Anda di halaman 1dari 6

Penawar Rindu? Ya Kamu!

Hari yang dinanti pun tiba.

Lembang!

Ya…sebenarnya, tujuan utamaku ke Bandung adalah untuk mengunjungi Lembang. Bukan


sekadar bermain atau berlibur tanpa tujuan. Ada misi tertentu yang harus dilakukan di sana.

Sebelumnya, aku pernah bercerita bukan bahwa anggota-anggota UKM ku sudah berangkat ke
Lembang lebih dulu? Hari ini, tepat satu hari setelah keberangkatan mereka, aku akan menyusul
ke sana. Bersama beberapa anggota UKM yang juga belum berangkat ke Lembang kemarin
dikarenakan masih ada urusan-urusan yang harus diselesaikan.

Kegiatan yang akan kami laksanakan di Lembang adalah PMQ, yakni semacam kegiatan
orientasi bagi anggota-anggota baru yang akan bergabung dengan UKM kami. Aku sudah
merencanakan dan mengosongkan agenda dari dua minggu yang lalu untuk bisa hadir di acara
ini. Bahkan setiap bangun tidur, aku selalu menghitung berapa hari lagi yang harus aku lewati
untuk bisa menemui hari ini. Memang terkesan berlebihan, tapi kau mungkin pernah merasakan
bagaimana sesaknya menahan rindu? Bukankah tidak ada penawar rindu terbaik selain sebuah
pertemuan dengan yang dirindukan? Begitulah aku dan perasaanku.

Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan jantungku yang terus saja meletup-letup tak
karuan. Biasanya aku merasakan sensasi debar jantung seperti ini jika aku minum kopi. Aku
rasa, semalam aku tidak minum kopi. Padahal kalian bukan kafein yang akan menstimulasi
kelenjar adrenal untuk mensekresikan hormone epinefrin, tapi mengapa kalian juga menjadi
penyebab eskalasi detak jantung? Bibirku pun sepertinya sudah bekerja di bawah sistem saraf
otonom sehingga aku tak menyadari bahwa sedari bangun pagi aku tak bisa menahan senyuman
yang semakin mekar saja.

“Gawat Cip gawat!” Ummu Jibril menatapku dengan gelisah. “Kita udah ditungguin. Dan kita
belum beli beras sama telor. Yang lebih parahnya, aku lupa belum ngontak tukang angkot.”

Aku memang akan menyusul ke Lembang dengan Ummu Jibril dan kakak-kakak tingkatku serta
dedek-dedek emesh calon anggota baru UKM. Sebelum berangkat ke kampus, aku berada di
kostan Ummu Jibril terlebih dahulu agar kita berangkat bersama. Aku memang bisa dikatakan
dekat dengan dia meskipun kami berbeda jurusan dan departemen di UKM.

“Yaudah sekarang kita ke pasar dulu. Gak apa-apa kali telat dikit. hehehe”

Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke pasar Gerlong Tengah untuk mencari bahan-bahan
yang dibutuhkan. Namun beruntungnya, kami menemukan warung di pinggir jalan yang sudah
buka sepagi ini dan menjual bahan-bahan yang kami cari. Jadi kami tidak perlu jauh-jauh dan
menghabiskan waktu ke pasar. Setelah selesai berbelanja, kami bergegas. Di tengah perjalanan,
teriakan Ummu Jibril mengagetkanku,

“Cip! Pangkalan angkot!!” ia berseru girang. Tanpa berpikir panjang kami mendatangi
pangkalan angkot tersebut. Alhamdulillah, setelah beberapa menit tawar menawar, kesepakatan
harga pun tercapai. Lagi-lagi, Allah berikan pertolongan dengan cara yang tak terduga. Segala
puji bagi-Nya atas cinta yang tak tertandingi.

“Oh jadi gitu yang mang. Pantes aja ai kelinci aku teh pas udah dikasih makan sayuran seger
terus nya mati.”

“Hohh..yaiya atuh neng. Si eneng mah nggak taueun geuning. Ai kelinci mah jangan dikasih
sayuran seger. Kasih yang layu aja. Komo deui kalau wortel yang seger kaya yang eneng kasih
mah, dia bisa mencret-mencret.”

Aku manggut-manggut saja mendengar obrolan Ummu Jibril dan Mang Mansyur. Iya, nama
tukang angkot yang sedang membawa kami menuju Lembang adalah Mansyur. Tadi kami
sempat berkenalan. Mereka berdua berbincang dengan akrab. Obrolan mereka tentang kelinci
berlanjut. Dari mulai cara merawatnya, membersihkan kandangnya, sampai ke jenis jenis kelinci
dengan harga yang beraneka macam pula.

Sesekali aku mendengarkan percakapan mereka. Namun, aku lebih banyak memusatkan
perhatianku pada jalanan yang kami lewati. Aku sangat suka Lembang. Tidak, maksudku bukan
hanya Lembang. Aku rasa, aku menyukai segala hal tentang Bandung. Dari kecil, aku selalu
mengagumi kota ini. Dulu aku sering bermain kesini untuk menjenguk tanteku yang kuliah di
Bandung. Dan Bandung masih tetap saja sama: menawarkan kebahagian bagiku. Bangunannya,
lingkungannya, udaranya, orang-orangnya. Sejujurnya, ada satu alasan yang membuat aliran
darahku berdesir ketika memikirkan kota ini. Setidaknya semenjak satu tahun yang lalu. Karena
di sini, aku bertemu dengan……

“Ini tempatnya, Mang?” Pertanyaan Ummu Jibril dan mobil yang tiba-tiba berhenti
membuyarkan lamunanku. Wah…tempatnya indah. Aku mengedarkan pandangan berkali-kali,
takjub. Aku belum pernah kesini sebelumnya.

Mobil kami berhenti di depan masjid Ar-Raudhah. Masjid ini memang akan menjadi pusat
kegiatan kami. Di belakang masjid terdapat sebuah bangunan berukuran sedang –yang biasanya
dipakai sebagai madrasah-. Bangunan tersebut adalah basecamp untuk akhwat. Tempat akhwat
makan, tidur, melaksanakan kegiatan yang khusus untuk akhwat, atau bahkan untuk sekadar
rehat. Sedangkan basecamp ikhwan berada di masjid.

Masjid tersebut terletak di pinggir jalan. Namun bukan jalan raya yang ramai. Karena sekarang
posisi kami ada di sebuah desa di kota Lembang. Di belakang masjid, terpampang jelas lukisan
Sang Maha Pencipta. Gunung menjulang kokoh. Di bawahnya, terlihat barisan rumah-rumah dan
sekumpulan pohon. Aku tersihir dengan pemandangan yang menakjubkan itu.

“Cip lihat! Di sana ada bintang!” Ummu Jibril menunjuk ke daerah sebelah kanan di atas masjid.
Ada sebuah –seperti- tiang menjulang dan di atasnya bertengger sebentuk bintang. “Katanya,
kalau malam bintangnya nyala.” Tambahnya lagi.

“Hah iya? Kata siapa?” tapi Ummu Jibril hanya menyeringai dan tidak memberikan jawaban
pasti. Ah biarlah, toh itu bukan hal yang penting.

Tiba-tiba dari jauh, dari arah jalan di depan masjid, aku melihat segerombolan perempuan
menggunakan masker. Aku tersenyum lebar. Debar jantungku semakin keras saja. Aku sangat
tidak sabar menunggu mereka mendekat.

Satu

Dua

Tiga

Aku bahkan tidak sadar bahwa aku tengah memperhatikan setiap langkah mereka.

Empat

Lima

Mereka semakin dekat

Enam

Tujuh

Aku bisa melihat jelas mata mereka sekarang

Delapan

Sembilan

Senyumku semakin lebar saja

Sepuluh

“Ih ada siapa ini?”

“Siapa sih nggak kenal.”

Hehehehe.
“Assalamu’alaikum, Teh.” Aku mendapati suaraku sangat kecil. Ah yang benar saja! Sejak
kapan aku gugup di depan mereka?

Lalu mereka tersenyum. Salah satu dari mereka langsung menyalamiku dan memelukku.

“Wa’alaikumussalam. Cipaw!!!” Namanya Senja. Dia menyalamiku erat.

Sudah lama. Rasanya sudah sangat lama aku tida melihat mata itu. Mata dengan lingkaran hitam
dibawahnya, padahal ia tidak begadang. Rasanya sudah sangat lama suaranya tidak menyapa
indra pendengaranku. Sepertinya memang sudah begitu lama, sehingga aku sulit mempercayai
bahwa ini kenyataan dan bukan mimpi atau khayalan. Aku mengerjap beberapa kali.
Alhamdulillah, kali ini aku tidak kehilangan sosoknya ketika aku membuka mata. Karena
biasanya, saat aku tersadar, bayangan di hadapanku pun pudar. Karena biasanya, aku hanya
melihatnya sebagai pelengkap bunga tidurku. Aku menghela napas lega. Ternyata memang
bukan mimpi. Aku masih bisa melihatnya, tepat berdiri di depanku. Bahkan setelah aku
mengerjapkan mata berkali-kali.

Aku sangat merindukanmu, Senja.

“Ehhh ada ikhwan ada ikhwan.” Kata Ummu Jibril tiba-tiba. Seketika kami terdiam dan
menunduk. Jantungku berdegup, gugup. Tiba-tiba jadi salah tingkah.

Hahaha konyol. Padahal merekanya juga biasa aja. Kataku dalam hati, menertawakan diriku
sendiri.

“Gimana Cip disana?”

“Biasa aja.”

“Beda nggak sama disini?”

“Ya..gitu aja.”

“Kangen nggak Cip sama kita?”

“Hehehe”

“Eh, kalau ke sini lagi…bawain dokter dong buat aku.”

“Emang kamu sakit?”

“Ih maneh mah suka gak peka! Ya buat jadi pendamping hidup atuh.”

“Si eta mah sok aya-aya wae emang na ge. Titadi ngaco. Coba da liat nih Cip. Tadi dia bikin
tulisan ini.”
Hahaha aku tertawa mendengar celotehan mereka. Sambil sesekali mengatur napasku yang mulai
terengah-engah akibat jalan yang terus saja menanjak dari tadi.

Saat ini, kami tengah berjalan menuju pos game angkatan kami –di UKM-. Oiya, sebagai
informasi, kami angkatan 29. Biasa disebut GenQ-29. Tadi setibanya aku di sini, ternyata sudah
waktunya untuk outbound. Aku sangat semangat menanti outbound. Kalau satu tahun yang lalu
aku menjadi peserta outbound, hari ini aku dan teman-teman yang lain lah yang menjadi penjaga
pos dan pengatur permainan di pos kami.

Jalan menuju tempat outbound cukup terjal. Sehingga membutuhkan perjuangan yang tidak
sedikit. Apalagi, pos kami bertempat paling jauh. Jadi kami harus menanjak lebih lama lagi.
Jujur saja, kakiku mulai lelah. Teman-teman yang lain pun sudah mengeluhkan hal yang sama.
Meski begitu, kami tetap melangkah.

“Ayo semangat ih kaliaaan. Sebentar lagiii.” Teriak Salamah. Dia yang tadi memintaku
membawakannya dokter. Salamah memang konyol sekali orangnya. Dulu, aku sering
memperdebatkan hal yang tidak penting dengannya. Kata-katanya selalu berhasil membuatku
tertawa. Meskipun terkadang receh.

Pendakian kami pun terhenti karena kami telah tiba di pos kami. Semua langsung terduduk lemas
dan meluruskan kaki. Beberapa masih mengatur napas. Tapi, tidak dengan salamah. Dia…

“Mana cik makanan teh? Abi tos lapar yeuh titadi.”

Hanya memikirkan makanan, ck.

Aku tidak mengerti dengan orang-orang yang berniat untuk mengakhiri hidupnya. Susah mencari
bahagia katanya. Padahal, bahagia itu diciptakan bukan dicari. Bahagia itu adalah ketika kamu
menerima realita yang mungkin tidak sesuai dengan keinginanmu. Memang sulit. Tapi,
bukankah akan lebih mudah mengikhlaskan daripada uring-uringan menyesali kenyataan?
Jangan bertingkah seolah kita tahu mana yang terbaik untuk diri kita! Padahal pada hakikatnya
kita memang tidak mengetahui apapun kecuali hanya sedikit.

Sebetulnya aku sendiri bukan orang yang paham betul tentang definisi bahagia.

Menurutmu, bahagia itu apa?

Tidak apa-apa jika kamu ingin berpikir terlebih dahulu.

Tidak apa-apa jika setelah berpikir ternyata kamu tidak kunjung mendapati jawaban yang pasti.

Kalau begitu…begini saja. Kita buat kesepakatan:

Bagaimana kalau..bahagia itu ketika kamu berhasil menemukan penawar rindu mu?
*

Anda mungkin juga menyukai