Anda di halaman 1dari 19

TEORI KONFLIK MENURUT PARA AHLI

Asumsi dasar
TSejarah Awal[sunting] Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik
dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang ahli
sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke
dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar lebih mudah difahami oleh
sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman saat kunjungan singkatnya ke Amerika
Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan
membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi
teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat
teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang
dapat dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap
masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. [8] eori konflik muncul
sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional.[rujukan?] Pemikiran yang paling
berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx.[rujukan?]
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan
alternatif terhadap teori struktural fungsional.[2]
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan
perjuangannya.[rujukan?] Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia
menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup,
terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar.
[rujukan?] Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan

eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus
berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa
rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan
antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu
revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum
borjuis terhadap mereka.[3]
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori
struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan
dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori
konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan.
Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau
ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan
kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang
berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi.
Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya
perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial.
Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu
selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan
karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat
mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-
negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan
yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu,
teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh
sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu
Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.
Teori Konflik Menurut Lewis A. Coser
Sejarah Awal
Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan
tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model
tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Berbeda oleh karena itu dapat oleh
berdasarkanbeberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang
berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada
kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut.

Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial,
mereka melihatnya konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih untuk
menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk
serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu. Coser mengembangkan perspektif
konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel.
Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang
mencakup seluruh fenomena sosial. Karena ia yakin bahwa setiap usaha untuk
menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah
premature (sesuatu yang sia- sia.[4] Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat
sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan
pendapatnya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk-
bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana isi dunia empiris dapat ditempatkan.[4]
Penjelasan tentang teori knflik Simmel sebagai berikut:
• Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam
masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses
asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat
dibedakan dalam analisis.[4]
• Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi
dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di
mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif
akan memperlemah kerangka masyarakat.[4]
Inti Pemikiran
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan
dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas
antara dua atau lebih kelompok. [5]. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat
kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial
sekelilingnya. [5]
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang
sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja
kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik ajaran katolik pra- Konsili
Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai
masalah pentahbisan wanita). [5]Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur
Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel. [5]
Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan
permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan
akan semakin menajam. [5]Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme
khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik
sosial. [5] Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas
sebuah sistem atau struktur. [5]

Contoh: Badan Perwakilan Mahasiswa atau panitia kesejahteraan Dosen.


Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur
!
tanpa menghancurkan sistem tersebut.

Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:


1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang
terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan,
dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para
karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji
dinaikkan. [5]
2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang
antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah
satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam
biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya
masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti
ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka. [5]
Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa
sikap permusuhan atau agresi. [5]
Contoh: Dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat.
Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah
yang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing- masing
! secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah
meniggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran
untuk membicarakan masa lalu.

Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka
pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan.
Coser mennyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying
yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan
ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder,
seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. [6].
Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total
para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi
hubungan tersebut. [6] Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga
menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.

Contoh: Seperti konflik antara suami dan istri, serta konflik sepasang
! kekasih.

Coser [7]. Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi
dalam suatu kelompok. [4] Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan
terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan
dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. [7]Bila konflik dalam
kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan
masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya
suatu hubungan yang sehat. [7] Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu
melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. [7] Perbedaan merupakan peristiwa
normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. [7] Dengan demikian Coser
menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan
suatu hubungan. [7]
Teori Konflik Menurut Ralf Dahrendorf
Sejarah Awal
Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan
teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang ahli sosiologi Jerman
bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa
inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar lebih mudah difahami oleh sosiolog
Amerika yang tidak faham bahasa Jerman saat kunjungan singkatnya ke Amerika Serikat
(1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun
teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi
Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik
sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai
untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi
ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. [8]
Inti Pemikiran
Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta
modifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan
Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama. [8]
Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sebagai pengontrol
apalagi pada abad kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut ia tunjukkan dengan
memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat industri semenjak abad kesembilan
belas. [8] Diantaranya:
• Dekomposisi modal
Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang
banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari
dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga. [8]
• Dekomposisi Tenaga kerja
Di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang
mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa
orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah
zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai- pegawai
untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan baik. [8]
• Timbulnya kelas menengah baru
Pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana
para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah. [8]
Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan
kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. [9] Kemudian
dimodifikasi oleh berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir- akhir ini. Dahrendorf
mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi
pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf
hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur
bagi kelahiran kelas. [9]
Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan
banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya
tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. [9] Dalam
analisisnya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan kelompok
mungkin paling mudah di analisis bila dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi
hubungan- hubungan kekuasaan. [6] Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa
merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara
kepentingan- kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta
hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. [6]

TEORI KONFLIK
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena sosial yang terjadi dalam
masyarakat. Fenomena sosial dalam masyarakat banyak ragamnya kadangkala fenomena
sosial berkembang menjadi suatu masalah sosial akibat perbedaan cara pandang mengenai
Fenomena tersebut. Dalam menyelesaikan masalah social dibutuhkan suatu teori untuk
menyelesaikannya. Teori- teori tersebut lahir dari pengalaman- pengalaman yang terjadi
dalam kehidupan sehari- hari. Karena setiap individu mengalami pengalaman yang berbeda
maka teori yang muncul juga akan berbeda pula antara satu individu dengan individu
lainnya. Disimpulkan bahwa tidak ada teori yang dapat menyeluruh membahas mengenai
masalah sosial di masyarakat.
Di zaman modern ini, orang dengan berbagai aktivitas dan kepentingan silih berganti,
kadang dapat membuat seorang individu atau suatu kelompok mengalami disjungsi atau
persinggungan dengan individu atau kelompok yang lain yang akan mengakibatkan konflik.
Konflik yang berkepanjangan kadang dapat memperburuk tatanan sosial masyarakat.
Namun, konflik juga berperan positif dalam memperkuat persatuan dan menghilangkan
konflik intern dalam suatu kelompok. Konflik dimanapun bentuknya merupakan sesuatu
yang wajar terjadi. Konflik senantiasa ada dalam setiap sistem sosial. Dapat dikatakan
konflik merupakan suatu ciri dari sistem sosial. Tanpa konflik suatu hubungan tidak akan
hidup. Sedangkan ketiadaan konflik dapat menadakan terjadinya penekanan masalah yang
suatu saat nanti akan timbul suatu ledakan yang benar- benar kacau. Untuk itu dibutuhkan
suatu teori yang dapat menekan bahkan memusnahkan konflik yang terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat.
Diharapkan dengan adanya makalah ini baik pembaca maupun pendengar suatu saat nanti
dapat mempergunakan makalah ini sebagai acuan untuk memahami dan menyelesaikan
suatu konflik baik yang dihadapi oleh kelompok maupun oleh individu itu sendiri. Sehingga
dapat menyikapi konflik itu sendiri secara bijak dan hati- hati.

PEMBAHASAN

Sejara Teori Konflik

Teori konflik yang muncul pada abad ke sembilan belas dan dua puluh dapat
dimengerti sebagai respon dari lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan
industrialisasi, sehingga kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika khususnya,
merupakan pengikutan, atau akibat dari, realitas konflik dalam masyarakat Amerika (Mc
Quarrie, 1995: 65). Selain itu teori sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan
terhadap analisis fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang
menilai masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya.Perspektif konflik dapat
dilacak melalui pemikiran tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx (1818-1883), Emile
Durkheim (1879-1912), Max Weber (1864-1920), sampai George Simmel (1858-1918).
Keempat pemikiran ini memberi kontribusi sangat besar terhadap perkembangan analisis
konflik kontemporer. Satu pemikiran besar lainnya, yaitu Ibnu Khouldoun sesungguhnya
juga berkontribusi terhadap teori konflik. Teori konflik Kholdun bahkan merupakan satu
analisis komprehensif mengenai horisontal dan vertikal konflik.Proposisi ini dipaparkan
dalam rangka untuk memahami dinamika yang terjadi di dalam masyarakat.
Dengan adanya perbedaan kekuasaan dan sumber daya alam yang langka dapat
membangkitkan pertikaian (konflik) di masyarakat. Kelompok-kelompok kepentingan yang
berbeda dalam system sosial akan saling mengajar tujuan yang berbeda dan saling
bertanding. Hal ini sesuai dengan pandangan Lock Wood, bahwa kekuatan–kekuatan yang
saling berlomba dalam mengejar kepentingannya akan melahirkan mekanisme
ketidakteraturan sosial (socialdisorder). Para teoritis konflik memandang suatu masyarakat
terikat bersama adalah kekuatan kelompok atau kelas yang dominant. Para fungsionalis
menganggap nilai-nilai bersama (consensus) sebagai suatu ikatan pemersatu, sedangkan
bagi teoritis konflik, konsensus itu merupakan ciptaan dari kelompok atau kelas dominan
untuk memaksakan,nilai-nila.
Teori konflik merupakan sebuah pendekatan umum terhadap keseluruhan lahan
sosiologi dan merupakan toeri dalam paradigma fakta sosial. Mempunyai bermacam-macam
landasan seperti teori Marxian dan Simmel. Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah
memberi jalan keluar terjadinya konflik pada kelas pekerja. Sedangkan Simmel berpendapat
bahwa kekuasaan otoritas atau pengaruh merupakan sifat kepribadian individu yang bisa
menyebabkan terjadinya konflik.
Ketegangan hubungan produksi dalam sistem produksi kapitalis antara kelas borjuis dan
proletar mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan
hubungan produksi terjadi ketika kelas proletar telah sadar akan eksploitasi borjuis terhadap
mereka. Sampai pada tahap ini Marx adalah seorang yang sangat yakin terhadap perubahan
sosial radikal, tetapi lepas dari moral Marx, esensi akademiknya adalah realitas kekuasaan
kelas terhadap kelas lain yang lemah, konflik antar kelas karena adanya eksploitasi itu, dan
suatu perubahan sosial melalui perjuangan kelas, dialektika material, yang sarat konflik dan
determinisme ekonomi. Pemikiran ini nantinya sangat berpengaruh dan berkembang sebagai
aliran Marxis, neoMarxis, madzab Kritis Frankurt, dan aliran-aliran konflik lainnya.
Tindakan afektif individu didominasi oleh sisi emosional, dan tindakan tradisional adalah
tindakan pada suatu kebiasaan yang dijunjung tinggi, sebagai sistem nilai yang diwariskan
dan dipelihara bersama. Stratifikasi tidak hanya dibentuk oleh ekonomi melainkan
jugaprestige (status), dan power (kekuasaan/politik). Konflik muncul terutama dalam
wilayah politik yang dalam kelompok sosial adalah kelompok-kelompok kekuasaan, seperti
partai politik.
Pokok pikiran Durkheim adalah fakta sosial, Giddens merinci dua makna yang saling
berkaitan, dimana fakta-fakta sosial merupakan hal yang eksternal bagi individu. Pertama-
tama tiap orang dilahirkan dalam masyarakat yang terus berkembang dan yang telah
mempunyai suatu organisasi atau strutur yang pasti serta yang mempengaruhi
kepribadiannya. Kedua fakta-fakta sosial merupakan ‘hal yang berada di luar’ bagi
seseorang dalam arti bahwa setiap individu manapun, hanyalah merupakan suatu unsur
tunggal dari totalitas pola hubungan yang membentuk masyarakat (Giddens, 1986: 108).
Perkembangan ilmu sosial kemudian memperoleh kesempurnaannya setelah tradisi
pemikiran Eropa melahirkan determinisme ekonomi atau pertentangan kelas dari Marx,
teori teori tindakan dan stratifikasi sosial Weber, dan Fakta sosial dari Durkheim.
Teori konflik

Teori konflik ini sebenarnya dibangun dalam rangka untuk menentang secara
langsung terhadap teori fungsionalisme struktural. Karenanya tidak mengherankan apabila
proposisi yang dikemukakan oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang terdapat
dalam teori fungsionarisme struktural.
Teori ini mulai muncul dalam sosiologi Amerika serikat pada tahun 1960-an yang
merupakan kebangkitan kembali berbagai gagasan yang diungkapkan sebelumnya oleh Karl
Marx dan Max weber. Kedua tokoh ini merupakan "teoritis konflik" tetapi teori mereka
berbeda satu sama lain, karena itu teori konflik modern pun terpecah menjadi dua tipe
utama, yaitu teori.konflik neo-Marxian dan teori konftik neo-weberian. Versi neo_Marx_ ian
lebih terkenal dan berpengeruh ketimbang versi neo-Weberian.
Kedua teoretis konflik ini, Marx dan weber, adalah penolakan terhadap gagasan bahwa
masyarakat cenderung kepada beberapa konsensus dasar atau harmoni, dimana struktur
masyarakat bekerja untuk kebaikan setiap orang. Para teoretisi konflik memandang konflik
dan pertentangan kepentingan dan concern dari berbagai individu dan kelompok yang saling
bertentangan sebagai determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial. Dengan
kata lain, struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan
berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas yang akan
memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginan mereka. Karena sumber-sumber daya ini
dalam kadar tertentu selalu terbatas, maka konflik untuk mendapatkannya selalu terjadi.
Marx dan weber menerapkan gagasan umum ini dalam teori posilogi mereka dengan cara
yang berbeda dan mereka pandang menguntungkan.

Karl Marx (stephen K. sanderson, 1993: 12-13) berpendapat bahwa bentuk-bentuk


konflik yang terstruktur antara berbagai individu dan Kelompok muncul terutama melalui
terbentuknya hubungan-hubungan pribadi dalam produksi. sampai pada titik tertentu dalam
evolusi kehidupan sosial manusia, hubungan pribadi dglam produksi mulai menggantikan
pemilihan komunal atas kekuatan-kekuatan produksi. Dengan demikian masyarakat
terpecah menjadi kelompok-kelompok yang memiliki dan mereka yang tidak memiliki
kekuatan-kekuatan'prajutri menjadi kelas sosial. Jadi kelas dominan menjalin hubungan
dengan kelas-kelas yang tersubordinasi dalam sebuah proses eksploitasi ekonomi. secara
alamiah saja, kelas-kelas yang tersubordinasi ini akan marah karena dieksploitasi dan
terdorong untuk memberontak dari kelas bahwa menciptakan aparat politik yang kuat -
negara yang mampu menekan pemberontakan tersebut dengan kekuatan.
Dengan demikian, teori Marx di atas memandang eksistensi hubungan pribadi dalam
produksi dan kelas-kelas sosial sebagai elemen kunci dalam banyak masyarakat. la juga
berpendapat bahwa pertentangan antara kelas dominan dan kelas yang tersubordinasi
memainkan peranan sentral dalam menciptakan bentuk-bentuk penting perubahan sosial.
Sebenarnya sebagaimana yang ia kumandangkan, sejarah dari semua masyarakat yang ada
hingga kini adalah sejarah pertentangan-pertentangan kelas. Dalam hal ini Stephen K.
Sanderson (1993: '12), beberapa strategi konflik marxian-modern adalah sebagai berikut:
1. Kehidupan sosial pada dasarnya merupakan arena konflik ataupertentangan di antara
dan di dalam kelompok-kelompok yangbertentangan.
2. Sumber-sumber daya ekonomi dan kekuasaan-kekuasaan politikmerupakan hal
pentingt yang berbagai kelompok berusaha merebutnya.
3. Akibat tipikal dari pertentangan ini ada-lah pembagian masyarakat menjadi kelompok
yang determinan secara ekonomi dan kelompok yang tersubordinasi.
4. Pola-pola sosial dasar suatu masyarakat sangat ditentukan oleh pengaruh sosial dari
kelompok yang secara ekonomi merupakan kelompok yang determinan.
5. Konflik dan pertentangan sosial di dalam dan di antara berbagai masyarakat
melahirkan kekuatan-kekuatan yang menggerakkan perubahan sosial.
6. Karena konflik dan pertentangan merupakan ciri dasar kehidupan sosial, maka
perubahan sosial, menjadi hal yang umum dan sering terjadi.

Berikutnya Stephen K. Sanderson ,"menjelaskan bahwa strategi konflik Marxian


secara esensial lebih merupakan strategi materialis ketimbang idealis. Hal ini tidak
mengherankan karena kenyataan menunjukkan bahwa Marx mengusulkan gagasan teoritis
yang bersifat materialis ketimbang idealis Materialistis dan konflik ini. Pada teoritis konflik
Marxian memandang konflik sosial muncul terutama karena adanya upaya untuk
memperoleh akses kepada kondisi-kondisi material yang menopang kehidupan sosial; dan
mereka melihat kedua fenomena ini sebagai determinan krusial bagi pola-pola sosial dasar
suatu mayarakat.
Sementara itu menurut R. Collins (Stephen K' Sanderson' 1993: 13)
Dalam teorinya weber percaya bahwa konflik terjadi dengan Cara yang jauh lebih dari
sekedar kondisi-kondisi material. Weber mengakui bahwa konflik dalam merebutkan
sumber daya ekonomi merupakan ciri dasar kehidupan sosial, tetapi ia berpendapat bahwa
banyak tipe-tipe konflik lain yang juga terjadi' Di antara berbagai tipe tersebut. Weber
menekankan dua tipe. Dia menganggap konflik dalam arena politik sebagai sesuatu yang
sangat fundamental. Baginya kehidupan sosial dalam kadar tertentu merupakan
pertentangan untuk memperoleh kekuasaan dan dominasi oleh sebagian individu dan
kelompok tertentu terhadap yang lain dan dia tidak menganggap pertentangan untuk-
memperoleh keuntungan ekonomi' Sebaliknya, Weber melihat dalam kadar tertentu sebagai
tuiuan pertentangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi'
Sebaliknya Weber, melihat dalam kadar tertentu sebagai tujuan pertentangan itu sendiri; ia
berpendapat bahwa pertentangan untuk memperoleh kekuasaan tidaklah terbatas hanya pada
organisasi-organtsasi politik formal, tetapi juga terjadi dalam setiap tipe kelornpok seperti
organisasi keagamaan dan pendidikan' Tipe konflik kedua yang sering kali ditekan oleh
weber adalah konflik dalam hal gagasan dan cita-cita. ia berpendapat bahwa orang
seringkali tertantang untuk memperoleh dominasi dalam hal pandangan dunil mereka' baik
itu berupa doktrin keagamaan, filsafat sosial ataupun konsepsi tentang bentuk gaya hidup
cultural yang terbaik. Lebih dari itu, gagasan cita-cita tersebut bukan hanya
dipertentangkan; tetapi dijadikan senjata atau alat dalam pertentangan lainnyamisalnya
pertentangan politik.
Jika kita urut perbedaan antara Marx Weber dan Karl Marx dalam hal menyangkut
kemungkinan untuk memecahkan konflik dasar dalam masyarakat masa depan, dengan teori
mereka di atas, maka terlihat sebagai berikut:
1. Marx berpendapat bahwa karena konflik pada dasarnya muncul dalam upaya
memperoleh akses terhadap kekuatan-kekuatan produksi, sekali kekuatan-kekuatan ini
dikembalikan kepada kontrol seluruh masyarakat, maka konflik dasar tersebut akan dapat
dihapuskan. Jadi sekali kapitalis digantikan dengan sosialisme, maka kelas-kelas akan
terhapuskan dan pertentangan kelas akan berhenti.
2. Weber memiliki pandangan yang jauh pesimistik. la percaya bahwa pertentangan
merupakan salah satu prinsip kehidupan sosial yang sangat kukuh dan tak dapat
dihilangkan. Dalam suatu tipe masyarakat masa depan, baik kapitalis, sosialis atau tipe
lainnya orang-orang akan tetap selalu bertarung memperebutkan berbagai sumber daya.
Karena itu Weber menduga bahwa pembagian atau pembelaan sosial adalahciri permanen
dari semua masyarakat yang sudah kompleks, walaupun tentu saja akan mengambil bentuk-
bentuk dan juga tingkat kekerasan yang secara substansial sangat bervarisi.

Tokoh utama teori konflik ini setelah era Karl Marx dan Marx Weber yang ternama
adalah Ralp Dahrendorf di samping Lewis A. Coser. Berbeda dari beberapa ahli sosiologi
yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda yaitu teori kaum fungsional
struktural versus teori konflik, Coser mengemukakan komitmennya pada kemungkinan
menyatukan pendekatan tersebut.
Lewis A. Coser (Marga M. Poloma, 1992:103) mengakui beberapa susunan struktural
merupakan hasil persetujuan dan konsensus, yang menunjukkan pada proses lain yaitu
konflik sosial. Dalam membahas berbagai situasi konflik, Coser membedakan konflik yang
realistis dari yang Tidak realities. Konflik yang realities berasal dari kekecewaan terhadap
tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan
keuntungan para partisipan dan yang ditunjuk pada objek yang dianggap mengecewakan.
Dalam hal lain, Lewis A. Coser (Margaret M. poloma, 1992: 113-117) mengemukakan teori
konflik dengan membahas tentang, permusuhan dalam hubungan-hubungan sosial yang
intim, fungsionalistas konflik dan kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan
kelompok luar dan struktur kelompok sosial, sebagai berikut:
1. Permusuhan dalam hubungan sosial yang intim. Bila konflik berkembang dalam
hubungan-hubungan sosial yang intim, maka pemisahan antara konflik realitis dan
nonrealistis lebih sulit untuk dipertahankan. Karena semakin dekat suatu hubungan, semakin
besar rasa kasih sayang yang sudah tertanamkan makin besar juga kecenderungan untuk
menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedangkan pada hubungan-
hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan relatif dapat
lebih bebas diungkapkan.
2. Fungsionalitas konflik. Coser mengutip hasil pengamatan Georg simmel yang
menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat meredakan ketegangan yang
terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan keutuhah dan keseimbangan. sebagai
contoh hasil pengamatan simmel terhadap masyarakat Yahudi, bahwa peningkatan konflik
dalam kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan dan ke dalam
masyarakat secara keseluruhan. Karena homogenitas mungkin penting bagi kelangsungan
suatu kelompok terisolir yang berarti konflik internal tidak ada, hal ini dapat juga berarti
kelemahan integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat secara keseluruhan.
3. Kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan kelompok luar dan struktur
kelompok menurut coser, konflik dengan kelompok ruar akan membantu memantapkan
batas-batas struktural. sebaliknya konflik dengan kelompok luar juga dapat mempertinggi
integrasi di dalam kelompok. Tingkat konsensus kelompok sebelum konflik terjadi
merupakan hubungan timbal-balik paling penting dalam konteks apakah konflik dapat
mempertinggi kohesi kelompok. Bilamana konsensus dasar suatu kelompok lemah, maka
ancaman dari luar menjurus bukan pada peningkatan kohesi, tetapi pada agati umum dan
akibatnya kelompok terancam oleh perpecahan.

Bila ditilik teori konflik dari Coser di atas, terlihat bahwa teori yang ia kemukakan
berbeda dengan analisis banyak kaum fungsionalis, yang memandang bahwa konflik itu
merupakan disfunggsional bagi suatu kelompok. Sedangkan Coser memandang kondisi-
kondisi di mana secara positif, konflik membantu mempertahankan struktur sosial. Konflik
sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan
batas-batasnya berbentuk dan dipertahankan. Selanjutnya konflik dapat menyatukan para
anggota kelompok melalui pengukuhan kembali identitaskelompok.
Coser juga menyebutkan konflik itu merupakan sumber kohesi atau perpecahan kelompok
tergantung atas asal mula ketegangan, isu tentang konflik, cara bagaimana ketegangan itu
ditangani dan yang terpenting tipe struktur dimana konflik itu berkembang. Berikutnya
Coser, juga menyebutkan bahwa terdapat perbedaan antara, konflik in group dan konflik out
Group antara nilai inti dengan masalah yang lebih bersifat pinggiran,.antara konflik yang
menghasilkan perubahan struktural lawan konflik yang disalurkan melalui lembaga-lembaga
savety value, yaitu salah.satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mernpertahankan
kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Begitu pula antara konflik pada struktur
jaringan longgar dan struktur berjaringan ketat: juga Coser membedakan konflik realistis
dengan non realistis.
Keseluruhan ini merupakan faktor-faktor yang menentukan fungsi konflik sebagai suatu
proses sosial. Teori Coser dapat disebutkan lebih menggambarkan fungsionalisme konflik;
perspektif integrasi dan perseptif konflik bukan merupakan skema penjelasan yang saling
bersaing; keduanya adalah teori-teori parsial yang data atau peristiwanya berhubungan
dengan penjelasan teoritis yang menyeluruh. Konflik dan konsensus, integrasi dan
perpecahan adalah proses fundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda
merupakan bagian dari setiap system sosial yang dapat dimengerti. Ralf Dahrendorf seorang
sosiolog Jerman, sebagai tokoh utama teori konflik dan merupakan seorang pengkritik
fungsionalisme struktural yang olehnya dianggap gagal memahami masalah perubahan.
Sebagai landasan teorinya tidak menggunakan teori Simmel seperti Coser melainkan ia
membangun teorinya dengan separuh penolakan, separuh menerima serta memodifi kasi
teori sosiologis Karl Marx.
Seperti Coser, Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, meng-
gapteori itu merupakan perspektif yang dapat digunakan
menganalisa fenomena sosial. Dahrendorf meng-gap masyarakat bersisi ganda, memiliki
sisi konflik dan sidikit kerjasama, kemudian ia menyempurnakan posisi ini dengan
menyatakan bahwa segala sesuatu yang dapat dianalisis dengan fungsionalisme struktural,
dapat pula dianalisis dengan teori konflik dengan lebih baik.
Ralf Dahrendorf (Margaret M. Poloma, 1992 145) menggunakan teori perjuangan kelas
Marxian untuk membangun teori kelas dan pertentangan kelasnya dalam masyarakat
industri kontemporer. Kelas tidak berarti pemilikan sarana-sarana produksi seperti yang
dilakukan oleh Marx tetapi lebih merupakan pemilikan kekuasaan yang mencakup hak
absah untuk menguasai orang lain. Perjuangan kelas dalam masyarakat modern baik dalam
perekonomian kapitalis maupun komunis, dalam pemerintahan bebas dan totaliter berada di
seputar pengendalian kekuasaan. Dahrendorf melihat kelompok-kelompok pertentangan
sebagai kelompok yang lahir dari kepentingan-kepentingan bersama para individu yang
mampu berorganisasi. Proses ini ditempuh melalui perubahan kelompok semua menjadi
kelo.mpok kepentingan yang mampu memberi dampak pada struktur. Lembaga-lembaga
yang terbentuk sebagai hasil dari kepentingan-kepentingan itu dan kemudian merupakan
jembatan di atas mana perubahan sosial itu terjadi. Berbagai usaha harus diarahkan untuk
mengatur pertentangan sosial melalui institusionalisasi yang efektif dari pada melalui
penekanan pertentangan itu.
Berikutnya Dahrendorf mengemukakan teori konfliknya melalui pembahasan tentang
wewenang dan posisi yang merupakan fakta sosial. Menurut Dahrendorf distribusi
kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa kecuali menjadi faktor yang
menentukan konflik sosial secara sistematis. Perbedaan wewenang adalah suatu tanda dari
adanya berbagai posisi dalam masyarakat. Perbedaan posisi serta perbedaan wewenang di
antara individu dalam mdsyarakat itulah yang harus menjadi perhatian utama para sosiolog.
Kekuasaan dan wewenang menurut Dahrendorf (Ceorge Ritzer, 1985:31) senantiasa
menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur. Karena
wewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang
ada akan terkena sanksi. Dengan demikian masyarakat disebut oleh Dahrendorf sebagai
persekutuan yang terkoordinasi secara paksa. Kekuasaan itu selalu memisahkan dengan
tegas antar a penguasa dan yang dikuasai maka dalam masyarakat selalu terdapat dua
golongan yang saling bertentangan. Masing-masing golongan dipersatukan oleh ikatan
kepentingan nyata yang bertentangan secara substansial dan secara langsung di antara
golongan-golongan itu. Pertentangan itu terjadi dalam situasi dimana golongan yang
berkuasa berusaha mempertahankan status quo sedangkan golongan yang dikuasai berusaha
untuk mengadakan perubahan-perubahan. Pertentangan kepentingan ini selalu ada setiap
waktu dan dalam setiap struktur. Karena itu kekuasaan yang sah selalu berada dalam
keadaan terancam bahaya dari golongan yang anti status quo. Kepentingan yang terdapat
dalam satu golongan tertentu selalu dinilai objektif oleh golongan yang bersangkutan dan
selalu berdempetan dengan posisi individu yang termasuk ke dalam golongan itu. Seorang
individu akan bersikap dan bertindak sesuai dengan cara-cara yang berlaku dan yang
diharapkan oleh golongannya. Dalam situasi konflik seorang individu akan menyesuaikan
diri dengan peranan yang diharapkan oleh golongan itu yang oleh Dahrendorf disebut
sebagai peranan laten. la membedakan golongan yang terlihat konflik itu atas duatipe yaitu
kelompok semu (quasi group) dan kelompok kepentingan (interest
group). Kelompok semu merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan
dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan.
sedangkan kelompok kedua yakni kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semua
yang lebih luas.
Kelompok kepentingan ini memiIiki struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota
yang jelas. Kelompok kepentingan ini yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam
masyarakat; kemudian terdapat mata rantai antara konflik dan perubahan sosial, konflik ini
memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik golongan yang
terlihat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial.
Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal,
begitu pula jika konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural
akan lebih efektif.
Pandangan Dahrendorf (Margaret M. Poloma, 1992: 134) tentang alasan teoretis utama
mengapa revolusi ala Marxis tidak terjadi, ini disebabkan karena pertentangan yang ada
cenderung diatur melalui institusionalisasi. Pengaturan atau institusionalisasi'terbukti dari ti
rnbuI nya serikat-serikat buruh yang telah memperlancar mobilitas sosial serta mengatur
konflik antara buruh dan manajemen. Melalui institusionalisasi pertentangan tersebut, setiap
masyarakat mampu mengatasi masalahmasalah baru yang timbul. Dahrendorf menyatakan
bahwa menyatakan institusionalisasi pertentangan kelas bermula dari pengakuan bahwa
buruh dan manajemen merupakan kelompok-kelompok kepentingan yang sah. Organisasi
mengisyaratkan keabsahan kelompok-kelompok kepentingan dengan demikian
menghilangkan ancaman perang gerilya bersifat permanen dan tak dapat diperhitungkan.
Pada saat yang sama hal ini membuat pengaturan pertentangan secara sistematis
dimungkinkan, organisasi adalah institusionalisasi. Di dalam melancarkan kritik sosiologis
terhadap teori Karl Marx, Dahrendorf mendukung dan menolak beberapa pernyataan Marx.
Ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana
produksi Marx sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan-hubungan
kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur-unsur bagi kelahiran
kelas; terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dengan kata lain
ada beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan yang ada dalam kelompok sedang
yang lain tidak; beberapa orang turut sefta dalam struktur kekuasaan yang ada dalam
kelompok sedang yang lain tidak Perbedaan dalam tingkat dominasi itu dapat dan selalu
sangat besar.
Jika ditilik bahasan Dahrendorf di atas terlihat bahwa bahasan teorinya tentang konflik itu
lebih menekankan kekuasaan daripada pemilikan sarana-sarana produksi; dalam masyarakat
industri modern pemilik sarana produksi tidak sepenting mereka yang melaksanakan
pengendalian atas sarana itu.
Kenyataan ini terlihat terulang kembali pada pandangan toeri konfliknya berikut ini.
Menurut Dahrendorf (Margaret M. Poloma, 1992: 137) pertentangan kelas harus di Iihat
sebagai kelompok-kelompok pertentangan yang berasal dari struktur kekuasaan asosiasi-
asosiasi yang terkoordinir secara pasti. Kelompok-kelompok yang bertentangan itu sekali
mereka ditetapkan sebagai kelompok kepentingan, akan terlibat dalam pertentangan yang
niscaya akan menimbulkan perubahan struktur sosial. Pertentangan antara buruh dan
manajeman yang merupakan topic permasalahan utama bagi Marx misalnya, akan
terlembaga lewat serikatserikat buruh. Pada gilirannya serikat buruh tersebut akan terlibat
dalam pertentangan yang mengakibatkan perubahan di bidang hukum serta ekonomi dan
perubahan-perubahan konkret dalam sistem pelapisan masyarakat. Timbulnya kelas
menengah baru, sebenarnya merupakan suatu perubahan struktural yang berasal dari
institusionlisasi pertentangan kelas.
Menurut Margaret M. Poloma (1992: 137-138) menyebutkan bahwa Dahrendorf
menegaskan bahwa teori konfliknya merupakan model pluralistis yang berbeda dengan
model dua kelas yang sederhana dari Karl Marx. Marx menggunakan seluruh masyarakat
sebagai unit analisis, dengan orang-orang yang mengendalikan sarana produksi lewat
pemilikan sarana tersebut atau orang yang tidak ikut dalam pemilikan yang demikian.
Manusia dibagi ke dalam kelompok yang punya, dan yang tidak. Dalam menggantikan
hubungan-hubungan kekayaan dengan hubungan kekuasaan sebagai inti dari teori kelas,
Dahrendorf menyatakan bahwa model dua kelas ini tidak dapat diterapkan pada masyarakat
secara keseluruhan terapi hanya pada asosiasi-asosiasi tertentu yang ada dalam suatu
masyarakat. Kekayaan, status ekonomi dan satus sosial, walaupun bukan merupakan
determinan pencerminan kelas tetapi dapat memengaruhi intensitas pertentangan. Dalam hal
ini Dahrendorf mengetengahkan proposinya yaitu, "semakin rendah korelasi ekonomi
lainnya, maka semakin rendah intensitas pertentangan kelas dan sebaliknya. Dengan kata
lain kelompok-kelompok .
Kontras lainnya adalah bahwa kalau penganut teori fungsionalisme struktural melihat
anggota masyarakat terikat secara informal oleh normanorma, nilai-nilai dan moralitas
umum, maka teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanya
disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang
berkuasa.
Sebenarnya antara teori fungsionalisme struktural dengan teori konflik tidaklah bersifat
saling menolak, mereka adalah saling melengkapi. Sebenarnya, asal struktural konflik sosial
terletak pada relasi-relasi hierakis berupa kuasa atau wewenang yang berlaku di dalam
kelompokkelompok dan organisasi-organisasi sosial. Setiap kesatuan itu menunjukkan
pembagian yang sama yakni antara sejumlah orang yang berada di dalam posisi memegang
kuasa dan wewenang dengan sejumlah besar lain yang berada di posisi bawahannya.
Mengenai penalaran teori konflik ini dijelaskan oleh Karel J. Veeger (1992: 93-95) sebagai
berikut:
1. Kedudukan orang dalam kelompok tidaklah sama, karena ada pihak yang bekuasa dan
berwenang, dan ada pula pihak yang tergantung.
2. Perbedaan dalam kedudukan menimbulkan kepentingan-kepentingan yang berbeda
pula. Yang satu hendak berhasil dalam kedudukannya yang tinggi, mempertahankannya,
memakai kesempatan-kesempatan khusus yang berkaitan dengan jabatannya, mengontrol
arus informasi, dan mampu membalas jasa-jasa dari mereka yang setia agar mereka lebih
setia. Pihak yang satu ini cenderung mengarah kepada konservatisme.
3. Mula-mula sebagian kepentingan-kepentingan yang berada itu tidak disadari dan
karenanya dapat disebut kepentingan tersembunyi (latent interests), yang tidak akan
meletuskan aksi.
4. Konflik akan berhasil membawa suatu perubahan dalam strutur relasirelasi sosial, jika
kondisi-kondisi tertentu telah terpenuhi yaitu:
Ø Kondisi-kondisi yang menyangkut keorganisasian, seperti:
· komunikasi efektif, pengerahan dan penempatan tenaga yang tepat.
· kesempatan dan kebebasan berasosiasi.
· tersedianya perintis (pendiri), pemimpin, dan ideologi.
Ø Kondisi-kondisi yang menyangkut konflik sendiri seperti:
· adanya mobilitas sosial, sehingga individu-individu atau keluarga-keluarga secara
realistis dapat mengharapkan dan memperjuangan perubahan sosial.
· mekanisme/sarana-sarana efektif dalam menangani dan mengatur konflik sosial.
Ø Akhirnya ada kondisi-kondisi yang menentukan bentuk dan besarnya perubahan
structural.

Faktor Penyebab Konflik


Konflik yang terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam sebab.Begitu
beragamnya sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulituntuk dideskripsikan
secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-
ciri yang dibawa individu dalam suatuinteraksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya
adalah menyangkut ciri fisik,kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain
sebagainya. Sumberkonflik itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak rasional. Pada
umumnyapenyebab munculnya konflik kepentingan sebagai:
a. Perbedaan pendapat
Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak merasa
dirinya benar, tidak ada yang mau mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat
tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan
sebagainya.
b. Salah paham
Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik.Misalnya tindakan
dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang
lain
c. Ada pihak yang di Rugikan
salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa
dirugikan pihak lain sehingga seseorang yangdirugikan merasa kurang enak, kurang senang
atau bahkan membenci
d. Perasaan sensitif
Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain.
Contoh, mungkin tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak laindianggap merugikan.

Selain diatas faktor penyebab konflik juga dapat disebabkan oleh:


a. Perbedaan individu
Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik,
biasanya perbedaan individu yang menjadi sumber konflik adalah perbedaan pendirian dan
perasaan..
b. Perbedaan latar belakang kebudayaan
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian
kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan
perbedaan individu yang dapatmemicu konflik. Perbedaan kepentingan antara individu atau
kelompok manusia memiliki perasaan,pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang
berbedaOleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang ataukelompok
memiliki kepentingan yang berbeda- beda.
c. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu
berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya
konflik sosial.

Jenis-jenis Konflik
a. Konflik Pribadi
Konflik terjadi dalam diri seseorang terhadap orang lain. Umumnya konflik pribadi diawali
perasaan tidak suka terhadap orang lain, yang pada akhirnya melahirkan perasaan benci
yang mendalam. Perasaan ini mendorongtersebut untuk memaki, menghina, bahkan
memusnahkan pihak lawan.
b. Konflik Rasial
Konfilk rasial umumnya terjadi di suatu negara yang memiliki keragamansuku dan ras.
Lantas, apa yang dimaksud dengan ras? Ras merupakanpengelompokan manusia
berdasarkan ciri-ciri biologisnya, seperti bentuk muka,bentuk hidung, warna kulit, dan
warna rambut.
c. Konflik Antarkelas Sosial
Terjadinya kelas-kelas di masyarakat karena adanya sesuatu yang dihargai,seperti kekayaan,
kehormatan, dan kekuasaan. Kesemua itu menjadi dasarpenempatan seseorang dalam kelas-
kelas sosial, yaitu kelas sosial atas, menengah,dan bawah. Seseorang yang memiliki
kekayaan dan kekuasaan yang besar
menempati posisi atas, sedangkan orang yang tidak memiliki kekayaan dan kekuasaan
berada pada posisi bawah. Dari setiap kelas mengandung hak dan kewajiban serta
kepentingan yang berbeda-beda. Jika perbedaan ini tidak dapat terjembatani, maka situasi
kondisi tersebut mampu memicu munculnya konflik rasial.
d. Konflik Politik Antargolongan dalam Satu Masyarakat maupun antara Negara-Negara
yang Berdaulat
Dunia perpolitikan pun tidak lepas dari munculnya konflik sosial. Politik adalah cara
bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah. Konflik politik terjadi karena
setiap golongan di masyarakat melakukan politik yangberbeda-beda pada saat menghadapi
suatu masalah yang sama. Karena perbedaaninilah, maka peluang terjadinya konflik
antargolongan terbuka lebar.
e. Konflik Bersifat Internasional
Konflik internasional biasanya terjadi karena perbedaan perbedaan kepentingan di mana
menyangkut kedaulatan negara yang saling berkonflik. Karena mencakup suatu negara,
maka akibat konflik ini dirasakan oleh seluruh rakyat dalam suatu negara.
Konflik dipandang destruktif dan disfungsional bagi individu yang terlibatapabila:
1. Konflik terjadi dalam frekuensi yang tinggi dan menyita sebagianbesar kesempatan
individu untuk berinteraksi. Ini menandakan bahwa problemtidak diselesaikan secara kuat.
Sebaliknya, konflik yang konstruktif terjadi dalamfrekuensi yang wajar dan masih
memungkinkan individu-individunya berinteraksisecara harmonis.
2. Konflik diekspresikan dalam bentuk agresi seperti ancaman atau paksaan danterjadi
pembesaran konflik baik pembesaran masalah yang menjadi isu konflik maupun
peningkatan jumlah individu yang terlibat. Dalam konflik yangkonstruktif isu akan tetap
terfokus dan dirundingkan melalui proses pemecahanmasalah yang saling menguntungkan.
3. Konflik berakhir dengan terputusnya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat.Dalam
konflik yang konstruktif, kelangsungan hubungan antara pihak-pihak yangterlibat akan tetap
terjaga.
Solusi Dalam Penyelesaian Konflik
Setelah mengetahui penyebab terjadinya konflik, kini bisa dimulai untuk mencoba berbagai
alternatif teoretis untuk menyelesaikan konflik yang tejadi. Secara umum, untuk
menyelesaikan konflik dikenal beberapa istilah, yakni Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Pertama, model penyelesaian berdasarkan sumber konflik. Dalam model ini, untuk
bisa penyelesaian konflik dituntut untuk terlebih dahulu diketahui sumber-sumber konflik:
apakah konflik data, relasi, nilai, struktural, kepentingan dan lain sebagainya. Setelah
diketahui sumbernya, baru melangkah untuk menyelesaikan konflik. Setiap sumber masalah
tentunya memiliki jalan keluar masing-masing sehingga menurut model ini, tidak ada cara
penyelesaian konflik yang tunggal.
2. Kedua, model Boulding. Model Boulding menawarkan metode mengakhiri konflik
dengan tiga cara, yakni menghindar, menaklukkan, dan mengakhiri konflik sesuai prosedur.
Menghindari konflik adalah menawarkan kemungkinan pilihan sebagai jawaban terbaik.
Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa ini hanya bersifat sementara agar kedua pihak dapat
memilih jalan terbaik mengakhiri konflik. Menaklukkan adalah pengerahan semua kekuatan
untuk mengaplikasikan strategi perlawanan terhadap konflik. Mengakhiri konflik melalui
prosedur rekonsiliasi atau kompromi adalah metode umum yang terbaik dan paling cepat
mengakhiri konflik.
3. Ketiga, model pluralisme budaya. Model pluralisme budaya, dapat membantu untuk
melakukan resolusi konflik. Misalnya, individu atau kelompok diajak memberikan reaksi
tertentu terhadap pengaruh lingkungan sosial dengan mengadopsi kebudayaan yang baru
masuk. Inilah yang kemudian disebut sebagai asimilasi budaya. Selain asimilasi, faktor yang
bisa membuat kita menyelesaikan konflik adalah akomodasi. Dalam proses akomodasi, dua
kelompok atau lebih yang mengalami konflik harus sepakat untuk menerima perbedaan
budaya, dan perubahan penerimaan itu harus melalui penyatuan penciptaan kepentingan
bersama.
4. Keempat, model intervensi pihak ketiga. Dalam model ini ada beberapa bentuk, yakni
coercion, arbitrasi, dan mediasi. Coercion adalah model penyelesaian konflik dengan cara
paksaan, di mana masing-masing pihak dipaksa untuk mengakhiri konflik. Arbitrasi adalah
penyelesaian konflik dengan cara mengambil pihak ketiga untuk memutuskan masalah yang
terjadi, dan keputusan pihak ketiga harus dipatuhi oleh masing-masing pihak. Sementara itu,
mediasi berarti pihak ketiga hanya berfungsi untuk menjembatani penyelesaian konflik yang
terjadi dalam masyarakat.
Keempat hal di atas hanyalah sebagian dari berbagai model penyelesaian konflik yang ada.
Masih banyak lagi model-model penyelesaian konflik yang lain. Namun demikian, satu hal
yang harus diingat adalah setiap konflik memiliki kompleksitas yang berbeda-beda sehingga
tidak bisa mengambil salah satu model untuk langsung diterapkan begitu saja untuk
menyelesaikannya. Harus dipahami secara sungguh-sungguh kerumitan dan kompleksitas
konflik yang akan dicari jalan keluarnya. Budaya Lokal sebagai Sarana Resolusi Konflik
Selain model-model penyelesaian konflik yang sudah ada secara teoretis di atas, harus
diingat juga bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki keragaman
budaya. Setiap budaya memiliki kearifan-kearifan tersendiri dalam menyikapi permasalahan
hidup yang dihadapi, termasuk di dalamnya kearifan dalam menyelesaikan konflik.
Kearifan-kearifan seperti inilah yang sering disebut sebagai kearifan lokal (local wisdom).
Sejalan dengan banyaknya konflik yang terjadi di Indonesia, bersamaan itu muncul pula
teori-teori tentang penyelesaian konflik yang berasal dari luar dan dalam negeri sebagai
bahan referensi pada berbagai diskusi, seminar dan analis konflik. Namun demikian,
penerapannya tidaklah mudah karena variabel faktor-faktor lain sulit diprediksi. Konflik-
konflik yang tengah berlangsung di wilayah nusantara. Jika bisa dikelola dengan baik,
konflik justru bisa menghasilkan hal-hal yang positif. Misalnya, sebagai pemicu perubahan
dalam masyarakat, memperbarui kualitas keputusan, menciptakan inovasi dan kreativitas,
sebagai sarana evaluasi, dan lain sebagainya. Namun demikian, tidak menutup
kemungkinan bahwa jika konflik tidak dikelola dengan baik dan benar, maka akan
menimbulkan dampak negatif dan merugikan bagi masyarakat.

PENUTUP

Kesimpulan

kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan pengikutan, atau


akibat dari, realitas konflik dalam masyarakat Amerika Selain itu teori sosiologi konflik
adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme struktural Talcot
Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan
integralistiknya.Perspektif konflik dapat dilacak melalui pemikiran tokoh-tokoh klasik
seperti Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, sampai George Simmel.
Tokoh utama teori konflik setelah era Karl Marx dan Marx Weber yang ternama adalah
Ralp Dahrendorf di samping Lewis A. Coser. Berbeda dari beberapa ahli sosiologi yang
menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda yaitu teori kaum fungsional struktural
versus teori konflik, Coser mengemukakan komitmennya pada kemungkinan menyatukan
pendekatan tersebut.
teori fungsionalisme struktural dengan teori konflik tidaklah bersifat saling menolak,
mereka adalah saling melengkapi. Sosiolog yang baik adalah memadukan kedua pendekatan
ini untuk menelaah kehidupan sosial; dengan berbuat.demikian ia akan memperoleh suatu
gambaran yang lebih lengkap tentang kondisi suatu masyarakat. Sebenarnya, asal struktural
konflik sosial terletak pada relasi-relasi hierakis berupa kuasa atau wewenang yang berlaku
di dalam kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi sosial.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam
suatuinteraksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik,kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya
· Perasaan sensitif
· Perbedaan pendapat
· Salah paham
· Ada pihak yang di rugikan.

Konflik tidak selamanya berakibat negatif bagi masyarakat. Jika bisa dikelola dengan baik,
konflik justru bisa menghasilkan hal-hal yang positif. Misalnya, sebagai pemicu perubahan
dalam masyarakat, memperbarui kualitas keputusan, menciptakan inovasi dan kreativitas,
sebagai sarana evaluasi, dan lain sebagainya. Namun demikian, tidak menutup
kemungkinan bahwa jika konflik tidak dikelola dengan baik dan benar, maka akan
menimbulkan dampak negatif dan merugikan bagi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. C. Dewi Wulansari, SH., SE., MM. Sosiologi dan Konsep Teori. PT Refika
Aditama. 2009
http://nikmatulaini.blogspot.com/2011/06/sejarah-struktural-konflik.html
http://andrie07.wordpress.com/2009/11/25/faktor-penyebab-konflik-dan-strategi-
penyelesaian-konflik/

Anda mungkin juga menyukai