Pengobatan TBC Dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga: Pendahuluan

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 17

Pengobatan TBC dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga

Elisabeth Janice Rusli


102013307
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510, Telp. (021) 56942061
elisabethjanice@yahoo.co.id

Pendahuluan
Tuberkulosis paru (TBC) adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberkulosis. Penularan kuman dipindahkan melalui udara ketika seseorang
sedang batuk, bersin, yang kemudian terjadi droplet. Seseorang penderita TBC akan mengalami
tanda dan gejala seperti kelelahan, lesu, mual, anoreksia, penurunan berat-badan, haid tidak
teratur pada wanita, demam subfebris dari beberapa minggu sampai beberapa bulan, malam
batuk, produksi sputum mukuporolent atau disertai darah, nafas bunyi crakles (gemercik),
Wheezing (mengi), keringat banyak malam hari, dan merasa kedinginan.1
Program pemberantasan dan penanggulangan masalah Tuberkulosis telah dilakukan,
pemerintah telah berupaya keras memenuhi sarana dan prasarana seperti sarana diagnosa,
sarana pengobatan, dan sarana pengawasan serta pengendalian pengobatan. Sejak tahun 1994
Indonesia mulai melaksanakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, shortcourse)
meskipun demikian penderita TB tetap meningkat dan cakupan pengobatan masih rendah.2

Skenario
Seorang bapak berumur 45 tahun, memiliki seorang istri berumur 43 tahun dan 5 orang
anak. Istrinya tersebut sedang mendapatkan pengobatan TBC paru dan sudah berjalan selama
3 bulan. Anak perempuannya yang berumur 9 tahun saat ini juga sedang batuk-batuk sejak 3
minggu yang lalu dan tidak kunjung reda walaupun sudah berobat ke Puskesmas. Keluarga ini
tinggal di sebuah rumah semi permanen 4x11 meter di pemukiman yang padat penduduk.
Penghasilan keluarga ini sebesar Rp 2,5 juta/bulan sebagai buruh harian.

1
Penegakan Diagnosis
 Manifestasi Klinis
Pada pasien dewasa yang menderita TBC paru gejala utamanya adalah batuk berdahak
selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, nyeri dada, badan lemas, nafsu makan menurun,
berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan.3,4
Sedangkan pada anak sebagian besar bayi dan anak yang terinfeksi Mycobacterium
tuberkulosis dan sampai menderita TBC tidak menunjukkan tanda dan gejala yang pasti, hanya
sebagian kecil yang menunjukkan gejala tidak spesifik seperti demam, anoreksia, penurunan
berat badan, dan batuk.5

 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva
mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu tubuh yang subfebris, badan kurus atau berat
badan menurun.3,4
Tempat kelainan TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai
adanya infiltrat agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas
bronkial. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau
timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.3,4
Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimptomatik dan penyakit baru dicurigai dengan
didapatkan adanya kelainan radiologis thorax pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin
positif.4

 Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan ini kurang mendapatkan perhatian, karena hasilnya kadang-kadang
meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat TB baru mulai (aktif)
akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke
kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila
penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi.
Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.4

2
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga: Anemia ringan dengan gambaran
normokrom dan normositer; Gamma globulin meningkat; Kadar natrium darah menurun.
Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik.4

 Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi
tuberkulosis. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru. Pada awal penyakit
saat lesi masih menyerupai sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak seperti
awan dan dengan batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan
terlihat berupa bulatan dengan batas tegas.4
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:4
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Sedangkan gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif yaitu adanya fibrotik,
kalsifikasi, Schwarte atau penebalan pleura.4

 Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting untuk menemukan kuman BTA dan menegakkan
diagnosis. Pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang
telah diberikan. Cara menegakkan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan pengumpulan
spesimen dahak dalam 2 hari kunjungan yang berturutan yaitu dahak sewaktu-pagi-sewaktu
(SPS) yaitu seperti berikut:4
 S (sewaktu): Dahak yang dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama
kali. Suspek akan membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pada hari
kedua pada saat dia pulang.
 P (pagi): Pada pagi hari kedua dahak dikumpulkan segera setelah bangun tidur. Pot
dibawa dan diserahkan kepada petugas.
 S (sewaktu): Pada hari kedua saat suspek datang, dahak dikumpulkan saat menyerahkan
dahak pagi.

3
Kriteria sputum BTA positif adalah bila paling tidak ditemukan 3 batang kuman BTA
pada satu sediaan. Penderita TB BTA (batang tahan asam) positif adalah apabila minimal
pada sputum SPS hasilnya 2 dari tiga sediaan adalah BTA positif dengan pewarnaan Ziehl-
Neelsen.4

 Uji Tuberkulin (Tes Mantoux)


Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis TB
terutama pada anak-anak. Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1
cc tuberkulin PPD (Purified Protein Derivative) intrakutan. Tes ini hanya menyatakan
apakah seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M. tuberculosis, M. bovis,
vaksinasi BCG, dan Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi
alergi tipe lambat.4
Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi
selular dengan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi seluler
dan antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi humoral, makin besar pengaruh
antobodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan.4
Berdasarkan hal diatas hasil tes Mantoux (dilihat diameternya) dibagi dalam:4
 Indurasi 0-5 mm: Mantoux (-) atau golongan no sensitivity. Disini peran antibodi
humoral paling menonjol.
 Indurasi 6-9 mm: Hasil meragukan atau golongan low grade sensitivity. Disini peran
antibodi selular paling menonjol.
 Indurasi 10-15 mm: Mantoux (+). Kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah tetapi
masih mungkin disebabkan oleh vaksin BCG.
 Indurasi >15 mm: Mantoux (+) ini sangat mungkin karena infeksi TB alamiah.

 Diagnosis
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan sputum mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan
dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak
dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja, karena tidak
selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.4

4
Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh dua hal, yaitu jumlah
kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit (paucibacillary) daripada dewasa karena
lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim paru
bagian perifer. Selain itu, tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat pada dewasa. Kuman
BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5.000 kuman dalam 1
ml dahak. Kesulitan kedua, pengambilan sputum sulit dilakukan pada anak, walaupun batuknya
berdahak, biasanya dahak akan ditelan sehingga diperlukan bilasan lambung yang diambil
melalui nasogastric tube (NGT) dan harus dilakukan oleh petugas berpengalaman. Karena
berbagai alasan di atas, diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin, pemeriksaan laboratorium, dan foto rontgen
dada. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji tuberkulin positif, dan
foto paru yang mengarah pada TB (sugestif TB) merupakan bukti kuat yang menyatakan anak
telah sakit TB.5
Di Indonesia, diagnosis TB anak sesuai hasil Konsensus Nasional TB Anak pada tahun
2001 (telah direvisi tahun 2002), bahwa seorang anak dicurigai menderita TB bila memenuhi
minimal 3 dari 10 kriteria diagnosis berikut:5
1. Riwayat kontak erat dengan penderita TB sputum BTA (+).
2. Reaksi cepat BCG, yaitu timbul kemerahan di lokasi suntikan dalam 3-7 hari setelah
pemberian BCG.
3. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau berat badan kurang yang tidak naik dalam 1
bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi (failure to thrive).
4. Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas.
5. Batuk lama lebih dari 3 minggu.
6. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang spesifik.
7. Skrofuloderma.
8. Konjungtivitis fliktenularis.
9. Uji tuberkulin positif (>10 mm).
10. Gambaran foto rontgen sugestif TB.
Pengurus pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, telah membuat pedoman nasional
tuberkulosis anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan
terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai (lihat gambar 1). Pedoman tersebut secara resmi
digunakan oleh program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak
dengan catatan:5

5
1. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
2. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti
Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
3. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung
didiagnosis tuberkulosis.
4. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).
5. Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.
6. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul <7 hari setelah penyuntikan
harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
7. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 13).
8. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka
dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama
dengan >6, harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti tuberkulosis).
Bila skor < 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan
diagnostik lainnya sesuai indikasi.5

Gambar 1. Sistem Skor.5


Epidemiologi
WHO memperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia, kurang lebih sejumlah 2 juta orang
terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis. Angka infeksi tertinggi di Asia Tenggara, Cina,
India dan Amerika Latin. Data yang dilaporkan WHO, Indonesia menempati urutan nomor tiga
setelah India dan Cina yaitu dengan angka 1,7 juta orang Indonesia, menurut teori apabila tidak
diobati, tiap satu orang penderita tuberkulosis akan menularkan pada sekitar 10 sampai 15 orang
dan cara penularannya dipengaruhi berbagai factor. Tuberkulosis terutama menonjol di
populasi yang mengalami gizi buruk, padat penduduk, perawatan kesehatan yang tidak
memadai, dan perpindahan tempat.6

6
Pada orang dewasa dua pertiga kasus terjadi pada laki-laki yang 75% berada pada usia
produktif, yaitu 20-49 tahun, tetapi ada sedikit dominasi tuberculosis pada wanita di masa anak-
anak. Pada anak, kebanyakan terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis di rumahnya dari
seseorang yang dekat padanya.6

Pendekatan Epidemiologi Penyakit Menular


 Periode Prepatogenesis (Epidemiologic Triangle)
Epidemiologic Triangle (segitiga epidemiologi) atau model tradisional epidemiologi
dikemukakan oleh John Gordon dan La Richt yang menyebutkan bahwa timbul atau tidaknya
penyakit pada manusia dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu:7
 Agent (agen): Sesuatu (biologis atau non-biologis) yang karena ada dan tiadanya dapat
menimbulkan penyakit, contoh: biologis (bakteri, virus, parasit), fisik (suhu, trauma),
kimiawi (logam berat, vitamin, mineral), psikologi.
 Environment (lingkungan): Sesuatu (fisik dan non-fisik) yang dapat mempengaruhi keadaan
penyakit, contoh: fisik (tanah, air, udara) dan non-fisik (sosial, budaya, ekonomi).
 Host (pejamu): Individu yang terserang oleh agen sehingga menimbulkan penyakit, contoh:
manusia, hewan, tumbuhan.
Selanjutnya akan dibahas Epidemiologic Triangle sesuai dengan skenario diatas, yaitu:
 Faktor Agent (Mycobacterium tuberculosis)
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal
0,4-3 mikronmeter, tahan terhadap pewarnaan yang asam sehingga disebut bakteri tahan
asam (BTA). Sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak dan lipid yang membuat lebih
tahan asam dan dapat hidup bertahun-tahun. Sifat lainnya yaitu bersifat aerob, lebih
menyukai jaringan kaya oksigen terutama pada bagian apical posterior paru-paru.8
Karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap disifektan kimia
atau antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu
yang lama. Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara Mycobacterium
tuberculosis sangat tinggi. Patogenesis hampir rendah dan daya virulensinya tergantung
dosis infeksi dan kondisi Host. Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia yang
terinfeksi. Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung.8,9

7
 Faktor Environment Fisik4
1. Kondisi rumah: Untuk rumah sederhana luas minimum 10 m2/orang dan untuk
menjamin volume udara yang cukup disyaratkan langit-langit minimum tingginya
2,75 m.
2. Kepadatan hunian kamar tidur: Untuk kamar tidur luas lantai minimum 3 m2/orang,
untuk mencegah penularan penyakit pernapasan jarak antara tepi tempat tidur yang satu
dengan yang lain minimum 90 cm, kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua
orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun.
3. Pencahayaan: Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela
kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik maka dapat dipasang
genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena penularan kuman TB relatif tidak tahan
pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara
diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.
4. Ventilasi: Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi
sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 10% dari luas
lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai.
5. Kelembaban udara: Kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar
22°-30°C. Kuman TB akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.

 Faktor Environment Non-Fisik


Keadaan sosial-ekonomi merupakan hal penting pada kasus TBC. Pembelajaran
sosiobiologis menyebutkan adanya korelasi positif antara TBC dengan kelas sosial yang
mencakup pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan
ekonomi. Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi
komunitas perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga fisik, penggangguran dan
tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TBC dapat juga menjadi pertimbangan
pencetus peningkatan epidemi penyakit ini.4

 Faktor Host
Umur merupakan faktor terpenting dari Host TBC, dimana terdapat 3 puncak kejadian
dan kematian:8,9
1. Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita.

8
2. Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan pertumbuhan,
perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita.
3. Puncak sedang pada usia lanjut.
Kebiasaan sosial dan pribadi turut memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak
timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian. Status gizi, kondisi kesehatan secara umum,
tekanan fisik-mental dan tingkah laku sebagai mekanisme pertahanan umum juga
penting. Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer memberikan beberapa
resistensi, namun sulit untuk dievaluasi.8,9

 Periode Patogenesis (Interaksi Host-Agent)


Interaksi terutama terjadi akibat masuknya Agent ke dalam saluran respirasi dan pencernaan
Host. Infeksi pertama (primer) terjadi ketika seseorang pertama kali dimasuki basil atau kuman
TB ke dalam paru melalui bronkhus dan umumnya tidak terlihat gejalanya. Dan sebagian besar
orang, berhasil menahan serangan kuman tersebut dengan melakukan isolasi dengan cara
dimakan macrophages, dan dikumpulkan pada kelenjar regional disekitar hilus paru. Infeksi
dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru yang
menyebabkan peradangan di dalam paru. Oleh sebab itu, kemudian disebut sebagai kompleks
primer. Pada saat terjadi infeksi, kuman masuk hingga pembentukan kompleks primer sekitar
4-6 minggu. Adanya infeksi dapat diketahui dengan reaksi positif pada tes tuberkulin.8
Biasanya hal tersebut terjadi pada masa kanak-kanak dibawah umur 1 tahun. Apabila gagal
melakukan containment kuman, maka kuman TB masuk melalui aliran darah dan berkembang,
maka timbulah peristiwa klinik yang disebut TB milier. Bahkan kuman bisa dibawa aliran darah
ke selaput otak yang disebut meningitis (radang selaput otak). Sebagian besar dari kuman TB
yang beredar dan masuk ke dalam paru orang-orang yang tertular mengalami fase atau
menjadi dormant dan muncul bila kondisi tubuh mengalami penurunan kekebalan, gizi buruk,
atau menderita HIV/AIDS. TB secara teoritis menyerang berbagai organ, namun terutama
menyerang organ paru. Sedangkan pada paru-paru tempat yang paling disukai atau tempat yang
sering terkena adalah apical pasterior. Hal ini disebabkan karena Mycrobacterium
tuberculocis bersifat aerobik, sedangkan pada daerah tersebut adalah bagian paru-paru yang
banyak memiliki oksigen.8

9
Pola Penularan TBC
 Cara Penularan TBC
Penularan TB dikenal melalui udara, terutama pada udara tertutup seperti udara dalam
rumah yang pengap dan lembab, udara dalam pesawat terbang, gedung pertemuan, dan kereta
api berpendingin. Prosesnya tentu tidak secara langsung, menghirup udara bercampur bakteri
TB lalu terinfeksi, lalu menderita TB, tidak demikian. Masih banyak variabel yang berperan
dalam timbulnya kejadian TB pada seseorang, meski orang tersebut menghirup udara yang
mengandung kuman. Sumber penularan adalah penderita TB dengan BTA (+). Apabila
penderita TB batuk, berbicara atau bersin, maka bakteri TB akan berhamburan bersama
”droplet” nafas penderita yang bersangkutan, khususnya pada penderita TB aktif dan luka
terbuka pada parunya. Sekali penderita TB batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 “droplet”.4
Daya penularan dari seseorang ke orang lain ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan serta patogenesitas kuman yang bersangkutan, serta lamanya seseorang menghirup
udara yang mengandung kuman tersebut. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
sputum, makin menular pasien tersebut. Kuman TB sangat sensitif terhadap cahaya ultraviolet.
Cahaya matahari sangat berperan dalam membunuh kuman di lingkungan. Oleh sebab itu,
ventilasi rumah sangat penting dalam manajemen TB berbasis keluarga atau lingkungan.4

 Risiko Penularan
Risiko penularan TB bergantung dari tingkat pajanan terhadap percikan dahak (droplet
nuclei). Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama 1 tahun. ARTI
sebesar 1%, berarti 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Menurut WHO
ARTI di Indonesia berkisar antara 1-3%.10

Pencegahan TB Paru
 Pencegahan Primer
Promosi kesehatan merupakan salah satu pencegahan TBC paling efektif. Promosi
kesehatan adalah proses memberdayakan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan dan
melindungi kesehatannya melalui peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan serta
pengembangan lingkungan sehat. Promosi kesehatan “menggarap” aspek perilaku, yaitu untuk
memotivasi, mendorong dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki
masayarakat agar mereka mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Dalam promosi

10
kesehatan, individu dan masyarakat bukan menjadi objek (sasaran) melainkan sebagai subjek
(pelaku). Dalam hal ini masalah kesehatan bukan hanya menjadi urusan sektor kesehatan saja
tetapi juga sektor terkait lainnya termasuk sektor swasta (dunia usaha) yang dilakukan secara
kemitraan.10.11
Dalam program penanggulangan TB, penyuluhan merupakan teknik terbaik untuk promosi
kesehatan, dimana penyuluhan langsung bisa dilakukan secara perorangan maupun kelompok.
Penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan media, dalam bentuk bahan cetak seperti
leaflet, poster, atau spanduk, juga media massa yang dapat berupa media cetak seperti koran,
majalah maupun media elektronik seperti radio dan televisi.11
Penyuluhan langsung dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, para kader dan PMO, sedangkan
penyuluhan kelompok dan penyuluhan dengan media massa selain dilakukan oleh tenaga
kesehatan, juga oleh para mitra dari berbagai sektor, termasuk kalangan media massa.10,11
Penyuluhan langsung perorangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan
pengobatan penderita. Penyuluhan ini ditujukan kepada suspek, penderita dan keluarganya,
supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga
yang sehat dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar dari
penularan TB. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan
untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat
tentang TB-dari “suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan”, menjadi
“suatu penyakit yang berbahaya, tapi dapat disembuhkan”.10
Selain promosi kesehatan, pemberian vaksin BCG juga merupakan salah satu cara
pencegahan primer. Vaksin BCG merupakan suatu attenuated vaksin yang mengandung kultur
strain Mycobacterium bovis dan digunakan sebagai agen imunisasi aktif terhadap TBC dan telah
digunakan sejak tahun 1921. Walaupun telah digunakan sejak lama, akan tetapi efikasinya
menunjukkan hasil yang bervariasi yaitu antara 0-80% di seluruh dunia.10
Vaksin BCG secara signifikan mengurangi resiko terjadinya active tuberculosis dan
kematian. Efikasi dari vaksin tergantung pada beberapa faktor termasuk diantaranya umur,
cara/teknik vaksinasi, jalur vaksinasi, dan beberapa dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Vaksin
BCG sebaiknya digunakan pada infants, dan anak-anak yang hasil uji tuberculinnya negatif dan
yang berada dalam lingkungan orang dewasa dengan kondisi terinfeksi TBC serta tidak
menerima terapi atau menerima terapi tetapi resisten terhadap isoniazid atau rifampin. Selain
itu, vaksin BCG juga harus diberikan kepada tenaga kesehatan yang bekerja di lingkungan
dengan pasien infeksi TBC tinggi. Sebelum dilakukan pemberian vaksin BCG (selain bayi

11
sampai dengan usia 3 bulan) setiap pasien harus terlebih dahulu menjalani skin test. Vaksin
BCG tidak diindikasikan untuk pasien yang hasil uji tuberculinnya positif atau telah menderita
active tuberculosis, karena pemberian vaksin BCG tidak memiliki efek untuk pasien yang telah
terinfeksi TBC.10
Vaksin BCG merupakan serbuk yang dikering-bekukan untuk injeksi berupa suspensi.
Sebelum digunakan serbuk vaksin BCG harus dilarutkan dalam pelarut khusus yang telah
disediakan secara terpisah. Penyimpanan sediaan vaksin BCG diletakkan pada ruang atau
tempat bersuhu 2 – 8oC serta terlindung dari cahaya. Pemberian vaksin BCG biasanya dilakukan
secara injeksi intradermal/intrakutan (tidak secara subkutan) pada lengan bagian atas atau
injeksi perkutan sebagai alternatif bagi bayi usia muda yang mungkin sulit menerima injeksi
intradermal. Dosis yang digunakan adalah sebagai berikut:10,11
 Untuk infants diberikan 1 dosis vaksin BCG sebanyak 0,05ml (0,05mg).
 Untuk anak-anak di atas 12 bulan dan dewasa diberikan 1 dosis vaksin BCG sebanyak 0,1
ml (0,1mg).
Perlindungan yang diberikan oleh vaksin BCG dapat bertahan untuk 10-15 tahun. Sehingga
revaksinasi pada anak-anak umumnya dilakukan pada usia 12-15 tahun. Vaksin BCG
dikontraindikasikan untuk pasien yang mengalami gangguan pada kulit seperti atopic
dermatitis, serta baru saja menerima vaksinasi lain (perlu ada interval waktu setidaknya 3
minggu).10,11

 Pencegahan Sekunder
Dalam kegiatan pokok Program Pemberantasan TB Paru dikenal 2 komponen, yaitu
komponen diagnosis dan komponen pengobatan. Pada komponen diagnosis meliputi deteksi
penderita yaitu dengan melakukan kegiatan penemuan penderita (Case Finding) tersangka TB
paru, sedangkan komponen pengobatan meliputi pengobatan yang cukup dan tepat serta
pengawasan menelan obat setiap hari terutama pada fase awal.3,10
Kegiatan penemuan penderita dapat dilaksanakan secara aktif (Active Case Finding/ACF)
dan secara pasif (Passive Case Finding/PCF). Active Case Finding dilakukan dengan
mengadakan pertemuan dengan masyarakat untuk menjelaskan tentang tanda-tanda penyakit
dan cara pengobatannya. Kader kesehatan/posyandu, kader Dasa Wisma dan kader lainnya
diharapkan dapat membantu menemukan penderita. Serta kunjungan rumah yang dilakukan
oleh petugas Puskesmas terutama dengan adanya Bidan Desa diharapkan dapat meningkatkan
penemuan penderita secara aktif. Sedangkan Passive Case Finding dilakukan dengan

12
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium dari pasien saat datang ke
dokter.3,10
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap
OAT. Paduan obat anti tuberkulosis yang dipakai program sesuai dengan rekomendasi WHO
berupa OAT jangka pendek yang terdiri dari 4 kategori. Setiap kategori terdiri dari 2 fase
pemberian yaitu fase awal/intensif, dimana pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat, dan fase lanjutan/intermiten,
dimana pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.3,10Adapun perincian OAT dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Regimen Terapi OAT10
No Kategori OAT Keterangan
1 I 2HRZE/4H3R3  Penderita baru BTA (+)
 Penderita baru BTA (-)/Ro (+) yang sakit
berat.
 Penderita ekstra paru berat
2 II 2HRZES/HRZE/  Kambuh (relaps) BTA (+)
5H3R3E3  Gagal (failure) BTA (+)
3 III 2HRZ/4H3R3  Penderita baru BTA (-)/Ro (+)
 Penderita ekstra paru ringan
4 IV  H seumur hidup  Penderita dengan TB kronis
 Obat yang masih  Penderita dengan MDR – TB
sensitif + Quinolon
5 Sisipan HRZE Bila penderita oleh K I dan K II pada akhir fase
awal/intensif masih BTA (+)

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat agar dicapai kesembuhan dan
mencegah resistensi serta mencegah drop out/lalai, dilakukan pengawasan langsung (Directly
Observed Treatment, shortcourse /DOTS) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).10
13
 Pencegahan Tersier
Rehabilitasi adalah upaya pengobatan penyakit TBC yang bertujuan untuk menyembuhkan
penderita, mencegah kematian, kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan. Keberhasilan
pengobatan TBC tergantung dari kepatuhan penderita untuk minum OAT yang teratur.10
Secara klinis pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya setiap 2 minggu selama
tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Keluhan-keluhan pasien
pada tahap ini diharapkan berkurang.12
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan
pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis sebanyak 2 kali (sewaktu dan pagi). Hasil
pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen
positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.10
Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan dan biasanya setelah 2 hingga
3 minggu pengobatan, sputum BTA menjadi negatif. WHO menganjurkan supaya kontrol
sputum dilakukan pada akhir bulan ke 4 dan ke 6 pengobatan. Pada pasien baru yang BTA
masih postif setelah tahap intensif dan pada awal terapi pasien pengobatan ulang dilakukan
pemeriksaan resistensi. Apabila sudah negative paling minimal dilakukan pemeriksaan sputum
BTA 3 kali berturut-turut untuk tujuan kontrol dan untuk mendeteksi jika terdapat silent
bacterial shedding.12
Untuk melihat kemajuan terapi evaluasi radiologis perlu dimana pada akhir pengobatan
dilakukan foto rontgen dan boleh dijadikan sebagai foto kontrol sebagai dokumentasi untuk
perbandingan jika tejadi kekambuhan.12

Kedokteran Keluarga
Dokter keluarga adalah dokter praktek umum yang menyelenggarakan pelayanan primer
yang komprehensif, kontinu, integrative, holistic, koordinatif, dengan mengutamakan
pencegahan, menimbang peran keluarga dan lingkungan serta pekerjaannya. Pelayanan
diberikan kepada semua pasien tanpa memandang jenis kelamin, usia ataupun jenis
penyakitnya. Dokter keluarga harus mempunyai kompetensi khusus yang lebih daripada
seorang lulusan fakultas kedokteran pada umumnya.13
Sasaran pelayanan kedokteran keluarga adalah sebagai satu unit, pelayanan kedokteran
keluarga harus memperhatikan kebutuhan dan tuntutan kesehatan keluarga sebagai satu
kesatuan, memperhatikan masalah kesehatan yang dihadapi terhadap keluarga dan

14
memperhatikan pengaruh keluarga terhadap masalah kesehatan yang dihadapi oleh setiap
anggota keluarga.14
Terdapat 2 tujuan dokter keluarga yang dapat dibagi menjadi tujuan umum, yaitu
terwujudnya keadaan sehat bagi setiap anggota keluarga, dan tujuan khusus, yaitu terpenuhinya
kebutuhan keluarga akan pelayanan kedokteran yang lebih efektif dan efisien.13
Terdapat prinsip dalam dokter keluarga, yaitu:14
 Dokter sebagai kontak pertama (first contact/primary care): Dokter keluarga adalah
pemberi layanan kesehatan (provider) yang pertama kali ditemui pasien atau klien dalam
masalah kesehatannya.
 Layanan bersifat pribadi (personal care): Dokter keluarga memberikan layanan yang
bersifat pribadi dengan mempertimbangkan pasien sebagai bagian dari keluarga.
 Pelayanan paripurna (comprehensive): Dokter keluarga memberikan pelayanan menyeluruh
yang memadukan promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan rehabilitasi
dengan aspek fisik, psikologis dan sosial budaya (memberikan promotif dan pencegahan
terhadap penularan kasus TB, juga mengobati/memperbaiki keadaaan klinis pasien dan
mempertimbangkan kepatuhan pasien dalam meminum obat (OAT) karena pengobatan
OAT membutuhkan waktu yang lama, yaitu 6 bulan).
 Pelayanan berkesinambungan (continuous care): Pelayanan dokter keluarga berpusat pada
orangnya (patient centered) bukan pada penyakitnya (disease centered).
 Mengutamakan pencegahan (prevention first): Karena berangkat dari paradigma sehat,
maka upaya pencegahan dokter keluarga dilakukan sedini mungkin.
 Koordinasi: Dalam upaya mengenai masalah pasien, dokter keluarga perlu berkonsultasi
dengan disiplin ilmu lainnya.
 Kolaborasi: Bila pasien membutuhkan pelayanan yang berada diluar kompetensinya, dokter
keluarga bekerja sama dan mendelegasikan pengolaan pasiennya pada pihak yang
berkompeten.
 Family oriented: Dalam mengatasi masalah, dokter keluarga harus mempertimbangkan
konteks keluarga dampak kondisi pasien terhadap keluarga dan sebaliknya (menggali lebih
dalam tentang keluarga pasien, karena TB dapat menular dengan mudah. Dengan demikian,
anggota keluarga yang lain dapat terhindar dari TB. Selain itu, juga menggali lebih dalam
mengenai masalah kesehatan lainnya seperti status gizi atau penyakit lainnya).
 Community oriented: Dokter keluarga dalam mengatasi masalah pasien haruslah tetap
memperhatikan dampak pasien terhadap komunitas dan sebaliknya (memperhatikan
15
dampak penyakit pasien (TB), karena TB dapat menular dengan mudah, dengan demikian
anggota masyarakat lainnya dapat terhindar dari TB. Hal ini dapat dilakukan melalui usaha
promotif dan preventive, serta diagnosis dini jika ada warga yang terkena tanda-tanda TB).

Kesimpulan
Tuberkulosis paru (TBC) adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberkulosis. Penularan kuman dipindahkan melalui udara ketika seseorang
sedang batuk, bersin, yang kemudian terjadi droplet. Oleh karena TBC merupakan penyakit
menular, maka kita perlu melakukan pencegahan secara primer, sekunder, dan tersier melalui
pendekatan keluarga.

16
Referensi
1. Depkes RI. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Edisi ke-2. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2008.
2. Wayan I. Promosi penanggulangan tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2000.
3. Houghton AR, Gray D. Chamberlain’s: gejala dan tanda dalam kedokteran klinis. Jakarta:
EGC; 2012, h.103-7.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-5. Jilid 3. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 2196-9, 2230-48.
5. Kesmas. Diagnosis tbc anak: prosedur diagnosis penyakit tb paru pada anak. Jakarta:
Kesmas; 2014. Diunduh dari http://www.indonesian-publichealth.com/diagnosis-tbc-anak/,
13 Juli 2016.
6. Depkes RI, Komite Nasional Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Paru di Indonesia.
Prosedur tetap penanggulangan tb paru nasional secara terpadu. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI; 2006.
7. Maharani E. Tugas mata kuliah pengendalian penyakit menular dan non menular.
Semarang; Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro; 2014. Diunduh dari
https://www.academia.edu/9034701/TUGAS_MATA_KULIAH_PENGENDALIAN_PE
NYAKIT_MENULAR_DAN_NON_MENULAR, 14 Juli 2016.
8. Widoyono. Penyakit tropis, epidemiologi, penularan, pencegahan dan pemberantasan.
Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008. h.1-21.
9. Arias KM. Investigasi dan pengendalian wabah di fasilitas pelayanan kesehatan. Jakarta:
EGC; 2010. h.3-4.
10. Azwar A. Pengantar administrasi kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta: Binarupa Aksara; 2010.
h.91-118.
11. Aditama TY, Subuh M, Mustikawati DE, Surya A, Basri C, Kamso S. Pedoman nasional
pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI; 2011. h.1-4, 11-35.
12. Depkes RI. Pedoman penanggulangan tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan RI;
2002.
13. Soetono, Sadikin, Zanilda. Membangun praktek dokter keluarga mandiri. Jakarta: IDI;
2006. h.87-92.
14. Mansyur, Muchtarudin. Pendekatan kedokteran keluarga pada penatalaksanaan tb. Majalah
kedokteran Indonesia. Vol 57, no 2 tahun 2007.

17

Anda mungkin juga menyukai