Anda di halaman 1dari 13

PEMBAHASAN

A. Pengertian Aksiologi
Aksiologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana
manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi: nilai kegunaan ilmu, penyelidikan tentang
prinsip-prinsip nilai. Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno,
terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Jadi
aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.1 Aksiologi dipahami sebagai
teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut John Sinclair, dalam
lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik,
sosial dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan
sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.2 Menurut
Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang di peroleh.3
Aksiologi dibagi kepada tiga bagian menurut Sumantri, yaitu: (1) Moral Conduct
(tindakan moral), bidang ini melahirkan disiplin ilmu khusus yaitu “ilmu etika” atau nilai
etika. (2) Esthetic Expression (Ekspresi Keindahan), bidang ini melahirkan konsep teori
keindahan atau nilai estetika. (3) Sosio Political Live (Kehidupan Sosial Politik), bidang
ini melahirkan konsep Sosio Politik atau nilai-nilai sosial dan politik.4 Aksiologi adalah
suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam
kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya di dalam kepribadian manusia. Socrates
berpendapat bahwa masalah yang pokok adalah kesusilaan, tetapi semenjak masa hidup
socrates masalah hakikat yang-baik senantiasa menarik banyak kalangan dan dipandang
bersifat hakiki serta penting untuk dapat mengenal manusia.5
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari
sudut kefilsafatan. Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa aksiologi adalah studi
tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan
kebenaran). Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-
nilai etika dan estetika.

1
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2007), hlm. 36
2
Aksiologi Ilmu, dalam http://adikke3ku.wordpress.com/2012/02/110/aksiologi-ilmu diakses tanggal 25
April 2018
3
S. Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1996), hlm. 234
4
Ibid.,hlm. 340
5
Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1986), hlm. 325

Aksiologi dalam Pendidikan| 1


Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam
dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai.
Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar
dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends).6 Aksiologi
mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti
apa itu baik (what is good). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang
kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau
menemukan suatu teori nilai.
Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian :
1. Moral conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu
etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan
3. Socio-politcal life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial
politik.
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan
value dan valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation, yaitu:
1. Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit
seperti: baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas
mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
Penggunaan nilai yang lebih luas merupakan kata benda asli untuk seluruh macam
kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain, dan ia berbeda
dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau
nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai.
3. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai dan
dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif
digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia
bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.
Dengan demikian aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari
tentang nilai-nilai atau norma-norma terhadap sesuatu ilmu. Berbicara mengenai aksiologi
dapat dijumpai dalam kehidupan seperti kata-kata adil dan tidak adil, jujur dan tidak jujur.

6
Filsafat Pendidikan, dalam http://dedihendriana.wordpress.com/2012/02/10/filsafat-pendidikan, di
akses tanggal 26 April 2018

Aksiologi dalam Pendidikan| 2


Salah satu yang mendapat perhatian adalah masalah etika/kesusilaan dan dalam etika,
obyek materialnya adalah perilaku manusia yang dilakukan secara sadar. Sedangkan
obyek formalnya adalah pengertian mengenai baik atau buruk, bermoral atau tidak
bermoral dari suatu perbuatan atau perilaku manusia.7

B. Aksiologi dalam Pandangan Aliran-aliran Filsafat


Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan
pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat, yakni :
1. Pandangan Aksiologi Progresivisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (1842-1910), Hans
Vahinger, Ferdinant Sciller, Georger Santayana, dan Jhon Dewey.8 Menurut
progressivisme, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. dengan demikian, adanya
pergaulan dalam masyarakat dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi
yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan dan individu-individu.
Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan
sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara
manusia dan lingkungannya, baik yang terwujud sebagai lingkungan fisik maupun
kebudayaan atau manusia.
Aliran filsafat progressivisme telah memberikan sumbangan yang besar terhadap ilmu
karena telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan, dan kebebasan kepada anak didik.
Oleh karena itu, filsafat ini tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Setiap pembelajar
mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang dimilikinya yang berbeda dengan
makhluk-makhluk lain. Potensi tersebut bersifat kreatif dan dinamis untuk memecahkan
problema-problema yang dihadapinya. Oleh karena itu sekolah harus mengupayakan
pelestarian karakteristik lingkungan sekolah atau daerah tempat sekolah itu berada dengan
prinsip learning by doing (sekolah sambil berbuat). Tegasnya, sekolah bukan hanya
berfungsi sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan), melainkan juga
sebagai transfer of value (pendidikan nilai-nilai) sehingga anak menjadi terampil dan
berintelektual.9 Aliran progressivisme ini bersifat based personal dan social experince
sebagai problem solving.

7
Ahmad Tafsir, filsafat ilmu, (Bandung:Rosdakarya, 2006), hlm. 37
8
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Baya Madya Pratama. 1997), hlm. 70-71
9
Sahabuddin, Filsafat Pendidikan suatu Pengantar kedalam Pemikiran, Pemahaman, dan Pengamalan
Pendidikan Bersendikan Filsafat (Ujung Pandang: Program Pascasarjana IKIP, 1997), hlm. 191-196

Aksiologi dalam Pendidikan| 3


2. Pandangan Aksiologi Essensialisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah Desiderius Erasmus, John Amos
Comenius (1592- 1670), John Locke (1632-1704), John Hendrick Pestalalozzi (1746-
1827), John Frederich Frobel (1782-1852), Johann Fiedirich Herbanrth (1776-1841),dan
William T. Horris (1835-1909).10 Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dari pandangan-
pandangan idealisme dan realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua pandangan
tersebut.
Aliran essensialisme berpandangan bahwa ilmu pengetahuan harus berpijak pada
nilai-nilai budaya yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang
diwariskan kepada kita telah teruji oleh seluruh zaman, kondisi, dan sejarah. Kesalahan
kebudayaan modern sekarang menurut aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilai-
nilai yang diwariskan itu. Esessialisme memandang bahwa seorang pebelajar memulai
proses pencarian ilmu pengetahuan dengan memahami dirinya sendiri, kemudian bergerak
keluar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju makrokosmos.
a. Teori Nilai Menurut Idealisme
Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos karena itu
seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dalam pelaksanaan hukum-hukum itu.
Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan
dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam
upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang haruslah bersikap formal
dan teratur. Untuk itu, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan
dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan
pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.
b. Teori Nilai Menurut Realisme
Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan
lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik dan buruknya keadaan manusia
tergantung pada keturunan dan lingkungannya. Perbuatan seseorang adalah hasil
perpaduan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh lingkungannya.
George Santayana memadukan pandangan idealisme dan realisme dalam suatu sintesa
dengan menyatakan bahwa “nilai” itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal,
karena minat, perhatian, dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas

10
Djuberansyah Indar, Filsafat Pendidikan (Surabaya: Karya Abdi Tama, 1994), hlm. 136.

Aksiologi dalam Pendidikan| 4


tertentu. Walaupun idealisme menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai-nilai, namun tetap
mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri.11
3. Pandangan Aksiologi Perenialisme
Tokoh utama aliran ini diantaranya Aristoteles (394 SM) St. Thomas Aquinas.
Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang
mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan
kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha
untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang
lain.12 Sedangkan menyangkut nilai aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas
‘supernatular‘, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya
ontologi, dan epistemolagi yang didasarkan pada teologi dan supernatural, tetapi juga
aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh potensi kebaikan dan keburukan yang
ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia
berdasarkan pada asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya
tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia terletak pada jiwanya. Oleh karena itulah
hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya.
Parenialisme menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi yaitu nafsu,
kemauan, dan pikiran. Karena itu ilmu pengetahuan hendaknya berorientasi pada potensi
itu dan kepada masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat
terpenuhi. Sedangkan Aristoteles lebih menekankan pada dunia kenyataan. Tujuan
perolehan ilmu adalah kebahagiaan untuk mencapai tujuan itu, maka aspek jasmani, emosi
dan intelektual harus dikembangkan secara seimbang.
4. Pandangan Aksiologi Rekonstruksionisme
Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha merombak kebudayaan
modern. Sejalan dengan pandangan perenialisme yang memandang bahwa keadaan
sekarang merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran,
kebingungan,dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme dalam memecahkan
masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang
memerlukan kerja sama.
Aliran rekonstruksionisme ingin melakukan pembaharuan kebudayaan lama dan
membangun kebudayaan baru melalui lembaga dan proses ilmu pengetahuan melalui

11
Jalaluddin dan Abdullah Idi, op. cit., hlm. 87.
12
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi
Offset, 1990), hlm. 15

Aksiologi dalam Pendidikan| 5


pendidikan. Perubahan ini dapat terwujud bila melalui usaha kerja sama semua umat
manusia atau bangsa-bangsa. Masa depan umat manusia adalah suatu dunia yang diatur
dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh suatu
golongan.
Cita-cita demokrasi yang sebenarnya bukan hanya dalam teori melainkan harus
menjadi kenyataan, dan terlaksana dalam praktik. Hanya dengan demikian dapat pula
diwujudkan satu dunia yang dengan potensi-potensi teknologi mampu meningkatkan
kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, dan jaminan hukum bagi masyarakat,
tanpa membedakan warna kulit, nasionalitas, kepercayaan, dan agama.

C. Karakteristik dan Jenis-jenis Nilai Aksiologi


1. Karakteristik Nilai
Ada beberapa karakteristik nilai yang berkaitan dengan teroi nilai, yaitu :
a) Nilai objektif atau subjektif
Nilai itu objektif jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai;
sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung
pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini
bersifat psikis atau fisik.
b) Nilai absolute atau berubah
Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah
berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta abash sepanjang masa, serta akan
berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas social. Dipihak lain ada
yang beranggapan bahwa semua nilai relative sesuai dengan keinginan atau harapan
manusia.13
2. Jenis- jenis Nilai
Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat kita bedakan menjadi 2 yaitu :
a) Etika
Istilah etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang berarti adat kebiasaan. Dalam
istilah lain, para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyubutkan dengan moral,
berasal dari bahasa Yunani, juga berarti kebiasaan.14 Etika merupakan teori tentang nilai,
pembahasan secara teoritis tentang nilai, ilmu kesusilaan yang meuat dasar untuk berbuat
susila. Sedangkan moral pelaksanaannya dalam kehidupan.

13
Uyoh Sadulloh, Op. Cit., hlm. 38-39
14
Ibid., hlm. 40

Aksiologi dalam Pendidikan| 6


Jadi, etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbutan manusia. Cara
memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku
manusia. Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-
pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena
pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. 15 Untuk itulah
diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika.
Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena
itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah
laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku
manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik
dan buruk terhadap perbuatan manusia.
b) Estetika
Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-
pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas
prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola dan bentuk. Estetika
adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas
keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya.
Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-
nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa.
Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.
Esetetika berasal dari Bahasa Yunani, αισθητική, dibaca aisthetike. Pertama kali
digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada 1735 untuk pengertian ilmu
tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan. Meskipun awalnya sesuatu yang indah
dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir
dalam masyarakat akan turut memengaruhi penilaian terhadap keindahan. Misalnya pada
masa romantisme di Perancis, keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah
keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan sesuatu dalam
keadaan apa adanya. Pada masa maraknya de Stijl di Belanda, keindahan berarti
kemampuan mengkomposisikan warna dan ruang dan kemampuan mengabstraksi benda.

15
K. Bertens. Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 25.

Aksiologi dalam Pendidikan| 7


Perkembangan lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki
rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang
dimunculkan oleh pembuat karya. Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian
keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi
standar keindahan dan the ugly, suatu karya yang sama sekali tidak memenuhi standar
keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya dinilai buruk, namun jika dipandang dari
banyak hal ternyata memperlihatkan keindahan.

D. Aksiologi dalam Al-Qur’an dan Perspektif Islam


Dalam konteks kajian ini, Al-qur’an memberi gambaran bahwa penciptaan alam
semesta dan seisinya, termasuk di dalamnya manusia, tidak dengan sia-sia, melainkan
dengan satu tujuan, meskipun Al-Qur’an sendiri tidak menyatakan secara jelas, namun
melalui isyarat-isyarat yang dapat ditangkap oleh manusia. Misalnya Al-Qur’an secara
berulang-ulang menyebutkan bahwa langit dan bumi dengan segala yang ada di antara
keduanya sebagai tanda-tanda kebesaran Allah, agar manusia mengabdi kepada-Nya dan
tidak menyombongkan diri.16
Ilmu pengetahuan yang dicapai oleh manusia haruslah bertujuan:
Pertama: untuk mencapai kebenaran obyektif sesuai dengan kerangka dasar keilmuan,
yang didalam Al-Qur’an diungkapkan dengan tema faatba’a sababa (untuk mengungkap
hukum sebab dan akibat), yang kemudian di kenal sebagai hukum kausalitas alam, yang
oleh Al-Qur’an digambarkan tidak akan mengalami pergantiandan perubahan,
sebagaimana difirmankan dalam (QS. Fathir: 43).
Artinya: “karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka)
yang jahat. rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang
merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya)
sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali
kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula)
akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu”.
Kedua: untuk tujuan kesejahteraan mansuia, yang oleh Al-Qur’an digunakan untuk
memakmurkan dunia sebagai khalifah. Misalnya dalamayat QS.Al-Jathiyah : 13):
Artinya: “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-

16
Hadi Masruri, filsafat sains dalam Al Qur’an, (Malang: UIN Malang Press, 2007), hlm. 114

Aksiologi dalam Pendidikan| 8


benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”. (QS. Al-Jathiyah
:13).
Ketiga: Bahwa ilmu pengetahuan yang dicapai oleh manusia, dalam pandangan Al-
Qur’an untuk diamalkan sebagai hamba Allah, sebagaimana yang difirmankan dalam (QS.
Al-Saff :3):
Artinya: Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak
kamu kerjakan. (QS. Al-Saff :3). Lebih dari itu, Islam juga mengatur bagaimana seseorang
mengamalkan ilmu pengetahuan yang telah didapat, dan hendaknya sesuai dengan al-hal
berikut ini:
Pertama, harus tepat sasaran, dan bertujuan untuk kemaslahatan manusia sesuai
dengan spirit syari’at Islam itu sendiri yang dibangun di atas azas maslahat (al Masali al-
mursalah), sehingga ilmu pengetahuan menjadi sarat nilai dantidak bebas nilai.
Kedua, Tidak digunakan dalam rangka melanggar syari’at Islam, sehingga merugikan
orang lain, sebagaimana dikatakan: “Barang siapa yang bertambah ilmunya dan tidak
bertambah pula petunjuk Allah, niscaya ia semakin menjauh dari Allah”; Dan dalam
hikmah Arab disebutkan: “Ilmu pengetahuan tanpa agama menjadi buta, dan agama tanpa
ilmu pengetahuan menjadi lumpuh”.
Ketiga, untuk tujuan kebaikan (islah) menuju kehidupan yang lebih baik, lebih
berkualitas dan lebih bermakna. Difirmankan oleh Allah dalam (QS. Al-Isra’ :7):
Artinya: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan
jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang
saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (kami datangkan orang-orang lain) untuk
menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana
musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-
habisnya apa saja yang mereka kuasai”.(QS. Al-Isra :7).
Terkait dengan itu, maka berikut ini dikemukakan beberapa proposisi tentang
kemungkinan islamisasi dalam aksiologi, yakni ;
1. Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral,
melainkan mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola
sesuai dengan “maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi
manusia. “Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang emban
dari Tuhan.
2. Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas
fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran maka corak ilmu yang dihasilkan

Aksiologi dalam Pendidikan| 9


akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena
yang diteliti.
3. Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar
rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio
dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan
konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.
Dapatlah dipahami bahwa secara metodologis, pertimbangan nilai dapat
tereksplikasikan dalam ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan Islam. Dengan
demikian, ilmu pengetahuan dapat diorientasikan pada weltans-chauung (pandangan
dunia), mendudukkan weltanschau-ung pada strata tertinggi, yakni fakta, pengamatan dan
pemaknaan semuanya diwarnai oleh weltanschauung Islami.

E. Implikasi Aksiologi dalam Pendidikan


1) Aksiologi dalam Pendidikan Islam
Implikasi aksiologi dalam dunia pendidikan adalah menguji dan mengintegrasikan
nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan membinakannya dalam
kepribadian peserta didik. Memang untuk menjelaskan apakah yang baik itu, benar, buruk
dan jahat bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi, baik, benar, indah dan buruk, dalam arti
mendalam dimaksudkan untuk membina kepribadian ideal anak, jelas merupakan tugas
utama pendidikan.
Pendidikan harus memberikan pemahaman/pengertian baik, benar, bagus, buruk dan
sejenisnya kepada peserta didik secara komprehensif dalam arti dilihat dari segi etika,
estetika dan nilai sosial. Dalam masyarakat, nilai-nilai itu terintegrasi dan saling
berinteraksi. Nilai-nilai di dalam rumah tangga/keluarga, tetangga, kota, negara adalah
nilai-nilai yang tak mungkin diabaikan dunia pendidikan bahkan sebaliknya harus
mendapat perhatian.
Ajaran Islam merupakan perangkat sistem nilai yaitu pedoman hidup secara Islami,
sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Aksiologi Pendidikan Islam berkaitan dengan nilai-
nilai, tujuan, dan target yang akan dicapai dalam pendidikanIslam. Sedangkan tujuan
pendidikan Islam menurut Abuddin Nata adalah untuk mewujudkan manusia yang shaleh,
taat beribadah dan gemar beramal untuk tujuan akherat.17

17
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakata: Kencana, 2008), hlm. 2

Aksiologi dalam Pendidikan| 10


2) Aksiologi bagi ilmu dan teknologi
Hasil ilmu pendidikan adalah konsep-konsep ilmiah tentang aspek dan dimensi
pendidikan sebagai salah satu gejala kehidupan manusia. Pemahaman tersebut secara
potensial dapat dipergunakan untuk lebih mengembangkan konsep-konsep ilmiah
pendidikan, baik dalam arti meningkatkan mutu (validitas dan signifikan) konsep-konsep
ilmiah pendidikan yang telah ada, maupun melahirkan atau menciptakan konsep-konsep
baru, yang secara langsung dan tidak langsung bersumber pada konsep-konsep ilmiah
pendidikan yang telah ada. Dengan kata lain, pemahaman terhadap konsep-konsep ilmiah
pendidikan secara potensial mempunyai nilai kegunaan untuk mengembangkan isi dan
metode ilmu pendidikan, mengembangkan mutu professional teoretikus dan praktisi
pendidikan.
3) Aksiologi Kegunaan bagi praktek pendidikan
Pemahaman tenaga kependidikan secara konprehensif dan sistematis turut serta dalam
menumbuhkan rasa kepercayaan diri dalam melakukan tugas-tugas profesionalnya. Hal ini
terjadi karena konsep-konsep ilmiah pendidikan menerangkan prinsip-prinsip bagaimana
orang melakukan pendidikan. Penguasaan yang mantap terhadap konsep-konsep ilmiah
pendidikan memberikan pencerahan tentang bagaimana melakukan tugas-tugas
profesional pendidikan.
Apabila hal ini terjadi, maka seorang tenaga pendidikan akan dapat bekerja konsisten
dan efisien, karena dilandasi oleh prinsip-prinsip pendidikan yang jelas terbaca dan kokoh.
Tindakan-tindakannya akan menunjukan arah yang lebih jelas, dan bentuknya pun tidak
asal-asalan, tetapi lebih terpola yang dipilih berdasarkan pertimbangan prinsip-prinsip
pendidikan yang diyakini dan dianutnya.

Aksiologi dalam Pendidikan| 11


KESIMPULAN
Dari pembahasan, maka kesimpulan penulisan makalah ini adalah :
Dengan mengetahui dimensi aksiologi dalam pengembangan ilmu menunjukkan
bahwa Cakupan obyek filsafat lebih luas dibandingkan dengan ilmu, karena ilmu hanya
terbatas pada persoalan yang empiris saja, sedangkan filsafat mencakup yang empiris dan
yang non empiris. Karena itulah, filsafat disebut sebagai induk ilmu.
Dengan menganalisis etika dan estetika keilmuan dalam aksiologi menunjukkan
bahwa fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang
atau memberi pemaknaan bahwa etika sebagai prinsip atau standar perilaku manusia, yang
kadang – kadang disebut dengan moral. Kegiatan menilai dibangun berdasarkan toleransi
atau ketidakpastian. Hal ini berlaku dalam semua ilmu, termasuk ilmu eksakta. Perubahan
ilmu dilandasi oleh prinsip toleransi.
Dengan menganalisis fungsi matematika dalam aksiologi menunjukkan bahwa
Matematika sebagai ilmu dasar, dipergunakan dalam berbagai bidang ilmu, baik
matematika sebagai pengembangan aljabar maupun statistik. Matematika dalam ilmu
sosial juga dikembangkan sebagai sosiometri, psychometric, ekonometri, dan sebagainya.

Aksiologi dalam Pendidikan| 12


KEPUSTAKAAN

Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakata: Kencana, 2008)


Ahmad Tafsir, filsafat ilmu, (Bandung:Rosdakarya, 2006)
Aksiologi Ilmu, dalam http://adikke3ku.wordpress.com/2012/02/110/aksiologi-ilmu
diakses tanggal 25 April 2018
Djuberansyah Indar, Filsafat Pendidikan (Surabaya: Karya Abdi Tama, 1994)
Filsafat Pendidikan, dalam http://dedihendriana.wordpress.com/2012/02/10/filsafat-
pendidikan, di akses tanggal 17 September 2012
Hadi Masruri, filsafat sains dalam Al Qur’an, (Malang: UIN Malang Press, 2007)
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan Metode. Yogyakarta:
Andi Offset, 1990)
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Baya Madya Pratama. 1997)
K. Bertens. Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000)
S. Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1996)
Sahabuddin, Filsafat Pendidikan suatu Pengantar kedalam Pemikiran, Pemahaman,
dan Pengamalan Pendidikan Bersendikan Filsafat (Ujung Pandang: Program Pascasarjana
IKIP, 1997
Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1986)
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2007)

Aksiologi dalam Pendidikan| 13

Anda mungkin juga menyukai