Penerjemahan Alquran adalah mengalihkan pesan Alquran, ke bahasa asing selain bahasa Arab,
agar dapat dikaji oleh mereka yang tidak menguasai bahasa Arab, sehingga dapat dimengerti
maksud dari firman Allah tersebut sesuai pemahaman umum yang diterima oleh umat Islam.
Dalam hal terjemahan Alquran, ada fatwa ulama Al-Azhar Mesir (Mihna, tt.: 21–26), seperti
saya kutip dalam buku saya Seluk-Beluk Penerjemahan Arab-Indonesia Kontemporer, yang
membagi terjemahan Alquran menjadi dua: tafsiriyah dan harfiyah.
Bila diterjemahkan secara tafsiriyah, maka hukumnya mubah, sunah, atau bahkan wajib.
Sebaliknya, bila diterjemahkan secara harfiyah, maka hukumnya bisa menjadi makruh, bahkan
haram. Berikut hukum terjemahan Alquran menurut ulama Al-Azhar:
1. Wajib
Diberi hukum wajib bila belum ada terjemahan Alquran sama sekali dalam bahasa yang dipakai
dalam terjemahan tersebut.
Singkatnya, bila tidak ada satu pun terjemahan Alquran pada suatu bahasa yang jumlah
penuturnya cukup banyak yang beragama Islam dan tidak ada satu pun terjemahan yang ada,
maka hukumnya wajib kifayah bagi siapa pun yang punya kemampuan untuk menerjemahkan
Alquran ke dalam bahasa tersebut.
2. Sunah
Diberi hukum sunah ketika sudah ada terjemahan lain, tetapi ada terobosan baru untuk
mempermudah umat mendapat pemahaman terhadap Alquran yang ditawarkan oleh terjemahan
yang datang belakangan.
Terobosan yang dimaksud di sini adalah upaya-upaya baru dalam menghadirkan terjemahan
yang lebih baik baik dalam bahasa maupun teknik penyajiannya.
3. Mubah
Diberi hukum mubah ketika sudah ada terjemahan lain yang kualitasnya setara dan tidak ada
terobosan baru dalam terjemahan yang dihadirkan belakangan.
Pada dasarnya, hukum terjemahan Alquran memang mubah alias boleh. Meski demikian, ada
persyaratan terjemahannya tidak bertentangan dengan pesan Alquran dan isinya tidak
menyimpang dari pemahaman umum para ahli tafsir.
4. Makruh
Bila hasil terjemahan yang dihasilkan lebih buruk kualitasnya daripada terjemahan yang sudah
ada meskipun tidak sampai bertentangan dengan pesan Alquran, maka dapat pula sampai pada
hukum makruh.
Makruh berarti upaya terjemahannya tidak disarankan untuk dipublikasikan. Ini semata-mata
demi menghindari kebingungan masyarakat.
5. Haram
Bila diterjemahkan secara harfiyah dan bertentangan dengan pesan Alquran, maka haram. Jadi,
tidak semua kegiatan penerjemahan Alquran dapat diterima secara mutlak.
Ada syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang penerjemah sebelum ia
menerjemahkan Alquran dan mempublikasikannya.
Pengertian Terjemahan Al-Qur’an
Dalam sebuah buku Penganta Ilmu Tafsir dijelaskan bahwa, terjemahan berarti menerangkan
dengan bahasa yang lain, seperti perkataan :
ُِ ْالك: سانُ فَس ُِّره
َُلم ت َْر ِجم َ َر ِب ِل
ُِ اخ
“Menterjemahkanُpembicaraanُberartiُmenerangkannyaُdenganُbahasaُyangُlain.”
Terjemahan Al-Qur’anُartinyaُmemindahkanُAl-Qur’anُpadaُbahasaُlainُyangُbukanُbahasaُ
Arab dan mencetak terjemahan ini ke dalam beberapa naskah agar dapat dibaca orang yang tidak
mengerti bahasa Arab, sehingga ia bisa memahami maksud kitab Allah swt. dengan perantaraan
terjemahan ini.
Menurut Manna Khalil al-Qatthân, terjemahan dapat dibagi menjadi dua, yaitu terjemahan
harfiyah dan terjemahan tafsiriyah. Terjemahan harfiyah yaitu mengalihkan lafazh-lafazh dari
satu bahasa ke bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai
dengan susunan dan tertib bahasa pertama. Sedangkan tafsiriyah atau terjemahan maknawiyah
yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata
bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
Pengertian Terjemah
Lafalz terjemah di dalam kepustakaan bahasa Arab, menunjukan arti dari empat makna berikut:
a. Menyampaikan suatu kalam kepada seseorang yang belum mengetahuinya.
b. Menafsirkan suatu kalam menurut bahasanya.
c. Menafsirkan suatu bahasa dengan bahasa yang lainnya.
d. Memindahkan suatu kalam dari suatu bahasa ke bahasa yang lainya.[1])
Secara harifah, terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu pembicaraan dari satu bahasa
ke bahasa lain. Sedangkan terjemahan berarti salinan bahasa, atau alih bahasa dari satu bahasa ke
dalam bahasa lainnya.[2]) Terjemah, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah
translation, dalam literature bahasa Arab dkenal dengan tarjamahan.
Secara etimologis, terjemah berarti menerangkan atau menjelaskan. Menurut Muhammad
Husayn al-Dzahabi,ُsalahُseorangُpakarُ‘ulamaُal-Quran dari al-Azhar university, Mesir, kata
tarjamah lazim digunakan untuk dua macam pengertian. Pertama: mengalihkan atau
memindahkan suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain, tanpa menerangkan
makna dari bahasa asal yang diterjemahkan. Kedua: menafsirkan suatu pembicaraan dengan
menerangkan maksud yang terkandung didalamnya, dengan menggunakan bahasa yang lain.[3])
Dari situlah kata terjemah dapat diformulasikan bahwa terjemah pada dasarnya ialah menyalin
atau mengalihbahasakan serangkaian pembicaraan dari satu bahasa kebahasa yang lainnya,
dengan maksud supaya inti pembicaraan bahasa asal yang diterjemahkan bisa dipahami oleh
orang-orang yang tidak mampu memahami langsung bahasa asal yang diterjemah. Sebagai
contoh, terjemahan buku-buku dari bahasa asing, katakanlah buku bahasa Arab atau bahasa
Inggris, ke dalam bahasa Indonesia, begitu pula sebaliknya, buku-buku dalam bahasa Indonesia
yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris atau dalam bahasa Arab atau pun juga ke dalam bahasa
lainnya.
Selain yang telah dikemukakan diatas, kata terjemah dalam bahasa Arab juga umum diartikan
dengan biografi (riwayat hidup) seseorang, semisal dalam ungkapan tarjamah al-Imam al-
Bukhari atau tarjamah Imam-Muslim yang masing-masing berarti biografi Imam Bukhari dan
Imam Muslim. Demikian dengan biografi-biografi tokoh lain, semisal tarjamah Imam Abu
Hanifah dan lain sebagainya.
Orang yang menerjemahkan sesuatu, termasuk al-Quran dalam bahasa Indonesia disebut dengan
Penerjemah, juru terjemah atau juru bahasa, dalam bahasa Inggris disebut transliter sedangkan
dalam bahasa Arab sendiri disebut dengan mutarjim, tarjuman atau turjuman diantaranya dalam
ungkapan:ُ“ُIbnuُ;Abbasُtarjuman al-Quran,ُmaksudnyaُIbnuُ‘Abbasُjuruُbahasaُal-Quran.
B. Macam-Macam Terjemah
Sesuai dengan pengertiannya, terjemah lazim dibedakan ke dalam dua macam, yaitu terjemah
secara harfiyah dan terjemah secara tafsiriyah.terjemah harfiyah yang juga umum disebut dengan
terjemah lafzhiyah ialah terjemah yang dilakukan dengan apa adanya, tergantung dengan
susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan.
Muhammad Husayn al-Dzahabi, yang namanya pernah disebut sebelum ini, membedakan
terjemah secara harfiyah ini ke dalam dua model yaitu: terjemah harfiyah bi al-mitsl, ialah
terjemahan yang dilakukan dengan apa adanya, terikat dengan susunan dan struktur bahasa asal
yang diterjemahkan dan terjemah harfiyah bighair al-mitsl ialah terjemahan yang pada dasarnya
sama dengan terjemah harfiyah bi al-mitsl, hanya saja sedikit lebih longgar keterikatannya
dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan.
Adapun yang dimaksud dengan terjemah tafsiriyah yang lazim juga disebut dengan terjemah
maknawiyah, ialah terjemahan yang dilakukan mutarjim dengan lebih mengedepankan maksud
atau isi kandungan yang terkandung dalam bahasa asal yang diterjemahkan. Terjemahan
tafsiriyah tidak terikat dengan susunan dan stuktur gaya bahasa maka dapatlah dikatakan bahwa
jika terjema harfiyah bagitu identik dengan terjemah leterlek atau terjemah lurus dalam bahasa
Indonesia, yakni terjemahan yang dilakukan dengan cara menyalin kata demi kata atau word for
word tranlation, maka terjemah tafsiriyah sama persisi dengan istilah terjemahan bebas.
Dan patut diingatkan bahwa terjemah tafsiriyah tetap berbeda dengan tafsir. Atau dalam kalimat
lain, terjemah tafsiriyah bukanlah tafsir, letak badanya menurut Muhammad Husayn al-Dzahabi:
Pertama, terletak pada kedua bahasa yang digunakan. Bahasa tafsir dimungkinkan sama dengan
bahasa asli, katakanlah al-Quran yang ditafsirkan, sedangkan terjemah tafsiriyah pasti
menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa asli yang diterjemahkan.
Kedua, dalam tafsir, pembaca kitab/buku yang ditafsirkan dimungkinkan melacak buku (teks)
aslinya manakala ada keraguan di dalamnya. Berbeda dengan terjemah tafsiriyah yang tidak
mudah untuk mengecek aslinya mana kala ada keraguan dan kesalahan yang diterjemahkan oleh
pembaca.
Berbeda lagi dengan terjemah harfiyah yang terikat dengan struktur dan susunan bahasa asal
yang diterjemahkan, yang karenanya maka terjemah harfiyah/ lafziyah/ leterlek/ lurus itu
berlaku, maka terjemah tafsiriyah/ maknawiyah/ bebas terasa luwes atau elastis. Kerigidan
terjemah harfiyah dan keluwesan terjemah tafsiriyah akan semakin terasa manakala digunakan
untuk menerjemahkan al-Quran. Sebagi ilustrasinya perhatikan Q.S. al-Israa’ُayat:ُ29,ُberikut,
Jika ayat tersebut diterjemahkan secara harfiyah, maka pengertiannya berarti Allah melarang
seseorang membelenggu atau mengikat tangannya di atas pundaknya. Padahal, yang dimaksud
oleh ayat ini adalah larangan bersikap pelit dalam membelanjakan harta disamping melarang
bersikap boros.
Seiring dengan kekakuan terjemahan harfiyah, maka tidaklah sulit untuk menerima sikap
musaffir semisal, Muhammad Husayn al-Dzahabi, yang menyatakan mustahil bisa
menerjemahkan al-Quran secara harfiyah. Lebih-lebih jika dilakukan dengan terjemahan
harfiyah bi al-mitsl. Alasanya, paling sedikit disebabkan oleh dua hal yaitu: pertama, tujuan
penurunan al-Quran ke muka bumi ini untuk dijadikan bukti kebenaran bagi kenabian
Muhammad saw. yang sekaligus sebagai mukjizatnya yang terbesar. Sedangkan terjemahan al-
Quran, lebih-lebih terjemahan harfiyah, tidaklah mungkin dapat menerangkan seluruh isi
kandungan al-Quran sebagaimana yang dikehendaki oleh bahasa al-Quran itu sendiri. Dan
kedua, al-Quran diturunkan sebagai kitab hidayah (buku penunjuk) yang sarat dengan rambu-
rambu petunjuk bagi ummat insani di dunia dan akhirat. Mengingat luasnya jangkauan isi
kandungan al-Quran yang harus diurai dengan ushlub (gaya bahasa) yang khas, maka sangatlah
sulit untuk tidak mengatakan mustahil dalam menerjemahkan al-Quran secara harfiyah.
Kebenaran statement Muhammad Husayn al-Dzahabi di atas tentang kemustahilan
menerjemahkan al-Quran secara harfiyah, dapat diterima sepanjang terjemahan yang dilakukan
mutarjim bermaksud untuk menerangi isi kandungan al-Quran yang sangat luas dan dalam itu.
Akan tetapi boleh jadi tidak tepat apabila sasaran yang dituju atau motivasi penerjemah hanya
sebatas memperkenalkan makna kosa-kosa kata al-Quran secara utuh dan menyeluruh (holistik)
dengan cara menerjemahkannya secara tahlili kata demi kata dari awal sampai akhir al-Quran.
Penerjemah demikian cukup banyak dilakukan para mutarjim, tidak terkecuali di tanah air
indonesia. Diantara contohnya ialah, Tafsir al-Quran 30 juz Tarjamah Lazhiyah yang disusun
dan diterbitkan penerbit Firma Sumatera dalam bahasa Arab Melayu, al-Quran, Terjemah
Indonesia oleh Tim Penulis Direktorat Pembinaan Mental Angkatan Darat (DITBINTALAD),
dan Terjemah al-QuranُolehُAbdulُMuhaiminُAs’adُdanُMuhammadُAnisُAdnan.
Persyaratan antara terjemah secara harfiyah dan tafsiriyah dapat dilihat sebagai berikut:
Persyaratan terjemah tafsiriyah:
1. Hendaknya terjemahan dapat memenuhi pengertian dan maksud dari bahasa aslinya dengan
benar.
2. Susunan bahasa terjemahan bersifat bebas, namun memungkinkan dapat dituangkan kembali
dalam bahasa aslinya dengan benar meskipun tampa melihat kepada bahasa aslinya itu.
Persyaratan terjemah harfiyah:
1. Kedua persyaratan tersebut diatas.
2. Kosa kata-kosa kata (mufradat) dalam bahasa terjemahan harus sama dengan kosa kata
aslinya.
3. Ada persamaan antara dua bahasa (bahasa terjemahan dan bahasa aslinya) mengenai kata
ganti dan kata penghubung yang menghubungkan kosa kata-kosa kata (mufradat) untuk
menyusun kalimat.
C. Syarat-Syarat Penerjemah
Diantara syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menerjemahkan al-Quran,
antara lain:
1. Mutarjim al-Quran pada dasarnya harus memiliki dan memenuhi prasyarat yang dikenakan
padaُmussafirُsepertiُmemilikiُI’tikatُbaik,ُniatُyangُtulusُ(shusnُal-niyyah), menguasai ilmu-
ilmu yang diperlukan semisal ilmu kalam, fikih-ushul fikih, ilmu akhlak dan lain-lain. Persyaratn
ini dimaksudkan agar terhindar dari kemungkinan salah atau keliru dalam menerjemahkan al-
Quran.
2. Mutarjim al-Quran harus memiliki akidah Islamiyah yang kuat dan lurus (shihhat al-I’tiqad).ُ
Sebab, orang yang tidak memiliki akidah Islamiyah yang kuat, pada dasarnya, tidak
diperbolehkan untuk menerjemah atau menafsirkan al-Quran karena tidak sejalan dengan tujuan
utama penurunan al-Quran itu sendiri yakni sebagai kitab hidayah (buku penunjuk). Jika
penerjemahan al-Quran diserahkan kepada orang-orang yang tidak beriman, semisal orientalis,
dan tidak berkepentingan dengan pengalaman al-Quran itu sendiri, maka serba sangat mungkin
terjemahannya bercampur aduk dengan kesalahan dan keracuan.
3. Mutarjim harus menguasai dengan baik dua bahasa yang bersangkutan, yakni bahasa asal yang
diterjemahkan dalam konteks ini bahasa al-Quran (Arab) dan bahasa yang akan diterjemah,
dalam konteks ini bahasa Indonesia. Apabila hanya menguasai salah satu bahasa saja tidaklah
mungkin dapat melahirkan terjemahan dengan sempurna.
4. Sebelum menerjemahkan al-Quran, penerjemah harus lebih dulu menuliskan ayat-ayat al-
Quran yang hendak diterjemahkan, dan baru kemudian memulai menerjemahkan atau
ditafsirkan. Selain dimaksud untuk memudahkan pembaca mengecek maknanya manakala
terdapat keraguan kebenaranya di dalam penerjemahan al-Quran, juga terutama dalam rangka
mempertahankan otentisitas teks al-Quran yang wahyu Allah itu.
5. Mutarjim harus menguasai gaya bahasa dan keistimewaan dari kedua bahasa tersebut.
http://www.datdut.com/ini-hukum-terjemahan-alquran/
https://ruruls4y.wordpress.com/2012/03/11/terjemah-al-quran/