Anda di halaman 1dari 32

PSIKOTIK

PENGERTIAN PSIKOTIK

Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidak mampuan individu menilai
kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat halusinasi, waham atau perilaku kacau atau aneh.

ETIOLOGI PSIKOTIK

Faktor psikodinamik yang harus diperhatikan di dalam kelompok gangguan psikotik


iniadalah stresor pencetus dan lingkungan interpersonal. Di dalam mengambil riwayat penyakit
dan memeriksa pasien, klinisi harus memperhatikan tiap perubahan atau stres pada lingkungan
interpersonal pasien. Pasien rentan terhadap kebutuhan psikosis untuk mempertahankan jarak
interpersonal tertentu; seringkali, pelanggaran batas pasien oleh orang lain dapat menciptakan stres
yang melanda yang menyebabkan dekompensasi. Demikian juga, tiap keberhasilan atau
kehilangan mungkin merupakan stresor yang penting dalam kasus tertentu. Pemeriksaan pasien
psikotik harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa gejala psikotik adalah disebabkan oleh
kondisi medis umum (sebagai contohnya, suatu tumor otak) atau ingesti zat (sebagai contohnya,
phencyclidine). Kondisi fisik seperti neoplasma serebral, khususnya di daerah oksipitalis dan
temporalis dapat menyebabkan halusinasi. Pemutusan sensorik, seperti yang terjadi pada orang
buta dan tuli, juga dapat menyebabkan pengalaman halusinasi dan waham. Lesi yang mengenai
lobus temporalis dan daerah otak lainnya, khususnya di hemisfer kanan dan lobus parietalis, adalah
disertai dengan waham. Zat psikoaktif adalah penyebab yang umum dari sindroma psikotik. Zat
yang paling sering terlibat adalah alkohol, halusinogen indol sebagai contohnya, lysergic acid
diethylamid (LSD) – amfetamin, kokain. Mescalin, phencyclidine (PCP), dan ketamin. Banyak zat
lain, termasuk steroid dan thyroxine, dapat disertai dengan halusinasi akibat zat.

GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI (FOLIE A DEUX)

Sifat gangguan menyatakan bahwa perpisahan orang yang tunduk, orang yang memiliki
gangguan psikotik terbagi, dari orang dominan harus menyebabkan pemilihan dan hilangnya
gejala psikotik. Pada kenyataannya, hal tersebut kemungkinan terjadi kurang dari 40% dari semua
kasus. Sering kali orang yang tunduk memerlukan pengobatan dengan obat antipsikotik, demikian
juga dengan orang yang dominan membutuhkan obat antipsikotik untuk gejala psikotik yang
dideritanya. Karena pasien hampir selalu berasal dari keluarga yang sama, mereka biasanya
berkumpul kembali bersama setelah dipulangkan dari rumah sakit.

KLASIFIKASI GANGGUAN PSIKOTIK

1. Skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya

a.Skizofrenia

Memenuhi criteria umum diagnosis skizofrenia, dimana adanya gejala-gejala khas tersebut telah
berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase non
psikotik prodromal).

b.Gangguan Skizotipal

Tidak terdapat onset yang pasti dan perkembangan serta perjalanannya biasanya menyerupai
gangguan kepribadian.

c.Gangguan Waham Menetap

Kelompok ini meliputi gangguan dengan waham-waham yang berlangsung lama (paling sedikit
selama 3 bulan) sebagai satu-satunya gejala klinis yang khas atau yang paling mencolok dan
tidak dapat digolongkan sebagai gangguan mental organic, skizofrenia atau gangguan efektif.

d.Gangguan Psikotik Akut dan Sementara

Memiliki onset yang akut (dalam masa 2 minggu), kesembuhan yang sempurna biasanya terjadi
dalam 2-3 bulan, sering dalam beberapa minggu atau bahkan beberapa hari, dan hanya
sebagian kecil dari pasien dengan gangguan ini berkembang menjadi keadaan yang menetap
dan berhendaya.

e.Gangguan Waham Induksi

Dua orang atau lebih mengalami waham atau system waham yang sama, dan saling mendukung
dalam keyakinan waham itu. Yang menderita waham orisinil (gangguan psikotik) hanya satu
orang, waham tersebut terinduksi (mempengaruhi) lainnya, dan biasanya menghilang apabila
orang-oarang tersebut dipisahkan. Hampir selalu orang-orang yang terlibat mempunyai
hubungan yang sangat dekat.

Jika ada alasan untuk percaya bahwa duaorang yang tinggal bersama mempunyai gangguan
psikotik yang terpisah, maka tidak satupun diantaranya boleh dimasukkan dalam kode diagnosis
ini.

f.Gangguan Skizoafektif

Merupakan gangguan yang bersifa episodic dengan gejala afektif dan skizofrenik yang sama-
sama menonjol dan secara bersamaan ada dalam episode yang sama.

g.Gangguan Psikotik Non-Organik Lainnya

Gangguan psikotik yang tidak memenuhi criteria untuk skizofrenia atau untuk gangguan afektif
yang bertipe psikotik, dan gangguan-gangguan yang psikotik yang tidak memenuhi kriteria
gejala untuk gangguan waham menetap.

2. Gangguan Suasana Perasaan (Mood {Afektif})

a.Episode Manik

Kesamaan karakteristik dalam afek yang meningkat, disertai peningkatan dalam jumlah dan
kecepatan aktivitas fisik dan mental, dalam berbagai derajat keparahan.

b.Gangguan Afektif Bipolar

Gangguan ini bersifat episode berulang (sekurang-kurangnya 2 episode) dimana afek pasien dan
tingkat aktivitasnya jelas terganggu, pada wktu tertentu terdiri dari peningkatan afek disertai
penembahan energy dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada waktu lain berupa
penurunan afek disertai pengurangan energy dan aktivitas (depresi)

c. Episode Depresi

Gejala utama berupa afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energy
yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas. Pada episode
depresi, dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan sekurang-kurangnya 2 minggu untuk
menegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa
beratnya dan berlangsung cepat.

d.Gangguan Depresif Berulang

Terbagi atas episode depresi ringan, episode depresi sedang dan episode depresi berat. Masing-
masing episode tersebut rata-rata lamanya sekitar 6 bulan, akan tetapi frekuensinya lebih jarang
dibandingkan dengan gangguan bipolar.

e.Gangguan Suasana Perasaan Menetap

Terbagi atas

1. Skilotimia : ciri esensialnya adalah ketidak-stabilan menetap dari afek(suasana perasaan),


meliputi banyak periode depresi ringan dan hipomania ringan,diantaranya tidak ada yang
cukup parah atau cukup lama untuk memenuhi criteria gangguan afektif bipolar.
2. Distimia: cirri esensialnya ialah afek depresif yang berlangsung sangat lama yang tidak
pernah atau jarang sekali cukup parah untuk memenuhi criteria gangguan depresif berulang
ringan atau sedang.

f.Gangguan Suasana Perasaan Lainnya

Kategori sisa untuk gangguan suasana perasaan menetap yang tidak cukup parah atau tidak
berlangsung lama untuk memenuhi criteria skilotimia dan distimia.

GEJALA- GEJALA PSIKOTIK

A. Gangguan/ gejala Psikotik Akut


Gambaran Utama Perilaku
 Perilaku yang diperlihatkan oleh pasien yaitu :
 Mendengar suara-suara yang tidak ada sumbernya
 Keyakinan atau ketakutan yang aneh/tidak masuk akal
 Kebingungan atau disorientasi
 Perubahan perilaku; menjadi aneh atau menakutkan seperti menyendiri, kecurigaan
berlebihan, mengancam diri sendiri, orang lain atau lingkungan, bicara dan tertawa
serta marah-marah atau memukul tanpa alasan.

Pedoman Diagnostik

Untuk menegakkan diagnosis gejala pasti gangguan psikotik akut adalah sebagai berikut :

 Halusinasi (persepsi indera yang salah atau yang dibayangkan : misalnya,


mendengar suara yang tak ada sumbernya atau melihat sesuatu yang tidak ada
bendanya)
 Waham (ide yang dipegang teguh yang nyata salah dan tidak dapat diterima oleh
kelompok sosial pasien, misalnya pasien percaya bahwa mereka diracuni oleh
tetangga, menerima pesan dari televisi, atau merasa diamati/diawasi oleh orang
lain).
 Agitasi atau perilaku aneh (bizar)
 Pembicaraan aneh atau kacau (disorganisasi)
 Keadaan emosional yang labil dan ekstrim (iritabel)

B. Gangguan Psikotik kronik


Gambaran Perilaku
Untuk menetapkan diagnosa medik psikotik kronik data berikut merupakan perilaku utama
yang secara umum ada.
 Penarikan diri secara social
 Minat atau motivasi rendah, pengabaian diri
 Gangguan berpikir (tampak dari pembicaraan yang tidak nyambung atau aneh)
 Perilaku aneh seperti apatis, menarik diri, tidak memperhatikan kebersihan yang
dilaporkan keluarga

Perilaku lain yang dapat menyertai adalah :

 Kesulitan berpikir dan berkonsentrasi


 Melaporkan bahwa individu mendengar suara-suara
 Keyakinan yang aneh dan tidak masuk akal seperti : memiliki kekuatan supranatural,
merasa dikejar-kejar, merasa menjadi orang hebat/terkenal
 Keluhan fisik yang tidak biasa/aneh seperti : merasa ada hewan atau objek yang tak
lazim di dalam tubuhnya
 Bermasalah dalam melaksanakan pekerjaan atau pelajaran Untuk lebih jelasnya
mengenai psikotik kronik, disini dapat dijelaskan melalui skizofrenia Dimana
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang kronik, pada orang yang mengalaminya
tidak dapat menilai realitas dengan baik dan pemahaman diri buruk. Gejala klinis dari
skizofrenia dapat dilihat di bawah ini:
 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda ; atau
“thought insertion or withdrawal” = isi yang asing dan luar masuk ke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya (withdrawal); dan
“thought broadcasting”= isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya;
b. “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
“delusion of passivitiy” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara jelas merujuk
kepergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
penginderaan khusus);
“delusional perception” = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasnya bersifat mistik atau mukjizat;
c. Halusinasi auditorik:
- suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien, atau
- mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara), atau
- jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
mahluk asing dan dunia lain)
 Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a. halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus-menerus;
b. arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation),
yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau
neologisme;
c. perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
d. gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
danrespons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
 Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal)
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overallquality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu
sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara
sosial.
GANGGUAN PSIKOTIK ATIPIKAL LAIN

Psikosis Autoskopik

Penjelasan klasik mengenai fenomena menyatakan bahwa pada sebagian besar kasus
sindroma tidak progresif maupun tidak menimbulkan ketidakmampuan.

Sindroma Capgras

Gejala sindroma ini berespon terhadap terapi. Tetapi jika pasien memiliki gejala sindroma
Capgras sebagai gejala tunggal dari gangguan psikotiknya, klinis harus melakukan pemeriksaan
neuropsikologis yang luas untuk mengidentifikasi adanya lesi organik yang mungkin
menyebabkan sindroma.

Sindroma Cotard

Sindroma biasanya berlangsung hanya beberapa hari sampai minggu dan berespon
terhadap pengobatan yang diarahkan pada gangguan dasar. Bentuk sindroma jangka panjang
biasanya berhubungan dengan sindroma yang menyebabkan demensia, seperti demensia tipe
Alzheimer.

GANGGUAN PSIKOTIK LAIN YANG TIDAK DITENTUKAN

Psikosis Pascapersalinan

Perjalanannya mirip dengan orang pada gangguan mood. Secara spesifik, gangguan mood
biasanya merupakan gangguan episodik, dan pasien dengan psikosis pasca persalinanmengalami
episode gejala lainnya dalam satu atau dua tahun setelah persalinan. Kehamilan selanjutnya adalah
berhubungan dengan peningkatan resiko menderita episode lainnya.

Gangguan Skizofreniform

Prognosis gangguan skizofreniform adalah bervariasi, sesuai kenyataan yang dijawab


didalam DSM-IV dengan membedakan pasien dengan dan tanpa ciri prognostik yang baik. Ciri
prognostik baik yang dinyatakan di DSM-IV digali dari literatur. Tetapi keabsahan ciri tersebut
telah dipertanyakan. Konfusi atau kebingungan pada puncak episode psikotik adalah ciri yang
paling baik dihubungkan dengan hasil akhir yang baik. Keabsahan ciri lain masih tidak pasti.
Di samping itu, semakin singkat episode penyakit, semakin baik prognosisnya. Terdapat resiko
bunuh diri yang bermakna. Mereka kemungkinan memiliki suatu periode depresi ringan setelah
periode psikotik, san psikoterapi ditujukan untuk membantu pasien mengerti episode psikotik
tampaknya memperbaiki prognosis dan kecepatan pemulihan pasien. Perawatan di rumah sakit
seringkali diperlukan dalam pengobatan pasien dengan gangguan skizofreniform.

Perawatan di rumah sakit memungkinkan pemeriksaan, pengobatandan pengawasan yang efektif


terhadap perilaku pasien. Gejala psikotik biasanya dapat diobati oleh pemberian obat antipsikotik
selama tiga sampai enam bulan. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pasien dengan
gangguan skizofreniform berespon secara jauh lebih cepat terhadap terapi antipsikotik
dibandingkan dengan pasien skizofrenik. Satu penelitian telah menemukan bahwa kira-kira
tigaperempat dari pasien dengan gangguan skizofreniform, dibandingkan dengan hanya seperlima
pasien skizofrenik, berespon terhadap medikasi antipsikotik dalam delapan hari. Terapi
elektrokonvulsif (ECT;electroconvulsive therapy) mungkin diindikasikan untuk beberapa pasien,
khususnya pasien yang dengan ciri katatonik atau terdepresi yang nyata. Percobaan pemberian
lithium (Eskalith), atau valproate (Depakene) mungkin diperlukan untuk pengobatan dan
pencegahan (profilaksis) jika pasien memiliki episode yang rekuren. Psikoterapi biasanya
diperlukan untuk membantu pasien mengintegrasikan pengalaman psikotik ke dalam
pengertiannya tentang pikiran, otak dan kehidupan.

Gangguan Skizoafektif

Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai prognosis di


pertengahan antara prognosis pasien skizofrenia dan prognosis pasien dengan gangguan mood.

Prognosisnya jauh lebih buruk daripada pasien dengan gangguan depresif, lebih buruk dari pada
pasien dengan gangguan bipolar, dan memiliki prognosis yang lebih baik dari pada pasien dengan
skizofrenia. Insidensi bunuh diri di antara pasien dengan gangguan skizoafektif diperkirakan
sekurangnya 10%.

Modalitas terapi yang utama untuk gangguan skizoafektif adalah perawatan di rumah sakit,
medikasi, dan intervensi psikososial. Prinsip dasar yang mendasari farmakoterapi untuk gangguan
psikoafektif adalah bahwa protokol anti depresan dan antimanik diikuti jika semuanya
diindikasikan dan bahwa antipsikotik digunakan hanya jika diperlukan untuk pengendalian jangka
pendek. Jika protokol thymoleptic tidak efektif di dalam mengendalikan gejala atas dasar
berkelanjutan, medikasi antipsikotik dapat diindikasikan. Pasien dengan gangguan skizoafektif,
tipe bipolar, harus mendapatkan percobaan lithium, carbamazepine (Tegretol), valproate
(Depakene), atau suatu kombinasi obat-obat tersebut jika satu obat saja tidak efektif. Pasien dengan
gangguan skizoafektif, tipe depresif, harus diberikan percobaan antidepresan dan terapi
elektrokonvulsif (ECT) sebelum mereka diputuskan tidak responsif terhadap terapi antidepresan.

Gangguan Delusional

Gangguan delusional diperkirakan merupakan diagnosis yang cukup stabil. Kurang dari
25% dari semua pasien gangguan delusional menjadi skizofrenia, kurang dari 10% menjadi
gangguan mood. Kira-kira 50% pasien pulih pada follow-up jangka panjang, 20% lainya
mengalami penurunan gejalanya dan 30% lainnya tidak mengalami perubahan. Pasien dengan
waham kejar, somatik dan erotik diperkirakan memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien
dengan waham kebesaran dan cemburu.

Pada umumnya, pasien dengan gangguan delusional dapat diobati atas dasar rawat jalan. Tetapi,
klinis harusi harus mempertimbangkan perawatan di rumah sakit karena sejumlah alas an tertentu.
Pertama, diperlukan pemeriksaan medis dan neurologis yang lengkap pada diri pasien untuk
menentukan apakah terdapat kondisi medis nonpsikiatrik yang menyebabkan gangguan delusional.
Kedua, pasien perlu diperiksa tentang kemampuannya mengendalikan impuls kekerasan, seperti
bunuh diri dan membunuh, hal tersebut mungkin berhubungan dengan material waham. Ketiga,
perilaku pasien tentang waham mungkin secara bermakna telah mempengaruhi kemampuannya
untuk berfungsi di dalam keluarga atau pekerjaannya, dengan demikian memerlukan intervensi
professional untuk menstabilkan hubungan sosial atau pekerjaan Jika dokter yakin bahwa pasien
akan paling baik jika diobati di rumah sakit, harus diusahakan untuk membujuk pasien supaya
menerima perawatan di rumah sakit; jika hal tersebut gagal, komitmen hukum mungkin
diindikasikan. Seringkali, jika dokter meyakinkan pasien bahwa perawatan di rumah sakit adalah
diperlukan, pasien secara sukarela masuk ke rumah sakit untuk menghindari komitmen hukum.

Gangguan Psikotik Singkat


Pada umumnya pasien dengan gangguan psikotik singkat memiliki prognosis yang cukup
baik. Kecil kemungkinannya untuk menderita episode selanjutnya dan skizofrenia atau suatu
gangguan mood.

Jika seorang pasien psikotik secara akut, perawatan singkat di rumah sakit mungkin diperlukan
untuk pemeriksaan dan perlindungan pasien. Pemeriksaan pasien membutuhkan monitoring ketat
terhadap gejala dan pemeriksaan tingkat bahaya pasien terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Di
samping itu, lingkungan rumah sakit yang tenang dan terstruktur dapat membantu pasien
memperoleh kembali rasa realitasnya. Sambil klinisi menunggu lingkungan dan obat menunjukkan
efeknya, pengurungan, pengikatan fisik, atau monitoring berhadap-hadapan dengan pasien
mungkin diperlukan.

FARMAKOTERAPI

Pada keadaan gawat darurat, seorang pasien yang teragitasi parah harus diberikan suatu
obat antipsikotik secara intramuskular. Walaupun percobaan klinik yang dilakukan secara adekuat
dengan sejumlah pasien belum ada, sebagian besar klinisi berpendapat bahwa obat antipsikotik
adalah obat terpilih untuk gangguan delusional. Pasien gangguan delusional kemungkinan
menolak medikasi karena mereka dapat secara mudah menyatukan pemberian obat ke dalam
system wahamnya. Dokter tidak boleh memaksakan medikasi segera setelah perawatan di rumah
sakit, malahan, harus menggunakan beberapa hari untuk mendapatkan rapport dengan pasien.
Dokter harus menjelaskan efek samping potensial kepada pasien, sehingga pasien kemudian tidak
menganggap bahwa dokter berbohong.

Riwayat pasien tentang respon medikasi adalah pedoman yang terbaik dalam memilih suatu obat.
Seringkali, dokter harus mulai dengan dosis rendah ― sebagai contoh, haloperidol (haldol) 2 mg
― dan meningkatkan dosis secara perlahan-lahan. Jika pasien gagal berespon dengan obat pada
dosis yang cukup dalam percobaan selama enam minggu, antipsikotik darikelas lain harus dicoba.
Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa pimozide (Orap) mungkin efektif dalam gangguan
delusional, khususnya pada pasien dengan waham somatik. Penyebab kegagalan obat yang
tersering adalah ketidakpatuhan, dan kemungkinan tersebut harus diperhitungkan.
Jika pasien tidak mendapatkan manfaat dari medikasi antipsikotik, obat harus dihentikan.Pada
pasien yang berespon terhadap antipsikotik, beberapa data menyatakan bahwa dosis pemeliharaan
adalah rendah. Walaupun pada dasarnya tidak ada data yang mengevaluasi penggunaan
antidepresan, lithium (Eskalith), atau antikonvulsan ― sebagai contohnya, carbamazepine
(Tegretol) dan valproate (Depakene) ― di dalam pengobatan gangguan delusional, percobaan
dengan obat-obat tersebut mungkin diperlukan pada pasien yang tidak responsif terhadap obat
antipsikotik. Percobaan dengan obat-obat tersebut harus dipertimbangkan jika seorang pasien
memiliki ciri suatu gangguan mood atau suatu riwayat keluarga adanya gangguan mood.

PSIKOTERAPI

Elemen penting dalam psikoterapi yang efektif adalah menegakkan suatu hubungan
dimana pasien mulai mempercayai ahli terapi. Terapi individual tampaknya lebih efektif daripada
terapi kelompok. Terapi suportif berorientasi-tilikan, kognitif, dan perilaku seringkali efektif. Pada
awalnya, ahli terapi tidak boleh setuju atau menantang waham pasien. Walaupun ahli terapi harus
menanyakan tentang waham untuk menegakkan luasnya, pertanyaan terus menerus tentang waham
kemungkinan harus dihindari. Dokter dapat menstimulasi motivasi untuk mendapatkan bantuan
dengan menekankan kemauan untuk membantu pasien mengatasi kecemasan atau iritabilitasnya,
tanpa menyatakan bahwa waham yang diobati. Tetapi, ahli terapi tidak bolehsecara aktif
mendukung gagasan bahwa waham merupakan kenyataan.

Kejujuran ahli terapi yang kokoh adalah penting. Ahli terapi harus tepat pada waktunya dan
membuat perjanjian seteratur mungkin, tujuan yang akan dikembangkan adalah hubungan yang
kuat dan saling mempercayai dengan pasien. Kepuasan yang berlebihan malahan dapat
meningkatkan permusuhan dan kecurigaan pasien karena disadari bahwa tidak semua kebutuhan
dapat dipenuhi. Ahli terapi dapat menghindari kepuasan yang berlebihan dengan tidak
memperpanjang periode perjanjian yang telah ditentukan, dengan tidak memberikan perjanjian
ekstra kecuali mutlak diperlukan, dan tidak toleran terhadap bayaran.

Ahli terapi tidak boleh membuat tanda-tanda yang meremehkan tentang waham atau gagasan
pasien tetapi dapat secara simpatik menyatakan pada pasien bahwa keasyikan mereka dengan
wahamnya akan menegangkan diri mereka sendiri dan mengganggu kehidupan yang konstruktif.
Jika pasien mulai ragu-ragu dengan wahamnya, ahli terapi dapat meningkatkan tes realitas dengan
meminta pasien memperjelas permasalahan mereka. Faktor psikodinamika.

Pengalaman internal dari pasien delusional adalah bahwa mereka merupakan korban dunia yang
menyiksa diri mereka. Proyeksi adalah mekanisme pertahanan yang utama, dan semua kebencian
diproyeksikan kepada orang-orang atau institusi di lingkungan. Dengan mensubtitusi ancaman
eksternal dengan ancaman internal, pasien delusional merasakan suatu pengendalian. Kebutuhan
untuk mengendalikan setiap orang di sekitar mereka mencerminkan harga diri yang rendah pada
inti paranoia. Pasien paranoid mengkompensasi perasaan kelemahan dan inferioritas dengan
menganggap bahwa mereka adalah sangat penting sehingga badan pemerintah, orang penting, dan
orang penting lain di dalam lingkungan semuanya sangat memperhatikan diri mereka dan mencoba
menyiksanya.

Klinisi yang berusaha mengobati pasien dengan gangguan delusional harus menghormati
kebutuhan pasien akan pertahanan proyeksi. Ahli psikoterapi harus mau berperan sebagai
penampung semua perasaan negatif yang diproyeksikan oleh pasien; tiap usaha untuk
mengembalikan perasaan tersebut secara prematur akan menyebabkan pasien merasa diserang dan
dipermalukan. Satu akibat wajar dari prinsip tersebut adalah bahwa waham tidak boleh ditantang
saat bekerja secara psikoterapi dengan pasien delusional. Malahan, ahli terapi harus semata-mata
meminta penjelasan lebih jauh tentang persepsi dan perasaan pasien.

Pendekatan lain yang berguna dalam membangun ikatan terapetik adalah bersikap empati dengan
pengalaman internal pasien yang sedang dilanda penyiksaan. Mungkin membantu mengeluarkan
komentar, “Anda pasti merasa lelah, mengingat apa yang telah anda lalui.” Tanpa menyetujui
setiap mispersepsi delusional, ahli terapi dapat menyadari bahwa, dari pandangan pasien, persepsi
tersebut menciptakan penghilangan ketegangan yang baik. Tujuan akhir adalah membantu pasien
memiliki keraguan tentang persepsinya. Saat pasien menjadi kurang kaku, perasaan kelemahan
dan inferioritas yang menyertai depresi dapat timbul. Saat pasien membiarkan perasaan kelemahan
memasuki terapi, suatu hubungan terapetik yang positif telah ditegakkan, dan pekerjaan terapetik
yang konstruktif menjadi dimungkinkan.

Terapi keluarga
Jika anggota keluarga hadir, klinisi dapat memutuskan untuk melibatkan mereka di dalam rencana
pengobatan. Tanpa menjadi terlihat berpihak pada musuh, klinisi harus berusaha mendapatkan
keluarga sebagai sekutu di dalam proses pengobatan. Sebagai akibatnya, baik pasien dan anggota
keluarganya perlu mengerti bahwa konfidensialitas dokter-pasien akan dijaga oleh ahli terapi dan
komunikasi dengan sanak saudara akan dibicarakan pada suatu saat dengan pasien. Keluarga akan
mendapat manfaat dengan membantu ahli terapi dan dengan demikian membantu pasien.

Hasil terapi yang baik tergantung pada kemampuan dokter psikiatrik untuk berespon terhadap
ketidakpercayaan pasien terhadap orang lain dan konflik interpersonal, frustasi, dan kegagalan
yang dihasilkannya. Tanda terapi yang berhasil mungkin adalah suatu kepuasan penyesuaian
sosial, bukannya menghilangkan waham pasien.

FARMAKOTERAPI

Dua kelas utama obat yang harus dipertimbangkan di dalam pengobatan gangguan psikotik
singkat adalah obat antipsikotik antagonis reseptor dopamine dan benzodiazepine. Jika dipilih
suatu antipsikotik, suatu antipsikotik potensi tinggi ― sebagai contohnya, haloperidol (Haldol) ―
biasanya digunakan. Khususnya pada pasien yang berada dalam resiko tinggi untuk mengalami
efek samping ekstrapiramidal (sebagai contohnya, orang muda), suatu obat antikolinergik
kemungkinan harus diberikan bersama-sama dengan antipsikotik sebagai profilaksis terhadap
gajala gangguan pergerakan akibat medikasi. Selain itu, benzodiazepine dapat digunakan dalam
terapi singkat psikosis. Walaupun benzodiazepine memiliki sedikit kegunaan atau tanpa kegunaan
dalam pengobatan jangka panjang gangguan psikotik, obat dapat efektif untuk jangka singkat dan
disertai dengan efek samping yang lebih jarang daripada antipsikotik. Pada kasus yang jarang
benzodiazepine disertai dengan peningkatan agitasi, dan pada kasus yang lebih jarang lagi, dengan
kejang putus obat (withdrawal seizure), yang biasanya hanya terjadi pada penggunaan dosis tinggi
terus menerus. Penggunaan obat lain dalam terapi gangguan psikotik singkat, walaupun dilaporkan
di dalam laporan kasus, belum didukung oleh penelitian skala besar. Tetapi, medikasi hipnotik
seringkali berguna selama satu sampai dua minggu pertama setelah resolusi episode psikotik.
Pemakaian jangka panjang medikasi harus dihindari dalam pengobatan gangguan ini. Jika
medikasi pemeliharaan diperlukan, klinisi harus mempertimbangkan ulang diagnosis.

MITOS MENGENAI PSIKOTIK


Penyakit jiwa, sampai saat ini masih dianggap sebagai penyakit yang memalukan, menjadi
aib bagi si penderita dan keluarganya. Masyarakat kita menyebut penyakit jiwa pada tingkat yang
paling kronis, seperti hilang ingatan, dengan sebutan yang sebenarnya sangat kasar seperti: sinting,
otak miring atau gila (istilah yang menurut seorang psikolog sudah tidak dipakai lagi dalam dunia
psikologi) serta sebutan-sebutan kasar lainnya. Yang lebih menyedihkan, orang yang sakit jiwa,
yang sering kita temui di keramaian atau dijalanan, oleh masyarakat kita dianggap sebagai,
meminjam istilah Irwanto, Phd, “sampah sosial” yang kotor dan hina. Lihat saja kenyataan, orang-
orang—mungkin termasuk kita sendiri jika melihat atau berpapasan dengan orang yang sakit jiwa,
dengan sepontan akan menertawakan, mencemooh, memaki-maki bahkan melemparinya.
Menganggap orang yang sakit jiwa sebagai mahluk kotor, rendah dan hina, bahkan mungkin
dianggap lebih hina dari hewan.

Apa yang diungkapkan di atas adalah persepsi umum masyarakat yang sebenarnya keliru terhadap
penderita kelainan mental dalam kadar yang paling kronis yaitu hilang ingatan. Persepsi
masyarakat terhadap penderita kelainan jiwa dalam pengertian yang lebih luas pun mengarah pada
persepsi yang keliru ini.

Penyakit mental dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status
sosial-ekonomi. Penyakit mental bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi.

Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai penyakit mental, ada
yang percaya bahwa penyakit mental disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh
bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang salah
ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena si sakit tidak mendapat pengobatan
secara cepat dan tepat.

SKIZOFRENIA

DEFINISI

Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu Skizo; yang artinya retak atau pecah (split), dan
Frenia; yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia adalah
seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian. Dewasa ini ilmu
kedokteran mengalami kemajuan yang pesat dengan ditemukannya mekanisme terjadinya
skizofrenia dan obat-obatan anti-skizofrenia, sehingga penderita skizofrenia dapat pulih kembali
dan dapat kembali menjalani kehidupan yang normal.

Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan dasar pada


kepribadian, distorsi khas proses berpikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya
sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya. Waham yang kadang-kadang aneh, gangguan
persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya. Meskipun demikian,
kesadaran yang jernih dan kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu.

Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada


dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Merupakan gangguan jiwa psikotik paling lazim
dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan
antar pribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi
(persepsi tanpa ada rangsang panca indra). Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American
Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita
skizofrenia. 75% Penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja
dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi
penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian
dari tahap penyesuaian diri. Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat
penting karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi
terhadap upaya terapi semakin kuat.

ETIOLOGI

Penyebab skizofrenia belum diketahui dengan pasti. Tetapi, dalam decade yang lalu
semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofisiologis untuk daerah tertentu di otak,
termasuk sistem limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis. Ketiga daerah tersebut saling
berhubungan sehingga disfungsi pada salah satu daerah mungkin melibatkan patologi primer
didaerah lainnya. Dua jenis penelitian telah melibatkan sistem limbik sebagai suatu tempat
potensial untuk patologi primer pada sekurangnya satu bagian, kemungkinan bahkan pada
sebagian besar pasien skizofrenik.

Menurut pendapat lain. Skizofrenia merupakan aktifitas dopamine otak yang berlebihan.
Dilaporkan juga bahwa kadar 5-hydroxyindoleacetic acid (5 HIAA) menurun pada
skizofreniakronik dan pada pasien skizofrenia dengan pelebaran vertikel. Faktor genetik juga
mempunyai peranan penting. Seseorang mempunyai kecenderungan skizofrenia bila mempunyai
keluarga seorang skizofrenia, demikian juga pada kembar monozigot. Ditinjau dari aspek
psikososial,disebutkan terdapat defek dan disintegrasi ego.

PATOFISIOLOGI

Hipotesis dopamine pada skizofrenia adalah yang paling berkembang dari berbagai
hipotesis, dan merupakan dasar dari banyak terapi obat yang rasional. Hipotesis ini menyatakan
bahwa skizofrenia disebabkan oleh terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. Beberapa bukti
yang terkait hal tersebut yaitu: (1) kebanyakan obat-obat antipsikosis menyekat reseptor D2 pasca
sinaps di dalam sistem saraf pusat, terutama di sistem mesolimbik frontal; (2) obat-obat yang
meningkatkan aktifitas dopaminergik, seperti evodopa (suatu precursor), amphetamine (perilis
dopamine), atau apomorphine (suatu agonis reseptor dopamine langsung), baik yang dapat
mengakibatkan skizofrenia atau psikosis pada beberapa pasien; (3) densitas reseptor dopamine
telah terbukti, postmortem, meningkat diotak pasien skizofrenia yang belum pernah dirawat
dengan obat-obat antipsikosis; (4) positron emission tomography (PET) menunjukkan peningkatan
densitas reseptor dopamine pada pasien skizofrenia yang dirawat atau yang tidak dirawat, saat
dibandingkan dengan hasil pemeriksaan PET pada orang yang tidak menderita skizofrenia; dan (5)
perawatan yang berhasil pada pasien skizofrenia telah terbukti mengubah jumlah homovanilic acid
(HVA), suatu metabolit dopamine, di cairan serebrospinal, plasma, danurine. Namun teori dasar
tidak menyebutkan hiperaktivitas dopaminergik apakah karena terlalu banyaknya pelepasan
dopaminergik, terlalu banyaknya reseptor dopaminergik atau kombinasi mekanisme tersebut.
Neuron dopaminergik di dalam jalur mesokortikal dan mesolimbik berjalan dari badan selnya di
otak tengah ke neuron dopaminoseptif di sistem limbik dan korteks serebral. Gejala-gejala
skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok , yaitu primer dan sekunder.

GEJALA

Gejala-Gejala Primer

1. Gangguan proses pikiran (bentuk, langkah, isi pikiran).


Pada skizofrenia inti gangguan memang terdapat pada proses pikiran. Yang terganggu
terutama ialah asosiasi. Kadang-kadang satu ide belum selesai diutarakan, sudah timbul ide
lain. Atau terdapat pemindahan maksud, umpamanya maksudnya “tani” tetapi
dikatakan“sawah”.
Tidak jarang juga digunakan arti simbolik, seperti dikatakan “merah” bila dimaksudkan
“berani”. Atau terdapat “clang association” oleh karena pikiran sering tidak mempunyai tujuan
tertentu, umpamanya piring-miring, atau “…dulu waktu hari, jah memang matahari, lalu saya
lari…”. Semua ini menyebabkan jalan pikiran pada skizofrenia sukar atau tidak dapat diikuti
dan dimengerti. Hal ini dinamakan inkoherensi. Jalan pikiran mudah dibelokkan dan hal ini
menambah inkoherensinya.
Seorang dengan skizofrenia juga kecenderungan untuk menyamakan hal-hal, umpamanya
seorang perawat dimarahi dan dipukuli, kemudian seorang lain yang ada disampingnya juga
dimarahi dan dipukuli.
Kadang-kadang pikiran seakan berhenti, tidak timbul ide lagi. Keadaan ini dinamakan
“blocking”, biasanya berlangsung beberapa detik saja, tetapi kadang-kadang sampai beberapa
hari.
Ada penderita yang mengatakan bahwa seperti ada sesuatu yang lain didalamnya yang
berpikir, timbul ide-ide yang tidak dikehendaki: tekanan pikiran atau “pressure of thoughts”.
Bila suatu ide berulang-ulang timbul dan diutarakan olehnya dinamakan preseverasi atau
stereotipi pikiran.
Pikiran melayang (flight of ideas) lebih sering inkoherensi. Pada inkoherensi sering tidak ada
hubungan antara emosi dan pikiran, pada pikiran melayang selalu ada efori. Pada inkoherensi
biasanya jalan pikiran tidak dapat diikuti sama sekali, pada pikiran melayang ide timbul sangat
cepat, tetapi masih dapat diikuti, masih bertujuan.
2. Gangguan afek dan emosi
Gangguan ini pada skizofrenia mungkin berupa :
Kedangkalan afek dan emosi (“emotional blunting”), misalnya penderita menjadi acuh tak
acuh terhadap hal-hal penting untuk dirinya sendiri seperti keadaan keluarganya dan masa
depannya. Perasaan halus sudah hilang.
 Parathimi : apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, pada penderita
timbul rasa sedih atau marah.
 Paramimi : penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia menangis. Parathimi
dan paramimi bersama-sama dalam bahasa Inggris dinamakan “incongruity of affect”
dalam bahasa Belanda hal ini dinamakan “inadequat”.
 Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai kesatuan,
umpamanya sesudah membunuh anaknya penderita menangis berhari-hari, tetapi
mulutnya tertawa. Semua ini merupakan gangguan afek dan emosi yang khas untuk
skizofrenia. Gangguan afek dan emosi lain adalah :
- Emosi yang berlebihan, sehingga kelihatan seperti dibuat-buat, seperti penderita yang
sedang bermain sandiwara.
- Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya kemampuan untuk melakukan
hubungan emosi yang baik (“emotional rapport”). Karena itu sering kita tidak dapat
merasakan perasaan penderita.
- Karena terpecah belahnya kepribadian, maka dua hal yang berlawanan mungkin
terdapat bersama-sama, umpamanya mencintai dan membenci satu orang yang sama;
atau menangis dan tertawa tentang satu hal yang sama. Ini dinamakan ambivalensi
pada afek.
3. Gangguan kemauan
Banyak penderita dengan skizofrenia mempunyai kelemahan kemauan. Mereka tidak dapat
mengambil keputusan., tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan. Mereka selalu memberikan
alasan, meskipun alasan itu tidak jelas atau tepat, umpamanya bila ditanyai mengapa tidak
maju dengan pekerjaan atau mengapa tiduran terus. Atau mereka menganggap hal itu biasa
saja dan tidak perlu diterangkan.
Kadang-kadang penderita melamun berhari-hari lamanya bahkan berbulan-bulan. Perilaku
demikian erat hubungannya dengan otisme dan stupor katatonik. Negativisme : sikap atau
perbuatan yang negative atau berlawanan terhadap suatu permintaan.
Ambivalensi kemauan : menghendaki dua hal yang berlawanan pada waktu yang sama,
umpamanya mau makan dan tidak mau makan; atau tangan diulurkan untuk berjabat tangan,
tetapi belum sampai tangannya sudah ditarik kembali; hendak masuk kedalam ruangan, tetapi
sewaktu melewati pintu ia mundur, maju mundur. Jadi sebelum suatu perbuatan selesai sudah
timbul dorongan yang berlawanan.
Otomatisme : penderita merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain atau tenaga dari luar,
sehingga ia melakukan sesuatu secara otomatis.
4. Gejala psikomotor
Juga dinamakan gejala-gejala katatonik atau gangguan perbuatan. Kelompok gejala ini juga
dimasukkan dalam kelompok gejala skizofrenia yang sekunder sebab didapati juga pada
penyakit lain.
Sebetulnya gejala katatonik sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya
ringan saja, maka dapat dilihat gerakan-gerakan yang kurang luwes atau yang agak kaku.
Penderita dalam keadaan stupor tidak menunjukkan pergerakan sama sekali. Stupor ini dapat
berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang-kadang bertahun-tahun lamanya pada
skizofrenia yang menahun. Mungkin penderita mutistik. Mutisme dapat disebabkan oleh
waham, ada sesuatu yang melarang ia bicara. Mungkin juga oleh karena sikapnya yang
negativistik atau karena hubungan penderita dengan dunia luar sudah hilang sama sekali
hingga ia tidak ingin mengatakan apa-apa lagi.
Sebaliknya tidak jarang penderita dalam keadaan katatonik menunjukkan hiperkinesa, ia terus
bergerak saja, maka keadaan ini dinamakan logorea. Kadang-kadang penderita menggunakan
atau membuat kata-kata yang baru: neologisme.
Berulang-ulang melakukan suatu gerakan atau sikap disebut stereotipi; umpamanya menarik-
narik rambutnya, atau tiap kali mau menyuap nasi mengetok piring dulu beberapa kali.
Keadaan ini dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa tahun. Stereotipi pembicaraan
dinamakan verbigerasi, kata atau kalimat diulang-ulangi. Mannerisme adalah stereotipi yang
tertentu pada skizofrenia, yang dapat dilihat dalam bentuk grimas pada mukanya atau
keanehan berjalan dan gaya.
Gejala katalepsi ialah bila suatu posisi badan dipertahankan untuk waktu yang lama.
Fleksibilitas cerea: bila anggota badan dibengkokkan terasa suatu tahanan seperti pada lilin.

Negativisme : menentang atau justru melakukan yang berlawanan dengan apa yang disuruh.
Otomatisme komando (“command automatism”) sebetulnya merupakan lawan dari
negativisme : semua perintah dituruti secara otomatis, bagaimana ganjil pun. Termasuk dalam
gangguan ini adalah echolalia (penderita meniru kata-kata yang diucapkan orang lain) dan
ekophraksia (penderita meniru perbuatan atau pergerakan orang lain).
Gejala-Gejala Sekunder
1. Waham
Pada skizofrenia, waham sering tidak logis sama sekali dan sangat bizarre. Tetapi penderita
tidak menginsafi hal ini dan untuk dia wahamnya adalah fakta dan tidak dapat diubah oleh
siapapun. Sebaliknya ia tidak mengubah sikapnya yang bertentangan, umpamanya
penderita berwaham bahwa ia raja, tetapi ia bermain-main dengan air ludahnya dan mau
disuruh melakukan pekerjaan kasar. waham dibagi dalam dua kelompok yaitu waham
primer dan waham sekunder, waham sistematis atau tafsiran yang bersifat waham
(delutional interpretations).
Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab apa-apa dari
luar. Halini hampir patognomonis buat skizofrenia. Umpamanya istrinya sedang berbuat
serong sebab ia melihat seekor cicak berjalan dan berhenti dua kali, atau seorang penderita
berkata “dunia akan kiamat sebab ia melihat seekor anjing mengangkat kaki terhadap
sebatang pohon untuk kencing.
Waham sekunder biasanya logis kedengarannya dapat diikuti dan merupakan cara
bagi penderita untuk menerangkan gejala-gejala skizofrenia lain. Waham dinamakan
menurut isinya : waham kebesaran atau ekspansif, waham nihilistik, waham kejaran,
waham sindiran, waham dosa, dan sebagainya.
2. Halusinasi
Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini merupakan
gejala yang hampir tidak dijumpai dalam keadaan lain. Paling sering pada keadaan
sskizofrenia ialah halusinasi (oditif atau akustik) dalam bentuk suara manusia, bunyi
barang-barang atau siulan. Kadang-kadang terdapat halusinasi penciuman (olfaktorik),
halusinasi citra rasa (gustatorik) atau halusinasi singgungan (taktil). Umpamanya penderita
mencium kembang kemanapun ia pergi, atau ada orang yang menyinarinya dengan alat
rahasia atau ia merasa ada racun dalam makanannya Halusinasi penglihatan agak jarang
pada skizofrenia lebih sering pada psikosa akut yang berhubungan dengan sindroma otak
organik bila terdapat maka biasanya pada stadium permulaan misalnya penderita melihat
cahaya yang berwarna atau muka orang yang menakutkan.
Diatas telah dibicarakan gejala-gejala. Sekali lagi, kesadaran dan intelegensi tidak
menurun pada skizofrenia. Penderita sering dapat menceritakan dengan jelas
pengalamannya dan perasaannya. Kadang-kadang didapati depersonalisasi atau “double
personality”, misalnya penderita mengidentifikasikan dirinya dengan sebuah meja dan
menganggap dirinya sudah tidak adalagi. Atau pada double personality seakan-akan
terdapat kekuatan lain yang bertindak sendiri didalamnya atau yang menguasai dan
menyuruh penderita melakukan sesuatu.
Pada skizofrenia sering dilihat otisme : penderita kehilangan hubungan dengan dunia luar
ia seakan-akan hidup dengan dunianya sendiri tidak menghiraukan apa yang terjadi
disekitarnya.
Depersonalisasi, double personality dan otisme digolongkan sebagai gejala primer. Tetapi
juga ada yang mengatakan bahwa otisme terjadi karena sangat terganggunya afek dan
kemauan.

Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menilai simptom dan gejala klinis skizofrenia adalah:
1) Tidak ada symptom atau gejala klinis yang patognomonik untu skizofrenia. Artinya
tidak ada simptom yang khas atau hanya terdapat pada skizofrenia. Tiap simptom
skizofrenia mungkin ditemukan pada gangguan psikiatrik atau gangguan syaraf
lainnya. Karena itudiagnosis skizofrenia tidak dapat ditegakkan dari pemeriksaan
status mental saat ini. Riwayat penyakit pasien merupakan hal yang esensial untuk
menegakkan diagnosis skizofrenia.
2) Simptom dan gejala klinis pasien skizofrenia dapat berubah dari waktu ke waktu. Oleh
karena itu pasien skizofrenia dapat berubah diagnosis subtipenya dari perawatan
sebelumnya (yang lalu). Bahkan dalam satu kali perawatanpun diagnosis subtipe
mungkin berubah.
3) Harus diperhatikan taraf pendidikan, kemampuan intelektual dan latar belakang sosial
budaya pasien. Sebab perilaku atau pola pikir masyarakat dari sosial budaya tertentu
mungkin dipandang sebagai suatu hal yang aneh bagi budaya lain. Contohnya memakai
koteka di Papua merupakan hal yang biasa namun akan dipandang aneh jika dilakukan
di Jakarta. Selain itu hal yang tampaknya merupakan gangguan realitas mungkin akibat
keterbatasan intelektual dan pendidikan pasien.
KLASIFIKASI

Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan di muka, dalam PPDGJ III
skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang mempunyai spesifikasi masing-masing,
yang kriterianya di dominasi dengan hal-hal sebagai berikut :

1. Skizofrenia Paranoid·
- Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
- Sebagai tambahan :
Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit, mendengung, atau
bunyi tawa.
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain
perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of
control), dipengaruhi (delusion of influence), atau “Passivity” (delusion of
passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling
khas.
- Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara
relatif tidak nyata / menonjol.

Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua daripada pasien skizofrenik
terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama penyakitnya.
Pasienyang sehat sampai akhir usia 20 atau 30 tahunan biasanya mencapai kehidupan
social yangdapat membantu mereka melewati penyakitnya. Juga, kekuatan ego paranoid
cenderung lebih besar dari pasien katatonik dan terdisorganisasi.

Pasien skizofrenik paranoid menunjukkan regresi yang lambat dari kemampuan mentalnya,
respon emosional, dan perilakunya dibandingkan tipe lain pasien skizofrenik. Pasien
skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga, berhati-hati, dan tak ramah. Mereka
juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif. Pasien skizofrenik paranoid kadang-kadang
dapat menempatkan diri mereka secara adekuat didalam situasi social. Kecerdasan mereka
tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak.

2. Skizofrenia Hebefrenik
- Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
- Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau
dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
- Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang menyendiri
(solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.
- Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan
kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas
berikut ini memang benar bertahan :
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; adakecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan
perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;
- Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai
oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum
sendiri (self-absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty manner),
tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau
(pranks), keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang
(reiterated phrases);
- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling)
serta inkoheren.
- Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya
menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting
andfragmentary delusions and hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang
bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku
penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa
maksud (empty of purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat
dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar
orang memahami jalan pikiran pasien.
3. Skizofrenia Katatonik
- Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia
- Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya:
a) stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam
gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara);
b) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal).
c) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua
perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan kearah yang
berlawanan);
e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
menggerakkan dirinya);
f) Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak dan
tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
g) Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
- Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang
memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
- Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik
untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan
metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
Selama stupor atau kegembiraan katatonik, pasien skizofrenik memerlukan
pengawasan yang ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang
lain. Perawatan medis mungkin ddiperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan,
hiperpireksia, atau cedera yang disebabkan oleh dirinya sendiri.
4. Skizofrenia tak terinci (Undifferentiated)
Seringkali Pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan kedalam
salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria
diagnostic menurut PPDGJ III yaitu:
- Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
- Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau
katatonik.
- Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.
5. Depresi Pasca-Skizofrenia
- Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
a) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis umum
skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi
gambaran klinisnya); dan
c) Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit
kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2
minggu.
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi episode
depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol, diagnosis harus
tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.
6. Skizofrenia Residual
- Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua
:
a) Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan
inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-
verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan
posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang
(minimal) dan telah timbul sindrom “negative” dari skizofrenia;
d) Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain, depresi
kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negative
tersebut.
Tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus menerus adanya gangguan
skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala yang cukup untuk
memenuhi tipelain skizofrenia. Penumpulan emosional, penarikan social, perilaku
eksentrik, pikiran yangtidak logis, dan pengenduran asosiasi ringan adalah sering
ditemukan pada tipe residual. Jika waham atau halusinasi ditemukan maka hal tersebut
tidak menonjol dan tidak disertai afek yang kuat.
7. Skizofrenia Simpleks
- Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada
pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :
- gejala “negative” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan
- disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu,
tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
- Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.
Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama
pada jenis simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan
proses berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali
terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan sekali. Pada permulaan mungkin penderita
mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan.
Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya menjadi
pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan menjadi
pengemis, pelacur, atau penjahat.
8. Skizofrenia lainnya
9. Skizofrenia YTT
Selain beberapa subtipe di atas, terdapat penggolongan skizofrenia lainnya antara lain :
- Bouffe delirante (psikosis delusional akut). Konsep diagnostik Perancis dibedakan dari
skizofrenia terutama atas dasar lama gejala yangkurang dari tiga bulan. Diagnosis
adalah mirip dengan diagnosis gangguan skizofreniform didalam DSM-IV. Klinisi
Perancis melaporkan bahwa kira-kira empat puluh persen diagnosis delirante
berkembang dalam penyakitnya dan akhirnya diklasifikasikan sebagai media
skizofrenia.
- Skizofrenia laten.
Konsep skizofrenia laten dikembangkan selama suatu waktu saat terdapat
konseptualisasi diagnostic skizofrenia yang luas. Sekarang, pasien harus sangat sakit
mental untuk mendapatkan diagnosis skizofrenia; tetapi pada konseptualisasi
diagnostik skizofrenia yang luas, pasien yang sekarang ini tidak terlihat sakit berat
dapat mendapatkan diagnosis skizofrenia. Sebagai contohnya, skizofrenia laten sering
merupakan diagnosis yangdigunakan gangguan kepribadian schizoid dan skizotipal.
Pasien tersebut mungkin kadang-kadang menunjukkan perilaku aneh atau gangguan
pikiran tetapi tidak terus menerus memanifestasikan gejala psikotik. Sindroma juga
dinamakan skizofrenia ambang (borderline schizophrenia) di masa lalu.
- Oneiroid
Keadaan oneiroid adalah suatu keadaan mirip mimpi dimana pasien mungkin pasien
sangat kebingungan dan tidak sepenuhnya terorientasi terhadap waktu dan tempat.
Istilah “skizofrenik oneiroid” telah digunakan bagi pasien skizofrenik yang khususnya
terlibat didalam pengalaman halusinasinya untuk mengeluarkan keterlibatan didalam
dunia nyata. Jika terdapat keadaan oneiroid, klinisi harus berhati-hati dalam memeriksa
pasien untuk adanya suatu penyebab medis atau neurologist dari gejala tersebut.
- Parafrenia.
Istilah ini seringkali digunakan sebagai sinonim untuk “skizofrenia paranoid”. Dalam
pemakaian lain istilah digunakan untuk perjalanan penyakit yang memburuk secara
progresif atau adanya system waham yang tersusun baik. Arti ganda dari istilah ini
menyebabkannya tidak sangat berguna dalam mengkomunikasikan informasi.
- Pseudoneurotik.
Kadang-kadang, pasien yang awalnya menunjukkan gejala tertentu seperti kecemasan,
fobia, obsesi, dan kompulsi selanjutnya menunjukkan gejala gangguan pikiran dan
psikosis. Pasien tersebut ditandai oleh gejala panansietas, panfobia, panambivalensi
dan kadang-kadang seksualitas yang kacau. Tidak seperti pasien yang menderita
gangguan kecemasan, mereka mengalami kecemasan yang mengalir bebas (free-
floating) dan yang sering sulit menghilang. Didalam penjelasan klinis pasien, mereka
jarang menjadi psikotik secara jelas dan parah.
- Skizofrenia Tipe I.
Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah simptom positif yaitu
asosiasi longgar, halusinasi, perilaku aneh, dan bertambah banyaknya pembicaraan.
Disertai dengan struktur otak yang normal pada CT dan respon yang relatif baik
terhadap pengobatan.
- Skizofrenia tipe II.
Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah simptom negative
yaitu pendataran atau penumpulan afek, kemiskinan pembicaraan atau isi pembicaraan,
penghambatan (blocking), dandanan yang buruk, tidak adanya motivasi, anhedonia,
penarikan sosial, defek kognitif, dan defisit perhatian. Disertai dengan kelainan otak
struktural pada pemeriksaan CT dan respon buruk terhadap pengobatan.

PEDOMAN DIAGNOSIS BERDASARKAN PPDGJ III

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi ketiga


(PPDGJIII) membagi gejala skizofrenia dalam kelompok-kelompok penting, dan yang sering
terdapat secara bersama-sama untuk diagnosis. Adapun pedoman diagnosis tersebut yaitu:

 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau
lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. - “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda;atau
-“thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya;
dan
- “thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya.
b. - “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau
- “delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau
-“delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
suatu kekuatan dari luar; (tentang “dirinya” = secara jelas merujuk kepergerakan tubuh
atau anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginraan khusus);
-“delusional perception” = pengalaman indrawi yang tak wajar, yang bermakna sangat
khas bagi dirinya biasanya bersifat mistik atau mikjizat;
c. Halusinasi auditorik
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap prilaku pasien, /
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (di antara berbagai suara
yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu
atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia lain.
 Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a. Halusinasi yang menetap dari panca-indra apa saja, apabila disertai baik oleh waham
yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang
jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau
apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus-
menerus;
b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi daya tertentu
(posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
d. Gejala-gejala “negatif”, seperti sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon emosional
yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari
pergaulan sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika;
 Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan
atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fese nonpsikotik prodromal;
 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall
quality) dari beberapa aspek perilaku peribadi (personal behavour), bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri
(self absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.

TERAPI PENYAKIT SKIZOFRENIA

Obat neuroleptika selalu diberikan, kecuali obat-obat ini terkontraindikasi, karena 75%
penderita skizofrenia memperoleh perbaikan dengan obat-obat neuroleptika. Kontra indikasi
meliputi neuroleptika yang sangat antikolinergik seperti klorpromazin, molindone, dan
thioridazine pada penderita dengan hipertrofi prostate atau glaucoma sudut tertutup. Antara
sepertiga hingga separuh penderita skizofrenia dapat membaik dengan lithium. Namun
krenlithium belum terbukti lebih baik dari neuroleptika, penggunan disarankan sebatas obat
penopang. Meskipun terapi elektrokonvulsif (ECT) lebih rendah dibanding dengan neuroleptika
bila dipakai sendirian, penambahan terapi ini pada regimen neuroleptika menguntungkan beberapa
penderita skizofrenia.

Hal yang penting dilakukan adalah intervensi psikososial. Hal ini dilakukan dengan
menurunkan stressor lingkungan atau mempertinggi kemampuan penderita untuk
mengatasinya,dan adanya dukungan social.

MITOS MENGENAI SKIZOFRENIA

Penyakit jiwa, sampai saat ini masih dianggap sebagai penyakit yang memalukan, menjadi
aib bagi si penderita dan keluarganya. Masyarakat kita menyebut penyakit jiwa pada tingkat yang
paling kronis, seperti hilang ingatan, dengan sebutan yang sebenarnya sangat kasar seperti: sinting,
otak miring atau gila (istilah yang menurut seorang psikolog sudah tidak dipakai lagi dalam dunia
psikologi) serta sebutan-sebutan kasar lainnya. Yang lebih menyedihkan, orang yang sakit jiwa,
yang sering kita temui di keramaian atau dijalanan, oleh masyarakat kita dianggap sebagai,
meminjam istilah Irwanto, Phd, “sampah sosial” yang kotor dan hina. Lihat saja kenyataan, orang-
orang—mungkin termasuk kita sendiri jika melihat atau berpapasan dengan orang yang sakit jiwa,
dengan sepontan akan menertawakan, mencemooh, memaki-maki bahkan melemparinya.
Menganggap orang yang sakit jiwa sebagai mahluk kotor, rendah dan hina, bahkan mungkin
dianggap lebih hina dari hewan.

Mengapa masyarakat kita menganggap dan memperlakukan orang-orang yang sakit jiwa
seperti itu? Bukankah mereka juga manusia, makhluk ciptaan Tuhan yang sebelumnya sama
mulianya seperti manusia lainnya? Lalu karena suatu hal, suatu musibah, mereka kehilangan
kewarasannya, kehilangan akal sehatnya. Setelah itu, pantaskah kita menganggapnya sebagai
makhluk hina dan tak berharga? Pantaskah keluarganya, orang-orang terdekatnya dan
lingkungannya, menganggapnya sebagai aib?

Apa yang diungkapkan di atas adalah persepsi umum masyarakat yang sebenarnya keliru
terhadap penderita kelainan mental dalam kadar yang paling kronis yaitu hilang ingatan. Persepsi
masyarakat terhadap penderita kelainan jiwa dalam pengertian yang lebih luas pun mengarah pada
persepsi yang keliru ini.

Penyakit mental dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun
status sosial-ekonomi. Penyakit mental bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi.

Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai penyakit
mental, ada yang percaya bahwa penyakit mental disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang
menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan
yang salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena si sakit tidak mendapat
pengobatan secara cepat dan tepat.

Anda mungkin juga menyukai