkamah
Sandi dan Merdekawati, Konsekuensi Pembatalan Undang-Undang Ratifikasi 469

Konstitusi akan berdampak pada ruang lingkup mutatis mutandis fungsi UU ratifikasi sebagai UU
hasil pengujian. Terlebih dalam konteks kekinian yang mengesahkan perjanjian internasional juga
sedang diajukan pengujian UU Pengesahan Piagam telah lenyap.
ASEAN terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 Dengan demikian secara hukum nasional
kepada Mahkamah Konstitusi. Menjadi penting perjanjian internasional tidak lagi memiliki
kemudian untuk memberikan legal reasoning alas legalitas dalam hukum nasional Indonesia.
mengenai dampak apabila UU ratifikasi dibatalkan Kemudian muncul pertanyaan bagaimana
oleh Mahkamah Konstitusi. kedudukan Indonesia sebagai state party dalam
Dalam konteks hukum tata negara, batalnya perjanjian ketika perjanjian internasional tersebut
UU ratifikasi memiliki dimensi yang lebih sempit dibatalkan instrumen peratifikasiannya atau
dibandingkan batalnya UU secara umum, karena dicabut beberapa pasal dari materi muatan per-
terbatas pada fungsi UU ratifikasi dilahirkan. janjian internasional yang dianggap bertentangan
Sesuai dengan UUPI disebutkan bahwa UU dengan Konstitusi. Apakah itu kemudian juga
ratifikasi merupakan wadah untuk mengesahkan berarti bahwa Indonesia secara otomatis menarik
perjanjian internasional.32 Maka dari itu, jikalau diri (withdrawal) dari perjanjian internasional
Mahkamah Konstitusi menguji UU ratifikasi atau menyatakan reservasi atas perjanjian
dan memutuskan untuk membatalkan suatu UU internasional yang materinya dicabut atau
ratifikasi, akan berdampak pada hilangnya fungsi dibatalkan.
UU ratifikasi untuk mengesahkan perjanjian Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus-
internasional. lah dipahami terlebih dahulu konteks bagaimana
Hal itu terlihat dalam Undang-undang Nomor suatu negara akan terikat dalam perjanjian
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi internasional dan bagaimana suatu negara dapat
sebagaimana diubah terakhir dengan Undang- tidak terikat lagi dalam perjanjian internasional.
undang Nomor 8 Tahun 2011 (UUMK) sebagai Terkait dengan bagaimana suatu negara terikat
penjabaran lebih lanjut Pasal 24C ayat (1) UUD akan perjanjian internasional, akan sudah diatur
NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa, dalam perjanjian itu sendiri yang umumnya
“Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar menyatakan bahwa perjanjian tersebut akan
putusannya menyatakan bahwa materi muatan mengikat para pihak apabila negara tersebut ter-
ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang lebih dahulu melakukan ratifikasi/aksesi terhadap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar perjanjian internasional yang bersangkutan.34
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi Dengan demikian berarti bahwa suatu ratifikasi/
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang- aksesi merupakan tindakan hukum yang dilaku-
undang tersebut tidak mempunyai kekuatan kan oleh suatu negara untuk mengikatkan diri
hukum mengikat”.33 Dengan hilangnya kekuatan pada suatu perjanjian internasional.35 Hal ini
hukum mengikat UU ratifikasi, maka secara sejalan dengan apa yang diatur dalam Pasal 2

32
Pasal 10 UUPI.
33
Pasal 57 ayat (1) UUMK.
34
Sebenarnya ratifikasi dan aksesi hanya merupakan salah satu cara untuk menyatakan keterikatan dalam perjanjian internasional, karena
selain mekanime ratifikasi dan aksesi Konvensi Wina 1969 juga mengatur beberapa mekanisme lain untuk terikat dalam perjanjian
internasional sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 11 Konvensi Wina 1969 “Means of expressing consent to be bound by a treaty.
-The consent of a State to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instruments constituting a treaty, ratification,
acceptance, approval or accession, or by any other means if so agreed-“. Lebih lanjut dalam Pasal 14 Konvensi Wina 1969 dinyatakan
bahwa keterikatan negara terhadap perjanjian internasional dengan menggunakan instrument ratifikasi/aksesi jika ”(a) treaty provides for
such consent to be expressed by means of ratification; (b) it is otherwise established that the negotiating States were agreed that ratification
should be required; (c) the representative of the State has signed the treaty subject to ratification; or (d) the intention of the State to sign
the treaty subject to ratification appears from the full powers of its representative or was expressed during the negotiation.
35
Sumaryo Suryokusuma, 2008, Hukum Internasional, Tatanusa, Jakarta, hlm. 177.
470 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569

(b) Konvensi Wina 1969,36 Pasal 1 (b) UUPI,37 kesepakatan yang telah disepakati. Sebagai contoh
dan sejalan dengan pendapat praktisi hukum dalam pernyataan keterikatan Indonesia terhadap
internasional Damos Dumoli Agusman yang Piagam ASEAN, prosedur internal dilakukan
menyatakan ”ratifikasi merupakan tindakan dengan pengundangan UU ratifikasi Piagam
konfirmasi dari suatu negara terhadap perbuatan ASEAN melalui Undang-undang Pengesahan
hukum yang dilakukan oleh pejabatnya yang Piagam ASEAN yang disahkan di Jakarta pada
telah menandatangani perjanjian internasional”.38 tanggal 6 November 2008 oleh Presiden Republik
Adapun prosedur ratifikasinya harus dibeda- Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan
kan antara prosedur internal dan prosedur external diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 November
dan suatu proses ratifikasi harus melalui kedua- 2008 melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi
nya. Dalam konteks ratifikasi sebagai prosedur Manusia Republik Indonesia, Andi Mattalatta.
internal (mekanisme penerimaan perjanjian Adapun prosedur eksternal dilakukan pada tanggal
internasional dalam sistem hukum nasional) 13 November 2008 (tujuh hari pascaprosedur
diserahkan sepenuhnya pada prosedur legislasi internal selesai) sesuai dengan ketentuan yang
negara dengan mendasarkan pada konstitusi diatur dalam Pasal 47 (3) Piagam ASEAN
masing-masing negara.39 Untuk Indonesia berarti ”Instruments of ratification shall be deposited
akan mengacu pada Pasal 11 UUD Negara RI with the Secretary-General of ASEAN who
Tahun 1945 dan UUPI sebagaimana yang telah shall promptly notify all Member States of each
dibahas sebelumnya.40 Pasca dilakukannya deposit”. Prosedur ekternal ini juga dilakukan
prosedur internal tersebut, setiap negara yang akan oleh negara anggota ASEAN yang lain sebagai
menyatakan keterikatnya pada suatu perjanjian tindakan keterikatannya yakni Filipina pada
internasional masih harus melakukan satu prosedur tanggal 12 November 2008 dan negara terakhir
pengikatan eksternal. yang mengirimkan instrumen ratifikasinya pada
Pernyataan keterikatan tersebut dituliskan Sekretariat Jenderal ASEAN adalah Thailand pada
dalam sebuah instrumen yang didalamnya tanggal 14 November 2008.41
memuat pernyataan dari negara tersebut tentang Prosedur ekternal ini umumnya akan
kesepakatannya untuk meratifikasi, menerima, menjadi dasar acuan kapan perjanjian tersebut
mengesahkan dan mengaksesi suatu perjanjian akan berlaku efektif sebagai sumber hukum
atau konvensi serta kesediaan untuk melaksana- internasional. Jadi penentu pemberlakuan suatu
kan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya perjanjian internasional sebagai sumber hukum
dengan itikad baik. Cara-cara ini dilaksanakan internasional bukan pada tanggal di mana negara
sesuai dengan kesepakatan sebelumnya dengan pihak menyatakan keterikatannya dalam prosedur
negara-negara perunding atau berdasarkan internal namun tanggal di mana negara pihak

36
“ratification”, “acceptance”, “approval” and “accession” mean in each case the international act so named whereby a State establishes on
the international plane its consent to be bound by a treaty.
37
Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification),
aksesi (accession), penerimaan.
38
Damos Dumoli Agusman, “Apa Arti Pengesahan/Ratifikasi Perjanjian Internasional”, http://ml.scribd.com/doc/16710619/Apa-Arti-
PengesahanRatifikasi-Perjanjian-Internasional, diakses Juni 2012.
39
Sebagai contoh Pasal 27 (2) Piagam ASEAN menyatakan bahwa “This Charter shall be subject to ratification by all ASEAN Member States
in accordance with their respective internal Procedures”.
40
Prosedur internal ini berdasarkan amanat dalam Pasal 11 UUD 1945 “Dengan Persetujuan DPR Presiden menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian internasional dengan negara lain” jis. Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan
Luar Negeri “Kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan pelaksanaan Politik Luar Negeri pemerintah republik Indonesia
berada di tangan presiden. Sedangkan dalam hal menyatakan perang, membuat perdamian dan perjanjian internasional dengan negara lain
diperlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” jis. Pasal 9 UUPI “Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dengan Undang-undang atau Keputusan Presiden.”
41
Inilah, “Piagam Asean Mulai Berlaku Desember”, http://www.inilah.com/read/detail/62239/piagam-asean-mulai-berlaku-desember/,
diakses Juli 2012.
Sandi dan Merdekawati, Konsekuensi Pembatalan Undang-Undang Ratifikasi 471

menyatakan keterikatannya dalam prosedur untuk kemudian tidak melakukan ketentuan yang
ekternal. Dalam Piagam ASEAN ketentuan telah disepakati dalam perjanjian internasional
mengenai enter into force piagam diatur dalam tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 27
Pasal 47 (4) Piagam ASEAN yang menyatakan Konvensi Wina 1969 ”A party may not invoke the
bahwa ”This Charter shall enter into force on provisions of its internal law as justification for
the thirtieth day following the date of deposit its failure to perform a treaty. This rule is without
of the tenth instrument of ratification with the prejudice to article 46”.
Secretary-General of ASEAN”, yakni 30 hari sejak Secara umum suatu perjanjian internasio-
Thailand (sebagai negara kesepuluh) mengirim- nal akan terdiri dari 2 komponen utama yakni
kan instrument ratifikasinya ke Sekretariat ketentuan material dan ketentuan formal. Ke-
Jenderal ASEAN yakni 15 Desember 2008. tentuan material/klausula sering juga disebut
Pascadilaluinya prosedur internal dan dengan istilah ’dispositive provision’ (ketentuan-
ekternal pernyataan keikutsertaan Indonesia ketentuan yang bersifat mengatur) atau batang
atas suatu perjanjian internasional, maka harus tubuh perjanjian internasional. Klausula ini ter-
dipahami bahwa sejak saat itu konteks keterikat- diri dari pasal-pasal yang mengatur inti persoal-
an Indonesia terhadap perjanjian internasional an atau materi pokok perjanjian internasional.
bukan saja dalam kaitannya dengan hubungan Dari pasal-pasal inilah dapat ditemukan hukum
antara pemerintah Indonesia dengan warga negara internasional positif yang berlaku bagi materi
Indonesia (Yurisdiksi Nasional Indonesia), namun yang bersangkutan. Klausula subtantif yang
juga dalam konteks hubungan internasional berlaku merupakan bagian pokok terpenting
Indonesia sebagai pihak dari perjanjian dengan perjanjian internasional yang bersangkutan.
negara-negara lain yang merupakan negara pihak Sementara komponen penting yang kedua sering
pula dalam perjanjian internasional tersebut. disebut dengan klausula formal sering juga
Dalam konteks Piagam ASEAN, misalnya keter- disebut dengan istilah klausula final atau klausula
ikatan Indonesia bukan hanya dalam kaitanya protokoler. Dalam klausula ini dimuat hal-hal
dengan pelaksanaan Piagam ASEAN di wilayah yang bersifat teknis, hal-hal pokok yang formal
Indonesia namun juga dalam interaksi dengan dan masalah-masalah yang berhubungan dengan
negara pihak dalam Piagam ASEAN yang lain penerapan dan mulai berlakunya perjanjian
yang berdasarkan catatan Sekretariat Jenderal internasional yang bersangkutan.
ASEAN saat ini ada 10 negara yang tercatat Terkait dengan pertanyaan awal dalam
sebagai state party.42 Maka dalam konteks tersebut pembahasan ini “bagaimana kedudukan Indonesia
terhadap 10 negara yang tercatat sebagai negara sebagai state party dalam perjanjian ketika
anggota Piagam ASEAN berlaku prinsip ”pacta perjanjian internasional tersebut dibatalkan
sunt servanda” sebagaimana yang ditegaskan instrumen peratifikasiannya atau dicabut beberapa
dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 ”Every treaty pasal dari materi muatan perjanjian internasional
in force is binding upon the parties to it and must yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi,
be performed by them in good faith”. apakah itu kemudian juga berarti bahwa Indonesia
Hal ini berarti bahwa segala kesepakatan secara otomatis menarik diri (withdrawal) dari
yang telah diatur dalam Piagam ASEAN harus perjanjian internasional atau menyatakan reser-
dipenuhi oleh para pihak dengan itikad baik, tanpa vasi atas perjanjian internasional yang materinya
terkecuali bahkan alasan ketentuan dalam hukum dicabut atau dibatalkan” maka jawabannya
nasionalpun tidak dapat digunakan sebagai alasan menjadi jelas bahwa di sini terjadi dua peristiwa

42
Association of Southeast Asian Nations, “ASEAN Members State”, http://www.aseansec.org/18619.htm, diakses Juli 2012.
472 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569

terpisah yang keduanya tidak saling berhubungan penarikan diri atau suatu hak pemutusan
secara langsung (otomatis). atau penarikan diri itu dapat disimpulkan
Penjelasannya hal tersebut karena proses secara diam-diam sesuai dengan sifat dari
pembatalan UU ratifikasi dapat dikatakan sebagai traktat itu.
penarikan atas prosedur internal yang dilakukan Merujuk pada isu yang dibahas dalam
namun keterikatan Indonesia atas perjanjian penelitian ini contoh keterikatan dalam perjanjian
internasional merupakan perbuatan hukum internasional yang diangkat adalah keterikatan
dalam wilayah hubungan eksternal. Maka jika atas Piagam ASEAN, maka pertanyaan bagaimana
inti persoalannya adalah pada bagaimana “posisi cara Indonesia untuk mengakhiri keterikatannya
Indonesia sebagai negara pihak dalam perjanjian terhadap Piagam ASEAN juga harus diselesaikan
internasional” maka Indonesia akan tetap terikat dengan merujuk pada klausula formal yang
untuk melaksanakan semua ketentuan yang ber- mengatur mengenai masalah penarikan diri dari
ada dalam perjanjian sepanjang Indonesia masih Piagam ASEAN tidak hanya cukup dilakukan
tercatat sebagai negara pihak. Demikian pula da- dengan melakukan penarikan atas UU ratifikasi
lam kaitannya jika Indonesia memiliki keinginan dari Piagam ASEAN. Ternyata dari 55 pasal yang
untuk menarik diri dari perjanjian internasional ada dalam Piagam ASEAN tidak satu pasal pun
maka Indonesia akan terikat dengan ketentuan yang mengatur mengenai ketentuan penarikan
formal dalam perjanjian internasional yang berhu- diri dari Piagam ASEAN.43 Maka solusi lain
bungan dengan persoalan penarikan dari perjanjian yang mungkin untuk diupayakan adalah merujuk
internasional yang telah diatur dalam perjanjian pada Pasal 56 Konvensi Wina 1969 yang secara
di mana Indonesia menjadi negara pihak. Hal ini garis besar mengatur bahwa pengunduran diri
selaras dengan apa yang diatur dalam: dari perjanjian internasional tersebut masih dapat
a) Pasal 54a Konvensi Wina 1969 yang menga- dilakukan sepanjang berdasarkan kesepakatan
takan bahwa pengakhiran suatu perjanjian para pihak sepakat menerima pengunduran diri
internasional dapat terjadi sesuai dengan ke- yang dilakukan.
tentuan yang telah diatur dalam traktat atau Dengan demikian berarti dalam konteks
setiap saat sesuai dengan persetujuan semua Indonesia ingin menarik keikutsertaannya dalam
pihak sesudah berkonsultasi dengan negara- Piagam ASEAN maka yang harus dilakukan
negara yang berjanji lainnya. oleh Indonesia adalah mengajukan penarikan diri
b) Pasal 56 Konvensi Wina 1969 menjelas- kepada state party yang lain melalui Sekretariat
kan bahwa jika suatu traktat tidak memuat Jenderal ASEAN dan menyerahkan keputusan
mengenai ketentuan pengakhiran, pemutus- diterima atau tidaknya pengunduran tersebut
an atau penarikan diri maka tidaklah adalah pada hasil keputusan state party yang
tunduk pemutusan atau penarikan diri jika lain. Mekanisme pengambilan keputusan dari
tidak ternyata bahwa pihak-pihak berniat state party yang lain tersebut telah diatur dalam
mengizinkan kemungkinan pemutusan atau Bab VII Pasal 2044 Piagam ASEAN yang pada

43
Kondisi demikian umum terjadi dalam berbagai perjanjian internasional yang merupakan konstituent instrument dari organisasi
internasional. Sebagai contoh dalam Charter of the United Nations 1945, Constitution of the United Nations Educational, Scientific, and
Cultural Organization 1945 Constitution of The World Health Organization 1946, juga tidak dicantumkan mengenai klausula penarikan
diri. Hal ini dimaksudkan bahwa semangat pendirian organisasi internasional menginginkan bahwa keberadaan organisasi itu utuh untuk
selamanya, semetara keberadaan klausula penarikan diri akan berpotensi untuk menyebabkan satu atau dua negara yang tidak sepakat
dengan satu atau ketentuan organisasi internasional kemudian mengancam untuk keluar dari organisasi yang pada akhirnya akan berdampak
pada terganggunya kestabilan organisasi. Pelajaran ini pernah terjadi pada organisasi Liga Bangsa-Bangsa yang akhirnya bubar pada tahun
1946.
44
Article 20 Asean Charter Consultation and Consensus “ (1) As a basic principle, decision-making in ASEAN shall be based on consultation
and consensus. (2) Where consensus cannot be achieved, the ASEAN Summit may decide how a specific decision can be made. (3) Nothing
in paragraphs 1 and 2 of this Article shall affect the modes of decision-making as contained in the relevant ASEAN legal instruments.
(4) In the case of a serious breach of the Charter or non-compliances, the matter shall be referred to the ASEAN Summit for decision.”
Sandi dan Merdekawati, Konsekuensi Pembatalan Undang-Undang Ratifikasi 473

intinya menegaskan bahwa sedapat mungkin sebut dilakukan dengan penyampaian


keputusan dalam ASEAN diambil konsensus instrument of ratification/accession.
di antara negara-negara anggota. Jika konsesus b) Melalui nota diplomatik jika pada waktu
tidak dapat dicapai, Konferensi Tingkat Tinggi pengikatan diri pada perjanjian tersebut
ASEAN dapat memutuskan bagaimana keputus- dilakukan tanpa melalui penyampaian
an tertentu dapat diambil. Dalam kasus pelang- instrument of ratification/accession.
garan serius (serious breach) terhadap Piagam c) Cara lain seperti yang disepakati oleh para
ASEAN dan ketidakpatuhan (non-compliance) pihak atau seperti yang diatur dalam perjanji-
maka masalahnya akan diputuskan oleh KTT. an tersebut.
Dalam konteks yang lebih umum pada inti-
nya jika Indonesia memutuskan untuk melaku- D. Kesimpulan
kan penarikan diri terhadap suatu perjanjian Berdasarkan hasil pembahasan diatas, dapat
internasional yang telah diikuti maka selain proses diambil kesimpulan sebagai berikut: 1) Pertama,
penarikan secara internal yang wujudnya dapat Berdasarkan pada prinsipnya belum ada penegas-
berupa: an yang jelas baik dalam konstitusi maupun dalam
a) untuk perjanjian internasional yang penge- UUPI mengenai posisi perjanjian internasional
sahannya dengan peraturan Presiden harus dalam sistem hukum Indonesia. Namun dalam
didahului melalui penerbitan peraturan praktek yang terjadi dapat diamanati bahwa ke-
presiden yang mencabut peraturan presiden cenderunganya perjanjian internasional mem-
pengesahan perjanjian internasional tersebut, butuhkan delegasi maupun transformasi untuk
b) untuk perjanjian internasional yang penge- dapat berlaku dalam sistem hukum di Indonesia
sahannya dengan undang-undang harus (non self-excuting treaty). Kedua, Berdasarkan
didahului dengan penerbitan undang- berbagai kajian yang ada, UU ratifikasi perjanjian
undang tentang pencabutan undang-undang internasional bagaimanapun adalah termasuk
pengesahan perjanjian internasional tersebut. dalam kategori UU yang karena bentuknya dapat
Setelah itu, harus diikuti dengan satu proses diuji oleh Mahkamah Konstitusi, namun bukan
eksternal yakni berupa pemberitahuan penarikan pada materi perjanjian internasionalnya yang
diri (dengan mekanisme yang telah diatur dalam diuji. Ketiga, Bahwa pembatalan UU ratifikasi
perjanjian atau yang ditentukan oleh kesepakatan perjanjian internasional tidak memiliki korelasi
para pihak). Pemberitahuan tersebut dapat langsung dengan keterikatan Indonesia dalam Per-
dilakukan dengan: janjian Internasioanl yang dibatalkan tersebut me-
a) Mengirimkan instrument of termination/ lainkan keterikatnya tetap ada sepanjang belum
withdrawal/denunciation yang ditanda- ada mekanisme termination/withdrawal/denun-
tangani oleh menteri luar negeri jika pada ciation sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
waktu pengikatan diri pada perjanjain ter- perjanjian internasional yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Kusumaatmadja, Mochtar, 1978, Pengantar


Alder, John, 1989, Constitutional and Adminis- Hukum Internasional, Cetakan II, Penerbit
trative Law, Macmillan, London. Bina Cipta, Bandung.
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Mauna, Boer, 2000, Hukum Internasional,
Tata Negara Jilid I, Sekretariat Jenderal Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Dinamika Global, Alumni, Bandung.
Jakarta. Salter, Michael & Mason, Julie, 2007, Writing
474 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 3, Oktober 2012, Halaman 377 - 569

Law Dissertations: an Introduction and C. Internet


Guide to the Conduct of Legal Reseach, Association of Southeast Asian Nations, “ASEAN
Edisi Pertama, Pearson Education Limited, Members State”, http://www.aseansec.
England. org/18619.htm, diakses Juli 2012.
Suryokusuma, Sumaryo, 2008, Hukum Interna- Agusman, Damos Dumoli, “Apa Arti Pengesah-
sional, Tatanusa, Jakarta. an/Ratifikasi Perjanjian Internasional”,
Syarif, Amiroeddin, 1997, Perundang-undangan http://ml.scribd.com/doc/16710619/Apa-
(Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatnya), Arti-PengesahanRatifikasi-Perjanjian-
Rhineka Cipta, Bandung. Internasional, diakses Juni 2012.
Yamin, Mohammad, 1960, Naskah Persiapan Inilah, “Piagam Asean Mulai Berlaku Desember”,
Undang-Undang Dasar 1945, Jilid Ketiga, http://www.inilah.com/read/detail/62239/
Sekretariat Negara, Jakarta. piagam-asean-mulai-berlaku-desember/,
diakses Juli 2012.
B. Makalah, Pidato, dan Disertasi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia,
Dewanto, Wisnu Aryo, 2011, Perjanjian Inter- “Kedutaan/Konsulat”, http://www.kemlu.
nasional Self- Executing Treaty dan Non Self- go.id/Pages/Mission.aspx?l=id, diakses Juni
Executing Treaty, Disertasi, Program Doktor 2012.
Fakultas Hukum UGM.
Manan, Bagir, “Akibat Hukum di Dalam Negeri D. Peraturan Perundang-undangan
Pengesahan Perjanjian Internasional (Tinjau- Undang-undang Dasar 1945.
an Hukum Tatanegara)”, Makalah, Focus Undang-undang Dasar Negara Republik Indo-
Group Discussion Departemen Luar Negeri nesia Tahun 1945.
dan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Bandung, 29 November 2008. Perjanjian Internasional (Lembaran Negara
R., Ibrahim, “Status Hukum Internasional dan Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
Perjanjian Internasional di dalam Hukum 185, Tambahan Lembaran Negara Republik
Nasional (Permasalah Teoritik dan Praktek)”, Indonesia Nomor 4012).
Makalah, Lokakarya Evaluasi Undang- Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanji- Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
an Internasional, Surabaya, 18-19 Oktober Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
2008, 98, Tambahan Lembaran Negara Republik
Jawaban Pemerintah terhadap Pemandangan Indonesia Nomor 4316) sebagaimana diubah
Umum Fraksi Dewan Perwakilan Rakyat terakhir dengan Undang-undang Nomor 8
Republik Indonesia atas Rancangan Undang- Tahun 2011 (Lembaran Negara Republik
undang tentang Pembuatan dan Pengesahan Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan
Perjanjian Internasional, Jakarta 5 Juni 2000. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
Tsani, Mohd. Burhan, “Status Hukum Interna- 5226).
sional dan Perjanjian Internasional dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Hukum Nasional Republik Indonesia (Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undang-
Perspektif Hukum Tata Negara)”, Makalah, an (Lembaran Negara Republik Indonesia
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Yogyakarta, 23 Juni 2009. Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
Sandi dan Merdekawati, Konsekuensi Pembatalan Undang-Undang Ratifikasi 475

Grundgesetz für die Bundesrepublik Deutschland Vienna Convention on the Law of Treaties between
[Undang-undang Dasar Republik Federasi States and International Organizations or
Jerman] (Lembaran Federal Bagian III, No. Between International Organizations, 21
100-1, 1949). Maret 1986. (25 ILM 543 (1986)).
Constitution de la République Française du 4 Charter of the Association of Southeast Asian
Octobre 1958. Nations, 2007, entry into force 15 December
Vienna Convention on the Law of Treaties, 23 Mei 2008.
1969. (1155 UNTS 331).

Anda mungkin juga menyukai