TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 3.2 Distribusi berdasarkan lokasi lesi pasien baru herpes zoster di
RSUD Dr. Soetomo 2010-2013
3.1.3 Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh Varisela Zoster Virus (VZV). VZV
mempunyai kapsid yang tersusun dari 162 sub unit protein dan berbentuk
simetri isohedral dengan diameter 100 nm. Virion lengkapnya berdiameter
150-200 nm, dan hanya virion yang berselubung yang bersifat infeksius.
Infeksiositas virus ini dengan cepat dapat dihancurkan oleh bahan organik,
deterjen, enzim proteolitik, panas, dan lingkungan dengan pH yang tinggi. 5
Herpes zoster thoracalis merupakan reaktivasi dari VZV di Nervus
thoracalis.2
3.1.4 Patogenesis
Hope Simpson, 1965, mengajukan hipotesis bahwa imunitas terhadap
varicella zoster berperan dalam patogenesis herpe zoster terutama imunitas
selulernya. Mengikuti infeksi primer virus varicella-zoster (varisela),
partikel virus dapat tetaap tinggal didalam ganglion sensoris saraf spinal,
kranialis atau otonom selama tahunan. Selama varisela, Varicella Zoster
Virus (ZVZ) berpindah dari lesi di kulit dan permukaan mukosa menjadi di
ujung sensorik yang berdekatan saraf dan diangkut ke atas serat sensorik ke
ganglia sensorik. Di ganglia, virus membentuk infeksi laten pada neuron
dan menetap. Tempat VZV laten adalah yang terbesar di ganglia daerah
persarafan kulit dengan penuh dengan lesi varicella terbesar. Akibatnya,
herpes zoster terjadi paling sering pada dermatoma di mana ruam varisela
kulitnya paling padat dipersarafi oleh ganglion trigeminal dan oleh sensorik
tulang belakang ganglia dari T1 hingga L2. Viremia yang terjadi selama
varicella dapat mengakses neuron sensorik. VZV laten dalam ganglia
menghasilkan latensi terkait transkrip (LAT) homolog dengan yang
diproduksi oleh HSV laten, tetapi tidak ada virus infeksi.
Gambar 3.1 Dermatomes The cutaneous fields of peripheral nerves.
Penyebab penyakit herpes zoster adalah virus Varicella-zoster.
Periode inkubasi Varicella-zoster sampai menimbulkan penyakit yang khas
adalah 10-21 hari. Varicella-zoster masuk ke dalam tubuh manusia melalui
mukosa saluran napas bagian atas, orofaring atau konjungtiva. Siklus
replikasi virus pertama terjadi pada hari ke 2-4 yang berlokasi pada nodus
limfe regional yang kemudian diikuti penyebaran virus dalam jumlah yang
sedikit melalui darah dan kelenjar limfe yang menyebabkan terjadinya
viremia primer (biasanya terjadi pada hari ke 4-6 setelah infeksi pertama).
Pada sebagian besar penderita yang terinfeksi, replikasi virus tersebut dapat
mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh sehingga akan berlanjut pada
siklus replikasi virus kedua yang terjadi di hepar dan limpa, yang
mengakibatkan terjadinya viremia sekunder.
Virus berjalan sepanjang saraf sensorik ke area kulit yang
dipersarafinya dan menimbulkan vesikel dengan cara yang sama dengan
cacar air.8 Zoster terjadi dari reaktivasi dan replikasi VVZ pada ganglion
akar dorsal saraf sensorik.1,2,3, Latensi adalah tanda utama virus Varisela
zoster dan tidak diragukan lagi peranannya dalam patogenitas.1 Sifat latensi
ini menandakan virus dapat bertahan seumur hidup hospes dan pada suatu
saat masuk dalam fase reaktivasi yang mampu sebagai media transmisi
penularan kepada seseorang yang rentan.1 Reaktivasi mungkin karena stres,
sakit immunosupresi, atau mungkin terjadi secara spontan.3 Virus kemudian
menyebar ke saraf sensorik menyebabkan gejala prodormal dan erupsi
kutaneus dengan karakteristik yang dermatomal.3 Infeksi primer VVZ
memicu imunitas humoral dan seluler, namun dalam mempertahankan
latensi, imunitas seluler lebih penting pada herpes zoster. 1 Keadaan ini
terbukti dengan insidensi herpes zoster meningkat pada pasien HIV dengan
jumlah CD4 menurun, dibandingkan dengan orang normal.1
− Dermatitis Venenata
Dermatitis venenata adalah kelainan akibat gigitan atau tusukan
serangga yang disebabkan reaksi terhadap toksin atau alergen yang
dikeluarkan arthropoda penyerang. Predileksinya dapat terjadi di seluruh
tubuh yang terkena gigitan atau tusukan serangga. Berupa eritema, edema,
panas, nyeri, bisa berbentuk papula, pustule, maupun krusta.
.
Gambar 3.7 Dermatitis Venetata
3.1.9 Terapi
A. Terapi Topikal
Selama fase akut herpes zoster, aplikasinya kompres dingin,
lotion kalamin atau Caladryl dapat mengurangi gejala lokal dan
mempercepat pengeringan lesi vesikular. Salep dan krim atau lotion
oklusif mengandung glukokortikoid jangan digunakan. Pengobatan
topikal dengan agen antivirus tidak efektif. Superinfeksi bakteri lesi
herpes zoster jarang terjadi dan harus dirawat dengan berendam
hangat; selulitis bakteri membutuhkan terapi antibiotik sistemik.
B. Terapi Oral
Pasien dengan herpes zoster dapat diterapi dengan Acyclovir (5 x
800 mg sehari) selama 7 hari. Penelitian menunjukkan pemakaian
Acyclovir, terutama dalam 3 hari setelah gejala muncul, dapat
mengurangi nyeri pada herpes zoster. Onset Acyclovir dalam 72 jam
pertama menunjukkan mampu mempercepat penyembuhan lesi kulit,
menekan jumlah virus, dan mengurangi kemungkinan terjadinya
dendritis, stromal keratitis, serta uveitis anterior.13
Terapi lain dengan menggunakan Valacyclovir yang memiliki
bioavaibilitas yang lebih tinggi, menunjukkan efektivitas yang sama
terhadap herpes zoster pada dosis 3 x 1000 mg sehari. Pemakaian
Valacyclovir dalam 7 hari menunjukkan mampu mencegah komplikasi
lebih lanjut. Untuk mengurangi nyeri akut pada pasien herpes zoster
dapat digunakan analgetik oral.13,14
Untuk mengobati berbagai komplikasi yang ditimbulkan oleh
herpes zoster disesuaikan dengan gejala yang ditimbulkan. Untuk
neuralgia pasca herpetik obat yang direkomendasikan di antaranya
Gabapentin dosisnya 1800 mg – 2400 mg sehari. Hari pertama
dosisnya 300 mg sehari diberikan sebelum tidur, setiap 3 hari dosis
dinaikkan 300 mg sehari sehingga mencapai 1800 mg sehari.10
Untuk pengobatan topikal dapat dilakukan kompres terbuka
dengan solusio calamin untuk lesi akut. Berbagai AINS topikal
seperti bubuk aspirin dalam kloroform atau etil eter, krim indometasin
dan diklofenak banyak dipakai. Antibiotik sebaiknya digunakan jika
terdapat infeksi bakterial. Pemberian dapat diberikan secara oral dan
topikal.
Tabel 3.3 Terapi topikal pada Herpes Zoster
3.1.10 Komplikasi
Hampir semua pasien akan pulih sempurna dalam beberapa
minggu, meskipun ada beberapa yang mengalami komplikasi. Hal ini tidak
berhubungan dengan umur dan luasnya ruam, tetapi bergantung pada daya
tahan tubuh penderita. Ini akan terjadi beberapa bulan atau beberapa tahun
setelah serangan awal.7
Post Herpetic Neuralgia (PHN) adalah komplikasi paling sering
yang timbul pada pasien Herpes Zoster dengan usia di atas 40 tahun,
persentasenya 10-15%. PHN adalah keadaan dimana pasien dengan herpes
zoster meskipun telah mereda atau hilang lesi kulit pada tubuhnya namun
tetap merasakan nyeri pada tempat yang pernah terdapat lesi tersebut.
Beberapa pasien dengan PHN memiliki fungsi abnormal berkenaan dengan
nosiseptor yang tidak terdapat mielinisasi (unmyelilnated nociceptors) dan
sensory loss. Ketidak seimbangan pada kehilangan serat penghambat
(inhibitory fibers) dan keutuhan beberapa serat eksitatori sehingga
menyebabkan rasa nyeri yang masih tertinggal.
Pasien biasanya merasakan rasa nyeri pada saat fase erupsi kulit
Herpes Zoster, kemudian dengan adanya resolusi erupsi kulit nyeri tetap ada
sampai dengan 3 bulan atau lebih. Nyeri dirasakan seperti panas, terbakar,
menusuk, atau seperti tersetrum. Faktor resiko untuk PHN adalah lansia,
tempat terjadinya lesi Herpes Zoster; resiko rendah (dagu, leher, sacral,
lumbar), resiko sedang (thorakal), resiko tinggi (trigeminal terutama pada
bagian oftalmika, plexus brachialis), nyeri prodormal yang parah, lesi kulit
yang parah pada Herpes Zoster.
3.1.11 Edukasi
Pasien diingatkan untuk menjaga kebersihan lesi agar tidak
terjadi infeksi sekunder. Edukasi larangan menggaruk karena garukan dapat
menyebabkan lesi lebih sulit untuk sembuh atau terbentuk skar jaringan
parut, serta berisiko terjadi infeksi sekunder. Selain itu, pasien diberikan
edukasi mengenai Neuralgia Pasca Herpes, karena risiko NPH meningkat
pada usia lanjut. Selin menjaga kebersihan dapat dilakukan penggunaan
vaksin Herpes Zoster.
Vaksin herpes zoster yang tersedia di Indonesia mengandung Virus
Varicella-Zoster (VZV) strain Oka/Merck hidup yang telah dilemahkan.16
Dosis pemberian adalah sebanyak satu vial (0,65 mL) mengandung 19,400
plaque forming units [PFU] VZV, secara subkutan di regio deltoid. Vaksin
ini tidak boleh diberikan secara intramuskuler ataupun intravena. Vaksin
herpes zoster tidak diindikasikan untuk pengobatan herpes zoster ataupun
neuralgia pascaherpetika.
Beberapa lembaga kesehatan di dunia telah mengeluarkan
rekomendasi pemberian vaksin herpes zoster dan target populasi. Advisory
Committee for Immunization Practices
(ACIP) bekerja sama dengan Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) pada tahun 2014 merekomendasikan pemberian vaksin
herpes zoster secara rutin pada setiap pasien berumur ≥60 tahun, meskipun
U.S. Food and Drug Administration (FDA) memberikan lisensi vaksin
tersebut untuk setiap pasien berumur ≥50 tahun.18,19 Rekomendasi ini
didasarkan pada hasil studi pada kelompok usia tersebut, epidemiologi
herpes zoster, dan analisis biaya.
Di Indonesia, satgas imunisasi dewasa Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) pada tahun 2013
merekomendasikan pemberian vaksin herpes zoster untuk semua individu
berusia 60 tahun ke atas. Pada tahun 2014, rekomendasi tersebut
diperbaharui, vaksin herpes zoster sekarang diindikasikan untuk semua
individu berusia 50 tahun ke atas dengan atau tanpa riwayat herpes zoster.
3.1.12 Prognosis
Umumnya baik, pada herpes zoster prognosis bergantung pada
tindakan perawatan secara dini. Kesembuhan penyakit ini umumnya baik
pada dewasa dan anak-anak dengan perawatan secara dini. Prognosis ke
arah fungsi vital diperkirakan ke arah baik dengan pencegahan paralisis
motorik dan menghindari komplikasi. Pada kulit dapat menimbulkan
makula hiperpigmentasi atau sikatrik
3.2.2 Epidemiologi
Sebuah penelitian di Inggris melaporkan satu atau lebih lesi pada 82%
pria dan 62% wanita usia lebih dari 70 tahun. Sebuah studi yang dilakukan
di Belanda mendapatkan korelasi positif antara prevalensi dengan usia,
prevalensi pada kelompok usia 24-49 tahun adalah sebesar 38%, kelompok
usia 50-59 tahun sebesar 69%, kelompok usia 60-69 tahun sebesar 86% dan
kelompok usia 70-79 tahun sebesar 90% (Thomas dan Swanson, 2008).
Sebuah studi di Korea melaporkan prevalensi KS sebesar 88%,
dimana terjadi peningkatan prevalensi dari 79% pada usia 40 tahun menjadi
99% pada usia lebih dari 60 tahun (Tindall dan Smith, 1993). Prevalensi dan
diameter lesi cenderung meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Meskipun terdapat korelasi positif antara usia tua dan peningkatan
prevalensi, KS dapat terjadi pada usia yang relatif muda.
Dalam penelitian di Inggris, 8% pria dan 17% wanita usia dibawah 40
tahun setidaknya memiliki 1 KS. Yeatman dkk. melaporkan angka
prevalensi sebesar 12% diantara pasien Australia yang berusia 15 hingga 25
tahun, dengan rata-rata 6 lesi per pasien (Narashima dan Kumar, 2013).
Sebuah studi di Australia menemukan prevalensi KS pada penduduk usia 15
hingga 30 tahun sebesar 24%. Prevalensi KS lebih sering mengenai ras
Kaukasia, jarang mengenai ras kulit hitam (Thomas dan Swanson, 2008)
3.2.4 Etiophatogenesis
Etiopatogenesis dari keratosis seboroik belum diketahui. Diduga
kemungkinan keterlibatan virus papiloma karena banyak pasien dengan
keratosis seboroik mendapatkan tes Human Papilloma Virus- Deoxyribose
nucleic acid (HPV-DNA) positif pada pemeriksaan Polymerase chain
reaction (PCR). Namun pada penelitian didapati bahwa pada pemeriksaan
HPV-DNA dideteksi kebanyakan hanya pada permukaan keratosis seboroik
dan tidak lebih dalam pada lesi, sehingga diduga hanya kontaminasi
permukaan saja.
Pada patogenesis secara molekular ditunjukkan bahwa keratosis
seboroik tidak memiliki anomali kromosom. Suatu akumulasi p16 telah
dilaporkan, berkaitan dengan tertahannya sel epidermis fase G1 dan
ketuaan. Suatu terobosan penting dimana sekelompok peneliti Perancis
menunjukkan bahwa Fibroblast Growth Factor Receptor 3 (FGFR3)
memainkan peran penting dalam perkembangan keratosis seboroik. Pada 40
% lesi pada penelitian tersebut ditemukan mutasi FGFR3 somatik. Mutasi
ini menyebabkan aktivasi konstitutif FGFR3 sehingga terjadi transmisi
konstan sinyal terhadap sel, tanpa ikatan ligan. Tetapi ini masih belum jelas
pola sinyal yang mana pada keratinosit yang mempengaruhi pertumbuhan
keratosis seboroik.
Terdapat penelitian yang telah menunjukkan mutasi yang teraktivasi
pada gen PIK3CA (Phosphatidylinositol-4,5-bisphosphate 3-kinase), yang
mengkodekan subunit katalitik p 110 dari kelas Phosphatidylinositol-4,5-
bisphosphate 3-kinase, ditunjukkan terlibat pada patogenesis keratosis
seboroik.2 Tidak ada hubungan yang telah ditemukan antara mutasi FGFR3
dan PIK3CA yang bervariasi dan subtipe histologikal yang bervariasi.
Terdapat proporsi yang berbeda dari keratosis seboroik yang tidak ada
mendapatkan mutasi hotspot FGFR3 atau PIK3CA, sehingga diduga bahwa
gen-gen lain bisa juga terlibat.2,26 Pada keratosis seboroik didapati
ketidakteraturan ekspresi apoptosis marker p53 dan B-cell lymphoma 2 (Bcl-
2), meskipun tidak ada lokus genetik atau ketidakseimbangan kromosomal
yang telah terdeteksi saat ini.
Perkembangan keratosis seboroik juga dikaitkan dengan growth factor
epidermal dan melanocyte-derived growth factors di samping peningkatan
ekspresi lokal dari tumor necrosis factor-α dan endothelin-converting
enzyme. Peningkatan ekspresi lokal dari tumor necrosis factor-α dan
endothelin-converting enzyme berkaitan dengan peningkatan ekspresi
melanogen keratinosit yaitu endotelin-1, yang menghasilkan
hiperpigmentasi pada keratosis seboroik.
Manaka et al mengatakan bahwa hasil penelitiannya mengindikasikan
bahwa sekresi endotelin oleh keratinosit terjadi sesudah paparan UVB.
Menariknya, pada gangguan hiperpigmentasi yang tidak berhubungan
dengan UV seperti keratosis seboroik, didapati suatu stimulasi berlebihan
terhadap produksi endotelin oleh keratinosit dan berikutnya terjadi sekresi
endotelin-1 yang menghasilkan aktivasi melanosit dan menyebabkan
hiperpigmentasi. Sehingga masih perlu diteliti bagaimana ekspresi endotelin
yang berlebihan oleh keratinosit terjadi pada keratosis seboroik, tanpa
paparan UV.
3.2.7 Diagnosis
Diagnosis keratosis seboroik biasanya dapat dibuat berdasarkan
tampilan klinis. Dermoskopi dapat menolong pada kasus kasus yang tidak
jelas.
1. Anamensis
Biasanya asimptomatik, pasien hanya mengeluh terdapat bejolan hitam
terasa tidak nyaman.
Lesi kadang dapat terasa gatal, ingin digaruk atau di jepit.
Pasien kadang terasa benjolan semakin membesar secara lambat.
Lesi tidak dapat sembuh sendiri secara tiba-tiba.
Sebagian kasus terdapat riwayat keluarga yang diturunkan.
Lesi dapat timbul diseluruh tubuh kecuali telapak tangan dan kaki serta
membran mukosa.
2. Pemeriksaan Fisik
Keratosis seboroik tampak sebagai lesi berupa papul atau plak yang
agak menonjol, namun dapat juga terlihat menempel pada permukaan kulit.
Awalnya bisa didapati satu atau lebih lesi berbatas jelas, coklat muda,
lesi datar kemudian berkembang memiliki permukaan seperti beludru sampai
permukaan verukosa yang halus. Lesi ditemukan berupa plak verukosa, papul,
atau nodus menempel apda kulit dan hiperpigmentasi warna sokelat sampai
hitam dengan skuama diatasnya. Papul dan nodus dapat berubah kubah dengan
permukaan licin tidak berkilat.
Lesi biasanya memiliki pigmen warna yang sama yaitu coklat, namun
kadang kadang juga dapat ditemukan yang bewarna hitam atau hitam
kebiruan, bentuk bulat sampai oval, ukuran dari miliar sampai lentikular
bahkan sampai 35x15cm. pada lesi multiple distribusi seiring dengan lipatan
kulit.
Permukaan lesi biasanya berbenjol benjol. Pada lesi yang memiliki
permukaan halus biasanya terkandung jaringan keratotik yang menyerupai
butiran gandum. Pada perabaan terasa lunak dan berminyak.
Gambar 3. 8 Lesi soliter keratosis seboroik keratosis seboroik pada leher
Lesi biasanya timbul pada usia lebih dari 40 tahun dan terus
bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Pada beberapa individu lesi
dapat bertambah besar dan tebal, namun jarang lepas dengan sendirinya.
Trauma atau penggosokan dengan keras dapat menyebabkan
bagian puncak lesi lepas, namun akan tumbuh kembali dengan sendirinya.
Tidak ada tendensi untuk berubah ke arah keganasan. Akan tetapi
melanoma, karsinoma sel basal, dan terkadang tumbuh di lesi keratosis
seboroik.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain
pemeriksaan histopatologi. Komposisi keratosis seboroik adalah sel
basaloid dengan campuran sel skuamosa. Invaginasi keratin dan horn cyst
merupakan karakteristiknya. Sarang-sarang sel skuamosa kadang
dijumpai, terutama pada tipe irritated. Satu dari tiga keratosis seboroik
terlihat hiperpigmentasi pada pewarnaan hematoksilin-eosin.
Setidaknya ada 5 gambaran histologi yang dikenal : acanthotic (solid),
reticulated (adenoid), hyperkeratotic (papilomatous), clonal dan irritated.
Gambaran yang bertumpang tindih biasa dijumpai.
Gambar 3.9Keratosis seboroik (dermatosis papulosa nigra) Ini terdiri dari
mulktiple lesi hitam kecil, beberapa membesar hingga lebih dari satu sentimeter.
Ini terlihat di Afrika Hitam, Afrika-Amerika, dan orang Asia Tenggara berpigmen.
Pengobatan dapat menjadi masalah karena bintik-bintik hipopigmentasi dapat
timbul di tempat-tempat ini yang keratosis seboroik telah diambil/dihapus.
.
Gambar 3.10 Evaluasi Lesi berpigmen
3.2.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan keratosis seboroik tidak wajib karena penyakit ini
bersifat benigna. Pengangkatan lesi kadang diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan malignansi. Iritasi mekanikal persisten yang menyebabkan
inflamasi, perdarahan, atau gatal adalah juga merupakan indikasi untuk
pembuangan. Pada mayoritas pasien, tindakan pembuangan adalah untuk
alasan kosmetik. Penatalaksanaan dengan pengangkatan lesi bisa
menggunakan satu dari prosedur operasi yang bervariasi sekarang ini telah
tersedia. Kuretase dengan sendok tajam atau cincin kuret adalah metode
yang umum.
Eksisi shave dengan skalpel juga biasanya menghasilkan hasil
kosmetik yang bagus. Keratosis seboroik pedunculated bisa juga dibuang
dengan menggunakan snare listrik. Penggunaan krioterapi juga umum
dilaporkan pada literatur internasional. Untuk lesi flat, sprai dingin 5 – 10
detik direkomendasikan; untuk tumor yang lebih tebal, durasi bisa lebih
lama atau semprotan kedua bisa diaplikasikan. Elektrodesikasi juga bisa
digunakan. Pilihan terapi yang lain dalam pembuangan keratosis seboroik
adalah laser ablatif seperti erbium YAG atau laser CO2. Terdapat penelitian
yang telah melaporkan penggunaan yang sukses dari laser diode 532 nm
pada dermatosis papulose nigra, perlu berhati-hati karena peningkatan
resiko skar atau formasi keloid juga hiper atau hipopigmentasi. Krioterapi
tidak disarankan pada dermatosis papulosa nigra. Prosedur ablasi (contoh
terapi laser dan krioterapi) menghalangi kepotensialan untuk memperoleh
materi untuk analisa histologis sehingga hanya bisa dilakukan pada keratosis
seboroik yang diagnosisnya bisa ditegakkan jelas secara klinis. Bila
malignansi tidak bisa seutuhnya disingkirkan, maka suatu prosedur harus
dipilih yang juga sekaligus dapat mengambil jaringan untuk analisis
histologis. Pasien dengan sejumlah besar keratosis seboroik kadang-kadang
melebihi 100 lesi keratosis seboroik memiliki suatu tantangan yang khusus.
Bila pasien berkeinginan dibuang semua, maka prosedur multipel sekarang
ini adalah pilihan metode. Bila sindroma Leser Trelat diduga, suatu
pencarian yang komprehensif untuk menyingkirkan malignansi yang
mendasari harus dilakukan.
Terdapat penelitian yang melaporkan keefektifan analog vitamin D
topikal dalam penatalaksanaan keratosis seboroik. Mekanisme yang diduga
adalah induksi apoptosis keratinosit. Pada penelian yang lain, tazaroten 0,1
% dengan dasar krim, diaplikasikan dua kali sehari, diperoleh resolusi
komplit (konfirmasi dengan histologi) pada 7 dari 15 pasien, walaupun obat
ini menyebabkan iritasi. Imikuimod yang dicobakan pada suatu penelitian
tidak efektif.
Terapi sistemik pada keratosis seboroik multipel tentunya dapat
diinginkan pada beberapa pasien, karena dapat membatasi pembedahan
yang multipel. Suatu penelitian pada pemberian sistemik 1,25 dihidroksi
vitamin D3 menunjukkan hasil yang penting. 1,25 dihidroksi vitamin D3
diberikan secara oral pada pasien dengan keratosis seboroik multipel dengan
dua dosis oral yang berbeda. Dosis yang lebih tinggi memproduksi
perubahan inflamasi pada lesi sesudah 2 minggu dan akhirnya menimbulkan
resolusi dengan suatu skar atropi atau makula coklat. Regresi dapat dilihat
pada histologi sebagai vakuolasi dan degenerasi sel basal.
Pada umumnya tidak ada terapi topikal atau sistemik yang telah
terbukti menjadi pilihan yang layak dalam terapi keratosis seboroik.
Penatalaksanaan harus selalu diteruskan melebihi periode yang lama dan
keefektifan umumnya jelas lebih inferior dari prosedur operasi. Tetapi pada
masa depan, penemuan yang dibuat pada genetik molekular bisa
memberikan dasar untuk perkembangan terapi topikal terbaru.
3.2.10 Prognosis
Keratosis seboroik adalah suatu tumor kulit benigna tanpa suatu
tendensi yang signifikan terhadap malignansi. Sesudah pembuangan lesi,
rekurensi lokal dapat terjadi. Tidak ada angka tepat tentang rekurensi.