Anda di halaman 1dari 26

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Herpes Zoster


3.1.1 Definisi
Herpes Zoster atau Shingles adalah penyakit neurokutan dengan
manifestasi erupsi vesikel berkelompok dengan dasar eritematosa diserta
nyeri radikular unilateral yang umunya terbatas disuatu dermatom . Herpes
Zoster merupakan manifestasi reaktivasi infeksi laten endogen virus
varicella Zoster didalam neuron ganglion sensoris radiks dorsalis, ganglion
saraf kranialis atau ganglion saraf autonomik yang menyebar ke jaringan
saraf dan kulit dengan sekmen yng sama.6
3.1.2 Epidemiologi
Penyakit Herpes Zoster terjadi sporadis sepanjang tahun tanpa
mengenal musim. Insidennya 2-3 kaus per-1000 otng/tahun. Insiden dan
keparah penyakit meningkat dengan bertambahnya usia. Lebih dari setengah
jumlah seluruh kasus dilaporkan terjadi pada usia lebih dari 60 tahun dengan
komplikasi hampir 50% terjadi diusia tua. Jarang dijumpai pada usia dini
(anak dan desawa). Bila terjadi, kemungkinan dihubungkan dengan varicella
maternal saat kehamilan. Tidak terdapat predileksi gender. Penyakit ini
bersifat menular, tetapi daya tularnya lebih kecil dibanding dengan
varicella.5
Lebih dari 90 persen orang dewasa di Amerika Serikat memiliki bukti
serologis terinfeksi virus varicella-zoster dan beresiko untuk terjadinya
herpes zoster. Kejadian tahunan herpes zoster adalah sekitar 1,5 sampai 3,0
kasus per 1000 orang. Sebuah kejadian 2,0 kasus per 1000 orang akan
diartikan terdapat lebih dari 500.000 kasus setiap tahun di Amerika Serikat.
Bertambahnya usia adalah faktor risiko utama untuk terjadinya herpes
zoster, kejadian herpes zoster pada orang tua dari usia 75 tahun melebihi 10
kasus per 1000 orang/ tahun. Selama hidup risiko terkena herpes zoster
diperkirakan 10 sampai 20 persen.6
Jumlah insidensi dan prevalensi infeksi herpes zoster di Indonesia
masih belum diketahui secara pasti. Pada tahun 2011-2013, terdapat 2.232
pasien herpes zoster pada 13 Rumah Sakit pendidikan di Indonesia, dengan
usia terbanyak antara 45 – 64 tahun (37,95%). Dilaporkan bahwa wanita
cenderung memiliki insidensi yang lebih tinggi. Total kasus post herpetik
neuralgia (PHN) adalah 593 kasus (26,5%) dengan usia terbanyak adalah 45
– 64 tahun (42%).2
Tabel 3.1. Distribusi berdasarkan usia pasien baru herpes zoster di RSUD
Dr. Soetomo 2010-2013

Tabel 3.2 Distribusi berdasarkan lokasi lesi pasien baru herpes zoster di
RSUD Dr. Soetomo 2010-2013

Herpes zoster terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi di antara


orang-orang yang seropositif untuk human immunodeficiency virus (HIV)
dari kalangan mereka yang seronegatif. Sebuah studi longitudinal
menunjukkan suatu kejadian 29,4 kasus herpes zoster per 1000 orang-tahun
di antara HIV-seropositif orang, seperti dibandingkan dengan 2,0 kasus per
1000 orang-tahun di antara HIV-seronegatif kontrol. Karena herpes zoster
mungkin terjadi pada orang yang terinfeksi HIV yang dinyatakan
asimtomatik, pengujian serologi mungkin tepat pada pasien tanpa faktor
risiko jelas untuk herpes zoster (Misalnya, orang sehat yang lebih muda dari
usia 50 tahun).6

3.1.3 Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh Varisela Zoster Virus (VZV). VZV
mempunyai kapsid yang tersusun dari 162 sub unit protein dan berbentuk
simetri isohedral dengan diameter 100 nm. Virion lengkapnya berdiameter
150-200 nm, dan hanya virion yang berselubung yang bersifat infeksius.
Infeksiositas virus ini dengan cepat dapat dihancurkan oleh bahan organik,
deterjen, enzim proteolitik, panas, dan lingkungan dengan pH yang tinggi. 5
Herpes zoster thoracalis merupakan reaktivasi dari VZV di Nervus
thoracalis.2

3.1.4 Patogenesis
Hope Simpson, 1965, mengajukan hipotesis bahwa imunitas terhadap
varicella zoster berperan dalam patogenesis herpe zoster terutama imunitas
selulernya. Mengikuti infeksi primer virus varicella-zoster (varisela),
partikel virus dapat tetaap tinggal didalam ganglion sensoris saraf spinal,
kranialis atau otonom selama tahunan. Selama varisela, Varicella Zoster
Virus (ZVZ) berpindah dari lesi di kulit dan permukaan mukosa menjadi di
ujung sensorik yang berdekatan saraf dan diangkut ke atas serat sensorik ke
ganglia sensorik. Di ganglia, virus membentuk infeksi laten pada neuron
dan menetap. Tempat VZV laten adalah yang terbesar di ganglia daerah
persarafan kulit dengan penuh dengan lesi varicella terbesar. Akibatnya,
herpes zoster terjadi paling sering pada dermatoma di mana ruam varisela
kulitnya paling padat dipersarafi oleh ganglion trigeminal dan oleh sensorik
tulang belakang ganglia dari T1 hingga L2. Viremia yang terjadi selama
varicella dapat mengakses neuron sensorik. VZV laten dalam ganglia
menghasilkan latensi terkait transkrip (LAT) homolog dengan yang
diproduksi oleh HSV laten, tetapi tidak ada virus infeksi.
Gambar 3.1 Dermatomes The cutaneous fields of peripheral nerves.
Penyebab penyakit herpes zoster adalah virus Varicella-zoster.
Periode inkubasi Varicella-zoster sampai menimbulkan penyakit yang khas
adalah 10-21 hari. Varicella-zoster masuk ke dalam tubuh manusia melalui
mukosa saluran napas bagian atas, orofaring atau konjungtiva. Siklus
replikasi virus pertama terjadi pada hari ke 2-4 yang berlokasi pada nodus
limfe regional yang kemudian diikuti penyebaran virus dalam jumlah yang
sedikit melalui darah dan kelenjar limfe yang menyebabkan terjadinya
viremia primer (biasanya terjadi pada hari ke 4-6 setelah infeksi pertama).
Pada sebagian besar penderita yang terinfeksi, replikasi virus tersebut dapat
mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh sehingga akan berlanjut pada
siklus replikasi virus kedua yang terjadi di hepar dan limpa, yang
mengakibatkan terjadinya viremia sekunder.
Virus berjalan sepanjang saraf sensorik ke area kulit yang
dipersarafinya dan menimbulkan vesikel dengan cara yang sama dengan
cacar air.8 Zoster terjadi dari reaktivasi dan replikasi VVZ pada ganglion
akar dorsal saraf sensorik.1,2,3, Latensi adalah tanda utama virus Varisela
zoster dan tidak diragukan lagi peranannya dalam patogenitas.1 Sifat latensi
ini menandakan virus dapat bertahan seumur hidup hospes dan pada suatu
saat masuk dalam fase reaktivasi yang mampu sebagai media transmisi
penularan kepada seseorang yang rentan.1 Reaktivasi mungkin karena stres,
sakit immunosupresi, atau mungkin terjadi secara spontan.3 Virus kemudian
menyebar ke saraf sensorik menyebabkan gejala prodormal dan erupsi
kutaneus dengan karakteristik yang dermatomal.3 Infeksi primer VVZ
memicu imunitas humoral dan seluler, namun dalam mempertahankan
latensi, imunitas seluler lebih penting pada herpes zoster. 1 Keadaan ini
terbukti dengan insidensi herpes zoster meningkat pada pasien HIV dengan
jumlah CD4 menurun, dibandingkan dengan orang normal.1

Gambar 3.2 Patogenesis Herpes Zoster


3.1.5 Manifestasi Klinis
Herpes zoster dapat dimulai dengan timbulnya gejala prodromal
berupa sensasi abnormal atau nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, parestesia
sepanjang dermatom, gatal, rasa terbakar dari ringan sampai berat. Nyeri
dapat berupa sakit gigi, pleuritis infark jantung nyeri abdomen kolesistitis
kolik ginjal atau empedu apendisitis. dapat juga dijumpai gejala konstitusi
misalnya nyeri kepala Malaese dan demam. Gejala prodromal dapat
berlangsung beberapa hari (1-10 hari,rata-rata 2 hari).
Setelah awetan gejala prodromal timbul erupsi kulit yang biasanya
gatal atau nyeri terlokalisata (berbatas di satu dermatom) berupa makula
kemerahan. Kemudian berkembang menjadi papul, vesikel jernih
berkelompok selama 3 - 5 hari. selanjutnya isi vesikel menjadi keruh dan
akhirnya pecah menjadi krusta (berlangsung selama 7 sampai 10 hari).
Erupsi kulit mengalami involusi setelah 2 sampai 4 Minggu. Sebagian besar
kasus herpes zoster, erupsi kulitnya menyembuh secara spontan tanpa gejala
sisa.
Dapat dikenal beberapa variasi klinis herpes zoster antara lain sine
herpete bila terjadi nyeri segmental dan tidak diikuti dengan erupsi kulit.
Herpes zoster abortif bila erupsi kulit nya hanya berupa eritema dengan atau
tanpa vesikel yang langsung mengalami resolusi sehingga perjalanan
penyakitnya berlangsung singkat. Disebut herpes zoster aberans bila erupsi
kulitnya melalui garis tengah.
Bila virus yang menyerang nervus fasialis dan nervus auditorius
terjadi sindrom Ramsay- hunt yaitu erupsi kulit timbul di liang telinga luar
atau membran timpani disertai paresis fasialis, gangguan lakrimasi,
gangguan pengecap 2/3 bagian depan lidah, tinitus vertigo bahkan tuli.
Terjadi herpes zoster oftalmikus bila virus menyerang cabang pertama
nervus trigeminus. Bila mengenai anak cabang nasosiliaris (timbul vesikel
di puncak hidung yang dikenal sebagai tanda Hutchinson) kemungkinan
besar terjadi kelainan mata. Walaupun jarang dapat terjadi keterlibatan organ
dalam.
Biasanya krusta akan lepas dengan sendirinya dan penampakan kulit
kembali normal. Namun pada beberapa kasus, setelah proses blisterring
yang lama, akan meninggalkan bekas berupa scar dan perubahan warna kulit
menjadi lebih gelap pada dermatum yang terkena.
Dermatom yang terlibat : biasanya tunggal dermatom dorsolumbal
merupakan lokasi yang paling sering terlibat (50%), diikuti oleh trigeminal
oftalmika, kemudian servikal dan sakral.8 Ekstremitas merupakan lokasi
yang paling jarang terkena.8 Menurut lokasi lesinya menurut dermatom,
herpes zoster dibagi menjadi Herpes zoster oftalmikus, Herpes zoster
fasialis, Herpes zoster brakialis, Herpes zoster torakalis, Herpes zoster
lumbalis, dan Herpes zoster sakralis.
Varian lain adalah herpes zoster yang melibatkan telinga atau
mangkuk konkhal – sindrom Ramsay-Hunt. Sindrom ini harus
dipertimbangkan pada pasien dengan kelumpuhan nervus fasialis, hilangnya
rasa pengecapan, dan mulut kering dan sebagai tambahan lesi zosteriform di
telinga. Secara klasik, erupsi terlokalisir ke dermatom tunggal, namun
keterlibatan dermatom yang berdekatan dapat terjadi, seperti lesi meluas
dalam kasus zoster-diseminata. Zoster bilateral jarang terjadi, dan harus
meningkatkan kecurigaan pada imunodefisiensi seperti HIV / AIDS.9
Gambar 3.3 Herpes zoster. A, herpes zoster Klasik di dermatom T4 kiri.
Perhatikan konsentrasi lesi di daerah dari dermatome dipersarafi oleh divisi
primer posterior dan cabang lateral divisi primer anterior saraf tulang belakang T4
kiri. B, herpes zoster T10 Kanan dengan banyak lesi pustular. C, lesi awal herpes
zoster. Catatan vesikel yang dikelompokkan secara ketat pada basis eritematosa
konfluen, berbeda dengan vesikel yang terdistribusi secara acak terpisah varicella
(Gbr. 165-2). D, lesi vesikuler herpes zoster yang terkluster. E, T8 kiri herpes
zoster dengan banyak pustular lesi dan pengerasan kulit dini.

3.1.6 Penegakan Diagnosis


Diagnosis herpes zoster pada anamnesis didapatkan keluhan berupa
neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya
kelainan kulit. Adakalanya sebelum timbul kelainan kulit didahului gejala
prodromal seperti demam, pusing dan malaise. Kelainan kulit tersebut mula-
mula berupa eritema kemudian berkembang menjadi papula dan vesikula
yang dengan cepat membesar dan menyatu sehingga terbentuk bula. Isi
vesikel mula-mula jernih, setelah beberapa hari menjadi keruh dan dapat
pula bercampur darah. Jika absorbsi terjadi, vesikel dan bula dapat menjadi
krusta. Dalam stadium pra erupsi, penyakit ini sering dirancukan dengan
penyebab rasa nyeri lainnya, misalnya pleuritis, infark miokard, kolesistitis,
apendisitis, kolik renal, dan sebagainya. Namun bila erupsi sudah terlihat,
diagnosis mudah ditegakkan. Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes
zoster terdiri atas vesikel-vesikel berkelompok, dengan dasar eritematosa,
unilateral, dan mengenai satu dermatom.10

3.1.7 Pemeriksaan Laboratorium


Lesi varisela dan herpes zoster tidak bisa dibedakan oleh
histopatologi. Infeksi VZV kulit diawali oleh infeksi epitel sel-sel pada
lapisan basal (stratum germinativum) dan strata spinosum. Lesi papular
yang dihasilkan berevolusi menjadi vesikula intraepitel dalam 12 sampai 24
± jam sebagai akibat dari infeksi peningkatan jumlah sel epitel, yang
menunjukkan acanthosis, "balon degenerasi, ”intranuklear eosinofilik
(asidofilik) badan inklusi, dan pembentukan sel raksasa berinti banyak.
Masuknya cairan edema mengangkat stratum corneum yang tidak terlibat
untuk membentuk vesikel jernih halus yang mengandung sejumlah besar
virus menular bebas sel dan sel raksasa berinti banyak dengan intranuklear
eosinofilik badan inklusi. Sel raksasa yang berinti banyak terbentuk oleh
fusi sel epitel yang terinfeksi dengan sel yang terinfeksi dan tidak terinfeksi
yang berdekatan didasar dan pinggiran vesikel. Dermis yang mendasarinya
menunjukkan edema dan infiltrasi sel mononuklear. Kehadiran giant sel
berinti dan epitel sel yang mengandung inklusi intranuklear acidophilic
membedakan lesi kulit yang dihasilkan oleh VZV dari semua letusan
vesikular lainnya, seperti yang disebabkan oleh poxvirus, Coxsackievirus,
dan echovirus, kecuali yang diproduksi oleh HSV. Ini sel-sel dapat
diperlihatkan dalam apusan Tzanck yang disiapkan dari bahan yang diambil
dari dasar lesi vesikular dan diwarnai dengan hematoxylin eosin, dan
Giemsa.
Tes diagnostik terbaik untuk mendeteksi VZV adalah polimerase
reaksi berantai (PCR) karena sangat tinggi sensitivitas dan spesifisitas, dan
waktu penyelesaian relatif cepat (1 hari atau kurang). Cairan vesikel adalah
spesimen terbaik untuk analisis PCR, tetapi kerokan lesi, kerak, biopsi
jaringan, atau serebrospinal cairan sama-sama bermanfaat.
PCR dapat membedakan VZV dari HSV, dan wildtype VZV dari
vaksin Oka strain VZV. Isolasi virus kurang sensitif dan mungkin
memerlukan waktu seminggu atau lebih, tetapi itu satu-satunya teknik yang
menghasilkan VZV menular untuk analisis lebih lanjut, seperti penentuan
kepekaan terhadap obat antivirus.
Penting untuk memilih vesikel baru mengandung cairan bening untuk
aspirasi, karena kemungkinan mengisolasi VZV berkurang dengan cepat
setelah lesi menjadi pustular. Pewarnaan imunofluoresen atau
imunoperoksidase dari bahan seluler dari vesikel segar atau prevesicular lesi
dapat mendeteksi VZV secara signifikan lebih sering dan lebih cepat dari
kultur virus Immunoassays enzim menyediakan metode antigen cepat dan
sensitif lainnya deteksi. Teknik-teknik ini agak lebih cepat waktu
penyelesaian dari PCR, tetapi tidak memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang sangat baik dibanding PCR, yang tetap menjadi metode diagnostik
pilihan.
Tes serologis memungkinkan diagnosis retrospektif varicella dan
herpes zoster ketika akut, tetapi ini jarang dilakukan Tes serologis lebih
penting untuk mengidentifikasi individu yang rentan mengalami infeksi
VZV. Teknik yang paling umum digunakan Enzyme-Linked Immunosorbent
Assay (ELISA). Namun, tes ini (Ada banyak sumber komersial) mengatakan
sering kurang sensitif, gagal mendeteksi antibodi dalam jumlah yang
signifikan, terutama mereka yang menerima vaksin varicella. Hasil positif
palsu sering terjadi.
Gambar 3.5 Varicella zoster histopatologi. A dan B, lesi papular varicella
berevolusi menjadi vesikula intraepitel dalam waktu 12 hingga 24 jam. Masuknya
cairan edema meningkatkan stratum korneum yang tidak terlibat untuk
membentuk vesikel bening yang halus mengandung sejumlah besar virus infeksi
sel-bebas dan sel raksasa berinti banyak, mengandung intranuklear eosinofilik
badan inklusi, dibentuk oleh fusi sel epitel yang terinfeksi dengan sel yang
terinfeksi dan tidak terinfeksi yang berdekatan. Yang mendasarinya dermis
menunjukkan edema dan infiltrasi sel mononuklear (A, H&E × 100; B, H&E ×
400). C, Sel raksasa berinti banyak itu mudah diidentifikasi dalam Tzanck sediaan
apus dari bahan yang diambil dari dasar lesi vesikular dan diwarnai dengan H&E,
Giemsa, atau noda serupa. Giemsa × 1000. D, kultur jaringan fibroblast manusia
yang terinfeksi menunjukkan multinukleasi serupa sel raksasa yang mengandung
badan inklusi intranuklear eosinofilik yang dibentuk oleh fusi sel yang terinfeksi
dengan yang berdekatan sel yang terinfeksi dan tidak terinfeksi. H&E × 1000.
(Gambar A dan B, Digunakan dengan izin dari Dr. R. J. Barr.)
3.1.8 Diagnosis Banding
− Varicella
Suatu penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus varicella-
zoster. Predileksinya paling banyak di badan, kemudian muka, kepala dan
ekstremitas. Pada stadium prodomal timbul banyak makula atau papula
yang cepat berubah menjadi vesikula, yang umur dari lesi tersebut tidak
sama. Kulit sekitar lesi eritematus. Pada anamnesa ada kontak dengan
penderita varisela atau herpes zoster. Khas pada infeksi virus pada vesikula
ada bentukan umbilikasi (delle) yaitu vesikula yang ditengah nya cekung
kedalam. Distribusinya bersifat sentripetal.

Gambar 3.6 Zosteriform herpes simplex. Imunokompeten pada ini dewasa


tanpa riwayat herpes genital atau sebelumnya lesi herpetik memperlihatkan
dengan riwayat ringan 1 hari pada gluteal sinistra, diikuti oleh timbulnya
lesi vesikular berkerumun di dermatom S2 / S3 kirinya. Mereka agak lunak
dan pruritus. Uji PCR dan viral budaya keduanya ditemukan HSV-2.

− Dermatitis Venenata
Dermatitis venenata adalah kelainan akibat gigitan atau tusukan
serangga yang disebabkan reaksi terhadap toksin atau alergen yang
dikeluarkan arthropoda penyerang. Predileksinya dapat terjadi di seluruh
tubuh yang terkena gigitan atau tusukan serangga. Berupa eritema, edema,
panas, nyeri, bisa berbentuk papula, pustule, maupun krusta.
.
Gambar 3.7 Dermatitis Venetata

3.1.9 Terapi
A. Terapi Topikal
Selama fase akut herpes zoster, aplikasinya kompres dingin,
lotion kalamin atau Caladryl dapat mengurangi gejala lokal dan
mempercepat pengeringan lesi vesikular. Salep dan krim atau lotion
oklusif mengandung glukokortikoid jangan digunakan. Pengobatan
topikal dengan agen antivirus tidak efektif. Superinfeksi bakteri lesi
herpes zoster jarang terjadi dan harus dirawat dengan berendam
hangat; selulitis bakteri membutuhkan terapi antibiotik sistemik.

B. Terapi Oral
Pasien dengan herpes zoster dapat diterapi dengan Acyclovir (5 x
800 mg sehari) selama 7 hari. Penelitian menunjukkan pemakaian
Acyclovir, terutama dalam 3 hari setelah gejala muncul, dapat
mengurangi nyeri pada herpes zoster. Onset Acyclovir dalam 72 jam
pertama menunjukkan mampu mempercepat penyembuhan lesi kulit,
menekan jumlah virus, dan mengurangi kemungkinan terjadinya
dendritis, stromal keratitis, serta uveitis anterior.13
Terapi lain dengan menggunakan Valacyclovir yang memiliki
bioavaibilitas yang lebih tinggi, menunjukkan efektivitas yang sama
terhadap herpes zoster pada dosis 3 x 1000 mg sehari. Pemakaian
Valacyclovir dalam 7 hari menunjukkan mampu mencegah komplikasi
lebih lanjut. Untuk mengurangi nyeri akut pada pasien herpes zoster
dapat digunakan analgetik oral.13,14
Untuk mengobati berbagai komplikasi yang ditimbulkan oleh
herpes zoster disesuaikan dengan gejala yang ditimbulkan. Untuk
neuralgia pasca herpetik obat yang direkomendasikan di antaranya
Gabapentin dosisnya 1800 mg – 2400 mg sehari. Hari pertama
dosisnya 300 mg sehari diberikan sebelum tidur, setiap 3 hari dosis
dinaikkan 300 mg sehari sehingga mencapai 1800 mg sehari.10
Untuk pengobatan topikal dapat dilakukan kompres terbuka
dengan solusio calamin untuk lesi akut. Berbagai AINS topikal
seperti bubuk aspirin dalam kloroform atau etil eter, krim indometasin
dan diklofenak banyak dipakai. Antibiotik sebaiknya digunakan jika
terdapat infeksi bakterial. Pemberian dapat diberikan secara oral dan
topikal.
Tabel 3.3 Terapi topikal pada Herpes Zoster

3.1.10 Komplikasi
Hampir semua pasien akan pulih sempurna dalam beberapa
minggu, meskipun ada beberapa yang mengalami komplikasi. Hal ini tidak
berhubungan dengan umur dan luasnya ruam, tetapi bergantung pada daya
tahan tubuh penderita. Ini akan terjadi beberapa bulan atau beberapa tahun
setelah serangan awal.7
Post Herpetic Neuralgia (PHN) adalah komplikasi paling sering
yang timbul pada pasien Herpes Zoster dengan usia di atas 40 tahun,
persentasenya 10-15%. PHN adalah keadaan dimana pasien dengan herpes
zoster meskipun telah mereda atau hilang lesi kulit pada tubuhnya namun
tetap merasakan nyeri pada tempat yang pernah terdapat lesi tersebut.
Beberapa pasien dengan PHN memiliki fungsi abnormal berkenaan dengan
nosiseptor yang tidak terdapat mielinisasi (unmyelilnated nociceptors) dan
sensory loss. Ketidak seimbangan pada kehilangan serat penghambat
(inhibitory fibers) dan keutuhan beberapa serat eksitatori sehingga
menyebabkan rasa nyeri yang masih tertinggal.
Pasien biasanya merasakan rasa nyeri pada saat fase erupsi kulit
Herpes Zoster, kemudian dengan adanya resolusi erupsi kulit nyeri tetap ada
sampai dengan 3 bulan atau lebih. Nyeri dirasakan seperti panas, terbakar,
menusuk, atau seperti tersetrum. Faktor resiko untuk PHN adalah lansia,
tempat terjadinya lesi Herpes Zoster; resiko rendah (dagu, leher, sacral,
lumbar), resiko sedang (thorakal), resiko tinggi (trigeminal terutama pada
bagian oftalmika, plexus brachialis), nyeri prodormal yang parah, lesi kulit
yang parah pada Herpes Zoster.

3.1.11 Edukasi
Pasien diingatkan untuk menjaga kebersihan lesi agar tidak
terjadi infeksi sekunder. Edukasi larangan menggaruk karena garukan dapat
menyebabkan lesi lebih sulit untuk sembuh atau terbentuk skar jaringan
parut, serta berisiko terjadi infeksi sekunder. Selain itu, pasien diberikan
edukasi mengenai Neuralgia Pasca Herpes, karena risiko NPH meningkat
pada usia lanjut. Selin menjaga kebersihan dapat dilakukan penggunaan
vaksin Herpes Zoster.
Vaksin herpes zoster yang tersedia di Indonesia mengandung Virus
Varicella-Zoster (VZV) strain Oka/Merck hidup yang telah dilemahkan.16
Dosis pemberian adalah sebanyak satu vial (0,65 mL) mengandung 19,400
plaque forming units [PFU] VZV, secara subkutan di regio deltoid. Vaksin
ini tidak boleh diberikan secara intramuskuler ataupun intravena. Vaksin
herpes zoster tidak diindikasikan untuk pengobatan herpes zoster ataupun
neuralgia pascaherpetika.
Beberapa lembaga kesehatan di dunia telah mengeluarkan
rekomendasi pemberian vaksin herpes zoster dan target populasi. Advisory
Committee for Immunization Practices
(ACIP) bekerja sama dengan Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) pada tahun 2014 merekomendasikan pemberian vaksin
herpes zoster secara rutin pada setiap pasien berumur ≥60 tahun, meskipun
U.S. Food and Drug Administration (FDA) memberikan lisensi vaksin
tersebut untuk setiap pasien berumur ≥50 tahun.18,19 Rekomendasi ini
didasarkan pada hasil studi pada kelompok usia tersebut, epidemiologi
herpes zoster, dan analisis biaya.
Di Indonesia, satgas imunisasi dewasa Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) pada tahun 2013
merekomendasikan pemberian vaksin herpes zoster untuk semua individu
berusia 60 tahun ke atas. Pada tahun 2014, rekomendasi tersebut
diperbaharui, vaksin herpes zoster sekarang diindikasikan untuk semua
individu berusia 50 tahun ke atas dengan atau tanpa riwayat herpes zoster.

3.1.12 Prognosis
Umumnya baik, pada herpes zoster prognosis bergantung pada
tindakan perawatan secara dini. Kesembuhan penyakit ini umumnya baik
pada dewasa dan anak-anak dengan perawatan secara dini. Prognosis ke
arah fungsi vital diperkirakan ke arah baik dengan pencegahan paralisis
motorik dan menghindari komplikasi. Pada kulit dapat menimbulkan
makula hiperpigmentasi atau sikatrik

3.2 Keratosis Seboroik


3.2.1 Definisi
Keratosis seboroik (KS) merupakan tumor jinak epidermis yang sering
dijumpai dan biasanya tampak pada populasi setengah baya dan lanjut usia.
Istilah “seboroik” mengacu pada lesi yang tampak berminyak dan berlokasi
pada area tubuh yang mengandung banyak kelenjar sebasea. Keratosis
seboroik adalah tumor hiperplastik benigna yang terdiri dari keratinosit
epidermis dengan pigmentasi meningkat. Keratosis seboroik tidak
berhubungan dengan glandula sebasea. KS sering tumbuh pada wajah dan
badan bagian atas.

3.2.2 Epidemiologi
Sebuah penelitian di Inggris melaporkan satu atau lebih lesi pada 82%
pria dan 62% wanita usia lebih dari 70 tahun. Sebuah studi yang dilakukan
di Belanda mendapatkan korelasi positif antara prevalensi dengan usia,
prevalensi pada kelompok usia 24-49 tahun adalah sebesar 38%, kelompok
usia 50-59 tahun sebesar 69%, kelompok usia 60-69 tahun sebesar 86% dan
kelompok usia 70-79 tahun sebesar 90% (Thomas dan Swanson, 2008).
Sebuah studi di Korea melaporkan prevalensi KS sebesar 88%,
dimana terjadi peningkatan prevalensi dari 79% pada usia 40 tahun menjadi
99% pada usia lebih dari 60 tahun (Tindall dan Smith, 1993). Prevalensi dan
diameter lesi cenderung meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Meskipun terdapat korelasi positif antara usia tua dan peningkatan
prevalensi, KS dapat terjadi pada usia yang relatif muda.
Dalam penelitian di Inggris, 8% pria dan 17% wanita usia dibawah 40
tahun setidaknya memiliki 1 KS. Yeatman dkk. melaporkan angka
prevalensi sebesar 12% diantara pasien Australia yang berusia 15 hingga 25
tahun, dengan rata-rata 6 lesi per pasien (Narashima dan Kumar, 2013).
Sebuah studi di Australia menemukan prevalensi KS pada penduduk usia 15
hingga 30 tahun sebesar 24%. Prevalensi KS lebih sering mengenai ras
Kaukasia, jarang mengenai ras kulit hitam (Thomas dan Swanson, 2008)

3.2.3 Faktor Resiko


Keratosis seboroik akan terjadi pada usia yang lebih tua, dan makin
membesar dan bertambah banyak seiring dengan kenaikan usia. Genetik
bisa memainkan peranan penting sebagai faktor risiko terjadinya keratosis
seboroik, karena pasien dengan lesi multipel sering kali memiliki riwayat
keluarga yang positif.
Kontroversi masih berlanjut tentang peran sinar UV dalam
perkembangan terjadinya keratosis seboroik. Hanya sedikit penelitian
epidemiologi yang mengindikasikan peran yang mungkin dari sinar UV
dalam perkembangan keratosis seboroik. Pada satu penelitian di Australia,
pasien Kaukasia memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan
penelitian di Inggris; penulis penelitian ini melaporkan kejadian tidak
seimbang keratosis seboroik pada daerah kulit yang terpapar sinar matahari
(misal: kepala, leher, dan punggung tangan).
Penelitian di Korea yang disebutkan sebelumnya memberikan hasil
yang sama. Pasien dengan paparan kumulatif lebih dari 6 jam sehari
memiliki 2,3 kali resiko keratosis seboroik yang lebih besar dibandingkan
dengan mereka yang kurang dari 3 jam sehari terkena paparan. Meskipun
demikian penelitian kasus-kontrol di Belanda menemukan bahwa tidak ada
riwayat surnburn yang nyeri ataupun paparan kumulatif tinggi terhadap
sinar UV untuk meningkatkan resiko memiliki keratosis seboroik.

3.2.4 Etiophatogenesis
Etiopatogenesis dari keratosis seboroik belum diketahui. Diduga
kemungkinan keterlibatan virus papiloma karena banyak pasien dengan
keratosis seboroik mendapatkan tes Human Papilloma Virus- Deoxyribose
nucleic acid (HPV-DNA) positif pada pemeriksaan Polymerase chain
reaction (PCR). Namun pada penelitian didapati bahwa pada pemeriksaan
HPV-DNA dideteksi kebanyakan hanya pada permukaan keratosis seboroik
dan tidak lebih dalam pada lesi, sehingga diduga hanya kontaminasi
permukaan saja.
Pada patogenesis secara molekular ditunjukkan bahwa keratosis
seboroik tidak memiliki anomali kromosom. Suatu akumulasi p16 telah
dilaporkan, berkaitan dengan tertahannya sel epidermis fase G1 dan
ketuaan. Suatu terobosan penting dimana sekelompok peneliti Perancis
menunjukkan bahwa Fibroblast Growth Factor Receptor 3 (FGFR3)
memainkan peran penting dalam perkembangan keratosis seboroik. Pada 40
% lesi pada penelitian tersebut ditemukan mutasi FGFR3 somatik. Mutasi
ini menyebabkan aktivasi konstitutif FGFR3 sehingga terjadi transmisi
konstan sinyal terhadap sel, tanpa ikatan ligan. Tetapi ini masih belum jelas
pola sinyal yang mana pada keratinosit yang mempengaruhi pertumbuhan
keratosis seboroik.
Terdapat penelitian yang telah menunjukkan mutasi yang teraktivasi
pada gen PIK3CA (Phosphatidylinositol-4,5-bisphosphate 3-kinase), yang
mengkodekan subunit katalitik p 110 dari kelas Phosphatidylinositol-4,5-
bisphosphate 3-kinase, ditunjukkan terlibat pada patogenesis keratosis
seboroik.2 Tidak ada hubungan yang telah ditemukan antara mutasi FGFR3
dan PIK3CA yang bervariasi dan subtipe histologikal yang bervariasi.
Terdapat proporsi yang berbeda dari keratosis seboroik yang tidak ada
mendapatkan mutasi hotspot FGFR3 atau PIK3CA, sehingga diduga bahwa
gen-gen lain bisa juga terlibat.2,26 Pada keratosis seboroik didapati
ketidakteraturan ekspresi apoptosis marker p53 dan B-cell lymphoma 2 (Bcl-
2), meskipun tidak ada lokus genetik atau ketidakseimbangan kromosomal
yang telah terdeteksi saat ini.
Perkembangan keratosis seboroik juga dikaitkan dengan growth factor
epidermal dan melanocyte-derived growth factors di samping peningkatan
ekspresi lokal dari tumor necrosis factor-α dan endothelin-converting
enzyme. Peningkatan ekspresi lokal dari tumor necrosis factor-α dan
endothelin-converting enzyme berkaitan dengan peningkatan ekspresi
melanogen keratinosit yaitu endotelin-1, yang menghasilkan
hiperpigmentasi pada keratosis seboroik.
Manaka et al mengatakan bahwa hasil penelitiannya mengindikasikan
bahwa sekresi endotelin oleh keratinosit terjadi sesudah paparan UVB.
Menariknya, pada gangguan hiperpigmentasi yang tidak berhubungan
dengan UV seperti keratosis seboroik, didapati suatu stimulasi berlebihan
terhadap produksi endotelin oleh keratinosit dan berikutnya terjadi sekresi
endotelin-1 yang menghasilkan aktivasi melanosit dan menyebabkan
hiperpigmentasi. Sehingga masih perlu diteliti bagaimana ekspresi endotelin
yang berlebihan oleh keratinosit terjadi pada keratosis seboroik, tanpa
paparan UV.

3.2.5 Gambaran Klinis


Keratosis seboroik bisa terjadi di setiap bagian tubuh kecuali di telapak
tangan dan kaki. Lesi keratosis seboroik bisa multipel atau tunggal. Biasanya
asimtomatik namun bisa juga gatal.
Awalnya bisa didapati satu atau lebih lesi berbatas jelas, coklat muda, lesi
datar kemudian berkembang memiliki permukaan seperti beludru sampai
permukaan verukosa yang halus. Lesi ditemukan berupa plak verukosa, papul,
atau nodus menempel apda kulit dan hiperpigmentasi warna sokelat sampai
hitam dengan skuama diatasnya. Papul dan nodus dapat berubah kubah dengan
permukaan licin tidak berkilat.
Keratosis seboroik yang telah berkembang sepenuhnya seringkali
berpigmen dalam dan tidak merefleksikan cahaya. Banyak lesi yang
menunjukkan sumbatan keratotik pada permukaannya. Di permukaan beberapa
lesi didapati sisik berminyak yang melekat dan meninggi di atas permukaan
kulit. Keratosis seboroik ini lembut dan kesan berminyak pada perabaan.
Bentuknya bulat ke oval dan banyak lesi bisa mengikuti lipatan kulit. Lesi-lesi
yang paling kecil terdapat di sekitar orifisium folikuler, khususnya batang
tubuh.

3.2.6 Gambaran Histopatologi


Melalui pengamatan mikroskop, KS tampak sebagai proliferasi sel
keratosit yang membentuk endofitik berbatas tegas, nodul datar atau nodul
eksofitik dari sel tumor. Secara umum karakteristik KS antara lain terdiri
dari keratinisasi permukaan (hiperkeratosis), papilomatosis (penonjolan
papiler) dan akantosis (rete ridges yang lebar). Terdapat tiga jenis sel yang
menyusun KS yaitu, sel keratinosit basaloid, sel spinous eosinofilik pucat
dan melanosit. Meskipun tidak bersifat ganas, KS dapat sangat mengganggu
penderitanya karena mudah teriritasi dan gatal, terlihat tidak menarik, dan
dapat menimbulkan dampak negatif bermakna bagi psikologis pasien.

3.2.7 Diagnosis
Diagnosis keratosis seboroik biasanya dapat dibuat berdasarkan
tampilan klinis. Dermoskopi dapat menolong pada kasus kasus yang tidak
jelas.

1. Anamensis
 Biasanya asimptomatik, pasien hanya mengeluh terdapat bejolan hitam
terasa tidak nyaman.
 Lesi kadang dapat terasa gatal, ingin digaruk atau di jepit.
 Pasien kadang terasa benjolan semakin membesar secara lambat.
 Lesi tidak dapat sembuh sendiri secara tiba-tiba.
 Sebagian kasus terdapat riwayat keluarga yang diturunkan.
 Lesi dapat timbul diseluruh tubuh kecuali telapak tangan dan kaki serta
membran mukosa.

2. Pemeriksaan Fisik
Keratosis seboroik tampak sebagai lesi berupa papul atau plak yang
agak menonjol, namun dapat juga terlihat menempel pada permukaan kulit.
Awalnya bisa didapati satu atau lebih lesi berbatas jelas, coklat muda,
lesi datar kemudian berkembang memiliki permukaan seperti beludru sampai
permukaan verukosa yang halus. Lesi ditemukan berupa plak verukosa, papul,
atau nodus menempel apda kulit dan hiperpigmentasi warna sokelat sampai
hitam dengan skuama diatasnya. Papul dan nodus dapat berubah kubah dengan
permukaan licin tidak berkilat.
Lesi biasanya memiliki pigmen warna yang sama yaitu coklat, namun
kadang kadang juga dapat ditemukan yang bewarna hitam atau hitam
kebiruan, bentuk bulat sampai oval, ukuran dari miliar sampai lentikular
bahkan sampai 35x15cm. pada lesi multiple distribusi seiring dengan lipatan
kulit.
Permukaan lesi biasanya berbenjol benjol. Pada lesi yang memiliki
permukaan halus biasanya terkandung jaringan keratotik yang menyerupai
butiran gandum. Pada perabaan terasa lunak dan berminyak.
Gambar 3. 8 Lesi soliter keratosis seboroik keratosis seboroik pada leher

Lesi biasanya timbul pada usia lebih dari 40 tahun dan terus
bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Pada beberapa individu lesi
dapat bertambah besar dan tebal, namun jarang lepas dengan sendirinya.
Trauma atau penggosokan dengan keras dapat menyebabkan
bagian puncak lesi lepas, namun akan tumbuh kembali dengan sendirinya.
Tidak ada tendensi untuk berubah ke arah keganasan. Akan tetapi
melanoma, karsinoma sel basal, dan terkadang tumbuh di lesi keratosis
seboroik.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain
pemeriksaan histopatologi. Komposisi keratosis seboroik adalah sel
basaloid dengan campuran sel skuamosa. Invaginasi keratin dan horn cyst
merupakan karakteristiknya. Sarang-sarang sel skuamosa kadang
dijumpai, terutama pada tipe irritated. Satu dari tiga keratosis seboroik
terlihat hiperpigmentasi pada pewarnaan hematoksilin-eosin.
Setidaknya ada 5 gambaran histologi yang dikenal : acanthotic (solid),
reticulated (adenoid), hyperkeratotic (papilomatous), clonal dan irritated.
Gambaran yang bertumpang tindih biasa dijumpai.
Gambar 3.9Keratosis seboroik (dermatosis papulosa nigra) Ini terdiri dari
mulktiple lesi hitam kecil, beberapa membesar hingga lebih dari satu sentimeter.
Ini terlihat di Afrika Hitam, Afrika-Amerika, dan orang Asia Tenggara berpigmen.
Pengobatan dapat menjadi masalah karena bintik-bintik hipopigmentasi dapat
timbul di tempat-tempat ini yang keratosis seboroik telah diambil/dihapus.

3.2.8 Diagnosis Banding


a. Melanoma maligna
Awalnya berupa tahi lalat yang berubah dalam warna, ukuran, mulai
timbul gejala (terbakar, gatal, sakit), terjadi peninggian lesi, berkembangnya
lesi satelit. Akademi dermatologi Amerika menekankan pentingnya evaluasi
lesi berpigmen, yaitu:
A = asimetri
B = border irregularity
C = color variegation
D = Diameter leib dari 0,6 mm

.
Gambar 3.10 Evaluasi Lesi berpigmen

b. Epitelioma sel basal berpigmen


Predileksi terutama pada wajah, jarang pada lengan, tangan, badang, tungkai
dan kaki. Lesi dapat berupa papul atau nodul kecil dengan diameter kurang
2cm dengan tepi meninggi dan berwarna hitam atau coklat. Permukaan
tampak mengkilat, sering dijumpai teleangiektasia dan kadang ada skuama
halus atau krusta tipis.

Gambar 3.11 Epitel berpigment sel Basal

3.2.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan keratosis seboroik tidak wajib karena penyakit ini
bersifat benigna. Pengangkatan lesi kadang diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan malignansi. Iritasi mekanikal persisten yang menyebabkan
inflamasi, perdarahan, atau gatal adalah juga merupakan indikasi untuk
pembuangan. Pada mayoritas pasien, tindakan pembuangan adalah untuk
alasan kosmetik. Penatalaksanaan dengan pengangkatan lesi bisa
menggunakan satu dari prosedur operasi yang bervariasi sekarang ini telah
tersedia. Kuretase dengan sendok tajam atau cincin kuret adalah metode
yang umum.
Eksisi shave dengan skalpel juga biasanya menghasilkan hasil
kosmetik yang bagus. Keratosis seboroik pedunculated bisa juga dibuang
dengan menggunakan snare listrik. Penggunaan krioterapi juga umum
dilaporkan pada literatur internasional. Untuk lesi flat, sprai dingin 5 – 10
detik direkomendasikan; untuk tumor yang lebih tebal, durasi bisa lebih
lama atau semprotan kedua bisa diaplikasikan. Elektrodesikasi juga bisa
digunakan. Pilihan terapi yang lain dalam pembuangan keratosis seboroik
adalah laser ablatif seperti erbium YAG atau laser CO2. Terdapat penelitian
yang telah melaporkan penggunaan yang sukses dari laser diode 532 nm
pada dermatosis papulose nigra, perlu berhati-hati karena peningkatan
resiko skar atau formasi keloid juga hiper atau hipopigmentasi. Krioterapi
tidak disarankan pada dermatosis papulosa nigra. Prosedur ablasi (contoh
terapi laser dan krioterapi) menghalangi kepotensialan untuk memperoleh
materi untuk analisa histologis sehingga hanya bisa dilakukan pada keratosis
seboroik yang diagnosisnya bisa ditegakkan jelas secara klinis. Bila
malignansi tidak bisa seutuhnya disingkirkan, maka suatu prosedur harus
dipilih yang juga sekaligus dapat mengambil jaringan untuk analisis
histologis. Pasien dengan sejumlah besar keratosis seboroik kadang-kadang
melebihi 100 lesi keratosis seboroik memiliki suatu tantangan yang khusus.
Bila pasien berkeinginan dibuang semua, maka prosedur multipel sekarang
ini adalah pilihan metode. Bila sindroma Leser Trelat diduga, suatu
pencarian yang komprehensif untuk menyingkirkan malignansi yang
mendasari harus dilakukan.
Terdapat penelitian yang melaporkan keefektifan analog vitamin D
topikal dalam penatalaksanaan keratosis seboroik. Mekanisme yang diduga
adalah induksi apoptosis keratinosit. Pada penelian yang lain, tazaroten 0,1
% dengan dasar krim, diaplikasikan dua kali sehari, diperoleh resolusi
komplit (konfirmasi dengan histologi) pada 7 dari 15 pasien, walaupun obat
ini menyebabkan iritasi. Imikuimod yang dicobakan pada suatu penelitian
tidak efektif.
Terapi sistemik pada keratosis seboroik multipel tentunya dapat
diinginkan pada beberapa pasien, karena dapat membatasi pembedahan
yang multipel. Suatu penelitian pada pemberian sistemik 1,25 dihidroksi
vitamin D3 menunjukkan hasil yang penting. 1,25 dihidroksi vitamin D3
diberikan secara oral pada pasien dengan keratosis seboroik multipel dengan
dua dosis oral yang berbeda. Dosis yang lebih tinggi memproduksi
perubahan inflamasi pada lesi sesudah 2 minggu dan akhirnya menimbulkan
resolusi dengan suatu skar atropi atau makula coklat. Regresi dapat dilihat
pada histologi sebagai vakuolasi dan degenerasi sel basal.
Pada umumnya tidak ada terapi topikal atau sistemik yang telah
terbukti menjadi pilihan yang layak dalam terapi keratosis seboroik.
Penatalaksanaan harus selalu diteruskan melebihi periode yang lama dan
keefektifan umumnya jelas lebih inferior dari prosedur operasi. Tetapi pada
masa depan, penemuan yang dibuat pada genetik molekular bisa
memberikan dasar untuk perkembangan terapi topikal terbaru.

3.2.10 Prognosis
Keratosis seboroik adalah suatu tumor kulit benigna tanpa suatu
tendensi yang signifikan terhadap malignansi. Sesudah pembuangan lesi,
rekurensi lokal dapat terjadi. Tidak ada angka tepat tentang rekurensi.

Anda mungkin juga menyukai