Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

2.1.2 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2


Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal
sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui bahwa kegagalan
sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot,
liver dan sel beta, organ lain seperti:jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi
glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan
terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan
toleransi glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini
memberikan konsep tentang:
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan hanya untuk
menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada gangguan
multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat
progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada penyandang gangguan toleransi
glukosa.

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut
:
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta
sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,
meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic
glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang
menekan proses gluconeogenesis.
3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam
plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan
resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang
disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.
5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2
hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2
didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera
dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat
yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran
pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudiandiserap oleh
usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah
setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah
akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang
dalam keadaan puasa kadarnya di plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan
HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat
yang menghambat sekresi glukagon menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis,
DPP- 4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2. Ginjal
memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini
akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian
convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1
pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada
penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa
akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor.
Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik
yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat
adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-
1 agonis, amylin dan bromokriptin.
2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel 1.

2.1.4 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas
dasar adanya
glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan
ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa
darah puasa terganggu (GDPT).
• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara
100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam setelah
TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang
menunjukkan angka 5,7-6,4%.

2.1.5 Penyulit Diabetes Melitus

2.1.5.1 Penyulit Akut


A. Hipoglikemia Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah
< 70 mg/dl. Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan
atau tanpa adanya gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya whipple’s triad:
 Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
 Kadar glukosa darah yang rendah
 Gejala berkurang dengan pengobatan
Algoritme hipoglikemia

Penatalaksanaan hipoglikemia
B. Krisis Hiperglikemia
1. KETOASIDOSIS DIABETIK
KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan peningkatan konsentrasi
keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis merupakan akibat dari kekurangan atau
inefektifitas insulin yang terjadi bersamaan dengan peningkatan hormon kontraregulator
(glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut mengakibatkan
perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan meningkatkan lipolisisdan produksi benda
keton. Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal
(glukoneogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan perifer.
Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat nonkarbohidrat (alanin,
laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada ginjal) dan dari peningkatan aktivitas enzim
glukoneogenik (fosfoenol piruvat karboksilase/ PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat
karboksilase). Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis utama yang
bertanggung jawab terhadap
keadaan hiperglikemia pada pasien dengan KAD.
Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi menyebabkan diuresis
osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan penurunan glomerularfiltration rate.
Keadaan yang terakhir akan memperburuk hiperglikemia. Mekanisme yang mendasari
peningkatan produksi benda keton telah dipelajari selama ini. Kombinasi defisiensi insulin
dan peningkatan konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan aktivasi hormon lipase
yang sensitifpada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini akan memecah trigliserid menjadi
gliserol dan asam lemakbebas (free fatty acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol merupakan
substrat penting untuk glukoneogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran asam lemak bebas
yang berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari ketoasid.
Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang prosesnya
distimulasiterutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon menurunkan kadar
malonyl coenzyme A (CoA) dengan cara menghambat konversi piruvat menjadi acetyl Co A
melalui inhibisi acetyl Co A carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam
lemak bebas. Malonyl Co A menghambat camitine palmitoyl- transferase I (CPT I), enzim
untuk transesterifikasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl camitine, yang mengakibatkan
oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I diperlukan untuk perpindahan asam lemak
bebas ke mitokondria tempat dimana asam lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl
Co A dan CPT I pada KAD mengakibatkan peningkatan ketongenesis.
Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi, dan diperkirakan sebagai
pencetus lebih dari 50% kasus KAD.Pada infeksi akan terjadipeningkatan sekresi kortisol dan
glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang bermakna. Faktor lainnya
adalah cerebrovascular accident, alcohol abuse, pankreatitis, infark jantung, trauma,
pheochromocytoma, obat, DM tipe 1 yang barudiketahui dan diskontinuitas (kepatuhan) atau
terapi insulin inadekuat.
Infeksi yang diketahui paling sering mencetuskan KAD adalah infeksi saluran kemih
danpneumonia. Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat mempengaruhi oksigenasi dan
mencetuskan gagal napas, sehingga harus selalu diperhatikan sebagai keadaan yang serius dan
akan menurunkan kompensasi respiratorik dari asidosis metabolik. Infeksi lain dapat berupa
infeksi ringan seperti skin lesion atau infeksi tenggorokan. Obat-obatan
yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat seperti kortikosteroid, thiazid, pentamidine, dan
obat simpatomimetik (seperti dobutamin dan terbutalin), dapat mencetuskan KAD. Obat-obat
lain yang diketahuidapat mencetuskan KAD diantaranya beta bloker, obat antipsikotik, dan
fenitoin.
DIAGNOSIS KETOASIDOSIS DIABETIK
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan patensi jalan napas, status
mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat
menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga
penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.
Perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak dalam jangka waktu
pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala dapat tampak atau berkembang lebih
akut dan pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala atau tanda KAD sebelumnya.
Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia, penurunan berat
badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan akhirnya koma.
Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang menurun, respirasi Kussmaul, takikardia,
hipotensi, perubahan status mental, syok, dan koma.
Penatalaksanaan KAD
a. Cairan
Cairan yang digunakan adalah garam fisiologis berdasarkan perkiraan hilangnya
cairan pada KAD mencapai 100mL/kgBB, maka pada jam pertama diberikqn 1-2
liter, jam kedua diberikan 1 liter. Keuntungan rehidrasi pada KAD yaitu
memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormon kontraregulator insuln. Bila
kadar glukosa kurang dari 200 mg % maka diberikan larutan yang mengandung
glukosa
b. Insulin
Tujuan pemberian insulin bukan hanya untuk mencapai kadar glukosa normal,
tetapi juga untuk mengatasi ketonemia. Oleh karena itu bila kadar glukosa kurang
dari 20 mg % insulin diteruskan dan untuk mencegah hipoglikemia diberi cairan
mengandung glukosa sampai asupan kalori pulih.
C. Kalium
Pada keadaan KAD ion K bergerak keluar sel dan selanjutnya dikeluarkan melalui
urin. Total defisit K yang terjadi selama KAD diperkirakan mencapai 3-5
mEq/kgBB. Selama terapi KAD ion K kembali ke dalam sel dan untuk
mengantisipasi masuknya ion K ke dalam sel serta mempertahankan kadar K serum
dalam batas normal maka perlu pemberian kalium.
D. Glukosa
Setelah rehidrasi 2 jam pertama biasanya kadar glukosa darah akan turun.
Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan terjadi penurunan kadar glukosa
seitar 60mg%/jam. Bila kadar glukosa mencapai <200mg% maka dimulai infus
yang mengandung glukosa.
e. Bikarbonat
Pemberian bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat . Pemberian harus
hati-hati dengan alasan :
1. Menurunkan pH intraseluler akibat difusi C02 yang dilepas bikarbonat.
2. Efek negatif pada disosiasi oksigen jaringan
3. Hipertois kelebihan natrium
4. Meningkatkan insidens hipokalemia
5. Gangguan fungsi serebral
6. Terjadi alkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keto, saat ini bikarbonat
hanya diberikan pada pH < 7,1. Walaupun demikian komplikasi asidosis laktat
dan hiperkalemia yang mengancam tetap merupakan indikasi pemberian
bikarbonat.

B.2 HYPEROSMOLAR HYPERGLYCEMIC STATE


Hyperosmolar hyperglycemic state (HHS) adalah nomenklatur yang
direkomendasikan American Diabetes Association (ADA) untuk menekankan bahwa terdapat
perubahan tingkat kesadaran. Diagnostik HHS meliputi :
1. Glukosa plasma 600 mg/dl atau lebih
2. Osmolalitas srum 320 mOsm/ kg atau lebih
3. Dehidrasi berat (biasanya 8-12 L) dengan peningkatan BUN
4. Ketonuria minimal, tidak ada ketonemia
5. Bikarbonat > 15 mEq/L
6. Perubahan dalam kesadaran
Patofisiologi
HH NK dimulai dengan adanya diuresis glukosurik. Glukosuria menyebabkan
kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin. Keadaan ini
semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan nomra injal berfungsi
mengeliminas glukosa diatas ambang batas tertentu. Namun demikian, penuruna
volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan
menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan kadar glukosa meningkat.
Hilangnya air lebih banyak dibanding natrium menyebabkan keaadan hiperosmolar.
Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan kadar gukosa darah. Terlebih jika
terdapat resistensi insulin.
Pasien HHNK tidak mengalami ketoasidosis, namun tidak diketahui dengan
jelas alasannya. Faktor yang diduga ikut berpengaruh antara lain adalah
keterbatasan ketogenesis karena keadaan hiperosmolar, kadar adam lemak beba
yang rendah unuk ketogenesis, ketersediaan insulin yang cukup untuk menghambat
ketogenesis namun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia dan resistensi hati
terhadap glukagon.
Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan timbunya hiperglikemia.
Penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan perofer termasuk oleh sel otot dan
lemak, ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai glikogen pada otot dan hati,
dan stimulasi glukagon pada sel hati untuk glukoneogenesis mengakibatkan
semakin naiknya kadar glukosa darah. Pada keadaan dimana insulin tidak
mencukupi, maka besarnya kenaikan kadar glukosa darah juga tergantung dari
status hidrasi dan masukan karbohidrat oral.
Adanya hipeglikemia mengakibatkan timbulnya diuresis osmotik dan
mengakibatkan menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang cvaskular, dimana
glukoneogenesis dan masukan makanan terus menambah glukosa, kehilangan
cairan akan semakin mengakibatkan hiperglikemia dan peningkatan konsentrasi
protein plasma yang mengikuti hilangnya cairan intravaskuler menyebabkan
keadaan hiperosmolar. Adanya keadaan hiperosmolar akan memicu sekresi horman
anti diuretik dan timbul rasa haus. Apabila keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar
yang menyebabkan kehilangan cairan ini tidak dikompensasi, yaitu dengan
masukan cairan orl, maka akan timbul dehidrasi kemudian hipovolemia.
Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebakan
gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan suau stadium terakhir
dari proses hiperglimik ini, dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam
kaitannya dengan hipotensi.
Diagnosis
Karakteristik pasien HHNK umumnya berusia lanjut, belum diketahui mempunyai DM
dan pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan atau obat hipoglikemik oral. Sering
dijumpai kasus dengan penggunaan obat yang semakin memperparah masalah, misalnya
diuretik. Keluhan pasien HHNK ialah : rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang.
Dapat pula ditemukan keluhan mual muntah namun lebih jarang dibandingkan KAD. Kadang
asien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kajang atau
koma.
Pada pemeriksaa fisik ditemukan tanda-tanda dehidrsi berat seperti turgor yang
memburuk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstermitas yang dingin dan
denyut nadi yang cepat dan lemah. Perubahan pada status mental dapat berkisar dari
disorientasi sampai koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara
langsung dengan osmolaritas efekif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mecapai 350
mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang ditemukan pada 25 % pasien, dapat berupa kejang
umum, lokal, maupun mioklonik. Dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat reversibel
dengan koreksi defisit cairan.
Secara klinis HHNK sulit dibedakan dengan KAD terutama bila hasil labortorium
seperti kadar glukosa darah, keton dan analisis gas darah belum ada hasilnya.
Penatalaksanaan

Penatalaksaan HHS serupa dengan KAD, hanya cairan yang diberikan adalah
cairan hipotonis (1/2N, 2A) secara umum, pemantaua pasien HHS memerlukan pemantauan
yang cermat dan ketat.
a. Cairan
Terapi cairan untuk memperluas volume intravasukular dan memperbaiki
perfusi ginjal dan jaringan. Kekurangan cairan pada pasien dapat dihitung dan diberikan terapi
pengganti cairan. Kehilangan cairan umumnya sekitar 20-25% dari total cairan tubuh atau
sekitar 12-15% BB. Kehilangan cairan yang terjadi sekitar 8-12 L atau dalam rata-rata sekitar
9L. Untuk memudahkan kehilangan cairan yang terjadi sekitar 150mL/kgBB. Tujuan utama
terapi pengganti cairan dalam 12 jam pertama adalah dapat mengganti satu setengah kali total
kehilangan cairan.
Penggunaan cairan isotonik akan dapat menyebabkan overload cairan dan cairan
hipotonik mungkin dapa mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan
kematian dan lisis mielin difUs. Sehingga pada awalnya diberikan 1L normal saline perjam.
Jika pasien mengalami syok hipovolemik, mungkin dibutuhan plasma expanders. Jika pasien
dlaam syok kardiogenik, maka diperlukan monitor hemodinamik.
Pada awal terapi kadar glukosa darah akan menurun, bahkan sebelum insulin diberikan
dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika
kadar glukosa darah tidak bisa diturunkan 75-00 mg per jam, hal ini biasanya menunjukkan
pengganti cairan yang kurang atau gangguan ginjal
Elektrolit
Jika kadar kalium awal < 3,3 mEq per L (3,3 mmol per L), pemberian insulin ditunda
dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1.3 kalium fosfat sampai tercapai kadar kalium
setidaknya 3,3 mEq per L). Jika kadar kalium lebih besar dari 5 mEq per L (5,0 mmol per
L),kadar kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq per L, namun sebaiknya kadar
kalium ini dimonitor tiap 2 jam. Jika kadar kalium diantara 3,3 – 5,0 mEq per L, maka 20-30
mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium
klorida dan 1.3 kalium fosfat). Untuk mempertahankan kadar kalium antara 4,0 mEq per L(4,0
mmol per L) dan 5,0 mEq per L
Insulin
Dalam penatalaksanaan HHS, insulin bukan merupakan prioitas terapi. Insulin akan
menyebabkan glukosa masuk kedalam intrasel, sehingga cairan akan berpindah juga e intrasel.
Hal ini berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskulaer atau kematian.
Pemberian insulin dosis rendah, diberikan apabila kondisi hemodinamik pasien dan perfusi
ginjal pasien sudah baik dan stabil.
Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secra intravena dan diikuti
drip 0,1U/kgBB per jam sampai kadar glukosa darah turun antara 250 mg per dl (13,9 mmol
per l) sampai 300 mg per dl. Jika kadar glukosa darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosis
dapat ditingkatkan. Ketika kadar glukosa darah mencapai 300 mg/dl sebaiknya diberikan
dekstrosa secara intravena dan dosis insulin ditritasi secara sliding scale sampai pulihnya
keasadaran dan keadaan hiperosmolar.
Komplikasi
Komplikasi terapi yang tidak adekuat meliputi oklusi vaskuler, infark miokard, low-
flow syndrome, Desseminated intravascular coagulopathy dan rabdomiolisis. Overhidrasi dapat
menyebabkan adult respiratory distress syndrome dan edema serebri. Edema serebri
ditatalaksana dengan infus manitol dengan dosis 1-2 g/kgBB selama 30 menit dan pemberian
deksametason intravena

2.1.5.2 Penyulit menahun


1. Makroangiopati
a. Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
b. Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada
penyandang DM. Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah nyeri
pada saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat (claudicatio intermittent),
namun sering juga tanpa disertai gejala. Ulkus iskemik pada kaki
merupakankelainan yang dapat ditemukan pada penderita.
c. Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik.
2. Mikroangiopati
a. Retinopati diabetik
b. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko atau
memperlambat progresi retinopati. Terapi aspirin tidak mencegahtimbulnya
retinopati.
c. Nefropati diabetik
 Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko atau
memperlambat progres nefropati .
 Untuk penderita penyakit ginjal diabetik, menurunkan asupan protein sampai
di bawah 0.8gram/kgBB/hari tidak direkomendasikan karena tidak
memperbaiki risiko kardiovaskuler dan menurunkan GFR ginjal.
d. Neuropati
 Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan faktor penting
yang berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki yang meningkatkan risiko
amputasi.
 Gejala yang sering dirasakan berupa kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri,
dan terasa lebih sakit di malam hari.
 Setelah diagnosis DMT2 ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan
skrinning untuk mendeteksi adanya polineuropati distal yang simetris dengan
melakukan pemeriksaan neurologi sederhana (menggunakan monofilamen
10 gram). Pemeriksaan ini kemudian diulang .paling sedikit setiap tahun.
 Pada keadaan polineuropati distal perlu dilakukan perawatan kaki yang
memadai untuk menurunkan risiko terjadinya ulkus dan amputasi.
 Pemberian terapi antidepresan trisiklik, gabapentin atau pregabalin dapat
mengurangi rasa sakit.
 Semua penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.
 Untuk pelaksanaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama dengan
bidang/disiplin ilmu lain.
2.2 lnfeksi Saluran Kemih (ISK)

ISK adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme (MO) dalam
urin. Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria)'. Bakteriuria bermakna menunjukkan
pertumbuhan mikroorganisme (MO) mumi lebih daril 10s colony forming units (cfu/m7) pada
biakan urin. Bakteriuria bermaknatanpa disertai presentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria
asimtomatik (covert bacteriuria). Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai presentasi klinis
ISKdinamakan bakteriuria bermakna simtomatik. Pada beberapa keadaan pasien dengan
presentasi klinis ISK tanpa bakteriuria bermakna. Banyak faktor yang menyebabkan negatif
palsu pada pasien dengan presentasi klinis ISK.

2.2.1 lnfeksi Saluran Kemih (lSK) Bawah


Presentasi klinis ISK bawah tergantung dari gender:
1. Perempuan
- Sistitis. Sistitis adalah presentasi klinis infeksi kandung kemih disertai bakteriuria bermakna
- Sindrom uretra akut (SUA). Sindrom uretra akut adalah presentasi klinis sistitis tanpa
ditemukan mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis bakterialis. Penelitian terkini
SUA disebabkan MO anaerobik.
2. Laki-laki
Presentasi klinis ISK bawah pada laki-laki mungkin sistitis, prostatitis, epidimidis dan uretritis.

2.2.2 lnfeksi Saluran Kemih (lSK) Atas


1. Pielonefritis akut (PNA). Pielonefritis akut adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang

disebabkan infeksi bakteri.

2. Pielonefritis kronis (PNK). Pielonefritis kronis mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri

berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih dan refluks vesikoureter
dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal

yang ditandai pielonefritis kronik yang spesifik. Bakteriuria asimtomatik kronik pada orang

dewasa tanpa faktor predisposisi tidak pernah menyebabkan pembentukan jaringan ikat

parenkim ginjal.Data epidemiologi klinik tidak pernah melaporkan hubungan antara

bakteriuria asimptomatik dengan pielonefritis kronik.

2.2.3 EPIDEMIOLOGI

Infeksi saluran kemih (tSK) tergantung banyak faktor; seperti usia, gender, prevalensi
bakteriuria, dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih
termasuk ginjal. Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun perempuan
cenderung menderita ISK dibandingkanlaki-laki. ISK berulang pada laki-laki jarang
dilaporkan, kecuali disertai faktor predisposisi (pencetus). Prevalensi bakteriuri asimtomatik
lebih sering ditemukan pada perempuan. Prevalensi selama periode sekolah 1% meningkat
menjadi 5% selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat
mencapai 30 %, baik laki-laki maupun perempuan bila disertai faktor predisposisi seperti
terlihat pada Tabel 2.

2.2.4 MIKROORGANISME SALURAN KEMIH

Pola mikroorganisme (MO) bakteriuria seperti terlihat pada Tabel 3. Pada umumnya
ISK disebabkan mikro-organisme (MO) tunggal:
1. Escherichio coli merupakan MO yang paling sering diisolasi dari pasien dengan infeksi
simtomatik maupun asimtomatik
2. Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (33% ISK anak laki-
laki berusia 5 tahun), Klebsiella spp, dan Stafilokokus dengan koagulase negatif
3. Infeksi yang disebabkan Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokus jarang
dijumpai, kecuali pasca kateterisasi.

2.2.5 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI ISK

2.2.5.1 Patogenesis Urinary Pathogens


Patogenesis bakteriuri asimtomatik menjadi bakteriuri simtomatik dengan presentasi klinis ISK
tergantung dari patogenitas bakteri dan status pasien sendiri (host).
1. Peranan Patogenisitas Bakteri. Sejumlah flora saluran cerna termasuk Escherichia coli
diduga terkait dengan etiologi ISK. Penelitian melaporkan lebih dari 170 serotipe 0 (antigen)
E.coli yang patogen. Patogenisitas E. Coli terkait dengan bagian permukaan sel polisakarida
dari lipopolisakarin (LPS) seperli terlihat pada Gambar 2.

Hanya IG serotipe dari 170 serotipe E.coli yang berhasil diisolasi rutin dari pasien ISK klinis,
diduga strain E.coli ini mempunyai patogenisitas khusus. Penelitian intensif berhasil
menentukan faktor virulensi E coli dikenal sebagai virulence deterimnalis, seperti terlihat pada
Tabel 4.
Bakteri patogen dari urin (urinary pathogens) dapat menyebabkan presentasi klinis ISK
tergantung juga dari faktor lainnya seperti perlengketan mukosa oleh bakteri,faktor virulensi,
dan variasi fase faktor virulensi.

Peranan Bakterial attachment of mucosa. Penelitian membuktikan bahwa (fimbriae


proteinaceous hair-like projection from the bacterial surface) seperli terlihat pada Gambar 2,
merupakan salah satu pelengkap patogenesitas yang mempunyai kemampuan untuk melekat
pada permukaan mukosa saluran kemih. Pada umumnya Pfimbriae akan terikat pada P blood
group antigen yang terdapat pada sel epitel saluran kemih atas dan bawah. Fimbriae dari strain
E. coli ini dapat diisolasi hanya dari urin segar.
Peranan faktor virulensi lainnya. Kemampuan untuk melekat (adhesion) mikroorganisme
(MO) atau bakteri tergantung dari organ pili atau fimbriae maupun non-fimbriae. Pada saat ini
dikenal beberapa ttdhesiort sepertifimbriae (tipe 1. P dan S) non fembrial adhesions
(DR haemaglutinin atau DFA component of DR blood group), fimbrial adhesions (AFA-1 dan
AFA-III), M-adhesions, G-adhesions dan curli adhesions (2).
Faktor virulensi variasi fase. Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami
perubahan bergantung pada dari respon faktor luar. Konsep variasi fase MO ini menunjukkan
peranan beberapa penentu. Virulensi bervariasi di antara individu dan lokasi saluran kemih.
Oleh karena itu, ketahanan hidup bakteri berbedadalamkandung kemih dan ginjal.

2. Peranan Faktor Tuan Rumah (host)


Faktor Predisposisi Pencetus ISK. Penelitian epidemiologi klinik mendukung hipotesis peranan
status saluran kemih merupakan faktor risiko atau pencelus ISK. Jadi faktor bakteri dan status
saluran kemih pasien mempunyai peranan penting untuk kolonisasi bakteri pada saluran kemih.
Kolonisasi bakteria sering mengalami kambuh (eksaserbasi) bila sudah terdapat kelainan
struktur anatomi saluran kernih. Dilatasi saluran kemih tennasuk pelvis ginjal tanpa obstmksi
saluran kemih dapat menyebabkan gangguan proses klirens normal dan sangat peka terhadap
inf'eksi.
Gambar 3 memperlihatkan dilatasi ureter dan kalises peivis ginjal pada perempuan hamil.

Zat makanan dari bakteri akan meningkat dari normal, diikuti refluks MO dari kandung kemih
ke ginjal. Endotoksin (lipid A) dapat menghambat peristaltik ureter. Refluks vesikoureter ini
sitatnya sementara dan hilang sendiri bila mendapat terapi antibiotika.
Proses pembentukan jaringan parenkim ginjal sangat berat bila refluks vesikoureter terjadi
sejak anak-anak. Pada usia dewasa muda tidak jarang dijumpai di klinik gagal ginjal terminal
(GGT) tipe kering, artinya tanpa edema dengan/tanpa hipertensi.

Status imunologi pasien (host)


Penelitian laboratorium mengungkapkan bahwa golongan darah dan status sekretor
mempunyai kontribusi untuk kepekaan terhadap ISK. Pada Tabel 5 dapat dilihat beberapa
faktor yang dapat meningkatkan hubungan emtara berbagai ISK (ISK rekuren) dan status
sekretor (sekresi antigen darah yang larut dalam air dan beberapa kelas imunoglobulin) sudah
lama diketahui. Prevalensi ISK juga meningkat terkait dengan golongan darah AB, B dan PI
(antigen terhadap tipe fimbdae bakteri) dan dengan fenotipe golongan darah Lewis.

Kepekaan terhadap ISK rekuren dari kelompok pasien dengan saluran kemih normal (ISK tipe
sederhana) lebih besar pada kelompok antigen darah non-sekretorik dibandingkan kelompok
sekretorik. Penelitan lain melaporkan sekresi IgA urin meningkat dan diduga mempunyai
peranan penting untuk kepekaan terhadap ISK rekuren.

2.2.5.2 PATOFISIOLOGI ISK


Pada individu normal, biasanya laki-laki maupun perempuan urin selalu steril karena
dipertahankan jumlah dan frekuensi kencing. Uretro listal merupakan tempat kolonisasi
mikroorganisme nonpathogenic fastidious Gram-positive dan grarn negatif. Hampir semua
ISK disebabkan invasi mikroorganisme asending dari uretra ke dalam kandung kemih. Pada
beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat mencapai ginjal. Proses ini dipermudah
refluks vesikoureter.
Proses invasi mikroorganisme hematogen sangat jarang ditemukan di klinik, mungkin
akibat lanjut dari bakteriemia. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut
septikemi atau endokarditis akibat Stafilokokus aureus. Kelainan ginjal yang terkait dengan
endokarditis (Stafilokokus aureus) dikenal Nephritis Lohlein. Beberapa peneliti melaporkan
pielonefritis akut (PNA) sebagai akibat lanjut invasi hematogen dari infeksi sistemik gram
negatif.

2.2.6 PRESENTASI KLINIS ISK


Setiap pasien dengan ISK pada laki dan ISK rekuren pada perempuan harus dilakukan
investigasi faktor predisposisi atau pencetus (Tabel 2).
Presentasi klinis ISK atas dan bawah pada pasiendewasa seperti terungkap pada Gambar 4.
Pielonefritis akut (PNA). Presentasi klinis PNA seperti panas tinggi (39.5-40.5oC), disertai
menggigil dan sakit pinggang. Presentasi klinis PNA ini sering didahului gejala ISK bawah
(sistitis).

ISK bawah (sistitis). Presentasi klinis sistitis seperti sakit suprapubik, polakisuria, nokturia,
disuria, dan stranguria.
Sindrom uretra akut (SUA). Presentasi klinis SUA sulit dibedakan dengan sistitis. SUA
sering ditemukan pada perempuan usia antara 20-50 tahun.
Presentasi klinis SUA sarlgat niskin (hanya disuri dan sering kencing) disertai cfu/ml urin
<105; sering disebut sistitis abakterialis. Sindrom uretra akut (SUA) dibagi 3 kelompok
pasien, yaitu:
a). Kelompok pertama pasien dengan piuria, biakan urin dapat diisolasi E.coli dengan cfu/ml
urin 103-105. Sumber int'eksi berasal dari kelenjar peri-uretral atau uretra sendiri. Kelompok
pasien inimemberikan respon baik terhadap antibiotik standar seperti ampisilin.
b). Kelompok kedua pasien lekosituri 10-50/lapang pandang tinggi dan kultur urin steril.
Kultur (biakan) khusus ditemukan Chlamydia trachomatis atau bakteri anaerobik.
c). Kelompok ketiga pasien tanpa piuri dan biakan urin steril.

ISK rekuren. Infeksi saluran kemih (ISK) rekuren terdiri 2 kelompok, yaitu:
a). Re-infeksi (re-infectons). Pada umumnya episode infeksi dengan interval >6 minggu
dengan mikroorganisme (MO) yang berlainan.
b). Relapsing infection Setiap kali infeksi disebabkan mikroorganisme yang sama. disebabkan
sumber infeksi tidak mendapat terapi yang adekuat.

2.2.7 KOMPLIKASI ISK


Komplikasi ISK tergantung dari tipe yaitu ISK tipe sederhana (uncomplicated) dan tipe
berkomplikasi (complicated).
l. ISK sederhana (uncomplicated). ISK akut tipe sederhana (sistitis) yaitu non-obstruksi dan
bukan perempuan hamil merupakan penyakit ringan (self limited disease ) dan tidak
menvebabkan akibat lanjut jangka lama
2. ISK tipe berkomplikasi (complicated).
 ISK selama kehamilan. ISK selama kehamilan dari umur kehamilan; seperti terlihat
Tabel 7.
 ISK pada diabetes melitus. Penelitian epidemiologi klinik melaporkan bakteriuria dan
ISK lebih sering ditemukan pada DM dibandingkan perempuan tanpa DM.

Basiluria asimtomatik (BAS) merupakan risiko untuk pielonefritis diikuti penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG). Komplikasi emphysematous cystitis, pielonefritis yang terkait
spesies kandida dan infeksi Gram-negatif lainnya dapat dijumpai pada DM.
Pielonefritis emfisematosa di sebabkan MO pembentuk gas seperti E. coli, Candida spp dan
Klostridium tidak jarang dijumpai pada DM. Pembentukan gas sangat intensif pada parenkim
ginjal dan jaringan nekrosis disertai hematom yang luas. Pielonefritis emfisematosa sering
disertai syok septik dan nefropati akut vasomotor (AVH). Abses perinefrik merupakan
komplikasi ISK pada pasien dengan DM (47% ), nefrolitiasis (41%) dan obstruksi ureter (20%).

2.2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSIS ISK


Analisa urin rutin, pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa putar, kultur urin, serta jumlah
kuman/ml urin merupakan protokol standar untuk pendekatan diagnosis ISK. Pengambilan dan
koleksi urin, suhu, dan teknik transportasi sampel urin harus sesuai dengan protokol yang
dianjurkan.
Investigasi lanjutan terutama renal imaging procedures Tidak boleh rutin, harus
berdasarkan indikasi klinis yang kuat (Tabel 8). Renal imaging procedures untuk investigasi
faktor predisposisi ISK:
. Ultrasonogram (USG)
. Radiografi
- Foto polos perut
- Pielografi IV
- Micturatingcystogram
. Isotop scanning

2.2.9 MANAJEMEN ISK


2.2.9.1 lnfeksi Saluran Kemih (lSK) Bawah
Prinsip manajemen ISK bawah meliputi intake cairan yang
banyak, antibiotika yang adekuat, dan kalau perlu terapi simtomatik untuk alkalinisasi urin :
 Hampir 80% pasien akan memberikan respon setelah 48 jam dengan antibiotika
tunggal; seperti ampisilin 3 gram, trimetoprim 200mg
 Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisis (lekosuria) diperlukan terapi
konvensional selama 5- 10 hari
 .Pemeriksaan mikroskopik urin dan biakan urin tidak diperlukan bila semua gejala
hilang dan tanpa lekosiuria.
Reinfeksi berulang (frequent re-infection)
 Disertai faktor predisposisi. Terapi antimikroba yang intensif diikuti koreksi faktor
risiko
 Tanpa faktor predisposisi
- Asupan cairan banyak
- Cuci setelah melakukan senggama diikuti terapi antimikroba takaran tunggal
(misal trimetoprim 200mg)
 Terapi antimikroba jangka lama sampai 6 bulan.
Sindrom uretra akut (SUA). Pasien dengan sindrom uretra akut dengan hitung kuman 103-
105 memerlukan antibiotika yang adekuat. Infeksi klamidia memberikan hasil yang baik
dengan tetrasiklin. Infeksi disebabkan MO anaerobik diperlukan antimikroba yang serasi,
misal golongan kuinolon.

2.2.9.2 lnfeksi Saluran Kemih (ISK) Atas


Pielonefrits akut. Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut memerlukan rawat
inap untuk memelihara status hidrasi dan terapi antibiotika parenteral paling sedikit 48 jam.
Indikasi rawat inap pielonefritis akut seperti
terungkap pada Tabel 9.
The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga altematif
terapi antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum diketahui MO sebagai
penyebabnya:
 Fluorokuinolon
 Amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin
 Sefalosporin dengan spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida.
2.2.10 PENCEGAHAN
Data epidemologi klinik mengungkapkan uji saring bakteriuria asimtomatik bersifat selektif
dengan tujuan utama untuk mencegah menjadi bakteriuria disertai presentasi klinik ISK. Uji
saring bakteriuria asimtomatik harus rutin dengan jadual tertentu untuk kelompok pasien
perempuan hamil, pasien DM terutama perempuan, dan pasca transplantasi ginjal perempuan
dan laki-laki, dan kateterisasi laki-laki dan perempuan.

2.2.10.1 Bakteriuria Asimtomatik pada Kehamilan


Penelitian epidemiologi klinik melaporkan prevalensi bakteriuria asimtomatik pada kehamilan
bervariasi antara 2-l0%; dan tergantung dari status sosio-ekonomi. Bila mikroorganisme lain
seperti Ureaplasma urealyticum dan Gardnella vaginalis berhasil diisolasi, prevalensi
bakteriuria asimtomatik meningkat lebih dari 25% Tetapi peranan kedua MO tersebut masih
belum jelas. Pada kelompok perempuan tidak hamil ditemukan basiluria asimtomatik dua kali
berturut-turut MO yang sama mempunyai sensitivitas 95% dan spesivitas 95% untuk
cenderung mengalami episode presentasi klinik ISK. Pada
Kelompok perempuan ini tidak diperlukan terapi antimikoba, cukup irigasi MO dengan asupan
cairan yang banyak. Setiap perempuan hamil dengan basiluri asimtomatik harus mendapat
terapi antimikroba untuk mencegah presentasi klinis pielonefritis dan komplikasi
kehamilannya; seperti terungkap pada Tabel 7. Pada Tabel l0 diperlihatkan insidens ISK
selama kehamilan.

2.2.10.2 Bakteriuria Asimtomatik pada Diabetes Melitus


Prevalensi bakteriuri asimtomatik pada perempuan disertai diabetes melitus lebih
banyak dibandingkan dengan perempuan tanpa diabetes melitus. Patogenesis kepekaan
terhadap ISK diantara pasien diabetes melitus tidak diketahui pasti. Penelitian epidemiologi
klinik gagalmencari hubungan antara prevalensi bakteriuria asimtomatik dengan kualitas
pengendalian hiperglikemia (dengan parameter gula darah puasa dan HbAIC dan faal
ginjal. Peneliti lain Balasoiu D menemukan hubungan faktor risiko gangguan faal kandung
kemih (Bladder dysfunction) dengan peningkatan kepekaan terhadap ISK pada diabetes
melitus. Disfungsi kandung kemih ini didugaakibat disfungsi saraf autonom dan gangguan
fungsi leukosit PMN (opsonisasi, kemotaksis dan fagositosis). Perubahan susunan kimiawi dan
konsentrasi protein Tamm-Horsfaal diduga mempengaruhi perubahan bacterial adhesion
terhadap sel epitel yang dapat mencetuskan infeksi saluran kemih (ISK). Menurut beberapa
peneliti basiluri asimtomatik pada diabetes melitus merupakan faktor predisposisi pielonefritis
akut disertai mikrosis papiler dan insufisiensi renal. Basiluria asimtomatik dengan
mikroorganisme pembentukan; seperti E.coli, Candida spp dan klostridium dapat
menyebabkan pielonefritis emfisematosa disertai syok septik dan vasomotor akut nefropati.
Beberapa peneliti lebih cenderung memberikan terapi antimikroba pada basiluria
asimtomatik pada pasien dengan diabetes melitus.

2.2.10.4 Resipien Transplantasi Ginjal


Prevalensi bakteriuria asimtomatik cukup tinggi mencapai 35-79% diantara resipien
pada 3-4 bulan pertama pasca transplantasi ginjal; diduga terkait dengan indwelling catheter
sebagai faktor risiko. Bakteriuria asimtomatik pada resipien ini merupakan risiko pielonefritis
akut (graft infection), septikemia diikuti penurunan laju filtrasi glomerulus. Bakteriuria
simtomatik dengan presentasi klinis yang muncul 6 bulan perlama (late infection) pasca
transplantasi ginjal dengan presentasi klinik ringan.
Parameter hitung kuman/ml urin para resipien pasca transplantasi ginjal modifikasi
karena diuresis pasca cold ischemic time. Menurut beberapa peneliti, kriteria bakteriuria
asimtomatik dengan hitung kuman/ml urin.
Terapi antimikroba untuk bakteriuria asimtomatik pada resipien transplantasi ginjal
masih silang pendapat. Sebagian besar peneliti menganjurkan kemoterapi untuk resipien
pasca transplantasi ginjal dengan bakteriuria asimtomatik disertai piuri.

2.2.10.5 ISK Berhubungan dengan Kateter


Pemasangan kateter jangka lama senng dilakukan pasien usia lanjut. Data penelitian
melaporkan prevalensi infeksi nosokomial mencapai 40% diduga terkait pemasangan kateter
urin. Bakteriuri asimtomatik dilaporkan 26% drantara kelompok pasier, indwelling catheter
mulai dari hari-2- 10.
Hampir 1/4 kelompok pasien tersebut diikuti presentasi klinik ISK. Bakteriemia dengan
prevalensi 3,6% diduga terkait dari sumber saluran kemih. Peneliti Tambyah dan Maki
menemukan catheter-associated UTI sebagian besar asimtomatik.
Bakteria patogen yang terkait dengan bakteriuri dengan kateterisasi; seperti E. coli,
Enterococcus, Klebsiella, Pseudomonas, Proteus, Enterobacter, dan Candida. Pada
umumnya bakteriuri terkait kateter bersifat polimikroba.
Sebagian, besar peneliti tidak menganjurkan antibiotika sebagai pencegahan infeksi
saluran kemih terkait kateter. Negara maju seperti USA menganjurkan penggunaan kateter urin
berselaput campuran perak atau kateter oksida perak untuk mencegah infeksi saluran kemih
terkait kateter.

REFERENSI
Balasoiu D, Van Kissel KC, Van Kats-Renaud HJ, Collet TJ, Hoepelman AI.
Granulocyte function in woman with diabetes and asymptomatic bacteriuria. Diabetic Care.
1997 ;20:.392-5
Bass PF, Jarvis JAW and Mitchell CK. Urinary tract infections. PrimaLry care: clinics
in office practice. Volume 30 WB Saunders; 2005
Batalla MA, Ballodimus MC, Bradley RF. Bacteriuria in diabetes
mellitus. Diabetologic. 191 l;7 : 297 -9
Evans DA, Hennekens CH, Miao L et a1. Bacteriuria and subsequent mortality ln
woman Lancet. 198211:156-8

Anda mungkin juga menyukai