Dalam dua tahun ini rakyat Indonesia akan menggelar hajatan pesta demokrasi. Tahun 2018,
misalnya, rakyat di 171 daerah akan memilih calon pemimpin daerah melalui pilkada serentak.
Sementara pada 2019 seluruh rakyat Indonesia akan memilih wakil mereka di DPR/DPD/ DPRD
sekaligus presiden melalui pemilu serentak. Layaknya pesta, tentulah rakyat kembali akan
menyambutnya dengan sukacita. Ekspektasi rakyat adalah pesta demokrasi ini berimbas pada
kehidupan mereka ke arah yang lebih baik.
Namun, di balik optimisme di atas, menyeruak kekhawatiran akan pecahnya persatuan bangsa.
Belakangan ini kita menghadapi persoalan-persoalan serius menyangkut kelangsungan hidup
berbangsa dan bernegara. Mulai dari munculnya aksi kekerasan masif karena kesalahan dalam
menafsirkan demokrasi, euforia kultural karena ketidaktepatan memaknai otonomi, menjamurnya nar-
koba tiada henti, sampai tersebarnya hoaks yang kesemuanya dapat merusak keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sekiranya kita tidak hati-hati dalam menyikapinya maka
sangat mungkin Indonesia mengalami apa yang disebut oleh Francis Fukuyama dengan the end of
history.