Anda di halaman 1dari 20

MASALAH KEMISKINAN

(berkaitan dengan sendi-sendi kebudayaan dan hukum mengenai ekonomi dan politik)

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Tugas Antropologi Hukum


Dosen Pengampu: Dewi Sukarti M.A.

Disusun oleh Kelompok 2 Ilmu Hukum B-Semester 5:

1. Fariza Rachma Maulida (11170480000018)


2. Millati Hanifah Wardani (11170480000022)
3. Maulidia (11170480000063)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1441 H

1
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, kami selaku
penulis telah dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Makalah ini berjudul
“Kemiskinan berdasarkan ”.

Tak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam penulisan makalah ini sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan
baik. Dari hati yang paling dalam serta dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis
ucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengerjakan dan
menyelesaikan makalah ini.
2. Dewi Sukarti M.A. yang telah banyak memberikan bantuan dan bimbingan kepada
penulis sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
3. Dan teman-teman yang telah memberikan dorongan dan semangat besarnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini dapat terselesaikan dengan baik berkat bantuan dari semua pihak, semoga
segala bimbingan, bantuan dan dorongan yang diberikan kepada penulis mendapat balasan
kebaikan dari Allah SWT. Semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca dan penulis serta menambah wawasan untuk para pembaca, terutama wawasan
tentang Antropologi Hukum.

Tangerang Selatan, Oktober 2019

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum mempunyai fungsi yang strategis dalam pembentukan masyarakat sadar
hukum dan taat di Indonesia. Hukum sendiri memiliki makna sebagai kompas ilmu untuk
manusia, atau sosial ilmu, karena merupakan bagian integral dan penting dalam komponen
manusia masyarakat dan budaya. Tidak ada kejadian yang dikenal dari suatu keadaan
dalam pengalaman manusia, di mana masyarakat yang heterogen ada dan budaya telah
tanpa, atau sudah bebas dari, hukum. Dimanapun dan kapanpun masyarakat dan budaya
yang ditemukan, ada hukum juga ditemukan, menggenangi seluruh masyarakat sebagai
bagian dari budaya.
Hukum merupakan salah satu bentuk budaya untuk kendali dan regulasi perilaku
manusia, baik individual atau kolektif dalam penerapannya. Hukum adalah alat utama dari
kontrol sosial pada masyarakat modern serta dalam masyarakat primitif. Oleh karena itu
hukum dan sendi-sendi kebudayaan saling berkaitan dengan sistem norma, religi,
kekerabatan, ekonomi, politik, dan teknologi.
Budaya adalah keseluruhan dari adat istiadat, pengetahuan, objek materi dan perilaku
yang dipelajari dan ditransmisikan secara social. Budaya termasuk ide, nilai dan artefak
(misalnya DVD, komik atau alat pengontrol kehamilan). Setiap orang dan setiap Negara
pasti mepunyai budaya yang berbeda dengan karakteristik tersendiri.
Melville J. Herskovits mengajukan 4 unsur pokok kebudayaan, yaitu:
1) Alat-alat Teknologi
2) Sistem Ekonomi
3) Keluarga
4) Kekuasaan Politik.
Bronislaw Malinowski yang merupakan salah seorang pelopor Teori fungsional,
menyebutkan unsur-unsur pokok kebudayaan sebagao berikut:
1) Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat didalam
upaya menguasai alam sekelilingnya.
2) Organisasi ekonomi
3) Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan, perlu diingat bahwa keluarga
merupakan lembaga pendidikan yang utama
4) Organisasi kekuatan.

3
Menurut C. Kluckkhohn, terdapat tujuh unsur kebudayaan yang dapat dianggap
sebagai cultural universal, yaitu:
1) Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah
tangga, senjata, alat-alat produksi, transport dan sebagainya).
2) Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem
produksi, sistem distribusi, dll).
3) Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem
perkawinan).
4) Bahasa (lisan maupun tertulis).
5) Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).
6) Sistem pengetahuan.
7) Religi (sistem kepercayaan).
Dapat dijelaskan bahwa kebudayaan berfungsi mengatur agar manusia dapat
memahami bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku, berbuat untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dalam masyarakat.
Kemiskinan dapat dilihat sebagai masalah multidimensi karena berkaitan dengan
ketidakmampuan akses secara ekonomi, sosial, budaya, politik dan partisipasi dalam
masyarakat. Kemiskinan adalah suatu situasi baik yang merupakan proses maupun akibat
dari adanya ketidakmampuan individu berinteraksi dengan lingkungannya untuk
kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu makalah ini akan membahas tentang masalah
kemiskinan berkaitan dengan sendi-sendi kebudayaan dan hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kemiskinan?
2. Apa yang dimaksud dengan kemiskinan sebagai atribut ekonomi kelembagaan?
3. Apa yang dimaksud dengan ekonomi politik kemiskinan?
4. Apa yang dimaksud dengan budaya kemiskinan?
5. Bagaimana hubungan hukum dengan kemiskinan?
6. Bagaimana poros strategi ekonomi politik yang dapat diupayakan untuk meredam
pembengkakan kemiskinan?
7. Bagaimana masalah kemiskinan di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun dengan tujuan, agar penulis dan pembaca mengerti, memahami
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, serta mengambil intisari yang
terkandung dalam makalah yang membahas mengenai masalah kemiskinan.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kemisikinan
Pengertian kemiskinan disampaikan oleh beberapa ahli atau lembaga, diantaranya
adalah:
 BAPPENAS (1993) mendefisnisikan keimiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang
terjadi bukan karena kehendak oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak
dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya.
 Levitan (1980) mengemukakan kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan
pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak.
 Faturchman dan Marcelinus Molo (1994) mendefenisikan bahwa kemiskinan adalah
ketidakmampuan individu dan atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
 Menurut Ellis (1994) kemiskinan merupakan gejala multidimensional yang dapat
ditelaah dari dimensi ekonomi, sosial politik.
 Menurut Suparlan (1993) kemiskinan didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup
yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau
segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.
 Reitsma dan Kleinpenning (1994) mendefisnisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan
seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat material maupun non
material.
 Friedman (1979) mengemukakan kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk
memformulasikan basis kekuasaan sosial, yang meliputi: asset (tanah, perumahan,
peralatan, kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai),
organisiasi sosial politik yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama,
jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan
keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna. 1

1 Hilmi Rahman Ibrahim, “potret pertumbuhan ekonomi, kesenjangan dan kemiskinan di indonesia dalam
tinjauan ekonomi politik pembangunan” Jurnal Ilmu dan Budaya, Vol.40, No.55, Maret 2017, hal.6321

5
B. Kemiskinan sebagai Atribut Ekonomi Kelembagaan
Istilah kemiskinan selalu dilawankan dengan kaya, sebagaimana kata rakyat yang selalu
dilawankan dengan penguasa. Kendatipun tidak disepakati, namun ada kesan bahwa
kemiskinan identik dengan rakyat, sedangkan kaya identik dengan penguasa. Dalam
pandangan Asy'ari, kata rakyat adalah abstrak dan baru dapat dipahami apabila kata tersebut
telah dikaitkan dengan berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi dan politik. 2
Secara ekonomi, rakyat adalah sebuah istilah yang mapan untuk para pedagang kaki
lima, petani yang tidak mempunyai tanah, tukang batu, bakul jamu, jual sate jalanan,
pedagang sayur, pemulung, pengamen, tukang becak, kernek dan yang setingkat dengan itu.
Para rakyat ini tidak pernah menyentuh perbankan atau lembaga keuangan formal. Apabila
mereka membutuhkan uang sebagai modal bekerja, mereka dapat berhubungan dengan para
rentenir atau bank plecit.
Sedangkan secara politik, rakyat adalah orang yang memperjuangkan kursi untuk orang
lain dan mereka selalu menjadi tangga buat mereka yang ingin menjadi wakil rakyat.
Mereka berada di luar birokrasi formal pemerintahan, bukan camat, bukan bupati apalagi
yang lebih tinggi. Mereka dapat mengubah nasib seseorang menjadi orang penting, namun
dirinya sendiri tak pernah berubah.
Dari aspek-aspek tersebut, fenomena kemiskinan dapat dilokalisir menjadi persoalan
kelembagaan. Dalam pandangan ekonomi kelembagaan, di mana kelembagaan ini
dimengerti sebagai regulasi perilaku atau aturan yang secara umum diterima oleh anggota
suatu kelompok sosial yang pelaksanaannya dapat diawasi secara internal (self-policed)
maupun eksternal (external authorithy).3 Lebih lanjut, North menjelaskan bahwa
kelembagaan adalah penciptaan rintangan bagi kemungkinan perilaku menyimpang
manusia yang keberadaannya diatur dalam struktur interaksi politik, ekonomi, dan sosial.
Aturan tersebut dapat termaktub dalam informal constraints (misalnya, sanksi, tabu, tradisi,
dan budaya) dan formal rules (misalnya, konstitusi, hukum, dan hak kepemilikan).
Timothy J. Yeager menambahkan bahwa kelembagaan adalah aturan main (rules of
game) yang dapat memapankan hubungan antar individu dalam masyarakat. kelembagaan
ini diharapkan dapat mengurangi ketidakpastian yang selalu membayangi dalam setiap

2 Musa Asy'ari, Keluar dan Krisis Multidimensi (Yogyakarta: LESFI, 2001), hlm. 50.
3 Malcolm Rutherford, Institution in Economics: The Old and the New Institutionalism (USA: Cambridge University
Press, 1994), hlm. 182.

6
interaksi antar manusia melalui penciptaan pola perilaku yang jelas dan tegas.4 Singkatnya,
kelembagaan dapat dimaknai sebagai pedoman yang digunakan antar pelaku (ekonomi)
sehingga masing-masing pihak memperoleh kepastian dalam menjalankan kegiatannya.
Konsep ekonomi kelembagaan mendemonstrasikan bahwa inefisiensi dalam ekonomi
dapat terjadi bukan hanya akibat adanya struktur pasar yang tidak sempurna, melainkan
karena adanya kehadiran secara implisit biaya transaksi.5 Sebagai contoh, peternak sapi
menjual seliter susu Rp 2.500,00 kepada tengkulak, kemudian tengkulak menjual Rp
3.500,00 ke distributor. Lalu distributor menjual ke toko Rp 5.000,00 dan toko menjual Rp
7.000,00 ke konsumen. Dari kasus tersebut, terlihat bahwa asimetri kekuasaan (politik dan
ekonomi) telah menuntun sampai seberapa besar nisbah ekonomi yang dapat dinikmati oleh
pelaku ekonomi. Peternak sapi seperti dipaparkan di atas, sampai kapan pun tidak akan
pernah mencapai status kesejahteraan yang mencukupi, biarpun sekian juta perak uang
pengurangan kemiskinan digelontorkan oleh pemerintah. Masalahnya jelas, peternak sapi
tersebut akan tertinggal terus dalam mengakumulasikan laba ekonomi akibat daya tawar
yang rendah apabila dibandingkan dengan pelaku ekonomi lainnya, yakni tengkulak dan
pemilik toko. Jadi pada kasus ini, persoalan yang menyebabkan kemiskinan adalah
kesepakatan kelembagaan (institutional arrangement)6 yang tidak adil.
Pada titik inilah melihat fenomena kemiskinan dari sudut struktur kekuasaan dalam
ekonomi kelembagaan menjadi suatu keniscayaan. Kelompok kepentingan yang memiliki
modal besar selalu menjadi pemenang (the winners/the have) dibandingkan dengan
kelompok kepentingan yang mempunyai modal tipis.
Akhirnya, jenis kesepakatan antar pelaku ekonomi juga kerap menyebabkan
terbentuknya kelas masyarakat tuna akses (miskin). Salah satu penyebab dari jenis
kesepakatan yang tidak saling menguntungkan ini terkait dengan ketimpangan kepemilikan
aset ekonomi. Misalnya, kontrak kerja antara tuan tanah dengan petani penggarap,
meniscayakan kesepakatan yang tidak adil akibat rendahnya posisi tawar yang dimiliki
buruh tani. Sedangkan sebab lain dari kesepakatan yang berat sebelah terjadi akibat
keterbatasan akses pelaku ekonomi skala kecil (petani, nelayan, sektor informal, dan lain-
lain) terhadap pasar. Kelompok usaha kecil ini mesti berhubungan dengan pelaku ekonomi

4 J. Yeager, Institutions, Transition Economics, and Economic Development (USA: Westview Press, 1999), hlm. 9-
11.

5 Gary North, The Coase Theorem: A Study in Economic Epistemology (Texas: Institute for Christian
Economics, 1992), hlm. 13-14.

6 Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik, hlm. 232-233.

7
lain untuk memindahkan produksinya ke pasar (misalnya melalui tengkulak, distributor,
maupun pemilik toko). Akibat nilai tawarnya yang rendah, pelaku usaha kecil ini hanya
mampu mengambil keuntungan (laba) sangat kecil dibandingkan dengan pelaku ekonomi
lain seperti tengkulak, distributor, dan pemilik toko. Sebaliknya, pelaku ekonomi yang dekat
dengan pasar ini relatif mampu mengambil keuntungan yang cukup besar dari konsumen
karena kemampuannya untuk membentuk pasar.
C. Ekonomi Politik Kemiskinan
Suatu studi yang bersifat khusus tentang kemiskinan mengemukakan bahwa
karakteristik utama penyebab kemiskinan pada wilayah miskin mencakup: (1) sumber daya
alam; (2) teknologi dan unsur pendukungnya; (3) sumber daya manusia; serta (4) sarana dan
prasarana termasuk kelembagaan.7 Menurut Yustika, dalam konteks ekonomi politik
kemiskinan di Indonesia, terdapat empat klausul yang berpotensi menjadi penyebab atas
kesulitan upaya mengurangi kemiskinan. Empat klausul tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut:
Pertama, kekuatan kelompok bisnis dan sektor marjinal (petani, nelayan, buruh, sektor
informal, dan lain-lain) yang berat sebelah, sehingga energi untuk mempengaruhi kebijakan
menjadi timpang. Sebagai contoh, para sekumpulan pengusaha mendesak pemerintah untuk
mengambil Utang Luar Negeri (ULN) baru sebagai instrumen untuk menambal defisit
anggaran (dan bukan dengan jalan menaikkan pajak usaha). Padahal seperti dimengerti
bersama, pembayaran ULN selalu diambilkan dari pengurangan jatah subsidi masyarakat.8
Jika suara ini yang diserap, maka nantinya kelompok miskin yang akan banyak memikul
beban pembayarannya.
Kedua, ketidakseimbangan laju perkembangan antar sektor ekonomi akibat preferensi
strategi pembangunan ekonomi yang tidak akurat. Kebijakan yang mendorong
pembangunan sektor industri/jasa tanpa melibatkan sektor pertanian di masa lalu, telah
menciptakan kantong-kantong (enclaves) kemiskinan yang tidak sedikit. Celakanya, sektor
padat modal yang telah diinvestasikan oleh pemerintah tidak kunjung menampakkan
hasilnya, padahal sudah sangat banyak biaya yang disuntikkan. Di luar itu, sektor industri

7 Budihardjo, “Kemiskinan dalam Perspektif al-Qur'an”, Hermeneia: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 6, No.
2, 2007, hlm. 281.

8 Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik, hlm. 240.

8
yang dikembangkan ternyata struktur pasarnya sangat terkonsentrasi, akibatnya muncul
kebijakan semacam monopoli, kartel, tata niaga, dan lain-lain.9
Ketiga, ketimpangan pembangunan antar sektor ekonomi akibat kegagalan strategi
pembangunan. Dukungan kebijakan terhadap pembangunan sektor industri tanpa
menyertakan sektor pertanian di masa lampau telah menciptakan banyak orang-orang
miskin. Akibat dari kebijakan yang salah tersebut menyebabkan ketimpangan sektoral yang
akut, di mana sektor pertanian yang hanya menyumbangkan 13% terhadap PDB dihuni
sekitar 40% tenaga kerja. Sebaliknya, sektor industri yang mendominasikan PDB dalam
jumlah cukup besar, namun sangat hemat tenaga kerja.10
Keempat, asimetri hubungan antara wilayah perkotaan dan perdesaan akibat kebijakan
pemerintah yang memusatkan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan. Lewat kebijakan ini,
wilayah perdesaan selalu diposisikan sebagai bumper wilayah perkotaan untuk
menyediakan kebutuhan pertanian dengan harga murah, sementara penduduk wilayah
perdesaan harus mengkonsumsi produk-produk dari wilayah perkotaan (sektor industri/
jasa) dengan harga yang mahal. Jika komoditas sektor pertanian dikenakan kebijakan
patokan harga minimum/ maksimum oleh pemerintah, maka produk sektor industri/ jasa
diserahkan kepada mekanisme pasar. Kebijakan seperti inilah yang memicu munculnya
kemiskinan di wilayah perdesaan karena daya belinya yang semakin merosot yang
dihadapkan dengan harga produk sektor industri/ jasa yang terus melambung tinggi. Salah
satu indikasi ini dapat dilihat dari indeks Nilai Tukar Petani (NTP) yang terus merosot, yang
sebetulnya hal tersebut menunjukkan daya beli pelaku ekonomi di sektor pertanian yang
tidak dapat mengikuti laju harga di sektor industri/ jasa.
D. Budaya Kemiskinan
Selo Sumarjan (1993) mengemukakan bahwa budaya kemiskinan adalah tata hidup
yang mengandung sistem kaidah serta sistem nilai yang menganggap bahwa taraf hidup
miskin disandang suatu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tidak perlu
diusahakan perbaikannya. Kemiskinan yang diderita oleh masyarakat dianggap sudah
menjadi nasib dan tidak mungkin dirubah, karena itu manusia dan masyarakat harus
menyesuaikan diri pada kemiskinan itu, agar tidak merasa keresahan jiwa dan frustrasi
secara berkepanjangan. Dalam rangka budaya miskin ini, manusia dan masyarakat

9 Ahmad Erani Yustika, Industrialisasi Pinggiran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 111
10 Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik, hlm. 241

9
menyerah kepada nasib dan bersikap tidak perlu, dan bahkan juga tidak mampu
menggunakan sumber daya lingkungan untuk mengubah nasib.
Menurut Oscar Lewis (1983), budaya kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau
penyesuaian, dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan
marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualist dan berciri
kapitalisme. Budaya tersebut mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa
harapan, yang merupakan perwujudan dan kesadaran akan mustahilnya mencapai akses, dan
lebih merupakan usaha menikmati masalah yang tak terpecahkan (tak tercukupi syarat, tidak
sanggupan). Budaya kemiskinan melampaui batas- batas perbedaan daerah, perbedaan
pedesaan-perkotaan, perbedaan bangsa dan negara, dan memperlihatkan perasaan yang
mencolok dalam struktur keluarga, hubungan-hubungan antar pribadi, orientasi waktu,
sistem-sistem nilai, dan pola-pola pembelanjaan.
Menurut Lewis (1983), budaya kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks
sejarah, namun lebih cendrung untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang
memiliki seperangkat kondisi: (1) Sistem ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi
untuk keuntungan, (2) tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran
bagi tenaga tak terampil; (3) rendahnya upah buruh; (4) tidak berhasilnya golongan
berpenghasilan rendah meningkatkan organisiasi sosial, ekonomi dan politiknya secara
sukarela maupun atas prakarsa pemerintah; (5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol
daripada sistem unilateral; dan (6) kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa
yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertical,
dan sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil
ketidak sanggupan pribadi atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.11
Budaya kemiskinan bukanlah hanya merupakan adaptasi terhadap seperangkat syarat-
syarat obyektif dari masyarakat yang lebih luas, sekali budaya tersebut sudah tumbuh, ia
cendrung melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi melaui pengaruhnya terhadap
anak-anak. Budaya kemiskinan cendrung berkembang bila sistem-sistem ekonomi dan
social yang berlapis-lapis rusak atau berganti, seperti masa pergantian feodalis ke kapitalis
atau pada masa pesatnya perubahan teknologi. Budaya kemiskinan juga merupakan akibat
penjajahan yakni struktur ekonomi dan sosial pribumi diobrak, sedangkan atatus golongan

11 Hilmi Rahman Ibrahim, “potret pertumbuhan ekonomi, kesenjangan dan kemiskinan di indonesia dalam
tinjauan ekonomi politik pembangunan” Jurnal Ilmu dan Budaya, Vol.40, No.55, Maret 2017, hal.6322

10
pribumi tetap dipertahankan rendah, juga dapat tumbuh dalam proses penghapusan suku.
Budaya kemiskinan cendrung dimiliki oleh masyarakat strata sosial yang lebih rendah,
masyarakat terasing, dan warga urban yang berasal dari buruh tani yang tidak memiliki
tanah
Menurut Parker Seymour dan Robert J. Kleiner (1983) formulasi kebudayaan
kemiskinan mencakup pengertian bahwa semua orang yang terlibat dalam situasi tersebut
memiliki aspirasi-aspirasi yang rendah sebagai salah satu bentuk adaptasi yang realistis.
Beberapa ciri kebudyaan kemiskinan adalah : (1) fatalisme, (2) rendahnya tingkat aspirasi,
(3) rendahnya kemauan mengejar sasaran, (4) kurang melihat kemajuan pribadi ,(5)
perasaan ketidak berdayaan/ketidakmampuan, (6) Perasaan untuk selalu gagal, (7) Perasaan
menilai diri sendiri negatif, (8) Pilihan sebagai posisi pekerja kasar, dan (9) Tingkat
kompromis yang menyedihkan.
Berkaitan dengan budaya sebagai fungsi adaptasi, maka suatu usaha yang sungguh-
sungguh untuk mengubah nilai-nilai yang tidak diinginkan ini menuju ke arah yang sesuai
dengan nilai-nilai golongan kelas menengah, dengan menggunakan metode-metodre
psikiatri kesejahteraan sosial- pendidikan tanpa lebih dahulu (ataupun secara bersamaan)
berusaha untuk secara berarti mengubah kenyataan kenyataan struktur sosial (pendapatan,
pekerjaan, perumahan, dan pola-pola kebudayaan membatasi lingkup partisipasi sosial dan
peyaluran kekuatan sosial) akan cendrung gagal. Budaya kemiskinan bukannya berasal dari
kebodohan, melainkan justru berfungsi bagi penyesuaian diri.
Hal penting dalam membahas kemiskinan dan kebudayaan adalah untuk mengetahui
seberapa cepat orang-orang miskin akan mengubah kelakuan mereka, jika mereka mendapat
kesempatan-kesempatan baru; dan macam hambatan atau halangan-halangan yang baik atau
buruk yang akan timbul dari reaksi tersebut terhadap situasi-situasi masa lampau.12 Untuk
menentukan macam kesempatan-kesempatan yang harus diciptaan untuk menghapus
kemiskinan, yaitu mendorong oang-orang msikin melakukan adapatasi terhadap
kesempatan-kesempatan yang bertentangan dengan pola- pola kebudayaan yang mereka
pegang teguh dan cara mereka dapat mempertahankan pola-pola kebudayaan yang mereka
pegang teguh tersebut agar tidak akan bertentangan dengan aspirasi-aspirasi lainnya. Hanya
orang- orang miskin yang tidak mampu menerima kesempatan-kesempatan karena mereka

12 Hilmi Rahman Ibrahim, “potret pertumbuhan ekonomi, kesenjangan dan kemiskinan di indonesia dalam
tinjauan ekonomi politik pembangunan” Jurnal Ilmu dan Budaya, Vol.40, No.55, Maret 2017, hal.6323

11
tidak dapat membuang norma-norma kelakukan yang digolongkan sebagai pendukung
kebudayaan kelas bawah.
Akibat kemiskinan tersebut, sebahagian besar penduduk Indonesia menghadapinya
dengan nilai-nilai pasrah atau menerima (kemiskinan kebudayaan). Terbentuknya pola pikir
dan prilaku pasrah itu dalam jangka waktu yang lama akan berubah menjadi semacam
“institusi permanen” yang mengatur prilaku mereka dalam menyelesaikan problematika di
dalam hidup mereka atau krisis lingkungan mereka sendiri (Lewis, 1968 dalam Haba, 2001).
Menurut penganut paradigma kemiskinan kebudayaan ini, orang yang berada dalam kondisi
serupa tidak sanggup melihat peluang dan jalan keluar untuk memperbaiki kehidupannya.
Karakteristik kelompok ini terlihat dari pola substensi mereka yang berorientasi dari tangan
ke mulut (from hand to mouth) (Haba, 2001).13
E. Hubungan Hukum dengan Kemiskinan
Negara Indonesia adalah negara hukum. Dengan demikian negara Indonesia telah
memiliki landasan yuridis yang kuat dalam perannya melaksanakan pembangunan.
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia telah
memberikan arah dan tujuan bagi pembangunan yang diharapkan, yakni menuju keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seutuhnya.
Negara Indonesia yang dapat diklasifikasikan sebagai negara kesejahteraan mempunyai
kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum, yaitu mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tercantum dalam alinea IV dari
pembukaan Undang Undang Dasar 1945, sebagai berikut: “.....negara melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut memelihara perdamaian dunia.”
Dalam alinea tersebut dinyatakan bahwa negara Indonesia didirikan dengan tujuan
untuk “memajukan kesejahteraan umum”. Rumusan ini mengandung suatu penugasan
kepada pemerintah untuk menyelenggarakan kesejahteraan seluruh rakyat, yang berarti pula
bahwa negara berkewajiban untuk memberantas kemiskinan.
Selanjutnya pada pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berbunyi sebagai berikut: “Tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai bagi kemanusiaan.”
Pasal ini memberikan pengertian bahwa pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan

13 Hilmi Rahman Ibrahim, “potret pertumbuhan ekonomi, kesenjangan dan kemiskinan di indonesia dalam
tinjauan ekonomi politik pembangunan” Jurnal Ilmu dan Budaya, Vol.40, No.55, Maret 2017, hal.6324

12
agar setiap warga negara dapat hidup layak sesuai dengan harkat dan martabat seluruh warga
negara atau dengan kata lain pemerintah berkewajiban menanggulangi masalah kemiskinan.
Kesejahteraan sosial, yang ingin diwujudkan dalam NKRI, telah pula diatur dalam pasal
33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarkan
untuk kemakmuran rakyat.”
Hal ini mewujudkan bahwa kekayaan alam yang ada di Indonesia haruslah
dipergunakan bagi terwujudnya kemakmuran rakyat. Sehubungan degan masalah
kemiskianan, pada pasal 34 UUD 1945 secara eksplisit menegaskan bahwa fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Megingat bahwa tujuan dibentuknya NKRI
adalah untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945. Maka konsekuensinya negara atau pemerintah tidak dapat melepaskan tanggung
jawab untuk menanggulangi masalah kemiskinan. Dalam era pembangunan di segala bidang
kehidupan guna mewujudkan kesejahteraan sosial.
Hukum diharapkan mampu memfungsikan dirinya untuk mengatasi atau bahkan
memberantas kemiskinan yang masih diderita oleh sebagian masyarakat Indonesia. Dalam
hal ini hukum dapat dijadikan sebagai alat atau sarana untuk mengadakan rekayasa sosial (a
tool of socIal engineering). Dengan demikian pada tingkatan tertentu diharapkan hukum
mampu menanggulangi bahkan menghapus kemiskinan.14
Tindaklanjut kebijakan nasional tentang penanggulangan kemiskinan juga dituangkan
dalam produk-produk legislatif di daerah selama era otonomi daerah menunjukan komitmen
pemerintah daerah untuk mengentaskan masyarakat dari garis kemiskinan. Karena peranan
hukum untuk melindungi, mengatur dan merencanakan kehidupan ekonomi maka dinamika
kegiatan ekonomi itu dapat diarahkan kepada kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh
masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Aquinas dalam Suma Theologica
“Hukum bukan hanya membatasi dan menekan saja, akan tetapi juga memberi kesempatan
bahkan mendorong para warga untuk menemukan berbagai penemuan yang dapat
menggerakan kegiatan ekonomi”
F. Poros Strategi Ekonomi Politik Yang Dapat Diupayakan Untuk Meredam
Pembengkakan Kemiskinan
Pertama, kebijakan tidak langsung (indirect policies) dengan jalan membenahi
infrastruktur penyebab kemiskinan melalui jalur politik. Pengertian infrastruktur di sini adalah

14 https://sosialsosiologi.blogspot.com/2012/12/sosiologi-hukum-tentang-hukum-dan-kemiskinan.html

13
situasi ketidaksepadanan antar pelaku ekonomi, baik oleh karena kemampuan nilai tawar yang
berbeda maupun kepemilikan aset produktif yang tidak proporsional. Misalnya, menata
kembali kepemilikan aset produktif yang sudah sangat timpang melalui kebijakan land
reform15 dan transparansi dalam pengambil kebijakan sehingga tidak terbuka kesempatan
bagi pemilik modal (pelaku ekonomi skala besar) menelikung kebijakan yang hendak
dirumuskan oleh pemerintah.
Kedua, kebijakan langsung (direct policies) yang mengaitkan kelembagaan dengan
strategi pengurangan kemiskinan. Berbeda dengan pendekatan neoklasik yang menganggap
bahwa pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan akan mengalir dengan sendirinya
melalui jalur pasar (market mechanism), akan tetapi pendekatan kelembagaan beranggapan
bahwa pertumbuhan ekonomi dan distribusi tidak dapat diserahkan kepada pasar sehingga
diperlukan intervensi pemerintah. Dalam kasus ini, pilihan kebijakan ekonomi semacam
perdagangan internasional (pengenaan tarif untuk produk pertanian), fleksibilitas nilai tukar
(disesuaikan dengan daya saing produk nasional), penciptaan lapangan kerja, dan sistem
pengupahan yang adil akan menjamin bahwa setiap tingkat pertumbuhan ekonomi yang
dicapai akan lebih banyak dinikmati oleh kelompok miskin (pro-poor growth). Jika prosedur
ini berlangsung, maka dengan sendirinya jumlah penduduk miskin dapat teratasi.
G. Kemiskinan di Indonesia

15 Yujiro Hayami, Development Economics: From the Proverty to the Wealth of Nations (Oxford: Clarendon Press,
1997), hlm. 175.

14
Jumlah penduduk miskin di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) kembali
berkurang pada September tahun lalu. Namun begitu, kesenjangan antar-daerah dinilai
masih tinggi. Pemerintah terus berusaha menekan angka kemiskinan dengan
meluncurkan Program Keluarga Harapan (PKH) sejak tahun 2007 atau pada masa
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.16
Dalam catatan (BPS), jumlah penduduk miskin per September 2018 mencapai 25,26
juta jiwa atau sebesar 9,66 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah tersebut menurun
280 ribu jiwa dibandingkan dengan total penduduk miskin per Maret 2018 yang mencapai
25,95 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan angka September 2017, jumlah penduduk miskin
per September 2018 telah berkurang sebanyak 910 ribu jiwa. Ini merupakan angka
kemiskinan terendah sejak 1998.
Untuk terus menekan angka kemiskinan itu, pemerintah kemudian melakukan
terobosan pencabutan subsidi BBM pada tahun 2014. Hal itu dilakukan untuk mengganti
program subsidi yang strategis, tepat sasaran, dan meningkatkan program PKH. Setelah
pencabutan subsidi BBM pada 2014, pemerintah melalui program PKH memberikan
bantuan sebanyak 6 juta keluarga. Lalu pada tahun 2017 dilakukan pencabutan subsidi
listrik diiringi dengan menaikkan bantuan PKH kepada 10 juta keluarga. Apakah ini berhasil
menekan angka kemiskinan?

16 https://beritagar.id/artikel/berita/ketimpangan-sosial-di-indonesia-masih-tinggi

15
Rumah tangga penerima program keluarga harapan (PKH) dan angka kemiskinan tahun
2007 hingga 2018. | Lokadata /Beritagar.id

Setelah pencabutan subsidi listrik pada 2017, angka kemiskinan turun cukup signifikan,
yakni 9,6 persen. Ini menjadi kali pertama dalam sejarah Indonesia. Pada Pembangunan
Jangka Panjang (PJP) tahun 2010-2014, Kementerian Sosial (Kemensos) menyebut terjadi
peningkatan target beneficiaries dan alokasi budget PKH yang melampaui baseline target
perencanaan. Tahun 2016, pembagian PKH menyentuh 6 juta keluarga miskin. Sedangkan
tahun 2017 bertambah hingga 6,2 juta keluarga. Setahun kemudian, 2018, penerima PKH
naik lagi hingga 10 juta keluarga.

Akhirnya, pada Maret 2018, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran
per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 25,95 juta orang
atau 9,82 persen. Itu artinya terjadi pengurangan sebesar 633,2 ribu orang dibanding pada
September 2017 yang masih menyentuh angka 26,58 juta orang atau 10,12 persen.

Namun Pencapaian Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang tinggi belum dapat
mewujudkan bebagai fenomena penting bagi kualitas hidup rakyat. Tak heran jika saat
sebagian kalangan bangga dengan prestasi pertumbuhan PBD yang kita capai, mayoritas
rakyat justru kurang merasakan ada perbaikan taraf kehidupannya.17

Disatu sisi, pencapaian pertumbuan mampu mengurangi tingkat kemiskinan dan


memperbesar jumlah kelas menengah. Namun, disisi lain juga memperlebar ketimpangan
ekonomi. Menurut Bank Dunia, manfaat dari pertumbuhan ekonomi lebih dinikmati oleh
20% masyarakat terkaya. Sementara sekitar 80% penduduk, lebih dari 205 juta orang terlihat
merasa masih tertinggal.

Ketimpangan sosial di Indonesia dinilai masih tinggi. Menurut survei persepsi yang
dirilis International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Kamis (20/9/2018),
persepsi masyarakat Indonesia terhadap ketimpangan sosial yang mereka alami makin
meningkat pada 2018.

Indeks Ketimpangan Sosial Indonesia pada 2018 berada pada skor 6. Angka ini
meningkat sebesar 0,4 dibandingkan survei serupa yang dilakukan pada 2017. Tahun lalu,

17 Hilmi Rahman Ibrahim, “potret pertumbuhan ekonomi, kesenjangan dan kemiskinan di indonesia dalam
tinjauan ekonomi politik pembangunan” Jurnal Ilmu dan Budaya, Vol.40, No.55, Maret 2017, hal.6309

16
Indeks Ketimpangan Sosial Indonesia sebesar 5,6. Dua tahun lalu, Indeks Ketimpangan
Sosial ini skornya hanya 4,4. Upaya memperbaiki ketimpangan ekonomi memang tidak bisa
dikesampingkan bersamaan dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Tetapi,
perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi diharapakan dapat menekan ketimpangan yang
semakin melebar.

Oleh karena itu maka pertumbuhan ekonomi yang berkualitas merupakan salah satu
prasarat utama dalam mewujudkan pembangunan nasional agar dapat menekan kemiskinan
dan ketimpangan sosial. Pertumbuhan dianggap mampu menstimulasi dan mempercepat
pelaksanaan dan mewujudkan pembangunan. Namun demikian pertumbuhan harus
dibarengi dengan penguatan nilai- nilai keadian sosial dan kesejahteraan masyarakat melalui
pemberian akses secara merata kepada masyarakat. Pertumbuhan yang berdimensi
pemerataan menjadi rangkaian yang tidak terpisahkan dalam menjalankan pembangunan
nasional secara berkelanjutan (sustaiable development). 18

Pembangunan yang kurang memperhatikan unsur keadilan akan mendorong terjadinya


kesenjangan ekonomi dan sosial. Untuk itu pemerintah harus mengelola pembangunan
dengan memberikan akses dan peluang yang sama kepada semua pihak, termasuk pelaku
ekonomi UKM dan mikro. Konsentrasi ekonomi kepada kelompok usaha tertentu akan
melahirkan disparitas sosial dan kemiskinan.

18 Hilmi Rahman Ibrahim, “potret pertumbuhan ekonomi, kesenjangan dan kemiskinan di indonesia dalam
tinjauan ekonomi politik pembangunan” Jurnal Ilmu dan Budaya, Vol.40, No.55, Maret 2017, hal.6326

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kemiskinan merupakan masalah multidimensi karena berkaitan dengan
ketidakmampuan akses secara ekonomi, politik, sosial budaya, dan partisipasi dalam
masyarakat. Berbagai kebijakan dan program yang ada dirasakan masih kurang efektif
dalam upaya menurunkan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini
terbukti dengan adanya kecenderungan peningkatan jumlah penduduk miskin dari masa ke
masa. Dalam pandangan ekonomi politik, terdapat dua poros strategi ekonomi politik yang dapat
diupayakan untuk meredam pembengkakan kemiskinan. Pertama, kebijakan tidak langsung
dengan jalan membenahi infrastruktur penyebab kemiskinan melalui jalur politik. Kedua,
kebijakan langsung yang mengaitkan kelembagaan dengan strategi pengurangan kemiskinan,
di mana pendekatan kelembagaan beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi dan distribusi
tidak dapat diserahkan kepada pasar sehingga diperlukan intervensi pemerintah.
Hal penting dalam membahas kemiskinan dan kebudayaan adalah untuk mengetahui
seberapa cepat orang-orang miskin akan mengubah kelakuan mereka, jika mereka mendapat
kesempatan-kesempatan baru; dan macam hambatan atau halangan-halangan yang baik atau
buruk yang akan timbul dari reaksi tersebut terhadap situasi-situasi masa lampau. Untuk
menentukan macam kesempatan-kesempatan yang harus diciptaan untuk menghapus
kemiskinan, yaitu mendorong oang-orang msikin melakukan adapatasi terhadap
kesempatan-kesempatan yang bertentangan dengan pola- pola kebudayaan yang mereka
pegang teguh dan cara mereka dapat mempertahankan pola-pola kebudayaan yang mereka
pegang teguh tersebut agar tidak akan bertentangan dengan aspirasi-aspirasi lainnya. Hanya
orang- orang miskin yang tidak mampu menerima kesempatan-kesempatan karena mereka
tidak dapat membuang norma-norma kelakukan yang digolongkan sebagai pendukung
kebudayaan kelas bawah.
Dapat diketahui dalam perannya hukum mengubah dan mengarahkan perilaku atau
pola-pola tingkah laku, pemegang peran yang dimaksud adalah masyarakat. Apabila
perubahan perilaku ini dapat dilaksanakan maka hukum dalam bekerjanya dapat berfungsi
sebagai saran merekayasa masyarakat (a tool of social engineering). Dengan demikian pada
tingkatan tertentu diharapkan hukum mampu menanggulangi bahkan mengahapus
kemiskinan.

18
Karena peranan hukum untuk melindungi, mengatur dan merencanakan kehidupan
ekonomi maka dinamika kegitan ekonomi itu dapat diarahkan kepada kemajuan dan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat sebagaimana hal itu dikemukakan oleh Thomas
Alquinas “Hukum bukan hanya bisa membatasi dan menekan saja, akan tetapi juga memberi
kesempatan bahkan mendorong para warga untuk menemukan berbagai penemuan yang
dapat menggerakan kegiatan ekonomi.”

19
DAFTAR PUSTAKA

Asy'ari, Musa. 2001. Keluar dan Krisis Multidimensi. Yogyakarta: LESFI.

North, Gary. 1992. The Coase Theorem: A Study in Economic Epistemology. Texas:
Institute for Christian Economics.
Yeager, Timothy J. 1999. Institutions, Transition Economics, and Economic
Development. USA: Westview Press.

Yustika, Ahmad Erani. 2000. Industrialisasi Pinggiran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Ibrahim, Hilmi Rahman. 2017. “Potret Pertumbuhan Ekonomi, Kesenjangan Dan
Kemiskinan Di Indonesia Dalam Tinjauan Ekonomi Politik Pembangunan” Jurnal Ilmu
dan Budaya, Vol.40, No.55.

20

Anda mungkin juga menyukai