Anda di halaman 1dari 4

Buku Sang patriot ditulis dengan alur maju mundur, yang makin membuat penasaran pembacanya.

Penulis menuturkan dalam 25 episode. Prolog yang dramatik telah berhasil mengikat pembaca untuk
terus melalap bagian demi bagian.

Cerita berawal dari legenda Calon Arang dan kampung Gurah yang nantinya menjadi tempat masa kecil
Sroedji bersama keenam saudaranya. Sejak kecil, semesta seakan mendukung Sroedji untuk lebih
“terlihat” dibanding saudaranya yang lain.Terlahir tampan dengan kecerdasan, cinta belajar dan karisma
kepribadiannya, menjadikan jalan pendidikan yang seakan mustahil pada masa itu, menjadi rejekinya.

Pernikahannya dengan Rukmini adalah bagian dari taqdir Sroedji, yang menjadi Mantri Malaria di Rumah
Sakit Umum Kreongan. Rukmini perempuan pintar yang sangat ingin menjadi ahli hukum ini, telah
menjadi pendamping setia yang selalu menyokong langkah Sroedji. Termasuk saat Sroedji ingin
mengikuti rekrutmen sebagai tentara PETA.

“Kau punya mimpi jadi tentara agar dapat membaktikan tenagamu kepada rakyat banyak. Mungkin inilah
saat yang tepat untuk mewujudkannya....” (hal.47).

Menjadi ‘kadet’ Peta adalah gerbang untuk Sroedji memasuki perjuangan yang seakan tak
berkesudahan. Membentuk BKR di Besuki, terlibat dalam pertempuran Surabaya, menahan Agresi
Militer I hingga Wingate Action.

Agresi militer I Credit

Kiprah Brigade Damar Wulan telah menjadikan Belanda kalang kabut dan gelap mata, hingga membuat
berbagai makar untuk menghabisi komandannya, Letkol Sroedji. Istri mana yang tak remuk hati jika
mengetahui kepala suaminya dihargai 1000 gulden, hidup atau mati. Namun tidak dengan Rukmini, ia
justru gusar, marah saat membaca selebaran suaminya sebagai buron.

“Selebaran ini bukti keberhasilanmu memimpin gerilya. Belanda kewalahan”

Rukmini juga terharu mengetahui suaminya masih hidup (hal. 177).


Irma Devita sebagai cucu perempuan, seakan masuk dalam jiwa Rukmini dalam menuturkan sudut
pandang seorang istri. Rasa cinta, kekaguman, rindu dan kegelisahan teramu dengan manis. Seperti saat
harus berjalan kaki dalam keadaan hamil tua dari Jember-Madiun-Kediri.

Dokpri, halaman 125.

Perjalanan berat penuh teror rasa takut dalam minimnya perbekalan berbilang bulan, digambarkan
sempat mengguncang semangat Rukmini. Akhirnya dengan bujukan Rustamaji, sang adik, Rukmini
berhasil bangkit dari kelelahannya yang sangat saat mengingat anak-anaknya Cuk, Pom dan Tuti.

Bagaimana Sroedji menyusun strategi dalam situasi yang sulit, barikade Belanda, kekurangan
persenjataan dan perbekalan makanan. Siapa tokoh antagonis, siapa sahabat sejatinya, hingga
bagaimana beliau menemui syahidnya...selengkapnya anda cari jawaban dalam novel Sang Patriot.

Melihat foto jenazah Alm. Letkol Sroedji, membuatku merinding teringat janji Allah, bahwa tubuh para
syuhada tetap terjaga. Betapa tidak, mendapatkan gambaran bahwa sejak kematiannya, Letkol Sroedji
telah diseret sepanjang puluhan kilometer dan mendapat banyak luka tusukan bayonet. Lalu diabaikan di
terik matahari selama 2 hari. Bahkan tulang kepalanya retak serta jarinya tak utuh lagi...namun dalam
foto, jenazah itu walau terlihat bengkak, nampak cukup ‘bersih’kulitnya.

Dokpri

Irma menyempurnakan haru biru pembaca dengan dua puisi. Karyanya yang berjudul: Sajak Sang
Pejuang dan karya bundanya yang berjudul Bapak.

Saya nukilkan bagian akhir puisi bundanya (hal. 165):

Bapak
.....

Hanya dari mulut ibu, kami mengenal sosokmu yang gagah, sabar dan penyayang

Menurut ibu,

Engkaulan suami pilihan surga baginya,

Itulah mengapa,

Ibu memutuskan untuk tidak menukar cintanya kepadamu

Dengan cinta yang baru,

Hingga akhir hidupnya

Sekarang aku sudah mulai menua, bapak...

Sudah mulai kufahami arti kehidupan yang engkau wariskan kepadaku

Teladan yang sama akan kuwariskan pula pada anak cucuku,

Tentang kasih pengabdian tanpa syarat

Dan kecintaan yang besar terhadap bangsa dan keluarga.

***

Apakah menjadi cucu pejuang itu suatu keberuntungan?

Tidak jika gagal mewarisi semangat kepahlawanannya. Namun Irma Devita adalah satu yang beruntung,
terbukti dengan semangat juangnya untuk menguak sejarah sang kakek dan menuliskan ulang sekalipun
dengan bersusah payah dalam mengumpulkan bahan: Membaca 25 buku sejarah, wawancara panjang,
dan mengejar arsip hingga ke data intelejen dan arsip militer Belanda.
Sungguh, Indonesia butuh lebih banyak lagi Irma-Irma lain, generasi muda yang mewarisi semangat cinta
bangsa, untuk lebih banyak lagi menggali sejarah para pahlawan yang belum terangkat. Agar sejarah
besar bangsa ini dapat ditulis ulang dengan utuh dan lebih adil.

Anda mungkin juga menyukai