Berdasarkan berita yang saya dapat di koran, kasus
tersebut merupakan kasus KDRT (Kekerasan dalam rumah
tangga). Dimana pada kasus ini seorang kakek berinisial IKJ tega memukul istrinya NKT dengan menggunakan gergaji .Kejadian ini berawal ketika IKJ memanggil cucunya, tapi si cucu tidak mau datang menghampirinya. Ikj pun memarahi cucunya, dan ingin memukul cucunya. Lalu datang korban nkt ingin melerasi. Namun ikj tidak terima lalu ikj langsung mengambil gergaji dan langsung memukul korban dengan menggunakan gergaji, dan sang istri berusaha menyelamatkan diri. Menurut saya peristiwa tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum dan agama. KDRT dalam bentuk apapun jelas tergolong tindak kejahatan dan pelanggaran berat terhadap nilai-nilai kemanusian yang universal dari perspektif hak asasi manusia (HAM). KDRT mulai dipandang sebagai tindak kejahatan sebagaimana diataur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 , Bab 1 Tentang Ketentuan Umum Pasal 2 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancama nuntuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dominasi dan kekuasaan pelaku terhadap korban yang terbentuk dari pola pikir dan pandangan hidup (world viem) berdasar kebudayaan dan sistem nilai yang ia jalankan. Sementara itu Teologi Hindu mengajarkan umatnya untuk tidak melakukan tindakan kekerasan (krurakarma) kepada semua makhluk, terlebih hal itu dilakukan kepada manusia. Secara struktural, setiap manusia dalam dirinya memiliki rãga (nafsu), lobha (tamak), kroda (marah), mada (mabuk), irsya (iri hati), dan moha (bingung) yang harus dikendalikan. Jika asumsi itu digunakan sebagai landasan moral, maka tindakan KDRT jelas menjadi sesuatu hal yang tabu untuk dilakukan. Tindak kekerasan oleh seorang suami terhadap istri dapat meninggalkan kesan negatif yang mendalam di hati mereka, anak-anak dan anggota keluarga yang lain. Kesan negatif ini pada akhirnya dapat pula menimbulkan kebencian dan malah benih-benih dendam yang tak berkesudahan terhadap pelaku. Bukan itu saja, rumah tangga yang dibangun untuk kepentingan bersama akan berantakan. Dalam pada itu, tidak jarang sang pelaku turut menderita karena depresi dan tekanan mental berlebihan yang dialaminya akibat penyesalan yang tiada lagi berguna. Untuk itu Wanita sebagai fondasi rumah tangga bukan seharusnya menjadi objek kekerasan, melainkan menjadi sesuatu yang dimuliakan. Sebab, jika wanita sebagai bagian dari kehidupan rumah tangga telah mengalami kesedihan, maka diyakini bahwa keluarga itu akan mengalami kehancuran dan akan menjadi indikasi kuat awal dari ketidakharomisan rumah tangga dari keluarga tersebut