Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun oleh:
1. Tsalats Zaidatul Nasriya (19712251005)
2. Annis Maulia Fatimahtuzzahroh (19712251017)
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat,
nikmat, seta hidayahnya, sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah
ini. Dengan penulisan makalah ini semoga dapat dijadikan sebagai sarana untuk
menungjang perkuliahan. Kami mengucapkan terimakasih kepada dosen
pengampu mata kuliah “Psikologi dan Teori Belajar Anak” karena telah
memberikan tugas makalah ini, sehingga kami dapat memahami studi
pendahuluan penelitian. Serta kami juga mengucapkan terimakasih kepada teman-
teman yang telah bekerja sama pembuatan makalah ini. Kami sadar bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
eksperimennya menunjukkan bahwa rangsangan yang dilakukan secara
berulang-ulang ditambah dengan unsur penguat maka akan menghasilkan suatu
reaksi (Setiawan, 2018: 33). Sebagai contohnya adalah bunyi bel di kelas
untuk penanda waktu atau tombol antrian di bank. Tanpa disadari, terjadi
proses menandai sesuatu yaitu membedakan bunyi-bunyian dari pedagang
makanan (es, nasi goreng, siomay, dan lain-lain) yang sering lewat dari rumah
dan bel masuk kelas istirahat. Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa
dengan menerapkan teori Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui
cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan
pengulangan respon yang diinginkan. Pendekatan psikologi yang yang
diciptakan oleh Ivan Pavlov ini dikenal dengan psikologi reflek
(Psychoreflexiologi), yaitu pendekatan yang lebih menekankan kepada
berbagai hal yang berbentuk perilaku yang bersifat reflek.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, diperoleh rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana biografi dari Ivan Petrovich Pavlov?
2. Bagaimana teori pengkondisian klasik Ivan Pavlov?
3. Bagaimana analisis teori pengkondisian klasik?
4. Bagaimana implikasi teori pengkondisian klasik?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, ditemukan tujuan masalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui biografi dari Ivan Pavlov
2. Untuk mengetahui teori pengkondisian klasik Ivan Pavlov
3. Untuk mengetahui analisis dari teori pengkondisian klasik.
4. Untuk mengetahui implikasi dari teori pengkondisian klasik.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
ada makanan. Pada 1903 Pavlov menerbitkan hasil eksperimennya dan
menyebutnya "refleks terkondisi," berbeda dari refleks halus. Pavlov
menyebut proses pembelajaran ini (sebagai contoh, saat sistem saraf anjing
menghubungkan suara metronom dengan makanan) "pengkondisian". Ia juga
menemukan bahwa refleks terkondisi akan tertekan bila rangsangan ternyata
terlalu sering "salah". Jika metronom bersuara berulang-ulang dan tidak ada
makanan, anjing akan berhenti mengeluarkan ludah.
Pavlov amat dihormati di negerinya sendiri, baik sebagai Kekaisaran
Rusia maupun Uni Soviet dan di seluruh dunia. Pada 1904, ia memenangkan
Penghargaan Nobel dalam Fisiologi atau Kedokteran dalam penelitiannya
tentang pencernaan. Ia adalah orang yang terang-terangan dan sering
bersilang pendapat dengan pemerintah Soviet dalam hidupnya, namun karena
reputasinya, dan juga karena bangganya penduduk senegerinya kepadanya,
membuatnya terjaga dari penganiayaan. Ia aktif bekerja di laboratorium
sampai kematiannya di usia 86 (Suryana, 2012).
4
Pavlov menggunakan anjing dalam eksperimennya untuk
mengetahui hubungan-hubungan antara conditioned stimulus (CS),
unconditioned stimulus (UCS), conditioned response (CR), dan
unconditioned response (UCR). CS adalah rangsangan yang mampu
mendatangkan respon yang dipelajari, sedangkan respon yang dipelajari
disebut CR, adapun UCS berati rangsangan yang menimbulkan respon
yang tidak dipelajari, dan respon yang tidak dipelajari disebut UCR (Syah,
2011: 95). Pada percobaan Pavlov mula-mula anjing diikat sedemikian rupa
dan pada salah satu kelenjar air liurnya dibei alat penampung cairan yang
kemudian dihubungkan dengan pipa kecil (tube). Sebelum anjing dilatih,
anjing tersebut secara alami telah mengeluarkan air liur setiap kali
mulutnya berisi makanan atau melihat makanan.
Pavlov memberikan bubuk daging kepada anjing yang lapar (UCS)
yang kemudian membuat anjing mengeluarkan air liurnya (UCR). Untuk
pengkondisian binatang ini, ia harus berulang kali diberi stimulus yang
pada mulanya netral untuk waktu yang singkat sebelum diberikan UCS.
Pavlov sering menggunakan metronom/bel yang berdetak sebagai stimulus
netral. Di percobaan-percobaan awal, bunyi detak metronome/bel tidak
membuat si anjing mengeluarkan liurnya. Pada akhirnya si anjing
mengeluarkan liurnya sebagai respons bunyi detak metronome/bel sebelum
bubuk daging diberikan padanya. Metronom/bel ini sebagai stimulus yang
terkondisikan (CS = Conditioned Stimulus) yang menghasilkan respon yang
terkondisikan (CR = Conditioned Response) serupa dengan UCR aslinya.
(Schunk, 2012: 109).
Berikut adalah gambar dari experimen Pavlov.
5
Berikut adalah tahap-tahap eksperimen dan penjelasan dari gambar di atas.
6
dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian
tertentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacam pancingan
dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan tingkah laku itu. Hal ini
dikarenakan classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan
refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya
refleks tersebut.
2. Prinsip-Prinsip Pengkondisian Klasik
Dari hasil eksperimen menggunakan anjing yang telah dilakukan,
Pavlov akhirnya menemukan beberapa prinsip pengkondisian, yaitu
(Baharuddin, 2015 :86):
a. Pemerolehan (acquisition)
Pemerolehan adalah membuat pasangan stimulus netral dengan
stimulus tidak bersyarat berulang-ulang sehingga muncul respon
bersyarat, atau yang disebut dengan acquisition atau acquisition
training (latihan untuk memperoleh sesuatu).
b. Pemadaman (extinction)
Setelah respon terbentuk, maka respon akan tetap ada selama
masih diberikan rangsangan bersyarat dan dipasangkan dengan
rangsangan tak bersyarat. Apabila rangsangan bersyarat diberikan untuk
beberapa lama, maka respon bersyarat tidak mempunyai penguat dan
besar kemungkinan respon bersyarat tersebut akan menurun jumlah
munculnya dan akan semakin tak terlihat. Beberapa respon bersyarat
akan hilang secara perlahan-lahan atau hilang sama sekali untuk
selamanya.
Contohnya dalam pembelajaran yaitu guru yang awalnya memulai
pelajaran (misalnya sains) dengan senyum dan ramah serta mengawali
pelajaran dengan memberi apersepsi sebelum memberikan materi
pelajaran ataupun latihan soal dirasa siswa itu merupakan stimulus yang
dapat membangkitkan minat dan motivasi siswa untuk belajar. Namun
bila kemudian hari guru tersebut masuk dengan senyum dan tanpa
memberikan apersepsi dan langsung memberikan latihan soal, maka
mungkin minat dan motivasi siswa untuk belajar dapat berkurang dan
7
bila kondisi tersebut terjadi berulang-ulang dalam waktu lama, maka
kemungkin besar minat dan motivasi siswa untuk belajar dapat hilang.
c. Generalisasi
Generalisasi bermakna bahwa CR ditimbulkan oleh stimulus-
stimulus yang serupa dengan CS. Begitu si anjing telah dikondisikan
untuk mengluarkan liurnya sebagai respons terhadap metronom yang
berdetak 70 kali per menit, ia juga dapat berliur ketika metronom
tersebut berdetak lebih cepat ataupun lebih lambat, demikian juga untuk
jam dan pengukur waktu yang berdetak. Makin tidak serupa stimulus-
stimulus yang baru dengan CS atau makin sedikit elemen yang sama
antara stimulus yang baru dan CS, makin sedikitlah generalisasi yang
terjadi.
Misalnya siswa dimarahi ketika ujian biologinya buruk. Saat
siswa tersebut akan menghadapi ujian kimia, dia juga menjadi gugup
karena dua mata pelajaran tersebut saling berkaitan sehingga siswa
tersebut menggeneralisasikan satu ujian mata pelajaran dengan mata
pelajaran lainnya.
d. Diskriminasi
Diskriminasi adalah proses komplementer yang terjadi ketika si
anjing belajar merespons CS saja, sementara stimulus-stimulus yang
lain yang serupa tidak. Untuk melatih diskriminasi, pelaku eksperimen
(Pavlov) memasangkan CS (bel/metronom) dengan UCS (makanan)
dan menghadirkan pula stimulus-stimulus lainnya yang serupa tanpa
UCS. Jika CSnya adalah metronom yang berdetak 70 kali per menit,
maka UCS akan disajikan, sementara penyajian metronom yang lain
(misalnya, metronom yang berdetak 50 dan 90 per menit) tidak
dibarengi dipasangkan dengan penyajian UCS. Misalnya siswa
mengikuti ujian di kelas dan merasa gugup saat akan menempuh ujian
bahasa inggris atau sejarah karena dua mata pelajaran tersebut jauh
berbeda dengan mata pelajaran kimia dan biologi.
8
e. Kondisioning tandingan
Merupakan bentuk khusus dari kondisioning responden. Pada
kondisioning jenis ini, respon bersyarat yang khusus akan digantikan
oleh respon bersyarat lain yang bertentangan dan baru, tidak saling
cocok dengan respon bersyarat yang sebelumnya.
Misalnya seorang anak kecil yang tidak mau dicukuur rambutnya
karena takut dengan suara alat cukur. Sebagai pengganti perasaan takut
ketika dipotong, maka sebelumnya anak tersebut dibelikan gula-gula
kesukaannya atau diputarkan film kartun kesayangannya sehingga
fokus anak tersebut bukan kepada alat cukur akan tetapi kepada gula-
gula atau film kartun kesayangannya. Hal tersebut apabila dilakukan
secara terus menerus akan muncul respon tidak takut dengan alat cukur.
Berikut adalah tips yang ditawarkan Woolfolk (1995) dalam
menggunakan prinsip-prinsip pengkondisian klasik di kelas (Baharuddin,
2015: 90-92)
1) Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan tugas-
tugas belajar, misalnya:
a) Menekankan pada kerja sama dan kompetisi antar kelompok
daripada individu. Banyak siswa yang akan memiliki respon
emosional secara negatif terhadap kompetisi secara individual
dibandingkan kompetisi secara kerjasama yangmemberikan
kemungkinan akan digeneralisasikan oleh siswa dengan pelajaran-
pelajaran yang lain.
b) Membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan dengan
menciptakan ruang membaca (reading corner) yang nyaman dan
menarik.
2) Membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi –situasi yang
mencemaskan atau menekan, misalnya:
a) Mendorong siswa yang pemalu untuk mengajarkan siswa lain cara
memahami materi pelajaran.
9
b) Membuat tahap jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka
panjang, misalnya dengan memberikan tes harian, mingguan, agar
siswa dapat menyimpan apa yang dipelajari dengan baik.
c) Apabila siswa merasa takut berbicara di depan kelas, mintalah siswa
untuk membacakan sebuah laporan di depan kelompok kecil sambil
duduk di tempat, kemudian berikutnya dengan berdiri. Setelah dia
terbiasa, maka mintalah siswa tersebut untuk membaca laporan di
depan seluruh teman-temannya.
3) Membantu siswa untuk mengatasi perbedaan dan persamaan terhadap
situasi-situasi sehingga mereka dapat membedakan dan
menggeneralisasikan secara tepat, misalnya:
a) Meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi ujian masuk
sebuah sekolah yang lebih tinggi tingkatannya atau perguaraun
tinggi, bahwa tes yang akan dihadapi tersebut sama dengan tes-tes
prestasi akademik lain yang pernah mereka lakukan.
b) Menjelaskan bahwa lebih baik menghindari hadiah yang berlebihan
dari orang yang tidak dikenal atau menghindari agar tetap aman dan
dapat menerima penghargaan dari orang dewasa.
3. Hukum-Hukum Pengkondisian Klasik
Menurut Syah (2011: 97) Skinner berpendapat bahwa proses belajar
yang berlangsung dalam eksperimen Pavlov tunduk terhadap dua macam
hukum yang berbeda, yakni:
a. Law of respondent conditioning
Law of respondent conditioning adalah hukum pembiasaan yang
dituntut. Hintzman dalam Syah (2011: 98) law of respondent
conditioning terjadi jika dua macam stimulus dihadirkan secara
simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer) maka refleks
ketiga yang terbentuk dari respon atas penguatan refleks dan stimulus
lainnya akan mengikat. Contohnya: Seorang guru yang pada awal
semester memberikan janji kepada murid-muridnya bahwa yang
mendapat peringkat satu akan mendapatkan hadiah yang spesial dari
10
sang guru, karena telah termotivasi maka murid-murid tersebut pasti
akan giat belajar.
b. Law of respondent extinction
Law of respondent extinction adalah hukum pemusnahan yang
dituntut. Law of respondent extinction terjadi apabila refleks yang
sudah diperkuat melalui respondent conditioning itu didatangkan
kembali tanpa menghadirkan reinforce, maka kekuatannya akan
menurun. Contoh: Apabila seorang guru telah memberi janji kepada
murid-muridnya bahwa yang mendapat peringkat pertama akan
diberikan hadiah, sehingga murid-murid giat belajar. Namun pada
kenyataannya guru tersebut tidak memberikan hadiah pada murid yang
telah mendapat peringkat pertama sehingga murid-murid tidak akan giat
belajar lagi.
Menurut Hill (2014: 38) Pavlov mengemukakan bahwa hukum-hukum
pengkondisian bisa dijelaskan oleh kegiatan timbal balik, dari dua proses
utama di dalam otak: eksitasi dan inhibisi. Eksitasi adalah proses
pembangkitan, proses yang cenderung membuat respon terjadi. Dari
keduanya eksitasi memainkan peran yang jauh lebih besar dalam
menciptakan pengkondisian, namun inhibisi bisa menjelaskan bagaimana
berlangsungnya pengkondisian dalam hal-hal khusus.
4. Reaksi-Reaksi Emosional Terkondisi
Prinsip-prinsip pengkondisian klasik telah diaplikasikan oleh
peneliti lain terhadap reaksi emosional yang terkondisikan yaitu salah
satunya Watson. Watson menyatakan bahwa ia mendemosntrasikan
pengaruh pengkondisian emosional dalam eksperimen Little Albert. Albert
adalah bayi berusia 11 bulan yang tidak pernah memperlihatkan rasa takut
terhadap tikus putih. Saat proses pengkondisian, sebuah palu dihantamkan
pada sebuah papan baja di belakangnya ketika Albert mengulurkan tangan
hendak menyentuh tikus putih tersebut. Albert sangat kaget dan jatuh
terjerembab di kasurnya dan membenamkan kepala ke kasur. Seminggu
kemudian ketika tikus diletakkan di deka Albert, dia mulai menggapai
tikus tersebut akan tetapi menarik kembali tangannya. Tes-tes yang
11
dilakukan beberapa hari setelahnya menunjukkan bahwa Albert secara
emosional terhadap kehadiran tikus. Setelah satu bulan Albert dites lagi
dengan tikus putih, ia menunjukkan reaksi emosional ringan. Reaksi
emosiaonal ini menimbulkan fobia Albert terhadap tikus putih.
Wolpe dalam Schunk (2012: 114) mengemukakan bahwa sarana
yang reliable dalam memproduksi pengkondisian emosional adalah dengan
desensitisasi sistematis (systematic desensitization). Desensitisasi
Sistematis merupakan teknik yang dirancang untuk mengobati konseli
yang sangat gelisah atau takut terhadap peristiwa tertentu, orang atau,
benda atau memiliki ketakutan umum (Setiawan, 2018: 48). Desensitisasi
ini dapat digunakan untuk mengilangkan rasa ketakuatan atau fobia
terhadap sesuatu melalui proses secara bertahap dan berulang-ulang
sampai tidak memilki rasa takut lagi dengan terhadap sesuatu tersebut.
Desentisasi sistematis terdiri dari tiga fase, yaitu (Schunk, 2012: 114):
a. Fase pertama klien diajarkan teknik relaksasi otot (deep muscle
relaxation) dan latihan pernapasan. Tahap ini sangat penting karena
rasa cemas atau takut identik diikuti dengan ketegangan dan
ketegangan yang berbanding terbalik dengan relaksasi, sehingga harus
diajarkan utuk menjadikannya sebagai ketrampilan.
b. Fase kedua seorang terapis dan kliennya bersama-sama membuat
tingkatan kecemasan untuk beberapa situasi yang diurutkan dari
situasi yang menimbulkan kecemasan paling tinggi klien. Bagi siswa
yang menderita kecemasan terhadap tes, situasi-situasi dengan
kecemasan rendah mungkin mendengarkan pengumuman tes di kelas
dan mengumpulkan materi-materi untuk dipelajari. Situasi-situasi
yang mendatangkan rasa cemas dengan instesitas sedang baginya
mungkin akan belajar saat malam hari sebelum tes. Situasi-situasi
yang membawa rasa cemas dengan intensitas tinggi bisa jadi penerima
lembar ujian di kelas dan tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan di dalamnya.
c. Fase ketiga, klien belajar untuk relaks dengan membayangkan
gambaran-gambaran yang menyenangkan (berbaring di sebuah pantai)
12
dan menandai relaksasi (mengatakan “relaks”). Pada tahapan ini, si
klien selama rileks akan membayangkan gambaran situasi dengan
kecemasan terendah seperti yang dibuatnya dalam daftar tingkatan
situasi. Perlakuan ini dapat diulang beberapa kali sebelum kemudian
ia membayangkan situasi pada tingkatan berikutnya. Perlakuan ini
diteruskan tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi lagi sampai klien
dapat membayangkan situasi yang paling mencemaskannya dalam
daftar yang dibuatnya. Jika klien mengatakan bahwa ia merasakan
cemas ketika membayangkan suatu situasi, ia akan dikembalikan ke
tingkatan situasi yang lebih rendah yang tidak menimbulkan rasa
cemas. Perlakuan tersebut perlu dilakukan dalan beberapa sesi
pertemuan.
13
memudahkan pendidik dalam dunia pendidikaan untuk melakukan
pembelajran terhadap peserta didiknya. Hal ini merupakan kelebihan dari
teori Pavlov.
Sedangkan kelemahan dari teori pengkondisian klasik, yaitu
(Mustaqim, 2012: 55):
a. Eksperimen dalam laboratorium mempunyai keadaan yang berbeda
dengan kehidupan nyata.
b. Intelegensi, sikap, minat, dan aspek-aspek lain mempengaruhi terhadap
hasil eksperimen.
c. Stimulus tak dikenal mungkin dapat mempengaruhi terhadap respon
yang mungkin muncul, hingga tak bisa diramalkan lebih dahulu
stimulus mana yang benar-benar menimbulkan respon.
d. Teori ini terlalu sederhana sehingga kurang memuaskan untuk
menjelaskan seluk beluk belajar yang sangat luas dan rumit.
e. Siswa akan mamiliki rasa ketergantungan atas stimulus yang berasal
dari luar dirinya. Padahal seharusnya siswa atau anak harus memiliki
stimulus dari dalam dirinya sendiri (self motivation) dalam melakukan
kegiatan belajar dan pemahaman yang diberikan oleh guru.
14
waktu belum dapat dilaksanaan tepat waktu oleh para siswa. Hal ini
menunjukkan bahwa teori pembelajaran klasik yang mana merupakan suatu
pembiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang akan memberikan dampak
yang positif bagi karakter religious siswa. Akan tetapi hal tersebut harus
dibarengi dan didukung oleh lingkungan sekitar.
Penelitian yang dilakukan oleh Fransesco et al (2015) menunjukkan
bahwa model goal-directed/Pavlovian dapat mereproduksi temuan empiris
yang tersedia dan membahas relevansinya dengan memahami faktor-faktor
yang mendasari emosi negatif seperti ketakutan dan kecemasan. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan model goal directed/Pavlovian dapat secara
efektif mempengaruhi emosi negatif seseorang seperti ketakutan dan
kecemasan dalam diri seseorang.
Gershman, S. J., & Niv, Y. (2012) melakukan penelitian yang
menunjukkan bahwa hambatan laten merupakan bagian dari pengkondisian
klasik yang mana dalam proses belajar yang dilakukan seorang individu
memperhatikan stimuli prediktif dan cenderung mengabaikan informasi yang
berlebihan.
Pada jurnal yang ditulis oleh Desak Kadek Sulatri, dkk yang berjudul
Effectiveness of behavioral Ivan Pavlov conselvation the using modeling
techniques to increase characters to completely complete duties through leason
study, juga dikatakan bahwa teori ini dapat meningkatkan karakter
mengerjakan tugas dengan baik. Hasil analisis data adalah nilai t hitung 26,60>
ttabel 2,03 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi ada perbedaan yang
signifikan. Dapat disimpulkan bahwa konseling perilaku Ivan Pavlov adalah
teknik pemodelan yang efektif untuk meningkatkan tugas menyelesaikan
karakter dengan baik.
15
guru mengetahui penerapan teori pengkondisian klasik ini dapat membantu
proses pembelajaran yang dilakukan oleh mereka. Ada banyak contoh kasus
yang bisa kita ungkap dalam dunia pendidikan dengan cara pengondisian
klasik. Misalnya adalah ketika murid sedang belajar mata pelajaran
matematika.
Pada saat pembelajaran matematika berlangsung dalam situasi yang
menegangkan, gurunya juga galak, maka kemungkinan besar yang akan
muncul pada ciri siswa adalah penilaian atau sikap negatif terhadap mata
pelajaran matematika, seperti misalnya bahwa matematika adalah mata pelajari
yang luar biasa sulit, menegangkan, hanya orang-orang khusus yang bisa, dan
lain sebagainya. Oleh karena sikap tersebut, maka siswa yang merasa kurang
dalam hal matematika akan menghubungkan perasaan aversi atau perasaan
penghindaran yang ditandai dengan dorongan untuk menarik diri atau
menghindar dari suatu hal tertentu, dengan situasi mata pelajaran matematika
yang menegangkan dan tidak menarik karena guru yang galak dan lain
sebagainya. Oleh karena itulah, untuk mengubah sikap siswa terhadap mata
pelajaran matematika tersebut, dibutuhkan suatu pengokondisian inhibitor
terhadap sikap aversi serta kesan negatif terhadap matematika, diringi dengan
pengondisian eksitatoris untuk memunculkan semangat siswa dalam
mempelajari matematika.
Dalam hal ini alangkah lebih baiknya guru membuat suasana
pembelajaran yang menyenangkan dengan dibentuknya kerjasama dan
kompetisi dalam kelompok dan penggunaan media yang sesuai dengan materi
pembelajaran. Bagi siswa yang mengerjakan soal maju ke depan kelas ataupun
kelompok yang lebih cepat dan benar mengerjakan soal yang diberikan oleh
guru maka akan mendapatkan hadiah.
Berdasarkan contoh di atas, dapat dijabarkan beberapa unsur dalam
pengkondisian klasik, yaitu: (1) US (unconditioned stimulus) yaitu stimulus
yang tidak dikondisikan: Hadiah . (2) NS (Netral Stimulus) yaitu stimulus
netral. Stimulus tersebut tidak menimbulkan respon secara alami: Soal
matematika. (3) UR (unconditioned Respons) yaitu respon yang tidak
dikondisikan: Semangat mengerjakan soal. (4) CS (Conditioned stimulus) yaitu
16
stimulus yang dikondisikan: pada fase ini US (hadiah) dan NS (soal)
dikondisikan bersamaan dan dilakukan berulang-ulang untuk membentuk suatu
pembiasaan/pengkondisian (CS) pada siswa. (5) CR (unconditioned Respons)
yaitu respon yang dikondisikan: Hadiah diberikan setelah siswa mengerjakan
soal.
Maka pengkondisiannya dapat dilakukan sebagai berikut: (1) Sebelum
dikondisikan, jika siswa diberikan stimulus tak bersyarat (US) berupa hadiah
maka respon tak bersyarat (UR) adalah siswa lebih bersemangat mengerjakan
soal. (2) Sebelum dikondisikan, jika siswa diberikan suatu stimulus baru
berupa soal-soal (NS) maka jarang muncul ketertarikan atau semangat siswa.
(3) Selama pengkondisian (CS), apabila siswa mau mengerjakan soal maka
siswa akan diberikan hadiah (US) sehingga siswa akan merasa senang dan
tertarik untuk mengerjakan soal matematika. Hal ini dilakukan berulang-ulang
sehingga siswa terbiasa bersemangat dalam mengerjakan soal (CS). (4) Setelah
pengkondisian, ketika siswa diberikan soal berupa stimulus pengkondisian
(CS) tanpa diberikan hadiah (US) maka siswa akan terbiasa senang dan
bersemangat untuk mengerjakan soal-soal (CR).
17
BAB III
KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
19
20