Anda di halaman 1dari 16

AMAR & NAHYI

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 12 :

1. Rahmatullah Akbar ( 1820202149 )


2. Rendi Kurniawan ( 1820202150 )
3. Arif Rahman ( 1830202182 )

DOSEN PEMBIMBING : Sofyan, S. Ag, M. HI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah tuhan semesta alam yang telah memberikan
kemudahan kepada kami untuk bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Amar
dan Nahyi ” makalah ini kami susun dengan sedemikian mungkin dan kami juga
menyadari bahwa makalah yang kami susun jauh dari kata sempurna, kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun kami harapkan untuk kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata kami ucapkan terimakasih kepada Allah kami mohon ampun dan
kepada semua pihak kami minta maaf apabila ada penulisan kata yang salah dalam
makalah ini dan semoga Allah SWT senantiasa meridhoi usaha kita.

Palembang, 18 Februari 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Kaidah Lugwahiyah ................................................................................ 2
B. AMAR (Perintah) ...................................................................................... 2
C. Nahyi (Larangan) ...................................................................................... 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 13
B. Saran .......................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 1ii

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ushul fiqh sebagai ilmu metodologi penggalian dari berbagai hukum untuk
memperoleh ilmu pengetahuan. Penggalian hukum tersebut mempunyai peranan
penting dalam ranah keilmuan agama islam khususnya. Pembahasan dari segi
kebahasaan atau kalian lughawiyah sangat penting sekali dipelajari karna sumber
hukumnya yaitu Al-Quran dan hadist yang menggunakan bahasa arab yang
mempunyai banyak makna yang terkandung di dalamnya.
Dalam makalah ini kami ingin membahas mengenai pembagian dari kaidah
lughawiyah itu sendiri yang beupa lafazh untuk mengerjakan (amar) dan juga lafazh
untuk meninggalkan (nahyi). Agar kita memahami apa yang seharusnya dilakukan
oleh para mukallaf demi kesejahteraan hidupnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu kaidah lugwahiyah ?
2. Apa yang dimkasud dengan amar beserta ruang lingkup amar ?
3. Apa yang dimaksud dengan nahyi beserta ruang lingkup nahyi ?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk mengetahui dan memahami :
1. Kaidah lugwahiyah
2. Definisi amar dan ruang lingkup amar
3. Definisi Nahyi beserta ruang lingkup nahyi

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kaidah Lugwahiyah
Telah dijelaskan bahwa hukum syar’i itu adalah khitab(titah)Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan
ketentuan .
Khitab dalam bentuk tuntutan ada dua bentuk, yaitu tuntutan untuk mengerjakan
dan tuntutan untuk meninggalkan. Setiap tuntutan mengandung taklif
(beban hukum) atas pihak yang dituntut; dalam hal ini adalah manusia mukallaf.
Tuntutan yang mengandung beban hukum untuk mengerjakan disebut perintah atau
“amar”. Sedangkan tuntutan yang mengandung bebab hukum untuk ditinggalkan
disebut larangan atau “nahi”. 1 Pembahasan mengenai lafaz dari segi sighat taklif
mengandung dua pembahasan, yaitu tentang amar dan nahi.

B. AMAR (Perintah)
1. Pengertian Amar
Menurut jumhur ulama ushul, definisi amr adalah lafazh yang menunjukkan
tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu
pekerjaan.2 Adapun menurut bahasa amr itu berrati perintah. Definisi tersebut tidak
hanya ditujukan pada lafazh yang memakai sighat amr, tetapi ditujukan pula pada
semua kalimat yang mengandung perintah, karena kalimat perintah tersebut
terkadang menggunakan kalimat majazi (samar). Namun yang paling penting dalam
amr adalah bahwa kalimat tersebut mengandung unsur tuntutan untuk mengerjakan
sesuatu.
2. Hakikat Amar
Para ulama ushul telah menyepakati bahwa bentuk amr ini digunakan untuk
berbagai macam arti. Al-Amidi menyebutkan sebanyak 15 macam makna. Sedangkan

1 Zahro Abu, Ushul fiqih, (Jakarta : Gramedia, 2009 ). Hal 46.


2 Zahro Abu, Ushul fiqih….,Hal. 43.

2
Al-Mahalli dalam Syarah Jamu’ Al-Jawami’ menyebutkan sebanyak 26 makna.
Demikian pula mereka sepakat bahwa bentuk amr secara hakikat digunakan untuk
thalab (tuntutan). Namun, mereka berbeda pendapat mengenai thalab ini .Apakah
dengan sendirinya menunjukkan wajib ataukah diperlukan adanya qarinah.
Menurut jumhur ulama , amr itu secara hakikat menunjukkan wajib dan tidak
bisa berpaling dari arti lain, kecuali bila ada qarinah. Golongan kedua ,yaitu mazhab
Abu Hasyim dan sekelompok ulama mutakallimin dari kalangan Mu’tazilah
menyatakan bahwa hakikat amr itu adalah nadb. Golongan ketiga berpendapat bahwa
amr itu musytarak antara wajib dan nadb pendapat ini dipengaruhi oleh Abu Mansur
Al-Maturidi. Pendapat keempat, Qadi Abu Bakar, Al-Ghazali, dan lain lain,
menyatakan bahwa amr itu maknanya bergantung pada dalil yang menunjukkan
maksudnya.

3. Keadaan amr bila tidak disertai qarinah


Makna hakiki amr yang diperselisihkan diatas ialah apabila amr itu tidak disertai
suatu qarinah. Golongan Zahiriyah, antara lain Ibnu Hazm berpendapat bahwa amr
yang terdapat dalam Al-Qur’an, sungguhpun disertai qarinah tetap menunjukkan
wajib, kecuali kalau ada nash lain atau ijma’ yang memalingkan pengertian amr dari
wajib. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa tidak adanya qarinah
menunjukkan wujub. Sebaliknya, adanya suatu qarinah sudah cukup dapat mengubah
hakikat arti amr itu .3
Dari kedua sikap ulama diatas , ada dampak luas pada penetapan hukum. Contoh
yang dapat dikemukakan disini ialah masalah pencatatan dan persaksian dalam
hutang piutang. Menurut Zahiriyah, pencatatan dalam persaksian hutang piutang ini
adalah wajib, berdasarkan ayat 282, Al-Baqarah. Bentuk amar pada ayat tersebut
menunjukan wajib dan tidak bisa menyimpang dari arti zahir kecuali dengan nash
atau ijma’( Ibnu Hazm:80).

3 Hamid Hakim, Al-Bayan, (Bandung : Logos, 2013) Hal 36.

3
Menurut jumhur ulama, amr pada ayat tersebut nadb. Alasannya, mayoritas kaum
muslimin dalam melakukan jual beli yang tidak kontan itu tidak dicatat dan
dipersaksikan. Oleh karena itu, dipandang ijma’ dikalangan kaum muslimin, bahwa
amr pada ayat tersebut bukan untuk menujukkan wujub.
Bagi ulama yang berpendapat bahwa amr itu pada prinsipnya menunjukkan wajib
dan tidak bisa berubah, kecuali ada qarinah, mereka sendiri sebenarnya berbeda
pendapat dalam menentukan sesuatu yang dipandang sebagai qarinah .Perbedaan
tersebut otomatis berpengaruh pada penetapan hukum. Misalnya, masalah mut’ah
bagi wanita yang dicerai.

4. Petunjuk lafadz amr


Jumhur ulama berpendapat bahwa lafadz amr itu diciptakan untuk memberi
pengertian wajib. Selama lafadz amr itu tetap dalam kemutlaqannya ia selalu
menunjukkan kepada arti yang hakiki, yakni wajib, yang memang diciptakan
untuknya dan tidak akan dialihkan kepada arti lain, jika tidak ada qarinah yang
mengalihkannya.4

5. Bentuk bentuk amr dan lafazhnya


Jika bentuk amr disertai oleh qarinah (dalil) yang menujukkan bahwa amr itu
untuk arti selain wajib, maka makna amr itu disesuaikan dengan konteksnya ,
misalnya
a. Amr mengandung hukum kebolehan (ibahah) seperti seruan makan dan
minum.

‫للا‬
ِ ‫ق‬ ِ ‫ُكلُ ْوا َواش َْربُ ْوا ِم ْن ِ ِّر ْز‬
Artinya :”…makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah…”(QS. al-Baqarah:
60).

4 Hamid Hakim, Al-Bayan…, Hal 37.

4
b. Amr mengandung ancaman (tahdid)
Contohnya :

ِ ‫ا َ ْع َملُ ْوا َما‬...


... ‫شئْت ُ ْم‬
Artinya :”…perbuatlah apa yang kamu kehendaki…”(QS. Fushilat / 41:40).

c. Amr mengandung sunnah


Contohnya seruan menulis atau membuat perjanjian dengan orang lain jika
dipandang baik.

َ ‫فَكَا تِبُ ْو ُه ْم ا ِْن‬...


... ‫ع ِل ْمت ُ ْم فِ ْي ِه ْم َخ ْي ًرا‬
Artinya :”…hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui
ada kebaikan pada mereka…”(QS.An-Nuur / 24-33).

d. Amr mengandung petunjuk


Contohnya seruan menulis dan mendatangkan dua saksi dalam hutang
piutang.

...ُ‫س ِّمى فَا ْكتَبُ ْوه‬


َ ‫يَاَيِّ َها ا الَّ ِذ ْي َن َءا َمنُ ْوا اِذَا تَدَا ْينَت ُ ْم بِ َد ْي ِن اِلَى ا َ َج ٍل ُم‬
Artinya : “…Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya…”(QS.AlBaqarah : 282)

e. Amr mengandung arti memuliakan (ikram)


Misalnya seruan masuk surga dengan selamat dan aman

ِ ‫سلَ ٍم َء‬
‫ام ِن ْي َن‬ َ ‫ا َ ْد ُخلُ ْو َها ِب‬
Artinya : “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera dan aman.” (QS. Al-Hijr / 15-
46)

f. Amr bermakna persamaan /menyamakan


Contoh seruan bersabar atau tidak bersabar bagi penghuni neraka:

5
...‫ع َل ْي ُك ْم‬
َ ‫س َوآ ٌء‬ ْ َ‫ص ِب ُروأ أ َ ْو ََل ت‬
َ ‫ص ِب ُر ْوأ‬ ْ ‫صلَ ْو َها فَا‬
ْ َ‫ا‬
Artinya : Masukklah kamu kedalamnya ( rasakanlah panas apinya ); maka baik kamu
bersabar atau tidak , sama saja bagimu. (QS. At-Tuur / 52-16)
g. Amr mengandung penghinaan
Contohnya: seruan menjadi kera yang hina

‫فَقٌ ْلنَا لَ ُه ْم ك ُْو نُ ْوأ قِ َر َدةً َخ ِس ِء ْي َن‬


Artinya : Kami berfirman kepada mereka “Jadilah kamu kera yang hina… “ (QS.al-
Baqarah/2:65)

6. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan amr


Apabila dalam nash (teks) syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah
tersebut, maka seperti dikemukakan Muhammad Adib Saleh, ada beberapa kaidah
yang mungkin biasa diberlakukan.
a. Kaidah pertama
“ushulil fiil amri lil wujubi”, meskipun suatu perintah bisa menunjukkan
berbagai pengertian, namun pada dasarnya suatu perintah menunjukkan hukum
wajib dilaksanakan kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkannya dari
hukum tersebut. Kesimpulan ini, di samping didasarkan atas ahli bahasa, juga
atas ayat 62 Surat an-Nur yang mengancam akan menyiksa orang-orang yang
menyalahi perintah Allah. Adanya ancaman siksaan itu menunjukkan bahwa
suatu perintah wajib dilaksanakan .
Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum
wajib adalah Surat an-Nisa : 77.

…َ‫واَقِ ْي ُم ْوا الص َلةَ َو َءات ُ ْو الزكَاة‬...


َ
Artinya : …Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat …(QS.an-Nisa :77 )
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan shalat lima waktu dan
menunaikan zakat.

b. Kaidah kedua

6
“Dalalatul umuri ‘ala takriri awil wahidatu”, adalah suatu perintah
haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja, menurut
jumhur ulama Ushul Fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan
harus berulang kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu. Karena suatu perintah
hanya menunjukkan perlu terwujudnya perbuatan yang di perintahkan itu dan hal
itu sudah tercapai meskipun hanya dilakukan satu kali. Contohnya surat al-
Baqarah : 196.

...ِ‫َوأَتِموا ا ْل َحج َوا ْلعُ ْم َرة هلل‬


Artinya : “Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah …”.(QS.al-Baqarah :
196)
Perintah melakukan haji dalam ayat tersebut sudah terpenuhi dengan
melakukan satu kali haji selama hidup.

c. Kaidah ketiga
“Dalalatul umuri ‘alal furi au tarakhi” adalah suatu perintah haruskah
dilakukan sesegera mungkin atau bias ditunda- tunda ? Pendapat jumhur ulama
Ushul Fiqh. Menurut pendapat ini, adanya ajaran agar suatu kebaikan segera
dilakukan, misalnya, secara umum terkandung dalam ayat 148 Surat al-Baqarah:

...ِ‫فَا ْستَ ِبقُ ْوا ْال َخي َْرات‬...


Artinya : “…Maka berlomba-lomba dalam membuat kebaikan…”(QS. Al-
Baqarah/2:148)
Menurut sebagian ulama, antara lain Abu al-Hasan al-Karkhi (w. 340 H),
seperti dinukil Muhammad Adib Shalih, bahwa suatu perintah menunjukkan
hukum wajib segera dilakukan. Menurut pendapat ini, barangsiapa yang tidak
segera melakukan suatu perintah di awal waktunya , maka ia berdosa.

C. Nahyi (Larangan)
1. Pengertian Nahyi.

7
Secara bahasa nahyi bisa berarti larangan dan mencegah. Adapun dalam istilah
ushul, nahyi berarti : “annahyu huwa thalabul kaffa a’nil fi’lin”, artinya : “tuntutan
untuk meningggalkan perbuatan “. Jumhur ulama sepakat bahwa pada asalnya nahyi
itu mengandung hukum haram karena semua bentuk larangan akan mendatangkan
kerusakan. Contohnya larangan merusak alam, larangan berzina, larangan berlaku
riba, dan sebagainya. Jika larangan- larangan tersebut dilanggar oleh manusia, maka
akan mengakibatkan kerusakan dan kemusnahan bagi kehidupan manusia.5

2. Makna sighat nahyi


Para ulama ushul sepakat bahwa hakikat dadalah nahyi adalah untu menuntut
meninggalkan sesuatu, tidak bisa beralih makna, kecuali bila ada suatu qarinah.
Namun, mereka berbeda pendapat tentang hakikat tuntutan untuk meninggalkan
larangan tersebut, apakah hakikatnya untuk tahrim, karahah, atau untuk keduanya:
a. Menurut jumhur, hakikatnya itu untuk tahrim, bukan karahah. Tidak bisa
menunjukkan makna lain, kecuali dengan qarinah.
b. Menurut pendapat kedua, nahyi yang tidak disertai qarinah menunjukkan
karahah.
c. Menurut pendapat ketiga, musytarak antara tahrim dan karahah, baik isytirak
lafazhi maupun isytirak maknawi.
d. Hakikat tuntutan nahyi itu tasawuf.
Dari keempat pendapat di atas, yang dipandang kuat adalah pendapat jumhur.
Hal ini disimpulkan dari keumuman sighat-sighat nahyi, juga didasarkan pada
argument-argumen di bawah ini:
a. Akal yang sehat bisa menunjukkan bahwa larangan itu menunjukkan pada
haram.
b. Para ulama salaf memakai nahyi dalil untuk menunjukkan haram. Dan hal itu
telah disepakati sejak zaman para sahabat, tabi’in, dan para pengikut mereka.
c. Firman Allah Swt. Dalam surat al-Hasyr : 7

5 Effendi Satria, Ushul Fiqh, (Jakarta : Department Agama RI, 2011) Hal 23.

8
‫ع ْنهُ فَا ْنتَ ُه ْوا‬
َ ‫س ْو َل فَ ُخذُ ْوهُ َو َما نَ َها ُك ْم‬
ُ ‫َو َما اتَا ُك ُم الر‬
Artinya: “Dan apa-apa yang Rasul datangkan (perintahkan) kepada kamu semua
taatilah, dan apa-apa yang dilarang kepada kamu semua jauhilah.”
(QS.Al-Hasyr : 7)

3. Nahyi menuntutut untuk meninggalkan secara langsung


Sesungguhnya nahyi itu menuntut untuk meninggalkan apa yang dilarang
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT. Surat al-an’am : 151.

‫س التِى َحر َم للاُ ا َِِل ِبا ْل َحق‬


َ ‫َو ََل ت ْقتُلُ ْوا الن ْف‬
Artinya: “janganlah kamu semua membunuh seorang jiwa yang diharamkan Allah,
kecuali dengan hak.” (QS. Al-An’am : 151)
Dengan kata lain, janganlah kamu semua menyebabkan seseorang terbunuh. Kata
“terbunuh” adalah bentuk nakirah dalam keadaan nahyi. Hal itu sangat umum dan
menunjukkan siapa saja yang terbunuh, kapan saja dan dilakukan terus menerus,
kecuali jika ada dalil yang men-taksis keumumannya, seperti membunuh dengan hak.
Dengan demikian , jelaslah bahwa larangan itu membutuhkan pelaksanaan secara
langsung dan terus menerus, karena pelaksanaan secara terus menerus dan langsung
termasuk dilalah nahyi. Hal itu merupakan ijma’ dari ulama, masa sahabat dan
tabi’in. Mereka menetapkan bahwa nahyi iu menuntut agar meninggalkan yang
dilarang secara langsung dan terus menerus.
Bentuk nahyi ada satu, yaitu fiil mudhari’ disertai la nahyi. Macam-macam nahyi
adalah sebagai berikut:6
a. Nahyi menunjukkan haram

ْ ‫ْاْل‬
‫ص ُل فِى الن ْهي ِ لِلتحْ ِر ْي ِم‬
Artinya : ”Asal dari larangan itu haram.”

b. Larangan berarti makruh

6 Zahro Abu, Ushul fiqih…., Hal. 55.

9
‫ص ُل ِفى الن ْهي ِ ِل ْل ِك َرا َه ِة‬
ْ ‫ا َ ْْل‬
Artinya : “Asal dari larangan itu makruh.”

c. Larangan berarti iltimas (permohonan dari seseorang kepada orang lain yang
tingkatannya sama)
Iltimas dilakukan oleh sesama teman, misalnya seseorang melarang kawannya
bermain bola di musim hujan.

d. Larangan berarti irsyad (petunjuk)


Misalnya, larangan yang terdapat dalam surah al-Maidah : 101.

ُ َ ‫شيَآ َء ا ِْن ت ُ ْب َد لَ ُك ْم ت‬
‫سؤ ُك ْم‬ ْ َ ‫س َءلُ ْو ع َْن ا‬
ْ َ ‫يَآ ي َهاال ِذ ْي َن ا َمنُ ْو َاَلت‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada
nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan
kamu.”

e. Larangan berarti tahdid (ancaman)


Seperti kata majikan kepada pembantunya,”Tidurlah dan jangan bekerja lagi
nanti kamu kelelahan!”

f. Larangan berarti tais (memutus asakan)


Misalnya dalam surat at-Tahrim : 7.

‫يَآي َها ال ِذ ْي َن َكفَ ُر ْو َاَلت َ ْعتَذ ُِرواا ْليَ ْو َم‬


Artinya : “Hai orang orang kafir janganlah minta ampun pada hari ini (kiamat).”

g. Larangan bermakna taubikh (teguran)


Misalnya, larangan yang terdapat pada surat al-Qiyamah : 16.

‫سا نَكَ ِلت َ ْع َج َل ِب ِه‬ ْ ‫ََلت ُ َح‬


َ ‫رك ِب ِه ِل‬
Artinya : “Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca Al-
Qur’an) karena hendak ,cepat-cepat menguasainya.”

10
h. Larangan bermakna tamanni (angan-angan)
i. Misalnya, seorang pengantin berkata,”Wahai malam, janganlah engkau
berakhir dengan subuh, panjangkanlah waktu malammu agar aku dapat
menikmati malam pengantinku tanpa batas waktu.”7

4. Ihwal nahyi
Para ulama ushul dalam menjelaskan hal ihwal nahyi menempuh berbagai jalan.
Namun, pada garis besarnya hal ihwal nahyi dapat dikelompokkan pada lima
macam:8
a. Nahyi itu berada secara mutlaq, yakni tanpa ada qarinah yang menunjukkan
sesuatu yang dilarang. Bentuk ini ada dua macam:
1) Pertama, larangan yang bersifat perbuatan indrawi, seperti puasa, shalat,
dan sebagainya.
2) Kedua, adalah tindakan syara’.
b. Para ulama memberikan penjelasan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan
perbuatan indrawi ialah suatu perbuatan yang dapat diketahui secara indrawi,
yang wujudnya yang wujudnya tidak bergantung pada syara’. Sedangkan yang
dimaksud dengan tindakan syara’ ialah segala perbuatan yang wujudnya
bergantung pada syara’ .
c. Nahyi itu kembali kepada dzatiyah perbuatan, seperti larangan jual beli hashat
(jual beli yang penentuan barangnya dengan jalan melempar batu kerikil, pada
masa sekarang bisa berbentuk koin)
d. Nahyi yang melekat pada sesuatu yang dilarang, bukan pada pokoknya,
seperti jual beli riba dan larangan puasa pada hari raya.
e. Nahyi kembali pada sifat yang berkaitan dengan suatu perbuatan, tetapi
perbuatan itu bisa terpisah dari perbuatan yang lainnya, seperti larangan shalat
ditempat hasil rampasan dan larangan jual beli diwaktu shalat jum’at.

7 Amiruddin, Ushul Fiqh, (Malang : PT Raja Grafindo Persada, 2014), Hal 17.
8 Effendi Satria, Ushul Fiqh…, Hal 39.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah diatas : hukum syar’i yang biasa disebut titah atau
perintah Allah yang ditujukan pada tiap-tiap mukallaf baik itu dalam bentuk tuntutan
(amar) dan juga dalam bentuk larangan/mencegah (nahyi). Secara garis umum amar
adalah lafal yang menunjukkan tuntutan untuk mengerjakan perbuatan, sedangkan
nahyi adalah tuntutan untuk mencegah atau tidak mengerjakan perbuatan. Kedua
kaidah lughawiyah ini mencakup beberapa kaidah, hakikat, dan lafal-lafal yang
digunakan, yang lafalnya tersebut bermuara pada contoh dalam Al-Qur’an.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik yang membangun makalah ini dari pembaca
agar kedepannya penulis dapat memperbaiki penulisan dalam pembuatan makalah
selanjutnya di waktu yang akan datang.

12
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an.

Amiruddin. 2014. Ushul Fiqh. Malang : PT Raja Grafindo Persada.

Effendi, Satria. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta : Department Agama RI.

Hamid, Hakim. 2013. Al-Bayan. Bandung : Logos.

Zahro, Abu. 2009. Ushul fiqih. Jakarta : Gramedia.

13

Anda mungkin juga menyukai