Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan manusia modern saat ini banyak peralatan-


peralatan yang menggunakan bahan yang sifatnya elastis tidak mudah pecah
bila terjadi jatuh dari suatu tempat. Dengan semakin meningkatnya
kebutuhan tersebut secara langsung kebutuhan karet juga meningkat dengan
sendirinya sesuai kebutuhan manusia.
Karet adalah polimer hidrokarbon yang terbentuk dari emulsi
kesusuan (dikenal sebagai latex) yang diperoleh dari getah beberapa jenis
tumbuhan pohon karet tetapi dapat juga diproduksi secara sintetis. Sumber
utama barang dagang dari latex yang digunakan untuk menciptakan karet
adalah pohon karet Hevea Brasiliensis. Ini dilakukan dengan cara melukai
kulit pohon sehingga pohon akan memberikan respons yang memberikan
banyak latex lagi.
Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan
kontribusi di dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor karet di
Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukan adanya peningkatan
dari 1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1.3 juta ton pada tahun 1995 dan
2.0 juta ton pada tahun 2005. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada
semester pertama tahun 2006 mencapai US $ 4,2 milyar (kompas, 2006).
Dengan memperhatikan adanya peningkatan permintaan dunia
terhadap komoditi karet ini dimasa yang akan datang, maka upaya untuk
meningkatkan pendapatan petani melalui perluasan tanaman karet dan
peremajaan kebun bisa merupakan langkah yang efektif untuk dilaksanakan.
Guna mendukung hal ini, perlu diadakan bantuan yang bisa memberikan
modal bagi petani atau pekebun swasta untuk membiayai pembangunan
karet dan pemeliharaan tanaman secara intensif.
Agribisnis karet alam di masa datang akan mempunyai prospek yang
makin cerah karena adanya kesadaran akan kelestarian lingkungan dan
sumberdaya alam, kecenderungan penggunaan green tyres, meningkatnya
industri polimer pengguna karet serta makin langka sumber-sumber minyak
bumi dan makin mahalnya harga minyak bumi sebagai bahan pembuatan
karet sintetis. Pada tahun 2002, jumlah konsumsi karet dunia lebih tinggi
dari produksi.
Indonesia akan mempunyai peluang untuk menjadi produsen terbesar
dunia karena negara pesaing utama seperti Thailand dan Malaysia makin
kekurangan lahan dan makin sulit mendapatkan tenaga kerja yang murah
sehingga keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia akan makin baik.
Kayu karet juga akan mempunyai prospek yang baik sebagai sumber kayu
menggantikan sumber kayu asal hutan. Arah pengembangan karet ke depan
lebih diwarnai oleh kandungan IPTEK dan kapital yang makin tinggi agar
lebih kompetitif.

1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui produksi dan konsumsi karet.
2. Untuk mengetahui prospek karet dari sisi permintaan dan daya saing.
3. Untuk mengetahui permasalahan karet dari sistem agribisnis.
4. Untuk mengetahui penerapan fungsi manajemen pada subsistem
agribisnis karet.
5. Untuk mengetahui subsistem agribisnis yang paling berperan pada karet.

1.3 Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah untuk menambah
wawasan pengetahuan penulis maupun pembaca tentang agribisnis pada
komoditi karet.
BAB II

ISI

2.1 Pentingnya Pengamatan Mulai Dari Produksi dan Konsumsi

2.1.1 Pentingnya Pengamatan Sisi Produksi

Produksi adalah usaha manusia yang baik secara langsung maupun


tidak langsung menghasilkan barang dan jasa supaya lebih berguna untuk
memenuhi suatu kebutuhan manusia (Gilarso, 2004).

Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik


sebagai sumber pendapatan kesempatan kerja dan devisa, pendorong
pertumbuhan ekonomi sentra–sentra baru diwilayah sekitar perkebunan
karet, maupun pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Pengamatan
produksi dilakukan pada seluruh aspek kegiatan yang berkaitan dengan
produksi, yang meliputi :
1. Kegiatan proses produksi
2. Kualitas produk yang dihasilkan, apakah telah sesuai dengan standarisasi
(SIR) yaitu merupakan faktor yang menentukan dalam tercapainya
jaminan mutu untuk setiap produk, dapat dilihat dari keaamanan,
keselamatan, dan kesehatan bagi konsumen.
3. Biaya produksi yang dikeluarkan harus disesuaikan dengan harga karet
dunia agar petani tidak mengalami kerugian dan didukung dengan
kualitas karet itu sendiri.
4. Pentingnya IPTEK bagi para petani, agar proses produksi dapat berjalan
dengan baik yang akan berimbas pada peningkatan hasil produksi.
5. Skala Produksi, produksi karet alam dunia meningkat dari 2 juta ton lebih
pada tahun 1960 mencapai 6,15 juta ton pada tahun 1996 dengan laju
pertumbuhan 3,2% per tahun. Namur selama 6 tahun terakhir (1996-
2002) produksi karet alam dunia tidak memperlihatkan pertumbuhan
yang mencolok yaitu hanya sekitar 2,15% per tahun.
2.2 Pentingnya Pengamatan Sisi Konsumsi
Konsumsi adalah penggunaan barang dan jasa yang langsung dapat
memenuhi kebutuhan manusia. Juga dipakai untuk pengeluaran masyarakat
(konsumen) untuk membeli barang/jasa konsumsi. Konsumsi dapat
mempengaruhi ekspor maupun impor, hal ini dikarenakan karena konsumsi
merupakan permintaan dari masyarakat. Permintaan ini akan secara
langsung mempengaruhi penawaran yang dilakukan oleh produsen (Gilarso,
2004).
Pengamatan konsumsi dilakukan guna mengetahui apakah karet yang
diolah dan diproses memiliki nilai ekonomis dan kualitas produknya
memiliki standar yang dapat diterima oleh konsumen.
Bila ditinjau untuk skala konsumsi karet itu sendiri sangat besar
peluang dan daya belinya. Dalam 6 tahun terkahir (1996-2002) konsumsi
agregat karet alam dunia tumbuh sekitar 3,0% per tahun. Pada tahun 2002
konsumsi karet alam dunia tercatat sekitar 7,39 juta ton, yang berarti lebih
besar daripada tingkat produksi pada tahun yang sama. Lebih tingginya
konsumsi dibanding produksi pada tahun 2002 mencerminkan pertumbuhan
konsumsi yang lebih cepat sebagai dampak dari perubahan factor produksi
dan persaingan. Dengan makin majunya karet di Indonesia diharapkan dapat
meningkatkan konsumsi dan ekspor karet, sehingga produksi karet pada
tahun 2035 diperkirakan naik sebesar 31,3 juta ton untuk industri ban dan
non ban, dan 15 juta ton untuk karet alam.

2.2 Prospek Komoditi Karet Dari Sisi Permintaan (Ekspor atau Impor)
dan Daya Saing
2.2.1 Prospek Komoditi Karet Dari Sisi Permintaan (Ekspor atau Impor)
2.2.2 Daya Saing
Menurut Organisation for Economic Cooperation dan Development
(OECD), daya saing (competitiveness) adalah kemampuan perusahaan,
industri, daerah, negara, atau antar daerah untuk menghasilkan faktor
pendapatan dan faktor pekerjaan yang relatif tinggi dan berkesinambungan
untuk menghadapi persaingan internasional. Oleh karena daya saing industri
merupakan fenomena di tingkat mikro perusahaan, maka kebijakan
pembangunan industri nasional semestinya didahului dengan mengkaji
sektor industri secara utuh sebagai dasar pengukurannya.

Hasil survey tahun 2010 dari International Management Development


(IMD) mengenai daya saing Indonesia dibanding 30 negara-negara utama
lainnya, ditemukan beberapa fakta antara lain sebagai berikut :

1. Adanya kepercayaan investor yang rendah (resiko politik, credit rating


yang rendah, diskriminasi dalam masyarakat, sistim penegakan hukum
yang lemah, penanganan ketenagakerjaan, subsidi yang tinggi, banyak
korupsi)
2. Daya saing bisnis yang rendah sebagai akibat kualitas SDM yang rendah,
hubungan perburuhan yang tidak harmonis (hostile), praktetk-praktek
bisnis tidak etis dan lemahnya corporate governance.
3. Daya saing yang rendah (nilai-nilai dimasyarakat tidak mendukung daya
saing dan globalisasi, kualitas wiraswasta dan kemampuan marketing
yang rendah, produktivitas menyeluruh yang rendah)
4. Infrastruktur lemah (pendidikan dan kesehatan yang kurang,
perlindungan hak patent dan cipta lemah, penegakan hukum lingkungan
hidup yang lemah, biaya telekomunikasi internasional yang mahal,
anggaran yang mahal, kurangnya alih teknologi, kurang ahli teknologi
informasi).

Untuk itu perlu dilakukan penguatan perekonomian domestik dengan


orientasi dan daya saing global. Secara makro teori globalisasi ekonomi dapat
diartikan sebagai sebuah teori yang didasarkan atas asumsi perdagangan
bebas atau pasar bebas di seluruh dunia, tanpa adanya hambatan baik dalam
bentuk tarif atau non tarif (Wibowo, 2004). Namun secara mikro, globalisasi
ekonomi dapat diartikan sebagai sebuah inisiatif bisnis yang didasarkan atas
kepercayaan bahwa dunia telah menjadi sedemikian homogen, seiring
dengan makin mengaburnya perbedaan nyata antar pasar domestik.
Sedangkan mengenai kerjasama regional, (Hamdy Hadi, 2001)
mengemukakan bahwa kerja sama ekonomi dan keuangan, khususnya di
bidang perdagangan internasional, saat ini mengarah pada pembentukan
kerja sama guna mewujudkan integrasi ekonomi dan keuangan secara
regional.

2.3 Permasalahan Komoditi Karet Dari Sistem Agribisnis

2.3.1 Subsistem Agribisnis Hulu


Menurut Said et al. (2001) untuk mencapai eficiency input-
input sarana produksi harus ada pengorganisasian dalam penerapan sub
sistem ini yaitu penerapan jumlah, waktu, tempat dan tepat biaya serta mutu
sehingga ada optimasi dari penggunaan input-input produksi. Meningkatnya
produksi dan pendapatan petani bila didukung adanya industri-industri
agribisnis hulu yakni indutri-industri yang menghasil-kan sarana
produksi (input) pertaniaan (the manufacture and distribution of farm
supliies) seperti industri agro-kimia ( industri pupuk, industri pestisida, obat-
abatan hewan) industri alat pertaniaan dan industri pembibitan/
pembenihan. Untuk daerah-daerah dekat lokasi petani ada kios-kios saprodi
(Saragih, 2001). Permasalahan komoditi karet dari subsistem agribisnis hulu
adalah sebagai berikut:
1. Rendahnya produktivitas
Rendahnya produktivitas terutama karet rakyat yang merupakan
mayoritas (91%) areal karet nasional dan ragam produk olahan yang masih
terbatas yang di dominasi karet remah atau crumb rubber. Rendahnya
produktivitas kebun karet rakyat disebabkan juga oleh banyaknya areal tua
rusak dan tidak produktif, penggunaan bibit bukan klon unggul serta kondisi
kebun yang menyerupai hutan .
Permasalahan utama yang dihadapi perkebunan karet nasional adalah
rendahnya produktivitas karet rakyat (+ 600 kg/ha/th), antara lain karena
sebagian besar tanaman masih menggunakan bahan tanam asal biji (seedling)
tanpa pemeliharaan yang baik, dan tingginya proporsi areal tanaman karet
yang telah tua, rusak atau tidak produktif (+ 13% dari total areal). Pada saat
ini sekitar 400 ribu ha areal karet berada dalam kondisi tua dan rusak dan
sekitar 2-3% dari areal tanaman menghasilkan (TM) yang ada setiap tahun
akan memerlukan peremajaan. Dengan kondisi demikian, sebagian besar
kebun karet rakyat menyerupai hutan karet.
2. Sumber dana
Adanya keterbatasan modal yang dihadapi oleh petani dalam membeli
bibit unggul maupun sarana produksi lain seperti herbisida dan pupuk, selain
itu bahan tanam karet unggul hanya tersedia di Balai penelitian melalui
sistem Waralaba si sentra-sentra pembibitan yang juga madih sasngat
terbatas jumlahnya.
3. Kurangnya dukungan dan penyuluhan pemerintah
Pemerintah kurang memberikan penyuluhan mengenai pengelolaan
karet dengan benar sehingga bagi petani biasa yang memiliki areal
perkebunan yang hanya beberapa hektar kurang menghasilkan karet yang
berkualitas jika dibandingkan perkebunan besar milik pemerintah dan
swasta dan pemerintah juga telah menghentikan pengutan CESS (dana untuk
pengembangan, promosi, dan peremajaan) ekspor komoditi karet sejak
tahun 1970.
4. Kurangnya IPTEK.
Kurangnya IPTEK para petani karet yang ada di pedesaan, membuat
produktivitas dan kualitas karet yang di hasilkan rendah dan kurang bersaing
di pasaran dunia.
5. Adanya hukum dan perundang-undangan penebangan
Pemerintah mengeluarkan peraturan dimana dalam membuka lahan
baru, petani diwajibkan memiliki surat izin penebangan. Diman proses
mendapatkan surat izin tersebut sangat rumit apalagi pada petani rakyat.
6. Kurangnya pemanfaatan kayu karet
Masalah lain yang dihadapi dalam komoditas karet adalah
pemanfaatan kayu karet baru sebatas kayu olahan, papan artikel, dan papan
serat. Hal ini terjadi karena lokasi pengolah kayu jauh dari sumber bahan
baku sehingga biaya transportasi menjadi tinggi. Oleh karena itu, harga kayu
karet di tingkat petani masih rendah dan tidak menarik bagi petani.

2.3.2 Subsistem Agribisnis On Farm


Menurut J.P.Makeham dan R.L.Malcolm (1991) usahatani (farm
management) adalah cara bagaimana mengelola kegiatan-kegiatan
pertanian. Arah kebijakan pada sisten on-farm adalah terwujudnya suatu
kondisi dimana ketersediaan sarana produksi, spesialisasi subsistem on-farm
terletak pada produktivitas hasil lateks dan kayu.
Masalah utama yang dihadapi oleh petani dalam sistem ini
ketersediaan bahan baku yang tidak kontinue.

2.3.3 Subsistem Agribisnis Hilir


Subsistem agribisnis hilir merupakan kegiatan yang terdiri atas
agroindustri dan pemasaran agribisnis. Agroindustri merupakan sistem
pengolahan hasil-hasil pertanian, baik berupa bentuk setengah jadi (work in
process) dan bentuk akhir (finished product) dengan cara teknologi dan
manajemen. Permasalahan komoditi karet dari subsistem agribisnis hilir
adalah sebagai berikut:
1. Rendahnya daya saing produk-produk industri lateks Indonesia bila
dibandingkan dengan produsen lain terutama Malaysia.
2. Adanya penurunan areal hutan, eksploitasi kayu hutan yang berlebihan,
tidak adanya program reboisasi yang berkesinambungan sehingga
membuat permintaan akan karet tidak dapat terpenuhi karena bahan
baku yang kurang.

2.4 Penerapan Fungsi Manajemen pada Subsistem Agribisnis Komoditi


2.5 Subsistem Agribisnis yang Paling Berperan

Anda mungkin juga menyukai