Anda di halaman 1dari 4

Pembahasan

Pemeriksaan kadar glukosa darah sangat diperlukan untuk mendiagnosis


patofisiologi penyakit yang berhubungan dengan ketidaknormalan regulasi gula
darah dalam tubuh. Ketidaknormalan tersebut dapat berupa terlalu berlebihnya
glukosa dalam darah (hiperglikemia) ataupun glukosa darah yang terlalu rendah
(hipoglikemia). Salah satu manifestasi klinis yang disebabkan oleh kelebihan
glukosa darah yaitu diabetes mellitus. Sehingga pemeriksaan kadar gula darah
merupakan satu tindakan yang digunakan untuk mendiagnosis dan pengontrolan
penyakit diabetes melitus.

Pada praktikum kali ini yaitu “ Pemeriksaan Kadar Glukosa ” dimana


tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui kadar glukosa, memahami
metode kadar glukosa, dan untuk memahami peranan pemeriksaan kadar glukosa
dalam menetapkan diagnosis kondisi patologis. Prinsip dari percobaan ini adalah
menggunakan metode enzimatik yang digunakan terdiri dari reaksi utama yaitu
oksidasi terhadap glukosa dengan bantuan GOD (Glukosa Oksidase) membentuk
asam glukanoat dan peroksida. Reaksi indikasi dilakukan dengan 4-aminopirin
yang dikopling dengan fenol menghasilkan senyawa quinoneimina.

Pada percobaan kali ini kami menggunakan metode glukosa oksidase.


Prinsip pemeriksaan pada metode ini adalah enzim glukosa oksidase
mengkatalisis reaksi oksidasi glukosa menjadi asam glukanoat dan hidrogen
peroksida yang terbentuk bereaksi dengan fenol dan 4-aminoantipirin dengan
bantuan enzim peroksidase menghasilkan quinoneimina yang berwarna merah
muda dan dapat diukur dengan spektrofotometer. Quinoneimina merupakan
senyawa berwarna yang memiliki ikatan terkonjugasi sehingga memenuhi
persyaratan sampel pada pengukuran kadar menggunakan spektrofotometri.

Quinoneimina
Peroksida yang terbentuk yang dapat diukur dengan menggunakan
spektrofotometer setelah bereaksi dengan 4-aminoantipirin dan fenol
menghasilkan quinoneimina, hal ini disebabkan karena peroksida bukan suatu
senyawa berwarna sehingga tidak dapat diukur oleh spektrofotometer sedangkan
setelah membentuk quinoneimina sample berwarna kemerahan sehingga dapat
terukur oleh spektro visible. Intensitas warna yang terbentuk dari senyawa
tersebut sebanding dengan kadar glukosa dalam darah. Semakin pekat warna
larutan yang dihasilkan, maka semakin banyak kadar senyawa yang di analisis
(Nogrady, 1992).

Digunakan panjang gelombang 505 nm karena panjang gelombang


tersebut merupakan panjang gelombang yang menghasilkan absorbansi tertinggi.
Maka akan terbentuk intensitas warna yang terbentuk setara dengan kadar glukosa
darah yang terdapat pada sampel. Dalam reaksi ini terjadi kesetimbangan kimia
dimana zat-zat hasil reaksi (produk) dapat bereaksi kembali membentuk zat-zat
semua (reaktan). Jumlah zat sebanding dengan mol dan konsentrasi, sehingga
peroksida yang dihasilkan dapat menggambarkan kadar glukosa yang terukur
dalam darah (Nogrady, 1992).

Hal pertama yang dilakukan adalah melarutkan enzim dengan pelarut


hingga tercampur dengan baik, kemudian disiapkan 3 tabung reaksi. Pada tabung
reaksi pertama diberi label blangko yang berisi reagen dan aquades, tabung reaksi
kedua diberi label standar yang berisi reagen, larutan standar, dan pada tabung
reaksi ketiga diberi label uji atau tes yang berisi reagen dan serum. Serum adalah
bagian cair darah yang tidak mengandung sel-sel darah dan faktor-faktor
pembentukan darah. Protein-protein koagulasi lainnya dan protein yang tidak
terkait dengan hemostatis, tetap berada dalam serum dengan kadar serupa dengan
plasma. Apabila proses koagulasi berlangsung secara abnormal, serum mungkin
mengandung sisa fibrinogen dan produk pemecahan fibrinogen atau protombin
yang belum di konvensi (Sacher dan McPerson, 2012)
Setelah itu, dikocok hingga homogen dan dibiarkan selama 10 menit.
Tujuan didiamkan selama 10 menit dimaksudkan agar enzim-enzim yang
digunakan dalam reaksi dapat bekerja secara optimal seperti berada pada kondisi
dalam tubuh. Setelah didiamkan selama 10 menit, warna dari uji berubah dari
yang berwarna bening menjadi larutan berwarna yaitu warna merah tetapi tidak
pekat. Hal ini menunjukkan bahwa dalam serum uji 1 sampai uji 5 terdapat
glukosa di dalamnya. Setelah itu dilakukan pembacaan absorbansi dari larutan tes
dan standar terhadap blangko. Blangko merupakan larutan yang berisi reagen dan
aquades, sehingga ketika larutan uji dan standar dibaca absorbansinya akan lebih
akurat.

Hasil yang diperoleh dari praktikum ini yaitu nilai absorbansi standar dan
absorbansi uji. Pada standar diperoleh absorbansi sebesar 0,203 A dan pada
sampel uji didapatkan hasil absorbansi yang bervariasi dimana dalam uji 1-5
diambil dari sampel yang sama yaitu uji 1 didapatkan absorbansi sebesar 0,386 A,
absorbansi uji 2 sebesar 0,154 A, absorbansi uji 3 sebesar 0,196 A, absorbansi uji
4 sebesar 0,269 A dan absorbansi uji 5 sebesar 0,180 A. hasil dari kelima uji
berbeda-beda padahal diambil dari sampel yang sama atau hasilnya seharusnya
bisa berdekatan tetapi dalam kelima uji tersebut perbedaan nilai absorbansinya
sedikit jauh. Hal ini bisa saja terjadi karena beberapa faktor, diantaranya
pengukuran dilakukan oleh ornag yang berbeda dan kurangnya ketelirian saat
membuat larutan uji. Untuk mengetahui kadar glukosa dalam serum dilakukan
perhitungan rata-rata absorbansi kelima sampel uji dan didapatkan hasil rata-rata
sebesar 116,749 mg/dL. Hal ini menunjukkan kadar glukosa dalam serum tersebut
yang mana dibandingkan dengan kadar pada standar yaitu 100 mg/dL dan dapat
dikatakan bahwa kadar glukosa sewaktu dalam serum tersebut masih dalam
keadaan normal karena menurut literatur WHO (World Health Organization)
kadar glukosa sewaktu normalnya adalah kurang dari (<180 mg/dL) Kemudian
untuk melihat keseragaman kadar glukosa pada pengujian ini dilakukan
perhitungan standar deviasi (Sd) yang menunjukkan tingkat atau derajat variasi
kelompok data dari rata-ratanya. Standar deviasi ini digunakan untuk
memperlihatkan besarnya perbedaan data yang ada yang dibandingkan dari rata-
rata. Hasilnya diperoleh nilai standar deviasi (Sd) sebesar 46,109 dan kemudian
dihitung nilai Simpangan baku relatif (Sbr) dan diperoleh nilainya sebesar
39,494%. Hal ini menandakan bahwa nilai Sbr yang diperoleh tidak memenuhi
syarat karena nilainya lebih dari 2% sedangkan syarat nilai Sbr yang baik adalah
kurang dari (<2%).

Nogrady, Thomas. 1992. Kimia Medisinal Terbitan Kedua. Bandung: Penerbit


ITB

Sacher, Ronald A dan Richard A. McPherson. 2012. Tinjauan Klinis Hasil


Pemeriksaan Laboratorium, e/11. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai