Prijono 20091015151109 2385 0 PDF
Prijono 20091015151109 2385 0 PDF
Pendahuluan
*
Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto adalah Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Sumberdaya
Manusia pada Universitas Indonesia. Pokok-pokok pikiran dalam tulisan ini pernah disampaikan
dalam Simposium Dua Hari Kantor Mentrans dan Kependudukan/BAKMP di Jakarta tanggal 25-26
Mei 2000-red.
Berbeda dengan keputusan individu, keluarga atau rumah tangga berada pada
posisi yang lebih mampu menangani resiko ekonomi rumah tangga pada saat migrasi
dilakukan, melalui diversivikasi alokasi berbagai sumber yang dimiliki oleh keluarga
atau rumah tangga, seperti misalnya dengan alokasi tenaga kerja keluarga. Beberapa
anggota rumah tangga tetap bekerja di daerah asal, sementara yang lain bekerja di luar
daerah ataupun luar negara. Pembagian tersebut pada dasarnya merupakan upaya
meminimalkan resiko terhadap kegagalan yang mungkin terjadi akibat melakukan
perpindahan atau migrasi. Selain itu, jika pasar kerja lokal tidak memungkinkan rumah
tangga tersebut memperoleh penghasilan yang memadai maka pengiriman uang
(remittances) yang dikirim dari anggota rumah tangga yang bekerja diluar daerah
ataupun luar negara dapat membantu menopang ekonomi rumah tangga.
Aliran lain untuk menganalisis timbulnya minat melakukan migrasi adalah dual
labor market theory. Jika dua pendekatan terdahulu dapat dikelompokkan sebagai
“micro-level decision model”, maka aliran “dual labor market theory” mengemukakan
bahwa migrasi penduduk terjadi karena adanya keperluan tenaga kerja yang bersifat
hakiki (intrisic labor demand) pada masyarakat industri modern (Piore: 1979). Menurut
Pertama, strategi makro ekonomi makro yang dijalankan antara tahun 1967
sampai 1980. Pada masa itu, kombinasi antara kebijaksanaan substitusi impor dan
investasi asing di sektor perpabrikan (manufacturing) di Indonesia telah meningkatkan
polarisasi pembangunan terpusat pada metropolitan Jakarta. Antara tahun 1974-1979
persentase sumbangan DKI Jakarta dan daerah sekitarnya yaitu Jawa Barat terhadap
pertumbuhan sektor manufacturing skala besar dan menengah di Indonesia meningkat
dari 38% menjadi 42%.
Faktor lain yang juga mendukung makin besarnya peranan DKI Jakarta terhadap
mobilitas penduduk adalah ekspansi atau perluasan yang cepat dari jasa-jasa
kemiliteran, peningkatan lembaga-lembaga keuangan dan masuknya usaha bisnis asing
serta tenaga asing untuk bekerja di sektor perminyakan, perusahaan asing, perusahaan
konsultan, dan bahkan lembaga-lembaga donor internasional yang berkantor di
Jakarata. Kesemuanya ini menyebabkan meningkatnya keperluan akan perumahan dan
juga menciptakan pasar untuk jasa-jasa yang lebih canggih (advaced) (Douglass, M.
:1992: Wirosuhardjo, K:1986).
Penyebaran yang cepat dari proses mekanisasi sektor pertanian pada awal
dasawarsa 1980-an juga menyebabkan makin menurunnya tenaga kerja yang dapat
diserap di sektor ini. Kecenderungan ini kemudian diikuti dengan berlangsungnya
migrasi desa-kota. Keadaan perekonomian yang terjadi pada saat itu sangat
mempengaruhi proses urbanisasi selama kurun waktu 1980-an. Pada kurun waktu
tersebut terjadi penurunan yang cukup signifikan dari migrasi desa-kota di berbagai
wilayah di Indonesia, kecuali untuk DKI Jakarta dan daerah pesisir utara Pulau Jawa.
Ketiga, Pada paruh kedua dasawarsa 1980-an pemerintah memiliki minat yang
besar untuk mengembangkan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Investasi pemerintah di
kawasan ini telah meningkat dari 26% pada tahun 1993 menjadi 27,6% dari total
investasi pemerintah seluruhnya pada tahun 1998. Peningkatan investasi pemerintah
tersebut diikuti oleh peningkatan investasi swasta dari 14% menjadi 15,3% dari total
investasi sawsta pada kurun waktu yang sama. Sementara itu pada periode yang sama
investasi pemerintah di Kawasan Barat Indonesia (KBI) mengalami penurunan dari
85,7% menjadi 84,7% dari seluruh total investasi pemerintah. Upaya menggeser pola
mobilitas lebih kearah Timur mulai diusahakan sejak saat itu.
Beberapa kata kunci yang perlu diberikan penekanan pada pembangunan daerah
adalah: (1) pembangunan daerah disesuaikan dengan prioritas dan potensi masing-
masing daerah; dan (2) adanya keseimbangan pembangunan antar daerah. Kata kunci
pertama mengandung makna pada kesadaran pemerintah untuk melakukan
desentralisasi pembangunan terutama berkaitan dengan beberapa sektor pembangunan
yang dipandang sudah mampu dilaksanakan di daerah masing-masing.
Kata kunci kedua mengandung makana pada adanya kenyataan bahwa masing-
masing daerah memiliki potensi baik alam, sumber daya manusia maupun kondisi
geografis yang berbeda-beda, yang meyebabkan ada daerah yang memiliki potensi
untuk berkembang secara cepat dan sebaliknya ada daerah yang kurang dapat
berkembang karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Adanya perbedaan potensi
antar daerah ini menyebabkan peran pemerintah pusat sebagai “pengatur
kebijaksanaan pembangunan nasional” tetap diperlukan agar timbul keselarasan,
keseimbangan dan keserasian perkembangan semua daerah baik yang memiliki potensi
yang berlebihan maupun yang kurang memiliki potensi.
Pengalaman dan kenyataan yang ditemui dalam arus dan perpindahan penduduk
di negara-negara bagian Amerika Serikat ataupun negara-negara anggota Uni Eropa,
telah menunjukkan bahwa otonomi yang nyata dan bertanggung jawab telah berhasil
mengarahkan mobilitas penduduk yang bersifat sukarela tersebut.
Penutup
Selama ini peran Jakarta terhadap perekonomian nasional sangat penting bila
dibandingkan dengan kota-kota metropolitan lainnya. Kerusuhan yang terjadi di kota-
kota Ambon, Medan, dan Makassar, terbukti tidak terlalu memiliki pengaruh yang besar
pada perekonomian nasional. Namun, begitu kerusuhan terjadi di kota Jakarta,
pengaruhnya cukup fatal pada perekonomian nasional. Pengalaman tersebut dapat
menjadi pelajaran yang sangat berharga dalam membuat kebijaksanaan pengembangan
perkotaan untuk masa mendatang. Pemusatan penduduk pada satu kota besar saja
sedapat mungkin dihindarkan.
Pola mobilitas lain yang juga diperkirakan berubah dimasa mendatang adalah
migrasi internasional atau perpindahan penduduk antar negara. Perubahan pola
hubungan ekonomi antar bangsa, sejak awal dasawarsa delapan puluhan, menyebabkan
persoalan migrasi internasional, khususnya migrasi tenaga kerja, memerlukan pemikiran
yang lebih serius pada masa mendatang (Zolberg, Aristide, R. : 1978). Pembentukan
fakta-fakta perdagangan dan pemusatan kegiatan ekonomi, seperti misalnya yang
dikenal dengan Uni Eropa, APEC, AFTA, NAFTA, dan lain sebagainya, serta
meningkatnya perdagangan dan investasi bebas, termasuk mengurangi peraturan lalu
lintas tenaga kerja antar negara, akan sangat mempengaruhi pola kecenderungan migrasi
internasional dimasa depan. Kecenderungan semacam ini yang patut dipertimbangkan
Badan Pusat Statistik, 1997 Perpindahan Penduduk dan Urbanisasi di Indonesia, hasil
Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995, Seri S4, Jakarta, Indonesia.
Broek, Julien Van den, 1996 The Economics OF Labor Migration, Edward Elgar,
Cheltenham, UK-Brookfield, USA.
Douglas, Mike, 1992 Structural Change and the Urbanization in Indonesia:From the
“Old to the “New” International Division OF Labor, University of Hawaii
Press, USA.
Hansen, 1981 “Devlopment From Above: The Center Down Development Paradigm” in
W.B. Stohr and F. Taylor (eds) Development From Above or Below? The
Dialectics OF Regional Planning in Developing Countries, Chichester: John
willey and Sons.
Kim, Won bae, 1990 Population Distribution Policy in China: A Review, paper
published in Regional Development Dialogue, Vol. 11, No.1, Spring 1990.
King, Russel, 1996 “Migration in a World Historical Perspective” in Broek, Julien van
den, 1996, The Economics OF Labor Migration, Edward Elgar, Cheltenham,
UK-Brookfield, USA.
Kunz, E.F, 1973 “The Refugee in flight: Kinetic Models and Forms OF Displacement”.
International Migration Riview, VII (2), summer, 125-146.
Potter, R.B, 1985, Urbanization and Planning in the Third World: Spatial Perceptions
and Publics Participation, London: Croom Helm.
…, 1989 “The Next Wave: Migration Theory For a Changing World”, International
Comment:
Migration Review, XXII (3), Fall, 403-430.