Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SEJARAH PEMIKIRAN HUKUM ISLAM

Oleh:

RINI
1713040068

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA ISLAM/JINAYAH SIYASAH (JS) B


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1439 H / 2017 M

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemahaman suatu sumber hukum sendiri tidak semena-mena dengan
akal dan pendapat pribadi. Namun telah tentu standar tertentu dalam
penggunaannya. Hal tersebut selanjutnya disebut sumber hukum dan dalil. Hal
inilah yang akan berperan dalam tata urutan sumber hukum hanya Allah
hakim yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa. Rasulullah penyampai hukum-
hukum Allah kepada manusia. Oleh karena itu Allah yang menetapkan
hukum, disini saya akan membahas tentang sumber hukum Istishab, Syar’u
man Qablana, Mazhab Shahabi, sad al-Dzariah, dna saya juga membahas
pengertian sumber hukum islam beserta dalil yang disepakati dan tidak
disepakati.
B. Rumusan Masalah
1. Sumber hukum istishab dan dalilnya
2. Sumber hukum syar’u man Qablana
3. Madzhab Shahabi
4. Sumber hukum sad al-dzariah
5. Pengertian sumber hukum islam
6. Sumber dan Dalil yang disepakati
7. Dalil-dalil yang tidak disepakati
C. Tujuan
1. Mengetahui sumber hukum Istishab dan dalilnya
2. Mengetahui sumber hukum syar’u man Qablana
3. Memahami madzhab shahabi
4. Memahami sumber hukum sad al-dzariah
5. Mengetahui pengertian sumber hukum islam
6. Mengetahui sumber dan dalil hukum yang disepakati
7. Memahami dalil-dalil yang tidak disepakati

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber Hukum dan Dalil Istishab
1. Pengertian Istishab
Secara etimologis yaitu meminta, kebersamaan/ persahabatan).
Sedangkan secara terminologis menurut Dr. Iyat istishab yaitu
“menetapkan berlakunya hukum pada zaman kedua (sekarang)
berdasarkan ketetapan hukum pada zaman pertama (dahulu).
Yang dimaksud dengan definisi di atas bahwa hukum itu
selamanya akan tetap berlaku sampai ada perubahannya.
Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf, istishab yaitu “Hukum
yang di masa lalu berlaku tetap berlaku, sampai ada dalil yang mengubah
hukum tersebut. Atau menjadikan hukum yang telah berlaku di masa lalu,
tetap berlaku pada masa kini sampai ada dalil hukum yang mengubahnya”.
2. Macam-macam Istishab
a. Istishab al-bara’ah al-ashliyah (Kebebasan Dasar), seperti bebas dari
taklif (kewajiban hukum sampai ada dalil yang menunjukkan adanya
taklif, misalnya anak kecil bebas dari taklif sampai ia mencapai usia
baligh.
b. Istishab yang diakui eksistensinya oleh syara’ dan akal seperti istishab
mengenai pertanggungan hutang, sampai ada dalila yang menunjukkan
bahwa hutang itu telah dibayar atau dibebaskan.
c. Istishab hukum, yaitu apabila ada dalam kasus itu sudah ada ketentuan
hukumnya, baik mubah atau haram. Ketentuan hukum itu terus berlaku
hingga dalil yang mengharamkan dalam hal perkara mubah, hingga
ada dalil yang memperbolehkan dalam perkara haram. Hukum mubah
ini ditetapkan berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2) :
29
   
   
  
 

2
   
   
Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi
untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu
dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui
segala sesuatu.

Dan juga dalam surat Luqman (31): 20


   
   
  
 
 
  
  
   
    
 
Artinya: “tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah
menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan
apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-
Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang
membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan
atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”

d. Istishab sifat. Seperti sifat orang hilang. Sifat ini dianggap masih tetap
melekat pada orang yang hilang sampai ada indikator atas
kematiannya. Kafalah (Jaminan/tanggungan) adalah sifat syar’i yang
menetap pada orang yang menanggung hingga ia membayar utangnya

3. Kehujjahan Istishab
a. Landasan dari segi syara’ ialah berbagai hasil penelitian hukum
menunjukkan bahwa suatu hukum syara’ senantiasa tetap berlaku.
Selama belum ada dalil yang mengubahnya. Sebagai contoh, syara’
menetapkan bahwa semua minuman yang memabukkan adalah haram.
Kecuali ada perubahan dalam sifatnya jika sifat memabukkannya
hilang. Karena berubah menjadi cuka misalnya, maka hukumannya

3
juga berubah dari haram menjadi halal. Demikian watak hukum syara’,
ia tidak akan berubah kecuali jika ada dalil lain yang mengubahnya.
b. Landasan logika, secara singkat dapat ditegaskan, logika yang benar
pasti mendukung sepenuhnya prinsip istishab. Misalnya jika seorang
telah ditanyakan sebagai pemilik suatu barang, maka logika akan
menetapkan, statusnya sebagai pemilik tidak akan berubah, kecuali
jika ada alasan dalil lain yang mengubahnya, misalnya, karena ia
menjual atau menghadiahkan barang tersebut kepada orang lain.
Demikian juga, jika seorang wanita, maka logika dengan mudah
menetapkan bahwa status perkawinan mereka tetap berlaku kecuali ada
dalil yang mengubahnya, misalnya karena si suami menceraikan
istrinya.
B. Syar’u Man Qablana
1. Pengertian
Sesungguhnya Nabi Muhammad diutus membawa agama yang
benar, Allah menjadikannya sebagai Nabi penutup, dan ia menjadikan
syariat Nabi Muhammad sebagai syari’at terkahir. Dan hukum masing-
masing syariat terbagi dua, yaitu ushul (pokok), dan furu’ (cabang) yang
ushul misalnya beriman kepada Allah, sifat dan asma-Nya, iman dengan
adanya hari kebangkitan, adanya pahala, adanya siksa, adanya surga dan
neraka, aspek ushul ini sesuai dengan seluruh syariat terdahulu.
Sebagaimana firman Allah dalam Surat Ali-Imran (3):19
   
  
 
  
   
 
   
   
  
Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah
Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab
kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena

4
kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang
kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah
sangat cepat hisab-Nya.

Adapun dalam perkara furu’ antara syari’at Nabi terdahulu berbeda


dengan syariat Nabi Muhammad SAW, Perkara inilah yang dimaksud
dengan pokok bahasan syar’u man qablana.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan syar’u man qablana yaitu

‫ والطريق‬.‫مانقل إلينا بطريق صحيح من الشدانع السماوية السابقة‬


‫الصحيح لـمعرفة شدع من قبلنا هو نقل القرآن والسنة النبوية‬
‫الشابتة‬
“Sesuatu yang diriwayatkan dengan jalan yang shahih dari syariat agama
samawi terdahulu yang dimaksud dengan jalan yang sahih yaitu diketahui
(dijelaskan) syariat agama terdahulu tersebut oleh al-Qur’an dan Sunnah
Nabi SAW.

2. Penggolongan ayat tentang syar’u man Qablana


Hukum agama samawi terdahulu yang diceritakan oleh Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Saw, digolongkan kepada tiga kategori yaitu:
a. Menguatkan keberlakuannya dalam syariat Islam
Contoh seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah (2):183
 
  
  
  
  

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa,

b. Dan Al-Qur’an juga menceritakan tentang syariat agama samawi


terdahulu, akan tetapi syariat tersebut telah dibatalkan keberlakuannya
dalam syariat islam (naskh) misalnya firman Allah dalam Surat al-
An’am (6):146
  
    
 

5
 
  
  
  
   
 
  
 
Artinya: “dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala
binatang yang berkuku dan dari sapi dan domba, Kami
haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu,
selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang
di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan
tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan
kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya Kami adalah
Maha benar.

Hukum dalam ayat di atas tidak berlaku dalam Syari’at Islam

c. Hukum yang dinyatakan kepada kita, akan tetapi tidak disertai hukum
nash nya dan hukum tetap keberlakuannya dalam syariat Islam
misalnya firman Allah dalam surat Yusuf (12):72
  
  
  
  

Artinya: “penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja,
dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh
bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin
terhadapnya".

Selanjutnya dalam surat Al-Qomar (54):28


  
    
 
Artinya: “dan beritakanlah kepada mereka bahwa Sesungguhnya air
itu terbagi antara mereka (dengan unta betina itu); tiap-
tiap giliran minum dihadiri (oleh yang punya giliran)

3. Pandangan ulama tentang Syar’u man Qablana

6
Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat nabi
terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an tetapi tidak ada
ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan
tidak ada pula penjelasan yang membatalkannya, misalnya tentang hukum
qishash (hukuman yang setimpal) dalam syariat nabi Musa yang
diceritakan dalam Surat al-Maidah (5):45
 
  
 
 
 
 
 
    
    
   
  
 
Artinya: “dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At
Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan
mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi
dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa
yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu
(menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

C. Mazhab Shahabi
1. Pengertian
Yang dimaksud mazhab shahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah
saw tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Menurut sebagian ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan mazhab shahabi yaitu pendapat hukum yang
dikemukakan oleh seorang atau beberapa sahabat Rasulullah secara
individu, tentang suatu hukum syara’ dalam Al-Qur’an maupun sunnah
Rasulullah saw

7
Namun ada juga pendapat lain yang memberikan definisi mazhab
shahabi tersebut, beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
mazhab shahabi adalah fatwa sahabat secara perorangan, maksudnya
adalah mengandung suatu keterangan atau penjelasan tentang hukum
syara’ yang dihasilkan melalui usaha ijtihad.
2. Macam-macam Mazhab Shahabi
Para ulama membagi shahabi ke dalam beberapa macam, diantaranya:
a. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad.
Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan
sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena kemungkinan ijma’ dari Nabi
saw sangat besar, sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa
termasuk dalam kategori al-Sunnah
Contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa
dijadikan objek ijtihad, seperti: perkataan Ali bahwa jumlah mahar
yang terkecil adalah 10 dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit
haid seorang wanita adalah 3 hari sedangkan paling banyak adalah 10
hari.
Namun contoh-contoh tersebut ditolak oleh para ulama
Syafi’iyah, bahwa hal-hal tersebut adalah permasalahan-permasalahan
yang bisa dijadikan objek ijtihad.
b. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya
sendiri
Qaul Al-Shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan diantara
para ulama mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam Fiqh Islam
3. Kehujjahan Mazhab Shahabi
Maksud kehujjahan disini adalah kekuatan yang mengikat untuk
dijalankan umat Islam. Pendapat perorangan merupakan hujjah bagi
generasi tabi’in dan generasi berikutnya atau tidak dalam hal ini terdapat
perbedaan antar ulama diantaranya yaitu: menurut jumhur ulama yaitu
ulama Hanafiyyah, Imam Malik, pendapat Ays-Syafi’i yang lama (Qaul al-
Qaddim) dan menurut pendapat ahmad bin hambal yang terkuat: Qaul

8
Assyahabi merupakan hujjah. Bahkan menurut mereka Qaul Asyahabi
didahulukan daripada Al-Qiyas, pendapat ini didasarkan kepada dalil
sebagai berikut: Firman Allah SWT pada Surat Ali-Imran (3):110 yang
berbunyi:
  
 
 
  
   
  
   
 

 
Artinya: “ kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka
ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik.”

Ayat ini ditunjukkan kepada sahabat sehingga menunjukkan bahwa


apa yang mereka perintahkan adalah yang baik. Sedangkan perintah yang
baik wajib diterima.
D. Sadd al-Dzariah
1. Pengertian
Kata sad merupakan bahasa berarti “menutup” dan kata Al-Dzariah
berarti “washilah” atau jalan ke suatu tujuan, dengan demikian sad al-
Dzariah. Secara bahasa berarti menutup jalan ke suatu tujuan. Imam al-
Syatibi mendefenesikan dzariah. Dengan melakukan suatu pekerjaan yang
semula mengandung suatu kemaslahatan menuju ke suatu kemaslahatan.
Maksudnya adalah seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada
dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan tetapi tujuan
yang akan dia capai berakhir pada suatu kemafshadatan.

9
Menurut istilah ushul fiqh seperti dikemukakan oleh Abdul karim
Zaidan Sadd- al-Dzariah berarti menutup jalan yang membawa kepada
kebinasaan atau kejahatan.
2. Kehujjahan Sadd al-Dzariah
Ditempatkannya suatu Al-Dzariah sebaga salah satu dalil dalam
menempatkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya
mengandung arti bahwa meskipun syara’ tidak menetapkan. Secara jelas
mengenal hukum suatu perbuatan, namun karena perbuatan itu ditetapkan
sebagai wasilah bagi suatu perbuatan yang dilarang secara jelas, maka hal
ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum wasilah itu adalah
sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok.
Masalah ini menjadi perhatian ulama karena banyak ayat-ayat al-Qur’an
mengisyaratkan ke ayat itu umpamanya Q.S Al-An’am (6):108
  
   
  
   
  
  
 
 
  
Artinya: “dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah
Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka.
kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan.

Q.S An-Nur (24):31


  
   
  
   
 
 

10
Artinya: “dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.

Dari beberapa contoh di atas terlihat adanya larangan bagi


perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang meskipun
semula pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya.

E. Pengertian Sumber Hukum Islam


Pengertian sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau
menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yaitu
peraturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan
nyata.
Sumber hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman
atau yang menjadi sumber syariat Islam yaitu al-Qur’an dan Hadits Nabi
Muhammad (Sunnah Rasulullah saw).

F. Sumber dan Dalil hukum yang disepakati


Para jumhur ulama atau mayoritas ulama sedunia bersepakat dan
menetapkan ada empat sumber hukum Islam yang disepakati yaitu:
1. Al-Qur’an
2. Hadits Nabi
3. Ijma’
4. Qiyas
Sedangkan hanya sebagian kecil saya atau golongan minoritas yang
menyepakati Ijma’ dan Qiyas para ulama dari golongan madzhab zhhiri dan
para ulama golongan siyah akhiri tidak mengakui Qiyas sebagai dalil yang
disepakati di Indonesia. A. Hasan seorang pemimpin Ormas islam di
Indonesia menganggap mustahil adanya ijma’ setelah masa sahabat, sehingga
jangan heran para jemaahnya selalu menggunakan Qur’an dan Hadits saja

11
sebagai sumber hukum tanpa melihat hasil ijtihad para ulama atau tanpa
madzhab.
G. Dalil-dalil yang tidak disepakati
Mayoritas ulama dunia tidak sepakat atas penggunaan beberapa
sumber hukum islam selain yang empat di atas. Sumber hukum yang
diperselisihkan pemakaiannya ada enam yaitu:
1. Istihsan
2. Maslahah Mursalah
3. Ihtishab
4. ‘urf
5. Madzhab Shahabi
6. Syar’u man Qablana
Ijtihad menurut ulama ushul fiqh adalah meninggalkan hukum yang
telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau
kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’ menurut madzhab hanafi,
istihsan itu semacam Qiyas yang dilakukan karena ada suatu kepentingan
bukan berdasarkan hawa nafsu sedangkan menurut Madzhab Syafi’i istihsan
itu timbul karena merasa kurang enak kemudian pindah ke rasa yang lebih
enak.
Menurut Asnawiy istishab adalah penetapap hukum terhadap suatu
perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku
sebelumnya karena tidak adanya suatu hal yang harus mengharuskan
terjadinya perubahan hukum tersebut.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sumber dalil hukum Islam merupakan segala sesuatu yang dapat
dijadikan alasan dalam menemukan dan atau menetapkan hukum syara’
dengan mempertimbangkan yang tepat dan benar yang termasuk dalam
sumber dan dalil hukum Islam. Sebagai umat Islam kita diwajibkan untuk
mengetahui serta memperdalam sumber ajaran agama yang dibawa oleh
Rasulullah saw, karena sumber ajaran Islam merupakan media penuntun agar
kita dapat melaksanakan semula perintah Allah dan semua larangannya.
Agama islam pun tidak mempersulit kita dalam mempelajari seluk beluk
agama islam karena terdapat tingkatan sumber ajaran agama Islam yang kita
pedomani.
B. Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan
manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah kami.

13
DAFTAR PUSTAKA

Bakhry, Nazar. 1996. Fikih dan Ushul Fikih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Mardani. 2013. Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

14

Anda mungkin juga menyukai