Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga
subdural. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan
serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau
robeknya arachnoid, sehingga menambah penekanan subdural pada jejas
langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang
subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan
oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang
menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda
fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.
Hematoma subdural merupakan bentuk trauma intrakranial yang
paling sering, hematoma subdural tidak hanya terjadi pada cidera kepala
berat tetapi juga dapat terjadi pada orang dengan cidera kepala yang tidak
terlalu berat seperti pasien tua atau yang menerima terapi antikoagulan.
Hematoma subdural mungkin juga terjadi secara spontan atau disebabkan
oleh prosedur diagnostik seperti fungsi lumbal. Secara umum, hematoma
subdural diklasifikasikan menjadi fase akut (terjadi dalam kurang 48 jam),
fase subakut (terjadi antara 2 sampai 14 hari), dan fase kronik (berkembang
selama berminggu-minggu dan lesi hipodens). Presentasi dari hematoma
subdural akut bervariasi sangat luas, beberapa pasien datang ke unit gawat
darurat dalam keadaan koma. Sebanyak 50% pasien trauma kepala
memerlukan operasi bedah saraf yang diklasifikasikan berdasarkan berat
atau ringannya trauma kepala (berdasarkan skor GCS). Dan beberapa dari
pasien mengalami lesi intrakranial.
Estimasi insiden hematoma subdural kronik sebesar 13,1 per 100.000
pertahun, dengan insiden 3,1 per 100.000 pertahun pada pasien usia kurang
dari 65 tahun dan 58,1% per 100.000 per tahun pada pasien yang lebih tua.
Insiden pada pasien trauma kepala di Amerika Serikat diperkirakan 200 per

SUBDURAL HEMATOM Page 1


100.000 orang. Studi dari universitas California, Los Angeles pada tahun
2006 mengevaluasi pasien trauma tumpul yang menjalani CT-Scan cranial,
8,7% didapati memiliki trauma otak akut yang signifikan. Studi sebelumnya
menyatakan insiden trauma kepala tertinggi pada usia 10-29 tahun.
Pada pasien yang mengalami hematoma intracranial memerlukan
dekompresi emergensi. Hematoma subdural akut paling banyak
dihubungkan dengan trauma otak yang luas, 82% pada pasien koma dengan
hematoma subdural terdapat kontusio parenkim. Tingkat keparahan dari
pada keterlibatan parenkim sangat berhubungan dengan prognosis pasien
nantinya. Hematoma subdural akut merupakan tipe trauma intracranial yang
paling banyak, terjadi pada 24% pasien dengan keadaan koma. Hematoma
subdural juga berhubungan kuat dengan kerusakan otak. Trauma yang
signifikan tidak hanya menyebabkan hematoma subdural. Hematoma
subdural kronik dapat terjadi pada pasien tua setelah mengalami trauma
kepala yang tidak signifikan. Hematoma subdural kronik merupakan
penyebab terbanyak dimensia, dan sebagia kecil hematoma subdural kronik
disebabkan oleh hematoma subdural akut yang terapinya tidak adekuat.

SUBDURAL HEMATOM Page 2


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi & Fisiologi Lapisan Meningen


Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang
membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah
sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, begitu rusak,
neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Tepat di atas tengkorak terletak galea
aponeurotika, yaitu jaringan fibrosa padat, dapat digerakkan dengan bebas,
yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Di antara kuliat dan
galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membrane dalam yang
mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek, pembuluh-pembuluh ini
sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah
bermakna pada penderita laserasi kulit kepala.

Gambar 1. Lapisan-lapisan selaput otak/meninges.

SUBDURAL HEMATOM Page 3


Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan
luarnya adalah pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya,
leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea dan piamater.
1. Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa
yang kuat dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar
(periostal). Kedua lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu,
kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah untuk menyediakan
ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di antara
lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk
sekat di antara bagian-bagian otak.
2. Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura
dan hanya terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium
subdural. Ia menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor
cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater
oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu anyaman padat
yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.
3. Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang
menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan
sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke
dalam fissure transversalis di bawah corpus callosum. Di tempat ini pia
membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan
bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus
untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan
ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela
choroidea di tempat tersebut.

SUBDURAL HEMATOM Page 4


2.2 Subdural Hematom
A. Definisi
Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara
duramater dan araknoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental dan
temporal. Pada subdural hematoma yang seringkali mengalami
pendarahan ialah “bridging vein” , karena tarikan ketika terjadi
pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi
pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah
temporal, sesuai dengan distribusi “bridging vein”.

Gambar 2. Subdural hematom.

B. Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi
dalam ruangan subdural. Hematoma subdural akut dapat terjadi pada:
 Trauma kapitis
 Koagulopati atau penggunaa obat antikoagulan (warfarin, heparin,
hemophilia, kelainan hepar, trombositopeni).
 Perdarahan intracranial nontrauma yang disebabkan oleh aneurisma
serebral, malfromasi arterivena, atau tumor (meningioma atau
metastase dural.

SUBDURAL HEMATOM Page 5


 Pasca operasi (craniotomy, CSF hunting).
 Hipotensi intracranial (setelah lumbar fungsi, anesthesia epidural
spinal, lumboperitoneal shunt).
 Child abuse atau shaken baby sybdrome.
 Spontan atau tidak diketahui.
Hematoma subdural kronik dapat disebabkan oleh :
 Trauma kepala yang relatif ringan atau pada orang tua dengan
serebral atrofi.
 Hematoma subdural akut dengan atau tanpa intervensi operasi.
 Spontan atau idiopatik.
 Faktor resiko terjadinya hematoma subdural kronik yaitu
penggunaan alkohol kronis, epilepsi, koagulopati, kista arachnoid,
terapi antikoagulan (termasuk aspirin), penyakit kardiovaskular
(hipertensi, arteriosklerosis), trombositopenia, dan diabetes mellitus.
Pada pasien yang lebih muda, alcoholism, trombositopenia,
kelainan pembekuan, dan terapi antikoagulan oral lebih banyak ditemui.
Kista arachnoid lebih banyak ditemukan pada pasien hematoma subdural
kronik pada pasien usia dibawah 40 tahun. Pada pasien yang lebih tua,
penyakit kardiovaskular dan hipertensi arteri lebih banyak ditemukan,
16% pasien dengan hematoma subdural kronik dalam terapi aspirin.
C. Patofisiologi
Pada perlukaan kepala, dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang
subaraknoid, kedalam rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura
bagian luar dan tengkorak (hemoragi ekstradural) atau ke dalam
substansi otak sendiri.
Putusnya vena-vena penghubung antara permukaan otak dan sinus
dural adalah penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi.
Perdarahan ini seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif
kecil, dan mungkin terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid.
Anak-anak ( karena anak-anak memiliki vena-vena yang halus ) dan

SUBDURAL HEMATOM Page 6


orang dewasa dengan atropi otak (karena memiliki vena-vena
penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko yang lebih besar.
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral
dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan
distribusi “bridging veins”. Karena perdarahan subdural sering
disebabkan olleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul hanya
100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade
hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan
reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang
diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul
lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom
subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan
kecil dan pembentukan kantong subdural yang penuh dengan cairan dan
sisa darah (higroma). Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang
dengan satu dari tiga mekanisme.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural
kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari
bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan
protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan
menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural
hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang
mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada
controversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian
didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah.
Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang
yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor
angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan
subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan
peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural
hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik

SUBDURAL HEMATOM Page 7


dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan subdural kronik.
D. Klasifikasi
Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural dengan gejala yang timbul segera kurang dari
48 jam setelah trauma. Terjadi pada cedera kepala yang cukup berat
sehingga dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien, serta
baik kesadaran maupun tanda vital sudah terganggu. Perdarahan dapat
kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran CT scan
didapatkan lesi hiperdens.
Hematoma Subdural Subakut
Hematoma subdural yang berkembang dalam beberapa hari, sekitar
2 sampai 14 hari sesudah trauma. Awalnya pasien mengalami periode
tidak sadar, kemudian mengalami perbaikan status neurologi yang
bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita akan
memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Sejalan
dengan meningkatnya tekanan intrakranial, pasien menjadi sulit
dibangunkan dan tidak berespon terhadap rangsang nyeri atau verbal.
Pada tahap selanjutnya dapat terjadi sindrom herniasi dan menekan
batang otak. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi isodens atau
hipodens. Lesi isodens ini diakibatkan oleh terjadinya lisis dari sel darah
merah dan resorbsi dari hemoglobin.
Hematoma Subdural Kronik
Hematoma subdural yang terjadi pada 2 sampai 3 minggu setelah
trauma atau lebih. Gejala umumnya muncul dalam waktu berminggu-
minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang
tidak jelas. Bahkan karena benturan ringanpun dapat mengakibatkan
perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular
atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik,
hematoma atau perdarahan yang terjadi lama kelamaan dapat membesar

SUBDURAL HEMATOM Page 8


secara perlahan-lahan, yang pada akhirnya mengakibatkan penekanan
dan herniasi.
Pada hematoma subdural kronik, terdapat kapsula jaringan ikat
yang terbentuk mengelilingi hematoma. Pada hematoma yang lebih baru,
kapsula jaringan ikat masih belum terbentuk atau dalam ukuran yang
masih tipis di daerah permukaan arachnoid. Kapsula ini mengandung
pembuluh darah dengan dinding yang tipis, terutama pada sisi
duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembus dinding ini dan meningkatkan volume dari hematoma.
Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang
menyebabkan meningkatnya volume hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat
menghisap cairan dari ruangan subarachnoid. Hematoma akan membesar
dan menimbulkan gejala seperti pada tumor serebri. Sebagaian besar
hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50
tahun. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi hipodens.
E. Gejala klinis
a) Subdural Hematoma Akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma
sampai dengan hari ke tiga. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang
cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada
pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya.
Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas,
secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan
kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa
hemiparese/plegi. Pada pemeriksaan radiologis (CT Scan)
didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit.
b) Subdural Hematoma Subakut
 Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar hari ke 3 –
minggu ke 3 sesudah trauma.

SUBDURAL HEMATOM Page 9


 Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan
kapsula di sekitarnya.
 adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-
lahan.
 Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-
tanda status neurologik yang memburuk.
 Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam
beberapa jam.
 Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan
tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun
nyeri.
c) Subdural Hematoma Kronis
Biasanya terjadi setelah minggu ketiga dan SDH kronis
biasanya terjadi pada orang tua. Trauma yang menyebabkan
perdarahan yang akan membentuk kapsul, saat tersebut gejala yang
terasa Cuma pusing. Kapsul yang terbentuk terdiri dari lemak dan
protein yang mudah menyerap cairan dan mempunyai sifat mudah
ruptur. Karena penimbunan cairan tersebut kapsul terus membesar
dan mudah ruptur, jika volumenya besar langsung menyebabkan lesi
desak ruang.
Jika volume kecil akan menyebabkan kapsul terbentuk lagi
>> menimbun cairan >> ruptur lagi >> re-bleeding. Begitu
seterusnya sampai suatu saat pasien datang dengan penurunan
kesadaran tiba-tiba atau hanya pelo atau lumpuh tiba-tiba. Hematoma
subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
seperti:

 sakit kepala yang menetap


 rasa mengantuk yang hilang-timbul

SUBDURAL HEMATOM Page 10


 aphasia
 perubahan ingatan
 kelumpuhan atau keluhan sensorik ringan pada sisi tubuh yang
berlawanan.
F. DIAGNOSIS
Anamnesis
Trauma akut subdural hematoma sering terjadi sebagai akibat
dari jatuh, kekerasan, atau kecelakaan kendaraan bermotor. Kecurigaan
terhadap terjadinya subdural hematom akut muncul kapapun ketika
pasien mengalami trauma tumpul derajat sedang hingga berat. Gambaran
klinisnya akan tergantung pada lokasi lesi dan perkembangan dari lesi
tersebut.
Sering ditemukan, pasien dalam keadaan menuju koma setelah
kejadian. Beberapa pasien dalam keadaan sadar, dan yang lainnya dalam
masa perburukan yang muncul perlahan seiring perluasan hematoma.
Pasien yang usia tua rentan mengalami subdura hematoma akut
dibanding pasien lain yang mengalami trauma. Pada sebuah studi
menunjukkan rerata umur pasien yang mengalami trauma tetapi tanpa
kejadian subdura hematoma akut adalah 26 tahun, sedangkan rerata
umur yang mengalami subdural hematom akut adalah 41 tahun. Oleh
karena itu pasien usia tua menjadi resiko tersendiri untuk kemunculan
subdural hematom akut setelah cedera kepala. Hal ini diperkirakan
terjadi karena pada pasien tua memiliki otak yang lebih atrofi, sehingga
mengakibatkan robekan yang lebih mudah terjadi pada bridging vein
segera setelah cedera kepala terjadi.
Subdura hematoma subakut ditegakan sebagai SDH yang muncul
antara 4 hingga 21 hari setelah cedera kepala terjadi. SDH kronik
ditentukan sebagai SDH yang muncul pada 21 hari atau lebih setelah
cedera terjadi. Angka – angka tersebut tidaklah absolute, klasifikasi SDH
yang lebih akurat jika menggunakan CT-scan.

SUBDURAL HEMATOM Page 11


Dari anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik
dengan jejas dikepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada
tidaknya kehilangan kesadaran atau pingsan. Jika ada pernah atau tidak
penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika pernah
apakah tetap sadar seperti semula atau turun lagi kesadarannya, dan
diperhatikan lamanya periode sadar atau lucid interval. Untuk tambahan
informasi perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah
terjadinya trauma kepala.
Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah
untuk mencari penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena
inspirasi atau sumbatan nafas atas, atau karena proses intra kranial yang
masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya
sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak salah satu sisi
dan muntah-muntah yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit
lain yang sedang diderita, obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini,
dan apakah dalam pengaruh alkohol.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary
survey) yang mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan
tekanan darah atau nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi.
Jalan nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi,
bila perlu dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu diikuti
dengan pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan
perfusi dan oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat
bermanfaat untuk memonitor saturasi O2. Secara bersamaan juga
diperiksa nadi dan tekanan darah untuk memantau apakah terjadi
hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika
terjadi hipotensi atau syok harus segeradilakukan pemberian cairan
untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial ditandai dengan Cushing respon yaitu peningkatan
tekanan darah, bradikardia dan bradipnea.

SUBDURAL HEMATOM Page 12


Pemeriksaan neurologis yang meliputkankesadaran penderita
dengan menggunakan. Skala GCS, pemeriksaan diameter kedua pupil,
dan tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan
Skala GCS menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan
respon motorik pasien terhadap stimulasi verbal atau nyeri (merupakan
fungsi ARAS, batang otak dan kortes). Pemeriksaan diameter kedua
pupil dan adanyadefisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi
herniasi di dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal di
sepanjang kortex menuju medula spinalis.Pada pemeriksaan sekunder,
dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi GCS, lateralisasi dan
refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini adanya gangguan
neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah
dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Apabila
terjadi trauma langsung pada mata membuat pemeriksaan menjadi lebih
sulit.
Tabel 2.1 Gejala-gejala pada Hematoma Subdural
Gejala Umum Gejala Ringan Gejala Akut/Berat
(sering) (sering) (jarang)
Sakit kepala Konfusi Hemiplegi
Tampak lelah Gangguan gaya jalan Afasia
Mual/Muntah Penurunan keadaan mental Kejang
Vertigo Kesulitan berbicara Koma
Kelemahan anggota gerak
Inkontinensia

Pemeriksaan penunjang
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma
kepala lebih mudah dikenali.
Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek,
dan potensi cedara intracranial lainnya. CT-scan (Computed

SUBDURAL HEMATOM Page 13


Tomography scan) adalah modalitas imaging yang paling baik untuk
evaluasi awal SDH.
Pada CT scan kepala, klot terlihat berwarna cerah atau densitas
yang bercampur, berbentuk blan sabut (lunate),memiliki batas yang
jelas, dan tidak melewati garis tengah karena terdapat falx cerebri.
Sebagian besar SDH terjadi pada permukaan hemisfer otak, tetapi
terkadang dapat juga muncul antara hemisphere atau lapisan diatas
tentorium.Densitas hematoma bervariasi tergantung dari stadium evolusi
hematoma. Sebuah SDH akut (< 3 hari; gambaran hiperden pada CT -
scan polos), berlanjut hingga sekitar 3 minggu menjadi SDH subakut (3-
3minggu; gambaran isoden pada CT scan polos), dan akhirnya menjadi
SDH kronis (>3 minggu; gambaran hipoden pada CT scan polos).
Magnetic resonance imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang
menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan
duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi.
MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk
menegakkan diagnosis. MRI memiliki tingkat keakuratan lebih baik
daripada CT scan; ketebalan hematoma dapat diukur secara
tepatsehingga gambaran isoden dan SDH kronis yang kecil lebih mudah
dikenali. Pada hampir semua kasus, membran hematoma dapat dideteksi
oada MRI, tetapi hanya 27% dapat ditemukanpada CT scan.
Meskipun begitu CTscan tetap pilihan yang paling sering
digunakan dalam menegakkan diagnosis SDH karena harganya yang
lebih murah, mudah di akses, dan lebih cepat. Ketika menggunakan
MRI, pemeriksaan ini berfungsi untuk menggambarkan batas SDH
kronis dan menentukkan struktur yang terdapat didalam hematoma.

SUBDURAL HEMATOM Page 14


Gambar 2.5. Gambaran CT scan pada Hematoma Subdural Akut.
Less 3 days old, hyperdens (A); subacute SDH, 3 days to 3 weeks old, isodens (B), and SDH more
than 3 weeks old, hypodens (C).

Gambar 5.Subdural hematom.

G. Penatalaksanaan
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan pada pasien
SDH, tentu kita harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan
radiologinya. Dalam masa mempersiapkan operasi, perhatiaan
hendaknya ditujukan kepada pengobatan dengan medika mentosa untuk
menurunkan peningkatan tekanan intracranial. Seperti pemberian
mannitol 0,25 gr/kgBB atau furosemide 10 mg intavena,
dihiperventilasikan.
Tidakan operatif

Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan ada


gejala- gejala yang progresif maka jelas diperlukan tindakan operasi
untuk melakukan pengeluaran hematom. Tetapi seblum diambil

SUBDURAL HEMATOM Page 15


kepetusan untuk tindakan operasi yang harus kita perhatikan adalah
airway, breathing, dan circulatioan.

Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:

 Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10 mm atau


pergeseran midline shift >5 mm pada CT-Scan.
 Semua pasien SDH dengan GCS <9 harus dilakukan monitoring
TIK.
 Pasien SDH dengan GCS <9, dengan ketebalan perdarahan <10 mm
dan pergerakan struktur midline shift. Jika mengalami penurunan
GCS >2 poin antara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit.
 Pasien SDH dengan GCS<9, dan atau didapatkan pupil dilatasi
asimetris/fixed.
 Pasien SDH dengan GCS < 9, dan /atau TIK >20 mmhg
 Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole
craniotomy.
 Tindakan yang paling banyak diterima karena minimal
komplikasi.
 Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi
SDH secara cepat dan local anastesi.
 Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur
bedah yang infasih dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi.

H. Komplikasi
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa:
 Hemiparese/hemiplegia.
 Disfasia/afasia
 Epilepsi
 Hidrosepalus
 Subdural empiema.

SUBDURAL HEMATOM Page 16


I. Prognosis
Prognosis dari penderita SDH ditentukan dari:
 GCS awal saat operasi
 lamanya penderita datang sampai dilakukan operasi
 lesi penyerta di jaringan otak
 serta usia penderita
pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %,
makin rendah GCS, makin jelek prognosenya makin tua pasien makin
jelek prognosenya adanya lesi lain akan memperjelek prognosenya.

2.3 Diagnosa Banding


A. Epidural Hematom
Definisi
Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang
terjadi karena fraktur tulang tengkorak dalam ruang antara tabula
interna kranii dengan duramater. Hematoma epidural merupakan gejala
sisa yang serius akibat cedera kepala dan menyebabkan angka
mortalitas sekitar 50%. Hematoma epidural paling sering terjadi di
daerah perietotemporal akibat robekan arteria meningea media.
Etiologi
Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan
struktur duramater dan pembuluh darah kepala biasanya karena
fraktur.Akibat trauma kapitis,tengkorak retak. Fraktur yang paling
ringan, ialah fraktur linear.Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa
timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi
yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur
yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak
(laserasio).Pada pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya
pembuluh darah, biasanya arteri, yang kemudian mengalir ke dalam
ruang antara duramater dan tengkorak.

SUBDURAL HEMATOM Page 17


Patomekanisme
Pada hematoma epidural, perdarahan terjadi diantara tulang
tengkorak dan duramater. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah
temporal bila slaah satu cabang arteria meningea media robek.
Robekan ini sering terjadi buka fraktur tulang tengkorak di daerah
yang bersangkutan. Hematom pun dapat terjadi di daerah frontal dan
oksipital.
Gejala klinis
Penurunan kesadaran bisa sampai koma, bingung, penglihatan
kabur, susah bicara, nyeri kepala yang hebat, keluar cairan dari hidung
dan telingah, mual, pusing dan berkeringat.
B. Perdarahan subarachnoid
Definisi
Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya
darah pada rongga subarakhnoid yang disebabkan oleh proses
patologis. Perdarahan subarakhnoid ditandai dengan adanya
ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid yaitu rongga antara lapisan
dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid matter) yang
merupakan bagian selaput yang membungkus otak (meninges).
Etiologi
Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan
subarachnoid adalah ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak
dan adanya malformasi arteriovenosa (MAV). Terdapat beberapa jenis
aneurisma yang dapat terbentuk di arteri otak seperti :
a. Aneurisma sakuler (berry)
Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri
intrakranial. Lokasi tersering aneurisma sakular adalah arteri
komunikans anterior (40%), bifurkasio arteri serebri media di
fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis interna (pada
tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri komunikans posterior
30%), dan basilar tip (10%). Aneurisma dapat menimbulkan

SUBDURAL HEMATOM Page 18


deficit neurologis dengan menekan struktur disekitarnya bahkan
sebelum rupture. Misalnya, aneurisma pada arteri komunikans
posterior dapat menekan nervus okulomotorius, menyebabkan
paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami dipopia).
b. Aneurisma fusiformis
Pembesaran pada pembuluh darah yang berbentuk
memanjang disebut aneurisma fusiformis. Aneurisma tersebut
umumnya terjadi pada segmen intracranial arteri karotis interna,
trunkus utama arteri serebri media, dan arteri basilaris. Aneurisma
fusiformis dapat disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau
hipertensi. Aneurisma fusiformis yang besar pada arteri basilaris
dapat menekan batang otak. Aliran yang lambat di dalam
aneurisma fusiformis dapat mempercepat pembentukan bekuan
intra-aneurismal terutama pada sisi-sisinya. Aneurisma ini
biasanya tidak dapat ditangani secara pebedahan saraf, karena
merupakan pembesaran pembuluh darah normal yang memanjang,
dibandingkan struktur patologis (seperti aneurisma sakular) yang
tidak memberikan kontribusi pada suplai darah serebral.
c. Aneurisma mikotik
Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil
di otak. Terapinya terdiri dari terapi infeksi yang mendasarinya
dikarenakan hal ini biasa disebabkan oleh infeksi. Aneurisma
mikotik kadang-kadang mengalami regresi spontan; struktur ini
jarang menyebabkan perdarahan subarachnoid.
Malformasi arterivenosa (MAV) adalah anomaly vasuler
yang terdiri dari jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan
vena terhubungkan oleh satu atau lebih fistula. Pada MAV arteri
berhubungan langsung dengan vena tanpa melalui kapiler yang
menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat
menampung tekanan darah yang dating langsung dari arteri,
akibatnya vena akan merenggang dan melebar karena langsung

SUBDURAL HEMATOM Page 19


menerima aliran darah tambahan yangberasal dari arteri. Pembuluh
darah yang lemah nantinya akan mengalami ruptur dan berdarah
sama halnya seperti yang terjadi paada aneurisma. MAV
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat. MAV
yang didapat terjadi akibat thrombosis sinus, trauma, atau
kraniotomi.
Gejala klinis

Tanda klasik PSA, sehubungan dengan pecahnya aneurisma


yang besar, meliputi :

 Nyeri kepala yang hebat dan mendadak,


 Hilangnya kesadaran,
 Fotofobia
 Meningismus,
 Mual dan muntah.

SUBDURAL HEMATOM Page 20


BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga
subdural. Dalam bentuk akut yang hebat darah memasuki ruang tersebut
sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arachnoid, sehingga
menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk
kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-
vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup.
Hematoma subdural merupakan bentuk trauma intrakranial yang
paling sering, hematoma subdural tidak hanya terjadi pada trauma kepala
berat tetapi juga dapat terjadi pada orang dengan trauma kepala yang tidak
terlalu berat seperti pasien tua atau yang menerima terapi
antikoagulan.Perdarahan terjadi antara duramater dan arachnoid. Perdarahan
dapat terjadi akibat robeknya ‘bridging veins’ (menghubungkan vena di
permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater) atau karena
robeknya arachnoid.

SUBDURAL HEMATOM Page 21


DAFTAR PUSTAKA

Baehr M, Frotcsher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi,

Tanda, Gejala. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. EGC; 2012.

Mansjoer A, Suprohaita, 2010, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 4. Jakarta.

Perdossi. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada University Pres;

2011.

Price, Sylvia dan Wilson, Lorraine. 2015. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-

proses Penyakit. Edisi 6. Vol 2. Hal 1174-1176. Jakarta: EGC.

Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural

Akut. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297-

306. FK USU: Medan.

Sidharta P, Mardjono M, 2010, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.

Jones R, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Subarachnoid Hemorrhage. Netter's

Neurology2014. p. 526-37.

Wilkins, Williams L, 2008, ContralateralbAcute Epidural Hematoma After

Decompressive Surgery of Acute Subdural Hematoma, Vol.65.

SUBDURAL HEMATOM Page 22

Anda mungkin juga menyukai