Noam Chomsky, seorang cendikiawan anarkis Amerika, menjelaskan bahwa
segala istilah politik mengandung dua makna, yaitu literal dan doktrinal. Sebagai contoh adalah demokrasi. Demokrasi adalah ketika semua orang punya kesempatan yang sama untuk berpartisipasi penuh dalam mengatur hubungan-hubungan sosial. Namun ini adalah makna yang definisinya bisa dengan mudah kita dapatkan di dalam kamus-kamus. Kenyataannya? Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa etos konsumsi yang menjadi kultur modern dari dampak langsung keberadaan kapitalisme telah membuat kita semua menyibukkan diri dalam rutinitas pekerjaan yang menjemukan. Kita dituntut untuk lebih banyak bekerja, untuk dapat lebih banyak merasa ‘hidup’. Pada kenyataan, kita melihat bahwa hal ini justru semakin kontra-produktif karena ia mencerabut individu yang sehat dari mengurus keluarganya, apalagi mengurus komunitas, dan dalam skala yang lebih luas, terkadang kepada politik. Apa yang kita saksikan adalah lahirnya orang-orang gila kerja dan tidak peduli, dan seandainya peduli, kita menyaksikan bagaimana mereka mengalami hambatan untuk merealisasikan kepeduliannya itu. Mereka hanya mampu melaksanakan hal- hal remeh, dan menganggap bahwa itulah kontribusi terbaik yang bisa ia berikan. Padahal, kemampuan dan intelegensia kita bisa mencapai suatu ukuran yang mungkin tidak dapat kita bayangkan, dari sekedar membuang sampah pada tempatnya, membantu nenek menyebrangi jalan raya, mengikuti pemilihan umum dan berdiskusi mengenai kontestasi politik nasional saat ini di warung-warung kopi. Apa yang tersisa bagi kita hanyalah remah-remah, dan sialnya, kita bahkan bersyukur bahwa kita telah berpartisipasi secara pasif, saking pasifnya, sebenarnya hal tersebut bahkan sama sekali tidak dapat disebut sebagai partisipasi. Sistem kenegaraan telah mengerdilkan warga menjadi sekedar “pembayar pajak”, “pemberi suara” dan “konstituen”, seolah-olah mereka terlalu muda atau tidak mampu untuk mengelola urusan-urusan publik mereka sendiri. Segala administrasi menjadi bersifat sangat profesional, membuat rumit banyak proses pertimbangan pengambilan keputusan, sehingga kita membutuhkan bidang ilmu tersendiri untuk mempelajarinya, dan membuat rakyat menjadi semakin pusing dan lebih pasif lagi. Pada akhirnya, pengambilan keputusan tetap terjadi secara tersentralisir dan kemudian lahirlah kebijakan publik yang sangat buruk. Upaya kita untuk mempengaruhinya sangat sulit, seperti menghancurkan tank dengan melempar kerikil. Seribu protes digelar, dan seribu petisi disebar, namun semua hanya berujung kepada kegagalan dan kekalahan. Seandainya berhasil, ada rangkaian kebijakan buruk lain yang harus kita upayakan untuk dirubah. Alhasil, politik tampak seperti kegiatan ritual menyembah setan. Sekarang, kita menyaksikan bahwa urusan-urusan publik diatur hanya oleh segelintir elit. Tentu saja, tidak semua politisi itu buruk. Namun politisi yang baik hanya masuk ke dalam kandang singa. Artinya, politisi baik masuk ke dalam “kandang” yang buruk dan dikelilingi oleh politisi “singa” buruk yang lain. Seidealis apapun motivasi ia untuk terjun ke dunia politik, mereka hanya menjadi bagian dari sistem interaksi kekuasaan yang perintah-perintahnya telah berkuasa atas diri mereka. Asumsi dasar kebanyakan orang adalah percaya bahwa jika kita memilih dengan tepat, maka penguasa yang baik akan memberikan dan menjamin hak-hak kita. Bukankah ini konyol, mengingat tidak ada satu manusia pun yang sempurna di dunia, dan karena penguasa adalah manusia, maka dengan demikian tidak ada hasil yang sempurna pula dari penguasa yang tidak sempurna tersebut? Namun mereka malah mentolerir hal ini dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dan layak diterima, tanpa mempertimbangkan adanya pilihan-pilihan lain yang sebenarnya jauh lebih masuk akal dan manusiawi. “Pemilu itu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa,” ujar Frans Magnis Suseno, yang dengan lancang mengeluarkan pernyataan kompromis macam ini. Jika demikian, apalagi yang dibutuhkan dari penguasa jika mereka memang tidak mungkin memberikan yang asasi dari setiap manusia, yaitu kebebasan? Di sisi lain, banyak orang mengira bahwa permasalahannya terletak pada politikus yang bodoh. Hingga batas tertentu, hal ini ada benarnya. Namun saya harap ini tidak mengaburkan akar permasalahannya yang sebenarnya. Kebutuhan akan politikus yang cerdas, pemimpin negara dan kementrian yang sesuai dengan latar belakangnya, atau yang bijak, adalah kebutuhan untuk membuat massa tetap bodoh. Kapitalisme telah menghasilkan spesialisasi, artinya, ada pembagian kerja yang berlebihan atas seseorang untuk hanya menekuni satu bidang tersebut. Negara memastikan bahwa mereka yang terlibat didalamnya adalah para profesional, para ahli kenegaraan saja. Nah, kalau sudah demikian, apa fungsi partisipasi sipil? Bagaimana mungkin demokrasi bisa dilangsungkan dalam negara? Memilih politikus yang baik dan bermoral saja tidak cukup. Apalagi hanya sekedar cerdas. Permasalahan politik kita melampaui hal ini, ia bukan perkara moral, melainkan sudah bersifat struktural. Mengutus dan memilih politisi yang baik tidak akan benar-benar menyelesaikan masalah. Baiklah, mungkin kita senang bahwa ada beberapa perubahan kebijakan yang lebih pro-rakyat. Namun seperti sudah saya jelaskan, politik yang kita bangun saat ini berdiri di atas fondasi yang sudah salah sedari awal. Sekarang, apa alternatif politik yang memungkinkan? Aristoteles, dalam buku pertama dari rangkaian karya Politica menjelaskan bahwa manusia menurut kodratnya merupakan zoon politikon, makhluk yang hidup dalam polis (kota). Polis, pada masa Yunani kuno adalah sebuah kota, dan aktivitas untuk mengurusi polis adalah politik. Semua manusia, seharusnya mengurusi kehidupan dan berorientasi komunitas bersama melalui politik. Politik bukanlah ajang merebut kekuasaan seperti kita lihat pada negara-negara saat ini. Di dalam polis-polis Yunani, semua lelaki dewasa terlibat langsung dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan komunitas mereka secara konsensus dan tatap muka (face to face). Makhkul politik dianggap sebagai sebuah sifat alamiah dalam tujuan mengorganisasikan dan mengelola kehidupan komunitas mereka secara bersama. Mereka tidak bisa sepenuhnya menjadi manusia kecuali mereka terjun berpartisipasi dalam kehidupan komunitas yang berorganisasi. Mereka tidak harus menjadi aktivis dan politikus untuk membuat perubahan. Mereka tetap bisa menjadi pedagang dan sesekali datang dalam pertemuan warga untuk mengambil suatu keputusan. Inilah yang dimaksud dengan demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), inilah bentuk kekuasaan rakyat yang sesungguhnya. Inilah demokrasi. Demokrasi Yunani kuno memang tidak sempurna, karena masih terdapat perbudakan, xenofobia dan patriarki. Budak-budak, perempuan dan orang asing sama sekali tidak memiliki hak untuk menyampaikan pendapat. Walau demikian, bentuk demokrasi ini jauh lebih manusiawi dan rasional untuk menciptakan alternatif politik desentralisasi radikal yang baik ketimbang politik negara yang tersentralisir. Pada masa inilah kesenian, filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang pesat. Warga sipil Yunani bukanlah orang-orang bodoh apolitis yang tidak tahu menahu dengan apa yang terjadi. Isu-isu politik didiskusikan di ruang-ruang publik dan keputusan ada di tangan mereka sendiri. Dengan model politik ini Yunani mencapai bentuk kebudayaan yang sangat maju di muka bumi pada zamannya, yang bahkan belum dapat dilampaui oleh model-model politik saat ini. Apakah demokrasi adalah peradaban barat? Tidak juga. Banyak kebudayaan di dunia telah mengenal model yang sama namun dengan nama yang berbeda. Di Indonesia, kita menyebut demokrasi sebagai musyawarah, dan menyebut pengambilan keputusan konsensus sebagai mufakat. Demokrasi konsensus dan musyawarah untuk mufakat adalah dua hal yang nyaris sama. Kampung-kampung dan desa-desa di berbagai wilayah di nusantara telah mempraktikkan ini mungkin sejak ratusan tahun yang lalu, dalam ukuran yang berbeda-beda. Sama seperti di Yunani, bentuknya mungkin tidak sempurna. Ia bisa saja dimonopoli oleh segelintir pemuka adat atau pemimpin desa, juga karena minimnya keterlibatan ibu-ibu, serta dominasi oleh orang tua dengan seperangkat aturan tata-krama yang berlebihan sehingga menekan orang-orang muda untuk patuh. Di satu sisi, otonomi politik desa mungkin juga terhambat karena adanya kepatuhan terhadap otoritas kerajaan, sehingga mereka kerap tidak dapat bebas dalam mengambil keputusan. Namun perlu kita ingat, bahwa apa yang kita maksud demokrasi ternyata sangat dekat dengan kultur kita, walau belum sempurna. Ini justru membantah mitos bahwa Pancasila lahir dari rahim bangsa kita sendiri. Sila ke-4 dari Pancasila, yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam pemusyawaratan perwakilan” adalah komponen demokrasi perwakilan (alias oligarki) yang diserap dari parlementerisme Eropa Barat modern. Bukannya mengenal sistem perwakilan dalam budaya kita, kita justru mengenal sistem demokrasi langsung yang hidup subur dalam otoritas monarki kerajaan nusantara. Tapi perlu kita ingat, permasalahan utamanya tidak terletak pada partisipasi, keterwakilan, dan keterbukaan, tapi pada kebebasan dan otonomi individu, dan pada keadilan sosial. “Negara” adalah institusi politik yang bermasalah. Ia memang lebih baik dan demokratis ketimbang kerajaan atau kekaisaran yang dimonopoli oleh satu orang monarkis. Namun negara, bahkan walau dalam bentuk republik sekalipun, tetap mempertahankan kekuasaan segelintir orang. Negara pada hakikatnya, secara struktural dan profesional, terpisah dari khalayak umum. Ia ditegakkan di atas orang-orang biasa, laki-laki dan perempuan. Ia menjalankan kekuasaan atas rakyat dan membuat keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka. Dengan sifatnya yang profesional, manipulatif dan imoral, sistem elit dan massa yang berkedok demokrasi ini, menghina ideal demokrasi yang seringkali mereka ikrarkan dalam seruan berkala kepada para ‘pemilih’. Jauh dari memberdayakan rakyat sebagai warga, negara mensyaratkan pelucutan umum kekuasaan warga. Sepanjang tahun, para ahli kenegaraan akan lebih senang jika orang-orang cenderung lebih memusatkan perhatian pada urusan pribadi masing- masing dan tak ambil pusing dengan aktivitas para “politisi.” Jika orang-orang semakin aktif dan berminat aktif dalam kehidupan politik, mereka akan menciptakan masalah bagi negara dengan mengusik-usik perkara ketidakcocokan antara realitas sosial dengan retorika yang menyertainya. Sekarang, bentuk demokrasi kita yang tidak sempurna tersebut (dan sebenarnya bukanlah bentuk demokrasi), alih-alih bertambah baik, justru bertambah buruk. Negara telah mencoba menghancurkannya melalui upaya yang panjang dan melelahkan dan yang tersisa masih terus dihancurkan lagi. Negara mengambil alih dan masih berupaya melumpuhkan partisipasi publik ini. Negara juga memerintah tempat-tempat yang jauh untuk tunduk di bawah kontrolnya, menghilangkan otonomi apapun yang sampai saat ini mereka nikmati. Kita harus membuka kembali kehidupan sipil yang telah hilang dengan begitu cepat dan mentransformasikannya ke ranah politik. Kita harus melahirkan warga aktif yang keluar dari konstituen pasif dan memberikan mereka konteks politik dimana mereka memiliki pilihan-pilihan yang lebih berarti dalam mengelola urusan bersama. Kita harus menciptakan konteks ini dengan melembagakan kekuatannya dalam majelis lingkungan (atau apapun namanya) dan rapat-rapat kota. Dalam pengertian yang sangat radikal, kita harus kembali ke akar politik dengan membangkitkan demokrasi langsung dan mengembangkannya, dengan nilai-nilai rasional dan etis beserta praktik-praktik yang mendukungnya. Kebebasan harus dijunjung tinggi sehingga tidak ada segelintir moralis yang masuk ke dalam kehidupan pribadi kita dengan mengacak-acak kasur tempat kita tidur. Hal-hal ini berarti menyaratkan dihancurkannya tatanan lama serta menciptakan yang baru di atas puing-puing kehancuran dimana keadilan, kebebasan, kesetaraan dan kesejahteraan diwujudkan dalam maknanya yang sangat literal, bukan doktrinal.