Anda di halaman 1dari 12

NAMA : Eka Ayu Wulandari

NIM : B11116511
FAKULTAS HUKUM - UNIVERSITAS HASANUDDIN
Prof. Dr. Marwati Riza, S.H., M.Si.

RELEVANSI ASAS AKUNTABILITAS DALAM


PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

PENDAHULUAN
Birokrasi Indonesia selalu jadi sebuah opini publik yang tidak pernah
membosankan, hal ini disebabkan karena hingga kini birokrasi di Indonesia masih
problematik dan jauh dari apa yang menjadi harapan. Birokrasi yang tidak ideal menjadi
salah satu masalah di Indonesia. Keluhan terhadap rendahnya kinerja pelayanan publik
dan minimnya kualitas sumberdaya aparatur seperti tidak pernah ada akhirnya, dan belum
dapat ditemukan solusi efektif untuk mengatasinya. Dalam hal pelayanan publik,
pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan publik yang berkualitas sesuai dengan
tantangan yang dihadapi, yaitu perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin maju
dan persaingan global yang semakin ketat.
Pemerintah Indonesia saat ini berusaha untuk mewujudkan pemerintahan yang
bersih (clean government) dan menerapkan tata kelola yang baik (good governance).
Kedua hal tersebut baru bisa dicapai jika penyelenggaraan pemerintahan didasarkan pada
asas kepastian hukum, profesionalitas, proporsionalitas, keterpaduan, delegasi, netralitas,
akuntabilitas, efektif dan efisien, keterbukaan, non diskriminatif, persatuan dan kesatuan,
keadilan dan kesetaraan, serta kesejahteraan. Pencapaian tata kelola pemerintahan
memerlukan reformasi di berbagai bidang dimana termasuk didalamnya adalah reformasi
birokrasi.
Beberapa dekade lalu, asas akuntabilitas tidak banyak diperbincangkan atau
bahkan tidak mendapat perhatian, namun saat ini menjadi isu hangat yang banyak
dibahas baik oleh praktisi maupun akademisi, terutama ketika berbicara tentang sektor
publik. Fenomena yang terjadi dalam perkembangan sektor publik saat ini ialah adanya
transformasi dalam akuntabilitas publik yang bergerak di bawah pemikiran new public
management (NPM). Dalam pemikiran ini, model pemerintahan tradisional dirasa tidak
efisien dalam mengelola pemerintahan, sehingga model manajemen di sektor privat
diangkat ke sektor publik untuk mengatasi masalah tersebut.

HUKUM ADMINISTRASI KEP EGAWAIAN |1


Dalam hal ini, akuntabilitas publik merupakan konsep yang sampai sekarang masih
diperdebatkan definisinya, namun semua pihak sependapat bahwa ia merupakan
komponen penting dalam pemerintahan. Akuntabilitas digambarkan sebagai suatu
hubungan yang mencakup pemberian dan permintaan tanggung jawab atas suatu
tindakan tertentu. Secara sederhana, akuntabilitas merupakan pemberian informasi dan
pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja organisasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus dapat memberikan
informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik yaitu hak untuk tahu, hak untuk
mendapat informasi, dan hak untuk didengar aspirasinya.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka sistem penyelenggaran
pemerintahan merupakan faktor yang menentukan. Krisis nasional berkepanjangan yang
melanda Indonesia mengindikasikan kelemahan di bidang administrasi Pemerintahan,
terutama birokrasi yang tidak mengindahkan asas-asas tata pemerintahan yang baik.
Terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme lebih banyak disebabkan oleh rentannya
birokrasi sebagai unsur pelayan masyarakat.

PERMASALAHAN
Berdasarakan uraian tersebut maka permasalahan yang penulis temukan adalah
Pertama, Bagaimanakah relevansi asas akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan
pubklik tersebut?. Kedua, Bagaimanakah kualitas penerapan asas akuntabilitas tersebut
apakah sesuai dengan perwujudan pemerintahan yang bersih (clean government) dan tata
kelola yang baik (good governance)?

LANDASAN TEORI
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan
pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan
terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business
prosess) dan sumber daya manusia aparatur. Peningkatan kualitas pelayanan dan
pengembangan sumber daya manusia merupakan serangkaian kebijaksanaan yang
berkesinambungan untuk mewujudkan birokrasi yang modern. Berbagai
permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan
tidak berjalan atau diperkirakan tidak akan berjalan dengan baik harus ditata ulang atau
diperbarui. Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain reformasi birokrasi adalah

HUKUM ADMINISTRASI KEP EGAWAIAN |2


langkah starategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan
berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional.
Dalam hubunganya dengan reformasi pelayanan publik, konsep reformasi birokrasi
pemerintahan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang
Aparatur Sipil Negara sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian terutama memfokuskan kepada peningkatan
kualitas SDM birokrasi dalam upaya mewujudkan kepemerintahan yang baik dan
bertanggung jawab.
Beberapa kriteria birokrasi pemerintah yang diharapkan mampu melaksanakan hal
itu adalah sebagai berikut:
a. Netral, yaitu mampu melayani semua lapisan masyarakat, tanpa memihak kepada
suatu kekuatan politik tertentu;
b. Profesional, yaitu memiliki kompetensi sesuai dengan bidang pekerjaannya agar
dapat melaksanakan tugas pokok dan tanggung jawabnya;
c. Berdayaguna dan berhasilguna, yaitu mampu menghasilkan sesuatu dengan sarana
dan prasarana yang tersedia;
d. Transparan, yaitu mampu memberikan informasi tentang pemerintahan dan
pembangunan kepada masyarakat;
e. Bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, yaitu selalu berupaya untuk menghindarkan
diri dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang dapat merugikan masyarakat;
f. Menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa, untuk menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Keputusan Menteri PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, pelayanan
publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara
pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Disamping itu, Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, menyebutkan yang dimaksud
dengan pelayanaan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang–undangan bagi
setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa dan pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

HUKUM ADMINISTRASI KEP EGAWAIAN |3


Menurut Kotler1, pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam
suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat
pada suatu produk secara fisik. Menurut Soetopo2, pelayanan adalah suatu usaha untuk
membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain. Pelayanan juga dapat
disebut suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara–cara tertentu yang
memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasan dan
keberhasilan.3 Secara umum, pelayanan dapat diartikan semua usaha apa saja yang
mempertinggi kepuasan pelanggan, dengan demikian dalam menyajikan pelayanan
hendaknya menambahkan sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan uang, seperti ketulusan
dan integritas.4 Pelayanan Publik adalah sebagai pelayanan umum yang berarti kegiatan
yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material
melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kebutuhan
orang lain sesuai dengan haknya.5
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh organisasi publik yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat baik berupa barang atau jasa tanpa berorientasi yang
dilakukan sesuai dengan standar dan peraturan yang telah ditetapkan.
Aspek penting dalam pelayanan publik adalah akuntabilitas atas etos pelayanan
publik. Akuntabilitas adalah prinsip dasar bagi organisasi yang berlaku pada setiap
level/unit organisasi sebagai suatu kewajiban jabatan dalam memberikan
pertanggungjawaban laporan kegiatan kepada atasannya.6 Dalam beberapa hal,
akuntabilitas sering diartikan berbedabeda. Adanya norma yang bersifat informal tentang
perilaku ASN yang menjadi kebiasaan (“how things are done around here”) dapat
mempengaruhi perilaku anggota organisasi atau bahkan mempengaruhi aturan formal
yang berlaku. Seperti misalnya keberadaan PP No. 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil, belum sepenuhnya dipahami atau bahkan dibaca oleh setiap CPNS
atau pun ASN. Oleh sebab itu, pola pikir ASN yang bekerja lambat, berdampak pada
pemborosan sumber daya dan memberikan citra ASN berkinerja buruk. Dalam kondisi

1
Lukman Sampara, Manajemen Kualitas Pelayanan, (Jakarta: STIAN LAN Press, 2000), hlm. 8.
2
Paimin Napitupulu, Pelayanan Publik dan Customer Satisfaction, (Bandung: PT. Alumni, 2007), hlm. 164.
3
Boediono, Pelayanan Prima Perpajakan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 60.
4
Riawan Tjandra W., dkk, Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Pelayanan Publik, (Yogyakarta:
Pembaruan, 2005), hlm 11.
5
Moenir, Manajemen Pelayanan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm 27.
6
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, “AKUNTABILITAS” Modul Pendidikan dan Pelatihan
Prajabatan Golongan III, (Jakarta: LAN, 2015), hlm. 9.

HUKUM ADMINISTRASI KEP EGAWAIAN |4


tersebut, ASN perlu merubah citranya menjadi pelayan masyarakat dengan mengenalkan
nilai-nilai akuntabilitas untuk membentuk sikap, dan perilaku ASN dengan
mengedepankan kepentingan publik, imparsial, dan berintegritas.
Akuntabilitas merupakan kontrak antara pemerintah dengan aparat birokrasi, serta
antara pemerintah yang diwakili oleh ASN dengan masyarakat. Kontrak antara kedua
belah pihak tersebut memiliki ciri antara lain: Pertama, akuntabilitas eksternal yaitu
tindakan pengendalian yang bukan bagian dari tanggung jawabnya. Kedua, akuntabilitas
interaksi merupakan pertukaran sosial dua arah antara yang menuntut dan yang menjadi
bertanggung jawabnya (dalam memberi jawaban, respon, rectification, dan sebagainya).
Ketiga, hubungan akuntabilitas merupakan hubungan kekuasaan struktural (pemerintah
dan publik) yang dapat dilakukan secara asimetri sebagai haknya untuk menuntut
jawaban.7
Akuntabilitas publik terdiri atas dua macam, yaitu: akuntabilitas vertikal (vertical
accountability), dan akuntabilitas horizontal (horizontal accountability). Akuntabilitas
vertikal adalah pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih
tinggi, misalnya pertanggungjawaban unitunit kerja (dinas) kepada pemerintah daerah,
kemudian pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, pemerintah pusat kepada DPR.
Akuntabilitas vertikal membutuhkan pejabat pemerintah untuk melaporkan “ke bawah”
kepada publik. Misalnya, pelaksanaan pemilu, referendum, dan berbagai mekanisme
akuntabilitas publik yang melibatkan tekanan dari warga. Akuntabilitas horizontal adalah
pertanggungjawaban kepada masyarakat luas. Akuntabilitas ini membutuhkan pejabat
pemerintah untuk melaporkan “ke samping” kepada para pejabat lainnya dan lembaga
negara. Contohnya adalah lembaga pemilihan umum yang independen, komisi
pemberantasan korupsi, dan komisi investigasi legislatif.
Asas akuntabilitas dianut oleh 6 Undang-Undang, yaitu, Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan
Publik; Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara; dan

7
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, “AKUNTABILITAS” Modul Pendidikan dan Pelatihan
Prajabatan Golongan III, (Jakarta: LAN, 2015), hlm. 10.

HUKUM ADMINISTRASI KEP EGAWAIAN |5


Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman RI. Adapun yang
dimaksud asas akuntabilitas menurut 6 Undang-Undang tersebut:
1. Asas akuntabilitas menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara mengacu kepada penjelasan asas akuntabilitas
menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi.
2. Asas akuntabilitas menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi adalah
asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Asas akuntabilitas menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Asas akuntabilitas menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik adalah: Proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Asas akuntabilitas menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Aparatur Sipil Negara adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
Pegawai ASN harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Asas akuntabilitas menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang
Ombudsman RI adalah ‘cukup jelas’.

PEMBAHASAN
Akuntabilitas adalah kata yang seringkali kita dengar, tetapi tidak mudah untuk
dipahami. Ketika seseorang mendengar kata akuntabilitas, yang terlintas adalah sesuatu
yang sangat penting, tetapi tidak mengetahui bagaimana cara mencapainya. Dalam
banyak hal, kata akuntabilitas sering disamakan dengan responsibilitas atau tanggung
jawab. Namun pada dasarnya, kedua konsep tersebut memiliki arti yang berbeda.
Responsibilitas adalah kewajiban untuk bertanggung jawab, sedangkan akuntabilitas

HUKUM ADMINISTRASI KEP EGAWAIAN |6


adalah kewajiban pertanggungjawaban yang harus dicapai. Akuntabilitas merujuk pada
kewajiban setiap individu, kelompok atau institusi untuk memenuhi tanggung jawab
yang menjadi amanahnya. Amanah seorang ASN adalah menjamin terwujudnya nilai-
nilai publik. Nilai-nilai publik tersebut antara lain adalah:
1) Mampu mengambil pilihan yang tepat dan benar ketika terjadi konflik kepentingan,
antara kepentingan publik dengan kepentingan sektor, kelompok, dan pribadi;
2) Memiliki pemahaman dan kesadaran untuk menghindari dan mencegah
keterlibatan ASN dalam politik praktis;
3) Memperlakukan warga negara secara sama dan adil dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan publik;
4) Menunjukan sikap dan perilaku yang konsisten dan dapat diandalkan sebagai
penyelenggara pemerintahan.
Akuntabilitas memiliki 5 tingkatan yang berbeda yaitu akuntabilitas personal,
akuntabilitas individu, akuntabilitas kelompok, akuntabilitas organisasi, dan
akuntabilitas stakeholder.
1. Akuntabilitas Personal (Personal Accountability)
Akuntabilitas personal mengacu pada nilai-nilai yang ada pada diri seseorang
seperti kejujuran, integritas, moral dan etika. Pertanyaan yang digunakan untuk
mengidentifikasi apakah seseorang memiliki akuntabilitas personal antara lain
“Apa yang dapat saya lakukan untuk memperbaiki situasi dan membuat
perbedaan?”. Pribadi yang akuntabel adalah yang menjadikan dirinya sebagai
bagian dari solusi dan bukan masalah.
2. Akuntabilitas Individu
Akuntabilitas individu mengacu pada hubungan antara individu dan lingkungan
kerjanya, yaitu antara ASN dengan instansinya sebagai pemberi kewenangan.
Pemberi kewenangan bertanggung jawab untuk memberikan arahan yang
memadai, bimbingan, dan sumber daya serta menghilangkan hambatan kinerja,
sedangkan ASN sebagai aparatur negara bertanggung jawab untuk memenuhi
tanggung jawabnya. Pertanyaan penting yang digunakan untuk melihat tingkat
akuntabilitas individu seorang ASN adalah apakah individu mampu untuk
mengatakan “Ini adalah tindakan yang telah saya lakukan, dan ini adalah apa yang
akan saya lakukan untuk membuatnya menjadi lebih baik”.
3. Akuntabilitas Kelompok

HUKUM ADMINISTRASI KEP EGAWAIAN |7


Kinerja sebuah institusi biasanya dilakukan atas kerjasama kelompok. Dalam hal
ini tidak ada istilah “Saya”, tetapi yang ada adalah “Kami”. Dalam kaitannya
dengan akuntabilitas kelompok, maka pembagian kewenangan dan semangat
kerjasama yang tinggi antar berbagai kelompok yang ada dalam sebuah institusi
memainkan peranan yang penting dalam tercapainya kinerja organisasi yang
diharapkan.
4. Akuntabilitas Organisasi
Akuntabilitas organisasi mengacu pada hasil pelaporan kinerja yang telah dicapai,
baik pelaporan yang dilakukan oleh individu terhadap organisasi/institusi maupun
kinerja organisasi kepada stakeholders lainnya.
5. Akuntabilitas Stakeholder
Stakeholder yang dimaksud adalah masyarakat umum, pengguna layanan, dan
pembayar pajak yang memberikan masukan, saran, dan kritik terhadap kinerjanya.
Jadi akuntabilitas stakeholder adalah tanggungjawab organisasi pemerintah untuk
mewujudkan pelayanan dan kinerja yang adil, responsif dan bermartabat.
Kualitas pelayanan publik adalah keseluruhan dari karakteristik pelayanan yang
diberikan oleh pemberi layanan (pegawai) kepada penerima layanan (publik) dalam suatu
organisasi dengan mengutamakan rasa puas bagi sipenerima layanan tersebut. Agar
pelayanan publik berkualitas, sudah sepatutnya pemerintah mereformasi paradigma
pelayanan publik tersebut. Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah
penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari semula yang berorientasi
pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan
masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk
memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin mendengarkan suara
publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan bagi peningkatan partisipasi
masyarakat di bidang pelayanan publik.
Secara umum stakeholders menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami
perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah; namun, dilihat dari sisi efisiensi dan
efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif) masih jauh dari yang
diharapkan dan masih memiliki berbagai kelemahan. Berkaitan dengan hal–hal tersebut,
memang sangat disadari bahwa pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan,
antara lain:
1) Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur
pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan

HUKUM ADMINISTRASI KEP EGAWAIAN |8


tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi,
maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
2) Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada
masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
3) Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan
masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan
tersebut.
4) Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya
sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun
pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan
lain yang terkait.
5) Bikrokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan
dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan
penyelesaian pelayanan yang terlalu lama.
6) Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat
pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/aspirasi dari
masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada
perbaikan dari waktu ke waktu.
7) Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan
perizinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Akuntabilitas publik terdiri dari dua macam, yaitu akuntabilitas vertikal
(Vertical Accountability) dan akuntabilitas horizontal (Horizontal Accountability).
Akuntabilitas yang dilihat dari kualitas pelaksanaan pelayanan telah terkikis
maknanya. Artinya, pihak pemberi layanan belum dapat
mempertanggungjawabkan pelayanan yang dilakukannya dengan cukup baik,
seperti berusaha menghasilkan kualitas pelayanan sesuai dengan keinginan
masyarakat. Karenanya, proses pertanggungjawaban yang dimiliki masih butuh
pembenahan, agar aparatur pemberi layanan dapat memiliki tanggung jawab publik
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Akuntabilitas publik atas
pelayanan nampak mengabaikan ruang diskusi publik yang membuat kesetaraan
dalam menentukan apa yang dibutuhkan dan apa yang diberikan pada masyarakat.

HUKUM ADMINISTRASI KEP EGAWAIAN |9


B. SARAN
Hal yang dominan menjelaskan akuntabilitas pelayanan publik adalah etos
pelayanan. Situasi yang tercipta menunjukkan bahwa masih sangat dibutuhkan
kesadaran yang tinggi dari aparatur pelaksana pelayanan publik untuk bisa
mempertanggungjawabkan pekerjaan yang telah dibebankan kepada mereka.
Dengan tingkat kesadaran yang baik, aparatur akan berusaha melaksanakan
pekerjaan pelayanan publik yang dibebankan dengan sesungguhnya. Namun
sebaliknya, apabila tingkat kesadaran yang dimiliki rendah maka aparatur akan
melaksanakan tugas pelayanan dengan sesukanya saja. Selain itu, rasa sadar yang
tinggi akan mengingatkan aparatur pada tugas dan kewajibannya yang dapat
melahirkan akuntabilitas pelayanan kepada publik. Dalam hal ini dibutuhkan
kerjasama yang baik antara penyelenggara maupun stakeholder terkait yaitu
masyarakat untuk dapat mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean
government) dan menerapkan tata kelola yang baik (good governance) sesuai
dengan cita-cita bangsa kita untuk keberhasilan reformasi birokrasi.

H U K U M A D M I N I S T R A S I K E P E G A W A I A N | 10
DAFTAR PUSTAKA

SUMBER BUKU

Boediono. 2003. Pelayanan Prima Perpajakan. Jakarta: Rineka Cipta.

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. 2015. “AKUNTABILITAS” Modul

Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan Golongan III. Jakarta: LAN.

Moenir. 2010. Manajemen Pelayanan Umum. Jakarta: Bumi Aksara.

Napitupulu, Paimin. 2007. Pelayanan Publik dan Customer Satisfaction. Bandung: PT.

Alumni.

Sampara, Lukman. 2000. Manajemen Kualitas Pelayanan. Jakarta: STIAN LAN Press.

Tjandra W, Riawan., dkk. 2005. Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Pelayanan

Publik. Yogyakarta: Pembaruan.

SUMBER UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAIN

1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan

Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian.

2003. Keputusan Menteri PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003.

2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara.

2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman RI.

2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.

2010. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil

Negara.

H U K U M A D M I N I S T R A S I K E P E G A W A I A N | 11
2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah.

2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil

Negara.

H U K U M A D M I N I S T R A S I K E P E G A W A I A N | 12

Anda mungkin juga menyukai