Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat ini trauma merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang
tinggi dimasyarakat.Dalam jam – jam awal setelah trauma, merupakan periode
emas, dimana pada waktu ini risiko kematian dan kecacatan dapat dicegah dengan
penanganan yang cepat dan tepat.Kematian yang terjadi akibat trauma
kebanyakan terjadi pada jam – jam awal trauma, sedangkan kematian yang terjadi
beberapa minggu akibat trauma biasanya diakibatkan oleh komplikasi lambat dan
mengalami kegagalan organ multiple.
1
Maka dari itu sangatlah penting untuk mengetahui pemeriksaan awal dan
pengelolaan penderita trauma tulang belakang yang dapat mengancam nyawa dan
ancaman kehilangan anggota gerak.Trauma tulang belakang dapat menyebabkan
disfungsi struktur di sekitarnya dan struktur yang dilindungi atau disangganya
serta kerusakan pada otot, pembuluh darah dan saraf.Secara umum dikenal dalam
bentuk fraktur dan dislokasi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan Trauma Tulang Belakang?
2. Apa saja Klasifikasi Trauma Tulang Belakang?
3. Apa etiologi Trauma Tulang Belakang?
4. Bagaimana tanda dan gejala Trauma Tulang Belakang?
5. Bagaimana penanganan kritis Trauma Tulang Belakang?
6. Bagaimana konsep Asuhan Keperawatan pada pasien Trauma Tulang
Belakang?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Trauma Tulang Belakang
2. Mengetahui Klasifikasi Trauma Tulang Belakang
3. Memahami Apa etiologi Trauma Tulang Belakang
4. Mengetahui dan memahami tanda dan gejala Trauma Tulang
Belakang
5. Mengetahui penanganan kritis Trauma Tulang Belakang
6. Mengetahui dan memahami konsep Asuhan Keperawatan pada pasien
Trauma Tulang Belakang
2
BAB II
PEMBAHASAN
Adapun menurut dr. Iskandar Japardi (2002), lokasi fraktur atau fraktur
dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti dengan C5 dan C6 terutama pada
usia decade 3.
3
5. Fraktur Dislokasi : kombinasi gaya fleksi, kompresi dan rotasi yang
mengakibatkan fraktur korpus vertebra, fraktur pledikel dan dislokasi
sendi faset yang menyebabkan paraplegia atau tetraplegia.
Menurut Ducker dan Perrot dalam dr. Iskandar Japardi (2002), melaporkan
:
Manifestasi klinis bergantung pada lokasi yang mengalami trauma dan apakah
trauma terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasi berdasarkan
lokasi trauma :
1. Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal.
4
2. Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang
lemah; kehilangan refleks brachioradialis.
3. Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi
sikumasih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.
4. Antara C7 dan C8
Paralisis kaki dan tangan
5. C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki.
6. Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut.
7. T12 sampai L1
Paralisis di bawah lutut.
8. Cauda equine
Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan biasanya
nyeri dan sangat sensitive terhadap sensasi, kehilangan kontrol bowel dan
bladder.
9. S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total. Bila terjadi trauma
spinal total atau complete cord injury, manifestasi yang mungkin muncul
antara lain total paralysis, hilangnya semua sensasi dan aktivitas refleks
5
Tanda dan gejala yang akan muncul:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan
adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan
sekitarnya.
b. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir
pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
6
c. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di
jaringan sekitarnya
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema
f. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot.
paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi
normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang
h. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang
digerakkan.
i. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma
dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal,
akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
j. Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
7
1. Keluhan sementara (reversible) yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat
otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera
hilang apabila pembebanan dihentikan.
2. Keluhan menetap (persistent) yaitu keluhan otot yang bersifat menetap,
walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot
terus belanjut.
E. Penanganan Kritis
1. Tindakan gawat darurat
8
waktu delapan jam dari cedera, beberapa orang mengalami perbaikan
ringan. Tampaknya untukbekerja dengan mengurangi kerusakan pada sel-
sel saraf dan mengurangi peradangan di dekat lokasi cedera.
4. Imobilisasi
Traksi perlu untuk menstabilkan tulang belakang, untuk membuat tulang
belakang kembali ke posisi semula. Kadang-kadang, traksi dilakukan
dengan mengamankan kawat logam, yang melekat pada bobot atau body
harness, pada tengkorak pasien untuk menjaga kepala agar tidak bergerak.
Tempak tidur khusus juga dapat membantu merelaksasi tubuh pasien
5. Operasi
Operasi diperlukan untuk menghilangkan fragmen tukang, benda asing,
disk hernia atau tulang retak yang tampaknya menekan tulang belakang.
Operasi juga mungkin diperlukan untuk menstabilkan tulang belakang
untuk mencegah rasa sakit atau cacat di masa depan.
6. Rehabilitasi
Selama tahap rehabilitasi, terapis biasanya menekankan pemeliharaan dan
penguatan fungsi otot yang ada, pembangunan kembali keterampilan
motorik halus dan belajar tehnik adaptif untuk menyelesaikan tugas-tugas
sehari-hari. Pasien akan di didik tentang efek dari cedera tulang belakang
dan bagaimana mencegah komplikasi, dan pasien akan diberi rekomendasi
untuk membangun kembali semangat hidup meningkatkan kualitas hidup
pasien. Pasien akan diajarkanberbagai keterampilan baru dan akan
menggunakanperalatan dan teknologi yang dapat membantu pasien hidup
mandiri. Pasien akan didorong untuk melanjutkan hobi favorit,
berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan kebugaran, dan kembali kesekolah
atau tempat kerja.
9
BAB III
A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada. usia muda), jenis kelamin
(kebanyakan laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai motor tanpa
pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal
dan jam masuk rumah sakit (MRS), nomor register, dan diagnosis medis.
2. Keluhan utama
Yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah
nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine dan
inkontinensia alvi, nyeri tekan otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma,
dan deformitas pada daerah trauma.
3. Riwayat penyakit sekarang.
Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari pohon atau bangunan,
luka tusuk, luka tembak, trauma karena tali pengaman (fraktur chance), dan
kejatuhan benda keras.Pengkajian yang didapat meliputi hilangnya
sensibilitas, paralisis (dimulai dari paralisis layu disertai hilangnya
sensibilitas secara total dan melemah/menghilangnya refleks alat dalam)
ileus paralitik, retensi urine, dan hilangnya refleks-refleks.
4. Riwayat kesehatan dahulu.
Merupakan data yang diperlukan untuk mengetahui kondisi kesehatan
klien sebelum menderita penyakit sekarang , berupa riwayat trauma
medula spinalis. Biasanya ada trauma/ kecelakaan.
5. Riwayat kesehatan keluarga.
Untuk mengetahui ada penyebab herediter atau tidak
10
Masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan alkohol.
6. Riwayat penyakit dahulu.
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit
degeneratif pada tulang belakang, seperti osteoporosis dan osteoartritis.
7. Pengkajian psikososiospiritual.
8. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6)
dengan fokus pemeriksaan B3 (Brain) dan B6 (Bone) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan klien.
a. Pernapasan.
Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf
parasimpatis (klien mengalami kelumpuhan otot-otot pernapasan) dan
perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatik desenden akibat trauma
pada tulang belakang sehingga jaringan saraf di medula spinalis terputus.
Dalam beberapa keadaan trauma sumsum tulang belakang pada daerah
servikal dan toraks diperoleh hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut.
1. Inspeksi.
Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, peningkatan frekuensi pemapasan,
retraksi interkostal, dan pengembangan paru tidak simetris. Respirasi
paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi
jika otot-otot interkostal tidak mampu mcnggerakkan dinding dada akibat
adanya blok saraf parasimpatis.
2. Palpasi.
Fremitus yang menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila trauma terjadi pada rongga toraks.
3. Perkusi.
Didapatkan adanya suara redup sampai pekak apabila trauma terjadi
pada toraks/hematoraks.
11
4. Auskultasi.
Suara napas tambahan, seperti napas berbunyi, stridor, ronchi pada
klien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk
menurun sering didapatkan pada klien cedera tulang belakang yang
mengalami penurunan tingkat kesadaran (koma).
b. Kardiovaskular
Pengkajian sistem kardiovaskular pada klien cedera tulang
belakang didapatkan renjatan (syok hipovolemik) dengan intensitas sedang
dan berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera tulang belakang
pada beberapa keadaan adalah tekanan darah menurun, bradikardia,
berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, dan
ekstremitas dingin atau pucat.
c. Persyarafan
Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respons terhadap
Iingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan.
Pemeriksaan fungsi serebral. Pemeriksaan dilakukan dengan
mengobservasi penampilan, tingkah laku, gaya bicara, ekspresi wajah,
dan aktivitas motorik klien. Klien yang telah lama mengalami cedera
tulang belakang biasanya mengalami perubahan status mental.
Pemeriksaan Saraf kranial:
- Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan pada klien cedera tulang
belakang dan tidak ada kelainan fungsi penciuman.
- Saraf II. Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan dalam
kondisi normal.
- Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat
kelopak mata dan pupil isokor.
- Saraf V. Klien cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami
paralisis pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada
kelainan
- Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah
simetris.
12
- Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
- Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius. Ada usaha klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku
kuduk
- Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi, Indra pengecapan normal.
d. Pemeriksaan refleks:
1. Pemeriksaan refleks dalam.
Refleks Achilles menghilang dan refleks patela biasanya melemah
karena kelemahan pada otot hamstring.
2. Pemeriksaan refleks patologis.
Pada fase akut refleks fisiologis akan menghilang. Setelah beberapa
hari refleks fisiologis akan muncul kembali yang didahului dengan
refleks patologis.
3. Refleks Bullbo Cavemosus positif
4. Pemeriksaan sensorik.
Apabila klien mengalami trauma pada kaudaekuina, mengalami
h ilangnya sensibilitas secara me-netap pada kedua bokong, perineum,
dan anus. Pemeriksaan sensorik superfisial dapat memberikan petunjuk
mengenai lokasi cedera akibat trauma di daerah tulang belakang
e. Perkemihan
Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik
urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada
ginjal.
f. Pencernaan.
Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering dida-patkan
adanya ileus paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya bising usus
serta kembung dan defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari
syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa
13
minggu. Pemenuhan nutrisi berkurang karena adanya mual dan kurangnya
asupan nutrisi.
g. Muskuloskletal.
Paralisis motor dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada
ketinggian terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan
distribusi segmental dari saraf yang terkena
PENGKAJIAN PRIMER
Data Subyektif
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Mekanisme Cedera
Kemampuan Neurologi
Status Neurologi
Kestabilan Bergerak
2. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Keadaan Jantung dan pernapasan
Penyakit Kronis
Data Obyektif
1. Airway
adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal
sehingga mengganggu jalan napas
2. Breathing
Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan
dinding dada
3. Circulation
Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg), Bradikardi,
Kulit teraba hangat dan kering, Poikilotermi (Ketidakmampuan
mengatur suhu tubuh, yang mana suhu tubuh bergantung pada
suhu lingkungan)
4. Disability
14
Kaji Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak,
kehilangan sensasi, kelemahan otot
· PENGKAJIAN SEKUNDER
a) Exposure
Adanya deformitas tulang belakang
b) Five Intervensi
Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya
ventilasi
CT Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas
MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal
Foto Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru
Sinar – X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang
(Fraktur/Dislokasi)
c) Give Comfort
Kaji adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
d) Head to Toe
Leher : Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
Dada : Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan
dinding dada,bradikardi, adanya desakan otot diafragma dan interkosta
akibat cedera
Pelvis dan Perineum : Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses,
terjadinyagangguan pada ereksi penis (priapism)
Ekstrimitas : terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau
quadriparesis/quadriplegia
e) Inspeksi Back / Posterior Surface
Kaji adanya spasme otot, kekakuan, dan deformitas pada tulang belakang
15
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas b.d kelemahan otot diafragma
2. Nyeri akut b.d agen cedera fisik
3. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan musculoskeletal dan
neuromuskuler
4. Gangguan eliminasi urin b.d Gangguan sensorik motorik
5. Resiko kerusakan integritas kulit b.d imobilisasi fisik
C. Perencanaan Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan itidakan a. Posisikan pasien untuk
pola nafas b.d asuhan keperawatan memaksimalkan ventilasi
kelemahan otot selama 1x24 jam pola b. Identifikasi kebutuhan
diafragma nafas klien efektif aktual/potensial pasien
Kriteria hasil : untuk memasukkan alat
a. Frekuensi pernafasan membuka jalan nafas
klien dalam rentang c. Auskultasi suara nafas,
normal cata area yang
b. Ritme respirasi klien ventilasinya menurun atau
teratur tidak ada dan adanya
c. suara tambahan
d. Ajarkan pasien bagaimana
menggunakan inhaler
sesuai resep sebagai mana
mestinya.
e. Lakukan fisioterapi dada
sebagaimana mestinya
2. Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan tindakan a. Lakukan pengkajian nyeri
cedera fisik asuhan keperawatan komprehensif yang
selama 2x24 jam nyeri meliputi lokasi,
16
yang dirasakan klien karateristik, onset/durasi,
teratasi frekuensi, kualitas,
Kriteria Hasil : intensitas atau beratnya
a. Klien mengenali kapan nyeri dan faktor pencetus
nyeri terjadi b. Pastikan perawatan
b. Menggunakan tindakan analgesik bagi pasien
pengurangan nyeri dilakukan dengan
tanpa analgesik pemantauan yang tepat
c. Melaporkan perubahan c. Gunakan strategi
terhadap gejala nyeri komunikasi terapeutik
pada profesional untuk mengetahui
kesehatan pengalaman nyeri dan
d. Melaporkan nyeri yang sampaikan penerimaan
terkontrol pasien terhadap nyeri
d. Evaluasi pengalaman
nyeri dimasa lalu
e. Kurangi atau eliminasi
faktor-faktor yang dapat
mencetuskan atau
meningkatkan nyeri
3. Hambatan Setelah dilakukan tindakan a. Kaji kemampuan aktivitas
mobilitas fisik b.d asuhan keperawatan 3 x 24 motorik pasien
kerusakan jam mobilitas pasien b. Konsultasikan dengan
musculoskeletal meningkat terapi fiisk tentang
dan neuromuskuler Kriteria hasil : rencana ambulasi sesuai
a. Kekuatan otot dengan kemampuan dan
meningkat kebutuhan pasien
b. Pasien mampu c. Bantu klien mengubah
menggerakkan anggota posisinya setiap 2 jam
badan dan melakukan sekali
perpindahan secara d. Ajarkan pasien cara
17
bertahap merubah posisi dan
berikan bantuan dan
dampingi klien saat
melakukan mobilisasi
e. Latih pasien ROM aktif
untuk meningkatkan
kekuatan otot
f. Monitoring TTV sebelum
dan sesudah melakukan
latihan dan lihat respon
klien saat latihan
4. Gangguan Setelah dilakukan tindakan a. Monitor eliminasi urin
eliminasi urin b.d asuhan keperawatan 2 x 24 meliputi frekuensi,
Gangguan sensorik jam pola eliminasi pasien konsistensi, bau, volume,
motorik mengalami perbaikan kejernihan, dan warna urin
Kriteria hasil : b. Bersihkan area genitalia
NOC : Urinary elimination secara regular
a. Inkontinensia urine c. Anjurkan pasien untuk
menurun minum minimal 1500
b. Pola eliminasi cc/hari.
membaik d. Kolaborasi pemberian
c. Masukan cairan diuretic
adekuat
5. Resiko kerusakan Setelah dilakukan tindakan a. Anjurkan dan bantu pasien
integritas kulit b.d asuhan keperawatan 2 x 24 menggunakan pakaian
imobilisasi fisik jam tidak terjadi gangguan yang longgar
integritas kulit b. Hindari kerutan pada
Kriteria hasil : tempat tidur
a. Tidak ada luka/ lesi c. Jaga kulit agar tetap bersih
b. Perfusi jaringan baik dan kering
18
c. Integritas kulit yang d. Lakukan perubahan posisi
baik dapat pasien setiap 2 jam sekali
dipertahankan (sensasi, e. Monitor kulit adanya
elastisitas, temperature, kemerahan
hidrasi, pigmentasi) f. Monitor aktivitas dan
mobilisasi pasien
19
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
21