A. PENGERTIAN
Anemia adalah penurunan kadar hemoglobin (Hb), hematokrit atau
hitung eritrosit (red cell count) berakibat pada penurunan kapasitas
pengangkutan oksigen oleh darah. Tetapi harus di ingat pada keadaan tertentu
dimana parameter tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti pada
dehidrasi , perdarahan akut, dan kehamilan . oleh karena itu dalam diagnosa
anemia tidak cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat
ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Kadar Hb
normal laki-laki dewasa < 13 g/dl, wanita dewasa tidak hami < 12 g/dl (Amin
Huda Nuratif & Hardhi Kusuma, 2015)
Anemia merupakan keadaan dimana masa eritrosit dan atau masa
hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan
oksigen bagi jaringan tubuh. Secara laboratoris, anemia dijabarkan sebagai
penurunan kadar hemoglobin serta hitung eritrosit dan hematokrit di bawah
normal (Handayani & Andi, 2008).
Batasan umum seseorang dikatakan anemia dapat menggunakan
kriteria WHO pada tahun 1968, dengan kriteria sebagai berikut (Handayani &
Andi, 2008):
1. Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dl
2. Perempuan dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dl
3. Perempuan dewasa hamil Hb < 11 gr/dl
4. Anak usia 6-14 tahun Hb < 12 gr/dl
5. Anak usia 6 bulan – 6 tahun Hb < 11 gr/dl
Untuk kriteria anemia di klinik, rumah sakit, atau praktik klinik pada
umumnya dinyatakan anemia bila terdapat nilai sebagai berikut (Handayani &
Andi, 2008):
1. Hb < 10 gr/dl
2. Hematokrit < 30%
3. Eritrosit < 2,8 juta/mm2
B. ETIOLOGI
Menurut Price & Wilson (2005) penyebab anemia dapat
dikelompokan sebagai berikut:
1. Gangguan produksi eritrosit yang dapat terjadi karena:
a. Perubahan sintesa Hb yang dapat menimbulkan anemi difisiensi Fe,
Thalasemia, dan anemi infeksi kronik.
b. Perubahan sintesa DNA akibat kekurangan nutrien yang dapat
menimbulkan anemi pernisiosa dan anemi asam folat.
c. Fungsi sel induk (stem sel) terganggu , sehingga dapat menimbulkan
anemia aplastik dan leukemia.
d. Infiltrasi sumsum tulang, misalnya karena karsinoma.
2. Kehilangan darah
a. Akut karena perdarahan atau trauma atau kecelakaan yang terjadi
secara mendadak.
b. Kronis karena perdarahan pada saluran cerna atau menorhagia.
3. Meningkatnya pemecahan eritrosit (hemolisis)
Hemolisis dapat terjadi karena:
a. Faktor bawaan, misalnya, kekurangan enzim G6PD (untuk mencegah
kerusakan eritrosit.
b. Faktor yang didapat, yaitu adanya bahan yang dapat merusak eritrosit
misalnya, ureum pada darah karena gangguan ginjal atau penggunaan
obat acetosal.
4. Bahan baku untuk pembentukan eritrosit tidak ada
Bahan baku yang dimaksud adalah protein , asam folat, vitamin B12,
dan mineral Fe. Sebagian besar anemia anak disebabkan oleh kekurangan
satu atau lebih zat gizi esensial (zat besi, asam folat, B12) yang digunakan
dalam pembentukan sel-sel darah merah. Anemia bisa juga disebabkan
oleh kondisi lain seperti penyakit malaria, infeksi cacing tambang.
C. ANATOMI FISIOLOGI
b. Leukosit
Dalam keadaan normal jumlah sel darah putih ini sekitar 5000 –
9000/mm3 . Ada beberapa tipe sel darah putih, masing– masing
mempunyai karakteristik sendiri – sendiri mengenai ukuran, bentukan
dan warnanya :
1) Neutrophil, meningkat pada infeksi kuman.
2) Eosinophil, meningkat pada infeksi cacing, flu atau alergi.
Berfung sisebagai detoktifikasi protein asing masuk ketubuh
3) Basophil, susah dilihat karena banyak mengandung granule pada
sitoplasma.
4) Lymphocyte, meningkat pada infeksi virus. Berfungsi sebagai
kekebalan tubuh (antibody).
5) Monocyte, sel darah putih terbesar.
Fungsi utama sel darah putih ini melindungi tubuh terhadap
mikroorganisme (kuman) dengan makrofagosit (menyerang) kuman
yang masuk, mengatasi inflamasi dan immunitas. Masa aktif sel darah
putih ini kira-kira 12 jam.
c. Trombosit (platelet)
Merupakan sel darah pling kecil, jumlah sel ini sekitar 250.000 /
mm3. Fungsinya berkaitan dengan pembekuan darah dan hemostasis
(menghentikan perdarahan). Sel darah ini berisi beberapa faktor
pembeku darah, bila jumlah nya hanya sedikit dapat menyebabkan
pendarahan. Masa hidup trombosit sekitar 10 hari. (Tarwoto, 2008 :
19)
D. PATOFISIOLOGI
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum tulang
atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum
tulang dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor,
atau akibat penyebab yang tidak diketahui. Lisis sel darah merah terjadi dalam
sel fagositik atau dalam sistem retikulo endothelial, terutama dalam hati dan
limpa. Sebagai hasil sampingan dari proses tersebut, bilirubin yang terbentuk
dalam fagositi akan memasuki aliran darah. Apabila sel darah merah
mengalami penghancuran dalam sirkulasi, maka hemoglobin akan muncul
dalam plasma. Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas hemoglobin
plasma, makan hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal dan ke
dalam urin. Pada dasarnya gejala anemia timbul karena dua hal, yaitu anoksia
organ target karena berkurangnya jumlah oksigen yang dapat dibawa oleh
darah ke jaringan dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap anemia.
Kombinasi kedua penyebab ini akan menimbulkan gejala yang disebut sindrom
anemia (Handayani & Andi, 2008).
Berdasarkan proses patofisiologi terjadinya anemia, dapat
digolongkan pada tiga kelompok (Edmundson, 2013 dalam Rokim dkk, 2014):
1. Anemia akibat produksi sel darah merah yang menurun atau gagal
Pada anemia tipe ini, tubuh memproduksi sel darah yang terlalu sedikit
atau sel darah merah yang diproduksi tidak berfungsi dengan baik. Hal ini
terjadi akibat adanya abnormalitas sel darah merah atau kekurangan
mineral dan vitamin yang dibutuhkan agar produksi dan kerja dari eritrosit
berjalan normal. Kondisi kondisi yang mengakibatkan anemia ini antara
lain sickle cell anemia, gangguan sumsum tulang dan stem cell, anemia
defisiensi zat besi, vitamin B12, dan Folat, serta gangguan kesehatan lain
yang mengakibatkan penurunan hormon yang diperlukan untuk proses
eritropoesis.
2. Anemia akibat penghancuran sel darah merah
Bila sel darah merah yang beredar terlalu rapuh dan tidak mampu bertahan
terhadap tekanan sirkulasi maka sel darah merah akan hancur lebih cepat
sehingga menimbulkan anemia hemolitik. Penyebab anemia hemolitik
yang diketahui atara lain:
a. Keturunan, seperti sickle cell anemia dan thalassemia.
b. Adanya stressor seperti infeksi, obat obatan, bisa hewan, atau
beberapa jenis makanan.
c. Toksin dari penyakit liver dan ginjal kronis.
d. Autoimun.
e. Pemasangan graft, pemasangan katup buatan, tumor, luka bakar,
paparan kimiawi, hipertensi berat, dan gangguan thrombosis.
Sedangkan menurut Handayani & Andi (2008), tanda dan gejala anemia dibagi
menjadi tiga golongan besar, yaitu sebagai berikut:
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaa penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan
diagnose anemia adalah (Handayani & Andi, 2008):
1. Pemeriksaan laboratorium hematologis
a. Tes penyaring: dilakukan pada tahap awal pada setiap kasus anemia.
Pemeriksaan ini meliputi pengkajian pada komponen-komponen,
seperti kadar hemoglobin, indeks eritrosit (MCV, MCH, dan MCHC),
asupan darah tepi.
b. Pemeriksaan rutin: untuk mengetahui kelainan pada sistem leukosit
dan trombosit. Pemeriksaan yang dikerjakan meliputi laju endap darah
(LED), hitung diferensial, dan hitung retikulosit.
c. Pemeriksaan sumsum tulang: dilakukan pada kasus anemia dengan
diagnosis definitive meskipun ada beberapa kasus diagnosisnya tidak
memerlukan pemeriksaan sumsum tulang.
2. Pemeriksaan laboratorium nonhematologis
a. Faal ginjal
b. Faal endokrin
c. Asam urat
d. Faat hati
e. Biakan kuman
3. Pemeriksaan penunjang lain
a. Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan hispatologi.
b. Radiologi: torak, bone survey, USG, atau limfangiografi.
c. Pemeriksaan sitogenetik.
d. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR: polymerase chain reaction,
FISH: fluorescence in situ hybridization).
H. KOMPLIKASI
1. Gagal jantung akibat anemia berat
2. Kematian akibat infeksi dan perdarahan apabila sel – sel lain ikut terkena.
(Wiwik Handayani, 2008 : 47)
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan yang tepat dilakukan untuk pasien anemia sesuai
jenisnya, dapat dilakukan dengan (Baughman, 2000):
1. Anemia Aplastik
a. Transplantasi sumsum tulang.
b. Pemberian terapi imunosupresif dengan globulin antitimosit (ATG).
c. Hentikan semua obat yang menyebabkan anemia tersebut.
d. Cegah timbulnya gejala-gejala dengan melakukan transfuse sel-sel
darah merah dan trombosit.
e. Lindungi pasien yang rentan terhadap leukopenia dari kontak dengan
orang-orang yang menderita infeksi.
2. Anemia defisiensi besi
a. Teliti sumber penyebab yang mungkin dapat berupa malignasi
gastrointestinal, fibroid uteri, atau kanker yang dapat disembuhkan.
b. Lakukan pemeriksaan feses untuk mengetahui darah samar.
c. Berikan preparat besi orang yang diresepkan.
d. Hindari tablet dengan salut enteric, karena diserap dengan buruk.
e. Lanjutkan terapi besi sampai setahun setelah perdarahan terkontrol.
3. Anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12 dan defisiensi asam folat)
Anemia defisiensi vitamin B12:
a. Pemberian suplemen vitamin atau susu kedelai difortifikasi (pada
vege tarian ketat).
b. Suntikan vitamin B12 secara IM untuk kelainan absorpsi atau tidak
terdapatnya faktor-faktor instriksik.
c. Cegah kambuhan dengan vitamin B12 selama hidup untuk pasien
anemia pernisiosa atau malabsorpsi yang tidak dapat diperbaiki.
a. Anemia defisiensi asam folat:
d. Pemberian diit nutrisi dan 1 mg gram asam folat setiap hari.
e. Asam folat IM untuk sindrom malabsorpsi.
f. Asam folat oral diberikan dalam bentuk tablet (kecuali vitamin
prenatal).
4. Anemia sel sabit
a. Arus utama terapi adalah hidrasi dan analgesia.
b. Hidrasi dengan 3-5L cairan intravena dewasa per hari.
c. Berikan dosis adekuat analgesik narkotik.
d. Gunakan obat anti inflamasi non steroid untuk nyeri yang lebih ringan.
e. Transfusi dipertahankan untuk krisis aplastik, krisis yang tidak
responsive terhadap terapi, pada preoperasi untuk mengencerkan
darah sabit, dan kadang-kadang setengah dari masa kehamilan untuk
mencegah krisis.
J. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Cakupkan informasi tentang obat yang dapat menekan aktivitas
sumsum tulang atau mengganggu metabolism folat.
b. Tanyakan tentang semua kemungkinan kehilangan darah yang terjadi,
seperti menstruasi dengan darah yang banyak, terdapat darah dalam
feses.
c. Tanyakan riwayat keluarga mengenai anemia yang diturunkan.
d. Tanyakan tentang kebiasaan diit terhadap defisiensi nutrisi, seperti zat
besi, vitamin B12, dan asam folat.
e. Kaji terhadap peningkatan beban jantung:
1) Takikardia, palpitasi, dispneu.
2) Pusing, ortopneu, dispneu karena aktivitas fisik.
f. Kaji terhadap gagal jantung kongestif:
1) Kardiomegali.
2) Hepatomegali.
3) Edema perifer.
g. Kaji terhadap defisit neurologis
1) Parestesia dan kebas perifer.
2) Ataksia dan koordinasi yang buruk.
3) Kekacauan mental.
h. Kaji terhadap fungsi gastrointestinal
1) Mual dan muntah.
2) Diare.
3) Anoreksia.
4) Glositis.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d perubahan ikatan O2
dengan Hb, penurunan konsentrasi Hb dalam darah.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d inadekuat
intake makanan.
c. Intoleransi aktifitas b.d ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen.
d. Disfungsi motilitas gastrointestinal b.d penurunan gerakan peristaltic
usus.
e. Pengabaian diri b.d ketidakmampuan dalam memenuhi ADL.
3. Intervensi
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer, intervensi:
1) Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap
panas/dingin/tajam/tumpul.
2) Monitor adanya paretese.
3) Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lesi atau
laserasi.
4) Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung.
5) Monitor adanya tromboplebitis.
6) Monitor kemampuan BAB.
7) Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik sesuai kebutuhan.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, intervensi:
1) Kaji adanya alergi makanan.
2) Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang
dibutuhkan.
3) Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe, protein dan
vitamin C.
4) Berikan substansi gula.
5) Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
6) Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan
ahli gizi).
7) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
8) Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi.
9) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
nutrisi yang dibutuhkan pasien.