Anda di halaman 1dari 46

1.

Judul Penelitian : Analisis Pengaruh Kecerdasan Intelektual,

Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Sikap

Etis Fiskus (Studi Kasus Kantor Pelayanan Pajak Pratama

Palembang)

2. Latar Belakang

Pajak merupakan komponen penting penerimaan Negara. Begitu

besarnya kontribusi penerimaan pajak terhadap penerimaan Negara sehingga

penerimaan pajak dapat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan.

Kontribusi penerimaan negara dari pajak pada Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN) 2014 mencapai 76,20% dari total penerimaan negara.

Dana dari penerimaan pajak sebagai sumber utama Anggaran Pendapatan

Belanja Negara (APBN) dialokasikan untuk mendanai berbagai sendi

kehidupan bangsa, mulai dari sektor pertanian, pertambangan, industri,

perbankan, kesehatan, pendidikan, sampai subsidi bahan bakar minyak

(Sormin, 2016). Dengan demikian, sektor pajak harus benar-benar dikelola

dengan manajemen yang baik yaitu pengelolaan yang berbasis transparan,

kejujuran, akuntabilitas dan juga dilengkapi dengan etos kerja yang tinggi dari

pihak fiskus.

Saat ini, seperti kita ketahui bersama adanya beberapa masalah mafia

pajak yang terungkap. Hal ini bisa terjadi karena fiskus sering melakukan

kontak dengan wajib pajak. Kontak tersebut bisa dilakukan antara wajib pajak

dengan fiskus dimulai dari penyampaian SPT, konsultasi, pemeriksaan,

1
keberatan sampai dengan banding. Hal ini mengakibatkan terbukanya peluang

bagi wajib pajak untuk meminimalkan pajak yang dibayar, antara wajib pajak

maupun fiskus sama-sama mencari celah ketentuan perpajakan baik secara

legal maupun ilegal untuk memperkaya diri mereka sendiri. Pelaku

penyimpangan di dunia pajak bukanlah orang-orang tingkat intelegensianya

rendah, bahkan mereka adalah orang-orang cerdas, yang mampu

memanipulasi data, sehingga banyak orang percaya atas kelihaiannya dalam

pencatatan data (Nurfaizah, 2012).

Oleh karena itu, sikap fiskus sangat penting dalam menentukan

pengelolaan perpajakan, karena banyak pihak melanggar kode etik yang ada,

seharusnya etika melekat pada aparat pajak (fiskus), padahal telah jelas

mereka mengetahui standar kode etik aparat pajak yang ada. Kecerdasan yang

dimiliki tidak membawa fiskus membuat sistem atau hasil kinerja yang baik

justru membawa dampak negatif luas, lalu seberapa besar pengaruh

kemampuan intelektual terhadap etika mereka sebagai seorang pemungutan

pajak.

Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada Intelligence

Quotient (IQ) saja, padahal yang diperlukan sebenarnya adalah bagaimana

mengembangkan kecerdasan hati, seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme,

kemampuan beradaptasi yang kini telah menjadi dasar penilaian baru. Saat ini

begitu banyak orang berpendidikan dan tampak begitu menjanjikan, namun

karirnya terhambat atau lebih buruk lagi, tersingkir, akibat rendahnya

kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual mereka (Dwilia, 2015)

2
Kecerdasan emosional juga dapat diartikan sebagai kemampuan

mengetahui perasaan sendiri dan perasaan orang lain, serta menggunakan

perasaan tersebut menuntun pikiran dan perilaku seseorang (Ika, 2011).

Penelitian Lucyanda dan Endro (2012) menjelaskan bahwa kecerdasan

spiritual akan mempengaruhi perilaku etis karena, individu-individu yang

mempunyai kecerdasan spiritual yang tinggi akan lebih mampu memahami

nilai spiritual yang terkandung di dalamnya dan seterusnya mengambil

alternatif tindakan yang lebih baik. Kecerdasan Spiritual merupakan

kemampuan manusia dalam bersikap fleksibel, kesadaran diri, mampu

menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, menghadapi dan melampaui

perasaan sakit, keengganan untuk menyebabkan kerugian, kualitas hidup,

mampu berpandangan holistik dan kecenderungan bertanya (Ayu dan Taman,

2013)

Kecerdasan spiritual melampaui kekinian dan pengalaman manusia,

serta bagian terdalam dan terpenting dari manusia (Tikollah, 2006).

Kecerdasan spritual mengajarkan orang untuk mengekspresikan dan memberi

makna pada setiap tindakannya, sehingga seorang yang memiliki kecerdasan

emosional yang baik maka dia akan menampilkan perilaku yang baik pula.

Kasus Gayus Tambunan yang meledak pada Bulan April 2010 telah

mencoreng wajah dunia perpajakan Indonesia. Kasus ini sangat menyedot dan

menarik perhatian semua kalangan di Indonesia. Bagaimana tidak, Pegawai

Negeri Sipil golongan IIIA mampu “menggelapkan” pajak hingga milyaran

rupiah. Banyak pengamat ekonomi pun menyatakan kekhawatiran mereka

3
terhadap “golongan-golongan” di atas Gayus yang mungkin saja memperoleh

uang pajak jauh di atas perolehan Gayus. Banyak pula kalangan pula yang

mulai kembali meragukan citra dan institusi perpajakan di Indonesia. Nama

Gayus Tambunan memang sarat dengan polemik dan kontroversi. Mulai dari

kelihaiannya menggelapkan uang pajak yang jumlahnya sangat besar,

kehebatannya untuk menghindari penangkapan sampai keahliannya untuk

“meloloskan” diri dari jeruji besi saat sedang ditahan. Tak salah apabila setiap

mendengar nama Gayus Tambunan disebut, maka masyarakat akan langsung

teringat dengan “lubang” dalam dunia perpajakan Indonesia. Semakin terkenal

nama Gayus Tambunan, semakin dalam “lubang” di dalam dunia perpajakan

Indonesia (Purnama, 2011)

Dilaporkan oleh Rahmi, Novieriza, dan Ali (2010) bahwa kasus

serupa juga terjadi melibatkan mantan pegawai Dirjen Pajak bernama Dhana

Widyatmika. Selama aksinya Dhana berhasil memperoleh miliaran rupiah

yang terdapat dalam 18 rekening, kemudian juga diketahui adanya dana

sebesar 50 ribu US Dollar dari luar Negeri untuknya. Penyimpangan-

penyimpangan ini membawa persepsi negatif instasi pajak di mata

masyarakat.

Pekerjaan seorang profesional harus dikerjakan dengan sikap

profesional pula, dengan sepenuhnya melandaskan pada standar moral dan

etika tertentu. Dengan sikap profesionalnya dan memahami aturan etika,

seorang pegawai pemerintahan akan mampu menghadapi berbagai tekanan

yang dapat muncul dari dirinya sendiri ataupun dari pihak luar (Sari, 2014).

4
Fiskus dituntut tetap independen sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap

publik dan profesinya.

Berdasarkan uraian-uraian diatas dan juga penelitian sebelumnya oleh

Nurfaizah (2012) mengalisa pengaruh kemampuan intelektual, kecerdasan

spiritual dan lingkungan kerja terhadap sikap etis fiskus. Adapun perbedaan

penelitian ini dengan penelitian sebelumya adalah 1) Tempat penelitian. Pada

penelitian sebelumnya adalah KPP di Tangerang sedangkan penelitian ini di

KPP Pratama Palembang. 2) Penggunaan variable independen. Penelitian

sebelumnya menggunakan variabel kemampuan intelektual, kecerdasan

spiritual dan lingkungan kerja. Sedangkan penelitian ini menggunakan

variabel kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan

spiritual. 3) Jumlah Responden. Penelitian sebelumnya menggunakan jumlah

responden hanya sebanyak 80 responden sedangkan penelitian ini

menggunakan responden sebanyak 162 responden. 4) Penelitian ini dilakukan

pada tahun 2016 sedangkan penelitian sebelumnya pada tahun 2012.

Sehingga, peneliti merasa perlu untuk meneliti lebih lanjut

permasalahan diatas karena adanya beberapa kasus yang melibatkan fiskus

saat ini sehingga dapat memberikan gambaran tentang faktor yang

mempengaruhi sikap etis fiskus, dengan judul “Analisis Pengaruh

Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional, dan Kecerdasan

Spiritual Terhadap Sikap Etis Fiskus (Studi Kasus KPP Pratama

Palembang).

5
3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah dalam

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana pengaruh kecerdasan intelektual terhadap sikap etis

fiskus?

b. Bagaimana pengaruh kecerdasan emosional terhadap sikap etis

fiskus ?

c. Bagaimana pengaruh kecerdasan spiritual terhadap sikap etis

fiskus?

4. Tujuan Penetilian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

mengetahui bagaimana kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan

kecerdasan spiritual mempengaruhi terhadap sikap etis fiskus.

5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis, dengan melakukan penelitian ini penulis memperoleh

pengetahuan dan wawasan yang lebih luas mengenai perpajakan.

Dengan adanya penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan

pengetahuan bagi penulis mengenai analisis pengaruh kecerdasan

6
intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual

mempengaruhi terhadap sikap etis fiskus.

2. Bagi Masyarakat, sebagai sarana informasi tentang kecerdasan

emosional dan kecerdasan spiritual yang dapat memberikan

kontribusi positif untuk pengembangan dan perbaikan diri ke arah

yang lebih baik.

3. Bagi pemerintah, dengan dilakukannya penelitian ini, hasilnya dapat

digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan

yang berkaitan dengan hal tersebut.

4. Bagi Akademisi, untuk sumbangan dalam pengembangan ilmu

pengetahuan di bidang ekonomi, khususnya akuntansi dan

perpajakan serta dapat dijadikan bahan perbandingan dari penelitian

yang sudah ada dan dapat juga digunakan sebagai bahan referensi

untuk peneliti yang ingin melakukan penelitian yang serupa.

5. Bagi responden, memberikan informasi mengenai pentingnya

kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual, sehingga mereka

dapat mengembangkan dan melatih kecerdasan emosional dan

kecerdasan spiritual secara mandiri sebagai bekal yang dalam

melakukan pekerjaan.

7
6. Studi Kepustakaan

6.1. Kajian Teori

6.1.1. Theory of Planned Behavior


Theory of Reasoned Action (TRA) pertama kali diperkenalkan oleh

Martin Fishbein dan Ajzen. Teori ini menghubungkan antara keyakinan

(belief), sikap (attitude), kehendak (intention) dan perilaku (behavior).

Kehendak merupakan prediktor terbaik perilaku, artinya jika ingin mengetahui

apa yang akan dilakukan seseorang, cara terbaik adalah mengetahui kehendak

orang tersebut. Namun, seseorang dapat membuat pertimbangan berdasarkan

alasan-alasan yang sama sekali berbeda (tidak selalu berdasarkan kehendak).

Konsep penting dalam teori ini adalah fokus perhatian (salience), yaitu

mempertimbangkan sesuatu yang dianggap penting. Kehendak (intetion)

ditentukan oleh sikap dan norma subyektif (Umar, 2008). Minat berperilaku

ditentukan oleh 3 faktor utama yaitu:

1. behavioral beliefs, yaitu keyakinan individu akan hasil dari suatu

perilaku dan evaluasi atas hasil yang diterima (beliefs strength dan

outcome evaluation)

2. normatif beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif dari orang

lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs

dan motivation to comply)

3. control beliefs, yaitu keyakinan tentang hal- hal yang mendukung atau

menghambat perilaku yang akan ditampilkan (control beliefs) Sikap

(attitude) adalah jumlah dari perasaan seseorang untuk menerima atau

8
menolak suatu obyek atau perilaku dan diukur dengan suatu prosedur

yang menempatkan individu pada skala evaluasi .

Selanjutnya sikap berkaitan dengan keadaan mental dan syaraf dari

kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh

dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua obyek dan situasi

yang berkaitan dengannya. Norma subjektif (subjective norm) adalah persepsi

atau pandangan seseorang terhadap kepercayaan-kepercayaan orang lain yang

akan mempengaruhi minat untuk melakukan atau tidak melakukan suatu

perilaku. Persepsi kontrol keperilakuan (perceived behavioral control)

didefinisikan oleh Ajzen dalam Umar, (2008) sebagai kemudahan atau

kesulitan yang dipersepsikan untuk melakukan perilaku. TPB mengasumsikan

bahwa persepsi kontrol keperilakuan mempunyai implikasi motivasional

terhadap minat berperilaku. Orang yang tidak percaya bahwa mereka memiliki

sumber daya atau kesempatan untuk melakukan perilaku, tentu tidak akan

membentuk minat yang kuat untuk melakukan perilaku.

6.1.2. Pajak

6.1.2.1.Pengertian Pajak

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 Tahun 2007

Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 Pasal 1,

pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi

atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara

bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

9
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-

Undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara

langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna

menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai

kesejahteraan umum (http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak).

Ilyas dan Burton (2007) mengutip beberapa pengertian pajak dari

Santoso Brotodihardjo, S.H., dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum Pajak”

mengemukakan beberapa pendapat pakar tentang definisi pajak sebagai

berikut:

1. Menurut M.J.H. Smeets, pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang

terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakannya,

tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukan dalam hal yang

individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran

pemerintah. Smeets mengakui bahwa definisinya hanya menonjolkan

fungsi budgeter saja, baru kemudian ia menambahkan fungsi mengatur

2. Soeparman Soemahamidjaja, pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau

barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-orma hukum,

guna menutup biaya-biaya prduksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif

dalam mencapai kesejahteraan umum. Ia mencantumkan istilah iuran

wajib dengan harapan terpenuhinya ciri bahwa pajak dipungut dengan

bantuan dari dan kerja sama dengan Wajib Pajak, sehingga perlu juga

dihindari penggunaan istilah “paksaan”. Selanjutnya ia berpendapat

terlalu berlebihan kalau khusus mengenai pajak, ditekankan pentingnya

10
unsur paksaan karena dengan mencantumkan unsur paksaan seakan-

akan tidak ada kesadaran bagi masyarakat untuk melakukan

kewajibannya.

3. Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang

perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 ayat 1

berbunyi pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang

oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan

Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung

dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-


unsur sebagai berikut:

1. Iuran dari rakyat kepada negara.

Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa

uang (bukan barang)

2. Berdasarkan Undang-Undang.

Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta

aturan pelaksanaannya.

3. Tanpa jasa timbal atau kontrapretasi dari negara yang secara langsung

dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan

adanya kontrapretasi individual oleh pemerintah.

11
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-

pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Dari pengertian-pengertian tersebut juga dapat disimpulkan bahwa ciri-

ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah sebagai berikut:

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya

yang sifatnya dapat dipaksakan.

2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi

individual oleh pemerintah

3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah

daerah.

4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang

bila dari pemasukkannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk

membiayai public investment.

5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur.

6.1.2.2.Asas-Asas Pemungutan Pajak

Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak perlu memegang teguh asas-

asas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya, sehingga terdapat

keserasian pemungutan pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan

lagi yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Asas-asas pemungutan

pajak sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith dalam buku An Inquiri

into the Nature and Cause of the Wealth of Nations menyatakan bahwa

pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada asas-asas berikut:

12
1. Equality

Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan

pada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar

pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil

yang dimaksud disini bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang

untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan

manfaat yang diminta.

2. Certainty

Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu,

wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besaran pajak yang

terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.

3. Convenience

Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan

saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak. Sebagai contoh, pada saat

wajib pajak memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut

pay as you earn.

4. Economy

Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan

kewajiban pajak bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin,

demikian pula beban yang ditanggung wajib pajak.

13
6.1.2.3.Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2015) sistem pemungutan pajak dibagi menjadi 3

(tiga) yaitu :

1. Official Assessment System

Suatu sistem pemungutan yang memberikan wewenang kepada

pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang

oleh wajib pajak. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak

terutang ada pada fiskus, wajib pajak bersifat pasif. Utang pajak

timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

2. Self Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada

wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.

Ciri-cirinya adalah wewenang untuk menentukan besarnya pajak

terutang ada pada wajib pajak sendiri. Wajib pajak aktif mulai dari,

menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang,

fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

3. With Holding System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada

pihak ketiga (bukan fiskus atau bukan wajib pajak yang

bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh

wajib pajak. Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang

ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.

14
6.1.3. Kecerdasan Intelektual (Intellegence Quotient)

Kecerdasan Intelektual atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan

istilah dari pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali

diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad

ke-20. Kemudian Lewis Ternman dari Universitas Stanford berusaha

membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mengembangkan

norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut dikenal sebagai test

Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ) merupakan

kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada dasarnya hanya bertautan

dengan aspek kognitif dari setiapmasing-masing individu tersebut.

Kecerdasan intelektual lazim disebut dengan inteligensi. Dimana

intelegensi ini merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir dan di anggap

sebagai kemampuan tertinggi dari jiwa makhluk hidup yang hanya dimiliki

oleh manusia, yang dengan kemampuan intelegensi ini memungkinkan

seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu. David Wechsler

mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk bertindak secara terarah,

berpikir secara rasional dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara

garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan

mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena

itu,inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus

disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari

proses berpikir rasional itu

15
Menurut GS, Prie (2015) kecerdasan intelektual adalah pintu pertama

hidup untuk menuju keberadapan yang lebih tinggi. Seseorang yang

mempunyai kecerdasan intelektual adalah orang yang mulai teliti dalam

menghitung, menimbang, mengalkulasi, melakukan tarik-ulur. Keajaiban

kecerdasan intlektual itu, orang jadi terbimbing menelaah segala sesuatu

dengan disiplin ilmu pengetahuan.

6.1.4. Kecerdasan Emosional (Emotional Quetiont)

Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan

ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan

menghadapi frustrasi.Kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada

tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John

Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-

kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan seseorang.

Goleman (2006) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah

kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan

dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-

lebihkan kesenangan, menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan

kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. Dengan kecerdasan emosional

tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat,

memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Menurut Agustian (2012)

kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengendalikan emosi,

kemampuan untuk menguasai diri untuk tetap dapat mengambil keputusan

dengan tenang.

16
Kemampuan emosional meliputi sadar akan keadaan emosi diri sendiri,

kemampuan mengelola emosi, kamampuan motivasi diri, kemampuan

merasakan perasaan orang lain, dan pandai dalam menjalin hubungan dengan

orang lain. Kecerdasan emosi dibagi dalam 5 wilayah utama, masing-masing

wilayah ini meliputi sekelompok kemampuan emosional atau kemampuan

sosial yang turut berperan dalam kecerdasan emosional. Kelima wilayah

kecerdasan emosional tersebut adalah :

1. Kesadaraan diri atau kemampuan mengenal diri sendiri.

Kesadaran diri sendiri merupakan kemampuan memantau perasaan diri

sendiri dari waktu kewaktu. Kesadaran diri adalah kepekaan perasaan

maupun pikiran untuk mengenal emosi diri sendiri. Kesadaran diri

merupakan landasan untuk ketrampilan emosi lainnya.

2. Kemampuan mengelola emosi

Kemampuan mengelola emosi adalah kemampuan menangani emosi diri

sendiri agar dapat terungkap secara tepat dan mengatasi emosi yang tidak

menyenangkan. Kemampuan ini meliputi kemampuan megungkapkan

perasaan, mengatasi kecemasan, kemarahan, kemurungan, kesedihan

dan menghibur diri.

3. Kemampuan Memotivasi diri

Motivasi diri adalah usaha yang memungkinkan seseorang tergerak

melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendaki atau

mendapatkan kepuasan atas perbuatan tersebut. Dalam hal motivasi diri,

17
rasanya masih banyak kesenjangan atau ketidak maksimalan dalam

mengaplikasikan terhadap apa yang sebenarnya kita memiliki

kemampuan tetapi rendah dalam kemauan, sehingga sering menjadikan

diri kita menjadi kurang berkualitas atau tidak mampu mensinergiskan

potensi-potensi yang dimilki secara optimal.

4. Kemampuan Berempati

Empati adalah kemampuan dalam perasaan seseorang unutk dapat ikut

merasakan yang dirasakan oleh orang lain, sehingga dapat memahami

pikiran, perasaan dan pelakunya.

5. Kemampuan melakukan Hubungan Sosial

Kemampuan melakukan hubungan sosial sesamanya baik dalam

interaksinya untuk menjalin hubungan kekerabatan maupun dalam

interaksi untuk saling mendapatkan kemanfaatan.

6.1.5.Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient)

Istilah spiritual berasal dari bahasa latin yang berarti sesuatu yang

memberikan kehidupan atau vitalitas pada sebuah sistem. Spiritualitas juga

dipandang sebagai peningkatan kualitas hidup, baik dalam kehidupan

berkeluarga, bermasyarakat dan berorganisasi. Danah Zohar dan Ian Marshal

berpandangan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menempatkan

perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan

untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna

dibandingkan dengan yang lain. Menurut Agustian (2012), kecerdasan

18
spiritual adalah kemampuan untuk memberi makan spiritual terhadap

pemikiran, perilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan

SQ secara komprehensif.

Pendapat ini sejalan dengan Abdul wahid Hasan yang mengemukakan

bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang digunakan untuk

menyelesaikan permasahan hidup yang dihadapi, manusia dituntut untuk

kreatif mengubah penderitaan menjadi semangat (motivasi) hidup yang tinggi

sehingga penderitaan berubah menjadi kebahagiaan hidup. Manusia harus

mampu menemukan makna kehidupannya. Sedangkan Aribowo dan Irianto

menyatakan bahwa kecerdasan spiritual berarti kemampuan kita untuk dapat

mengenal dan memahami diri kita sepenuhnya sebagai makhluk spiritual

maupun sebagai bagian dari alam semesta. Dengan memiliki kecerdasan

spiritual berarti kita memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan

yang kita jalani.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang dimiliki setiap manusia untuk

dapat memberikan makna, nilai dan tujuan dalam hidupnya serta

meningkatkan motivasi dalam bekerja sehingga selalu bersemangat karena

didasarkan bekerja bukanlah keterpaksaan melainkan suatu ibadah.

6.1.6. Pengertian Etika

Etika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang segala

soal kebaikan dalam hidup manusia semuanya, mengenai gerak-gerik pikiran

dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan perasaan sampai mengenai

19
tujuannya yang dapat merupakan perbuatan. Ilmu etika ini tidak membahas

kebiasaan semata-mata berdasarkan tata adab, melainkan membahas tata sifat

dasar, atau adat-istiadat yang terkait tentang baik dan buruk dalam tingkah

laku manusia. Jadi, etika menggunakan refleksi dan metode pada tugas

manusia untuk menemukan nilai-nilai itu sendiri ke dalam etika dan

menerapkan pada situasi kehidupan konkret (Abdullah, 2008)

Riset awal yang menguji peran etika dalam kepatuhan pajak diteliti oleh

Schwartz dan Orleans yang berfokus pada aspek komitmen sosial terhadap

kepatuhan pajak. Jackson dan Milliron selanjutnya mengembangkan riset ini

dengan mencoba mendefenisikan etika dalam dua pengukuran yaitu orientasi

etika dan evaluasi etika.

Orientasi etika mengarah pada pengertian etika secara umum atau lebih

dikaitkan dengan teori–teori psikologi tentang konsistensi antara tindakan dan

kepercayaan yang dimiliki. Sedangkan pengertian evaluasi etika lebih terfokus

pada pengertian etika secara kontekstual yaitu menghubungkan sikap individu

dan kepercayaan yang bisa saja berbeda tergantung dari situasi yang dihadapi

(misalnya ketidakpatuhan pajak dapat dibedakan dengan bentuk kriminal

lainnya).

Riset yang dilakukan oleh Ghosh and Terry mendefinisikan etika

sebagai perasaan apakah seseorang akan melakukan manipulasi untuk

mencapai tujuannya yang dalam hal ini dikontekskan sebagai ketidakpatuhan

pajak yang disengaja membuktikan bahwa seseorang yang memiliki standar

etika yang tinggi serta memiliki kemungkinan diaudit akan memiliki

20
ketidakpatuhan yang rendah dan sebaliknya.

Lembaga pajak secara sistimatik dapat mempengaruhi moral atau etika

pajak sehingga para pembayar pajak secara sukarela bersedia membayar

pajak. Pada dasarnya terdapat kontrak psikologis antara pembayar pajak dan

lembaga pajak dalam hal menetapkan perubahan fiskal tercakup didalamnya

loyalti dan etika antara pihak-pihak yang melakukan kontrak (Asnawi 2015).

Teori etika seperti teori teological memberikan pemahaman mendasar

tentang bagaimana individu membuat keputusan dan menyadari dengan

sepenuhnya atas setiap konsekuensi yang akan diterima dari setiap keputusan

yang dibuatnya. Dengan demikian pemahaman ini sesuai dengan keputusan

individu yang berkaitan dengan keputusan kepatuhan pajak, karena setiap

keputusan yang akan diambilnya baik patuh atau tidak memiliki konsekuensi

yang harus diterima.

6.1.6.1. Kendala Penindakan Hukum Terhadap Fiskus

Wewenang Dirjen Pajak sangat tinggi. fiskus yang menentukan potensi

penerimaan pajak dan sekaligus yang bertugas merealisasikannya. Fiskus yang

melakukan pemeriksaan pajak dan sekaligus mengadilinya. Aparat yang

berhak menafsirkan bunyi UU Pajak (KUP, PPh, PPN) dan jika Wajib Pajak

tidak setuju dengan perhitungan/penafsiran tersebut Surat Ketetapan Pajak,

maka wajib pajak dipersilahkan mengikuti proses selanjutnya (keberatan,

banding) dalam pelaksanaannya ada beberapa kendala untuk melakukan

penindakan hukum secara tegas kepada aparat Dirjen Pajak, yaitu:

1) Selama ada kecenderungan Dirjen Pajak berlindung dibalik Pasal 34

21
KUP yang menyebutkan pada intinyta petugas pajak dilarang

memberikan informasi mengenai wajib pajak serta informasi lainnya

mengenai pajak, ketika BPK, Itjen Depkeu (IBI), atau aparat penegak

hukum mencoba melakukan penelitian awal atas dugaan terjadinya

tindak pidana korupsi. Kondisi ini menyebabkan aparat sulit mencari

bukti awal sebagai persyaratan untuk melakukan penyelidikan/

penyidikan. Namun sebenarnya jawaban atas kesulitan penyidikan ini

juga terdapat dalam pasal 34 KUP ayat3 dan 4 di mana menteri

keuangan dapat memberikan ijin tertulis yang merupakan akses untuk

kepentingan penyidikan.

2) Selama terdapat hubungan yang bersifat saling menguntungkan

(simbiosis mutualisme) antara Fiskus dengan Wajib Pajak. Tentu saja

yang dimaksud Fiskus dan Wajib Pajak di sini adalah oknum (tidak bisa

digeneralisasi bahwa semua atau sebagian besar Fiskus dan Wajib Pajak

melakukan hal yang sama. Sebagian besar wajib pajak lebih suka

membayar pajak kepada Fiskus dibandingkan langsung ke negara.

Artinya, sejumlah kecil kewajiban pajaknya dibayarkan ke negara,

sedangkan sebagian yang lain dibayarkan ke Fiskus, dengan asumsi

Wajib Pajak masih bisa menghemat pajak yang sebenarnya terutang ke

negara. Sebagai businessman, wajib pajak cenderung menghindari

konfrontasi dengan Fiskus karena sejarah menunjukkan bahwa dengan

bermain aman bersama Fiskus.

22
3) Selayaknya markus (makelar kasus) di peradilan yang banyak

diperankan pengacara, maka dalam konteks mafia pajak, yang bertindak

sebagai perantara antara Fiskus dan Wajib Pajak adalah konsultan pajak.

Di beberapa wajib pajak yang masih culun sering ditemui fee untuk

konsultan pajak yang tidak wajar jumlah/nilainya. Fee inilah yang

biasanya digunakan untuk bermain dengan Fiskus. Mekanisme suap

secara tidak langsung seperti ini memang menyulitkan dalam proses

pembuktian di pengadilan.

4) Sebagian besar Fiskus punya background sebagai akuntan/ sarjana

hukum. Oleh karena itu, mereka sangat lihai bermain-main dalam mafia

pajak dan bagaimana menyembunyikan harta hasil kekayaannya.

Menurut komite pengawas perpajakkan (KPP) ada dua belas titik rawan

praktek makelar kasus dan penyelewengan dirjen pajak, misalnya (proses

pemeriksaan,penagihan dan pengadilan pajak), yaitu:

1) Proses pemeriksaan, penagihan, account representative, dan pengadilan

pajak

2) Keberatan pajak

3) Banding pajak

4) Pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak

5) Penuntutan

6) Persidangan

7) Wajib pajak bermain dengan konsultan pajak

23
8) Oknum pajak merangkap sebagai konsultan pajak

9) Oknum pengadilan pajak

10) Main melalui rekayasa akuntansi

11) Main melalui fasiltas pajak

12) Main melalui peraturan pajak

6.1.6.2. Etika Pegawai Pajak (Fiskus)

1. Menghormati agama, kepercayaan, budaya, dan adat istiadat orang lain.

Pegawai harus mengembangkan sikap kerja sama dan toleransi dalam

melaksanakan tugas, yang meliputi:

a. Saling menghormati antar pemeluk agama dan penganut

kepercayaan yang berbeda, sehingga terbina kerukunan antar

pegawai maupun dengan pihak lain yang akan menimbulkan

suasana kondusif dalam melaksanakan tugas

b. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan

agama dan kepercayaan masing-masing sehingga terbina kerukunan

antar pegawai

c. Saling menghormati budaya dan adat istiadat orang lain sehingga

terbina kerukunan antar pegawai maupun dengan pihak lain

2. Bekerja secara profesional, transparan, dan akuntabel

a. Bekerja secara profesional meliputi yaitu: Integritas, yaitu ukuran

kualitas moral pegawai yang diwujudkan dalam sikap jujur, bersih

dari tindakan tercela, dan senantiasa mengutamakan kepentingan

Negara. Disiplin, yaitu pencerminan ketaatan pegawai terhadap

24
setiap ketentuan yang berlaku. Kompetensi, yaitu ukuran tingkat

pengetahuan, kemampuan dan penguasaan atas bidang tugas

pegawai sehingga mampu melaksanakan tugas secara efektif dan

efisien.

b. Bekerja secara transparan, yaitu setiap pegawai bersikap terbuka

dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan

ketentuan yang berlaku. Namun demikian, kerahasiaan jabatan

sesuai

c. Bekerja secara akuntabel, yaitu pegawai harus bertanggung jawab

dan bersedia untuk diperiksa oleh pihak yang berwenang atas setiap

keputusan atau tindakan yang diambil dalam rangka

pelaksanaan tugas

3. Mengamankan data dan atau informasi yang dimiliki direktorat jendral

pajak

a. Mengamankan data atau informasi, termasuk dalam pengertian data

dan atau informasi adalah semua dokumen (hardcopy), media

elektronik (softcopy), maupun data pada aplikasi portal DJP. Semua

data dan informasi hanya digunakan untuk kepentingan pelaksanaan

tugas dan tidak digunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan

b. Mengamankan used id dan password serta tidak membocorkan

kepada pegawai dan atau pihak lain yang tidak berhak

c. Memusnahkan dokumen yang tidak terpakai sesuai dengan prosedur

d. Tidak mengijinkan orang yang tidak berhak dalam ruangan kerja.

25
4. Memberikan pelayanan kepada wajib pajak, sesama pegawai, atau pihak

lain dalam pelaksanaan tugas dengan sebaik-baiknya. Pelayanan prima

merupakan nilai sikap dan perilaku setiap pegawai dalam memberikan

pelayanan kepada masyarakat dengan kualitas terbaik.

5. Menaati perintah kedinasan, perintah kedinasan adalah perintah yang

diberikan oleh atasan yang berwenang mengenai atau yang ada

hubungannya dengan kedinasan.

6. Bertanggung jawab dalam penggunaan barang inventaris milik rektorat

jendral pajak DJP memiliki barang inventaris yang merupakan fasilitas

bagi pegawai agar dapat menunjang pelkasanaan tugas dengan efektif

dan efisien.

7. Mentaati ketentuan jam kerja dan tata tertip kantor

Pegawai berada ditempat kerja sesuai dengan ketentuan mengenai jam

kerja dan menfaatkan jam kerja tersebut untuk melaksanakan pekerjaan

yang menjadi tanggung jawab. Mentaati kententuan jam kerja agar tidak

dipahami bahwa pegawai hanya berada ditempat kerja pada jam kerja

yang ditentukan.

8. Menjadi panutan yang baik bagi masyarakat dalam memenuhi kewajiban

perpajakan.

26
6.2. Penelitian Terdahulu

No. Nama Peneliti Judul Kesimpulan


1. Nurfaizah (2012) Pengaruh Kemampuan Pengujian hipotesis yang
Intelektual, dilakukan membuktikan
Kecerdasan bahwa kemampuan
Spiritual dan intelektual , kecerdasan
Lingkungan Kerja spiritual, dan lingkungan
Terhadap kerja berpengaruh positif
Sikap Etis Fiskus dan signifikan terhadap
sikap etis fiskus.
Berdasarkan pengujian
hipotesis yang dilakukan
menunjukkan bahwa
lingkungan kerja memiliki
pengaruh yang paling
dominan terhadap sikap etis
fiskus

2. Sari (2014) Pengaruh Kecerdasan Kecerdasan emosional dan


Intelektual, kecerdasan spritual
Kecerdasan berpengaruh signikan positif
Emosional Dan terhadap perilaku etis
Kecerdasan Spiritual profesional akuntansi pada
Terhadap Perilaku BUMN dikota Padang.
Etis Para Profesional
Akuntansi (Studi
Empiris Pada BUMN
di Kota Padang).
3. Choiriah (2013) Pengaruh Kecerdasan Kesimpulan yang
Emosional, didapatkan adalah
Kecerdasan Kecerdasan emosional,
Intelektual, kecerdasan intelektual,
Kecerdasan Spiritual, kecerdasan spiritual, dan
dan Etika Profesi etika profesi berpengaruh
terhadap Kinerja positif signifikan terhadap
Auditor dalam Kantor kinerja auditor
Akuntan Publik
(studi empiris pada
auditor dalam kantor
akuntan publik
di kota padang dan
pekanbaru)

27
4. Lisda (2009) Pengaruh Kemampuan Kecerdasan intelektual dan
Intelektual, kecerdasan spritual
Kecerdasan berpengaruh signikan
Emosional dan positif terhadap perilaku
Kecerdasan Spiritual Etis auditor. Sedangkan,
Terhadap perilaku kecerdasan emosional yang
Etis Auditor Serta tidak berpengaruh secara
Dampaknya Pada signifikan terhadap perilaku
Kinerja auditor

5. Simanjorang dan Pengaruh Kecerdasan Hasil analisis data


Friska (2012) Intelektual, menunjukkan bahwa
Kecerdasan kecerdasan intelektual,
Emosional Dan kecerdasan emosional, dan
Kecerdasan Spiritual kecerdasan spiritual secara
Terhadap Sikap Etis bersama-sama atau simultan
Mahasiswa Akuntansi berpengaruh positif dan
Fakultas Ekonomi signifikan terhadap sikap
Universitas Sumatera etis mahasiswa.
Utara

6. Manalu (2016) Pengaruh Kesadaran, Hasil pengujian hipotesis


Sanksi Perpajakan, keempat secara parsial
Tingkat Pendidikan membuktikan bahwa
dan Pelayanan Fiskus variabel pelayanan fiskus
terhadap berpengaruh terhadap
Kepatuhan Wajib kapatuhan wajib pajak.
Pajak dalam Pelayanan fiskus
Melaporkan Pajak berpengaruh terhadap
Restoran kepatuhan wajib pajak.
di Kota Pekanbaru Pelayanan fiskus yang baik
akan meningkatkan
kepatuhan wajib pajak
dalam hal melaksanakan hak
dan kewajiban
perpajakannya.

7. Djasuli dan Pengaruh Kecerdasan Menunjukkan bahwa


Hidayah (2016) Intelektual, kecerdasan intelektual ,
Emosional, dan kecerdasan emosional,
Spiritual Terhadap kecerdasan spiritual
Kinerja Dengan mempunyai pengaruh secara
Variabel Moderasi signifikan terhadap kinerja.
Kompetensi di Hasil pengujian hipotesis
Kabupaten Lamongan menunjukkan bahwa antara

28
kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional, dan
kecerdasan spiritual
mempunyai pengaruh secara
signifikan terhadap kinerja ,
dan setelah adanya
penambahan kompetensi
menunjukkan peningkatan
pengaruh secara signifikan
sebagai variabel moderasi
(mempunyai pengaruh
moderasi).

8. Marsono dan Persepsi Etis Aparat Hasil pengujian hipotesis


Suwardi (2010) Pajak dan Mahasiswa: pertama menghasilkan
Studi Empiris pada adanya perbedaan signifikan
Pemeriksa Pajak, antara persepsi etis aparat
Account pajak dan mahasiswa
Representative dan dengan persepsi etis aparat
Mahasiswa Sekolah pajak yang lebih baik
Tinggi Akuntansi daripada mahasiswa.
Negara Pengujian hipotesis kedua
menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang signifikan
antara persepsi etis
pemeriksa dan account
representative dengan
kecenderungan account
representative lebih baik
persepsi etisnya daripada
pemeriksa. Pengujian
hipotesis ketiga
menghasilkan tidak adanya
perbedaan persepsi etis
antara mahasiswa tingkat
awal dan mahasiswa tingkat
akhir dengan kecenderungan
persepsi etis mahasiswa
tingkat akhir lebih baik
daripada mahasiswa tingkat
awal. Pengujian per dimensi
etis menunjukkan tidak
terdapat perbedaan yang
signifikan dalam dimensi
etika yang umum dan
dimensi keagamaan.

29
Sedangkan untuk dimensi
perpajakan terdapat
perbedaan yang signifikan.
9. Purnama (2011) Persepsi Wajib Pajak Hasil penelitian di atas
Terhadap Dunia menunjukkan adanya
Perpajakan Indonesia hubungan negatif antara
Setelah Fenomena persepsi Wajib Pajak
Kasus dengan ketaatan dan
“GayusTtambunan” kejujuran Wajib Pajak
dengan Pendekatan setelah kasus Gayus
Triangulasi Tambunan. Dari hasil
pemahaman juga ditemukan
adanya citra perpajakan
Indonesia yang memang
sudah buruk sebelum
terjadinya kasus Gayus
Tambunan. Fakta yang
terungkap dalam kasus
Gayus Tambunan juga telah
mampu membuka mata para
Wajib Pajak tentang
buruknya sistem perpajakan
di indonesia.
10. Asnawi (2015) Analisis Keputusan Riset ini memberi simpulan
Kepatuhan Pajak: bahwa untuk meningkatkan
Strategi Audit kepatuhan pajak, pemerintah
Random, Probabilita tidak hanya memperhatikan
Audit Cerapan faktor-faktor ekonomi
dan Etika Pajak seperti strategi audit random
(studi eksperimen tetapi juga perlu
laboratorium) mempertimbangkan faktor
psikologis seperti
probabilita audit cerapan
etika pajak. Hasil riset ini
membuktikan bahwa etika
pajak memiliki pengaruh
yang dominan dalam
peningkatan keputusan
kepatuhan pajak
dibandingkan faktor
ekonomi (strategi audit
random).

30
6.3. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini akan melihat bagaimana pengaruh kecerdasan intelektual

(IQ), kemampuan emosional (EQ) dan kemampuan spiritual (SQ)

mempengaruhi sikap etis fiskus. Oleh karena itu, kerangka konseptual

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai

berikut:

Kecerdasan Intelektual
(X1)
H1 Sikap Etis Fiskus
Kecerdasan Emosional H2 (Y)
(X2)
H3
Kecerdasan Spiritual
(X3)

Gambar 1
Kerangka Pemikiran

6.4. Hipotesis

Perumusan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini bertujuan untuk

menguji apakah kemampuan intelektual, kecerdasan emosional dan

kecerdasan spiritual berpengaruh terhadap sikap etis fiskus. Berdasarkan

pemikiran tersebut maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini sebagai

berikut:

H1: kecerdasaan intelektual berpengaruh secara positif terhadap

sikap etis fiskus

H2: kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap sikap

etis fiskus

31
H3: kecerdasan spiritual berpengaruh positif terhadap sikap etis

fiskus

7. Metode Penelitian

7.1. Populasi dan Sampel

7.1.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek (orang, kejadian, atau sesuatu) yang

mempunyai karakteristik tertentu baik yang konkrit maupun objek yang

abstrack. Objek tersebut disebut unit populasi (Puspowarsito, 2013). Adapun

populasi dalam penelitian kali ini adalah Wajib pajak Orang Pribadi yang

terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Palembang Ilir Timur, Ilir

Barat dan Seberang Ulu.

No. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Palembang Jumlah Fiskus


1. Ilir Timur 81
2. Ilir Barat 91
3. Seberang Ulu 100
Total 272

Jumlah Pegawai Pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak


Pratama di Kota Palembang
Tabel 1

32
7.1.2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang karakteristiknya hendak

diteliti dan dianggap bisa mewakili populasi, sehingga jumlah sampel lebih

sedikit daripada jumlah populasi (Puspowarsito, 2013). Dalam penelitian ini,

penulis menggunakan teknik pengambilan sampel non probability sampling

yaitu teknik pengambilan sampel yang ditentukan sendiri oleh penulis atau

menurut pertimbangan pakar. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode

convenience sampling, yaitu istilah umum yang mencakup variasi luasnya

prosedur pemilihan responden. Convenience sampling berarti unit sampel

yang ditarik mudah dihubungi, tidak menyusahkan, mudah untuk mengukur,

dan bersifat kooperatif (Puspowarsito, 2013). Elemen populasi yang dipilih

sebagai subjek sampel adalah tidak terbatas sehingga peneliti memiliki

kebebasan untuk memilih sampel yang paling cepat dan murah.

Adapun penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan

rumus Slovin. Perhitungan jumlah sampelnya adalah sebagai berikut:

𝑁
n=
𝑁 (𝑑 2 )+ 1

dimana :

n = sampel

N = populasi

d = nilai presisi 95% atau sig. = 0,05

Sehingga dari perhitungan diatas, diperoleh sampel berjumlah 162 orang

pegawai pajak.

33
7.2. Data yang Digunakan

a. Data Primer

Metode data primer yang digunakan yaitu metode survey dengan

teknik kueisioner. Kueisioner didistribusikan secara personal, sehingga

peneliti dapat berhubungan langsung dengan responden dan

memberikan penjelasan seperlunya dan kueisioner dapat langsung

dikumpulkan setelah selesai dijawab oleh responden. Kuesioner

didistribusikan langsung kepada pegawai pajak secara acak, kemudian

diolah berdasarkan kriteria yang telah ditentukan..

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh dari

bahan-bahan atau sumber-sumber bacaan atau kepustakaan. Data

sekunder diperoleh peneliti tidak secara langsung tetapi melalui media

perantara dengan cara membaca dan mengutip, baik secara langsung

maupun tidak langsung dari literatur-literatur yang berhubungan

dengan variable penelitian.

7.3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan

kuesioner. Kuesioner merupakan daftar pertanyaan yang akan digunakan oleh

peneliti untuk memperoleh data dari sumbernya secara langsung melalui

proses komunikasi atau dengan mengajukan pertanyaan.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode survei

menggunakan media angket (kuisioner). Sejumlah pertanyaan diajukan kepada

34
responden kemudian mereka menjawab sesuai dengan pendapat mereka.

Untuk mengukur pendapat responden digunakan skala likert lima angka yaitu

mulai dari angka 5 untuk pendapat sangat setuju(ss) dan angka 1 untuk

pendapat sangat tidak setuju (sts) perinciannya adalah sebagai berikut :

Angka 1 : Sangat Tidak Setuju (STS)

Angka 2 : Tidak Setuju (TS)

Angka 3 : Kurang Setuju (KS)

Angka 4 : Setuju (S)

Angka 5 : Sangat Setuju (SS)

7.4. Teknik Analisis

Setelah kuisioner yang dikirimkan kepada responden kembali, maka

langkah selanjutnya adalah menganalisis data dengan metode analisis yang

sesuai untuk digunakan. Dengan memberikan dan menjumlahkan bobot

jawaban pada masing-masing pertanyaan untuk masing-masing variabel.

1. Uji Kualidata Data

a. Uji validitas

Uji validitas menunjukkan seberapa nyata suatu pengujian mengukur

apa yang seharusnya diukut. Validitas berbuhungan dengan

ketepatan alat ukur untuk melakukan tugasnya dalam mencapai

sasaran. Pengukuran dikatakan valid jika mengukur tujuannya

dengan nyata dan benar (Puspowarsito, 2013). Kriteria valid atau

tidak valid adalah jika korelasi antara skor masing-masing butir

35
pertanyaan tersebut dapat dikatakan valid, dan jika korelasi skor

masing-masing butir pertanyaan denga total skor mempunyai tingkat

signifikan < 0,05 maka butir pertanyaan tersebut tidak valid.

b. Uji Realibilitas

Uji reabilitas dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana hasil

pengukuran tetap konsisten, apabila dilakukan pengukuran dua kali

atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat

pengukuran yang sama. Peneliti melakukan uji reliabilitas dengan

menghitung Cronbach’s Alpha dari masing-masing instrument dalam

suatu variabel. Reliabilitas suatu instrument variabel dikatakan baik

jika memeliki cronbach’s alpha >0.6 .

2. Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji

normalitas, uji heteroskedastisitas dan uji multikolonieritas.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk melihat penyebaran data yang normal

atau tidak, karena data diperoleh langsung dari pertama melalui

kuisioner dalam screening terhadap normalitas data merupakan

langkah awal yang harus dilakukan untuk setiap analisis multivariate,

khususnya jika tujuannya adalah inferensi. Pengujian normalitas

dalam penelitian ini dilakukan dengan uji normal probability plot

dimana data dikatakan normal jika nilai sebaran data berada disekitar

garis lurus diagonal.

36
b. Uji heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model

regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan

ke pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah yang

homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Deteksi ada

atau tidaknya heteroskesdastisitas dapat dilihat dari ada tidaknya pola

tertentu pada grafik scatterplot. Jika ada pola tertentu seperti titik-

titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang,

melebar, kemudian menyempit), maka mengindikasikan bahwa telah

terjadi heteroskedastisitas. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-

titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka

tidak terjadi heteroskedastisitas.

c. Uji Multikolonieritas

Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi

ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Model regresi

yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel

independen (Puspowarsito, 2013).

Deteksi ada tidaknya multikolonieritas dalam model regresi adalah

dilihat dari besaran VIF (Variance Inflation Factor) dan tolerance

(TOL). Regresi bebas dari masalah multikolonieritas jika nilai VIF <

10 dan nilai tolerance >10 .

37
3. Uji hipotesis

a. Koefesien Determinasi (R²)

Koefisien determinasi (R²) bertujuan mengukur seberapa jauh

kemampuan variabel independen (kemampuan intelektual,

kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual) dalam menjelaskan

variasi variabel dependen (sikap etis fiskus). Nilai koefisien

determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai yang mendekati satu

berarti variabel independen memberikan hampir semua informasi

yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel dependen .

Kelemahan mendasar penggunaan koefisien determinasi adalah bias

terhadap jumlah variabel independen yang dimasukkan ke dalam

mode. Setiap penambahan satu variabel independen, maka R² pasti

meningkat tidak peduli apakah variabel tersebut berpengaruh secara

signifikan terhadap variabel dependen. Oleh karena itu penelitian ini

menggunakan nilai R² (koefisien determinasi), jika nilai R² adalah

sebesar 1 berarti fluatuasi varabel dependen seluruhnya dapat

dijelaskan oleh variabel independen dan tidak ada faktor lain yang

menyebabkan fluktuasi variabel dependen. Nilai R² berkisar 0

sampai 1. Jika mendekati 1 berarti semakin kuat kemampuan

variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen.

Sebaliknya, jika nilai R² semakin mendekati angka 0 berarti semakin

lemah kemampuan variabel independen dapat menjelaskan fluktuasi

variabel dependen .

38
b. Uji signifikansi simultan (Uji Statistik F)

Uji F dilakukan dengan tujuan menguji apakah semua variabel

independen yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh

secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Jika nilai

signifikansi > 0,05 maka H ditolak, sebaliknya jika nilai signifikansi

< 0,05 maka H diterima.

c. Uji Parameter Individual (Uji Statistik t)

Uji t bertujuan untuk menguji seberapa jauh pengaruh satu variabel

independen secara individual yaitu kemampuan intelektual,

kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dalam menerangkan

variabel dependen, yaitu sikap etis fiskus.

d. Analisis Regresi Berganda

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan multiple

regression untuk menguji pengaruh kemampuan intelektual,

kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap sikap etis

fiskus. Jadi analisis regresi berganda akan dilakukan bila jumlah

variabel independennya minimal 2, yang dirumuskan sebagai

berikut:

Y = α + β1X1 + β 2X2 + β 3X3 + e

Dimana :

α : Konstanta

β1: Koefisien Kemampuan Intelektual

β2: Koefisien Kecerdasan Emosional

39
β 3 : Koefisien Kecerdasan Spiritual

Y : Sikap Etis Fiskus

X1: Kecerdasan Intelektual

X2: Kecerdasan Emosional

X3: Kecerdasan Spiritual

e : error

7.5. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel independen

Variabel bebas ( independent variable ), yaitu X, adalah

variabel yang mempengaruhi variabel dependen. Variabel bebas

merupakan variabel yang ada atau terjadi mendahului variabel

tak bebasnya. Variabel independen dalam penelitian ini yang

terdiri atas:

a. Kecerdasan Intelektual (IQ)

Kecerdasan Intelektual merupakan interprestasi hasil tes

intelegensi (kecerdasan) ke dalam angka yang dapat menjadi

petunjuk mengenai kedudukan tinggi intelegensi seseorang .

b. Kecerdasan Emosional (EQ)

Kecerdasan Emosional merupakan kemampuan mengenali

perasaan orang diri sendiri dan perasaan orang lain,

memotivasi diri sendiri, serta mengelola emosi dengan baik

pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain

(Golemen, 2006)

40
c. Kecerdasan Spritual (SQ)

Menurut Zohar dan Marshall, kecerdasan Spritual merupakan

kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan

makna dan nilai, yaitu menempatkan perilaku dan hidup

manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya,

serta menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih

bermakna dibandingkan dengan yang lain.

2. Variabel dependen

Variabel tidak bebas ( dependen variabel ), yaitu Y, adalah

variabel yang dipengaruhi atau disebabkan oleh variabel

lainnya. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel tidak

bebas adalah sikap etis fiskus.

a. Sikap Etis adalah respon aparat pajak terhadap kejadian yang

mengandung situasi dilemis berdasarkan Prinsip Kode Etik

Direktorat Jenderal Pajak.

41
Daftar Pustaka

Abdullah, Yatimin. 2008. Pengantar Studi Etika. Raja Grafindo Persada:


Jakarta

Anis, Choiriah. 2013. Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan


Intelektual, Kecerdasan Spiritual, dan Etika Profesi Terhadap Kinerja
Auditor Dalam Kantor Akuntan Publik (studi empiris pada auditor
dalam kantor akuntan publik di kota Padang dan Pekanbaru). Jurnal
Imiah Mahasiswa Akuntansi. Universitas Negeri Padang

Agustian, Ary Ginanjar. 2012. ESQ POWER Emotional Spiritual Quotient.


Jakarta : Arga.

Armansyah. 2002. Intelegency Quotient,Emotional Qoutient, dan Spritual


Quotient dalam Membentuk Perilaku Kerja. Jurnal Ilmiah Manajemen
dan Bisnis Vol. 02 No. 01.

Asnawi, Meinami (2015). Analisis Keputusan Kepatuhan Pajak: Strategi


Audit Random, Probabilita Audit Cerapan Dan Etika Pajak (studi
eksperimen laboratorium). Indonesian Accounting Research Journal
Vol.3 No.1 Januari-Juni 2015.
Ayu, H. dan Taman, A. (2013). Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan
Intelektual, Dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Perilaku Etis
Mahasiswa Akuntansi. Jurnal Ilmiah Akuntansi. Universitas Negeri
Yogyakarta
Djasuli, M. 2016. Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Emosional, danSpiritual
Terhadap Kinerja Dengan Variabel Moderasi Kompetensi di
Kabupaten Lamongan (Studi Kasus di SKPD kabupaten Lamongan).
Jurnal Ilmiah Akuntansi. Universitas Trunojoyo Madura.
Dwilia, M. 2015. Analisis Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan
Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Motivasi Wajib Pajak
Orang Pribadi Dalam Melakukan Tax Evasion di Kota Palembang.
Jurnal Ilmiah Akuntansi. Universitas Sriwijaya.
Fariz, Donal. 2010. Menggugat Peradilan Pajak
http://www.antikorupsi.org/id/content/menggugat-peradilan-
pajak.Diakses pada tanggal 7 Agustus 2016.

Fivawati Hani. 2012. Analisis Pengaruh Kecerdasan Spiritual, Sikap Etis, dan
Penegakkan Hukum Perpajakn Terhadap Kinerja Pegawai Pajak di
Lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Akuntansi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

42
Ghania, Nurul. 2010. Analisis Pengaruh Kecerdasan Spiritual, Kinerja
Pelayanan Perpajakan, dan Modernisasi Sistem Administrasi
Perpajakan Terhadap Motivasi Wajib Pajak Dalam Memenuhi
Kewajiban Perpajakan. Jurnal Ilmiah Akuntansi. Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.
Goleman, Daniel. 2006. Kecerdasan Emosinal Mengapa EI lebih penting
daripada IQ. Jakarta : Gramedia.
GS, Prie. 2015. 3 Pil Kecerdasan Dosis Tinggi. Transmedia : Jakarta Selatan
Ika, Desy. 2011. Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual
Terhadap Sikap Etis Mahasiswa Akuntansi Dipandang dari Segi
Gender. Jurnal Keuangan & Bisnis Vol. 3 No. 2, Juli 2011.
Ikatan Akuntansi Indonesia, 2015. Modul Pelatihan Pajak Terapan Brevet AB
Terpadu. Cetakan ke-9. Jakarta
Ilyas, Wirawan B dan Richard Burton. 2007 . Perpajakan Indonesia. Salemba
Empat, Jakarta, 2007

Lisda, Afria. 2009. Pengaruh Kemampuan Intelektual, Kecerdasan


Emosional, Dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Perilaku Etis Auditor
Serta Dampaknya Pada Kinerja (Studi Empiris Pada Kantor Akuntan
Public Jakarta). Skripsi . Fakultas Ekonomi Dan Ilmu Sosial,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jakarta, Jakarta, 2009

Lucyanda, J. dan Gunardi Endro. 2012. Faktot-faktor yang Mempengaruhi


Perilaku Etis Mahasiswa Akuntansi Universitas Bakrie. Media Riset
Akuntansi, Vol.2 No.2, Jakarta, 2012.
Manalu, Derli. 2016. Pengaruh Kesadaran, Sanksi Perpajakan, Tingkat
Pendidikan, dan Pelayanan Fiskus Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Dalam Melaporkan Pajak Restoran Di Kota Pekan Baru. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Vol.3 No.1 2016. Universitas Surabaya
Marsono dan Suwardi, E. 2010. Persepsi Etis Aparat Pajak dan Mahasiswa:
Studi Empiris pada Pemeriksa Pajak, Account Representative dan
Mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Jurnal BPPK Vol. 1
Tahun 2010
Nurfaizah, Siti. 2012. Pengaruh Kemampuan Intelektual, Kecerdasan
Spiritual dan Lingkungan Kerja Terhadap Sikap Etis Fiskus. Jurnal
Ilmiah Akuntansi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
Pemerintah RI, “ Undang-Undang RI Nomor 28 tahun 2007 Tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983,
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan”, Pemerintah
RI, Jakarta, 2007.

43
Purnama, D. 2011. Persepsi Wajib Pajak Terhadap Dunia Perpajakan
Indonesia Setelah Fenomena Kasus “Gayus Tambunan” dengan
Pendekatan Priangulasi. Simposium Nasional Akuntansi XIV Banda
Aceh 2011

Puspowarsito, 2013. Metode Penelitian Organisasi Dengan Aplikasi Porgram


SPSS. Bandung: Humaniora

Rahmi, Novieriza dan Ali Salmande. 2010. Kasus Gayus Terulang lagi di
Ditjen Pajak.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f47bf2d814c2/kasus-
gayus-terulang-lagi-di-ditjen-pajak. Diakses 7 Agustus 2016.

RM, Rissyo Melandy dan Nurna Aziza. 2006. Pengaruh Kecerdasan


Emosional Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi, Kepercayaan
Diri Sebagai Variabel Pemoderasi. Simposium Nasional Akuntansi
IX, Padang, 2006.

Sari, N. Rika. 2014. Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional


Dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Perilaku Etis Para Profesional
Akuntansi (Studi Empiris Pada BUMN di Kota Padang). Jurnal Ilmiah
Akuntansi Vol.9 No.2 Februari 2014

Syafi’I Ahmad. 2012. Analisis Pengaruh Pengetahuan Dasar Perpajakan


Kemampuan Numerik dan Sikap Disiplin Kerja Aparat Pajak
Terhadap Efisiensi Kerja Aparat Pajak. Skripsi. Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Simanjorang,D., dan Sipayung, F. (2012). Pengaruh Kecerdasan Intelektual,


Kecerdasan Emosional Dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Sikap Etis
Mahasiswa Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
Jurnal Ekonomi, Vol.15 No.2 April 2012.
Sormin, A.Esra. 2016. Pengaruh Persepsi Yang Baik Atas Sistem Perpajakan,
Kesadaran Membayar Pajak, Pemahaman Tentang Peraturan
Perpajakan dan Kualitas Pelayanan Terhadap Kemauan Membayar
Pajak. Jurnal Ilmiah Akuntansi Vol.3 No. 1, Februari 2016.
Suandy, Erly, “Hukum Pajak”, Edisi Ketiga, Salemba Empat, Jakarta, 2005

Surat Edaran Nomor: SE-01/PJ.045/2007, Tentang Kebijakan Penagihan


Pajak ,Tahun 2007.

Tikollah, M. Ridwan, Triyuwono, I. dan H. Unti Ludigdo. 2006. Pengaruh


Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional, Dan Kecerdasan

44
Spiritual Terhadap Sikap Etis Mahasiswa Akuntansi (Studi Pada
Perguruan Tinggi Negeri Di Kota Makasar Provinsi Sulawesi
Selatan). Symposium Nasional Akuntansi IX, Padang, 2006.

Tim Penyusun Kamus Pusat (Depdiknas), “ Kamus Besar Bahasa Indonesia”,


Dapertemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2007.

Trisnawati, Eka Indah dan Sri Suryaningrum. 2003. Pengaruh Kecerdasan


Emosional Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi. Surabaya.
Simposium Nasional Akuntansi VI.

Umar, Husein. 2008. Desain Penelitian Akuntansi Keprilakuan. Jakarta : Raja


Grafindo Persada, 2008

Wilopo. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Terhadap


Kecenderungan Kecurangan Akuntansi. Simposium Nasional
Akuntansi IX Padang

Wikipedia. 2016. Pengertian Pajak. http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak.


Diakses pada tanggal 5 Agustus 2016

Zohar, Danah dan Ian Marshall. 2001. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan


Spritual Dalam Berpikir Integralistik dan Holistik Untuk Memaknai
Kehidupan. Cetakan Kedua, Mizan, Bandung, 2001

45
46

Anda mungkin juga menyukai