TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut
:
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta
sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,
meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic
glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang
menekan proses gluconeogenesis.
3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam
plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan
resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang
disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.
5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2
hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2
didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera
dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat
yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran
pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudiandiserap oleh
usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah
setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah
akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang
dalam keadaan puasa kadarnya di plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan
HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat
yang menghambat sekresi glukagon menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis,
DPP- 4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2. Ginjal
memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini
akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian
convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1
pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada
penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa
akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor.
Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik
yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat
adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-
1 agonis, amylin dan bromokriptin.
2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel 1.
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas
dasar adanya
glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan
ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa
darah puasa terganggu (GDPT).
• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara
100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam setelah
TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang
menunjukkan angka 5,7-6,4%.
Penatalaksanaan hipoglikemia
B. Krisis Hiperglikemia
1. KETOASIDOSIS DIABETIK
KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan peningkatan konsentrasi
keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis merupakan akibat dari kekurangan atau
inefektifitas insulin yang terjadi bersamaan dengan peningkatan hormon kontraregulator
(glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut mengakibatkan
perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan meningkatkan lipolisisdan produksi benda
keton. Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal
(glukoneogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan perifer.
Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat nonkarbohidrat (alanin,
laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada ginjal) dan dari peningkatan aktivitas enzim
glukoneogenik (fosfoenol piruvat karboksilase/ PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat
karboksilase). Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis utama yang
bertanggung jawab terhadap
keadaan hiperglikemia pada pasien dengan KAD.
Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi menyebabkan diuresis
osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan penurunan glomerularfiltration rate.
Keadaan yang terakhir akan memperburuk hiperglikemia. Mekanisme yang mendasari
peningkatan produksi benda keton telah dipelajari selama ini. Kombinasi defisiensi insulin
dan peningkatan konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan aktivasi hormon lipase
yang sensitifpada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini akan memecah trigliserid menjadi
gliserol dan asam lemakbebas (free fatty acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol merupakan
substrat penting untuk glukoneogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran asam lemak bebas
yang berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari ketoasid.
Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang prosesnya
distimulasiterutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon menurunkan kadar
malonyl coenzyme A (CoA) dengan cara menghambat konversi piruvat menjadi acetyl Co A
melalui inhibisi acetyl Co A carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam
lemak bebas. Malonyl Co A menghambat camitine palmitoyl- transferase I (CPT I), enzim
untuk transesterifikasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl camitine, yang mengakibatkan
oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I diperlukan untuk perpindahan asam lemak
bebas ke mitokondria tempat dimana asam lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl
Co A dan CPT I pada KAD mengakibatkan peningkatan ketongenesis.
Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi, dan diperkirakan sebagai
pencetus lebih dari 50% kasus KAD.Pada infeksi akan terjadipeningkatan sekresi kortisol dan
glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang bermakna. Faktor lainnya
adalah cerebrovascular accident, alcohol abuse, pankreatitis, infark jantung, trauma,
pheochromocytoma, obat, DM tipe 1 yang barudiketahui dan diskontinuitas (kepatuhan) atau
terapi insulin inadekuat.
Infeksi yang diketahui paling sering mencetuskan KAD adalah infeksi saluran kemih
danpneumonia. Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat mempengaruhi oksigenasi dan
mencetuskan gagal napas, sehingga harus selalu diperhatikan sebagai keadaan yang serius dan
akan menurunkan kompensasi respiratorik dari asidosis metabolik. Infeksi lain dapat berupa
infeksi ringan seperti skin lesion atau infeksi tenggorokan. Obat-obatan
yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat seperti kortikosteroid, thiazid, pentamidine, dan
obat simpatomimetik (seperti dobutamin dan terbutalin), dapat mencetuskan KAD. Obat-obat
lain yang diketahuidapat mencetuskan KAD diantaranya beta bloker, obat antipsikotik, dan
fenitoin.
DIAGNOSIS KETOASIDOSIS DIABETIK
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan patensi jalan napas, status
mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat
menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga
penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.
Perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak dalam jangka waktu
pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala dapat tampak atau berkembang lebih
akut dan pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala atau tanda KAD sebelumnya.
Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia, penurunan berat
badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan akhirnya koma.
Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang menurun, respirasi Kussmaul, takikardia,
hipotensi, perubahan status mental, syok, dan koma.
Penatalaksanaan KAD
a. Cairan
Cairan yang digunakan adalah garam fisiologis berdasarkan perkiraan hilangnya
cairan pada KAD mencapai 100mL/kgBB, maka pada jam pertama diberikqn 1-2
liter, jam kedua diberikan 1 liter. Keuntungan rehidrasi pada KAD yaitu
memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormon kontraregulator insuln. Bila
kadar glukosa kurang dari 200 mg % maka diberikan larutan yang mengandung
glukosa
b. Insulin
Tujuan pemberian insulin bukan hanya untuk mencapai kadar glukosa normal,
tetapi juga untuk mengatasi ketonemia. Oleh karena itu bila kadar glukosa kurang
dari 20 mg % insulin diteruskan dan untuk mencegah hipoglikemia diberi cairan
mengandung glukosa sampai asupan kalori pulih.
C. Kalium
Pada keadaan KAD ion K bergerak keluar sel dan selanjutnya dikeluarkan melalui
urin. Total defisit K yang terjadi selama KAD diperkirakan mencapai 3-5
mEq/kgBB. Selama terapi KAD ion K kembali ke dalam sel dan untuk
mengantisipasi masuknya ion K ke dalam sel serta mempertahankan kadar K serum
dalam batas normal maka perlu pemberian kalium.
D. Glukosa
Setelah rehidrasi 2 jam pertama biasanya kadar glukosa darah akan turun.
Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan terjadi penurunan kadar glukosa
seitar 60mg%/jam. Bila kadar glukosa mencapai <200mg% maka dimulai infus
yang mengandung glukosa.
e. Bikarbonat
Pemberian bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat . Pemberian harus
hati-hati dengan alasan :
1. Menurunkan pH intraseluler akibat difusi C02 yang dilepas bikarbonat.
2. Efek negatif pada disosiasi oksigen jaringan
3. Hipertois kelebihan natrium
4. Meningkatkan insidens hipokalemia
5. Gangguan fungsi serebral
6. Terjadi alkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keto, saat ini bikarbonat
hanya diberikan pada pH < 7,1. Walaupun demikian komplikasi asidosis laktat
dan hiperkalemia yang mengancam tetap merupakan indikasi pemberian
bikarbonat.
Penatalaksaan HHS serupa dengan KAD, hanya cairan yang diberikan adalah
cairan hipotonis (1/2N, 2A) secara umum, pemantaua pasien HHS memerlukan pemantauan
yang cermat dan ketat.
a. Cairan
Terapi cairan untuk memperluas volume intravasukular dan memperbaiki
perfusi ginjal dan jaringan. Kekurangan cairan pada pasien dapat dihitung dan diberikan terapi
pengganti cairan. Kehilangan cairan umumnya sekitar 20-25% dari total cairan tubuh atau
sekitar 12-15% BB. Kehilangan cairan yang terjadi sekitar 8-12 L atau dalam rata-rata sekitar
9L. Untuk memudahkan kehilangan cairan yang terjadi sekitar 150mL/kgBB. Tujuan utama
terapi pengganti cairan dalam 12 jam pertama adalah dapat mengganti satu setengah kali total
kehilangan cairan.
Penggunaan cairan isotonik akan dapat menyebabkan overload cairan dan cairan
hipotonik mungkin dapa mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan
kematian dan lisis mielin difUs. Sehingga pada awalnya diberikan 1L normal saline perjam.
Jika pasien mengalami syok hipovolemik, mungkin dibutuhan plasma expanders. Jika pasien
dlaam syok kardiogenik, maka diperlukan monitor hemodinamik.
Pada awal terapi kadar glukosa darah akan menurun, bahkan sebelum insulin diberikan
dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika
kadar glukosa darah tidak bisa diturunkan 75-00 mg per jam, hal ini biasanya menunjukkan
pengganti cairan yang kurang atau gangguan ginjal
Elektrolit
Jika kadar kalium awal < 3,3 mEq per L (3,3 mmol per L), pemberian insulin ditunda
dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1.3 kalium fosfat sampai tercapai kadar kalium
setidaknya 3,3 mEq per L). Jika kadar kalium lebih besar dari 5 mEq per L (5,0 mmol per
L),kadar kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq per L, namun sebaiknya kadar
kalium ini dimonitor tiap 2 jam. Jika kadar kalium diantara 3,3 – 5,0 mEq per L, maka 20-30
mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium
klorida dan 1.3 kalium fosfat). Untuk mempertahankan kadar kalium antara 4,0 mEq per L(4,0
mmol per L) dan 5,0 mEq per L
Insulin
Dalam penatalaksanaan HHS, insulin bukan merupakan prioitas terapi. Insulin akan
menyebabkan glukosa masuk kedalam intrasel, sehingga cairan akan berpindah juga e intrasel.
Hal ini berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskulaer atau kematian.
Pemberian insulin dosis rendah, diberikan apabila kondisi hemodinamik pasien dan perfusi
ginjal pasien sudah baik dan stabil.
Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secra intravena dan diikuti
drip 0,1U/kgBB per jam sampai kadar glukosa darah turun antara 250 mg per dl (13,9 mmol
per l) sampai 300 mg per dl. Jika kadar glukosa darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosis
dapat ditingkatkan. Ketika kadar glukosa darah mencapai 300 mg/dl sebaiknya diberikan
dekstrosa secara intravena dan dosis insulin ditritasi secara sliding scale sampai pulihnya
keasadaran dan keadaan hiperosmolar.
Komplikasi
Komplikasi terapi yang tidak adekuat meliputi oklusi vaskuler, infark miokard, low-
flow syndrome, Desseminated intravascular coagulopathy dan rabdomiolisis. Overhidrasi dapat
menyebabkan adult respiratory distress syndrome dan edema serebri. Edema serebri
ditatalaksana dengan infus manitol dengan dosis 1-2 g/kgBB selama 30 menit dan pemberian
deksametason intravena
ISK adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme (MO) dalam
urin. Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria)'. Bakteriuria bermakna menunjukkan
pertumbuhan mikroorganisme (MO) mumi lebih daril 10s colony forming units (cfu/m7) pada
biakan urin. Bakteriuria bermaknatanpa disertai presentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria
asimtomatik (covert bacteriuria). Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai presentasi klinis
ISKdinamakan bakteriuria bermakna simtomatik. Pada beberapa keadaan pasien dengan
presentasi klinis ISK tanpa bakteriuria bermakna. Banyak faktor yang menyebabkan negatif
palsu pada pasien dengan presentasi klinis ISK.
2. Pielonefritis kronis (PNK). Pielonefritis kronis mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri
berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih dan refluks vesikoureter
dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal
yang ditandai pielonefritis kronik yang spesifik. Bakteriuria asimtomatik kronik pada orang
dewasa tanpa faktor predisposisi tidak pernah menyebabkan pembentukan jaringan ikat
2.2.3 EPIDEMIOLOGI
Infeksi saluran kemih (tSK) tergantung banyak faktor; seperti usia, gender, prevalensi
bakteriuria, dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih
termasuk ginjal. Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun perempuan
cenderung menderita ISK dibandingkanlaki-laki. ISK berulang pada laki-laki jarang
dilaporkan, kecuali disertai faktor predisposisi (pencetus). Prevalensi bakteriuri asimtomatik
lebih sering ditemukan pada perempuan. Prevalensi selama periode sekolah 1% meningkat
menjadi 5% selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat
mencapai 30 %, baik laki-laki maupun perempuan bila disertai faktor predisposisi seperti
terlihat pada Tabel 2.
Pola mikroorganisme (MO) bakteriuria seperti terlihat pada Tabel 3. Pada umumnya
ISK disebabkan mikro-organisme (MO) tunggal:
1. Escherichio coli merupakan MO yang paling sering diisolasi dari pasien dengan infeksi
simtomatik maupun asimtomatik
2. Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (33% ISK anak laki-
laki berusia 5 tahun), Klebsiella spp, dan Stafilokokus dengan koagulase negatif
3. Infeksi yang disebabkan Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokus jarang
dijumpai, kecuali pasca kateterisasi.
Hanya IG serotipe dari 170 serotipe E.coli yang berhasil diisolasi rutin dari pasien ISK klinis,
diduga strain E.coli ini mempunyai patogenisitas khusus. Penelitian intensif berhasil
menentukan faktor virulensi E coli dikenal sebagai virulence deterimnalis, seperti terlihat pada
Tabel 4.
Bakteri patogen dari urin (urinary pathogens) dapat menyebabkan presentasi klinis ISK
tergantung juga dari faktor lainnya seperti perlengketan mukosa oleh bakteri,faktor virulensi,
dan variasi fase faktor virulensi.
Zat makanan dari bakteri akan meningkat dari normal, diikuti refluks MO dari kandung kemih
ke ginjal. Endotoksin (lipid A) dapat menghambat peristaltik ureter. Refluks vesikoureter ini
sitatnya sementara dan hilang sendiri bila mendapat terapi antibiotika.
Proses pembentukan jaringan parenkim ginjal sangat berat bila refluks vesikoureter terjadi
sejak anak-anak. Pada usia dewasa muda tidak jarang dijumpai di klinik gagal ginjal terminal
(GGT) tipe kering, artinya tanpa edema dengan/tanpa hipertensi.
Kepekaan terhadap ISK rekuren dari kelompok pasien dengan saluran kemih normal (ISK tipe
sederhana) lebih besar pada kelompok antigen darah non-sekretorik dibandingkan kelompok
sekretorik. Penelitan lain melaporkan sekresi IgA urin meningkat dan diduga mempunyai
peranan penting untuk kepekaan terhadap ISK rekuren.
ISK bawah (sistitis). Presentasi klinis sistitis seperti sakit suprapubik, polakisuria, nokturia,
disuria, dan stranguria.
Sindrom uretra akut (SUA). Presentasi klinis SUA sulit dibedakan dengan sistitis. SUA
sering ditemukan pada perempuan usia antara 20-50 tahun.
Presentasi klinis SUA sarlgat niskin (hanya disuri dan sering kencing) disertai cfu/ml urin
<105; sering disebut sistitis abakterialis. Sindrom uretra akut (SUA) dibagi 3 kelompok
pasien, yaitu:
a). Kelompok pertama pasien dengan piuria, biakan urin dapat diisolasi E.coli dengan cfu/ml
urin 103-105. Sumber int'eksi berasal dari kelenjar peri-uretral atau uretra sendiri. Kelompok
pasien inimemberikan respon baik terhadap antibiotik standar seperti ampisilin.
b). Kelompok kedua pasien lekosituri 10-50/lapang pandang tinggi dan kultur urin steril.
Kultur (biakan) khusus ditemukan Chlamydia trachomatis atau bakteri anaerobik.
c). Kelompok ketiga pasien tanpa piuri dan biakan urin steril.
ISK rekuren. Infeksi saluran kemih (ISK) rekuren terdiri 2 kelompok, yaitu:
a). Re-infeksi (re-infectons). Pada umumnya episode infeksi dengan interval >6 minggu
dengan mikroorganisme (MO) yang berlainan.
b). Relapsing infection Setiap kali infeksi disebabkan mikroorganisme yang sama. disebabkan
sumber infeksi tidak mendapat terapi yang adekuat.
Basiluria asimtomatik (BAS) merupakan risiko untuk pielonefritis diikuti penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG). Komplikasi emphysematous cystitis, pielonefritis yang terkait
spesies kandida dan infeksi Gram-negatif lainnya dapat dijumpai pada DM.
Pielonefritis emfisematosa di sebabkan MO pembentuk gas seperti E. coli, Candida spp dan
Klostridium tidak jarang dijumpai pada DM. Pembentukan gas sangat intensif pada parenkim
ginjal dan jaringan nekrosis disertai hematom yang luas. Pielonefritis emfisematosa sering
disertai syok septik dan nefropati akut vasomotor (AVH). Abses perinefrik merupakan
komplikasi ISK pada pasien dengan DM (47% ), nefrolitiasis (41%) dan obstruksi ureter (20%).
REFERENSI
Balasoiu D, Van Kissel KC, Van Kats-Renaud HJ, Collet TJ, Hoepelman AI.
Granulocyte function in woman with diabetes and asymptomatic bacteriuria. Diabetic Care.
1997 ;20:.392-5
Bass PF, Jarvis JAW and Mitchell CK. Urinary tract infections. PrimaLry care: clinics
in office practice. Volume 30 WB Saunders; 2005
Batalla MA, Ballodimus MC, Bradley RF. Bacteriuria in diabetes
mellitus. Diabetologic. 191 l;7 : 297 -9
Evans DA, Hennekens CH, Miao L et a1. Bacteriuria and subsequent mortality ln
woman Lancet. 198211:156-8