Anda di halaman 1dari 7

Semua Karena Bahasa

chapter I

latar belakang kisah: Bahasa membuat orang berani mengutarakan ekspresinya,


membentuk pengalaman, jatuh cinta bahkan terjerumus dalam berbagai kasus kriminal,
seperti pelecehan nama baik. Kali ini, penulis mengambil kisah, yang mengerucutkan
pemahaman pembaca pada pengaruh bahasa dalam relasi remaja.

Selamat membaca!

Siapa yang mengatakan kau jahat? Atau pengecut, atau keparat, atau apapun itu, sekali-
kali aku tidak ingin melukaimu. Cukup engkau dan sederet waktu yang tahu bagaimana
caraku memahamimu dan mulai menyadari bahwa mengagumimu adalah suatu hal yang
terindah. Bagaimana bisa? Akan kujelaskan sederet suka dan duka yang telah kau rajut
dengan pena atau bahkan sulam yang kau bidangi sendiri dengan kasih yang kemudian
kunamai benci.

Kini kau, aku, kita, bahkan dunia tahu kita berbeda. Kita tak lagi sama, seolah ada
sebuah jurang pemisah yang barangkali telah kau, aku, kita penuhi dengan telaga air mataku,
dan bukan kau, yang cukup dalam untuk kita selami. Kata, nalda, air mata itu perlu
disyukuri. Mengahantarku pada sebuah deretan kenangan tentang tenang yang perlahan mati
itu. Terima kasih pada kacaumu, pada risaumu, atau sederet luka yang telah kau cucuki pada
relung hati? Sekali-kali aku tak mau. Biarkan semua kenangan itu, berlalu bahkan kemudian
berlabu pada tuan rindu yang kau dan aku idamkan. Tetapi, tak apa aku tahu Tuhan punya
rencana dan cara yang lebih indah untuk kita.

Sebentar lagi, sajakku takan menyebut kata kita. Kata kita telah mati, seiring perasaan
yang perlahan sirnah berujung musnah. Kau membuatku terlalu dini untuk meyadari bahwa
aku kecil dan tak layak dihargai. Semua sesalku, akan kutata rapi seolah santun mengucap
pamit pada sesal yang kutahu pasti akan berkepanjangan.

Apa kadomu untuk hari ulang tahunku. Katamu, semua yang kuraih ada dinar di dalam
sebuah pualam. Aku tahu kau marah,benci, atau bahkan menganggapku bodoh layaknya
seorang dungu yang tak tahu bahwa aku mencintaimu. Sederet, rayuanmu seolah ungkapkan
doa untuk segera pergi. Dan kini, aku menyadari engkau sunguh pergi. Aku malu mengakui,
aku benci padamu.
Sebelum kau pergi seharusnya kau memberitahuku bagaimana cara melupakanmu
dengan santun, bagaimana kata-kata itu hanya bualan dan untuk apa kupendam, beri aku
jawaban bagimana cara untuk tidak membencimu, sebagaimana kau ajari aku bagaimana aku
mengenalmu, dan jatuh pada belaian kasihmu itu. Untuk semuanya itu, aku, aku, muak!!

Dengan apa kau balas semua air mataku? Aku tahu kau sedang tertawa bahkan
tersenyum, menyadari aku jatuh pada kemilaumu yang semu itu. Seharusnya aku menyadari
kau hanya datang hanya untuk menyakiti, sekedar singgah kemudian pergi mendamba pada
dunia. Katamu dunia selalu realistis dan up to date. Itu salahku, yang tak pernah bisa
memahami bahwa hati itu dinamis dan modern. Aku yang bodoh, aku yang bisu, aku yang
tuli. Bodoh karena sikapku yang merajakan rasa, bisu untuk bicara bahwa aku terluka, atau
sengaja tuli untuk mendengar suaramu. Suara yang pertama kali aku dengar merdu, lembut,
atau apapun itu, aku benci! Benci! Benci!

Kusadari pena ini tak seindah dulu. Sajak-sajakku kini mati seiring kepergian seseorang
yang tak pernah menyadari arti kasih atau rasa yang didambakan. Aku bahkan mengutuk
setiap inspirasi yang pernah kulahirkan dari rasa mengagumi yang mati. Lagi-lagi kau tak
dapat disalahkan. Andai, kata-kata ini kau baca, resapi dengan hati, dan mengerti bahwa
sekarang aku benar-benar benci dengan semua lakumu yang basi. Mungkin nanti kau bilang
aku gila, tak waras, bahkan apapun itu akan kuterima dengan hormat atas sikapku yang mulai
membencimu sejak malam menjadi saksi air mataku.

Kata-kata ini kuungkapkan dari sekian ribu bahkan jutaan pertimbangan rasa yang
mungkin akan membuatmu marah berkepanjangan. Jujur, aku tak tahu cara meyakinkan diri
bahwa kau baik dan bijak dalam keputusan.

Aku yang dulu kokoh pada setiap prinsip, menjalani hari dengan penuh sukacita
layaknya surga itu dekat dan benar-benar ada, di mana dan kapan pun. Kau umbar semua
sukaku, surgaku, bahkan perlahan merenggut semua sisi terangku untuk mengerti bahwa
dunia itu indah. Dan aku lalui semua dengan sukacita. Lantas kini kau pergi dengan caramu?
Seketika menjelaskan bahwa dunia itu neraka sejak kau mengenalku? Oh, semudah itu,
caramu.

Aku ingin menghilangkanmu, musnah tak berbekas, ditelan jagat dengan segudang
egomu. Aku ingin kau pergi, jauh bahkan ke dunia yang tak bisa kujangkau walau dalam
mimpi,. Aku ingin engkau menangis, merasakan sejauh mana arti duka yang kurasa saat kau
mulai memberi rasa kepercayaanku pada segelintir orang yang kau temui di jalan itu. Aku
ingin, kau tahu bagaimana pedihnya mencintai dengan hati. Aku ingin kau tahu, bagaimana
arti rasa yang berbalas derita. Aku ingin, aku ingin......

Sayang inginku, bukan semata-mata benar. Aku tahu ini berat, bahkan terlampau lewat.
Karenamu, aku belajar mencintai. Bangkit dari semua rasa yang mati, dan mulai mengukir
hari. Karenamu aku belajar merindu, dengan bijak. Karenamu aku belajar mengerti,
melapaskan seseorang yang dirindu.

Oh ia, apa sekarang kau legah? Apa sekarang kau gembira. Dengan semua egomu,
dengan semua rasamu, dengan semua kepalsuanmu, dengan semua janjimu, dengan semua
mimpimu, bagaimana cara agar aku kembali meyakinkan diri bahwa kau punya cukup alasan
untuk bijak dalam mengolah rasa.

Terkadang aku marah pada tuhan. Entah berapa banyak namamu kubawa dalam untaian
doaku. Dengan semua intensi yang lahir dari jiwa, dengan segenap suka yang selalu terbawa.
pernah sekali aku minta untuk kau selalu gembira meski harus kau bawa pergi gembiraku.
dan terkadang aku minta agar kau selalu bisa dalam kariermu, sukses dalam setiap
keletihanmu untuk memotret dunia yang rumpang. hingga pada saat kau lemah, baru
mengerti arti sesal itu apa.

seharusnya aku mengerti, jika kau terlahir untuk dunia, bukan duniaku, tapi duniamu
dengan segalanya yang akan disajikan. bijak dalam setiap langkah yang perlahan kau namai
purnama. purnama dari rentetan 17 bidadari yang bahkan terbang tanpa sebagian sayapnya.
ah itu, mustahil sungguh sangat mustahil untuk terjadoi. itulah aku. aku, lagi-lagi aku bukan
kamu, yang selalu menganggap dunia sebagai sahabat dekat. masih ada mimpi, masih ada
khayal, masil ada fiksi, masih ada desah. untuk semua hal yang membodohkan itu, sudah
tentu dan pasti aku adalah biang keladi bagi yang terluka.

oh tunggu. mengapa tak kau ungkapkan jika kau benci? jika kau tak suka? jika kau tak
mau? jika kau marah? jika tak mau dirindu? mengapa, semua harus terlahir dari sebuah
ungkapan yang telampau batas agar kuraih. sekali-kali cukup, dengan bidadari tanpa sayap
itu. cukup dengan semua puisiku, cukup dengan semua cerita yang kurangkai, cukup dengan
tugas yang kuberi, cukup dengan lemah gemulaiku, cukup dengan perawakanku, cukup
dengan dengan semua inspirasi yang membuat orang menyesal seumur hidupnya.
jika aku tahu dunia itu identik dengan waktu. aku ingin dilahirkan pada kompas yang
mengarah ke selatan jika kau di utara, si timur jika kau di barat bahkan tenggelam bersama
mentari yang perlahan berubah menjadi malam yang pekat. aku ingin waktu berhenti di saat
aku tidak bahkan hendak mengenalmu. aku ingin kau dan aku tidak bertemu dan mengartikan
kisah sebagai seorang yang mengambil rupa kita. cukup pada aku dan kau, jangan pernah
mengatakan kita. jika saat itu, benar-benar terjadi, betapa gembiranya aku yang hanya tahu
duniaku saja.

tetapi, sungguh itu tak adil. lagi-lagi tak adil, aku tahu aku terlalu cepat mengerti. itu
hanya sebuah ilusi, imajinasi, fiksi, mimpi, atau apapun itu yang tdak terjadi. untuk semuanya
itu, aku hadirkan kata yang terlampau hadir dari lubuk rasio denga timbangan hati, “MAAF”.
sekali lagi maaf. aku tak tahu, jika ada kata yang lebih sempurna untuk mengiringi rangkaian
kata yang tak pernah tahu akan hadir dalam penaku. untuk semua kata yang terlampau
kelewatan untuk dipendam. untuk semua itu, aku memilih pamit. sekali ini, bukan dengan
malam. malam terlalu pekat untuk meriuhkan dunia. beri aku siang, siang yang panjang,
dengannya mentari menuntun ku ke arah kaki melangkan di sana ada terang.

....BERSAMBUNG....

20 Oktober 2018

Pada penghujung waktu malam, aku ingin hadir dan kembali menuangkan kisah pilu
yang kemudian aku namai penghianat. Aku yang saat itu kecil, belum matang, bahkan baru
mengenal dunia, merasa diri paling bijak dalam segala hal. Saat ini kusadari aku yang bodoh.
Ah, tetapi tetap saja, jiwa dalam diriku utak pernah terima, bahkan mabuk bukan kepalang
untuk diyakini jika kasih itu sederhana. Sederhana yang kupandang dengan kacamata milau,
ternyata mengandung sederet kebohongan, kebodohan, pengkhianatan, kecewa, yang
kompleks.

begini, aku sama seperti venan, tak pernah marah untuk mengakhiri. Tapi caramu yang
membuat kuhancur, kecewa di dalam hatiku. Aku beri kau kesempatan untuk pergi, sekali,
dua kali, bahkan betrkal, hingga kali yang akan bertambah itu menjadi pekat dan hitam di
atas kemarahan. Santunku, menyuruhmu pergi, tak pernah diindahkan. katamu, rahasia itu
prifasi? ya prifasi yang kemudian kau jajakan pada bibir-bibir manis dan telingan yang
senantiasa menjadi corong infomasi.
aku tak kuasa memanggilmu iblis, tetapi rasaku telah muak untuk membenarkanmu.
aku pernah pergi, tapi kau ajak aku berbalik dan bersabar dengan waktu, yang katanya saat
itu lagi taj bersahabat. Aku ingin bertanya, kemana kasihmu itu? ah, apa kau lelangkan dan
jajahkan bagi publik yang kau namai egois? atau kasih yang memanfaatkan seseorang untuk
menjadi roda penggerak keegoisanmu? Atau apapaun itu yang sudah membuatku lelah. apa
kau punya strategi dalam menyakiti? wow! indahnya, permainana yang membuat seseorang
merasa sangat sportif, tetapi ternyata adiktif? ah, bodoh.

Aku ingin marah, tapi pada siapa. Jika pupus mengatakan kisah yang bertepuk sebelah
tangan, aku lebih dari itu. sebagian dari dirikubahkan pergi dan tak mau berbalik untuk
memaafkan diriku sendiri? Aku benci! benci! pada buaian kata-kata penghancurku. Terlalu
manis, semanis buah yang kau dapat dari kebisingan orang lain. Aku malu! malu! malu pada
setiap wajah yang sesekali menatapku sinis, seolah telah mendewakan kau?

aku tak pernah menyetujui diri menjadi persimpangan rasa itu. Dan kau pandai
membuat seseorang mejadi terasing atas dosa yang sebenarnya sama-sama kita buat. kau
manusia? Apa masih punya hati? apa hatimu perlahan mati dengan semua euforia yang
berhasil kau dapatkan dari kematian? ah. Tuhan ajari aku untuk sesekali tak pernah
mengindahkan kata benci dalam penaku.

Aku kecewa! Kecewa, pada mereka yang kita namai jembatan teduh> ah, hancur, sama
halnay dengan jembatan putih yang perlahan kropos di sudut kota. Kau, telah menodai semua
cat-cat yang kita pilih putih dulu. Kau ganti dengan cat hitam, yang kau beli dari dunia
kelam, untuk semua kepekatan yang berbalut dendam itu, bukan? kau! kau, yang pernah
sadar menjadi dewa, yang katanya tuhan kedua, ternyata tak lebih dari seorang yang pernah
kita namai kelam, neraka, atau apapun itu. Dan dunia tertawa, karena kau tak pernah
mendengar dengar teling, dan merasa dengan hatimmu. semua kau anggap bibir? ah,
konyolnuya aku.

Ahh... aku ingin sekali datang menghampirimu, menjajakan semua orang yang pernah
kita jadikan saksi telanjang diri tentang rasa. aku ingin bicara jika, berakhir demikianm, tak
lebih dari rasa hormatku yang telah menginjak diri? Aku tak pernah dihargai, tak pernah
dilayani layaknya manusia. Aku masih ingat ketika waktu memperkenanku untuk menjadi
budak atas semua yang kau buat? dan aku dengan kebodohan yang mungkin lebih bodoh dari
mu, mengiakannya dengan begitu saja. Kenapa, yak kau buat aku merasa kecewa sejak
dahulu? Apa kau ingin aku menangis darah, dan mulai menyadari diri mati dalam linangan
air mata? Apa kau tak ingat kau yang memulai?

Aku selalu mengajakmu berdamai dengan situasi. ternyata sedikit demi sedikit kau
bubuhi terasi hingga kemudiaan yang tersaji penuh dengan aroma tak sedap bak teri yang
mati. Ah,, kau,.......! Kau.....! andai ada kata yang bisa mewakili amarahku, mungkin kataa-
kataku berhenti sampai pada titik kalimat ini. tetapi, sikapmu yang keterlaluan, membuat
detak jantungku, seirama, menaikan hormon adrenalin, yang mungkin kemudian memacuku
untuk menulis kalimat penyesalan diri. Hiang semua rasa kepercayaanku tentan kita? kita itu
hanya sekedar nama, yang sejatinya sejak awal kau, dan aku tak pernah ada.

Andai kau sang pengambil kebijakan dengan adil, megapa tak kau pertimbangkan cara
kita bertemu yang santun, kemudian pamit dengan santun. setidaknya, jika kau hanya
berbual, tak datang untuk membahagiakan, jangan sakiti semua yang mendamba? apa kau
ingin aku menjadi hamba? hamba yang senantiasa memujmu, mengecup kakimu, atau bahkan
menyeka keringatmu dengan sutera yang dibennagi ketulusan?

apa arti tulus di hatimu? ah jangan terlalu jauh. apa arti tulus di matamu? atau di
otakmu? jika demikian katamu terlalu abstrak.aku ingin bertanya, apa arti sosokku dalam
pertautanmu? apa aku tak lebih dari seekor, sebatang, sebuah, yang tak pernah dikenal
dengan sebutan seseorang? lantas mengapa kau selalu saja bilang aku baik. jika baik versimu
begini, katakan padaku jika kau tak pernah mengenalku. perkenalan di anatara kita, sejatinya
hanya sebuah permainan dalam kekealahan, yang menungguku untuk menyerah dan merasa
bersalah hingga habis usiaku. sekali dua kali jika itu benar, hentikan aku untuk tidak
membencimu.

aku bodoh selalu khawatir dengan keadaanmu. siapa aku? aku bodoh selalu merasa
cemas, jika kau melakukan kesalahan. siapa aku? aku bodoh, selalu saja mendoakanmu
sekalipun tak pernah kau tahu. siapa aku? aku bodoh selalu menginginkanmu rapi dengan
kesederhanaanmu. siapa aku? aku bododh, selalu menginginkan kau berubah menjadi baik.
siapa aku?

sejatinya, aku tak lebih dari seekormu. mengapa tak kau katakan sejak dahulu, ketika
rasa tak sejauh ini. katakan jika aku pernah membuatmu kecewa, membuatmu marah, kurang
memahamimu, tak memberi apa yang kau minta, terlalu egois, angkuh, sombong, atau
apapun itu? katakan? aku ingin kau menilaiku dari semua keseekoranku. aku tak leboh dari
seekormu yang selalu saja bertindak semau gue. katakan jika aku selalu saja terlalu
mengekang kebebasanmu. atau katakan, aku seekormu yang tak pernah sadar jika sedang
dipermainkan. katakan!... ayo,, katakan, saja.. buat aku menjadi seekormu yang sadar jika aku
salah percaya padamu.

sehatrusnya sejak dulu aku mengerti aku hanya sebuah arena pertarungan, seharusnya
dari dulu kau ilang aku tak lebih dari seorang penegmis cibta yang miskin akan pengetahuan,
seharusnya dari dulu kau bilang aku tak lebih dari seorang kusta, yang jorok dan menjadi
momok bagimu, seharusnya dari dulu kau usir aku, dengan semua, kejijikanku?

lantas mengapa kau buai aku? kau timang aku dengan semua kepalsuan itu? tak kau
biarkan aku pergi sebelum habis luruh darahku? kau buat aku sepetrti seorang mayat yang
tunggu dibuang? kena[pa, kau buat aku pergi dengan berbagai luka sobekan pada relung
hatiku, yang sejatinya kau tahu aku sedang terluka. apa kau ingin aku, menderita sebelum
benar-benar mati? apa kau ingin aku, berhenti menangis, sebelum bola matamu terpisah
dengan rongga mataku? apa kau ingin aku menulis biografimu dulu yang maha agung itu,
sebelum kau buang aku layaknya seorang penulis buangan? aku benci......

aku tak punya harga lagi..

Anda mungkin juga menyukai