Anda di halaman 1dari 5

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Anjing merupakan hewan kesayangan yang sering dipelihara oleh manusia.Hal ini
berkaitan dengan hubungan sosial yang erat antara anjing dengan manusia.Anjing memiliki
keistimewaan, seperti tingkat intelegensi yang cukup tinggi sehingga dapat dilatih, dapat menjadi
teman bermain, dan memiliki sifat yang sangat setia pada pemilik. Selain sebagai teman bermain,
anjing dipelihara untuk dijadikan pekerja, berburu, penjaga, dan pelacak.Dalam memelihara
hewan kesayangan, seringkali timbul masalah yang berkaitan dengan penyakit hewan. Masalah
yang sering muncul adalah adanya gangguan ektoparasit. Ektoparasit banyak dijumpai di
Indonesia karena kondisi iklim dan kelembaban yang menunjang kehidupan ektoparasit sepanjang
tahun (Dharmojono 2001).
Ektoparasit yang sering ditemukan pada anjing adalah caplak, kutu, tungau, dan pinjal.
Caplak yang sering ditemukan pada anjing di Indonesia adalah Rhipicephalus sanguineus (Hadi
dan Rusli 2006). Caplak hidup di permukaan kulit hewan dan akan menghisap darah induk semang
melalui pembuluh darah perifer yang berada di bawah kulit. Caplak memiliki ukuran tubuh yang
cukup besar yang melekat pada permukaan kulit sehingga sangat mudah ditemukan pada daerah
tubuh anjing. Predileksi yang paling disukai caplak adalah leher, sela-sela jari, dan bagian dalam
telinga (Hadi dan Soviana 2010).Caplak dapat menjadi vektor penular berbagai penyakit yang
disebabkan oleh virus, bakteri, rickettsia, dan protozoa.
Pinjal yang sering ditemukan pada anjing adalah Ctenocephalides canis dan
Ctenocephalides felis. Pinjal berada pada permukaan tubuh inang saat membutuhkan makanan.
Gigitan pinjal dapat mengakibatkan flea allergic dermatitis. Selain itu, pinjal berperan sebagai
vektor penyakit plague dan inang antara cacing Dipylidium caninum (Eisen et al. 2008; Hadi dan
Soviana 2010). Kutu yang sering ditemukan pada anjing adalah Trichodectes canis. Kutu ini
sebagai inang antara cacing Dipylidium caninum untuk menularkan ke manusia. Jenis ektoparasit
tersebut banyak ditemukan di klinik, tempat penitipan anjing, dan kennel. Tempat penitipan anjing
dapat menjadi tempat yang berisiko dalam penyebaran ektoparasit. Tempat penitipan anjing
menjadi alternative pemilik jika mereka terlalu sibuk sehingga takut tidak dapat
mengurusnya.Populasi ektoparasit yang sedikit tidak terlalu mengganggu hewan. Namun, bila
terus berkembang biak dan jumlahnya bertambah banyak maka hewan akan terlihat terganggu.
Upaya penanggulangan ektoparasit yang sering dan mudah dilakukan adalah sanitasi
lingkungan dan penggunaan bahan kimawi (insektisida). Hal ini dikarenakan biaya yang tidak
terlalu mahal dan cara aplikasinya yang relative mudah. Pencabutan ektoparasit satu-persatu
merupakan cara yang sering dilakukan karena tidak butuh biaya, namun hal ini dirasa kurang
efektif dan efisien apalagi bila infestasi ektoparasit cukup banyak. Belum banyak laporan kasus
mengenai ektoparasit pada anjing. Infestasi ektoparasit penting untuk dilaporkan sehingga
prevalensi maupun penyebaran ektoparasit dapat terlihat.
TINJAUAN PUSTAKA

1. Kutu
Kutu merupakan serangga ektoparasit yang bersifat obligat dan memiliki bentuk
tubuh pipih dorsoventral dengan ukuran antara 1–6 mm. Menurut Hadi dan Soviana (2010)
jenis kutu yang menyerang anjing di Indonesia ada 2, yaitu Heterodoxus longitarsus dan
Trichodectes canis. T. canis adalah kutu yang paling sering ditemukan pada anjing yang
menyebabkan pruritus dan juga menyebarkan patogen seperti Dipylidium caninum. Kedua
kutu tersebut memiliki tipe mulut pengigit. Kutu berukuran besar, seluruh tubuhnya
ditumbuhi oleh rambut lebat dan tebal berukuran sedang sampai panjang.Antenanya
tersusun oleh 4 segmen, pada kutu betina ditemukan gonopods (alat kelamin luar). Bentuk
tubuh kutu jenis ini pendek, membulat, berwarna kekuningan, kepalanya membulat, dan
antenanya tersusun oleh 3 segmen. Pada ujung kaki ditemukan sebuah cakar, abdomen
ditemukan spirakel pada segmen 2–6, dan banyak bulu setae berukuran panjang.

Gambar 1. Trichodectes canis


 Klasifikasi dan Morfologi
Kutu anjing (T. canis) diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Phthiraptera (Mallophaga)
Sub ordo : Ischnocera
Famili : Trichodectidae
Genus : Trichodectes
Spesies : Trichodectes canis
 Siklus Hidup T. canis
Kutu mengalami metamorfosis tidak sempurna yang dimulai dari telur,nimfa instar
pertama sampai ketiga kemudian dewasa. Telur yang dihasilkan kutu betina dewasa
berjumlah 10–300 selama hidupnya dengan ukuran 1–2 mm,berbentuk oval, berwarna
putih, dan beberapa jenis telur dilengkapi operkulum.Telur akan menetas menjadi nimfa
setelah 5–18 hari. Warna nimfa dan kutu dewasa putih, makin tua akan menjadi gelap.
Kutu dewasa dapat hidup 10 hari sampai beberapa bulan (Hadi dan Soviana 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Dharmojono. 2001. Kapita Selekta Kedokteran veteriner : Hewan kecil. Jakarta
(ID): Pustaka Populer Obor.

Hadi UK, Rusli VL. 2006. Infestasi caplak anjing Rhipicephalus sanguineus
(Parasitiformes: Ixodidae) di daerah Kota Bogor. J Med Vet Indones.
10(2):55–60.
Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit: Pengenalan, Identifikasi, dan
Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr.

Anda mungkin juga menyukai