Anda di halaman 1dari 48

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dunia yang semakin menyatu dalam satu kesatuan yang utuh melalui

globalisasi sudah menjadi suatu kenyataan. Saat ini, bukan saja isu perekonomian

dan perdagangan yang semakin menyatu, namun juga berbagai isu lain seperti

demokratisasi, ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi dan informasi, bahkan

pendidikan. Menurut Subandowo (dalam Suriarta, 2016:1) era globalisasi telah

merubah paradigma yang sangat besar dalam sector produktivitas yang menyangkut

kekayaan suatu negara. Pada masa lampau kekayaan suatu negara dipandang

berkaitan erat dengan sumber – sumber kekayaan alam yang dimilikinya. Akan

tetapi, untuk ukuran sekarang kekayaan seatu negara sangat ditentukan oleh

kemampuan sumber daya manusia yang mampu mengubah sumber – sumber daya

alam menjadi produk atau jasa yang berharga berdasarkan ilmu pengetahuan,

investasi, gagasan dan inivasi.

Sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia menghadapi berbagai

macam permasalahan yang kompleks. Untuk mampu bersaing dengan negara lain,

Indonesia harus mampu melahirkan sumber daya manusia yang memiliki sumber

daya pembangunan yang handal, kompeten dan berkarakter. Sumber daya yang

demikian hanya dapat diwujudkan melalui peningkatan mutu pendidikan pada

berbagai aspek kehidupan bangsa. Hal ini sejalan dengan pendapat Nurhidayah

(dalam Suriarta, 2016:1) bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas
2

sumber daya manusianya, sedangkan kualitas sumber daya manusia tergantung

pada kualitas pendidikannya. Pembangunan bidang pendidikan harus diarahkan

pada pengembangan sumber daya manusia yang bermutu tinggi, guna menghadapi

tantangan hidup di masa depan.

Melalui pendidikan, sumber daya pembangunan yang harus diwujudkan pada era

globalisasi adalah generasi – generasi muda yang memiliki kemampuan berpikir

tingkat tinggi (high order thinking), seperti kemampuan memecahkan masalah,

penalaran logis, berkomunikasi, berfikir kritis, kreatif, cermat, cepat dan tepat.

National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) (dalam Suriarta,

2016:2) menyatakan bahwa standar matematika sekolah meliputi standar isi

(mathematical content) dan stndar proses (mathematical processes). Standar proses

meliputi pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan bukti (reasoning

and proof), komunikasi (communication), koneksi (connections) dan representasi

(representation). Pendapat NCTM ini sejalan dengan tujuan yang tercantum dalam

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (dalam Suriarta, 2016:2) dimana salah satu

tujuan yang harus dicapai yaitu siswa mampu menggunakan penalaran pada pola

dan sifat, melakuakan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi,

menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. Depdiknas

(dalam Suriarta, 2016:2) menyatakan bahwa materi matematika dan penalaran tidak

dapat dipisahkan karena untuk memahami matematika dibutuhkan penalaran dan

penalaran dipahami dan dilatih melalui belajar matematika. Shadiq (dalam Suriarta,

2016:2) juga mengungkapkan bahwa kemampuan penalaran tidak hanya

dibutuhkan siswa ketika mereka belajar matematika, tapi dibutuhkan agar kelak
3

mereka menjadi manusia yang dapat menganalisa setiap masalah yang muncul

secara jernih, memecahkan masalah dengan tepat, dapat menilai suatu secara kritis

dan obyektif serta dapat menarik kesimpulan secara logis. Sudah sangat jelas bahwa

penalaran tidak hanya penting dalam memahami materi matematika namun,

penalaran juga merupakan suatu alat yang esensial untuk mengatasi masalah dalam

kehidupan sehari – hari. Selanjutnya, Baroody (dalam Suriarta, 2016:3)

mengungkapkan ada 4 alasan mengapa penalaran penting untuk matematika dan

kehidupan sehari – hari, yaitu: (1) the reasoning needed to do mathematics. Ini

berarti penalaran memainkan peran penting dalam pengembangan dan aplikasi

matemtika; (2) the need for reasoning in school mathematics. Meningkatkan

penalaran matematis siswa merupakan hal pokok untuk mengembangkan daya

matematis siswa; (3) reasoning involved in other content areas. Ini berarti

keterampilan –keterampilan penalaran dapat diterapkan pada ilmu – ilmu lain; (4)

reasoning for everyday life. Ini berarti penalaran suatu alat yang esensial untuk

mengatasi masalah kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, diperlukan pembelajaran yang lebih memfokuskan pada

proses pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik untuk meningkatkan

kemampuan penalaran matematis siswa. Salah satu model pembelajaran yang dapat

diterapkan dalam pembelajaran matematika yang berkaitan dengan kemampuan

penalaran matematis adalah model pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA).

Means-Ends Analysis ini merupakan suatu model pembelajaran bervariasi

antara metode pemecahan masalah dengan sintaks dalam penyajian materinya

menggunakan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristik, yaitu


4

memecahkan suatu masalah ke dalam dua atau lebih subtujuan (Pratiwi, 2016:3).

Menurut Rosalin sintaks atau langkah – langkah pembelajarannya yaitu sajikan

materi dengan pemecahan masalah berbasis heuristic, elaborasi menjadi subsub

masalah yang lebih sederhana, identifikasi perbedaan, susun sub – sub masalah

sehingga terjadi koneksivitas, pilih strategi solusi (Pratiwi, 2016:3).

Upaya untuk mendukung berlangsungnya pembelajaran model Means-Ends

Analysis (MEA), diperlukan pembelajaran yang menggunakan pendekatan yang

membangun pemahaman siswa. Nurhajati (2014:3) menyatakan, menurut teori

konstruktivisme, salah satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan

adalah bahwa guru tidak hanya sekadar memberikan pengetahuan untuk siswa.

Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat

memberikan kemudahan untuk proses ini. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut,

maka model pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA) dengan pendekatan

konstruktivisme diharapkan mampu menumbuhkan kerja sama tim dalam

kelompok, meningkatkan keaktifan siswa, siswa mampu menyampaikan ide-

ide/gagasan yang berhubungan dengan materi yang sedang dipelajari, sehingga

mampu meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul “Efektivitas Model Pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA)

Dengan Pendekatan Konstruktivisme Untuk Meningkatkan Kemampuan

Penalaran Matematis Siswa SMK Kelas X”.


5

1.2 Batasan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut, maka permasalahan

penelitian ini dibatasi pada efektivitas model pembelajaran Means-Ends Analysis

(MEA) dengan pendekatan konstruktivisme untuk meningkatkan kemampuan

penalaran matematis siswa kelas X Akuntansi SMK Negeri 1 Kolaka.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana keefektifan model pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA)

dengan pendekatan konstruktivisme untuk meningkatkan kemampuan

penalaran matematis siswa kelas X Akuntansi SMK Negeri 1 Kolaka?

2. Apakah ada peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa dalam

penerapan model pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA) dengan

pendekatan konstruktivisme siswa kelas X Akuntansi SMK Negeri 1 Kolaka?

2.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui keefektifan model pembelajaran Means-Ends Analysis

(MEA) dengan pendekatan konstruktivisme untuk meningkatkan kemampuan

penalaran matematis siswa kelas X Akuntansi SMK Negeri 1 Kolaka.

2. Untuk mengetahui peningkatan penalaran matematis siswa dalam penerapan

model pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA) dengan pendekatan

konstruktivisme siswa kelas X Akuntansi SMK Negeri 1 Kolaka.


6

2.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan berguna dan memberi manfaat yang sebesar-

besarnya kepada semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan, diantaranya :

1. Bagi siswa, adanya model pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA) dengan

pendekatan konstruktivisme dapat meningkatkan kemampuan penalaran

matematis siswa.

2. Bagi guru, dapat menjadi alternatif pilihan bagi guru dalam meningkatkan

kemampuan penalaran matematis siswa.

3. Bagi sekolah, sebagai bahan informasi atau masukan bagi sekolah yang

bersangkutan dalam pengambilan kebijakan untuk meningkatkan kemampuan

penalaran matematis siswa.

4. Bagi peneliti, dapat dijadikan bahan rujukan mengembangkan aspek lain dari

model pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA) dengan pendekatan

konstruktivisme.
7

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Kemampuan Penalaran Matematis

Penalaran menurut Ensiklopedia Wikipedia (dalam Suriarta, 2016:19)

adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik)

yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Sedangkan menurut

Suriasumantri (dalam Suriarta, 2016:19) penalaran merupakan suatu proses berfikir

dalam menarik suatu kesimpulan yang merupakan pengetahuan dan mempunyai

karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran. Penalaran matematika menurut

Thontowi (dalam Suriarta, 2016:19) adalah proses berfikir secara logis dalam

menghadapi masalah dengan mengikuti kententuan-ketentuan yang ada. Penalaran

dapat dikatakan sebagai suatu proses berfikir dalam menerik suatu kesimpulan yang

berupa pengetahuan. Jadi, kemampuan penalaran matematis yang dimaksud adalah

kemampuan befikir menurut alur kerangka befikir tertentu berdasarkan konsep atau

pemahaman yang telah dipahami sebelumnya. Kemudian konsep atau pemahaman

tersebut saling berhubungan satu sama lain dan diterapkan dalam permasalahan

baru sehingga didapatkan keputusan baru yang logis dan dapat dibuktikan

kebenarannya.

Indikator-indikator yang menunjukan adanya penalaran menurut Tim PPPG

matematika (dalam Suriarta, 2016:20) antara lain :

1. Menyajikan pertanyaan matematika secara lisan, tertulis, gambar dan diagram


8

2. Mengajukan dugaan (conjegtures)

3. Melakukan manipulasi matematika

4. Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap

beberapa solusi

5. Menarik kesimpulan dari pertanyaan

6. Memeriksa kesasihan suatu argument

7. Menentukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi

Sedangkan jihad (dalam Suriarta, 2016:20) menyatakan beberapa indikator

penalaran matematis yaitu:

1. Menarik kesimpulan logis

2. Memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat dan

hubungan

3. Memperkirakan jawaban dan proses solusi

4. Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematika

5. Menyusun dan menguji konjektur

6. Merumuskan lawan contoh (counter examples)

7. Menyusun argumen yang valid

8. Menyusun pembuktian langsung, tak langsung dan menggunakan induksi

matematika

Indikator kemampuan penalaran yang akan dijadikan fokus pada penelitian

ini adalah :

1. Memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat dan

hubungan
9

2. Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap

beberapa solusi

3. Memeriksa kesasihan suatu argumen

2.1.2 Pendekatan Kostruktivisme

Pendekatan dalam pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau

sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran yang merujuk pada pandangan

tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya

mewadahi, menginspirasi, menguatkan, melatari metode pembelajaran dengan

cakupan teoritis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua

jenis pendekatan, yaitu: (1) pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada

siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang

berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).

Proses belajar mengajar akan menentukan hasil yang akan diperoleh. Hasil

ini dapat dilihat dari kemajuan siswa dalam proses belajar. Siswa akan berperan

sebagai subjek yang melakukan proses dan guru berperan sebagai fasilitator. Maka

pendekatan akan bertujuan kepada siswa yang sedang belajar. Pendekatan ini akan

membutuhkan beberapa strategi, metode dan taktik dalam belajar. Inilah tugas dari

seorang guru. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan konstruktivisme.

Konstruktivisme artinya “kehidupan merancang atau membangun”. Asal

kata konstruktivisme yaitu “to construct” yang berarti “membentuk”.

Konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat yang mempunyai pandangan

bahwa pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi atau bentukan diri kita

sendiri. Dengan kata lain, kita akan miliki pengetahuan apabila kita terlibat aktif
10

dalam proses penemuan pengetahuan dan pembentukannya dalam diri kita. Agus

Suprijoni (dalam Hamid, 2011:17) berpendapat bahwa semua pengetahuan adalah

hasil dari kegiatan atau tindakan seseorang. Tanpa adanya interaksi/tindakan

dengan objek, seseorang tidak dapat mengonstruksi pengetahuan.

Teori konstruktivisme ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan

sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru

dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai

lagi (asimilasi dan akomodasi). Satu ide dari Vygostky adalah scaffolding yakni

“pemberian bantuan kepada anak selama tahap-tahap awal perkembangan dan

mengurangi bantuan tersebut dan memberi kesempatan pada anak untuk mengambil

alih tanggungjawab yang semakin besar segera setelah anak dapat melakukannya.

Control belajar dipegang oleh sibelajar. Bantuan yang diberikan pada

pembelajaran dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah

kedalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky

menggunakan istilah Zo-ped yaitu suatu wilayah tempat bertemunya antara

pengertian spontan anak (pengertian yang didapatkan dari pengalaman sehari-hari)

dengan pengertian sistematis, logis orang dewasa. Teori Vygotsky menekankan

pada hakikat sosiokultural dari pembelajaran, yang berlangsung ketika siswa

bekerja dalam Zone of proximal depelopment yaitu tingkat perkembangan sedikit

diatas tingkat perkembangan seorang anak saat ini.

Piaget juga mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif

oleh seorang. Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan

terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan


11

kemampuan yang telah dimiliki untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya

tersebut dengan bantuan fasilitasi oaring lain.

Implementasi pendekatan konstruktivisme dalam kegiatan pembelajaran

perlu memerlukan beberapa komponen penting sebagai berikut: (1) belajar aktif

(active learning); (2) siswa terlibat dalam aktivitas pembelajaran yang bersifat

otentik dan situasional; (3) aktifitas belajar harus menarik dan menantang; (4) siswa

harus mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah dimiliki sebelumnya

dalam sebuah proses yang disebut “bridging”; (5) siswa harus merefleksikan

pengetahuan yang sedang dipelajari; (6) guru harus banyak berperan sebagai

fasilitator yang banyak membantu siswa dalam melakukan konstruksi pengetahuan.

Dalam hal ini, guru tidak lagi hanya sekedar berperan sebagai penyaji informasi;

(7) guru harus dapat memberi bantuan berupa scaffolding yang diperlukan oleh

siswa dalam menempuh proses belajar.

Setting pembelajaran konstruktivisme yang mendorong konstruksi

pengetahuan secara aktif memiliki beberapa ciri: (1) menyediakan peluang kepada

siswa belajar dari tujuan yang ditetapkan dan mengembangkan ide-ide secara lebih

luas; (2) mendukung kemandirian siswa belajar dan berdiskusi, membuat

hubungan, merumuskan kembali ide-ide dan menarik kesimpulan sendiri; (3)

sharing dengan siswa mengenai pentingnya pesan bahwa dunia adalah tempat yang

komplek dimana terdapat pandangan yang multi dan kebenaran sering merupakan

hasil interprestasi; (4) menempatkan pembelajaran berpusat pada siswa dan

penilaian yang mampu mencerminkan berpikir divergen siswa.


12

Proses pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme mempunyai

beberapa faktor-faktor yang melandasi kegiatan pembelajaran, yaitu:

1. Berikan kesempatan pada siswa untuk melakukan dalam belajar konteks nyata.

Belajar terjadi manakala siswa menerapkan pengetahuan yang dipelajari dalam

mengatasi permasalahan.

2. Ciptakan aktifitas belajar kelompok. Belajar merupakan sebuah proses yang

berlangsung melalui interaksi sosial antara guru dan siswa dalam menggali dan

mengaplikasikan kombinasi pengetahuan yang telah mereka miliki.

3. Ciptakan model dan arahkan siswa untuk mendapat menkonstruk pengetahuan.

Guru dan siswa bekerja sama untuk mencari solusi terhadap suatu permasalahan.

Guru yang pada umumnya memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebuh

luas/ekstensif, perlu memberi arah yang konsisten agar siswa dapat memperoleh

pengalaman belajar yang bermakna.

Gagnon dan Collay (dalam Hamid, 2011:19) mengemukakan sebuah desain

system pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivisme. Desain yang

dikemukakan terdiri atas beberapa komponen penting dalam pendekatan aliran

konstruktivisme yaitu:

1. Situasi

Kompenen ini menggambarkan secara komprehensif tentang maksud dan

tujuan dilaksanakannya aktivitas pembelajaran.

2. Pengelompokan

Kompenen ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan

interaksi dengan sejawat.


13

3. Pengaitan

Kompenen ini dilakukan untuk menghubungkan pengetahuan yang telah

dimiliki oleh siswa dengan pengetahuan yang baru (asimilasi).

4. Pertanyaan

Kompenen ini merupakan hal yang penting dalam aktivitas pemebelajaran

karena akan memunculkan gagasan asli yang merupakan inti dari pendekatan

konstruktivisme.

5. Eksibisi

Kompenen ini dapat mengetahui pengetahuan seperti apa yang telah

dibangun oleh siswa setelah mengikuti proses pembelajaran.

6. Refleksi

Kompenen ini pada dasarnya memberikan kesempatan pada siswa untuk

berfikir kritis tentang pengalaman belajar yang telah mereka tempuh baik secara

personal maupun kolektif dengan bimbingan dari guru (scaffolding).

Beberapa kelebihan pendekatan konstruktivisme:

1. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasan dengan

Bahasa sendiri.

2. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamanya

sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif.

3. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.

4. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki

siswa.

5. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka.


14

6. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Beberapa kekurangan pendekatan konstruktivisme:

1. Pendekatan ini akan membutuhkan banyak waktu.

2. Tidak semua siswa aktif dalam pembelajaran. Hal ini agak sedikit merepotkan

guru untuk memotivasi siswa.

3. Saat siswa mengkonstruksi pengetahuan akan terdapat miskonsepsi karena

setiap siswa mempunyai pendapat yang berbeda dalam pembelajaran.

4. Terkadang RPP yang telah dibuat akan mengalami perubahan saat

pelaksanaannya.

2.1.3 Model Pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA)

Model pembelajaran means ends analysis yang disingkat menjadi MEA

adalah variasi dari pembelajan dengan pemecahan masalah (problem solving).

Secara etimologis, Means-Ends Analysis terdiri dari tiga unsur kata yaitu Means,

Ends, dan Analysis. Means yang berarti cara, Ends yang berarti tujuan, serta

Analysis yang berarti menyelidiki dengan sistematis. Secara keseluruhan, strategi

Means-Ends Analysis (MEA) bisa diartikan sebagai suatu strategi untuk

menganalisis permasalahan melalui berbagai cara untuk mencapai tujuan akhir

yang diinginkan.

Newell dan Simon (dalam Pratiwi, 2016:13) menyatakan bahwa,

mengembangkan suatu jenis pemecahan masalah dengan berdasarkan strategi

heuristic yang lebih umum, yang disebut MEA. Melalui model MEA seseorang

yang menghadapi masalah mencoba membagi permasalahan menjadi bagian

tertentu dari permasalahan tersebut. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan


15

bahwa MEA merupakan pengembangan suatu jenis pemecahan masalah dengan

berdasarkan suatu strategi yang membantu peserta didik dalam menemukan cara

penyelesaian masalah melalui penyederhanaan masalah yang berfungsi sebagai

petunjuk untuk memilih cara yang paling efektif dan efisien dalam memecahkan

masalah yang diberikan.

Model MEA mengoptimalkan kegiatan pemecahan masalah dengan

pendekatan heuristic yaitu berupa rangkaian pertanyaan yang merupakan petunjuk

untuk membantu peserta didik dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Proses

pembelajaran MEA memotivasi peserta didik untuk aktif dalam pembelajaran

terutama diskusi dan pemecahan masalah. Guru hanya berperan sebagai fasilitator

dan pengonfirmasi pendapat peserta didik. Peserta didik mengelaborasi masalah

menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana dengan memperhatikan bahwa

peserta didik dituntuk mampu memahami soal atau masalah yang diberikan.

Kemudian mengidentifikasi perbedaan antara kenyataan yang diperoleh dengan

tujuan yang ingin dicapai, setelah itu peserta didik menyusun sub-sub masalah tadi

agar terjadi konektivitas anatara sub masalah yang satu dengan sub masalah yang

lain dan menjadikannya kesatuan. Pada tahap ini peserta didik memikirkan solusi

yang paling tepat, efektif dan efisien untuk menyeesaikan masaah yang diebrikan.

Perlu dilakukan pengecekan kembali untuk melihat hasil pengerjaan dan

mengoreksi jika terdapat kesalahan perhitungan atau kesalahan pemilihan strategi.

Parwati (2016:15) mengemukakan bahwa langkah-langkah model

pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA) adalah sebagai berikut:


16

Tabel 2.1 Langkah-langkah Model Pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA)

Fase Indikator Tingkah Laku Guru


1 Orientasi siswa pada Menjelaskan tujuan
masalah pembelajaran, menjelaskan
logistik yang diperlukan
dan memotivasi siswa
terlibat pada aktivitas
pemecahan masalah
2 Mengorganisasikan siswa Membantu siswa
untuk belajar mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas
belajar yang berhubungan
dengan masalah tersebut
3 Membimbing pengalaman Mendorong siswa utuk
individual/kelompok mengumpulkan informasi
yang sesuai, melaksanakan
eksperimen untuk
mendapatkan penjelasan
dan pemecahan masalah
4 Mengidentifikasi dan Membantu siswa dalam
menyajikan hasil karya mengidentifikasi masalah,
menyederhanakan
masalah, hipotesis,
mengumpulkan data,
membuktikan hipotesis dan
menyiapkan karya yang
sesuai seperti laporan dan
membantu mereka untuk
berbagai tugas dengan
temannya
17

Fase Indikator Tingkah Laku Guru


5 Menganalisa dan Membantu siswa untuk
mengevaluasi proses melakukan refleksi atau
pemecahan masalah evaluasi terhadap
penyelidikan mereka dan
proses yang mereka
gunakan

Pembelajaran dengan model MEA menuntut peserta didik untuk

berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Sehingga peserta didik yang

dominan berperan dalam proses pembelajaran, sedangkan guru hanya berperan

sebagai fasilitator dan motivator. Materi pembelajaran tidak disajikan dalam bentuk

jadi, tetapi harus merupakan temuan dari peserta didik sehingga pembelajaran akan

semakin bermakna.

Model MEA memiliki keunggulan dalam penerapannya dalam proses

pembelajaran. Adapun keunggulannya adalah sebagai berikut: (1) Peserta didik

dapat terbiasa untuk memecahkan/menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah

matematik; (2) Peserta didik berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran dan

sering mengekspresikan idenya; (3) Peserta didik memiliki kesempatan lebih

benyak dalam memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan matematik; (4) Peserta

didik dengan kemampuan matematika rendah dapat merespon permasalahan

dengan cara mereka sendiri; (5) Peserta didik memiliki pengalaman banyak untuk

menemukan sesuatu dalam menjawab pertanyaan melalui diskusi kelompok; (6)

Strategi heuristik dalam MEA memudahkan siswa dalam memecahkan masalah

matematik. Selain memiliki keunggulan, model MEA juga memiliki kelemahan.


18

Kelemahan tersebut sebagai berikut: (1) Membuat soal pemecahan masalah yang

bermakna bagi peserta didik bukan merupakan hal yang mudah; (2)

Mengemukakan masalah yang langsung dapat dipahami peserta didik sangat sulit

sehingga banyak peserta didik yang mengalami kesulitan bagaimana merespon

masalah yang diberikan; (3) Lebih dominannya soal pemecahan masalah terutama

soal yang terlalu sulit untuk dikerjakan, terkadang membuat peserta didik jenuh; (4)

Sebagian peserta didik bisa merasa bahwa kegiatan belajar mereka tidak

menyenangkan karena kesulitan yang mereka hadapi.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa pembelajaran Means-

Ends Analysis mengantarkan siswa pada suatu konsep baru yang mereka temukan

dari hasil memecahkan masalah. Proses memecahkan masalah menggunakan

kemampuan yang dimiliki berpengaruh terhadap disposisi matematis siswa. Siswa

yang terbiasa dihadapkan dengan masalah dari mampu menyelesaikannya akan

menjadi lebih percaya diri dan tidak mudah menyerah menghadapi tantangan.

Selain itu, Proses pemecahan masalah menggunakan strategi Means-Ends Analysis

dilakukan secara bertahap, artinya dari masalah yang diberikan, dibuat sub-sub

masalah yang kemudian akan diselesaikan oleh siswa satu persatu sehingga tidak

membebani siswa.

2.1.4 Pembelajaran Konvensional

Menurut Depdiknas (dalam Sudiarta, 2016:25) konvensional mempunyai

arti berdasarkan konvensi (kesepakatan) umum (seperti adat, kebiasaan, kelaziman,

tradisional). Proses belajar mengajar dikelas sebagaimana yang sudah lazim

digunakan dalam kegiatan pembelajaran di kelas disebut pendekatan pembelajaran


19

konvensional. Pendekatan pembelajaran konvensional merupakan pendekatan yang

dilakukan dengan mengkombinasikan macam-macam metode pembelajaran.

Dalam praktinya, metode ini berpusat pada guru (teacher centered), guru lebih

mendominasi dalam kegiatan pembelajaran. Metode pembelajaran yang digunakan

berupa metode ceramah, pemberian tugas, dan tanya jawab. Pendekatan

konvensional merupakan pendekatan yang banyak dilaksanakan di sekolah saat ini,

yang menggunakan urutan kegiatan pemberian uraian contoh dan latihan. Dengan

demikian, pendekatan pembelajaran ini lebih dekat dengan metode ceramah. Dalam

hal ini, gurulah yang menjadi penentu jalannya proses pembelajaran atau menjadi

sumber informasi. Sementara siswa pasif dengan mendengarkan ceramah secara

cermat dan mencatat hal-hal yang dianggap penting.

Hasibuan dan Mudjiono (dalam Sudiarta, 2016:26) menjelaskan metode

ceramah merupakan metode penyampaian bahan dengan komunikasi lisan. Metode

ini ekonomi dan efektif bila untuk menyampaikan informasi dan pengertian. Akan

tetapi, dalam pembelajaran dengan metode ini siswa cenderung bersifat pasif,

menempatkan pengajar sebagai otoritas terakhir., pengaturan kecepatan secara

klasikal ditentukan oleh pengajar, sehingga metode ini kurang cocok untuk

membentuk keterampilan dan sikap siswa.

Metode tanya jawab yang digunakan dalam proses pembelajaran sangat

besar perannya karena dengan pertanyaan yang dirumuskan secara baik dengan

teknik pengajuan yang tepat, maka akan dapat:

1. Meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar.


20

2. Membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap masalah yang sedang

dibicarakan.

3. Mengembangkan pola pikir dan belajar aktif siswa.

4. Menuntun proses berpikir, sebab pertanyaan yang baik membantu siswa agar

dapat menentukan jawaban yang baik.

5. Memusatkan perhatian siswa terhadap masalah yang sedang dibahas.

Metode pemberian tugas dalam istilah sehari-hari disebut dengan pekerjaan

rumah. Sebenarnya metode ini lebih luas daripada pekerjaan rumah karena siswa

belajar tidak saja di rumah tetapi mungkin di laboratorium, di perpustakaan atau di

tempat-tempat tertentu lainnya. Dalam pelaksanaan ini terdiri atastiga fase yaitu

guru memberi tugas, siswa mengerjakan dan kemudian siswa mempertanggung

jawabkan kepada guru apa yang telah dipelajari, dikerjakan, umumnya dalam

penerapannya dalam bentuk tanya jawab, diskusi atau sebuah tes tertulis.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendekatan

pembelajaran konvensional dalam penelitian ini adalah pendekatan pembelajaran

yang mengkombinasikan metode ceramah, tanya jawab, dan pemberian tugas dalam

proses pembelajaran dikelas. Menurut Herman (dalam Sudiarta, 2016:27)

pembelajaran konvensional memiliki krakteristik antara lain: (1) berpusat pada

guru; (2) guru menjelaskan melalui metode ceramah (chalk and talk); (3) siswa

pasif; (4) pertanyaan siswa jarang muncul; (5) berorientasi pada suatu jawaban yang

benar; (6) aktivitas kelas yang sering dilakukan hanya mencatat.

Kelebihan pendekatan konvensional adalah:

1. Menghemat waktu dan biaya


21

2. Siswa dapat mengorganisasi pertanyaan-pertanyaan yang lebih baik dan bebas

atas materi pembelajaran yang diajarkan

3. Siswa yang mempunyai kemampuan memahami materi lebih cepat dapat

membantu temannya yang lambat

4. Guru lebih mudah memahami kemampuan siswa dan karakteristiknya

Kelemahan pendekatan konvensional adalah:

1. Pengalaman siswa sangat bergantung pada pengetahuan dan pengalaman guru

2. Guru aktif mentransfer pengetahuannya, sementara siswa hanya menerima

pengetahuan dari guru

3. Penyebaran kawasan instruksional tidak memungkinkan siswa untuk belajar

aktif

2.1.5 Sistem Persamaan Linier Dua Variabel (SPLDV)

Menurut M. Cholik. A dan Sugijono (dalam Wahyuni, 2009:39) sistem

persamaan linier dua variabel (peubah) merupakan suatu sistem yang terdiri dari

dua persamaan yang tepat memiliki dua variabel, yang mana masing-masing

variabelnya berpangkat satu. Sistem Persamaan Linier Dua Variabel biasa disingkat

SPLDV.

Sistem persamaan linier dua variabel dalam variabel x dan y dapat ditulis

sebagai:

ax  by  c a1 x  b1 y  c1
 atau 
 px  qy  r a2 x  b2 y  c2
22

Dengan a, b, c, p, q, dan r atau a1 , b1 , c1 , a 2 , b2 , dan c2 merupakan

bilangan-bilangan real dan x, y adalah variabel terikat dari sistem persamaan linier

dua variabel.

(Sumber: Wahyuni, 2009:40)

Berdasarkan kurikulum yang berlaku sekarang ini, sistem persamaan linier

dua variabel yang dipelajari di SMK kelas X semester 1 membahas tentang metode-

metode dalam menentukan himpunan penyelesaian yang merupakan pengganti dua

variabel yang memenuhi kedua persamaan dalam persamaan linier. Ada empat

metode yang akan dipelajari dalam menentukan penyelesaian dari suatu sistem

persamaan linier dua variabel antara lain: metode grafik, metode subtitusi, metode

eliminasi dan metode campuran antara metode eliminasi dan subtitusi.

2.2 Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Penelitian Nurhajati (2014) yang berjudul “Pengaruh Penerapan Pendekatan

Konstruktivisme Dengan Model Pembelajaran Kooperatif Berbantuan Program

Cabri 3D Terhadap Kemampuan Penalaran Dan Koneksi Matematis Siswa SMA

Di Kota Tasikmalaya”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan

penalaran dan koneksi matematis siswa kelompok bawah pada pembelajaran

kooperatif dengan pendekatan konstruktivisme berbantuan program Cabri 3D lebih

baik dibandingkan kemampuan kemampuan penalaran dan koneksi matematis

siswa pada pembelajaran kooperatif dengan pendekatan konstruktivisme tanpa


23

bantuan Cabri 3D dan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa penerapan pendekatan

konstruktivisme dengan model pembelajaran kooperatif berbantuan program Cabri

3D berpengaruh terhadap kemampuan penalaran dan koneksi matematis.

Penelitian Suriarta (2016) yang berjudul “Pengaruh Pembelajaran Berbasis

Masalah dengan LKS Berbasis Konstruktivisme untuk Meningkatkan Kemampuan

Penalaran Matematis Siswa SMP Kelas VIII”. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa pada kelompok

eksperimen adalah 0,2 dengan standar deviasi 0,117 sedangkan peningkatan

kemampuan penalaran penalaran matematis siswa pada kelompok kontrol adalah

0,08 dengan standar deviasi 0,09. Sehingga disimpulkan bahwa peningkatan

kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapat pembelajaran berbasis

masalah dengan LKS berbasis konstruktivisme lebih tinggi daripada peningkatan

kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran

konvensisonal.

Penelitian Hamid (2011) yang berjudul “Upaya Meningkatkan Aktivitas

Belajar Matematika Siswa Melalui Pendekatan Konstruktivisme”. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa dalam pendekatan konstruktivisme pada pembelajaran

dengan strategi Tutor Sebaya dapat meningkatkan aktivitas belajar matematika

siswa dan hasil belajar matematika siswa.

Penelitian Budiyani (2009) yang berjudul “Efektivitas Pendekatan

Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika Ditinjau dari Aktivitas Belajar

Siswa SMP”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prestasi belajar matematika
24

siswa dengan aktivitas belajar yang tinggi lebih baik daripada prestasi belajar siswa

dengan aktivitas belajar yang sedang, prestasi belajar matematika siswa dengan

aktivitas belajar yang sedang lebih baik daripada prestasi belajar siswa dengan

aktivitas belajar yang rendah. Berarti karakteristik perbedaan antara pendekatan

konstruktivisme dan pendekatan konvensional untuk tiap aktivitas belajar siswa

sama. Ini berarti pendekatan konstruktivisme lebih baik daripada pendekatan

konvensional jika ditinjau pada masing-masing aktivitas belajar siswa.

Penelitian Pratiwi (2016) yang berjudul “Keefektifan Implementasi Model

Pembelajaran Means-Ends Analysis dengan Brainstorming Terhadap Hasil Belajar

Peserta Didik SMP Kelas VII Materi Pokok Segiempat”. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa model pembelajaran means-ends analysis dengan

brainstorming efektif terhadap hasil belajar peserta didik SMP kelas VII materi

pokok segiempat.

2.3 Kerangka Pemikiran

Objek kajian matematis adalah abstrak, maka diperlukan cara khusus yang

dilakukan oleh guru maupun siswa dalam mempelajari dan memahami matematika.

Berdasarkan fitrahnya manusia diberi kemampuan yang berbeda. Ada yang

berkemampuan tinggi juga ada yang berkemampuan rendah. Hal ini adalah salah

satu yang membedakan diantara manusia. Untuk itu, guru harus bisa memilah-

milah model pembelajaran apa yang akan digunakan agar dapat terserap dengan

baik oleh siswa.

Sebagai mata pelajaran yang dipelajari pada setiap jenjang pendidikan

sekolah, matematika diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam rangka


25

mengembangkan kemampuan berfikir secara kritis, sistematis, logis, kreatif, dan

kemampuan untuk bekerjasama secara efektif. Tujuan pembelajaran matematika

seperti yang tercantum dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 tahun

2006 salah satunya adalah menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan

manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau

menjelaskan gagasan dan pernyataan matematik. Oleh karena itu, kemampuan

penalaran sangat berpengaruh dalam pembelajaran matematika. Bila kemampuan

penalaran tidak dikembangkan pada siswa, maka siswa matematika hanya akan

menjadi materi yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-contoh

tanpa mengetahui maknanya. Kemampuan penalaran tidak hanya penting dalam

memahami materi matematika namun penalaran juga merupakan suatu alat yang

esensial untuk mengatasi masalah dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan

harapan agar siswa memiliki kemampuan penalaran yang baik, tentu dibutuhkan

suatu model pembelajaran yang dapat membantu siswa mengembangkan

keterampilan berpikir tingkat tinggi khususnya kemampuan penalaran matematis.

Penulis mencoba memberikan suatu alternatif model pembelajaran yang

berorientasi pada siswa dan membina seluruh potensi siswa. Salah satu model

pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA).

MEA merupakan suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa.

Dalam MEA, siswa dikondisikan untuk aktif memecahkan masalah yang diberikan

dengan menggunakan dan memperdayakan ide dan gagasan yang mereka miliki.

Model pembelajaran menekankan pada kemampuan peserta didik untuk

mengkonstruksi dan melakukan rekonstruksi terhadap pengetahuan dan


26

pengalaman yang mereka miliki dalam belajarnya dan mengarahkan siswa untuk

memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan

sehari-hari.

Saat ini terdapat beragam inovasi baru didalam dunia pendidikan terutama

pada proses pembelajaran. Salah satu inovasi tersebut adalah konstruktivisme.

Pemilihan pendekatan ini lebih dikarenakan agar pembelajaran membuat siswa

antusia terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mau memecahkan

persoalannya. Pembelajaran dikelas masih domain menggunkan pembelajaran

kovensional yang membosankan dan memacu kemampuan penalaran pada siswa,

padahal peserta didik dituntut untuk memiliki kemampuan tersebut dalam

kurikulum pendidikan di Indonesia. Maka, peneliti ingin menggunakan pendekatan

kostruktivisme dalam memancing siswa untuk membangun pengetahuannya

sendiri. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis

siswa, penelitian menerapkan model pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA)

dengan pendekatan konstruktivisme.

2.4 Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah peningkatan kemampuan

penalaran matematis siswa dalam penerapan model pembelajaran Means-Ends

Analysis (MEA) dengan pendekatan konstruktivisme siswa kelas X Akuntansi

SMK Negeri 1 Kolaka.


27

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah suatu penelitian eksperimen yang menerapkan

model pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA) dengan pendekatan

konstruktivisme untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa.

Penelitian ini melibatkan dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas

eksperimen merupakan kelompok siswa yang diberikan model pembelajaran

Means-Ends Analysis (MEA) dengan pendekatan konstruktivisme sedangkan

kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di SMK Negeri 1 Kolaka kelas X

Akuntansi tahun ajaran 2018/2019.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X Akuntansi SMK

Negeri 1 Kolaka yang terdiri dari 2 kelas.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah dengan memilih kelas yang telah

terbentuk sebelumnya sehingga tidak lagi dilakukan pengelompokan secara acak.


28

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan

pertimbangan bahwa materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah materi

kelas X dan penelitian membutuhkan dua kelompok kelas sehingga dipilih dua

kelas dengan asumsi bahwa kedua kelas tersebut memiliki kemampuan yang relatif

sama (homogen). Dari dua kelas tersebut, dipilih satu kelas digunakan sebagai kelas

eksperimen dan satu kelas lagi digunakan sebagai kelas kontrol.

3.4 Variabel dan Desain Penelitian

3.4.1 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari model pembelajaran Means-Ends

Analysis (MEA) (X1), pendekatan konstruktivisme (X2), serta kemampuan

penalaran matematis (Y).

3.4.2 Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kuasi eksperimen. Pada kuasi eksperimen

subyek tidak dikelompokkan secara acak, tetapi peneliti menerima keadaan subyek

apa adanya (Ruseffendi, 2003:47).

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Non-Equivalent Control

Group Design. Dalam desain ini, terdapat dua kelompok yang masing-masing

dipilih dengan asumsi bahwa kedua kelompok tersebut memiliki kemampuan yang

relatif sama. Kelompok yang mendapat perlakuan berupa model pembelajaran

Means-Ends Analysis dengan pendekatan konstruktivisme disebut kelompok

eksperimen dan kelompok yang tidak mendapat perlakuan disebut kelompok

kontrol. Rencana penelitian ini digambarkan sebagai berikut:


29

KE 01 X 02

-----------------------------

KK 03 - 04 (Sugiyono, 2014:118)

Keterangan:

KE : Kelompok Eksperimen

KK : Kelompok Kontrol

X : Perlakuan dengan model pembelajaran Means-Ends Analysis dengan

pendekatan konstruktivisme

- : Tidak mendapat perlakuan

01 : Tes awal (pretest) kepada kelas eksperimen

02 : Tes akhir (posttest) kepada kelas eksperimen

03 : Tes awal (pretest) kepada kelas kontrol

04 : Tes akhir (pretest) kepada kelas control

3.5 Devinisi Operasional

1. Kemampuan Penalaran Matematis

Kemampuan penalaran matematis yang dimaksud dalam penilitian ini

adalah: (1) Kemampuan memeriksa kesasihan suatu argumen; (2) kemampuan

memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat dan

hubungan; (3) kemampuan menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan

alasan atau bukti terhadap beberapa solusi.


30

2. Model Pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA)

Model pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA) yang dimaksud adalah

suatu pembelajaran yang mengantarkan siswa pada suatu konsep baru yang mereka

temukan dari hasil memecahkan masalah. Siswa yang terbiasa dihadapkan dengan

masalah dari mampu menyelesaikannya akan menjadi lebih percaya diri dan tidak

mudah menyerah menghadapi tantangan. Langkah-langkah yang digunakan dalam

pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA) adalah: (1) mengorientasikan siswa

pada masalah; (2) mengorganisasikan siswa untuk belajar; (3) membimbing

pengalaman individu/kelompok; (4) mengidentifikasi dan menyajikan hasil karya;

(5) menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

3. Efektivitas

Efektivitas adalah suatu tindakan untuk menyelesaikan pekerjaan atau

seberapa jauh target (kuantitas, kualitas, dan waktu) yang telah dicapai dengan tepat

guna dimana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu sehingga mencapai

tujuan yang diharapkan dengan maksimal. Efektivitas dalam penelitian ini

dikaitkan dengan pembelajaran sehingga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

4. Pendekatan Konstruktivisme

Pendekatan konstruktivisme adalah suatu pendekatan yang menekankan

pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatkan aktif

dalam proses belajar mengajar. Salvin dalam Panduan Aplikasi Teori-teori Belajar

Mengajar Traktual dan Terpopuler dikutip oleh Agus N. Cahyo menjelaskan bahwa

dalam konstruktivisme para siswa menciptakan atau membentuk pengetahuan

mereka sendiri melalui tingkatan/interasi dengan dunia nyata. Berkenaan dengan


31

praktik kelas, pendekatan konstruktivisme mendukung kurikulum dan pengajaran

student center bukannya teacher center. Siswa adalah kunci pembelajaran.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan pada penelitian ini adalah

teknik tes, observasi dan dokumentasi. Teknik tes digunakan untuk mengumpulkan

data yang berkaiatan dengan kemampuan penalaran matematis siswa baik pretest

maupun posttest, observasi digunakan untuk melihat keterlaksanaan pembelajaran

dan dokumentasi digunakan untuk memperoleh data berupa daftar nama dan jumlah

siswa dan dokumentasi gambar yang berupa foto aktivitas guru dan siswa pada saat

pembelajaran berlangsung.

3.7 Instrumen Penelitian

3.7.1 Tes Kemampuan Penalaran Matematis

Tes kemampuan penalaran matematis ini berupa tes uraian yang diberikan

pada saat pretest dan posttest. Pretest dan posttest diberikan pada kelas eksperimen

dan kontrol. Pretest diberikan di awal kegiatan penelitian dan hasil pretes akan

digunakan untuk mengukur kemampuan awal siswa. Sedangkan posttest diberikan

di akhir kegiatan, penelitian hasil posttest ini digunakan untuk melihat peningkatan

kemampuan penalaran matematis siswa baik di kelas eksperimen maupun di kelas

kontrol.

Untuk memperoleh skor tes kemampuan penalaran matematis siswa, maka

disusun pedoman penskoran tes kemampuan penalaran matematis mengadopsi


32

penskoran Holistic Scoring Rubrics pedoman Cai, Lane dan Jakabcin (dalam

Suriarta, 2016:41) seperti tertera pada tabel berikut:

Tabel 3.1 Pedoman Penskoran Butir Soal Tes Kemampuan Penalaran


Matematis
Respon Siswa terhadap Soal Skor
Tidak ada jawaban yang menggunakan model, fakta, sifat-sifat dan
0
hubungan
Menjawab tidak sesuai dengan aspek pertanyaan penalaran matematis 1
Menjawab sebagian aspek tentang penalaran dan dijawab dengan
2
benar
Menjawab hampir semua aspek tentang penalaran dan dijawab
3
dengan benar
Semua aspek tentang penalaran atau gagasan yang digunakan dijawab
4
dengan benar, jelas, lengkap dan sesuai

Selanjutnya, nilai rata-rata kemampuan penalaran matematis dikategorikan

ke dalam beberapa kategori (Wulandari, 2011:32) seperti yang tertera pada tabel

berikut:

Tabel 3.2 Kategori Rata-rata Kemampuan Penalaran Matematis

Rata-rata x  Kualifikasi

75  x  100 Sangat Baik

50  x  75 Baik

25  x  50 Cukup

 x  25 Tidak Baik

Sebelum tes tersebut digunakan, terlebih dahulu dilakukan uji validitas

konkuren yaitu analisis validitas butir soal dan reliabilitasnya. Perhitungan validitas
33

butir soal dan reliabilitas soal dilakukan dengan bantuan perangkat lunak SPSS-20

for Windows.

3.7.2 Lembar Observasi Siswa

Lembar observasi siswa disusun berdasarkan penerapan model

pembelajaran Means-Ends Analysis. Lembar observasi ini bertujuan untuk

mencatat aktivitas siswa berkaitan dengan situasi masalah yang diberikan guru

ketika diterapkannya model pembelajaran Means-Ends Analysis dengan

pendekatan konstruktivisme.

3.7.3 Lembar Observasi Guru

Lembar observasi guru disusun berdasarkan peranan model pembelajaran

Means-Ends Analysis. Lembar observasi ini dirancang untuk mengetahui aktivitas

mengajar guru yang ideal, sesuai dengan langkah-langka model pembelajaran

Means-Ends Analysis.

3.8 Analisis Instrumen

3.8.1 Analisis Validitas Butir Tes Kemampuan Penalaran Matematika

Validitas butir soal digunakan untuk mengetahui dukungan skor setiap butir

soal terdapat skor total. Semakin besar dukungan skor butir soal terdapat skor total,

maka semakin tinggi validitas setiap butir soal. Skor setiap butir soal dikorelasikan

dengan skor total dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment dari

Pearson. Formula yang digunakan untuk mengetahui validitas konsep instrument

melalui tes uji coba yaitu:


34

N   XY     X   Y 
rxy 
N  X 2
  X 
2
 N  Y 2
 Y 
2

(Sudjana, 2005:369)

Keterangan :

rxy : koefisien korelasi

 X : jumlah skor item

 Y : jumlah skor total

N : jumlah responden

Pengujian signifikasi untuk setiap koefisien korelasi yang diperoleh

digunakan uji-t dengan rumus sebagai berikut:

r n2
thit 
1 r2

(Sudjana, 2005:377)

Keterangan:

n : jumlah responden

r : nilai koefisien korelasi ( rxy )

Hipotesis statistik yang diuji adalah:

H 0 :  = 0 , yaitu tidak ada hubungan yang signifikan antara skor butir soal dengan

skor total

H1 :   0 , yaitu ada hubungan yang signifikan antara skor butir soal dengan skor

total
35

Kriteria pengujiannya adalah jika nilai probabilitas ( sig. ) lebih kecil dari

0,05 atau jika thitung > t tabel maka H 0 ditolak atau dengan kata lain butir soal valid.

Selanjutnya interprestasi koefisien korelasi hasil perhitungan dengan

klasifikasi menurut Arikunto (dalam Suriarta 2016:43) sebagai berikut:

Tabel 3.3 Interprestasi Nilai Koefisien Korelasi

Koefisien Korelasi Interprestasi


0,80  rxy  1, 00 Sangat Tinggi

0, 60  rxy  0,80 Tinggi

0, 40  rxy  0, 60 Cukup

0, 20  rxy  0, 40 Rendah

0, 00  rxy  0, 20 Sangat Rendah

3.8.2 Analisis Reliabilitas Butir Tes Kemampuan Penalaran Matematis

Reliabilitas tes adalah tingkat keajegan suatu tes. Tes yang reliabel adalah

tes yang menghasilkan skor yang konsisten (tidak berubah-ubah). Perhitungan

reliabilitas tes penalaran matematis dengan menggunakan rumus Cronbach’s

Alpha. Formula yang digunakan yaitu:

 n

 k    Si2 
r11    1 2 
i 1
(Riduwan, 2010:125)
 k 1   St 
 
 

Keterangan:

r11 : koefisien reliabilitas internal seluruh item

k : banyak item yang valid


36

S i2 : varians skor butir

S t2 : varians skor total

Nilai r11 tersebut diinterprestasikan menurut kategori Guilford (1956:145)

sebagai berikut:

Tabel 3.4 Interprestasi Koefisien Reliabilitas

Koefisien Interprestasi
0,80  r11  1,00 Relibilitas Sangat Tinggi

0, 60  r11  0,80 Relibilitas Tinggi

0, 40  r11  0,60 Relibilitas Sedang

0, 20  r11  0, 40 Relibilitas Rendah

r11  0, 20 Relibilitas Sangat Rendah

3.9 Teknik Analisis Data

3.9.1 Analisis Deskriptif

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis uji-t suatu sampel dan

analisis perbedaan dua rata-rata dengan menggunakan rumus uji-t. perhitungan

dilakukan di Microsoft Excel dan SPSS 20. Data yang diperoleh lebih jelas

dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menghitung peningkatan kemampuan dengan rumus N-gain atau gain

ternormalisasi, dengan persamaan sebagai berikut:

Skor postes  Skor pretes


N  Gain 
Skor maksimal ideal  Skor pretes

Kriteria interprestasinya adalah (Hake, 1999:1):

 g-tinggi jika g  0, 7
37

 g-sedang jika 0,3  g  0, 7

 rendah, jika g  0, 3

Keterangan: g ditulis sebagai N-Gain.

Rentang nilai N-Gain adalah 0 sampai 1. Selanjutnya nilai N-Gain inilah yang

diolah, dan pengolahannya disesuaikan dengan permasalahan dan hipotesis yang

diajukan.

2. Menentukan skor rata-rata hasil N-gain, dengan menggunakan rumus:

x 1
x i 1
(Sudjana, 2005:67)
n

3. Menghitung simpangan baku skor nilai N-gain dengan menggunakan rumus:

 x  x
n 2
i
s i 1
(Sudjana, 2005:93)
n 1

Keterangan:

s : standar deviasi

x : rata-rata nilai hasil belajar siswa

xi : nilai setiap harga X

n : jumlah sampel

3.9.1 Analisis Inferensial

Statistik inferensial digunakan untuk menguji hipotesis, untuk keperluan ini

digunakan statistik uji-t dan bantuan program SPSS 20. Tetapi sebelumnya
38

dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas sebagai syarat dapat dilakukannya

analisis data.

1. Melakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji tes Kolmogorof-

Smirnof dengan taraf signifikan 5%. Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah

hasil N-gain sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Langkah-

langkah uji Kolmogorof-Smirnof (Kadir, 2015:147-148).

a. Perumusan Hipotesis

H 0 : Sampel berasal dari populasi berdistribusi normal

H1 : Sampel berasal dari populasi berdistribusi tidak normal

b. Data diurutkan dari yang terkecil ke yang terbesar

c. Menentukan komulatif proporsi (kp)

xi  x
d. Data ditransformasi ke skor baku zi 
SD

e. Menentukan luas kurva zi  z  ztabel 

f. Menentukan a1 dan a2

a2 : selisih Z tabel pada batas atas ( a2 = Absolut (kp- Z tabel ))

 f 
a1 : selisih Z tabel pada batas bawah ( a1 = Absolut  a2  1  )
 n

g. Nilai mutlak maksimum dari a1 dan a2 dinotasikan dengan D0

h. Menentukan nilai Dtabel

i. Kriteria pengujian

Jika D0  Dtabel maka H 0 diterima


39

Jika D0  Dtabel maka H 0 ditolak

j. Kesimpulan

Jika D0  Dtabel : sampel berasal dari populasi berdistribusi normal

Jika D0  Dtabel : sampel berasal dari populasi berdistribusi tidak normal

2. Melakukan uji homogenitas varians dengan menggunakan uji Levene. Uji ini

bertujuan untuk mengetahui kedua distribusi kelas eksperimen dan kelas

kontrol apakah varians-variansnya sama atau tidak.

Adapun rumus uji Levene adalah:

 n  k   ni  Zi  Z 
k 2

W i 1
(Yulianto, 2012:1)
 
 
k ni 2
 k  1 i   Z ij  Z i
 1 j 1 

Keterangan:

n : jumlah observer

k : banyaknya kelompok

Z ij : Yij  Yi

Yi : rata-rata dari kelompok ke i

Zi : rata-rata kelompok dari Zi

Z : rata-rata menyeluruh (overall mean) dari Z ij

Hipotesis pengujiannya adalah:

H 0 : Varians dari kedua data sama atau homogen

H1 : Varians dari kedua data tidak sama atau tidak homogen


40

Kriteria pengujuannya adalah tolak H 0 jika W  F( a;k 1,n k )

3. Melakukan uji hipotesis penelitian

a. Uji-t Satu Sampel

Rumusan yang digunakan adalah:

  xg  xg 
2
xg  xg
t dengan xg  dan sg 
sg n n 1
n

Keterangan:

t : t hitung

x g : rata-rata

x g : nilai setiap harga X

sg : simpangan baku

n : jumlah sampel

b. Uji perbedaan Dua Rata-rata

 Jika varians populasi homogeny dan berdistribusi normal, maka uji-t

yang digunakan sebagai berikut:

x1  x2
thitung 
1 1
sgab 
n1 n2

(Sudjana, 2005:239-243)
41

Dengan:

sgab 
 n1  1 s12   n2  1 s22
n1  n2  2
 x1  x2
x1 = dan x 2 
n1 n2

Keterangan:

thitung : nilai hitung untuk uji t

x1 : rata-rata prestasi belajar matematika sampel pertama

x2 : rata-rata prestasi belajar matematika sampel kedua

n1 : jumlah dari sampel pertama

n2 : jumlah dari sampel kedua

s12 : varians data sampel pertama

s22 : varians data sampel kedua

s gab : varians gabungan

Kriteria pengujinya adalah H 0 diterima jika ttabel  thitung  ttabel

dimana ttabel diperoleh dari daftar distribusi t dengan derajat

kebebasan (dk )  n1  n2  2 atau H 0 diterima jika nilai probabilitas

 sig. lebih besar dari   0, 05 .


 Jika varians populasi heterogen (non homogen) dan berdistribusi

normal, maka menggunakan uji-t’ sebagai berikut:


42

x1  x 2
t'
s12 s22

n1 n2

(Sudjana, 2005:241-243)

Keterangan:

t ' : nilai hitung untuk uji-t

X 1 : rata-rata skor responden kelas eksperimen

X 2 : rata-rata skor responden kelas kontrol

n1 : jumlah responden kelas eksperimen

n2 : jumlah responden kelas kontrol

s12 : varians kelas eksperimen

s22 : varians kelas kontrol

Kriteria pengujiannya yaitu H 0 diterima jika:

w1t1  w2t2 w t  w2t2


 t' 11
w1  w2 w1  w2

s12 s22
Dengan w1  ; w2  ; t1  t1 ; n1 1 dan t2  t1 ; n2 1
n1 n2

 Uji Mann-Whitney

Uji Mann-Whitney digunakan jika data tidak berdistribusi normal.

Rumus yang digunakan adalah:

n1  n1  1
U1  n1.n2   R1
2
(Hendrik, 2011:1)
n  n  1
U 2  n1.n2  2 2  R2
2
43

Keterangan:

n1 : jumlah sampel 1

n2 : jumlah sampel 2

R1 : jumlah jenjang pada sampel 1

R2 : jumlah jenjang pada sampel 2

Diantara nilai U1 dan U 2 yang lebih kecil digunakan sebagai U hitung

untuk dibandingkan dengan U tabel . Jika nilai U hitung lebih besar dari

n1.n2
maka nilai tersebut merupakan U’ dan nilai U dapat dihitung
2

dengan rumus: U  n1.n2  U ' . Kriteria pengujinya adalah H 0

diterima U hitung  U tabel ( ; n1 , n2 ) .

3.10 Hipotesis Statistik

Adapun yang akan menjadi hipotesis statistik dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. H 0 : e  k lawan H1 : e  k

Keterangan :

 e : rata-rata kemampuan penalaran matematis siswa kelas eksperimen

 k : rata-rata kemampuan penalaran matematis siswa kelas kontrol

2. H 0 :  g1  0 lawan H1 :  g1  0
44

Keterangan:

 g 1 : rata-rata peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa setelah

mendapat model pembelajaran Means-Ends Analysis dengan

pendekatan konstruktivisme.

3. H 0 :  g 2  0 lawan H1 :  g 2  0

Keterangan:

 g 2 : rata-rata peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa setelah

mendapat pembelajaran konvensional.

Statistik uji yang digunakan pada hipotesis 2 dan hipotesis 3 sebagai berikut:

 
2
x  xg  xg  x g
t g dengan xg  dan sg 
sg n n 1
n

Keterangan:

t : t hitung

x g : rata-rata

x g : nilai setiap harga X

sg : simpangan baku

n : jumlah sampel

Kriteria pengujinya adalah H 0 diterima jika ttabel  thitung  ttabel dimana ttabel

diperoleh dari daftar distribusi t dengan derajat kebebasan (dk )  n  1 atau H 0

diterima jika nilai probabilitas  sig. lebih besar dari   0, 05 .

4. H 0 :  g1   g 2 lawan H1 :  g1   g 2
45

Statistik uji yang digunakan pada hipotesis 1 dan hipotesis 4 sebagai berikut:

x1  x2
thitung 
1 1
sgab 
n1 n2

(Sudjana, 2005:239-243)

Kriteria pengujinya adalah H 0 diterima jika ttabel  thitung  ttabel dimana ttabel

diperoleh dari daftar distribusi t dengan derajat kebebasan (dk )  n1  n2  2

atau H 0 diterima jika nilai probabilitas  sig. lebih besar dari   0, 05 .


46

DAFTAR PUSTAKA

Budiyani, Asterina. 2009. Efektivitas Pendekatan Konstruktivisme dalam


Pembelajaran Matematika Ditinjau dari Aktivitas Belajar Siswa SMP.
Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Tersedia pada https://eprints.uns.ac.id/8923/ (diakses pada 12
Desember 2018)
Guilford, J. P. 1956. Fundamental Statistics In Psychology and Education. New
York: McGraw Hill.
Hake, R. R. 1999. Analyzing Change/Gain Score. Woodland Hills: Dept. Of
Physics, Indiana University. Tersedia pada
http://lists.asu.edu/cgibin/wa?A2=ind9903&L=aerad&P=R6855
(diakses pada 13 Desember 2018)
Hamid, Noviandi. 2011. Upaya Meningkatkan Aktivitas Belajar Matematika Siswa
Melalui Pendekatan Konstruktivisme. Jakarta: Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Tersedia pada
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/5579, (diakses
pada 12 Desember 2018)
Kadir, 2015. Statistika Terapan: Konsep, Contoh dan Analisis Data dengan
Program SPSS/Lisrel dalam Penelitian. Jakarta: Rajawali Pers.
Nurhajati. 2014. Pengaruh Penerapan Pendekatan Konstruktivisme Dengan Model
Pembelajaran Kooperatif Berbantuan Program Cabri 3D Terhadap
Kemampuan Penalaran Dan Koneksi Matematis Siswa SMA Di Kota
Tasikmalaya. Jurnal Pendidikan dan Keguruan, (Online), Vol. 1, No.
1, (http://repository.ut.ac.id/598/, diakses pada 01 Desember 2018)
Pratiwi, Ayu Dyah. 2016. Keefektifan Implementasi Model Pembelajaran Means-
Ends Analysis Dengan Brainstorming Terhadap Hasil Belajar Peserta
Didik Smp Kelas VII Materi Pokok Segiempat. Semarang: UNNES
Semarang. Tersedia pada
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujme/article/view/12553
(diakses pada 01 Desember 2018)
47

Prihatiningtyas, Citroresmi. Nindy. dan Nurhajati. 2017. Penerapan Model


Pembelajaran Means-Ends Analysis Untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis Siswa. Jurnal Pendidikan Matematika
Indonesia, (Online), Vol. 2, No. 1,
(http://journal.stkipsingkawang.ac.id/index.php/JPMI/article/view/204
/pdf, diakses 12 Desember 2018)
Riduwan. 2010. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta.
Sudjana. 2005. Metode Statistika Edisi Ke-6. Bandung: Tarsito.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung:
Alfabeta.
Sunarlia. 2017. Efektivitas Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Dengan Metode PQ4R Terhadap Hasil Belajar Matematika Pada
Pokok Bahasan Garis dan Sudut Siswa Kelas VII Mts Tontonunu.
Kolaka: Program Pascasarjana FKIP USN Kolaka.
Suriarta, Nyoman. 2016. Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Dengan LKS
Berbasis Konstruktivisme Untuk Meningkatkan Penalaran Matematis
Siswa SMP Kelas VIII. Kolaka: Program Pascasarjana FKIP USN
Kolaka.
Wahyuni, Sri. 2009. Eksperimentasi Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Pada Sub Pokok Bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel
Ditinjau Dari Aktivitas Belajar Siswa Kelas X Smk Se-Kabupaten
Boyolali Tahun Pelajaran 2008/2009. Surakarta: Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tersedia pada
https://eprints.uns.ac.id/5034/1/02407200911211.pdf (diakses pada 15
Desember 2018)
Wulandari, Enika. 2011. Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa
Melalui Pendekatan Problem Posing Di Kelas Viii A Smp Negeri 2
Yogyakarta. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri
Yogyakarta. Tersedia pada
https://eprints.uny.ac.id/1709/1/Enika_Wulandari.pdf (diakses pada 15
Desember 2018)
48

Yulianto, M. A. 2012. Uji Lavene. Tersedia pada


https://disgensia.wordpress.com/2012/08/31/uji-lavene/ (diakses pada
15 Desember 2018)
Qusyairi, Hery. Lalu. A. dan Watoni, Saipul. M. 2017. Penggunaan Model
Pembelajaran Means Ends Analysis (MEA) Dengan Pendekatan
Pembelajaran Kontekstual. Jurnal Pendidikan Dasar, (Online), Vol. 1,
No. 1,
(http://ejournal.kopertais4.or.id/sasambo/index.php/fondatia/article/vie
w/2923, diakses pada 12 Desember 2018)

Anda mungkin juga menyukai