Anda di halaman 1dari 18

Jurnal Mercatoria Vol. 7 No.

2/Desember 2014 ISSN No:1979-8652

ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMILU


DALAM UU NO. 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD

Tomita Juniarta Sitompul1, Marlina2


1Komisi Pemilihan Umum Kota Medan
2Universitas Sumatera Utara
1tomitajutompul@yahoo.com
2linafulinsia@yahoo.com

ABSTRAK

Pemilihan Umum adalah wahana untuk menentukan arah perjalanan bangsa sekaligus
menentukan siapa yang paling layak untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan Negara
tersebut. Pemilu merupakan proses pemilihan pemimpin bangsa dan merupakan wujud dari
kedaulatan rakyat dan wujud partisipasi politik rakyat dalam sebuah Negara Demokrasi,
maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa kebersihan, kejujuran dan keadilan
pelaksanaan pemilihan umum akan mencerminkan kualitas di Negara yang bersangkutan.
Tindak pidana pemilu merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pemilu yang diatur dalam undang-undang pemilu. Perkembangan tindak pidana pemilu
tersebut meliputi semakin luasnya cakupan tindak pidana pemilu, peningkatan jenis tindak
pidana pemilu dan peningkatan sanksi pidana. Penyelesaian tindak pidana pemilu dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang menempatkan. Tindak
pidana pemilu dipandang sebagai sesuatu tindakan terlarang yang serius sifatnya dan harus
diselesaikan dalam waktu singkat, agar dapat tercapai tujuan mengadakan ketentuan pidana
untuk melindungi proses demokrasi melalui pemilu.

Kata Kunci : Tindak Pidana, Pemilu, Legislatif.

ABSTRACT

Election is a vehicle to determine the direction of travel of the nation as well as determine who is
most worthy to rule the State administration. Election is the process of selecting the leader of
the nation and is a manifestation of the people's sovereignty and a form of political
participation of the people in a Democratic State, it is no exaggeration to say that the
cleanliness, honesty and fairness of elections will reflect the quality of the State concerned.
Election criminal offense is a criminal offense relating to the conduct of elections stipulated in the election
law. Criminal election developments include the increasingly wide scope of criminal election, the increase
of the offenses elections and increased criminal sanctions. The completion of the crime of elections
conducted in accordance with the legislation in force, which puts. Criminal election seen as prohibited
acts serious in nature and must be completed in a short time, in order to achieve the purpose of holding
the criminal provisions to protect the democratic process through elections.

Keywords: Crime, Election, Legislative

I. Pendahuluan pemerintahan Negara tersebut.1 Pemilu


Pemilihan Umum (selanjutnya merupakan proses pemilihan pemimpin
disingkat Pemilu) adalah wahana untuk bangsa dan merupakan wujud dari
menentukan arah perjalanan bangsa kedaulatan rakyat dan wujud partisipasi
sekaligus menentukan siapa yang paling
layak untuk menjalankan kekuasaan
1 Nur Hidayat Sardini, Restorasi
Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia,
(Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011), halaman
298

161
Jurnal Mercatoria Vol. 7 No. 2/Desember 2014 ISSN No:1979-8652

politik rakyat dalam sebuah Negara yang sebesar-besarnya dan berkurangnya


Demokrasi, maka tidaklah berlebihan bila penderitaan.3
dikatakan bahwa kebersihan, kejujuran dan Indonesia sejak awal telah
keadilan pelaksanaan pemilihan umum akan mempunyai regulasi tentang pemilu. Ini
mencerminkan kualitas di Negara yang menunjukkan bahwa betapa pemilu menjadi
bersangkutan. sangat penting dalam kehidupan bernegara
Pemilu dilakukan dalam kurun waktu di Indonesia. Kondisi ideal tersebut
lima tahun sekali dengan asas Langsung, tampaknya tidak senantiasa berjalan mulus
Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil. Pemilu tanpa adanya anomali atau fenomena-
diselenggarakan tidak hanya untuk memilih fenomena yang mencederai nilai-nilai
Presiden dan Wakil Presiden sebagai idealistik dari pemilu tersebut, sejak awal
pemimpin Lembaga Eksekutif, tetapi juga sampai dengan pelaksanaan pemilu terakhir
untuk memilih anggota DPR, DPRD dan DPD pun selalu terjadi pelanggaran terhadap
dan juga pemilihan terhadap Kepala Daerah norma-norma pemilu. Kasus yang sering
dan Wakil Kepala Daerah. Pemilu tersebut terjadi pada setiap pemilu adalah kasus
dilaksanakan dengan menjunjung tinggi penggelembungan suara dan atau politik
semangat demokrasi untuk menghasilkan uang (money politic) atau bentuk-bentuk
pemimpin yang lebih baik, berkualitas dan pelanggaran lainnya yang merupakan suatu
mendapatkan legitimasi dari Rakyat tindak pidana.
Indonesia.2 Ketiadaan defenisi mengenai tindak
Hasil pemilu yang jujur dan adil pidana pemilu di dalam peraturan
adalah suatu hal yang tidak bisa dipisahkan perundang-undangan Indonesia
di dalam negara demokrasi, oleh karena itu menimbulkan di dalam doktrin berbagai
untuk menjamin pemilu yang jujur dan adil pendapat tentang apa yang dimaksud dengan
yang sangat penting diperlukan tindak pidana pemilu. Djoko Prakoso
perlindungan bagi para pemilih, bagi setiap memberi defenisi mengenai tindak pidana
pihak yang mengadakan pemilu maupun pemilu dengan menyatakan:4 “Setiap orang,
bagi rakyat umumya dari segala ketakutan, badan hukum ataupun organisasi yang
intimidasi, penyuapan, penipuan dan praktik dengan sengaja melanggar hukum,
curang lainnya yang dapat mempengaruhi mengacaukan, menghalang-halangi atau
kejujuran dan keadilan hasil pemilu. mengganggu jalannya pemilihan umum yang
Kejujuran dan keadilan hasil pemilu yang diselenggarakan menurut undang-undang.”
sangat penting tersebut untuk dilindungi Berbagai buku yang menjadikan
bagi negara demokrasi, para pembuat tindak pidana pemilu sebagai sorotan
undang-undang telah menjadikan sejumlah tampaknya belum ada yang secara
perbuatan curang dalam pemilu sebagai mendalam membahas mengenai pengertian
tindak pidana. Undang-Undang tentang dan cakupan dari tindak pidana pemilu
pemilu selain mengatur tentang bagaimana menurut Topo Santoso. Sintong Silaban
pemilu itu diselenggarakan juga melarang misalnya ketika memberi pengertian tindak
sejumlah perbuatan yang dapat pidana pemilu, ia menguraikan apa yang
menghancurkan hakikat kebebasan dan dimaksud dengan tindak pidana secara
keadilan pemilu itu serta mengancam umum, kemudian menerapkannya dalam
pelakunya dengan sanksi pidana. kaitannya dengan pemilu.5
Hukum pada hakikatnya adalah
sesuatu yang abstrak, namun dalam
manifestasinya dapat berwujud konkrit.
Suatu ketentuan hukum dapat dinilai baik
3 Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum
Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja
jika akibat-akibat yang dihasilkan dari
Rosdakarya, 1993), halaman 79
penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan 4 Djoko Prakoso, SH, Tindak Pidana

Pemilu, (Jakarta: CV. Rajawali, 1987), halaman


148
5 Sintong Silaban, Tindak Pidana Pemilu
2 Ibid, halaman 177 (Suatu Tinjauan dalam Rangka Mewujudkan

162
Jurnal Mercatoria Vol. 7 No. 2/Desember 2014 ISSN No:1979-8652

Tindak pidana pemilu merupakan tindak pidana pemilu, peningkatan jenis


tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pemilu dan peningkatan
penyelenggaraan pemilu yang diatur dalam sanksi pidana. Lima jenis tindak pidana
undang-undang pemilu.6 Sebenarnya pemilu yang ada di dalam KUHP menjadi 15
ketentuan mengenai tindak pidana pemilu tindak pidana pemilu dalam Undang-Undang
sudah ada sejak awal kemerdekaan, yaitu di No. 3 Tahun 1999, menjadi 28 tindak pidana
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pemilu pada Undang-Undang No. 12 Tahun
(selanjutnya disingkat KUHP) yang 2003 bertambah menjadi 55 tindak pidana
selanjutnya diatur pula dalam Undang- pemilu pada Undang-Undang No. 10 Tahun
Undang Nomor 7 Tahun 1953 yang menjadi 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan
landasan pelaksanaan pemilu tahun 1955, DPRD dan terus meningkat menjadi 57
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 yang tindak pidana pemilu pada Undang-Undang
menjadi landasan pelaksanaan pemilu pada No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota
masa orde baru dan Undang-Undang Nomor DPR, DPD dan DPRD. Berkaitan dengan
3 Tahun 1999 yang menjadi landasan sanksi undang-undang yang baru memuat
pelaksanaan pemilu tahun 1999. Undang- ancaman pidana penjara dan denda yang
Undang terakhir yaitu Undang-Undang bisa dijatuhkan sekaligus dan menghapuskan
Nomor 3 Tahun 1999 belum ada mekanisme pidana minimum pada setiap tindak pidana
khusus untuk menyelesaikan tindak pidana pemilu yang ada dalam undang-undang
pemilu sehingga dalam kurun waktu sebelumya (Undang-Undang No. 10 Tahun
tersebut tindak pidana pemilu diselesaikan 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan
sebagaimana tindak pidana lainnya. DPRD) guna memberikan asas kepastian
Persoalan yang dihadapi dalam hukum dan memudahkan bagi hakim dalam
pelaksanaan pemilu yang semakin banyak memberikan putusan.7 Berkaitan dengan
dan perkembangan dinamika masyarakat hukum acara juga terdapat perkembangan
menjadi dasar pertimbangan untuk baru dalam politik hukum yaitu
membentuk suatu undang-undang pemilu ditentukannya penyelesaian tindak pidana
yang baru sebagai pengganti undang-undang pemilu yang singkat, mulai dari penyidikan,
sebelumnya, yaitu lahirnya Undang-Undang hingga pemeriksaan di sidang pengadilan.
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Penyelesaian tindak pidana pemilu
Umum tahun 2004, Undang-Undang Nomor dilakukan sesuai dengan peraturan
10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum perundang-undangan yang berlaku, yang
tahun 2009 dan yang terbaru Undang- menempatkan Kepolisian sebagai garda
Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang terdepan untuk melakukan penyelidikan dan
Pemilihan Umum Anggota Dewan penyidikan, berikutnya Kejaksaan untuk
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan melakukan penuntutan, dan Pengadilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengadili kasus, dan seterusnya
Daerah (selanjutnya disingkat UU No. 8 sesuai proses hukum acara pidana
Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, sebagaimana diatur di dalam Kitab Undang-
DPD dan DPRD) yang menjadi landasan Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
dalam pemilu tahun 2014 yang akan datang. Penyelesaian terhadap tindak pidana pemilu
Undang-Undang ini telah terdapat sejumlah menurut peraturan perundang-undangan
aturan khusus yang menyangkut proses yang ada berlangsung dalam sistem
pemeriksaan tindak pidana pemilu. peradilan pidana. Penyelesaian di luar sistem
Tindak pidana pemilu di Indonesia ini adalah bertentangan dengan hukum
mengalami banyak perkembangan. karena tidak sesuai dengan peraturan
Perkembangan tindak pidana pemilu perundang-undangan yang berlaku.
tersebut meliputi semakin luasnya cakupan Penyelesaian kasus tindak pidana pemilu

Pelaksanaan Pemilu yang Jujur dan Adil), (Jakarta: 7

Sinar Harapan, 1992), halaman 48-53 http://www.facebook.com/groups/forumkpukab


6 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, kota/permalink/438614616150154/, (diakses
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), halaman 5 14 April 2013)

163
Jurnal Mercatoria Vol. 7 No. 2/Desember 2014 ISSN No:1979-8652

yang ada selama ini mulai dari tahun 2004 hukum yang terjadi dalam penyelenggaran
sampai dengan tahun 2012, tidak banyak pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD.8
kasus yang sampai ke tingkat Pengadilan. Menurut Aldri Frinaldi, secara garis
Berdasarkan uraian yang disebutkan besar jenis pelanggaran dalam Undang-
di atas, secara singkat dapat dikatakan Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
bahwa tindak pidana pemilu dipandang Anggota DPR, DPD dan DPRD terbagi
sebagai sesuatu tindakan terlarang yang menjadi tiga jenis, yakni:9
serius sifatnya dan harus diselesaikan dalam a. Pelanggaran administrasi pemilu;
waktu singkat, agar dapat tercapai tujuan b. Pelanggaran pidana pemilu; dan
mengadakan ketentuan pidana untuk c. Perselisihan hasil pemilu.
melindungi proses demokrasi melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2012
pemilu. Sesuai juga dengan amanat tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
reformasi bahwa penyelenggaraan pemilu ke membagi kategori jenis pelanggaran pemilu
depannya harus dilakukan dan dilaksanakan menjadi 6 (enam) jenis, yakni:
secara lebih berkualitas. a. Pelanggaran Kode Etik
Penyelenggara Pemilu;
II. Perbandingan UU No. 10 Tahun b. Pelanggaran administrasi pemilu;
2008 tentang Pemilu Anggota DPR, c. Sengketa pemilu;
DPD dan DPRD dengan UU No. 8 d. Sengketa Tata Usaha Negara
Tahun 2012 tentang Pemilu pemilu;
Anggota DPR, DPD dan DPRD e. Perselisihan hasil pemilu; dan
terkait Tindak Pidana Pemilu f. Tindak pidana pemilu.
UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD dan DPRD diundangkan 1. Pelanggaran Kode Etik
tanggal 11 Mei 2012 mencabut UU Pemilu Penyelenggara Pemilu
sebelumnya yakni UU No. 10 Tahun 2008 Pelanggaran kode etik penyelenggara
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan pemilu diatur dalam pasal 251 Undang-
DPRD, merupakan pedoman bagi Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
penyelenggaraan pemilu dan semua pihak Anggota DPR, DPD dan DPRD yang
terkait didalamnya serta memberikan sanksi memberikan defenisi “Pelanggaran kode etik
kepada yang melanggarnya dan sanksi penyelenggara Pemilu adalah pelanggaran
pidana tersebut pada hakikatnya adalah terhadap etika penyelenggara Pemilu yang
untuk mengawal pemilu yang luber dan berpedomankan sumpah dan/atau janji
jurdil tersebut. UU No. 8 Tahun 2012 tentang sebelum menjalankan tugas sebagai
Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD terdiri penyelenggara Pemilu.” Pengertian Kode
dari 25 (dua puluh lima) bab yang terdiri Etik Penyelenggara Pemilu dapat dilihat
dari 328 (tiga dua puluh delapan) pasal. UU Pasal 1 angka 6 Peraturan Bersama Komisi
No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu,
DPR, DPD dan DPRD menambahkan bab baru dan Dewan Kehormatan Penyelenggara
yang dalam Undang-Undang Pemilu Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012,
sebelumnya hanya merupakan pasal atau Nomor 11 Tahun 2012 dan Nomor 1 Tahun
bagian dari suatu atau beberapa bab atau 2012 yang menyebutkan: “Kode Etik
karena beberapa ketentuan telah diatur
dalam perundang-undangan lain.
Pengaturan dan kategorisasi masalah 8 Titi Anggraini dan August Mellaz,
hukum dan sengketa pemilu dalam UU No. 8 Beberapa Catatan Atas Keberlakuan UU No. 8
Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD
dan DPRD, halaman 12, http://www. rumah
DPD dan DPRD juga telah dilakukan secara
pemilu.com, (diakses 15 April 2013)
jauh lebih luas, terperinci, sistematis dan 9 Aldri Frinaldi, Pelanggaran Pemilu hanya
terstruktur dibandingkan UU Pemilu tiga jenis,
sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan http://www.hariansinggalang.co.id/index.php?mo
adanya kategorisasi yang lebih lengkap dan d=detail_berita.php&id=1030, (diakses 5 April
komprehensif mencakup berbagai masalah 2013 )

164
Jurnal Mercatoria Vol. 7 No. 2/Desember 2014 ISSN No:1979-8652

Penyelenggara Pemilu adalah satu kesatuan bertentangan dengan perundang-


landasan norma moral, etis dan filosofis yang undangan sehingga memungkinkan bagi
menjadi pedoman bagi perilaku setiap penduduk yang berhak memilih
penyelenggara pemilihan umum yang terdaftar sebagai pemilih dan dapat
diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut menggunakan hak memilihnya.
dilakukan dalam semua tindakan dan
ucapan”. Pasal 8
Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Penyelenggara Pemilu berkewajiban:
Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan a. menjaga dan memelihara tertib sosial
Kehormatan Penyelenggara Pemilihan dalam penyelenggaraan Pemilu;
Umum Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 b. mengindahkan norma dalam
Tahun 2012 dan Nomor 1 Tahun 2012 juga penyelenggaraan Pemilu; dan
menyebutkan Prinsip Dasar Etika dan c. menghormati kebhinnekaan masyarakat
Perilaku Penyelenggara Pemilu sebagai Indonesia.
berikut:
Pasal 6 Pasal 9
Penyelenggara Pemilu berkewajiban: Penyelenggara Pemilu berkewajiban:
a. menjunjung tinggi Pancasila, Undang- a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Undang Dasar Negara Republik Yang Maha Esa;
Indonesia Tahun 1945, dan peraturan b. menjunjung tinggi sumpah/janji jabatan
perundang-undangan; dalam melaksanakan tugas, wewenang,
b. menjunjung tinggi kepentingan bangsa kewajiban, dan tanggungjawabnya;
dan Negara Kesatuan Republik c. menjaga dan memelihara netralitas,
Indonesia; imparsialitas, dan asas-asas
c. menunjukkan penghargaan dan penyelenggaraan Pemilu yang jujur, adil,
kerjasama dengan seluruh lembaga dan dan demokratis;
aparatur negara untuk kepentingan d. tidak mengikutsertakan atau melibatkan
bangsa dan Negara Kesatuan Republik kepentingan pribadi maupun keluarga
Indonesia; dan dalam seluruh pelaksanaan tugas,
d. menjaga dan memelihara nama baik wewenang, dan kewajibannya;
Negara Kesatuan Republik Indonesia. e. melaksanakan tugas-tugas sesuai
jabatan dan kewenangan yang
Pasal 7 didasarkan pada Undang-Undang Dasar
Penyelenggara Pemilu berkewajiban: Negara Republik Indonesia Tahun1945,
a. memelihara dan menjaga kehormatan undang-undang, peraturan perundang-
lembaga Penyelenggara Pemilu; undangan, dan keputusan yang
b. menjalankan tugas sesuai visi, misi, berkaitan dengan penyelenggaraan
tujuan, dan program lembaga Pemilu;
Penyelenggara Pemilu; f. mencegah segala bentuk dan jenis
c. menjaga rahasia yang dipercayakan penyalahgunaan tugas, wewenang, dan
kepadanya, termasuk hasil rapat yang jabatan, baik langsung maupun tidak
dinyatakan sebagai rahasia sampai batas langsung;
waktu yang telah ditentukan atau g. menolak untuk menerima uang, barang,
sampai masalah tersebut sudah dan/atau jasa atau pemberian lainnya
dinyatakan untuk umum sepanjang yang apabila dikonversi melebihi
tidak bertentangan dengan peraturan standar biaya umum dalam jangka
perundang-undangan; waktu paling lama 3 (tiga) jam, dalam
d. menghargai dan menghormati sesama kegiatan tertentu secara langsung
lembaga Penyelenggara Pemilu dan maupun tidak langsung dari calon
pemangku kepentingan Pemilu; dan peserta Pemilu, peserta Pemilu, calon
e. melakukan segala upaya yang anggota DPR dan DPRD, dan tim
dibenarkan etika sepanjang tidak kampanye;

165
Jurnal Mercatoria Vol. 7 No. 2/Desember 2014 ISSN No:1979-8652

h. mencegah atau melarang suami/istri, berkaitan dengan administrasi pelaksanaan


anak, dan setiap individu yang memiliki Pemilu dalam setiap tahapan
pertalian darah/semenda sampai penyelenggaraan Pemilu di luar tindak
derajat ketiga atau hubungan pidana Pemilu dan pelanggaran kode etik
suami/istri yang sudah bercerai di penyelenggara Pemilu.”
bawah pengaruh, petunjuk, atau Pelanggaran administratif pemilu
kewenangan yang bersangkutan, untuk berdasarkan definisi pelanggaran dalam
meminta atau menerima janji, hadiah, undang-undang tersebut dapat berupa tidak
hibah, pemberian, penghargaan, dan memenuhi syarat-syarat untuk menjadi
pinjaman atau bantuan apapun dari peserta pemilu; menggunakan fasilitas
pihak yang berkepentingan dengan pemerintah, tempat ibadah dan tempat
penyelenggaraan Pemilu; pendidikan untuk berkampanye; tidak
i. menyatakan secara terbuka dalam rapat melaporkan rekening awal dana kampanye
apabila memiliki hubungan keluarga dan pemantau pemilu melanggar kewajiban
atau sanak saudara dengan calon, dan larangan.
peserta Pemilu, atau tim kampanye.
Pelanggaran kode etik penyelenggara 3. Sengketa Pemilu
pemilu tersebut dapat berupa KPU tidak Sengketa pemilu diatur dalam Pasal
bersikap netral atau memihak kepada salah 257 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012
satu peserta pemilu; menerima uang, barang, tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan
dan/atau jasa atau pemberian lainnya yang DPRD. Sengketa pemilu dimaknai sebagai
apabila dikonversi melebihi standar biaya sengketa yang terjadi antar peserta pemilu
umum dalam jangka waktu paling lama 3 dan sengketa peserta pemilu dengan
(tiga) jam, dalam kegiatan tertentu secara penyelenggara pemilu sebagai akibat
langsung maupun tidak langsung dari calon dikeluarkannya keputusan KPU, KPU
peserta Pemilu, peserta Pemilu, calon Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota.
anggota DPR dan DPRD, dan tim kampanye; Sengketa pemilu yang terjadi antar
dan KPU tidak menjalankan tugas sesuai peserta pemilu dapat berupa salah satu
visi, misi, tujuan, dan program lembaga peserta pemilu menjelekkan peserta pemilu
Penyelenggara Pemilu. yang lain dalam melakukan kampanye
sedangkan sengketa pemilu dengan
2. Pelanggaran Administrasi Pemilu penyelenggara pemilu dapat berupa
Pengaturan dan defenisi pelanggaran perbuatan KPU mengeluarkan keputusan
administrasi pemilu diatur lebih konkrit tentang verifikasi partai politik sebagai
dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 peserta pemilu.
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
dibandingkan dengan Undang-Undang 4. Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu
sebelumnya yaitu Undang-Undang No. 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012
Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
DPD dan DPRD. Undang-Undang No. 10 mengatur hal baru terkait adanya ketentuan
Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, tentang sengketa tata usaha negara pemilu.
DPD dan DPRD dalam Pasal 248 Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu diatur
menyebutkan “Pelanggaran administrasi dalam Pasal 268 Undang-Undang No. 8
Pemilu adalah pelanggaran terhadap Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR,
ketentuan Undang-Undang ini yang bukan DPD dan DPRD. Sengketa Tata Usaha Negara
merupakan ketentuan pidana Pemilu dan Pemilu adalah sengketa yang timbul dalam
terhadap ketentuan lain yang diatur dalam bidang tata usaha negara pemilu antara
peraturan KPU”, sedangkan Undang-Undang calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,
No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota atau partai politik
DPR, DPD dan DPRD dalam Pasal 253 calon peserta pemilu dengan KPU, KPU
menyebutkan “Pelanggaran administrasi Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota sebagai
Pemilu adalah pelanggaran yang meliputi akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU
tata cara, prosedur, dan mekanisme yang Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota.

166
Jurnal Mercatoria Vol. 7 No. 2/Desember 2014 ISSN No:1979-8652

Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu Daerah (DPD) . Penetapan KPU tersebut
merupakan sengketa yang timbul antara:10 dianggap merugikan peserta calon anggota
a. KPU dan partai politik calon peserta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang lain
pemilu yang tidak lolos verifikasi dan perselisihan antara KPU dengan salah
sebagai akibat dikeluarkannya satu partai politik peserta pemilu
keputusan KPU tentang penetapan menyangkut penetapan hasil pemilu yang
partai politik peserta pemilu; dilakukan secara nasional oleh KPU
b. KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ mengenai perolehan kursi partai politik
Kota dengan calon anggota DPR, DPD, peserta pemilu di suatu daerah pemilihan.
DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Penetapan KPU tersebut dianggap
Kota yang dicoret dari daftar calon tetap merugikan salah satu peserta pemilu.
sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan KPU tentang penetapan 6. Tindak Pidana Pemilu
daftar calon tetap. Istilah tindak pidana berasal dari
Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu istilah yang dikenal dalam hukum pidana
dapat berupa a). sengketa antar calon partai Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah
politik peserta pemilu dengan KPU ini terdapat dalam WvS Belanda, demikian
menyangkut keputusan KPU tentang juga dengan WvS Hindia Belanda (Kitab
penetapan partai politik. Keputusan KPU Undang-undang Hukum Pidana), namun
tersebut dianggap merugikan salah satu atau tidak terdapat penjelasan resmi tentang apa
beberapa calon peserta pemilu. b). sengketa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Oleh
antar KPU dengan calon anggota legislatif karena itu, para ahli hukum berusaha untuk
menyangkut keputusan KPU tentang memberikan arti dan isi dari istilah
penetapan daftar calon tetap. Keputusan tersebut.11
KPU dianggap merugikan salah satu atau Perkataan feit itu sendiri di dalam
beberapa calon anggota legislatif. bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu
kenyataan” atau “een gedeelte van de
5. Perselisihan Hasil Pemilu werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti
Perselisihan Hasil Pemilu diatur “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah
dalam Pasal 271 Undang-Undang No. 8 perkataan “strafbaar feit” itu diterjemahkan
Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang
DPD dan DPRD, yang menyatakan dapat dihukum” yang sudah barang tentu
“Perselisihan hasil Pemilu adalah tidak tepat. Oleh karena kelak akan kita
perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu ketahui bahwa yang dapat dihukum itu
mengenai penetapan perolehan suara hasil sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi
Pemilu secara nasional.” Perselisihan dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun
penetapan perolehan suara hasil Pemilu tindakan.
secara nasional yang dimaksud adalah Mengenai pengertian strafbaar feit,
perselisihan penetapan perolehan suara para sarjana sebagaimana yang dikutip oleh
yang dapat mempengaruhi perolehan kursi P.A.F. Lamintang memberikan pengertian
Peserta Pemilu. yang berbeda-beda. Menurut Pompe,
Perselisihan hasil pemilu perkataan strafbaar feit secara teoritis dapat
berdasarkan defenisi dalam undang-undang dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran
tersebut adalah perselisihan antara KPU norma (gangguan terhadap tertib hukum)
dengan salah satu calon anggota Dewan yang dengan sengaja ataupun tidak dengan
Perwakilan Daerah (DPD) menyangkut sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,
penetapan hasil pemilu yang dilakukan dimana penjatuhan hukuman terhadap
secara nasional oleh KPU mengenai pelaku tersebut adalah perlu demi
terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan terpeliharanya tertib hukum dan

10 Lihat pasal 268 ayat (2) UU No. 8 Tahun 11 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum

2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan Pidana Bagian I, (Jakarta: Rajawali Press, 2010),
DPRD. halaman 67

167
Jurnal Mercatoria Vol. 7 No. 2/Desember 2014 ISSN No:1979-8652

terjaminnya kepentingan umum. Di dalam dengan hukum) dan telah ia lakukan dengan
hukum positif, suatu strafbaar feit itu baik dengan sengaja maupun dengan tidak
sebenarnya tidak lain dari pada suatu sengaja.15
tindakan yang menurut suatu rumusan Menghukum seseorang sekaligus
undang-undang telah dinyatakan sebagai memenuhi tuntutan keadilan dan
tindakan yang dapat dihukum.12 kemanusiaan, harus ada perbuatan yang
Menurut van Hattum, sesuatu bertentangan dengan hukum dan yang dapat
tindakan itu tidak dapat dipisahkan dari dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan
orang yang telah melakukan tindakan pada syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku
tersebut. Perkataan strafbaar mempunyai yang bersangkutan harus seseorang yang
arti pantas untuk dihukum. Sehingga, dapat dimintai pertanggungjawaban. Dengan
perkataan strafbaar feit diartikan sebagai cara tersebut, dapat merangkum pengertian
suatu tindakan yang karena telah melakukan tindak pidana dan pengertian ini dalam
tindakan semacam itu membuat seseorang dirinya sendiri sudah memadai.16
menjadi dapat dihukum. Menurut van Pada saat terdapat usaha untuk
Hattum, semua syarat yang harus telah menjabarkan sesuatu rumusan delik ke
terpenuhi sebagai syarat agar seseorang itu dalam unsur-unsurnya, maka yang mula-
dapat diadili haruslah juga dianggap sebagai mula dapat dijumpai adalah disebutkannya
unsur-unsur dari delik.13 sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan
Menurut Simons merumuskan itu seseorang telah melakukan sesuatu
strafbaar feit sebagai suatu tindakan tindakan yang terlarang oleh undang-
melanggar hukum yang telah dilakukan undang. Menurut ilmu pengetahuan hukum
dengan sengaja ataupun tidak dengan pidana, sesuatu tindakan itu dapat
sengaja oleh seseorang yang dapat merupakan hal melakukan sesuatu ataupun
dipertanggungjawabkan atas tindakannya hal tidak melakukan sesuatu, yang terakhir
dan yang oleh undang-undang telah juga doktrin yang sering disebut dengan hal
dinyatakan sebagai suatu tindakan yang mengalpakan sesuatu yang diwajibkan (oleh
dapat dihukum. Menurut Simons, sifat undang-undang).
melawan hukum itu timbul dengan Setiap tindak pidana yang terdapat di
sendirinya dari kenyataan, bahwa tindakan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
tersebut adalah bertentangan dengan itu pada umumnya dapat dijabarkan ke
sesuatu peraturan dari undang-undang.14 dalam dua unsur-unsur yang pada dasarnya
Mengenai pengertian strafbaar feit, dapat dibagi menjadi dua macam unsur yaitu
P.A.F. Lamintang menyimpulkan dari unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur
beberapa pendapat para sarjana bahwa objektif. Yang dimaksud dengan unsur
untuk menjatuhkan sesuatu hukuman itu subjektif adalah unsur-unsur yang melekat
adalah tidak cukup apabila disitu hanya pada diri pelaku atau yang berhubungan
terdapat suatu “strafbaar feit” melainkan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke
harus juga ada suatu “strafbaar person” atau dalamnya yaitu segala sesuatu yang
seseorang yang dapat dihukum, dimana terkandung di dalam hatinya. Sedangkan
orang tersebut tidak dapat dihukum apabila yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif
“strafbaar feit” yang telah ia lakukan tidak adalah unsur-unsur yang ada hubungannya
bersifat “wederrechtelijk” (bertentangan dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam

12 Pompe, Handboek van het Nederlandse

Straftecht, hal. 39 dalam P.A.F. Lamintang, Dasar-


dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra 15Ibid, halaman 183
Aditya Bakti), halaman 182 16 Jan Remmelink Hukum Pidana:
13 van Hattum, Hand-en Leerboek van het Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Nederlandse Strafrecht I, halaman 112 dalam Ibid, Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan
halaman 184 Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
14 Simons, Leerboek van het Nederlandse Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Straftrecht, halaman 122 dalam Ibid, halaman 185 Utama, 2003), halaman 86

168
Jurnal Mercatoria Vol. 7 No. 2/Desember 2014 ISSN No:1979-8652

keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan Menurut paham tersebut, walaupun


dari si pelaku itu harus dilakukan.17 sesuatu tindakan telah memenuhi
Unsur-unsur subjektif dari suatu semua unsur dari sesuatu delik dan
tindak pidana itu antara lain adalah sebagai walaupun unsur wederrechtelijk itu
berikut: telah tidak dicantumkan sebagai
a. Kesengajaan dan ketidaksengajaan salah satu unsur dari delik. Akan
(dolus dan culpa); tetapi, tindakan tersebut dapat hilang
b. Maksud atau vornemen pada suatu sifatnya sebagai suatu tindakan yang
percobaan atau poging seperti yang bersifat wederrechtelijk, bilamana
dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab hakim dapat menemukan suatu dasar
Undang-undang Hukum Pidana; yang meniadakan sifatnya yang
c. Macam-macam maksud atau oogmerk wederrechtelijk dari tindakan
seperti yang terdapat misalnya di dalam tersebut, baik berdasarkan sesuatu
kejahatan-kejahatan pencurian, ketentuan yang terdapat dalam
penipuan, pemerasan, pemalsuan dan undang-undang maupun
lain-lain; berdasarkan asas-asas hukum yang
d. Merencanakan terlebih dahulu seperti bersifat umum dari hukum yang
misalnya yang terdapat di dalam tidak tertulis.19
kejahatan pembunuhan menurut Pasal Tindak Pidana Pemilu diatur dalam
340 Kitab Undang-undang Hukum Pasal 260 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012
Perdata; tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan
e. Perasaan takut atau vress seperti yang DPRD. Tindak pidana pemilu dalam undang-
antara lain terdapat di dalam rumusan undang ini adalah tindak pidana pelanggaran
tindak pidana menurut Pasal 308 Kitab dan/ atau kejahatan terhadap ketentuan
Undang-undang Hukum Pidana. tindak pidana pemilu sebagaimana diatur
Unsur-unsur objektif dari suatu dalam undang-undang ini. Tindak pidana
tindak pidana itu antara lain sebagai berikut: pemilu yang ada di dalam Undang-Undang
a. Sifat melanggar hukum atau No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota
wederrechtelijkheid; DPR, DPD dan DPRD bila dibandingkan
b. Kualitas si Pelaku, misalnya “keadaan dengan tindak pidana pemilu pada Undang-
sebagai seorang pegawai negeri” di Undang Pemilu sebelumnya yaitu Undang-
dalam kejahatan jabatan menurut Pasal Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
415 Kitab Undang-undang Hukum Anggota DPR, DPD dan DPRD mengalami
Pidana; perubahan yaitu menyangkut
c. Kausalitas, yakni hubungan antara pengkategorisasian tindak pidana pemilu
sesuatu tindakan sebagai penyebab menjadi pelanggaran dan kejahatan,
dengan sesuatu kenyataan sebagai perubahan sanksi tindak pidana yaitu
akibat.18 adanya pidana kurungan dan dihapuskannya
Perlu diingat, bahwa unsur sanksi pidana minimum, dan perubahan
wederrechtelijk itu selalu harus dianggap sistematika yang berupa adanya
sebagai disyaratkan di dalam setiap rumusan penambahan pasal dan ayat. Tindak pidana
delik, walaupun unsur tersebut oleh pemilu lainnya, baik substansi maupun
pembentuk undang-undang telah tidak rumusannya sama dengan tindak pidana
dinyatakan secara tegas sebagai salah satu pemilu pada Undang-Undang Pemilu
unsur dari delik yang bersangkutan. Pada sebelumnya.
waktu membicarakan masalah Perubahan kedua adalah perubahan
wederrechtelijk telah dijelaskan bahwa sanksi tindak pidana yaitu adanya pidana
dewasa ini Mahkamah Agung Republik kurungan dan dihapuskannya sanksi pidana
Indonesia menganut apa yang disebut minimum. Ketentuan pidana menghapuskan
dengan “paham materieele wederrechtelijk”. pidana minimum guna memberikan asas

17 P.A.F. Lamintang, Op.Cit, halaman 193


18 Ibid, halaman 194 19 Ibid

169
Jurnal Mercatoria Vol. 7 No. 2/Desember 2014 ISSN No:1979-8652

kepastian hukum dan memberikan yang masuk, maka pengawas pemilu akan
kemudahan bagi hakim dalam memberikan mengkategorisasikan laporan pelanggaran
putusan. tersebut menjadi beberapa klasifikasi, yaitu:
Perubahan ketiga adalah a. Pelanggaran kode etik
menyangkut sistematika ketentuan pidana. penyelenggara pemilu diteruskan
Jika tindak pidana pemilu pada Undang- kepada Dewan Kehormatan
Undang No. 10 Tahun 2008 dimuat 55 (lima Penyelenggara Pemilu (DKPP).
puluh lima) pasal, maka dalam Undang- Pelanggaran kode etik ini
Undang No. 8 Tahun 2012 dimuat 58 (lima sebelumnya tidak diatur dalam UU
puluh delapan) pasal. Pemilu yang lama (Undang-
Undang No. 10 Tahun 2008
III. Mekanisme Penanganan Laporan tentang Pemilu Anggota DPR, DPD
Pelanggaran Pemilu dan dan DPRD).
Penyelesaian Tindak Pidana b. Pelanggaran administrasi pemilu
Pemilu Berdasarkan UU No. 8 diteruskan kepada KPU, KPU
Tahun 2012 Tentang Pemilu Provinsi, atau KPU
Anggota DPR, DPD dan DPRD Kabupaten/Kota.
c. Sengketa pemilu diselesaikan oleh
1. Mekanisme Penanganan Laporan Bawaslu. Dalam UU Pemilu yang
Pelanggaran Pemilu lama (Undang-Undang No. 10
Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tahun 2008 tentang Pemilu
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Anggota DPR, DPD dan DPRD)
mengatur tentang mekanisme penanganan tidak diatur masalah sengketa
laporan pelanggaran pemilu dalam Pasal 249 pemilu sebagai masalah hukum
dan Pasal 250. Waktu penyampaian laporan yang penyelesaiannya secara
terdapat perubahan pengaturan dalam spesifik menjadi otoritas Bawaslu.
Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang d. Tindak pidana pemilu diteruskan
Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang kepada Kepolisian Negara
mana sebelumnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia (Polri).
No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota Mekanisme penyelesaian laporan
DPR, DPD dan DPRD diatur bahwa laporan pelanggaran pemilu diuraikan lebih lanjut
pelanggaran pemilu disampaikan paling sebagai berikut:
lama 3 (tiga) hari sejak diketahui dan/atau 1. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran
ditemukannya pelanggaran Pemilu, di dalam Kode Etik Penyelenggara Pemilu
Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pelanggaran kode etik
Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD laporan penyelenggara Pemilu diselesaikan oleh
pelanggaran pemilu disampaikan paling Dewan Kehormatan Penyelenggara
lama 7 (tujuh) hari sejak diketahui dan/atau Pemilu (DKPP). Penyelesaian
ditemukannya pelanggaran Pemilu, pelanggaran kode etik penyelenggara
sedangkan lamanya waktu penanganan Pemilu tersebut dilaksanakan sesuai
laporan pelanggaran pemilu oleh jajaran dengan ketentuan UU No. 15 Tahun
pengawas pemilu tidak mengalami 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
perubahan, tetap sama dengan pemilu 2009 Penyelesaian pelanggaran kode etik
lalu, yaitu pengawas pemilu wajib penyelenggara pemilu ini diatur dalam
menindaklanjuti laporan paling lama 3 (tiga) pasal 112 sampai dengan pasal 114 UU
hari setelah laporan diterima. Pengawas No. 15 Tahun 2011 tentang
pemilu dalam hal memerlukan keterangan Penyelenggara Pemilu.
tambahan dari pelapor, maka tindak lanjut 2. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran
penanganan laporan pelanggaran pemilu Administrasi Pemilu
dilakukan paling lama 5 (lima) hari setelah Penyelesaian pelanggaran
laporan diterima. administrasi pemilu dilakukan oleh KPU,
Setelah pengawas pemilu menerima KPU Provinsi, KPU Kabupaten/ Kota
dan mengkaji laporan pelanggaran pemilu berdasarkan rekomendasi Bawaslu,

170
Jurnal Mercatoria Vol. 7 No. 2/Desember 2014 ISSN No:1979-8652

Bawaslu Provinsi, dan Panwaslu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar


Kabupaten/Kota. KPU, KPU Provinsi, Negeri.
KPU Kabupaten/ Kota memeriksa dan 4. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Tata
memutus pelanggaran administrasi Usaha Negara Pemilu
pemilu paling lama 7 (tujuh) hari sejak Penyelesaian sengketa tata
diterimanya rekomendasi tersebut. usaha negara pemilu diatur dalam pasal
Dalam proses pemeriksaan dokumen 269 UU No. 8 Tahun 2012 tentang
laporan pelanggaran administrasi Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pemilu, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Pengajuan gugatan atas sengketa tata
Kabupaten/Kota dapat menggali, usaha negara Pemilu sebagaimana
mencari, dan menerima masukan dari dimaksud dalam Pasal 268 UU No. 8
berbagai pihak untuk kelengkapan dan Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota
kejelasan pemahaman laporan DPR, DPD dan DPRD ke Pengadilan
pelanggaran tersebut.20 Tinggi Tata Usaha Negara dilakukan
KPU, KPU Provinsi dan KPU setelah seluruh upaya administratif di
Kabupaten/Kota memeriksa Bawaslu sebagaimana dimaksud dalam
pelanggaran administrasi Pemilu dalam Pasal 259 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012
waktu paling lama 4 (empat) hari sejak tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan
diterimanya laporan dari Bawaslu, DPRD telah digunakan. Pengajuan
Panwaslu Provinsi ,dan Panwaslu gugatan atas sengketa tata usaha negara
Kabupaten/Kota.21 KPU, KPU Provinsi, Pemilu dilakukan paling lama 3 (tiga)
dan KPU Kabupaten/Kota mengambil hari kerja setelah dikeluarkannya
keputusan terhadap hasil pemeriksaan Keputusan Bawaslu. Penggugat dapat
pelanggaran administrasi Pemilu, paling memperbaiki dan melengkapi gugatan
lambat 3 (tiga) hari setelah selesai paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak
pemeriksaan dokumen pelanggaran diterimanya gugatan oleh Pengadilan
administrasi yang diterima dari Tinggi Tata Usaha Negara dalam hal
Bawaslu, Panwaslu Provinsi, dan pengajuan gugatan kurang lengkap.
Panwaslu Kabupaten/Kota. 22 5. Mekanisme Perselisihan Hasil Pemilu
3. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perselisihan Hasil Pemilu
Pemilu diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.
Penyelesaian sengketa pemilu ini Penyelesaian perselisihan hasil pemilu
diatur dalam pasal 258 ayat (1) UU No. 8 tersebut dilaksanakan sesuai dengan
Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota ketentuan UU No. 8 Tahun 2012 tentang
DPR, DPD dan DPRD yang disinkronkan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD jo
dengan UU No. 15 Tahun 2011 tentang UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Penyelenggara Pemilu yakni Mahkamah Konstitusi. Penyelesaian
diselesaikan oleh Bawaslu. Bawaslu perselisihan hasil pemilu ini diatur
dalam melaksanakan kewenangannya dalam pasal 272 UU No. 8 Tahun 2012
dapat mendelegasikan kepada Bawaslu tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan
Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, DPRD jo pasal 74 sampai dengan pasal
Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu 79 UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Pasal 272 ayat (1) UU No. 8
20 Lihat pasal 16 ayat (2) Peraturan Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota
Komisi Pemilihan Umum Nomor 44 Tahun 2008 DPR, DPD dan DPRD menyebutkan:
tentang Pedoman Tata Cara Penyelesaian
“Dalam hal terjadi perselisihan
Pelanggaran Umum.
21 Lihat pasal 16 ayat (1) Peraturan penetapan perolehan suara hasil Pemilu
Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2009 secara nasional, Peserta Pemilu dapat
tentang Perubahan Peraturan Komisi Pemilihan mengajukan permohonan pembatalan
Umum Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pedoman penetapan hasil penghitungan
Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Umum. perolehan suara oleh KPU kepada
22 Ibid, pasal 17 ayat (1)

171
Jurnal Mercatoria Vol. 7 No. 2/Desember 2014 ISSN No:1979-8652

Mahkamah Konstitusi.” Peserta Pemilu Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas


mengajukan permohonan kepada Pemilu Luar Negeri.
Mahkamah Konstitusi paling lama 3 x 24 Laporan tersebut disampaikan paling
(tiga kali dua puluh empat) jam sejak lama 3 (tiga) hari sejak terjadinya
diumumkan penetapan perolehan suara pelanggaran Pemilu. Bawaslu, Panwaslu
hasil Pemilu secara nasional oleh KPU. Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota,
Pemohon dapat memperbaiki dan Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu
melengkapi permohonan paling lama 3 x Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri
24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak mengkaji setiap laporan pelanggaran yang
diterimanya permohonan oleh diterima. Laporan yang terbukti
Mahkamah Konstitusi dalam hal kebenarannya, Bawaslu, Panwaslu Provinsi,
pengajuan permohonan kurang lengkap. Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu
Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan
2. Mekanisme Penyelesaian Tindak Pengawas Pemilu Luar Negeri wajib
Pidana Pemilu menindaklanjuti laporan paling lama 3 (tiga)
Penyelesaian Tindak Pidana Pemilu hari setelah laporan diterima. Bawaslu,
dilakukan oleh lembaga penegak hukum Panwaslu Provinsi, Panwaslu
yang ada yaitu kepolisian, kejaksaan, dan Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan,
pengadilan seperti tindak pidana lainnya, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas
yang membedakannya adalah keberadaan Pemilu Luar Negeri dalam hal memerlukan
Bawaslu yang diberikan mandat oleh keterangan tambahan dari pelapor mengenai
Undang-Undang untuk menemukan tindak lanjut terhadap laporan pelanggaran
pelanggaran dan/atau menerima laporan pemilu dilakukan paling lama 5 (lima) hari
terjadinya dugaan pelanggaran, melakukan setelah laporan diterima. Laporan
kajian awal dan meneruskan ke penyidikan pelanggaran pidana Pemilu diteruskan
kepolisian dalam hal pelanggaran kepada penyidik Kepolisian Negara Republik
mengandung unsur pidana.23 Indonesia.
Mekanisme Penyelesaian Penyidik Kepolisian Negara Republik
Pelanggaran Pidana Pemilu dalam Undang- Indonesia menyampaikan hasil
Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu penyidikannya disertai berkas perkara
Anggota DPR, DPD dan DPRD diatur dalam kepada penuntut umum paling lama 14
Pasal 247, Pasal 253, Pasal 254, Pasal 255, (empat belas) hari sejak menerima laporan
Pasal 256 dan Pasal 257 sebagai berikut: dari Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu
Laporan pelanggaran pemilu Kabupaten/Kota. Penuntut Umum
disampaikan kepada Bawaslu, Panwaslu mengembalikan berkas perkara kepada
Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, penyidik kepolisian disertai petunjuk
Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu tentang hal yang harus dilakukan untuk
Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. dilengkapi dalam hal hasil penyidikan
Laporan pelanggaran pemilu dapat ternyata belum lengkap, dalam waktu paling
disampaikan oleh: lama 3 (tiga) hari. Penyidik Kepolisian
a. Warga Negara Indonesia yang Negara Republik Indonesia dalam waktu
mempunyai hak pilih; paling lama 3 (tiga) hari sejak tanggal
b. Pemantau Pemilu; atau penerimaan berkas perkara harus sudah
c. Peserta Pemilu. menyampaikan kembali berkas perkara
Laporan pelanggaran pemilu tersebut kepada penuntut umum.
disampaikan secara tertulis kepada Bawaslu, Penuntut umum melimpahkan
Panwaslu provinsi, Panwaslu berkas perkara kepada pengadilan negeri
kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, paling lama 5 (lima) hari sejak menerima
berkas perkara. Pengadilan Negeri dalam
23 KRHN, Position Paper, Panduan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
Pemantauan Penanganan Pelanggaran Pidana pidana Pemilu menggunakan Kitab Undang-
Pemilu 2009, KRHN dengan dukungan yayasan Undang Hukum Acara Pidana, kecuali
TIFA, Jakarta, 2008, halaman 13 ditentukan lain dalam Undang-Undang No.

172
Jurnal Mercatoria Vol. 7 No. 2/Desember 2014 ISSN No:1979-8652

10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, Pelaporan tentang pelanggaran


DPD dan DPRD. Sidang pemeriksaan perkara pemilu dapat disampaikan oleh Warga
pidana Pemilu dilakukan oleh hakim khusus. Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih,
Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim pemantau pemilu atau peserta pemilu
khusus diatur dengan peraturan Mahkamah kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu
Agung. Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan,
Pengadilan Negeri memeriksa, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas
mengadili, dan memutus perkara pidana Pemilu Luar Negeri. Pelaporan pelanggaran
Pemilu paling lama 7 (tujuh) hari setelah pemilu tersebut disampaikan paling lama 7
pelimpahan berkas perkara. Penolakan (tujuh) hari sejak diketahui dan/ atau
terhadap putusan pengadilan negeri dapat ditemukannya pelanggaran pemilu. Laporan
diajukan banding. Permohonan banding pelanggaran pemilu disampaikan secara
diajukan paling lama 3 (tiga) hari setelah tertulis paling sedikit memuat:
putusan dibacakan. Pengadilan negeri a. Nama dan alamat pelapor;
melimpahkan berkas perkara permohonan b. Pihak terlapor;
banding kepada pengadilan tinggi paling c. Waktu dan tempat kejadian perkara;
lama 3 (tiga) hari setelah permohonan dan
banding diterima. Pengadilan tinggi d. Uraian kejadian.
memeriksa dan memutus perkara banding Laporan yang disampaikan sebelum
paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewat dari batas waktu yang ditentukan
permohonan banding diterima. Putusan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012
pengadilan tinggi merupakan putusan tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
terakhir dan mengikat serta tidak ada upaya ini, akan diterima oleh Bawaslu, Bawaslu
hukum lain. Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota,
Putusan pengadilan negeri dan Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu
pengadilan tinggi harus sudah disampaikan Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri
kepada penuntut umum paling lambat 3 dan selanjutnya akan dilakukan pengkajian
(tiga) hari setelah putusan dibacakan. terhadap laporan tersebut. Bawaslu, Bawaslu
Putusan pengadilan tersebut harus Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota,
dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) hari Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu
setelah putusan diterima oleh jaksa. Putusan Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri
pengadilan terhadap kasus pelanggaran wajib menindaklanjuti laporan pelanggaran
pidana Pemilu yang menurut Undang- pemilu yang telah dikaji dan terbukti
Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu kebenarannya paling lama 3 (tiga) hari
Anggota DPR, DPD dan DPRD dapat setelah laporan diterima. Bawaslu, Bawaslu
mempengaruhi perolehan suara Peserta Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota,
Pemilu harus sudah selesai paling lama 5 Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu
(lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri
Pemilu secara nasional. KPU, KPU provinsi, dalam hal memerlukan keterangan
dan KPU kabupaten/kota wajib tambahan dari pelapor mengenai tindak
menindaklanjuti putusan pengadilan lanjut laporan pelanggaran pemilu dilakukan
tersebut. Salinan putusan pengadilan harus paling lama 5 (lima) hari setelah laporan
sudah diterima KPU, KPU provinsi, atau KPU diterima. Laporan yang merupakan tindak
kabupaten/kota dan Peserta Pemilu pada pidana pemilu, diteruskan kepada penyidik
hari putusan pengadilan tersebut dibacakan. Kepolisian Negara Republik Indonesia paling
Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD sejak diputuskan oleh Bawaslu, Bawaslu
mengatur tentang Mekanisme Penyelesaian Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota,
Tindak Pidana Pemilu dalam Pasal 249, Pasal Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu
250, Pasal 261, Pasal 262, Pasal 263, Pasal Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
264 dan Pasal 265, sebagai berikut: Proses penyidikan tindak pidana
pemilu dilakukan oleh Penyidik Kepolisian

173
Jurnal Mercatoria Vol. 7 No. 2/Desember 2014 ISSN No:1979-8652

Negara Republik Indonesia. Penyidik Putusan pengadilan negeri dan


Kepolisian Negara Republik Indonesia pengadilan tinggi harus sudah disampaikan
menyampaikan hasil penyidikannya disertai kepada penuntut umum paling lambat 3
berkas perkara kepada penuntut umum (tiga) hari setelah putusan dibacakan.
paling lama 14 (empat belas) hari sejak Putusan pengadilan tersebut juga harus
diterimanya laporan dari Bawaslu tentang dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) hari
adanya dugaan terjadinya tindak pidana setelah putusan diterima oleh jaksa. Putusan
pemilu. Penuntut Umum mengembalikan pengadilan terhadap kasus tindak pidana
berkas perkara kepada Penyidik Kepolisian Pemilu yang menurut Undang-Undang No.8
Negara Republik Indonesia disertai petunjuk Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR,
tentang hal yang harus dilakukan untuk DPD dan DPRD ini dapat mempengaruhi
dilengkapi dalam hal hasil penyidikan belum perolehan suara Peserta Pemilu harus sudah
lengkap, dalam waktu paling lama 3 (tiga) selesai paling lama 5 (lima) hari sebelum
hari. KPU menetapkan hasil Pemilu secara
Penyidik Kepolisian Negara Republik nasional. KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti
hari sejak tanggal penerimaan berkas putusan pengadilan tersebut. Salinan
perkara harus sudah menyampaikan kembali putusan pengadilan tersebut harus sudah
berkas perkara yang telah diperbaiki diterima KPU, KPU Provinsi, atau KPU
tersebut kepada penuntut umum. Penuntut Kabupaten/Kota dan Peserta Pemilu pada
umum kemudian melimpahkan berkas hari putusan pengadilan tersebut dibacakan.
perkara tersebut kepada pengadilan negeri Mekanisme penyelesaian tindak
paling lama 5 (lima) hari sejak menerima pidana pemilu yang diatur dalam Undang-
berkas perkara. Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
Pengadilan Negeri dalam memeriksa, Anggota DPR, DPD dan DPRD ini pada
mengadili, dan memutus perkara tindak dasarnya tidak jauh berbeda dengan
pidana Pemilu menggunakan Kitab Undang mekanisme penyelesaian tindak pidana yang
Undang-Undang ini -Undang Hukum Acara diatur dalam Undang-Undang sebelumnya
Pidana, kecuali ditentukan lain dalam UU No. yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 2008
8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan
DPD dan DPRD. Sidang pemeriksaan perkara DPRD. Perbedaan mekanisme penyelesaian
tindak pidana Pemilu dilakukan oleh majelis tindak pidana pemilu pada kedua undang-
khusus. undang ini terletak pada jangka waktu atau
Pengadilan Negeri memeriksa, jumlah hari penyampaian laporan adanya
mengadili, dan memutus perkara tindak dugaan tindak pidana pemilu. Undang-
pidana Pemilu paling lama 7 (tujuh) hari Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
setelah pelimpahan berkas perkara. Anggota DPR, DPD dan DPRD mengatur
Penolakan terhadap putusan pengadilan bahwa laporan adanya dugaan tindak pidana
negeri dapat diajukan banding. Permohonan pemilu disampaikan paling lama 3 (tiga) hari
banding terhadap putusan pengadilan negeri sejak terjadinya tindak pidana pemilu
tersebut diajukan paling lama 3 (tiga) hari sedangkan UU No. 8 Tahun 2012 tentang
setelah putusan dibacakan. Pengadilan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
Negeri melimpahkan berkas perkara memperpanjang batas waktu pelaporan
permohonan banding kepada pengadilan menjadi pelaporan adanya dugaan tindak
tinggi paling lama 3 (tiga) hari setelah pidana pemilu disampaikan paling lama 7
permohonan banding diterima. Pengadilan (tujuh) hari sejak diketahui dan/ atau
Tinggi memeriksa dan memutus perkara ditemukan adanya dugaan tindak pidana
banding paling lama 7 (tujuh) hari setelah pemilu.
permohonan banding diterima. Putusan Penyelesaian tindak pidana pemilu
pengadilan tinggi merupakan putusan yang dilakukan secara cepat merupakan
terakhir dan mengikat serta tidak dapat implementasi dari salah satu butir dari tujuh
dilakukan upaya hukum lain. standar internasional tentang Pedoman bagi
Pemahaman, Penanganan dan Penyelesaian

174
Jurnal Mercatoria Vol. 7 No. 2/Desember 2014 ISSN No:1979-8652

Sengketa dalam pemilu sebagai dasar bagi Pemahaman, Penanganan dan Penyelesaian
terselenggaranya penanganan sengketa yang Sengketa menyatakan bahwa:
efektif. Ketujuh standar internasional “tenggat waktu yang dibuat untuk
tentang Pedoman bagi Pemahaman, penyelesaian cepat harus dibatasi karena
Penanganan dan Penyelesaian Sengketa24 keputusan yang cepat tidak dapat dibuat
dalam pemilu tersebut terdiri dari:25 untuk merugikan hak sebuah pengadilan
1. Hak untuk memperoleh pemulihan pada yang adil atau kemampuan untuk
keberatan dan sengketa pemilu; menyiapkan sebuah pembelaan.”
2. Sebuah rezim standar dan prosedur Berdasarkan kutipan di atas, suatu
pemilu didefenisikan secara jelas; pembatasan yang dirumuskan oleh pembuat
3. Arbiter yang tidak memihak dan undang-undang tidak boleh digunakan untuk
memiliki pengetahuan; melemahkan kewenangan pengadilan dalam
4. Sebuah sistem peradilan yang mampu memeriksa dan mengadili tindak pidana
menyelesaikan putusan dengan cepat; pemilu atau merugikan seseorang untuk
5. Penentuan beban pembuktian dan membela dirinya dari tuduhan telah
standar bukti yang jelas; melakukan tindak pidana. Selain itu,
6. Ketersediaan tindakan perbaikan yang penyelesaian secara cepat juga
berarti dan efektif; diselenggarakan untuk menjaga agar
7. Pendidikan yang efektif sebagai tahapan pemilu tidak terganggu dan dapat
pemangku kepentingan. berjalan sebagaimana yang diagendakan
Berdasarkan uraian ketujuh standar sebagaimana dikutip sebagai berikut:
itu, dasar pemikiran dari penyelesaian “Praktik ‘cepat’ ini ditempuh untuk
secara cepat adalah bahwa legitimasi menjamin agar setiap tahapan
pemerintah secara keseluruhan terletak pemilu dapa berjalan tanpa
pada keabsahan hasil pemilu dan para hambatan sehingga proses pemilu
pemilih sangat bersemangat untuk dapat berjalan dengan lanar. Karena
mendengar hasil segera setelah hari pentingnya setiap tahapan pemilu
pemungutan suara, maka rangkaian sidang dalam proses pembentukan
pelanggaran pemilu harus cepat. Secara pemerintahan, proses pemilu yang
asumtif, semakin lama hasil pemilu sudah berjalan dengan tidak boleh
diumumkan, semakin besar kecurigaan dihentikan. Tindakan yang telah
mengenai kecurangan dan manipulasi suara, diambil tidak boleh ditangguhkan
tanpa memandangnya bagaimana bersihnya meski ada gugatan yang diajukan.
proses pemilu tersebut. Sebelum ada penyelesaian atas
Sistem penyelesaian tindak pidana gugatan tersebut, tindakan atau
pemilu yang dirumuskan secara cepat ini keputusan awal yang telah diambil
ditujukan agar berbagai sengketa yang tidak sebelumnya akan tetap dijalankan.
perlu dapat dicegah pengajuannya, namun Itulah sebabnya setiap gugatan yang
uraian selanjutnya mengenai tujuh standar diajukan harus diselesaikan
internasional tentang Pedoman bagi secepatnya.”
Prinsip penyelesaian sengketa dalam
keadilan pemilu mengharuskan setiap
24 Segala bentuk pengaduan, gugatan, gugatan pemilu diajukan pada periode
tuntutan atau keberatan terkait tahap manapun pemilu26 saat tindakan yang digugat terjadi
dalam pemilu. Termasuk sengketa antar pihak sehingga setiap tindakan yang tidak dituntut
dalam pemilu dan hasil pemilu selama periode tertentu tidak dapat lagi
25 Peter Erben, Pedoman bagi Pemahaman,
dipemasalahkan. Prinsip ini lebih efektif
Penanganan dan Penyelesaian Sengketa dalam
Pemilu : Penerapan Tujuh Standar, disajikan di untuk menegakkan hukum tindak pidana
Konferensi “Memperbarui Penegakkan Hukum pemilu karena lebih menutup kemungkinan
Pemilu di Indonesia dan Pengalaman
Internasional dalam Hal Penyelesaian Sengketa 26 Periode pemilu terbagi dalam tiga

Pemilu”, Jakarta, Indonesia-6 oktober 2011, periode yaitu prapemilu, pemilu dan pasca
halaman 1-5 pemilu

175
Jurnal Mercatoria Vol. 7 No. 2/Desember 2014 ISSN No:1979-8652

adanya tindak pidana pemilu yang luput dari DPD, dan DPRD (meliputi pelanggaran
pemeriksaan dan proses peradilan daripada kode etik penyelenggara pemilu,
penerapan batas waktu pelaporan yang pelanggaran administrasi pemilu,
diatur alam peraturan pemilu. sengketa pemilu, tindak pidana pemilu,
Prinsip penyelesaian sengketa dalam sengketa tata usaha negara pemilu dan
keadilan pemilu mengharuskan setiap tindak perselisihan hasil pemilu). Undang-
pidana diselesaikan pada setiap periode Undang No. 8 Tahun 2012 tentang
termasuk pula periode pasca pemilu tanpa Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
memberikan batasan jangka waktu dalam ketentuan pidananya juga
pelaporan atau tenggang waktu daluwarsa, membedakan pelanggaran pemilu
sepanjang perbuatan tersebut dilakukan menjadi pelanggaran dan kejahatan,
pada periode yang bersangkutan. yang dalam Undang-Undang
Kelemahannya, jika temuan tindak pidana sebelumnya (Undang-Undang No. 10
baru ditemukan pada periode setelah Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota
periode perbuatan dilakukan maka terhadap DPR, DPD dan DPRD) hanya dikatakan
pelaku perbuatan tersebut tidak dapat lagi sebagai pelanggaran pidana pemilu.
dimintai pertanggungjawaban pidana, Adanya pengaturan masalah hukum
misalnya adanya temuan yang baru secara lebih rinci ini melahirkan
diperoleh pasca pemilu sementara harapan bahwa penegak hukum akan
perbuatan pidana dilakukan pada periode lebih mudah dalam melakukan
pemilu. pengawalan implementasi Undang-
Dalam konteks penegakkan hukum Undang Pemilu dan bisa menegakkan
pemilu, batas waktu pelaporan merupakan aturan dengan tepat dan efektif, tanpa
suatu masalah hukum tersendiri,27 karena ada lagi multitafsir ataupun saling
atas waktu pelaporan merupakan ketentuan lempar tanggung jawab antar aparat
yang sangat menentukan diperiksa atau dari berbagai instansi penegak hukum
tidak diperiksanya suatu tindak pidana pemilu. Sehingga bisa menumbuhkan
pemilu sehingga dibutuhkan suatu upaya harapan untuk penyelenggaraan pemilu
khusus dalam menanggulanginya. 2014 yang mampu mewujudkan
keadilan pemilu dan perlindungan hak
IV. Penutup elektoral warga negara Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut diatas 2. Mekanisme penyelesaian tindak pidana
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: pemilu dimulai dari tahap pelaporan,
1. Pengaturan dan kategorisasi masalah penyidikan, penuntutan dan
hukum dan sengketa pemilu dalam persidangan. Pelaporan tentang adanya
Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 dugaan tindak pidana pemilu dilaporkan
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan paling lama 7 (tujuh) hari sejak
DPRD telah dilakukan secara jauh lebih terjadinya dugaan tindak pidana pemilu.
luas, terperinci, sistematis dan Selanjutnya, Bawaslu meneruskan
terstruktur dibandingkan UU Pemilu kepada penyidik paling lama 5 (lima)
lama (Undang-Undang No. 10 Tahun hari sejak laporan diterima. Proses
2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD penyidikan dilakukan oleh penyidik
dan DPRD). Hal ini dibuktikan dengan Polri dalam jangka waktu 14 (empat
adanya kategorisasi yang lebih lengkap belas) hari sejak diterimanya laporan
dan komprehensif mencakup berbagai dari Bawaslu dan dalam jangka waktu
masalah hukum yang terjadi dalam tersebut pihak penyidik harus
penyelenggaran pemilu anggota DPR, menyampaikan hasil penyidikan beserta
berkas perkara kepada Penuntut Umum.
27Topo Santoso, Problem Desain dan
Kemudian maksimal 5 (lima) hari sejak
Penanganan Pelanggaran Pidana Pemilu dalam berkas diterima, Penuntut Umum
Menuju Keadilan Pemilu; Refleksi dan Evaluasi melimpahkan berkas perkara kepada
Pemilu 2009, (Jakarta: Perludem, 2011), halaman pengadilan. Persidangan pelanggaran
17 pidana pemilu dilakukan dalam 7

176
Jurnal Mercatoria Vol. 7 No. 2/Desember 2014 ISSN No:1979-8652

(tujuh) hari sejak berkas perkara Pemilu; Refleksi dan Evaluasi


diterima Pengadilan Negeri oleh hakim Pemilu 2009, Perludem, Jakarta
khusus yang diatur dalam PERMA Sardini, N.H., 2011, Restorasi
Nomor 03 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pemilu di
Penunjukan Hakim Khusus Perkara Indonesia, Fajar Media Press,
Pidana Pemilu. Yogyakarta
Adapun saran yang dapat Sintong, 1992, Tindak Pidana Pemilu (Suatu
diberikan penulis sebagai berikut: Tinjauan dalam Rangka
1. Aparatur penegak hukum dalam Mewujudkan Pelaksanaan Pemilu
penanganan tindak pidana pemilu agar yang Jujur dan Adil), Sinar Harapan,
meningkatkan kapasitasnya mengenai Jakarta
aturan perundang-undangan pemilu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
karena penanganan pelanggaran pidana Politea, Bogor, 1991.
pemilu secara jujur dan adil merupakan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum
bukti adanya perlindungan kedaulatan Republik Indonesia Nomor 14
rakyat dari tindakan-tindakan yang Tahun 2012 tentang Tata Cara
dapat mencederai proses dan hasil Pelaporan dan Penanganan
pemilu. Pelanggaran Pemilihan Umum
2. Adanya batas waktu yang singkat dalam Anggota Dewan Perwakila Rakyat,
penanganan tindak pidana pemilu maka Dewan Perwakilan Daerah dan
baik penyidik, jaksa penuntut umum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
dan hakim harus lebih keras lagi bekerja Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum
karena apabila lewat dari batas waktu Republik Indonesia Nomor 15
yang ditetapkan, perkara tersebut harus Tahun 2012 tentang Tata Cara
ditutup demi hukum karena telah Penyelesaian Sengketa Pemilihan
daluwarsa atau lewat waktu. Sehingga Umum Anggota Dewan Perwakilan
penanganan tindak pidana pemilu yang Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
diharapkan tidak berjalan sebagaimana dan Dewan Perwakilan Rakyat
mestinya. Daerah.
Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum,
DAFTAR PUSTAKA Badan Pengawas Pemilihan Umum,
Chazawi, A., 2010, Pelajaran Hukum Pidana dan Dewan Kehormatan
Bagian I, Rajawali Press, Jakarta Penyelenggara Pemilihan Umum
Lamintang, P.A.F., 1997, Dasar-Dasar Hukum Nomor 13 Tahun 2012 Nomor 11
Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Tahun 2012 Nomor 1 Tahun 2012
Bandung tentang Kode Etik Penyelenggara
Djoko, P., 1987, Tindak Pidana Pemilu, CV. Pemilihan Umum.
Rajawali, Jakarta Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Rasjidi, L. dan I.B W.P, 1993, Hukum Sebagai Pemilu Nomor 2 Tahun 2012
Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, tentang Pedoman Beracara Kode
Bandung Etik Penyelenggara Pemilu.
Remmelink, J., 2003, Hukum Pidana: Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44
Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting Tahun 2008 tentang Pedoman Tata
dari Kitab Undang-Undang Hukum Cara Penyelesaian Pelanggaran
Pidana Belanda dan Padanannya Administrasi Pemilihan Umum.
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 22
Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Tahun 2009 tentang Perubahan
Utama, Jakarta Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Santoso, T., 2006, Tindak Pidana Pemilu, Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Sinar Grafika, Jakarta Pedoman Tata Cara Penyelesaian
------------------, 2011, Problem Desain dan Pelanggaran Administrasi
Penanganan Pelanggaran Pidana Pemilihan Umum
Pemilu dalam Menuju Keadilan

177
Jurnal Mercatoria Vol. 7 No. 2/Desember 2014 ISSN No:1979-8652

Undang-Undang Republik Indonesia No. 8


Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia No. 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia No. 15
Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum.
Diakses 14 April 2013,
http://www.facebook.com/groups/f
orumkpukabkota//permalink/4386
14616150154/,
Frinaldi, A., Pelanggaran Pemilu Hanya Tiga
Jenis, diakses 14 April 2013,
http://www.
hariansinggalang.co.id/index.php?m
od=detail berita.php&id=1030.
Peter, E., Pedoman bagi Pemahaman,
Penanganan dan Penyelesaian
Sengketa Pemilu: Penerapan Tujuh
Standar, disajikan di Konferensi
“Memperbarui Penegakan Hukum
Pemilu di Indonesia dan
Pengalaman Internasional dalam
Hal Penyelesaian Sengketa Pemilu,
Jakarta, Indonesia-6 oktober 2011
Anggraini, T., dan August M., Beberapa
Catatan Atas Keberlakuan UU No. 8
Tahun 2012 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD dan DPRD,
diakses 15 April 2013,
http://www.rumahpemilu.org/in/r
ead/510/Beberapa-Catatan-atas-
Keberlakuan-UU-No.-8-Tahun-
2012-tentang-Pemilu-Anggota-DPR-
DPD-dan-DPRD-

178

Anda mungkin juga menyukai