Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kurikulum pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang adalah melaksanakan model Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan
merujuk kepada standar nasional yang ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)
dan tetap memperhatikan misi pendidikan tinggi Muhammadiyah, kebutuhan lokal, regional
dan Perserikatan Muhammadiyah dengan pendekatan terintegrasi baik horizontal maupun
vertikal, serta berorientasi pada masalah kesehatan individu, keluarga dan masyarakat dalam
konteks pelayanan kesehatan primer.
Strategi pembelajaran berdasarkan Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional dan rumusan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), implementasi KBK
dilaksanakan melalui strategi SPICES, yaitu Student centred, Problem based learning,
Integrated approach, Community oriented, Early clinical exposure, dan Systematic.
Mengacu pada sistem KBK dan strategi pembelajaran SPICES, salah satu metode
pembelajaran yang diterapkan di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang adalah Tugas Pengenalan Profesi (TPP). Tugas Pengenalan Profesi (TPP) adalah
upaya terstruktur di dalam blok melalui tugas mandiri untuk menyiapkan mahasiswa
memahami peran sebagai profesional dokter dan memahami kebutuhan masyarakat akan
layanan kesehatan dan administrasi layanan kesehatan. Proses ini merupakan kegiatan yang
mengenalkan mahasiswa secara dini pada kasus klinik atau komunitas rumah sakit,
puskesmas, panti, posyandu, kunjungan ke rumah pasien, dan lain-lain.
Hampir setiap pasangan yang telah menikah pasti beranggapan bahwa keluarga mereka
belumlah lengkap jika belum dikaruniai seorang anak. Kehadiran anak membawa
kebahagiaan bagi seluruh keluarga serta sebagai penerus yang diharapkan akan membawa
kebaikan bagi keluarga. Memiliki anak yang normal baik fisik maupun mental adalah
harapan bagi semua orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua individu
dilahirkan dalam keadaan normal. Beberapa di antaranya memiliki keterbatasan baik secara
fisik maupun psikis, yang telah dialami sejak awal masa perkembangan seperti retardasi
mental (Ekantari, 2010).
Menurut American Association on Mental Retardation (AAMR), retardasi mental
adalah suatu disabilitas yang ditandai dengan suatu limitasi atau keterbatasan yang bermakna
baik dalam fungsi intelektual maupun perilaku adaptif yang diekspresikan dalam

1
keterampilan konseptual, sosial dan praktis. Keadaan ini terjadi sebelum usia 18 tahun
(Elvira, 2013).
Prevalensi kejadian retardasi mental di Indonesia yaitu 1-3% penduduk mengalami
retardasi mental, penderita tersebut meliputi retardasi mental ringan 80%, retardasi mental
sedang 12%, retardasi mental berat 7%, dan retardasi mental sangat berat 1%. Pada sebagian
besar kasus retardasi mental, penyebabnya tidak diketahui; hanya 25 % kasus yang memiliki
penyebab yang spesifik. Insiden tertinggi adalah masa anak-anak sekolah dengan puncak
umur 10 sampai 14 tahun (Winarti, 2015).
Retardasi mental terbagi atas retardasi mental ringan, sedang, berat dan sangat berat.
Anak dengan retardasi mental sangat berat memerlukan pengawasan terus-menerus dan
sangat terbatas dalam keterampilan berkomunikasi dan motoriknya. Namun, pada saat
dewasa dapat terjadi suatu perkembangan bicara dan keterampilan menolong diri-sendiri
(Kaplan dkk, 2010).
Oleh karena itu, pada blok XIV yang berjudul “Kedokteran Jiwa dan Fungsi Luhur”,
bertujuan agar mahasiswa diharapkan mampu mengidentifikasi kasus retardasi mental pada
anak di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC).
Berdasarkan tujuan dari blok tersebut, maka kami dari kelompok VI bermaksud untuk
melakukan kegiatan Tugas Pengenalan Profesi (TPP) dengan judul “Observasi Pasien
dengan Retardasi Mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC)”.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada pelaksanaan TPP ini sebagai berikut :
1. Apa etiologi/penyebab retardasi mental ?
2. Bagaimana klasifikasi retardasi mental?
3. Bagaimana cara mendiagnosis kasus retardasi mental?
4. Bagaimana karakteristik pasien dengan retardasi mental di YPAC?
5. Bagaimana penatalaksanaan terhadap anak dengan retardasi mental di YPAC?
6. Apa saja program yang diberikan YPAC terhadap anak dengan retardasi mental?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum

2
Adapun tujuan umum dalam pelaksanaan TPP ini adalah untuk mengidentifkasi
secara langsung kasus anak-anak dengan gangguan retardasi mental di YPAC.

1.3.2 Tujuan Khusus


Adapun tujuan khusus dalam pelaksanaan TPP ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui etiologi/penyebab anak dengan gangguan retardasi mental.
2. Untuk mengetahui klasifikasi anak retardasi mental.
3. Untuk mengetahui cara mendiagnosis kasus retardasi mental.
4. Untuk mengetahui karakteristik pasien dengan retardasi emntal di YPAC.
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan terhadap anak dengan retardasi mental di
YPAC.
6. Untuk mengetahui program yang diberikan YPAC terhadap anak dnegan retardasi
mental.

1.4 Manfaat Kegiatan


Adapun manfaat dalam pelaksanaan TPP ini sebagai berikut:
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui etiologi/penyebab anak dengan gangguan
retardasi mental.
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui klasifikasi anak retardasi mental.
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui cara mendiagnosis kasus retardasi mental.
4. Agar mahasiswa dapat mengetahui karakteristik pasien dengan retardasi mental di
YPAC.
5. Agar mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan dan terapi terhadap anak dengan
gangguan retardasi mental di YPAC.
6. Agar mahasiswa dapat mengetahui program yang diberikan YPAC terhadap anak
dengan retardasi mental.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3
2.1 Definisi Retardasi Mental
Retardasi mental merupakan suatu proses patologik di otak yang ditandai adanya
keterbatasan fungsi adaptif dan intelektual. Menurut Pedoman Peengolongan Diagnosis
Gangguan Jiwa Edisi ke-III (PPDGJ III), retardasi mental adalah suatu keadaan
perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh
hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua
tingkat intelegensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa motorik dan sosial (Elvira SD,
Hadisukanto G. 2010). Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa
atau gangguan fisik lainnya. Namun demikian, peyandang retardasi mental bisa
mengalami semua gangguan jiwa yang ada. Prevalensi dari gangguan jiwa lainnya
sekurang-kurangnya 3 (tiga) sampai 4 (empat) lipat pada populasi ini dibandingkan
populasi umum (Elvira, 2013).
Menurut American Association Mental Retardation (AAMR) 2002 retardasi
mental adalah suatu keadaan dengan ciri sebagai berikut: “Retardasi Mental adalah suatu
disabilitas yang ditandai dengan suatu limitasi/keterbatasan yang bermakna baik dalam
fungsi intelektual maupun perilaku adaptif yang di ekspresikan dalam keterampilan
konseptual, sosial dan praktis. Keadaan ini terjadi sebelum usia 18 tahun.” (Elvira SD,
Hadisukanto G. 2010). AAMR menggunakan suatu pendekatan multi-dimensional atau
biopsikososial yang mencakup 5 dimensi yaitu: (1) kemampuan intelektual, (2) perilaku
adaptif, (3) partisipasi, interaksi dan peran sosial, (4) kesehatan fisik dan mental, (5)
konteks: termasuk budaya dan lingkungan (Elvira, 2013).
Menurut revisi teks edisi keempat Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder (DSM-IV-TR), retardasi mental didefinisikan sebagai fungsi intelektual umum
yang sangat di bawah rata-rata sehingga menyebabkan atau disertai gangguan perilaku
adaptif, yang bermanifestasi selama periode perkembangan, sebelum usia 18 tahun.
Diagnosis ini ditegakkan tanpa memandang apakah orang tersebut memiliki juga
gangguan fisis atau gangguan jiwa lainnya (Sadock dkk, 2010).

2.2 Epidemiologi
Survei epidemiologis menunjukkan bahwa hingga dua pertiga anak dan orang
dewasa dengan retardasi mental memiliki gangguan mental komorbid; angka ini
beberapa kali lebih tinggi dibandingkan pada sampel komunitas yang tidak mengalami
retardasi mental. Prevalensi psikopatologi tampaknya terkait dengan derajat retardasi

4
mental. Studi epidemiologis terkini menemukan bahwa 40,7 persen anak berusia antara 4
dan 18 tahun yang lalu memiliki disabilitas intelektual memenuhi kriteria sedikitnya satu
gangguan psikiatri. Keparahan retardasi berdampak kepada jenis gangguan psikiatri.
Mereka yang mengalami retardasi mental berat lebih kecil kemungkinannya untuk
menunjukkan gejala psikiatri (Kaplan dkk, 2010).
Prevalensi retardasi mental pada suatu saat diperkirakan adalah kira-kira 1% dari
populasi. Insidensi retardasi mental sulit dihitung karena retadasi mental ringan kadang-
kadang tidak dikenali hingga masa kanak-kanak pertengahan yaitu usia 6 sampai 11
tahun. Pada beberapa kasus, meskipun fungsi intelektual terbatas, keterampilan adaptif
yang baik tidak terganggu sampai masa kanak-kanak akhir atau masa remaja awal, dan
diagnosis tidak ditegakkan sebelum masa tersebut. Insidensi tertinggi adalah pada anak
usia sekolah, dengan puncak usia 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental kira-kira 1,5 kali
lebih sering pada laki-laki dibandingkan wanita. Pada lanjut usia, prevalensi lebih
sedikit, karena mereka dengan retardasi mental yang berat atau sangat berat memiliki
angka mortalitas yang tinggi yang disebabkan dari penyulit gangguan fisik yang
menyertai (Kaplan dkk, 2010).

2.3 Etiologi
Faktor etiologi retardasi mental terutama dapat berupa genetik, perkembangan,
didapat, atau kombinasi berbagai faktor. Penyebab genetik ini meliputi kondisi
kromosomal dan diwariskan, faktor perkembangan mencakup trauma perinatal berupa
prematuritas dan faktor sosiokultural. Diantara gangguan metabolik dan kromosom
sindrom down, fragile x syndrome, dan fenilketonuria (PKU) adalah gangguan tersering
yang biasanya menghasikan sedikitnya retardasi mental sedang. Orang dengan retardasi
mental ringan kadang – kadang memiliki pola familial yang tampak pada orang tua dan
saudara kandungnya. Kurangnya gizi, pengasuhan, dan stimulasi sosial turut berperan
dalam perkembangan retardasi mental. Pengetahuan terkini mengesankan bahwa faktor
genetik, lingkungan, biologis dan psikososial turut bekerja di dalam retardasi mental
(Kaplan dkk, 2010).
A. Faktor Genetik
Kelainan kromosomal autosomal menyebabkan retardasi mental, meskipun
penyimpangan kromosom seks tidak selalu menyebabkan retardasi mental (seperti
Sindrom Turner dengan XO dan Sindrom Klinefelter dengan variasi XXY, XXXY,
dan XXYY) (Kaplan dkk, 2010).

5
1. Sindrom Down
Meskipun teori dan hipotesis yang dikembangkan dalam 100 tahun belakangan
ini melimpah-ruah, penyebab sindrom down masih belum diketahui. Masalah
penyebab bahkan semakin rumit sejak dikenalinya tiga jenis penyimpangan
kromoson di dalam sindrom down sebagai berikut.
 Pasien dengan trisomi 21 (tiga kromosom 21, yang seharusnya dua)
menunjukkan mayoritas yang berlebihan; pasien tersebut memiliki 47
kromosom, dengan ekstra kromosom 21.
 Gagal berpisah pada pembelahan sel setelah fertilisasi menyebabkan
mosaikisme, keadaan adanya sel normal dan trisomi didalam berbagai
jaringan.
 Didalam translokasi, terdapat penyatuan dua kromosom sebagian besar yaitu
kromosom 21 dan 15 sehingga tetap menghasilkan 46 kromosom, meskipun
ada tambahan kromosom 21.
2. Fragile X Syndrome
Fragile X Syndrome merupakan penyebab tunggal retardasi mental yang
terbanyak kedua. Sindrom ini terjadi akibat mutasi kromosom X pada tempat
yang dikenal sebagai Fragile Site (Xq27.3). Profil perilaku orang dengan sinrom
ini mencangkup tingginya angka ADHD, gangguan belajar, dan gangguan
perkembangan pervasif, seperti autisme.
3. Sindrom Prader-Willi
Sindrom Prader-Willi didalilkan terjadi akibat delesi kecil yang mengenai
kromosom 15, biasanya terjadi secara sporadis. Pravalensinya kurang dari 1
dalam 10.000. Orang dengan sindrom ini menunjukkan perilaku makan
kompulsif dan sering obesitas, retardasi mental, hipogonadisme, perawakan kecil,
hipotonia, dan kaki serta tangan yang kecil. Anak dengan sindrom ini sering
memiliki perilaku menentang dan menyimpang.
4. Fenilketonuria
PKU diturunkan sebagai ciri mendelian autosomal resesif sederhana. Sebagian
besar pasien dengan PKU mengalami retardasi berat, tetapi beberapa diantaranya
dilaporkan memiliki intelegensi dalam batas ambang atau normal. Meskipun
gambaran klinisnya beragam, anak dengan PKU biasanya hiperaktif; mereka

6
menunjukkan perilaku yang aneh dan tidak dapat diduga serta sulit diatur.
Perilakunya kadang – kadang menyerupai anak dengan autisme dan skizofrenia.
5. Gangguan Rett
Gangguan rett dihipotesiskan sebagai sindrom retardasi mental dominan terkait-
X, bersifat degeneratif, dan hanya mengenai perempuan. Kemunduran
keterampilan komunikasi, perilaku motorik, dan fungsi sosial dimulai pada kira-
kira usia 1 tahun. Gejala mirip autistik lazim ditemukan, demikian juga ataksia,
seringai wajah, menggeretakkan gigi, dan hilangnya pembicaraan.
6. Sindrrom Lesch-Nyhan
Sindrrom Lesch-Nyhan adalah gangguan langka yang disebabkan oleh defisiensi
enzim yang terlibat didalam metabolisme purin. Gangguan ini terkait-X; pasien
mengalami retardasi mental, mikrosefali, kejang, koreoatetosis, dan spastisitas
(Kaplan dkk, 2010).
B. Faktor Pranatal
Persyaratan penting untuk perkembangan keseluruhan janin adalah kesehatan
fisik, psikologis dan nutrisi. Penyakit dan kondisi maternal yang mempengaruhi
perkembangan normal sistem saraf pusat janin adalah diabetes melitus yang tidak
terkendali, anemia, emfisema, hipertensi, serta pemakaian jangka panjang alkohol
dan zat narkotik. Infeksi maternal selama kehamilan, terutama infeksi virus telah
diketahui menyebabkan kerusakan janin dan retardasi mental. Contohnya rubella
sebagai penyebab utama malformasi kongenital dan retardasi mental yang
disebabkan oleh infeksi maternal. Jika ibu terinfeksi dalam trisemester pertama
kehamilan, 10-15% anak terkena, tetapi insidensi meningkat hampir 50% jika
terinfeksi pada bulan pertama kehamilan (Kaplan dkk, 2010).
C. Faktor Perinatal
Beberapa bukti menunjukkan bahwa bayi prematur dan bayi dengan berat
badan lahir rendah berada dalam resiko tinggi mengalami gangguan neurologis dan
intelektual yang bermanifestasi selama tahun-tahun sekolahnya. Bayi tersebut yang
menderita perdarahan intrakranial atau tanda-tanda iskemia serebral terutama rentan
terhadap kelainan kognitif. Derajat gangguan perkembangan saraf biasanya
berhubungan dengan beratnya perdarahan intrakranial. Pemutusan sosioekonomi
juga dapat mempengaruhi fungsi adaptif bayi yang rentan tersebut. Intevens dini
dapat memperbaiki kemampuan kognitif, bahasa, dan perseptal mereka (Kaplan dkk,
2010).

7
2.4 Klasifikasi
Uji intelegensia pertama kali diperkenalkan oleh seorang psikolog Perancis yang
bernama Alfred Binet dan Theodore Simon pada tahun 1900. Pada tahun 1916, Dr Lewis
Terman mengadaptasi pemeriksaan intelegensia berdasarkan skala Binet tersebut di
Stanford University. Saat ini uji intelegensia tersebut dinamakan Stanford Binet
Intelligence Scale yang sudah direvisi 4 kali yaitu tahun 1937, 1960, 1973, dan 1986.
William Stern pada tahun 1912 membuat konsep intelligence quotient (IQ) sebagai suatu
perbandingan antara mental age (MA) dan chronological age (CA) (Sadock dkk, 2010).

Berdasarkan konsep Intelligence Quotient (IQ), kriteria diagnostik DSM-IV-TR


adalah sebagai berikut:

Derajat Retardasi Mental IQ


Ringan 50-55 hingga kira-kira 70
Sedang 35-40 sampai 50-55
Berat 20-25 sampai 35-40
Sangat Berat Dibawah 20 atau 25
Retardasi mental, keparahan tidak Ketika terdapat anggapan kuat adanya
dirinci retardasi mental tetapi intelegensia orang
tersebut tidak dapat diuji dengan uji standar
(Sadock dkk, 2010).

A. Retardasi mental ringan


Retardasi mental ringan dikategorikan sebagai retardasi mental yang dapat
dididik (educable). Anak mengalami gangguan berbahasa tetapi masih mampu
menguasainya untuk keperluan bicara sehari-hari dan untuk wawancara klinik.
Umumnya mereka juga mampu mengurus diri sendiri secara independen (makan,
mencuci, memakai baju, mengontrol saluran cerna dan kandung kemih), meskipun
tingkat perkembangannya sedikit lebih lambat dari ukuran normal. Kesulitan utama
biasanya terlihat pada pekerjaan akademik sekolah, dan banyak yang bermasalah

8
dalam membaca dan menulis. Dalam konteks sosiokultural yang memerlukan sedikit
kemampuan akademik, mereka tidak ada masalah. Tetapi jika ternyata timbul
masalah emosional dan sosial, akan terlihat bahwa mereka mengalami gangguan,
misal tidak mampu menguasai masalah perkawinan atau mengasuh anak, atau
kesulitan menyesuaikan diri dengan tradisi budaya (Elvira, 2013).
B. Retardasi mental sedang
Retardasi mental sedang dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dilatih
(trainable). Pada kelompok ini anak mengalami keterlambatan perkembangan
pemahaman dan penggunaan bahasa serta pencapaian akhirnya terbatas. Pencapaian
kemampuan mengurus diri sendiri dan keterampilan motorik juga mengalami
keterlambatan. Beberapa diantaranya membutuhkan pengawasan sepanjang
hidupnya. Kemajuan di sekolah terbatas, sebagian masih bisa belajar dasardasar
membaca, menulis dan berhitung. Anak-anak dengan retardasi mental sedang
menyadari kekurangannya dan sering kali merasa diasingkan oleh teman sebayanya
dan merasa frustasi karena keterbatasannya. Mereka terus membutuhkan
pengawasan yang cukup tetapi dapat menjadi kompeten dalam pekerjaan yang
dilakukan dalam kondisi yang mendukung (Elvira, 2013).
C. Retardasi mental berat
Kelompok retardasi mental berat ini hampir sama dengan retardasi mental
sedang dalam hal gambaran klinis, terdapatnya suatu etiologi organik dan kondisi
yang menyertainya. Perbedaan utama adalah pada retardasi mental berat ini biasanya
mengalami kerusakan motorik yang bermakna atau adanya defisit neurologis (Elvira,
2013).
D. Retardasi mental sangat berat
Retardasi mental sangat berat berarti secara praktis anak sangat terbatas
kemampuannya dalam mengerti dan menuruti permintaan atau instruksi. Umumnya
anak sangat terbatas dalam hal mobilitas, dan hanya mampu pada bentuk komunikasi
nonverbal yang sangat elementer (Elvira, 2013).

2.5 Diagnosis Banding


Menurut definisi, retardasi mental harus dimulai sebelum usia 18 tahun. Beberapa
hendaya sensorik, terutama tuli dan buta, dapat dikelirukan dengan retardasi mental jika
selama uji tidak digunakan alat bantu. Defisit pembicaraan dan serebral palsi sering
membuat anak tampak mengalami retardasi, bahkan saat intelegensinya berada dalam

9
batas ambang atau normal. Jenis penyakit kronis dan melemahkan apapun dapat
menurunkan fungsi anak pada semua area. Gangguan konfulsif dapat memberikan kesan
adanya retardasi mental, terutama saat adanya kejang yang tidak terkontrol. Sindrom
otak kronis dapat mengakibatkan cacat tertentu seperti tidak dapat membaca (aleksia),
tidak dapat menulis (agrafia), tidak dapat berkomunikasi (afasia), dan beberapa cacat
lain yang mungkin terdapat pada orang dengan intelegensi normal bahkan superior. Anak
dengan gangguan belajar, yang dapat terjadi bersamaan dengan retardasi mental,
mengalami keterlambatan atau kegagalan perkembangan pada area khusus seperti
membaca atau matematika, tetapi anak tersebut berkembang normal pada area lain.
Sebaliknya, anak dengan retardasi mental menunjukkan keterlambatan umum pada
sebagian besar area perkembangan (Kaplan dkk, 2010).
Retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif sering terdapat bersamaan.
Karena tingkat fungsi mereka yang biasa saja, anak dengan gangguan perkembangan
pervasif memiliki lebih banyak masalah dengan hubungan sosial dan mengalami
penyimpangan bahasa yang lebih dibandingkan anak yang mengalami retardasi mental
(Kaplan dkk, 2010).
Anak di bawah usia 18 tahun yang memenuhi kriteria diagnostik demensia dan
menunjukkan IQ kurang dari 70 diberikan diagnosis demensia dan retardasi mental.
Mereka yang IQ-nya turun hingga kurang dari 70 setelah usia 18 tahun dan yang
memiliki onset baru gangguan kognitif tidak diberikan diagnosis retardasi mental tetapi
hanya diagnosis demensia (Kaplan dkk, 2010).

2.6 Diagnosis
Kriteria diagnosis untuk retardasi mental dari Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders ed 4 ( DSM-IV) sebagai berikut.
a. Fungsi intelektual yang secara bermakna di bawah rata-rata IQ kira-kira 70 atau
kurang pada tes IQ yang dilakukan secara individual (untuk bayi, pertimbangan
klinis adanya fungsi intelektual yang jelas di bawah rata-rata)
b. Adanya defisit atau gangguan yang menyertai dalam fungsi adaptif sekarang
(yaitu efektivitas orang tersebut untuk memenuhi standar-standar yang dituntut
menurut usianya dalam kelompok kulturnya) pada sekurangnya dua bidang
keterampilan berikut: komunikasi, merawat diri sendiri, di rumah, keterampilan
sosial/interpersonal, menggunakan sarana masyarakat, mengarahkan diri sendiri,
keterampilan akademik fungsional, pekerjaan, liburan, kesehatan, dan keamanan.

10
c. Onset sebelum usia 18 tahun
Penulisan didasarkan pada derajat keparahan yang mencerminkan tingkat
gangguan intelektual:
a. Retardasi mental ringan: tingkat IQ 50-55 sampai kira-kira 70.
b. Retardasi mental sedang: tingkat IQ 35-40 sampai 50-55.
c. Retardasi mental berat: tingkat IQ 20-25 sampai 35-40.
d. Retardasi mental sangat berat: tingkat IQ di bawah 20.
Retardasi mental, tingkat keparahannya tidak ditentukan, jika terdapat
kecurigaan kuat adanya retardasi mental tetapi intelegensi pasien tidak dapat diuji
oleh tes intelegensi baku (Kaplan dkk, 2010).

2.7 Tatalaksana
a. Tatalaksana Medis
Obat-obat yang sering digunakan dalam pengobatan retardasi mental adalah
terutama untuk menekan gejala-gejala hiperkinetik. Metilfenidat (ritalin) dapat
memperbaiki keseimbangan emosi dan fungsi kognitif. Imipramin, dekstroamfetamin,
klorpromazin, flufenazin, fluoksetin kadang-kadang dipergunakan oleh psikiatri anak.
Untuk menaikkan kemampuan belajar pada umumnya diberikan tioridazin (melleril),
metilfenidat, amfetamin, asam glutamat, dan gamma aminobutyric acid (GABA)
(Lumbantobing, 2010).
b. Rumah Sakit/Panti Khusus
Penempatan di panti-panti khusus perlu dipertimbangkan atas dasar: kedudukan
sosial keluarga, sikap dan perasaan orangtua terhadap anak, derajat retardasi mental,
pandangan orangtua mengenai prognosis anak, fasilitas perawatan dalam masyarakat,
serta fasilitas untuk membimbing orangtua dan sosialisasi anak. Kerugian penempatan
di panti khusus bagian retardasi mental adalah kurangnya stimulasi mental karena
kurangnya kontak dengan orang lain dan kurangnya variasi lingkungan yang
memberikan kebutuhan dasar bagi anak (Lumbantobing, 2010).
c. Psikoterapi
Psikoterapi dapat diberikan kepada anak retardasi mental maupun kepada orang
tua anak tersebut. Walaupun tidak dapat menyembuhkan retardasi mental tetapi
dengan psikoterapi dan obat-obatan dapat diusahakan perubahan sikap, tingkah laku
dan adaptasi sosialnya (Lumbantobing, 2010).
d. Konseling

11
Tujuan konseling dalam bidang retardasi mental ini adalah menentukan ada atau
tidaknya retardasi mental dan derajat retardasi mentalnya, evaluasi mengenai sistem
kekeluargaan dan pengaruh retardasi mental pada keluarga, kemungkinan penempatan
di panti khusus, konseling pranikah, dan prenatal (Lumbantobing, 2010).
e. Pendidikan
Pendidikan yang penting disini bukan hanya asal sekolah, namun bagaimana
mendapatkan pendidikan yang cocok bagi anak yang terbelakang ini. Terdapat empat
macam tipe pendidikan untuk retardasi mental sebagai berikut.
1. Kelas khusus sebagai tambahan dari sekolah biasa
2. Sekolah luar biasa C
3. Panti khusus
4. Pusat latihan kerja (sheltered workshop) (Lumbantobing, 2010).
f. Pencegahan
Retardasi mental dapat primer (mencegah timbulnya retardasi mental), atau
sekunder (mengurangi manifestasi klinis retardasi mental). Sebab-sebab retardasi
mental yang dapat dicegah antara lain infeksi, trauma, intoksikasi, komplikasi
kehamilan, gangguan metabolisme, dan kelainan genetik (Lumbantobing, 2010).

2.8 Pencegahan
Retardasi mental dikaitkan dengan berbagai gangguan psikiatri komorbid dan
paling sering membutuhkan berbagai dukungan psikososial. Terapi orang dengan
retardasi mental didasari pada penilaian akan kebutuhan sosial dan lingkungan serta
perhatian terhadap keadaan komorbidnya. Terapi optimal untuk keadaan yang dapat
menyebabkan retardasi mental adalah pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Kaplan,
2010).
a. Pencegahan Primer
Pencegahan perimer meliputi tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan atau
mengurangi keadaan yang menimbulkan terjadinya gangguan yang terkait dengan
retardasi mental. Cara-caranya mencakup edukasi untuk meningkatkan pengetahuan
masyarakat umum dan kesadaran akan retardasi mental; upaya profesional kesehatan
yang berkelanjutan untuk meyakinkan dan memperbaiki kebijakan kesehatan; undang-
undang untuk menyediakan perawatan kesehatan anak dan ibu yang optimal; dan
eradikasi gangguan yang diketahui diakibatkan oleh kerusakan sistem saraf pusat
(Kaplan dkk, 2010).

12
b. Pencegahan Sekunder dan Tersier
Ketika suatu gangguan yang dikaitkan dengan retardasi mental telah diidentifikasi,
gangguan ini harus diterapi untuk memperpendek perjalanan penyakit (pencegahan
sekunder) dan untuk meminimalkan gejala sisa atau hendaya selanjutnya (pencegahan
tersier). Gangguan endokrin dan metabolik herediter, seperti PKU dan hipotiroidisme,
dapat diterapi dengan efektif pada tahap awal dengan pengendalian diet atau terapi sulih
hormon. Anak dengan retardasi mental sering memiliki kesulitan emosi dan perilaku
yang memerlukan terapi psikiatrik. Kemampuan sosial dan kognitifnya yang terbatas
memerlukan modalitas terapi psikiatrik yang dimodifikasi dan didasari pada tingkat
intelegensi anak tersebut (Kaplan dkk, 2010).
2.9 Komplikasi
Toksemia kehamilan dan diabetes maternal yang tidak terkontrol membahayakan
bagi janin dan kadang-kadang menimbulkan retardasi mental. Malnutrisi maternal selama
kehamilan sering menimbulkan dan komplikasi obstreri lain. Perdarahan vagina, plasenta
previa, pelepasan plasenta yang prematur, dan prolaps tali pusat dapat merusak otak janin
karena menimbulkan anoksia. Potensi efek teratogenik agen farmakologis yang diberikan
selama hamil telah dipublikasikan secara luas setelah tragedi thalidomide (obat yang
menyebabkan tingginya persentase bayi cacat ketika diberikan kepada perempuan hamil).
Penggunaan lithium (Eskalith) selama kehamilan baru-baru ini dikaitkan dengan beberapa
malformasi kongenital, terutama sistem kardiovaskular (Kaplan dkk, 2010).
Menurut Betz, (2009) komplikasi retardasi mental adalah:
1. Serebral palsi
2. Gangguan kejang
3. Gangguan kejiwaan
4. Gangguan konsentrasi /hiperaktif
5. Defisit komunikasi
6. Konstipasi
7. Komplikasi kehamilan

2.10 Prognosis
Seorang anak yang mengalami retardasi mental yang berat, prognosis kedepannya
ditentukan oleh keadaan anak tersebut pada masa awal kanak-kanaknya. Retardasi

13
mental yang ringan bisa jadi terjadi hanya sementara. Anak-anak mungkin akan
didiagnosa sebagai retardasi mental pada awalnya, namun pada tahun-tahun usia
berikutnya, mungkin kelainannya akan dapat lebih dispesifikan, contohnya gangguan
komunikasi dan autism (Santrock, 2010).
Efek jangka panjang dari setiap individu berbeda-beda, bergantung pada derajat
defisit kognitif dan adaptif, gangguan perkembangan pada masa embrionik, dan
dukungan keluarga serta lingkungan (Santrock, 2010).

BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1 Nama Kegiatan

14
Observasi Pasien dengan Retardasi Mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat
(YPAC) Palembang.

3.2 Lokasi Pelaksanaan


Tugas Pengenalan Profesi (TPP) akan dilaksanakan di Yayasan Pembinaan Anak
Cacat (YPAC) Palembang.

3.3 Waktu Pelaksanaan


Tugas Pengenalan Profesi iniakan dilaksanakan pada:
Hari / Tanggal : Kamis, 29 September 2016
Pukul : 08.00 – 11.30

3.4 Subjek Tugas Mandiri


Subjek tugas mandiri pada pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi (TPP) ini adalah
anak-anak yang mengalami retardasi mental.

3.5 Alat yang digunakan


1. Alat tulis
2. Checklist
3. Alat rekam
4. Kamera

3.6 Langkah Kerja


Langkah-langkah kerja yang dilakukan dalam melaksanakan Tugas Pengenalan
Profesi (TPP) “Retardasi Mental di YPAC Palembang” sebagai berikut.
1. Pembuatan proposal TPP
2. Konsultasi kepada Pembimbing TPP
3. Meminta Surat Melaksanakan TPP
4. Pelaksanaan TPP
5. Pembuatan Laporan Pelaksanaan TPP
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
15
4.1.1 Hasil wawancara dengan Orang Tua ke-1
Identitas Pasien 1 :
Nama Orang Tua : Tn. D
Jenis kelamin : laki-laki
Umur : 45 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. R Sukamto
Identitas Anak
Nama Anak : An. S
Usia :7 Tahun
Dari hasil wawancara terhadap Tn. D yang merupakan ayah dari An. S didapatkan
hasil bahwa, An. S menderita Retardasi mental disertai syndrom Down. Tn. D mengatakan
anaknya dilahirkan di rumah sakit, dokter sudah mengatakan bahwa anaknya terdapat
kelainan.Satu minggu setelah kelahiran An. S, Tn. D diminta menjalani tes analisa kromosom
untuk memastikan anaknya benar mengalamisyndrom down. Tn. D mengatakan bahwa An. S
lancar dalam berbahasa tentang bahasan sehari-hari,bisa mandi dan makan sendiri, tetapi
BAB, BAK dan berpakaian masih dibantu oleh orang tua,tidak mengalami keterlambatan
dalam membaca, tetapi menulis harus ada contoh, dan berhitung bisa 1-10 An. S
mengalamai hambatan dalam berinteraksi dengan orang lain, namun masih mau berpartisipasi
pada lomba HUT RI yang diadakan pihak YPAC dan An. S tidak mengalami penurunan nilai
akademis. Riwayat tumbuh kembang An. S Merangkak pada umur 6 bulan, berjalan dan
berbicara pada umur 2 tahun. Riwayat penyakit sekarang An. S yaitu synndrom down.
Riwayat kehamilan prenatal ibu An. S yaitu tidak ada infeksi virus rubella, tidak
menggunakan obat – obatan dan alkohol, tidak ada riwayat penyakit diabetes mellitus,
anemia, emfisema dan hipertensi. Riwayat perinatal An. S yaitu lahir dengan berat bayi lahir
rendah yaitu sekitar 2,3 kg tidak ada riwayat prematur dan perdarahan intrakranial. Riwayat
postnatal An. S tidak ada kejang, trauma kepala, infeksi seperti meningitis, ensefalitis dan
keracunan timah hitam. Riwayat imunisasi An. S lengkap. Tn. D mengatakan tidak ada
keluarga yang mengalami hal serupa seperti An. S. Tn D bekerja sebagai wiraswasta dan ibu
An. S seorang karyawan BUMN. Tn. D mengatakan bahwa An. S sudah pernah melakukan
pemeriksaan IQ dan diketahui hasilnya 68. Tatalaksana yang diberikan dokter yaitu berupa
non farmakologis Tn. D diminta dokter untuk melakukan terapi lalu pada saat umur An. S
berusia 1 tahun Tn. D melakukan terapi wicara dan fisioterapi pada An. S.

16
4.1.2 Hasil wawancara dengan Orang Tua ke-2
Identitas Pasien 2 :
Nama Orang Tua : Ny. Y
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 52 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Poltek
Identitas Anak
Nama Anak : An. P
Usia :14 Tahun
Dari hasil wawancara terhadap orang tua dari An. P didapatkan hasil bahwa An. P
merupakan anak bungsu dari 3 bersaudara yang mengalami keterlambatan dalam bicara dan
berjalan, dimana An. P baru dapat berbicara pada usia 4 tahun dan hanya kata mama serta
An. P juga mengalami keterlambatan dalam berjalan dimana An. P baru dapat berajalan pada
usia hampir 2 tahun. Ny. Y juga mengatakan bahwa ia baru menyadari adanya keterlambatan
dalam berjalan pada An. P itu pada usia An. P satu tahun karena menurut Ny. Y saudara dari
An. P sudah dapat berjalan pada usia 10 bulan. Kemudian Ny. Y membawa anaknya ke
tetangganya yang berprofesi sebagai dokter gigi kemudian dokter gigi tersebut mengatakan
bahwa An. P mengalami mongoloid (Sindrom Down). Kemudian menurut Ny. Y, An. P juga
baru dapat melakukan aktifitas sehari-hari seperti BAB, BAK dengan sendirinya tanpa
bantuan orang lain pada usia 8 tahun. Ny. Y juga mengatakan bahwa an. P pernah melakukan
test IQ dan hasil nya yaitu 50. Menurut ny. Y berat badan an. P pada saat lahir 2.2 kg. An. P
juga tidak pernah menderita sakit yang berat seperti encephalitis dll namun hanya sakit biasa
seperti batuk, pilek. Ny. Y juga mengatakan bahwa saudara Ny. Y juga ada yang menderita
Sindrom Down.

4.1.3 hasil wawancara dengan Narasumber YPAC


Pada saat wawancara Ibu A mengatakan bahwa syarat seorang anak yang masuk
YPAC adalah seperti syarat sekolah pada umumnya yaitu usia 7 tahun.. Batas umur anak
dengan retardasi mental yang dapat masuk YPAC sulit ditentukan namun tergantung dari
kondisi anak tersebut.Ibu A mengatakan bahwa cara pembelajaran yang diberikan di YPAC
adalah individual, untuk retardasi mental ringan yaitu mampu didik pelajaran anak sekolah
kelas 1-3 SD dan retardasi mental sedang yaitu mampu latih seperti pengembangan diri yaitu
membuat keset, kerajinan tangan dan lain-lain. Terapi yang di berikan pihak YPAC

17
tergantung pada hendaya yang dimiliki anak, adapun terapi yang di sediakan pihak YPAC
berupa terapi wicara, fisioterapi, bina diri, hidroterapi dan ortotik prostetik. Ibu A
mengatakan terapi dilakukan dengan sungguh-sungguh sehingga setiap anak menunjukkan
adanya kemajuan. Adapun edukasi yang diberikan oleh pihak YPAC kepada orangtua anak
yaitu diadakannya pertemuan antara pihak YPAC dengan orangtua tiap tahun ajaran baru
untuk menjelaskan perkembangan dari anak. Ibu A mengatakan bahwa tiap tahunnya YPAC
mengadakan acara untuk memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI)
untuk melatih motorik anak dan sebagai hiburan bagi anak yang bersekolah di YPAC.

4.2 Pembahasan
4.2.1 Pembahasan hasil 1 dan 2
Retardasi mental adalah suatu disabilitas yang ditandai dengan suatu
limitasi/keterbatasan yang bermakna baik dalam fungsi intelektual maupun perilaku adaptif
yang di ekspresikan dalam keterampilan konseptual, sosial dan praktis. Keadaan ini terjadi
sebelum usia 18 tahun (Elvira, 2013). Faktor etiologi retardasi mental terutama dapat berupa
genetik, perkembangan, didapat, atau kombinasi berbagai faktor. Penyebab genetik ini
meliputi kondisi kromosomal dan diwariskan, faktor perkembangan mencakup trauma
perinatal berupa prematuritas dan faktor sosiokultural. Diantara gangguan metabolik dan
kromosom sindrom down, fragile x syndrome, dan fenilketonuria (PKU) adalah gangguan
tersering yang biasanya menghasilkan sedikitnya retardasi mental sedang (Kaplan & Sadock,
2010). Pada saat wawancara terhadap Tn. D, Tn. D mengatakan bahwa anaknya yaitu An. S,
menderita penyakit Sindrom Down. Tn. D mengatakan bahwa sejak lahir, An. S dinyatakan
mengalami kelainan oleh dokter. Kemudian untuk memastikannya, An. S melakukan
pemeriksaan analisa kromosom dan dokter menyatakan bahwa An. S benar mengalami
penyakit Sindrom Down. Sedangkan pada saat wawancara terhadap ibu An. P mengatakan
bahwa anaknya menderita Sindrom Down namun baru diketahui setelah anaknya berumur 1
tahun dan juga ibu An. P mengatakan bahwa berat badan anak pada saat lahir 2,2 kg namun
cukup bulan. Selain itu ibu An. P juga mengatakan bahwa di keluarganya ada yang
mengalami keluhan yang sama seperti An. P. Hal ini sesuai dengan teori bahwa Retardasi
Mental yang dialami An. P dan An. S ini dapat disebabkan dari faktor genetik yaitu sindrom
down.
Pada saat wawancara Tn. D mengatakan bahwa An. S ini awalnya mengalami
keterlambatan motorik dan belajar bahasa. An. S baru bisa belajar berjalan dan berbahasa
pada usia 2 tahun lebih. An. S sudah masuk sekolah usia 6 tahun, setelah An. S sering

18
melakukan terapi, An. S mengalami kemajuan dalam berbahasa namun hanya dapat berbicara
untuk keperluan sehari-hari. Tn.D juga menyatakan bahwa An. S dapat mandiri dalam makan
dan mandi, namun berpakaian, BAB, dan BAK masih dibantu oleh orang tua. Di sekolah,
An. S mengalami keterlambatan dalam membaca, namun dapat berhitung dengan bilangan
kecil serta menulis harus ada contoh dulu baru bisa di tulis. Tn. D mengatakan bahwa An. S
mengalami keterlambatan beradaptasi dengan lingkungan sosial yaitu kurang dapat
berinteraksi dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Namun An. S masih mau
berpartisipasi jika diadakan lomba seperti lomba lari pada saat acara HUT RI yang diadakan
oleh pihak YPAC dan An. S mendapat juara 1. Selama sekolah, An. S tidak mengalami
hambatan prestasi akademis bahkan mengalami banyak peningkatan.
Sedangkan pada wawancara terhadap orang tua An. P bahwa An. P mengalami
keterlambatan berjalan dan belajar bahasa. Dimana An. P pada usia 1 tahun baru bisa
berbicara (kata mama) dan tengkurap. Namun An. P dapat melakukan kegiatan sehari-hari
seperti BAB, BAK, baru bisa dengan sendiri tanpa bantuan orang lain pada usia 8 tahun. Ibu
An. P juga mengatakan bahwa anaknya kurang dapat berinteraksi dengan sekitar karena
sifatnya yang pendiam dan pemalu.
Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa penyandang RM ringan biasanya agak
terlambat dalam belajar bahasa tetapi sebagian besar dapat mencapai kemampuan berbicara
untuk keperluan sehari-hari, mengadakan percakapan dan dapat diwawancarai. Kebanyakan
dari mereka juga dapat mandiri dalam hal merawat diri sendiri (makan, mandi, berpakaian,
BAB, dan BAK) meskipun perkembanganya agak lambat dibandingkan anak normal. Banyak
diantara mereka yang mempunyai masalah dalam membaca dan menulis. Dalam konteks
sosio-kultural yang memerlukan sedikit prestasi akademik, sampai tingkat tertentu
penyandang RM ringan tidak masalah (Elvira, 2013).
Kriteria diagnosis untuk retardasi mental dari Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders ed 4 ( DSM-IV) yaitu Fungsi intelektual di bawah rata-rata IQ 70 atau
kurang (Elvira,2013). Derajat keparahan yang mencerminkan tingkat gangguan intelektual
berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke III (PPDGJ-III)
yaitu Retardasi Mental ringan dengan tingkat IQ 50-59, Retardasi Mental sedang dengan
tingkat IQ 35-49, Retardasi Mental berat dengan tingkat IQ 20-34 dan Retardasi Mental
sangat berat dengan tingkat IQ di bawah 20 (Maslim, 2013). Kemudian menunjukkan adanya
defisit atau gangguan yang menyertai dalam fungsi adaptif sekarang (yaitu efektivitas orang
tersebut untuk memenuhi standar-standar yang dituntut menurut usianya dalam kelompok
kulturnya) pada sekurangnya dua bidang keterampilan berikut: komunikasi, merawat diri

19
sendiri, di rumah, keterampilan sosial/interpersonal, menggunakan sarana masyarakat,
mengarahkan diri sendiri, keterampilan akademik fungsional, pekerjaan, liburan, kesehatan,
dan keamanan serta Onset sebelum usia 18 tahun (Kaplan & Sadock, 2010). Berdasarkan hal
tersebut, sesuai dengan teori bahwa An. S mengalami Retardasi Mental Ringan berdasarkan
hasil tes IQ yaitu 68, mengalami gangguan yang menyertai dalam fungsi adaptif sekarang
seperti kurang dapat berinteraksi dengan lingkungan sosial, belum bisa berpakaian, BAB dan
BAK sendiri dan An. S mengalami kelainan ini sejak lahir dan mulai terlihat sejak usia 2
tahun berarti onsetnya sebelum usia 18 tahun. Keterangan tersebut sudah cukup untuk
menentukan diagnosis Retardasi Mental ringan pada An. S. Dan juga pada An. P mengalami
Retardasi Mental ringan karena berdasarkan hasil test IQ yaitu 50, dan juga mengalami
gangguan dalam berinteraksi sosial dan kegiatan sehari-hari (BAB, BAK, dll).
Karakteristik retardasi mental dapat dilihat bahwa penderita kurang/tidak dapat
memenuhi tuntutan standard perilaku sesuai dengan usianya dari lingkungan budayanya.
Biasanya penderita dapat mengalami keterlambatan dalam belajar bahasa, self care,
komunikasi, keterlambatan membaca, menulis dan berhitung dan keterlambatan beradaptasi
dengan lingkungan sosial serta dapat dilihat melalui hasil Tes IQ 70 atau kurang (Elvira,
2013). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa An. S memenuhi karakteristik
retardasi mental yaitu memilik IQ 68, mengalami keterlambatan belajar bahasa, self care
seperti BAB, BAK, dan berpakaian, membaca dan menulis, serta kurang dapat berinteraksi
dengan orang lain.
Penatalaksaan yang dapat diberikan kepada pasien dengan Retardasi Mental yaitu
tatalaksana medis berupa Obat-obatan yang sering digunakan dalam pengobatan retardasi
mental seperti Metilfenidat (ritalin) dapat memperbaiki keseimbangan emosi dan fungsi
kognitif. Imipramin, dekstroamfetamin, klorpromazin, flufenazin, fluoksetin kadang-kadang
dipergunakan oleh psikiatri anak. Untuk menaikkan kemampuan belajar pada umumnya
diberikan tioridazin (melleril), metilfenidat, amfetamin, asam glutamat, dan gamma
aminobutyric acid (GABA), selain dengan obat-obatan juga diberikan konseling, psikoterapi,
dan pendidikan (Lumbantobing, 2010). Pada saat wawancara, Tn. D mengatakan bahwa
dokter tidak memberikan obat-obatan apapun. Namun S telah melakukan terapi wicara dan
fisioterapi sejak usianya 2 tahun sampai sekarang. Dokter memberikan edukasi atau
konseling terhadap pasien bahwa An. S harus melakukan terapi baik fisik maupun mental
demi perkembangan dan pertumbuhan anaknya. Diusia 6 tahun, An. S pun disekolahkan di
sekolah khusus yaitu di YPAC karena dalam hal ini Pendidikan yang penting bukan hanya

20
asal sekolah, namun bagaimana mendapatkan pendidikan yang cocok bagi anak dengan
retardasi mental ini.
Sedangkan pada An. P, An. P mendapatkan obat untuk memperbaiki fungsi kognitif
dari dokter namun orang tua An.P lupa nama obat yang diberikan dan juga An. P
menjalankan fisioterpai untuk melatih An. P dalam berjalan. Berdasarkan teori, Obat-obat
yang sering digunakan dalam pengobatan retardasi mental yang bertujuan memperbaiki
fungsi kognitif yaitu Metilfenidat (ritalin) yang dapat memperbaiki keseimbangan emosi dan
fungsi kognitif dan juga Imipramin, dekstroamfetamin, klorpromazin, flufenazin, fluoksetin
kadang-kadang dipergunakan oleh psikiatri anak. Untuk menaikkan kemampuan belajar pada
umumnya diberikan tioridazin (melleril), metilfenidat, amfetamin, asam glutamat, dan
gamma aminobutyric acid (GABA) (Lumbantobing, 2010).

4.2.2 Pembahasan hasil wawancara dengan narasumber YPAC

Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) terbagi dalam tiga sekolah yaitu Sekolah
Luar Biasa (SLB) A yaitu anak dengan tuna daksa SLB B anak dengan tuna rungu dan SLB
C anak dengan tuna grahita. Tuna grahita atau retardasi mental adalah anak yang memiliki
kecerdasan di bawah rata-rata, mengalami hambatan tingkah laku, penyesuaian dan terjadi
pada masa perkembangannya (S. Sumaryana, 2012). SLB C membagi kelas untuk anak
retardasi mental berdasarkan tingkat IQ, retardasi mental ringan dengan IQ 50 – 69, retardasi
mental sedang dengan IQ 35 - 49, dan untuk anak retardasi mental berat dengan IQ 20 - 34
hanya dirawat dirumah karena anak retardasi mental berat terbatas kemampuannya dalam
mengerti dan menuruti permintaan atau instruksi (Maslim, 2013).
Ibu A mengatakan bahwa syarat anak yang masuk YPAC adalah seperti syarat
sekolah pada umumnya yaitu usia 7 tahun namun karena anak retardasi mental mengalami
gangguan intelegensi sehingga kurang dari usia 7 tahun anak sudah dapat masuk YPAC.
Batas umur anak yang dapat masuk YPAC sulit ditentukan, Ibu A mengatakan bahwa apabila
anak yang sudah berusia remaja dan belum sama sekali mendapat pendidikan maka harus
dirundingkan bersama dengan guru-guru yang ada di YPAC. Ibu A mengatakan bahwa cara
pembelajaran yang diberikan di YPAC adalah individual karena tiap anak memilki perbedaan
masing-masing untuk retardasi mental ringan yaitu mampu didik pelajaran anak sekolah kelas
1-3 SD dan retardasi mental sedang yaitu mampu latih seperti pengembangan diri yaitu
membuat keset, kerajinan tangan dan lain-lain. Terapi yang di berikan pihak YPAC terkhusus
pada anak dengan retardasi mental sedang dan tergantung pada hendaya yang dimiliki anak,

21
adapun terapi yang di sediakan pihak YPAC berupa terapi wicara, fisioterapi, bina diri,
hidroterapi dan ortotik prostetik. Terapi yang diberikan dilakukan sampai anak tersebut
mengalami kemajuan dan target yang harus di capai sampai anak bisa atau paling tidak
sampai terlihat ada kemajuan. Ibu A mengatakan terapi dilakukan dengan sungguh-sungguh
sehingga setiap anak menunjukkan adanya kemajuan. Adapun edukasi yang diberikan pada
orangtua anak yaitu diadakannya pertemuan antara pihak YPAC dengan orangtua tiap tahun
ajaran baru untuk menjelaskan perkembangan dari anak. Ibu A mengatakan bahwa tiap
tahunnya YPAC mengadakan acara untuk memperingati Hari Ulang Tahun Republik
Indonesia (HUT RI) untuk melatih motorik anak dan sebagai hiburan bagi anak yang
bersekolah di YPAC.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari hasil TPP yang telah penulis lakukan, antara lain:
1. Etiologi/penyebab retardasi mental pada pasien merupakan faktor genetik, dan faktor
perinatal,yaitu adanya kelainan pada kromosom 21 atau sindrom down, dan berat
badan lahir rendah (BBLR),
2. Pasien memiliki IQ 50 dan 68 sehingga tergolong retardasi mental ringan. Retardasi
mental ringan memiliki rentang IQ 50-55 hingga kira-kira 70.
3. Pada pemeriksaan IQ didapatkan hasilnya 50 dan 68. Terdapat gangguan pada fungsi
adaptif yaitu merangkak diusia 6 bulan, berbicara diusia 2 tahun, tidak mampu

22
merawat diri (BAB, BAK, dan berpakaian masih dibantu orangtua), gangguan
keterampilan akademik pada membaca, menulis dan menghitung, interaksi sosial
dalam masyarakat terhambat. Gejala ini diketahui orangtua pada saat usia anaknya
kurang dari 18 tahun.
4. Karakteristik fisik anak retardasi mental di YPAC meliputi kepala yang mikrosefali,
wajah yang Epicanthal folds, leher pendek, kebersihan oral rendah, langit-langit lebar
atau melengkung tinggi, lidah menonjol, dan letak kedua telinga rendah. Selain itu,
anak dengan retardasi mental tidak dapat memenuhi tuntutan standard perilaku sesuai
dengan usianya, seperti mengalami keterlambatan dalam belajar bahasa, self care,
komunikasi, keterlambatan membaca, menulis dan berhitung dan keterlambatan
beradaptasi dengan lingkungan sosial
5. Tatalaksana yang dilakukan di YPAC berupa terapi nonfarmakologi yaitu meliputi
edukasi, terapi bicara dan pelatihan skill untuk motorik.
6. Program yang dilakukan di YPAC pada anak retardasi mental berupa didikan
akademis dan pelatihan skill. Dan pembagian kelas didasarkan pada usia sekolah.

5.2 Saran
Adapun saran yang diberikan dari hasil tpp yang telah penulis lakukan yaitu:
5.1.1 Bagi Mahasiswa
1. Mahasiswa diharapkan lebih memahami teori tugas pengenalan profesi dahulu
sebelum melaksanakan tugas pegenalan profesi
2. Mahasiswa diharapkan mempersiapkan alat dan bahan terlebih dahulu sebelum
melaksanakan tugas pengenalan profesi.
5.1.2 Bagi Pasien
1. Diharapkan adanya keselarasan komunikasi antara wali murid dan guru di YPAC.
Sehingga tercipta kondisi koperatif dalam merawat pasien
2. Diharapkan wali murid melakukan kontrol secara teratur pada pasien, dan
3. Diharapkan pasien meminum obat secara teratur.

23
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily L. 2009. Buku Saku Pediatrik. Edisi Ketiga. EGC, Jakarta.
Ekantari, Paramitha. 2010. Hubungan Antara Kepribadian Tangguh dengan Stres
Pengasuhan pada Ibu yang Memiliki Anak Retardasi Mental.
(http://eprints.ums.ac.id/10355/1/F100060055.pdf, diakses pada 08 September 2016).
Elvira SD, dkk. 2013. Buku Ajar Psikiatri. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. 2010. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis. Binarupa Aksara, Jakarta.
Lumbantobing SM. 2010. Anak Dengan Mental Terbelakang. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
Maslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-
5. Jakarta: Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.

24
Winarti, Ambar, Erna Kurniati. 2015. Hubungan Sikap Orang Tua Dengan Tingkat
Kepercayaan Diri Anak Retardasi Mental Ringan Usia 7-18 Tahun Di Slb C/C1
Shanti Yoga Klaten.
(http://ejournal.stikesmukla.ac.id/index.php/involusi/article/download/197/195,
diakses pada 17 September 2016).
S. Sumaryana, 2012. Hubungan Pola Asuh Anak Tuna Grahita. (http://eprints.uny.ac.id
diakses pada tanggal 3 Oktober 2016).

Sadock, Benjamin dan Virginia A. Sadock. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi
kedua. EGC, Jakarta.
Santrock, J. W. 2010. Psikologi Pendidikan. Kencana, Jakarta.

LAMPIRAN
1.Wawancara dengan Orang Tua An. S
Identitas Orang Tua
Nama Orang Tua : Tn. D
Usia : 45 tahun
Alamat : Jl. R Sukamto
Identitas Anak
Nama Anak : An. S
Usia : 7 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
No Pertanyaan Jawaban
Ditanyakan Kepada Orang Tua dan Observasi Pasien
1 Keluhan utama :
a. Keterlambatan dalam belajar bahasa Tn. D mengatakan bahwa
b. Keterlambatan merawat diri/ Self Care anaknya dilahirkan di rumah
(makan, mandi, berpakaina, BAB, BAK) sakit dan dokter sudah
c. Keterlambatan membaca, menulis, dan mengatakan bahwa anaknya

25
berhitung terdapat kelainan yaitu
Syndrom Down.
Riwayat tumbuh kembang
anak S Merangkak pada
umur 6 bulan dan berjalan
dan berbicara pada umur 2
tahun
2 Riwayat perjalanan penyakit : Sejak lahir
a. Sejak kapan terjadinya?
b. Tiba – tiba atau berangsur – angsur?
3 Keluhan tambahan :
a. Keterlambatan dalam belajar bahasa a. Lancar dalam berbahasa
b. Keterlambatan merawatdiri/ Self Care (makan, tentang bahasan sehari-
mandi, berpakaina, BAB, BAK) hari
c. Keterlambatan membaca, menulis,dan b. Bisa mandi dan makan
berhitung sendiri, tetapi BAB,
d. Keterlambatan beradaptasi dengan lingkungan BAK dan berpakaian
sosial (partisipasi dan interaksi) masih dibantu oleh
e. Hambatan dalam prestasi akademis (nilai orang tua
menurun) c. tidak mengalami
keterlambatan dalam
membaca, menulis
harus ada contoh, dan
berhitung bisa 1-10
d. mengalamai hambatan
dalam berinteraksi
dengan orang lain,
namun masih mau
berpartisipasi pada
lomba HUT RI yang
diadakan pihak YPAC
e. tidak mengalami
penurunan nilai

26
akademis
4 Riwayat penyakit sekarang :
a. Autisme Tidak
b. Sindrom down Ya
c. Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif/ Tidak
ADHD
d. Epilepsi Tidak
5 Riwayat Kehamilan
 Prenatal
a. Infeksi virus rubella pada trisemester Tidak
pertama kehamilan
b. Pengunaan obat-obatan dan minum Tidak
alkohol
c. Diabetes mellitus tak terkendali Tidak
d. Anemia Tidak
e. Emfisema Tidak
f. Hipertensi Tidak
 Perinatal
a. Berat badan bayi lahir rendah Tidak
b. Prematur Tidak
c. PerdarahanIntrakranial Tidak
 Postnatal
a. Kejang Tidak
b. Trauma kepala Tidak
c. Infeksi : meningitis, ensefalitis Tidak
d. Intoksikasi : Timah hitam Tidak

6 Riwayat Imuunisasi :
Umur Jenis Imunisasi Lengkap
0 bulan HB 0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT, HB 1, dan Polio 2
3 bulan DPT, HB 2, dan Polio 3
4 bulan DPT, HB 3, dan Polio 4
9 bulan Campak

27
7 Riwayat keluarga :
a. Riwayatkeluarga yang menderita penyakit Tidak ada
yang sama

8 Latar belakang sosial ekonomi


a. Pekerjaan ayah dan ibu Ayah seorang wiraswasta dan
Ibu adalah karyawan BUMN
9 Pemeriksaan penunjang :
a. Pemeriksaan neurologis Tidak
b. Analisa kromosom Ya
c. Analisa urin dan gas darah Tidak
d. EEG Tidak
e. Neuroimaging Tidak
f. Pemeriksaan psikologis Tidak
10 Pemeriksaan IQ
a. Pernah dilakukan pemeriksaan IQ? Iya
b. Berapa hasil IQ ? 68
 Retardasi mental ringan nilai IQ 50-69
 Retardasi mental sedang nilai IQ 35-49
 Retardasi mental berat nilai IQ 20-34
 Retardasi mental sangat berat nilai IQ
dibawah 20
11 Tatalaksana :
c. Obat a. Tidak ada
d. Edukasi b. Orang tua di jelaskan
e. Terapi mengenai penyakit
yang di derita pasien
dan dianjurkan untuk
melakukan terapi baik
fisik maupun mental
c. Fisioterapi dan terapi
wicara

28
2.Wawancara dengan Orang Tua An. P

Identitas Orang Tua


Nama Orang Tua : Tn. D
Usia : 45 tahun
Alamat : Jl. R Sukamto
Identitas Anak
Nama : An P
Usia : 14 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pertanyaan Jawaban
Ditanyakan Kepada Orang Tua dan Observasi Pasien
1 Keluhan utama :
a. Keterlambatan dalam belajar bahasa. An P mengalami
b. Keterlambatan merawat diri/ Self Care keterlambatan dalam bicara
(makan, mandi, berpakaina, BAB, BAK) dimana An P baru dapat
c. Keterlambatan membaca, menulis,dan berbicara pada usia 1 tahun
berhitung (kata mama atau papa) dan
An P baru bisa melakukan
BAB, BAK dengan sendiri
pada usia 8 tahun.
2 Riwayat perjalanan penyakit :
a. Sejak kapan terjadinya? Sejak 1 tahun
b. Tiba – tiba atau berangsur – angsur? Berangsur-angsur.
3 Keluhan tambahan :
a. Keterlambatan dalam belajar bahasa An P sulit beradaptasi dengan
b. Keterlambatan merawatdiri/ Self Care (makan, lingkungan sosial karena
mandi, berpakaian, BAB, BAK) menurut orang tuanya An P
c. Keterlambatan membaca, menulis,dan merupakan anak yang
berhitung pendiam dan pemalu.
d. Keterlambatan beradaptasi dengan lingkungan
sosial (partisipasi dan interaksi)
e. Hambatan dalam prestasi akademis (nilai
menurun)

29
4 Riwayat penyakit sekarang :
a. Autisme Berdasarkan keterengan dari
b. Sindrom down orang tua An P menderita
c. Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif/ Sindrom Down
ADHD
d. Epilepsi

5 Riwayat Kehamilan
 Prenatal
a. Infeksi virus rubella pada trisemester Tidak
pertama kehamilan
b. Pengunaan obat-obatan dan minum Tidak
alkohol
c. Diabetes mellitus tak terkendali Tidak
d. Anemia Tidak
e. Emfisema Tidak
f. Hipertensi Tidak
 Perinatal
a. Berat badan bayi lahir rendah Pada saat lahir berat badan
b. Prematur An P adalah 2,2 kg.
c. Perdarahan Intrakranial
 Postnatal
d. Kejang Tidak
e. Trauma kepala Tidak
f. Infeksi : meningitis, ensefalitis Tidak
g. Intoksikasi : Timah hitam Tidak
6 Riwayat Imuunisasi : Imunisasi dasar lengkap
Umur Jenis Imunisasi
0 bulan HB 0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT, HB 1, dan Polio 2
3 bulan DPT, HB 2, dan Polio 3
4 bulan DPT, HB 3, dan Polio 4
9 bulan Campak

30
7 Riwayat keluarga :
a. Riwayat keluarga yang menderita penyakit Ada dari keluarga ibu
yang sama
8 Latar belakang sosial ekonomi
a. Pekerjaan ayah dan ibu Ayah : swasta
b. Lingkungan rumah ibu : swasta

9 Pemeriksaan penunjang :
a. Pemeriksaan neurologis Tidak
b. Analisa kromosom Tidak
c. Analisa urin dan gas darah Tidak
d. EEG Tidak
e. Neuroimaging Tidak
f. Pemeriksaan psikologis Tidak
10 Pemeriksaan IQ
a. Pernah dilakukan pemeriksaan IQ? Pernah
b. Berapahasil IQ ? 50
 Retardasi mental ringan nilai IQ 50-69 Retardasi mental ringan
 Retardasi mental sedang nilai IQ 35-49
 Retardasi mental berat nilai IQ 20-34
 Retardasi mental sangat berat nilai IQ
dibawah 20
11 Tatalaksana :
a. Obat Diberi obat oleh dokter
b. Edukasi namun lupa nama obat yang
c. Terapi diberikan,
Dibimbing, diarahkan
Terapi motorik

3. Wawancara dengan pihak YPAC


No Pertanyaan Jawaban

1. Bagaimana cara pembagian kelas di Pembagian kelas berdasarkan usia


YPAC? (berdasarkan usia atau IQ) sekolah.

31
2. Apa saja syarat anak dengan retardasi Dari tingkat intelegensinya.
mental masuk YPAC?

3. Berapa batas umur anak yang masuk


YPAC?

4. Bagaimana cara pembelajaran yang Dengan individual, karena anak di


diberikan di YPAC? YPAC berbeda-beda.

5. Bagaimana terapi anak retardasi Terapi bicara dan motorik


mental di YPAC?

6. Berapa lama pemberian terapi pada Sampai bisa atau sampai ada kemajuan
anak retardasi mental?

7. Bagaimana perkembangan penderita Mengalami kemajuan


retardasi mental setelah pemberian
terapi? (target)

8. Apa yang dilakukan YPAC jika Belum pernah terapi gagal pada
target terapi gagal? retardasi mental ringan dan sedang

9. Apakah ada pelatihan khusus yang di Tidak ada


berikan pada pasien dengan retardasi
mental?

10. Apa saja edukasi yang diberikan Memberikan penjelasan pada wali
kepada keluarga pasien? murid tiap tahun ajaran baru dengan
mengundang wali murid.

11. Apakah ada acara khusus yang Ada acara khusus seperti lomba saat
diadakan setiap tahunnya untuk hari kemerdekaan.
pasien retardasi mental?

32
Anggota Kelompok TPP 5

Kelompok 9 dengan Ibu A beserta anak dengan retardasi mental

33
Kerajinan membuat keset kaki

34

Anda mungkin juga menyukai