Asisten Kemal :
Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa
Tengah, tepatnya di daerah selatan Jawa Tengah yang langsung berbatasan dengan Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Secara administrasi, Kabupaten Magelang dibagi menjadi 21
kecamatan, dengan jumlah desa sebanyak 367 desa dan 5 kelurahan dan beribu kota di Kota
Mungkid. 21 kecamatan tersebut beserta luas wilayahnya disajikan pada grafik berikut
Grafik 3.1: Grafik luas kecamatan di Kabupaten Magelang (Dinkes Kab Magelang,2016)
Grafik 3.4: Komposisi Penduduk Kabupaten Magelang (BPS Kabupaten Magelang, 2016)
Pelaksanaan kegiatan kesehatan di Kabupaten Magelang berpusat di Dinas Kesehatan
Kabupaten Magelang yang berada di Kota Mungkid. Pelayanan kesehatan primer dilakukan di
pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang ada di setiap kecamatan. Setiap kecamatan
memiliki satu unit puskesmas (kecuali di Grabag, Kajoran, Mertoyudan, Muntilan, Salaman,
Sawangan, dan Secang yang memiliki dua unit puskesmas) ditambah satu puskesmas yang ada di
Kota Mungkid. Ini berarti Kabupaten Magelang memiliki total 29 unit puskesmas yang dibawahi
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang.
Kecamatan Mertoyudan merupakan salah satu dari total 21 kecamatan yang berada di
Kabupaten Magelang. Luas total kecamatan ini adalah 45,35 km2. Jumlah penduduk di Kecamatan
Mertoyudan kurang lebih sekitar 114.212 jiwa dengan kepadatan penduduk 2518 jiwa per km2.
Penduduk Kecamatan Mertoyudan merupakan penduduk dengan jumlah terbesar se-Kabupaten
Magelang. Adapun Kecamatan Mertoyudan secara detail digambarkan pada peta dibawah ini.
Gambar 4, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang
Puskesmas Mertoyudan I merupakan satu diantara kedua puskesmas yang telah disebutkan
sebelumnya. Lokasi puskesmas ini ada di Jalan Bambang Soegeng km 5 Mertoyudan, Kabupaten
Magelang. Lokasi Puskesmas Mertoyudan I ini sangat mudah dicapai karena berada di jalan lintas
antara Magelang, Jawa Tengah dengan Sleman, DIY. Puskesmas Mertoyudan I memiliki luas
wilayah kerja sebesar 19,6 km2, meliputi kira-kira 43 persen dari wilayah keseluruhan Kecamatan
Mertoyudan. Adapun wilayah-wilayah yang dilingkupi wilayah kerja Puskesmas Mertoyudan I
meliputi lima desa dan satu komplek militer. Kelima desa tersebut meliputi Desa Banyurojo
dengan 5 dusun, Desa Mertoyudan dengan 12 dusun, Desa Sumberrejo dengan 10 dusun, Desa
Danurejo dengan 13 dusun, dan Desa Donorojo dengan 13 dusun. Sedangkan satu komplek militer
yang menjadi lingkup wilayah kerja adalah Akademi Militer (Akmil) yang letaknya kurang lebih
5 km dari Puskesmas Mertoyudan I.
Sebelumnya, puskesmas Mertoyudan I adalah lembaga non BLUD, lebih tepatnya Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Status BLUD sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan
Presiden (Perpres) No 32 Tahun 2014 mengenai BLUD. Perubahan status dari non BLUD menjadi
BLUD ini didasari dengan tidak mampunya Puskesmas memakai dana kapitasi dari BPJS. Akan
tetapi, solusi Perpres ini hanya merupakan solusi sementara. Oleh karena itu, Kabupaten Magelang
menyegerakan perubahan status Puskesmas dari yang sebelumnya adalah UPTD menjadi BLUD.
Akan tetapi, mengingat Kabupaten Magelang belum memiliki peraturan dan kesiapan untuk status
BLUD, maka status BLUD akan ditetapkan secara bertahap.
Mulai dari tahun 2015, Puskesmas Mertoyudan I sudah dipersiapkan untuk mengubah
statusnya dari UPTD menjadi BLUD. Saat 2015 itu, status Puskesmas Mertoyudan I belumlah
menjadi BLUD, melainkan masih UPTD. Barulah pada 2016 dan 2017 status BLUD bertahap bagi
Puskesmas Mertoyudan I dimulai. Puskesmas Mertoyudan I pada saat itu sudah bisa memakai
dana kapitasi BPJS. Akan tetapi, pengaturan keuangannya masih diatur oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten Magelang. Barulah pada 2018 Puskesmas Mertoyudan I memperoleh status sebagai
BLUD penuh. Adapun perubahan kewenangan Puskesmas Mertoyudan I dari sebelumnya non
BLUD menjadi BLUD adalah Puskesmas Mertoyudan I memiliki kewenangan penuhuntuk
mengatur sendiri keuangan mereka. Adapun detail perubahan terkait perubahan manajemen
keuangan akan dijelaskan lebih lanjut pada subbab 4.2.2 Dinamika Anggaran Puskesmas
Mertoyudan I.
4.2. Kebijakan dan Dinamika Penganggaran Kesehatan dan SPM di Puskesmas Mertoyudan I
Sumber kebjakan hukum yang pertama adalah Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2014
mengenai status BLUD. Status BLUD ini dimunculkan karena Puskesmas tak mampu memakai
anggaran dari BPJS berupa dana kapitasi. Dengan adanya status BLUD pada Puskesmas, mereka
dapat mengatur keadaan keuangan mereka sendiri. Dalam hal ini, tidak hanya anggaran saja,
melainkan sampai perencanaan dan realisasinya menyesuaikan sendiri dengan kebutuhan
Puskesmas
Sumber kebijakan yang digunakan dalam mengatur anggaran berikutnya adalah Permenkes
No 21 Tahun 2016 mengenai dana kapitasi BPJS. Dalam peraturan ini, salah satu dana yang akan
dipakai dalam pelaksanaan puskesmas adalah dana kapitasi dari BPJS. Dana kapitasi ini dihitung
dengan jumlah penduduk dikalikan harga per orang yang ditetapkan. Di dalam peraturan tersebut,
dijelaskan bahwa dana kapitasi adalah dana yang diberikan dari BPJS kepada puskesmas tiap
bulannya, dengan pengaturan yang sedemikian rupa. Uang kapitasi ini akan dipakai untuk
membayar jasa pelayanan serta operasi puskesmas lainnya misalnya pemeliharaan, pemenuhan
ATK, dan belanja modal.
“Sebenarnya sih sama aja sih dik, gak ada bedanya dari sebelum JKN dan sesudah JKN dik. Bedanya cuma
namanya aja dik. Jadi dulu kayak namanya Jamkesmas, Askes sekarang digabung jadi BPJS Kesehatan di JKN gitu
dik. Nah dari daerah juga ada yang namanya Jamkesda yang sekarang masih ada. Pada dasarnya sih sama aja dik.
Cuma perubahan nama-nama itu aja yang membedakannya dik. Justru yang beda ada pada pengelolaan
anggarannya seperti yang saya sebutkan tadi itu dik.” K, 276-294
Pada masa sebelum BLUD, puskesmas menerima dana dari sejumlah sumber.Sumber itu
kebanyakan merupakan sumber dari pemerintah. Sumber-sumber itu meliputi Jamkesmas, Askes,
Jamkesda dan Jampersal. Selain itu, ada sumber lain seperti sumber pasien umum (Out of pocket),
dan lain-lain yang sah (retribusi parkir) (Permenkes No 75 Tahun 2014).
Terkait dengan perencanaan dan pelaksanaan anggaran, puskesmas merupakan pelaksana Rencana
Kegiatan Anggaran (RKA). RKA tersebut merupakan rencana yang dibuat oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten Magelang. Akan tetapi, puskesmas juga dapat mengajukan kebutuhan mereka sesuai
yang dibutuhkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang. Rencana Kegiatan Anggaran
(RKA) yang dibuat oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang yang sifatnya rigid (kaku). Hal ini
berdampak pada ketidaksesuaian kebutuhan puskesmas dan rencana anggaran Dinkes sehingga
pemakaian anggaran dapat dikatakan berpotensi tidak tepat sasaran.
“Jadi kalau sebelum BLUD kan rencana kegiatan anggaran (RKA) itu kan dibuatkan Dinas Kesehatan ya. Nah lalu
RKA ini kan nanti dilaksanakan oleh puskesmas dik. Jadi puskesmas hanya sebagai pelaksana kegiatan.” K,216-
218
“Nah bedanya RKA dari Dinas Kesehatan itu dia lebih kaku ya dik, kalau harus A ya A, B ya B gitu, rigid istilahnya
dik” K, 231-234.
“Nah untuk Kasda, setorannya dilakukan saat puskesmas sedang dalam BLUD bertahap. Sekarang, puskesmas
memiliki hak penuh anggarannya. Bentuk kembalinya ke Puskesmas nanti yaa macam-macam ya...dalam bentuk
alat kesehatan misalnya, yaa disesuaikan dengan RKA yang ada begitu. Jadi ada rencana pemakaian 10% setoran
itu yang juga dibuat oleh dinas gitu. Jadi yaa misalnya untuk beli alat kesehatan misalnya nominalnya sekian. Nanti
alkesnya dikembalikan ke puskesmas, kayak kita yang punya uang, tapi dinas yang membelikan dan diberi ke
Puskesmas, sesuai dengan perencanaan” K, 332-351
Seperti yang disampaikan oleh Kepala Puskesmas Mertoyudan I diatas, uang setoran ke Kasda
merupakan upaya untuk pemenuhan usulan kebutuhan puskesmas seperti yang disebutkan di
bagian sebelumnya. Uang 10 persen ini nanti akan dikembalikan kepada Puskesmas dalam bentuk
yang bermacam-macam, menyesuaikan usulan yang diberikan puskesmas sebelumnya.
Kekurangannya adalah waktu yang dibutuhkan untuk kembalinya uang ini membutuhkan waktu
yang lebih lama menyesuaikan keadaannya.
Pada masa BLUD sekarang, sumber anggaran yang sebelumnya adalah Jamkesmas dan Askes,
dijadikan satu menjadi dana kapitasi BPJS. Sedangkan sumber umum tetap menjadi sumber
pemasukan. Di sisi lain, selain retribusi parkir, terdapat sumber tambahan yaitu jasa giro. Jasa giro
merupakan jasa penyimpanan uang dari bank. Semenjak masuknya status BLUD ke Puskesmas,
merekapun memiliki rekening bank masing-masing. Dengan adanya rekening bank ini, puskesmas
mendapatkan bonus yang merupakan jasa giro.
“Nah kalau pas BLUD, puskesmas membuat RKA mereka masing-masing juga. Tapi namanya RKA ini namanya
sekarang jadi RBA (Rencana Bisnis Anggaran), ini cuma ganti nama aja (ganti terminologi), tapi intinya tetap sama
dengan RKA” K, 216-230
Di masa Puskesmas sebagai BLUD sekarang, Puskesmas sudah memiliki RKA sendiri, atau
sekarang disebut sebagai Rencana Bisnis Anggaran (RBA). Berbeda dengan RKA Dinas
Kesehatan, RBA ini akan merinci sejumlah kebutuhan puskesmas dan puskesmas menjalankan
sendiri sesuai apa yang ada di RBA puskesmas. Puskesmas berhak menentukan sendiri apa yang
mereka butuhkan untuk menjalankan program. Kelebihannya adalah puskesmas bisa memenuhi
apa yang benar-benar dibutuhkan oleh pihak puskesmas sendiri sehingga anggaran bisa tepat
sasaran. Keterangan-keterangan tersebut dijelaskan oleh Kepala Puskesmas Mertoyudan I.
“Dengan adanya RBA ini dik, puskesmas bisa melaksanakan sendiri kebutuhannya, sesuai yang dibutuhkan” K,
251-256
Berbeda dengan status Puskesmas yang sekarang adalah BLUD, puskesmas tidak lagi menyetor
10 persen uang ke Pemkab. Keseluruhan pendapatan puskesmas sekarang bisa diambil seluruhnya
oleh puskesmas dan dibelanjakan sesuai kebutuhan puskesmas sendiri. Jadi, puskesmas dapat
menikmati seluruh pendapatan mereka untuk digunakan dalam rangka memenuhi SPM Kesehatan.
Kembalinya dalam bentuk barang misalnya juga tergantung kebutuhan Puskesmas sendiri.
Puskesmas BLUD telah mendapatkan dampak positif bagi puskesmas sendiri. Hal ini dikatakan
oleh Kepala Puskesmas Mertoyudan I yang mengatakan bahwa kemajuan puskesmas sangat
tampak saat BLUD. Kemampuan puskesmas dalam mengatur sendiri anggaran dan kebutuhan
menjadi hal yang sangat diharapkan puskesmas. Hal ini tercantum dari dialog dibawah ini.
“...sehingga puskesmas sekarang sudah lebih maju di era JKN ini dik. Pokoknya signifikan sekali lah, puskesmas
semakin maju dan inovatif dengan menyesuaikan kebutuhan puskesmas sendiri ” K, 264-270
Sesuai dengan teori oleh Ghufron (2008) yang menyatakan bahwa anggaran kesehatan dapat dari
pemerintah dan bukan pemerintah (swasta, dan sumber lain yang sah), maka Puskesmas
Mertoyudan I pun juga memiliki sumber yang sedemikian rupa. Hanya saja, sampai sekarang,
sumber swasta belum ada yang masuk puskesmas. Dengan demikian, puskesmas memiliki sumber
pemerintah dan sumber lain yang sah. Sumber pemerintahan yaitu jaminan kesehatan Dan Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK). Sedangkan sumber umumnya berupa pasien umum, retribusi, dan
jasa giro. Di Puskesmas Mertoyudan I ini, sumber anggaran puskesmas terbagi dua, yaitu sumber
secara umum dan BOK.
Menurut Kepala Puskesmas Mertoyudan I, ada beberapa sumber yang dapat dijadikan sebagai
sumber anggaran. Sumber-sumber anggaran itu berperan besar terhadap kelangsungan Puskesmas
Mertoyudan I. Akan tetapi, ada beberapa sumber yang tidak menjadi pendapatan, melainkan
sebagai perantara. Puskesmas sebagai perantara uang berarti puskesmas hanya akan melewatkan
uang untuk disalurkan ke penerima yang berhak sesuai ketentuan . Berikut adalah penjelasan dari
sumber-sumber tersebut:
a. Sumber umum, atau bisa juga disebut sebagai out of pocket pay, merupakan sumber dimana
pasien membayar sendiri biaya pengobatan dan tindakan. Pasien umum ini tidak membayar
melalui BPJS, tetapi mereka memakai uang mereka sendiri untuk membayar tarif yang
ditetapkan puskesmas. Biaya yang dibebankan kepada pasien umum ini meliputi biaya
tindakan medis, biaya administrasi, pelayanan surat keterangan sehat atau sakit (bila pasien
membutuhkan), dan biaya laboratorium. Persentase pembayaran pasien umum ini sangat
kecil menyumbang anggaran Puskesmas Mertoyudan I, hanya mencakup 5-10 persen dari
total pendapatan yang diraih tiap bulannya.
b. Sumber kapitasi, merupakan sumber dimana jaminan kesehatan, dalam hal ini BPJS
membayar berdasarkan per anggota BPJS yang terdaftar di Puskesmas Mertoyudan I.
Menurut Kepala Puskesmas, per anggota BPJS di wilayah Puskesmas Mertoyudan I
bernilai Rp. 6.500,00. Dana kapitasi ini menyumbang anggaran Puskesmas Mertoyudan I
dengan nilai yang paling besar, sekitar 85-90 persen keseluruhan pendapatan tiap bulannya.
c. Sumber non kapitasi, merupakan sumber dimana sumber ini tidak masuk ke dalam kapitasi
BPJS, dalam hal ini adalah kegiatan persalinan. Kegiatan persalinan ini masih dibagi dua,
yaitu persalinan jam kerja (JK), dalam hal ini jam kerja Puskesmas Mertoyudan I adalah
pukul 07.00-14.00 WIB setiap hari (Minggu dan hari besar tutup), serta persalinan diluar
jam kerja (LJK). Uang non kapitasi ini dibayarkan oleh BPJS, dengan frekuensi
menyesuaikan situasi dan kondisi atau tidak tiap bulan (bisa dijadikan satu dalam waktu
tertentu). Sebagai catatan, uang JK masuk ke pendapatan Puskesmas Mertoyudan I, sedang
uang LJK tidak masuk pendapatan, melainkan akan disalurkan ke bidan yang melakukan
asuhan persalinan di luar jam kerja. Adapun nilainya cukup kecil, yakni hanya sekitar 1
persen dari keseluruhan pemasukan.
d. Sumber program Prolanis, merupakan dana yang diberikan BPJS untuk menjalankan
program pengelolaan penyakit kronis (Prolanis). Uang Prolanis ini tidak masuk ke
pendapatan puskesmas, melainkan disalurkan langsung ke kegiatan prolanis. Kegiatannya
bisa mencakup senam sehat, penyediaan makanan dan minuman dengan menu Germas,
pemeriksaan kesehatan, dan sebagainya. Uang Prolanis pun juga tidak dibayar perbulan,
melainkan melihat situasinya.
e. Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) merupakan sumber jaminan kesehatan yang berasal
dari Dinkes Kabupaten Magelang. Peserta yang termasuk Jamkesda ini belum masuk ke
BPJS. Jumlah pemasukan dari Jamkesda ini sangat sedikit, yaitu sekitar 1 persen saja.
Pembayarannya pun tidak rutin per bulan, melainkan juga melihat situasi dan kondisi
f. Sumber lain yang sah dan tidak mengikat, sesuai dengan UU No 75 tahun 2014, yang
meliputi retribusi parkir dan jasa giro. Retribusi parkir dihargai Rp.2000,00 untuk motor
dan Rp.5000,00 untuk mobil. Jasa giro merupakan keuntungan yang diperoleh dari bank
setelah menabung beberapa lama. Jasa giro ini baru muncul saat dimulainya transisi
puskesmas menjadi BLUD sampai BLUD penuh sekarang, seiring dengan adanya rekening
sendiri untuk Puskesmas Mertoyudan I. Jasa giro ini selalu masuk ke pendapatan
puskesmas tiap bulannya.
g. Sisa Belanja, merupakan uang sisa belanja yang dilaporkan oleh bendahara pemasukan dan
pengeluaran Puskesmas Mertoyudan I. Sisa belanja ini akan diakumulasi ke pendapatan
Puskesmas seluruhnya.
Uang dari penjumlahan dana umum, kapitasi, uang JK, dan Jamkesda disatukan menjadi
pemasukan dari jasa pelayanan. Uang dari parkir dan giro masuk ke pendapatan lain-lain.
Sedangkan uang dari LJK, Prolanis, dan sisa belanja dimasukkan menjadi dana bukan pendapatan.
Penjumlahan ketiganya menjadi pendapatan Puskesmas Mertoyudan I secara keseluruhan.
Sesuai dngan Permenkes No 71 Tahun 2016 yang mengatur masalah Bantuan Operasional
Kesehatan (BOK), dana ini digunakan untuk membantu pelayanan puskesmas dalam menjalani
fungsinya, yaitu pelaksanaan kegiatan promotif dan preventif. Dana BOK ini diterima Puskesmas
Mertoyudan I dari pusat yang dialirkan melalui APBD Kabupaten Magelang. Dalam hal ini, dana
BOK adalah dana yang digunakan untuk memenuhi SPM yang diwujudkan dalam program-
program didalamnya.
Selain uang BOK, uang dari kapitasi JKN, dalam hal ini kapitasi BPJS yang sudah dijelaskan
sebelumnya juga dipakai. Hanya saja uang JKN lebih banyak dioperasikan menjadi anggaran
puskesmas dan sedikit bagian digunakan untuk menunjang dana BOK. Dana BOK dalam
penggunaannya hanya boleh difokuskan pada pemenuhan program dan SPM serta menjalankan
fungsi puskesmas sebagai faskes pelayanan primer. Dana BOK tidak boleh dijadikan anggaran
puskesmas. Sebaliknya, anggaran puskesmas diperbolehkan untuk menyokong dana BOK.
Selama 3 tahun belakangan ini, Puskesmas Mertoyudan I telah menerima BOK. Akan tetapi, tren
BOK ini nilainya selalu menurun. Bahkan untuk tahun 2019, BOK yang akan diterima akan turun
lagi. Hal ini dikarenakan kenaikan pemasukan uang kapitasi di puskesmas sehingga Puskesmas
Mertoyudan I mengalami penurunan BOK. Akan tetapi, hal ini tak dianggap mengganggu karena
kombinasi BOK dan kapitasi saat dihitung sudah mencukupi kemampuan puskesmas dalam
menjalankan programnya. Namun, pihak Puskesmas tetap membuka diri apabila ada bantuan-
bantuan dari pihak mana saja, baik dari pihak pemerintah seperti pemkab, maupun pihak swasta
(sampai hari ini, swasta belum ada).
Grafik 3.6 Pemasukan BOK Puskesmas Mertoyudan I
Hendarwan (2015) menyatakan bahwa SPM Kesehatan merupakan target yang harus
dipenuhi secara minimal oleh faskes yang bersangkutan. Adapun pelaksanaannya dapat mengacu
pada UU No. 43 Tahun 2016. Akan tetapi, standar pelayanan minimal kesehatan (SPM Kes) yang
dipakai di Puskesmas Mertoyudan I adalah SPM Kes dari Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang
Tahun 2015 yang merujuk pada Perbup No 4 Tahun 2015 dan SPM Kes dari Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2016 yang merujuk pada Permenkes No 43 Tahun 2016.
Pemakaian kedua SPM ini dikarenakan menurut Kepala Puskesmas Mertoyudan I, puskesmas
masih menjalani masa transisi karena belum ada kepastian mengenai standar mana yang akan
dipakai. SPM Kes yang ada di Perbup No 4 Tahun 2015 memiliki 6 poin dengan sejumlah subpoin,
dimana SPM Kes yang ada di Permenkes No 43 Tahun 2016 memiliki 12 poin. Standar yang
dipakai menurut Kepala Puskesmas Mertoyudan I seperti dinyatakan sebagai berikut.
“Kalau lebih tepatnya sih...gimana ya...keduanya masih dipakai sih dik. Pelaksanaan kedua SPM mudahnya seperti
digabung yang lama dan baru. Kalau sampai akhir tahun ini belum ada kepastian, ya dua-duanya dipakai dulu.
Lebih tepatnya seperti transisi gitu.” K, 22-29
Dalam rangka memenuhi kedua SPM tersebut, Puskesmas Mertoyudan I harus menyiasati program
yang dijalankan. Hal ini disampaikan oleh Kepala Puskesmas Mertoyudan I yang juga mengatakan
bahwa pemenuhan SPM ini tidak perlu sampai dua kali kerja apabila kita mampu menyiasati
program-program yang dipakai untuk memenuhi SPM. Caranya adalah melakukan langkah
manajemen, yaitu perencanaan, persiapan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Pengambilan
langkah manajemen diharapkan mampu memenuhi target-target yang telah ditetapkan.
Mengingat waktu dan biaya juga merupakan salah satu pembatas pemenuhan SPM, maka ada
baiknya program-program tidak dijalankan sendiri-sendiri (Hendawan et.al., 2015). Untuk itu,
maka program yang berkaitan sebaiknya dijalankan secara bersama. Dengan adanya sinergitas
program, maka waktu dan biaya akan menjadi lebih efektif dan efisien. Untuk dapat
menggabungkan program, maka dibuatlah fasilitas berupa rapat lintas program dan lokakarya
mini. Rapat lintas program diharapkan mampu mempertemukan program-program yang berkaitan
sehingga para anggota bisa mengetahui program yang berkaitan. Sedangkan lokakarya mini
(lokmin) selain menjadi fasilitas perencanaan, juga menjadi fasilitas evaluasi dan perencanaan
baru. Jadi, apabila dua program yang semula sendiri-sendiri kerjanya, saat lokakarya mini dapat
disatukan untuk meningkatkan capaian SPM yang mungkin belum maksimal.
Setiap program yang dijalankan akan selalu dievaluasi tiap bulan lewat rapat bulanan program.
Rapat program bulanan ini dilakukan untuk mengetahui seberapa baik dan seberapa jauh
perjalanan program dan pencapaian SPM pada bulan itu. Setelah 3 bulan, diselenggarakan
lokakarya mini triwulanan untuk mengevaluasi kerja program dan pencapaian SPM selama 3
bulan. Adapun bahan yang bisa dijadikan evaluasi antara lain pendanaan, petugas, peralatan
penunjang, dan kesulitan pelaksanaan. Setiap masalah dan kekurangan yang ditemukan bisa
dievaluasi dan ditemukan solusinya.
SPM Kesehatan menurut Kepala Puskesmas Mertoyudan I dan juga diterangkan dalam
Hendarwan et.al. (2015) ialah standar yang dijadikan puskesmas dalam memberikan pelayanan
dan merencanakan program. Program-program yang dibuat adalah program-program yang
digunakan untuk memenuhi SPM yang ditetapkan. Program-program yang dibuat harus semuanya
dilaksanakan, dalam artian satu programpun tak boleh ada yang sama sekali tak berjalan. Hal ini
diterangkan oleh Kepala Puskesmas Mertoyudan I seperti berikut.
“...maka ada prinsip yang harus diingat, yaitu prinsip bahwa kegiatan puskesmas tidak boleh ada yang
ditinggalkan.”K, 480-484
Suatu program tentu membutuhkan banyak faktor pendukung, salah satunya adalah faktor
pendanaan (Kuzairi et.al., 2017). Pendanaan ini sifatnya adalah pendukung kegiatan yang akan
dilaksanakan. Adapun sebelum ditetapkan program, para penanggungjawab program mengusulkan
jenis program dan kebutuhannya. Semua program dan kebutuhan didaftarka beserta estimasi
pemakaian anggaran. Semua program dan estimasi tadi dipertimbangkan dengan hati-hati, dengan
tidak meninggalkan prinsip manajemen, efektif, dan efisien. Setiap program juga harus dipastikan
agar tidak ada yang tidak mendapatkan uang. Pengalokasian anggatan per bidang tiap tahunnya
sangat bervariasi, tergantung tren dan masalah yang dihadapi puskesmas. Oleh karena itu,
pengambilan langkah manajemen menjadi penting dalam menentukan prioritas program. Untuk
menghemat anggaran, kegiatan yang saling berkaitan dapat dijalankan bersama. Perlu diketahui,
anggaran hanya memiliki sifat suportif pada program. Sifat suportif ini tertuang pada pernyataan
Kepala Puskesmas seperti berikut.
“Dan juga, kegiatan harus tetap jalan meskipun anggaran kurang atau tidak ada. Anggaran sifatnya hanya
mensupport kegiatan.” K, 466-470
Sifat suportif ini berarti anggaran hanya mendukung kegiatan yang akan dijalankan. Anggaran
akan selalu dibagikan untuk pelaksanaan program. Sedangkan setiap program sifatnya wajib, baik
ada anggarannya maupun kurang anggarannya, atau bahkan tanpa anggaran. Untuk itu, maka ada
beberapa strategi yang bisa dipakai untuk menghadapi hal tersebut menurut Kepala Puskesmas
Mertoyudan I antara lain:
a. Menggabungkan dua program yang berkaitan. Solusi ini akan menggabungkan dua
program yang mungkin salah satunya atau keduanya sebelum digabung terdeteksi
mengalami kekurangan anggaran. Penggabungan program ini tentu tidak asal gabung,
melainkan apakah keduanya saling berkaitan atau tidak. Misalnya KIA dan Gizi.
b. Menambal dari uang BLUD. Dalam hal ini, uang BLUD, misalnya dari kapitasi JKN ada
yang masih bersisa atau belum terpakai, maka uang tersebut bisa dipakai untuk menambal
defisit yang dialami program.
c. Kerjasama dengan perangkat pemerintahan dan kegiatan masyarakat. Perangkat
pemerintahan ini dapat mulai dari kecamatan sampai desa. Adanya peran perangkat
pemerintahan akan memberikan legitimasi kepada puskesmas untuk menjalankan program
yang diperlukan bersama pemerintah. Puskesmas dapat masuk juga ke kegiatan
masyarakat, misalnya ibu-ibu PKK, arisan dan sebgainya.
Siasat-siasat yang disebutkan tadi bukan hanya dilakukan saat suatu program mengalami defisit
dan atau tidak ada anggaran. Program-program yang mungkin cukup anggarannya pun dapat
disiasati dengan dengan cara-cara di atas, tetapi tidak berlaku dengan tambalan dari anggaran
BLUD. Contohnya program pemberantasan sarang nyamuk (PSN) bisa diadakan di sela-sela acara
desa untuk ibu-ibu dan para pemuda (tidak harus acara besar)
Kedua SPM yang ditetapkan oleh kabupaten dan pusat memiliki sedikit perbedaan. Untuk SPM
Kabupaten Magelang, fokusnya adalah untuk memberantas masalah yang terkait dengan KIA.
Sebelas dari 15 indikator saja memiliki satu bahasan besar, yaitu KIA. SPM yang ada di Kabupaten
Magelang termasuk dalam SPM yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI atau dapat juga
dikatakan bahwa SPM dari pusat adalah hasil kompilasi dari beberapa SPM dan program-program
yang ada di Indonesia . Sebagai contoh, di Permenkes No 43 Tahun 2016 ada kriteria pelayanan
anak sekolah dasar, di SPM Kabupaten Magelang ada beberapa SPM yang masuk ke kriteria
pelayanan anak misalnya UCI (Universal Coverage Immunization), gizi buruk, dan sebagainya..
Grafik 3.7., Pemenuhan SPM Kabupaten Magelang oleh Puskesmas Mertoyudan I
Grafik 3.8. Pencapaian SPM UU No 43 Tahun 2016 oleh Puskesmas Mertoyudan I di tahun 2018
Dari pencapaian diatas, dapat dikatakan bahwa pencapaian SPM untuk KIA, baik dari SPM
Kabupaten maupun SPM Kemenkes memiliki pencapaian yang tinggi. Hal ini dapat dimengerti
dari fokus SPM yang ada di Kabupaten Magelang yang berfokus pada masalah umum berupa KIA
sehingga SPM Kemenkes ikut naik. Dengan fokus yang besar di KIA (40%), maka tidak
mengherankan bahwa Puskesmas Mertoyudan I menganggarkan KIA lebih besar dari lainnya
(detail ada pada grafik 3.10). Akan tetapi, terlihat juga bahwa cakupan untuk usia produktif, lansia,
UKM dan UKP, serta penemuan penyakit dapat dikatakan rendah meskipun Puskesmas
Mertoyudan I sudah menganggarkan dana UKM dan UKP sebesar 36% (detail ada pada grafik
3.10). Pencapaian ini tidak serta merta karena anggran saja. Tetapi diakui oleh Kepala Puskesmas
Mertoyudan I, masih banyak yang harus dievaluasi serta mencari beberapa faktor lain yang bisa
diperbaiki.
“Jadi misalnya ini ada yang jauh ni ya, untuk yang ini 26% untuk penderita DM misalnya, kan sangat jauh dari
target. Ini karena keadaan dari tenaga kesehatan sendiri yang terbatas. Kalau ingin meriksa semua orang DM kan
tenaganya juga harus banyak. Nanti juga dievaluasi kalau memang seperti itu. Nah kita kan punya dana dari
BLUD, nanti kita bisa rekruitmen tenaga kesehatan sama perawat untuk meningkatkan capaian ini. Termasuk juga
kita bisa menggerakkan masyarakat untuk kesini buat periksa, misal dengan penyuluhan. Untuk saat ini kita
memang butuh SDM. Uang sudah ada, tapi Perbup belum mendukung gitu untuk rekruitmen. Nanti kita perbaiki
semua pencapaiannya yang masih kurang. Harapannya kalau perbup untuk rekrutmen pegawai sudah jadi, bisa
mulai rekruitmen tenaga kesehatan” K, 643-648
Anggaran yang dipakai dalam pelaksanaan SPM, seperti yang disebutkan sebelumnya
adalah anggaran BOK dan anggaran kapitasi dari pusat yang dapat dibantu dengan dana BLUD
bila diperlukan. Anggaran BOK tadi mulai tahun 2019 ini alokasinya dibagi menjadi dua, yaitu
anggaran pendukung manajemen (5%) dan anggaran untuk kepentingan program, UKM, dan UKP
(95%). Sesuai dengan fungsinya, maka anggaran BOK ini yang bagian UKM dan UKP nya akan
dialokasikan untuk SPM kesehatan dan program-programnya.
Nah kalau SPM dan program kita ambilnya dari dua sumber, yaitu BOK dan dari kapitasi program JKN. Kalau
BOK itu jumlahnya banyak, tapi kalau dari kapitasi program JKN nilainya tidak terlalu besar, lebih difokuskan ke
operasional. Jadi uang BOK itu memiliki pemanfaatan yang berbeda dari anggaran puskesmas. Uang dari BOK
tentu dipakai untuk menjalankan semua program dan SPM, dan juga untuk menjalankan fungsi puskesmas yang
fokusnya pada promotif dan preventif” K, 394-407
Adapun penggunaan anggaran ini seperti yang ditegaskan sebelumnya adalah pendukung program,
tetapi bukan berarti program jalan tanpa anggaran. Kepala Puskesmas Mertoyudan I menegaskan
bahwa dukungan anggaran yang diberikan akan dikelola sepenuhnya oleh penanggung jawab
program dan dilaporkan setiap triwulanan dalam lokakarya mini. Dukungan anggaran yang
diberikan dari BOK, kapitasi JKN, dan BLUD menurut Kepala Puskesmas Mertoyudan I dapat
dikatakan cukup.
Total Alokasi Kasar untuk SPM Rp.250 Juta (Total BOK Rp.405 Juta)
Fokus puskesmas pada tahun 2018 adalah perbaikan KIA yang dirasa belum maksimal.
Oleh karena itu, 40% anggaran BOK digunakan untuk memperbaiki status KIA. Hasilnya pun
dapat dikatakan memuaskan meskipun bila mengikuti SPM dari Kemenkes belum memenuhi. Di
saat yang bersamaan, meskipun anggaran UKM dan UKP cukup tinggi, dengan selisih anggaran
dengan KIA hanya 4% lebih rendah, pencapaian UKM dan UKP untuk puskesmas justru rendah.
Hal ini nanti disebabkan oleh sejumlah faktor seperti masalah SDM yang detailnya akan dijelaskan
di bagian berikutnya. Desa Siaga merupkan program pembinaan kesehatan berkelanjutan untuk
masyarakat desa di daerah kerja Puskesmas Mertoyudan I. Program-program yang dicanangkan
meliputi desa UCI (Universal Coverage Immunization), cuci tangan pakai sabun (CTPS), sanitasi
terpadu berbasis masyarakat (STBM), perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), dan gerakan open
defecation free (ODF). Program ini merupakan program rutin puskesmas dengan penganggaran
rutin. Meskipun anggarannya tak terlalu besar, pencapaiannya pun cukup baik meskipun masih
banyak perbaikan yang dibutuhkan, terutama masalah UCI yang belum tercakup seluruhnya.
Lokakarya dan perencanaan merupakan SPM yang tercantum pada Perbup Magelang No 4 Tahun
2015. Perhitungan alokasi diatas belum ditambah dengan tambahan sarana. Sarana yang dimaksud
seperti leaflet, buku KIA, kartu PHBS, stiker, sarana promosi, dan sebagainya. Apabila dijumlah
dengan semua fasilitas tambahan, alokasi SPM berada di angka 300 juta rupiah.
Anggaran pun berpengaruh dalam pelaksanaan program, tetapi bukan faktor utama. Hal lain yang
sangat penting dan tak kalah penting dalam manajemen anggaran adalah sinergitas dan manajemen
program, baik sinergitas dan manajemen para penanggung jawab, sinergitas dan manajemen
anggaran, dan sinergitas dan manajemen waktu. Anggaran besar yang dialokasikan pada suatu
program belum tentu memberikan dampak yang positif. Oleh karena itu, sejumlah faktor akan
berperan penting mengenai bagaimana mengelola anggaran dan mengelola sumber-sumber daya
yang dimiliki puskesmas. Masih banyak faktor lain yang mendukung tercapainya target SPM yang
akan dijelaskan pada subbab selanjutnya
Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, pencapaian SPM tidak serta-merta terwujud
karena satu faktor saja. Fakor-faktor yang mempengaruhi pencapaian SPM ini harus saling
bersinergi (Hendarwan et.al., 2015). Apabila ada faktor yang mempermudah pencapaian, maka
faktor tersebut akan dipertahankan atau bila memungkinkan dapat ditingkatkan. Adapun faktor-
faktor penyulit harus diusahakan untuk dicari solusinya agar faktor tersebut dapat mendukung
pencapaian SPM.
Ada beberapa faktor yang juga mempengaruhi pencapaian SPM. Faktor-faktor yang yang
dimaksud antara lain:
Dalam pelaksanaan penelitian, ada beberapa temuan yang terkait dengan penganggaran
serta peran BLUD puskesmas di Kabupaten Magelang. Meskipun status BLUD di puskesmas telah
tetap, namun masih ditemukan beberapa hal yang seharusnya tidak dilakukan. Dalam hal ini, ada
temuan Pemkab melakukan sejumlah intervensi dan tindakan yang seharusnya tidak diperbolehkan
kepada BLUD puskesmas. Adapun hal yang diintervensi oleh Pemkab adalah terkait dengan
penganggaran dan dana BOK milik BLUD puskesmas.
Untuk dana BOK, Pemkab menetapkan bahwa sistem BOK adalah dengan sistem klaim.
Maksudnya, puskesmas melaksanakan dahulu semua program yang direncanakan dengan
kekuatan pendanaan yang ada, lalu ketika selesai, barulah dimintakan klaim sesuai dengan jumlah
dana yang habis dipakai oleh puskesmas. Sistem klaim ini diberlakukan karena menurut Pemkab
sistem ini bertujuan untuk mengatasi kemalasan pelaporan oleh satu atau dua pihak puskesmas.
Hal ini jelas tidak cocok dengan Permenkes No 71 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa
pemberian BOK diberi di awal tahun. Puskesmas-puskesmas yang memiliki kekuatan yang cukup
sebelum klaim BOK mungkin bisa menjalankan program dahulu, tetapi pasti tidak mampu lepas
dari jeratan utang dari banyak pihak. Misalkan saja utang tersebut dapat berasal dari utang makan
minum (mamin) dari penyedia makanan ringan atau katering, utang ATK dari toko penyedia ATK,
utang perbaikan dan perawatan dari bengkel, dan utang lain-lain. Kalaupun ada uang, itupun bisa
saja memakai uang pribadi dahulu, itupun kalau cukup. Dengan demikian, puskesmas berutang
bukan hanya dengan pihak lain, tetapi dengan orang yang uang pribadinya dipinjam dahulu. Hal
seperti ini sebenarnya tidak diperlukan, mengingat puskesmas adalah layanan publik di bidang
kesehatan yang memerlukan tunjangan dana agar bisa maksimal dalam memberikan pelayanan
kepada publik. Hal seperti kemalasan pelaporan tentu hanya satu atau dua puskesmas, sedangkan
28-27 puskesmas lainnya disiplin tentu tak dapat dijadikan alasan. Kemalasan ini jangan sampai
digeneralisasikan bahwa semua puskesmas itu malas melapor, tetapi perlu pembinaan intensif bagi
satu atau dua puskesmas yang malas atau sering terlambat melapor , atau bila perlu sampai metode
punishment apabila terus- menerus terjadi. Oleh karena itu, pihak pemkab dan puskesmas harus
sama-sama berkomitmen untuk memaksimalkan dan menggunakan anggaran BOK yang telah
diamanahkan untuk dapat menunjang pemenuhan SPM dan pelayanan publik.
BAB V
SIMPULAN
5.1. Simpulan
Dari sejumlah pembahasan yang kami dapatkan, dapat disimpulkan bahwa anggaran
memiliki peran penting dalam pencapaian SPM Kesehatan di Puskesmas Mertoyudan I Kabupaten
Magelang. Akan tetapi, anggaran bukan satu-satunya faktor yang dapat mendukung pencapaian
SPM di Puskesmas Mertoyudan I. Anggaran dalam pelaksanaan SPM memiliki sifat suportif.
Artinya anggaran ini hanya akan mendukung pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan
pencapaian SPM di Puskesmas Mertoyudan I. Akan tetapi, perlu diluruskan juga bahwa bukan
berarti kegiatan itu berjalan tanpa anggaran. Kegiatan yang dianggarkan memerlukan perencanaan
yang matang sehingga setidaknya dapat diperkirakan jumlah anggaran yang akan dianggarkan
pada program untuk pencapaian SPM.
Sumber anggaran untuk pelaksanaan SPM utamanya berasal dari BOK. Akan tetapi,
anggaran BOK bisa ditutup dengan anggaran BLUD milik Puskesmas. Besarnya anggaran BLUD
yang digunakan untuk menutup dana BOK bisa bervariasi tiap tahunnya, tergantung situasi
anggaran BOK dan program-program yang dicanangkan. Puskesmas memiliki kewenangan untuk
mengatur keuangan BOK dan BLUD sendiri, sesuai dengan statusnya sebagai BLUD.
Perlu ditegaskan, setiap indikator SPM tidak harus mendapat pembagian jatah anggaran
yang sama jumlahnya. Pembagian ini harus disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi oleh
puskesmas dalam jangka waktu satu tahun kedepan dengan melihat keadaan di tahun sebelumnya.
Sebagai contoh di Puskesmas Mertoyudan I, masalah KIA masih menjadi masalah yang perlu
diselesaikan, maka anggarannya bisa diberikan lebih banyak dari yang lain. Akan tetapi juga harus
diingat bahwa diusahakan semua program juga harus mendapatkan jatah anggaran. Jangan sampai
fokusnya di satu program, tetapi yang lain kurang atau bahkan tidak mendapatkan pendanaan.
Untuk pelaksanaan SPM, dana yang dipakai adalah dana BOK, tetapi bisa juga memakai dana
BLUD apabila dana BOK belum mencukupi.
Terkait dengan faktor pendukung, seperti yang dibahas sebelumnya, anggaran harus juga
didukung dengan banyak faktor lain. Faktor-faktor yang meningkatkan pencapaian SPM selain
anggaran ialah faktor manajemen, faktor BLUD, faktor motivasi SDM, faktor kompetensi SDM,
faktor partisipasi aktif masyarakat, dan faktor lintas sektoral. Faktor-faktor pendukung inilah yang
harus disinergikan bersama anggaran dalam upaya mencapai derajat SPM yang lebih baik. Bahkan,
beberapa faktor tersebut apabila dapat lebih ditingkatkan, maka akan jauh lebih baik. Sedangkan
faktor-faktor yang mengganggu pencapaian SPM antara lain faktor waktu dan tanggung jawab,
faktor jumlah SDM, faktor demografis, dan faktor target yang terlampau tinggi. Untuk faktor
waktu serta SDM, hal ini terkait dengan minimnya sosialisasi tentang perekrutan pegawai
pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) dalam PP No. 49 Tahun 2018 Pasal 2. Minimnya
sosialisasi tentang PP ini menyebabkan puskesmas menyangka mereka tidak dapat merekrut lebih
banyak tenaga tambahan, padahal sesungguhnya mampu. Akan tetapi, harus diingat bahwa aturan
turunan regional PP ini harus ada agar PP ini dapat dilaksanakan. Untuk faktor demografis, tentu
sangat sulit mengendalikannya karena berkaitan dengan keadaan penduduk sendiri. Untuk target
SPM, satu-satunya hal yg bisa dilakukan adalah perubahan standar dari Kementerian Kesehatan.
Perubahan ini terkait dengan capaian yang 100% pada semua indikator yang dirasa berat oleh
puskesmas.
5.2 Saran
Penelitian ini hanya dilakukan pada satu puskesmas saja. Oleh karena itu, dibutuhkan
penelitian lainnya yang menyelidiki tentang dukungan anggaran terhadap SPM Kesehatan di
puskesmas lainnya di Kabupaten Magelang. Selain itu, penelitian ini harus diperkuat dengan
penelitian di faktor lain selain anggaran. Misalnya penelitian mengenai faktor SDM, faktor
demografi, dan sebagainya. Atau apabila memungkinkan, dapat diperlukan penelitian lain dengan
lingkup se-Kabupaten Magelang.
Terkait dengan penyelewengan yang terjadi pada pembatasan jasa pelayanan dan klaim
BOK, Pemerintah Kabupaten Magelang harus memberikan perlindungan hukum kepada BLUD.
Selama ini, belum ada payung hukum turunan tentang perlindungan kepada BLUD. Permendagri
no 79 Tahun 2018 jelas tidak dapat terlaksana tanpa payung hukum turunan berupa perbup. Tidak
adanya payung hukum terhadap BLUD menyebabkan pelanggaran terhadap fungsi BLUD dan
keleluasaannya. Pemkab sebaiknya juga menghentikan sistem klaim dan beralih ke sistem
pemberian diawal agar pelaksanaan program dan usaha pencapaian SPM lebih maksimal. Dinas
Kesehatan Kabupaten Magelang diharapkan untuk selalu membimbing Puskesmas agar disiplin
dalam melaksanakan tugasnya dalam melayani masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Baskarada, Saša. 2014. Qualitative Case Study Guidelines. Qualitative report, 19 (40).
Creswell, J.W. 2013. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Dasmar, D dan, Jafar N., Studi Evaluasi Program Dana Bantuan Operasional Kesehatan Di
Kabupaten Luwu, Jurnal AKK, 2013, 2:1-7
Denzim, N.K. dan Lincoln, Y.S. 2011. The Sage Handbook of Qualitative Research 1.
Terjemahan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Dinas Kesehatan NTB, 2006, Modul Pelatihan dan Pendampingan Penyusunan District Health
Account Tahun 2006 -2007 di Kabupaten/Kota Provinsi Nusa Tenggara Barat, Mataram: Dinkes
NTB
Ghufron, Ali, 2008, Sistem Pembiayaan Nasional dan Penyusunan Anggaran Kesehatan,
Yogyakarta: UGM Press
Hendarwan H., Rosita, Suriani O., Analisis Implementasi Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan Kabupaten/Kota , Jurnal Ekologi Kesehatan, 2015, 14 (4): 367-380
Kuzairi, U., Yuswadi H., Budiharjo A., Patriadi H.B., Implementasi Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Pada Pelayanan Publik Bidang Pelayanan Kesehatan (Studi Kasus Pada Rumah
Sakit Umum Dr. H. Koesnadi Bondowoso), Politico Journal, 2017, 17(2): 1-21
Laksono, Agung Dwi dkk, 2010, Standar Pelayanan Minimal Kesehatan: Sebuah Panduan
Formulasi di Tingkat Puskesmas/Kecamatan, Surabaya: Health Advocacy
Mehrolhassani M.H., Jafari ., Zeinali J., Ansari M., Provincial health accounts in Kerman,
Iran: an evidence of a “mixed” healthcare financing system, International Journal of Health Policy
and Management, 2014, 2(2), 69–74
Organisation for Economic Co-operation and Development, 2011, Evaluating Budget Support:
Methodological Approach, Paris: OECD Development Assistance Committee
Poullier, Jean-Pierre dkk, 2011, National Health Accounts: Concepts, Data Sources And
Methodology, Jenewa: World Health Organization.
Oxfam IBIS Denmark, 2014, Toolbox for Budget Analysis Guide, Kopenhagen: IBIS
Peraturan Pemerintah No 49 Tahun 2018 Tentang Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja
(P3K), Jakarta: Pemerintah RI
Peraturan Presiden No 32 Tahun 2014 Tentang Badan Layanan Umum Daerah Puskesmas, Jakarta,
Kepresidenan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 79 Tahun 2018 Tentang Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD), Jakarta: Kemendagri
the Interviewing Experience of Novice Qualitative Researchers, The Qualitative Report, 2013, 18
(85), 1-17
Rajan, D. dkk. 2016, Budgetting for Health: Strategizing national health in the 21st century: a
handbook Chapter 8, Jenewa: World Health Organization
Saifuddin, 2007, Analisis Perencanaan Dan Penganggaran Program Kesehatan Ibu Dan Anak
Pada Puskesmas Di Kota Banjar Jawa Barat Tahun 2007. Masters thesis, Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro
Sitorus E., Wahyuni A., Analisis Pembiayaan Kesehatan Bersumber Pemerintah di Kota Serang
Tahun 2014 – 2016, Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia,2017, 6 (3) 138-148
Tauristiati, Delsi, 2016, Provincial Health Account (PHA) untuk Analisis Belanja Kegiatan
Kesehatan Provinsi, http://bappeda.jabarprov.go.id/7299-2/ , update tanggal 29 Agustus 2016,
diakses tanggal 5 September 2018
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Minimal Kesehatan, Jakarta:
Kemenkes RI
Lampiran 1
Data Sekunder: Data-data hardcopy/ softcopy anggaran, data-data pencapaian SPM, UU dan
Permenkes
Daftar pertanyaan untuk menggali masalah dukungan anggaran terhadap pencapaian SPM :
Bagaimana strategi pencapaian SPM di Puskesmas? Adakah regulasi atau instruksi khusus dari
Pemkab mengenai pencapaian SPM di Kab. Magelang, khususnya Puskesmas Mertoyudan I?
Mohon dijelaskan dari mana saja sumber anggaran Puskesmas Mertoyudan I? Dari pihak
pemerintahan saja kah? Apakah pihak-pihak swasta juga ada?
Bagaimana penerapan SPM di Puskesmas Mertoyudan I? Mudah atau sulit? Mengapa demikian?
Bagaimana upaya Puskesmas apabila terjadi defisit anggaran untuk pelaksanaan SPM?Apakah
defisit anggaran akan mempengaruhi pencapaian SPM? Bagaimana caranya?
Lampiran 2
Data Sekunder: Data-data hardcopy/ softcopy anggaran, data-data pencapaian SPM, UU dan
Permenkes
Daftar pertanyaan untuk menggali masalah dukungan anggaran terhadap pencapaian SPM :
2. Dari mana sumber sumber dana dan pengguna anggaran kesehatan dan SPM pada
khususnya?
5. Bagaimana dasar-dasar perencanaan dan perumusan anggaran Puskesmas scr umum dan
SPM Puskesmas Mertoyudan I? Apa yang menjadi pertimbangan?
6. Apa saja masalah yang muncul dalam perencanaan dan pelaksanaan? Mengapa
demikian? Bagaimana menanggulangi masalah tersebut?
9. Bagaimana rumusan yang baik dan realistis dalam pencapaian SPM dan targetnya?
10. Bagaimana menjaga agar anggaran cukup dan lebih realistis? Adakah upaya menambal
defisit apabila terjadi defisit anggaran?
Lampiran 3
Panduan Observasi di Puskesmas Mertoyudan I
Berikut ini adalah panduan yang dilakukan peneliti saat melakukan penelitian (observasi) di
Puskesmas Mertoyudan I
Mengamati dan mendokumentasikan pelaksanaan program SPM (beberapa program yang bisa
ditemui) di Puskesmas Mertoyudan 1.
Mencari identitas dan membuat janji wawancara dengan informan penelitian.
Menyimak penjelasan dan informasi dari para informan.
Merangkum informasi dari informan.
Mengamati dokumen dan database anggaran serta pencapaian SPM di Puskesmas Mertoyudan I.
Lampiran 4
Tabel Pencapaian SPM Puskesmas Mertoyudan I Tahun 2018 Menurut Perbup No 4 Tahun 2015
Lampiran 5
Tabel Pencapaian SPM Puskesmas Mertoyudan I Tahun 2018 Menurut UU No 43 Tahun 2016
Lampiran 6
Transkrip Narasumber
Situasi
Wawancara dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 16 Maret 2018 di ruang Kepala
Puskesmas Mertoyudan I. Narasumber mempersilakan peneliti untuk memulai inform consent dan
memberi penjelasan yang diperlukan. Narasumber bersedia diwawancarai. Wawancara dimulai
pada pukul 08.30 dan berakhir pada pukul 09.40. Hasil wawancara direkam dan dicatat peneliti.
Narasumber juga memberikan penjelasan secara tertulis di kertas untuk mempermudah penjelasan
informasi yang dibutuhkan.
K
15 Kalau lebih tepatnya sih...gimana
ya...keduanya masih dipakai sih dik.
Pelaksanaan kedua SPM mudahnya
seperti digabung yang lama dan baru.
Kalau sampai akhir tahun ini belum ada
kepastian, ya dua-duanya dipakai dulu.
Lebih tepatnya seperti transisi gitu.
.
P
20
Oh begitu dok. Kalau target-target yang
ditetapkan seperti yang tertera di data
ini, misalnya untuk KIA sekian, untuk
yang ini sekian, itu yang menetapkan
Dinamika SPM
targetnya siapa ya dok? Pelaksanaan SPM Kes di
Kes (K, 22-29) Puskesmas (K,
K 22-29)
Target ini kalau yang lama sudah dari
25 kementeriannya dik. Kabupaten sama
puskesmas tinggal terima jadi dik.
Termasuk yang 2016 juga dik semua
dari kementerian. Kita pun juga sudah
P
terima jadi.
45
Ohh begitu ya dok. Saya mengerti.
Nah, untuk pelaksanaan praktisnya,
yang Dokter lihat apakah terasa sulit
atau mudah? Bagaimana bisa begitu
dok.
Upaya
Pencapaian
Yaa saya akui ya ada beberapa yang SPM (K, 48-
50 70)
sulit tercapai. Yang pertama adalah
Pelaksanaan SPM
masalah demografis atau
Kes (K, 48-70)
kependudukan di wilayah kerja
K puskesmas dik. Nah karena letaknya
yang dekat dengan kota yang jumlah
penduduknya cepat berganti gitu.
Masyarakat kan sangat mobile dan
datang serta pergi. Misalnya seperti ibu
hamil yang sudah terdata, tapi pindah
kemudian. Kan akhirnya tak ada
55 kontak dengan tenaga kesehatan,
akhirnya tak terdata sehingga membuat
cakupan jadi rendah gitu dik. Ini yang
paling sering. Selain itu dik, juga
targetnya terlalu tinggi sehingga
puskesmas mengalami kesulitan untuk
mencapai target. Nah untuk targetnya
ngitungnya kan pake estimasi jumlah
penduduk. Nah terkadang data ini tak
60 sesuai dengan apa yang ada di
lapangan, jadi yaa ada sebagian besar
yang bisa dipenuhi, ada juga yang
masih perlu perbaikan karena belum
bisa terpenuhi karena faktor tadi yang
P saya sebutkan
Evaluasi
Nah untuk program sendiri supaya bisa pencapaian
berhasil, maka butuh perencanaan yang SPM (78-103)
70
sangat matang. Nah untuk itu, kita
K pakai langkah manajemen, yaitu
perencanaan, lalu persiapan,
selanjutnya pelaksanaan, dan akhirnya
dimonitor dan dievaluasi. Jadi dengan
demikian, dengan perencanaan yang
baik dan komprehensif, yang juga
berkaitan dengan program lain
diharapkan dapat mencapai hasil yang
maksimal. Nah program-program itu
75 dik tak bisa berdiri sendiri-sendiri.
Program itu kalau saling berkaitan bisa
dijalankan bersama, misalnya KIA dan
gizi dan program kesehatan lingkungan
dengan promosi kesehatan. Nah itu kan
saling berkaitan kan. Jadi di puskesmas
itu ada kegiatan rapat lintas program
gitu dik. Kemudian lokakarya mini
juga sebagai bagian dari perencanaan,
80 pelaksanaan, serta pengendalian
program dik. Jadi memang pada Manajemen
dasarnya tak bisa sendiri-sendiri, harus SPM (112-139)
komprehensif programnya supaya
P
hasilnya baik dan maksimal. Bentuk
pengendalian
Pelaksanaan SPM pencapaian
Kes (K, 78-103) SPM (139-139)
Oalah, begitu rupanya dok. Saya
paham. Nah dok untuk target
85 pencapaian sendiri ya dok, menurut
dokter target yang realistis yang bisa
dicapai SPM yang mana ya dok?
Mengapa begitu dok?
325
335
Hambatan
pelaksanaan
SPM (647-650)
Faktor penyulit
pencapaian
SPM (647-650)
P Solusi
340
perbaikan
pencapaian
SPM (653-659)
345
350
P
360
365
K
Anggaran (K, 376-
420)
370
375
380
385
390
395
400
405
410
415
Alokasi Anggaran
dan pengaruhnya ke
SPM (K, 427-440)
420
425
430
435
440
445
Pelaksanaan SPM
Kes (K, 457-469)
450
455
460
465
Alokasi Anggaran
terhadap SPM (K,
479-506)
470
475
480
485
490
495
500
505
510
515
Pelaksanaan SPM
Kes (K, 532-559)
520
525
530
535
540
545
550
555
560
565
570
575
580
590
595
600
605
Pelaksanaan SPM
Kes (K, 622-636)
610
615
620
625
630
635
640
3. Asisten Efina
Gambar 3. Peta Kabupaten Sleman (Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman, 2018)
Luas wilayah kabupaten Sleman adalah 57,482 Ha atau 574,82 km2, sekitar 18% dari luas
DIY dan terdiri dari 17 wilayah kecamatan, 86 desa dan 1.212 dusun. Salah satu kecamatan yang
terdapat di Kabupaten Sleman adalah Kecamatan Gamping, yang terdiri dari 5 desa, 59 dusun
dengan luas 2.925 Ha. Kecamatan Gamping memiliki jumlah penduduk sebanyak 65.789 jiwa
dan kepadatan sebesar 2.249 km2 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman, 2017).
Puskesmas Gamping 1 memiliki wilayah kerja yang terdiri dari 2 desa, yaitu Desa
Balecatur dan Desa Ambarketawang, dimana Desa Balecatur terdiri atas 18 dusun dan 136 RT dan
Desa Ambarketawang terdiri dari 13 dusun dan 120 RT. Keadaan penduduk di wilayah kerja
puskesmas Gamping 1 pada tahun 2016 adalah sebagai berikut:
a. Kuantitas SDM
“Ya karena kalau pensiun kita tidak ada yang ngganti, kan kita ga ada penerimaan pegawai,
PNS. Jadi kita ga ada ini… Ga ada petugas pengganti.” (SH, 127-131)
“Cuma SDMnya yang tidak banyak, SDM itu ra oleh diangkat angkat dadi PNS gitu lho.”
(SS, 119-121)
Moratorium Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) adalah penundaan sementara penerimaan
PNS di Indonesia (Skripsi Siagian, 2017). Kebijakan ini diterapkan untuk penataan jumlah,
kualitas dan distribusi PNS, yang bertujuan untuk audit organisasi dan penataan SDM sesuai
dengan rencana strategi pembangunan, juga redistribusi pegawai baik secara internal maupun
lintas instansi berdasarkan hasil perhitungan analisis jabatan dan analisis beban kerja (ANJAB
ABK) (Permenpan No 36, 2018).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siagian (2017), moratorium PNS memiliki hal
negatif dan juga hal positif dalam pelaksanaannya. Dampak positif yang terjadi adalah timbulnya
penataan atau rekonstruksi pegawai pemerintah yang lebih baik, dan juga menghemat anggaran
belanja pegawai. Sedangkan dampak negatifnya adalah pelaksanaan program kerja yang kurang
efektif karena kekurangan SDM dan meningkatnya pengangguran. Dampak negatif ini terasa di
Puskesmas Gamping 1, dimana setiap petugas memegang lebih dari satu program sehingga fokus
pegawai dapat terpecah, baik untuk pelayanan kesehatan maupun pada saat pelaksanaan program.
Bahkan terkadang pegawai tersebut tidak bisa melakukan pelayanan kesehatan seharusnya karena
harus menjalankan program, sehingga jika pasien sedang ramai terjadi penumpukan pasien.
“… Kemudian selain petugasnya itu terbatas, masing-masing petugasnya itu juga disampiri
dengan tanggung jawab program yang lain. Jadi mungkin mereka kan fokusnya jadi
terpecah kan…” (E, 257-263)
Beban kerja yang bertambah merupakan hal penting yang tidak dapat dilupakan. Beban
kerja mempunyai dampak yang signifikan terhadap kinerja pegawai, dimana beban kerja yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah berhubungan dengan kinerja pegawai yang tidak maksimal. Beban
kerja yang terlalu tinggi dapat memicu ketidakmampuan pegawai untuk mengatasi tekanan,
sehingga atasan seharusnya dapat mengurangi beban kerja. Berkebalikan dengan beban kerja yang
terlalu rendah, pegawai yang mempunyai kemampuan lebih tidak dapat maksimal dalam
menggunakan kemampuannya (Shah et al, 2011). Puskesmas Gamping 1 telah melakuan analisis
jabatan dan analisis beban kerja (ANJAB ABK) untuk mengevaluasi beban kerja pegawai, namun
permasalahan utama tetap pada kurangnya SDM. Hal ini sesuai dengan penelitian Maharani et al
(2014) bahwa peningkatan sumber daya manusia dapat menjadikan pelayanan kesehatan di
puskesmas semakin prima. Namun penambahan SDM tidak serta merta menjadi solusi utama dari
permasalahan yang dihadapi di Puskesmas. Penelitian yang dilakukan di fasilitas kesehatan di
Tanzania oleh Maestad et all (2010) menunjukkan bahwa jumlah petugas yang terdapat di fasilitas
kesehatan tidak secara langsung meningkatkan kualitas atau waktu pelayanan, karena kurangnya
rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diemban.
Dikarenakan jumlah pegawai yang masih kurang, maka penambahan pegawai baru
dilakukan melalui jalur lain yaitu BLUD. Puskesmas Gamping 1 sudah berstatus puskesmas Badan
Layanan Umum Daerah (BLUD), yang merupakan sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana
teknis dinas/badan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Puskesmas memiliki
fleksibilitas atau keleluasaan dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari
ketentuan pengelolaan daerah pada umumnya (Kementrian Dalam Negeri, 2018). Puskesmas
BLUD merupakan satuan kerja kementrian kesehatan, yaitu kantor atau satuan kerja di lingkungan
Kementrian Kesehatan yang berkedudukan sebagai pengguna anggaran/barang atau kuasa
pengguna anggaran/barang, dimana satuan kerja ini menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (PPK-BLU) yang merupakan pola pengelolaan keuangan yang
memberikan fleksibilitas untuk menerapkan praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat (Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 tahun 2014, pegawai pada satuan
kerja yang menerapkan PPK-BLU terdiri dari pegawai negeri sipil dan pegawai non-PNS. Pegawai
non-PNS kemudian terbagi lagi menjadi pegawai tetap dan pegawai kontrak, dimana pegawai tetap
adalah pegawai yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh pimpinan BLU dan memiliki nomor
induk pegawai dan pengadaannya dilakukan apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi melalui
pengadaan pegawai negeri sipil. Pengadaan pegawai BLU dilaksanakan melalui tahap perencanaan
terlebih dahulu berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja dan kebutuhan pegawai unit
kerja pada satuan kerja. Sedangkan pegawai kontrak merupakan pegawai dengan perjanjian kerja
yang memenuhi syarat dan diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu.
“Kalau yang BLUD itu misalnya kaya pemeliharaan gedung, gaji sini kan ada BLUD 10…”
(IPO, 95-100)
Namun pengangkatan pegawai BLUD ini juga masih belum menutupi persoalan
kekurangan SDM karena dana puskesmas terbatas sehingga tidak bisa mengangkat lebih banyak
pegawai, sehingga solusi yang dilakukan oleh puskesmas adalah pengoptimalan kerja pegawai.
“… Tapi kita itu diluar jam kantor itu baru bisa mengerjakan pekerjaan sehari-harinya. Jadi
kita pelayanan UKM UKP itu di jam kantor, tiap pagi itu harus ngatur yang pelayanan ke
masyarakat siapa yang pelayanan dalam gedung siapa, kemudian nanti malam itu
programnya apa. Itu kita kasih PR, kita koordinasi di WA group…” (SS, 264-273)
“… Misalkan ada yang cuti atau meninggal nanti dilimpahkan kepada siapa gitu” (TM, 30-
32)
Solusi pengalihan tugas ini disebut juga dengan task shifting, yaitu pendelegasian tugas
untuk pegawai yang sudah ada atau pegawai baru melalui suatu pelatihan tertentu. Task shifting di
fasilitas kesehatan bertujuan untuk meningkatkan layanan perawatan kesehatan atau sebagai
alternatif untuk memberikan pelayanan kesehatan yang sama dengan kualitas tertentu dan biaya
yang lebih rendah, namun dapat menimbulkan masalah lain yaitu motivasi pegawai yang perlu
dijaga dan kemampuan serta keterampilan yang perlu diperhatikan sebelum pengalihan tugas
dilakukan (Fulton et al, 2011).
4.1.2.2 Obat-obatan
Dalam kegiatan pengelolaan sediaan farmasi dan BMHP, diperlukan adanya perencanaan,
permintaan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pemusnahan dan penarikan, pengendalian, administrasi dan pemantauan. Perencanaan dilakukan
dengan mempertimbangkan pola penyakit, pola konsumsi sediaan sebelumnya, data mutasi dan
rencana pengembangan. Puskesmas Gamping 1 dalam pengadaan obat mengacu pada formularium
nasional dan formularium kabupaten melalui perencanaan setiap satu tahun sekali bersama dengan
puskesmas lain dan gudang farmasi. Perkiraan kebutuhan dilakukan dengan menghitung metode
konsumsi obat tahun sebelumnya dan tren pemakaian obat dan BMHP. Pengadaan sediaan farmasi
dan BMHP di luar dinas disesuaikan dengan kebutuhan Puskesmas Gamping 1, yaitu bahan gigi
dan bahan lab yang memang tidak disediakan oleh Dinas Kesehatan dengan menggunakan sumber
dana BLUD.
Kendala yang dialami oleh bagian farmasi adalah keterlambatan distribusi obat dari UPT
POAK sehingga pelayanan kefarmasian menjadi sedikit terganggu. Namun Puskesmas Gamping
1 sudah menyediakan anggaran tersendiri jika persediaan obat sudah benar-benar habis, sehingga
tidak perlu menunggu ketersediaan obat dari UPT POAK.
“… Misal ada kasus di sana habis, padahal itu obat yang esensial seperti obat batuk gitu,
datengnya agak lama. Jadi kita perlu pengadaan sendiri, biasanya pakai dana tersebut. Jadi
memang di anggaran itu sudah ada dana mendadak atau dana yang insidental gitu lah…”
(M, 104-112)
Sarana dan prasarana yang tersedia di Puskesmas Gamping 1 sudah mendukung pelayanan
kefarmasian. Sarana dan prasarana yang tersedia adalah ruang obat dan gudang penyimpanan obat.
Untuk ruang obat sendiri terdiri dari bagian penerimaan resep, bagian pelayanan resep dan
peracikan, bagian penyerahan obat, ruang konseling, bagian penyimpanan obat dan BMHP dan
bagian arsip.
Terdapat sarana dan prasarana penunjang yang terdapat di ruang obat dan gudang
penyimpanan obat. Sarana dan prasarana tersebut antara lain 1 set meja dan kursi, komputer, rak
obat, meja peracikan dan peralatan peracikan obat lainnya. Sarana dan prasarana ini sudah dapat
digunakan secara maksimal oleh pegawai kefarmasian sehingga memudahkan dalam pelayanan
kefarmasian.
“… Karena kita sistemnya sudah less paper tidak perlu pakai resep manual jadi membantu
sekali dalam pelayanan, itu juga etiketnya sudah pakai stiker tidak perlu tulis tangan jadi
mempercepat. Tidak terlalu membebani.” (M, 398-405)
Gambar 5. Ruang obat Puskesmas Gamping 1
4.1.2.3 Laboratorium
Reagen yang digunakan adalah reagen yang sudah disediakan oleh Dinas Kesehatan, yang
dalam perencanaannya ditentukan oleh laboran di puskesmas yang masih dalam satu wilayah
tersebut. Jika ada reagen yang tidak dapat disediakan oleh dinas, maka puskesmas melakukan
pengadaan sendiri dengan menggunakan dana BLUD.
“Kan sudah ada anggarannya sendiri ya. Yang dari dinas ada sendiri, yang ngga ada di
dinas kita merencanakan sendiri. Nanti kan ada dana yang diluar untuk itu ya, artinya sudah
ada dana yang apabila butuh sewaktu-waktu sudah ada dana sendiri.” (TM, 91-98)
Namun dalam pelaksanaannya terkadang terdapat kendala berupa stok reagen yang kosong
baik di puskesmas maupun di dinas. Stok reagen tersebut kemudian dapat terpenuhi dengan
peminjaman reagen ke puskesmas lain untuk memenuhi kebutuhan atau dengan memundurkan
jadwal pemeriksaan rutin namun tidak merujuk ke tempat lain.
“Jadi kita pinjem NS1 5 di puskesmas lain, nanti kalau kita udah ada drop lagi nanti kita
kembalikan.” (TM, 220-222)
“Ya cuma sementara kosongnya. Misalkan sifilis ya. Sifilis kan didrop dari provinsi.
Misalnya kosong ya kita ga mengerjakan. Nanti kalau misalkan ibu hamil kan dari trimester
pertama sampai keempat. Jadi nanti periksanya cuma mundur, ga pas waktunya.” (TM,
235-242)
Dari segi prasarana, laboratorium Puskesmas Gamping 1 sudah mempunyai area-area yang
dibedakan tiap fungsinya, yaitu loket, area pengambilan sampel dan area pemeriksaan spesimen.
Selain itu, pengaturan mengenai area laboratorium juga sudah memperhatikan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan berupa pemisahan limbah antara limbah
infeksius, limbah non-infeksius, limbah benda tajam dan limbah cair, serta pemisahan penyerahan
sampel dahak melalui bagian luar gedung puskesmas untuk mencegah penularan.
“Itu kan PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi), jadi ini kan ruangan non infeksius,
jadi nanti ga terpengaruh. Sampel dahak kan infeksius, jadi harus lewat belakang.” (TM,
323-327)
Kendala lain yang muncul adalah pekerjaan yang menumpuk karena permintaan
pemeriksaan laboratorium yang tinggi karena tidak hanya dari puskesmas namun rujukan dari
pihak lain seperti dokter keluarga. Sehingga hasil pemeriksaan tidak dapat keluar dengan cepat.
“… Tapi kan pasien rujukan dari swasta, jadi bukan dari sini tapi dari dokter keluarga. Jadi
kalau dirujuk kesini kan harus ikut alur di puskesmas. Saya kan juga melayani pasien umum
to jadi numpuk-numpuk. Misalkan periksa urin to, kan hasilnya lama (tertawa).” (TM, 277-
268)
Pemeriksaan laboratorium untuk pasien rujukan atau dari luar puskesmas harus mengikuti
alur kegiatan pemeriksaan yang sudah berjalan di puskesmas, namun tanpa melalui pemeriksaan
dokter puskesmas. Alur kegiatan pemeriksaan laboratorium dijelaskan lebih lanjut pada gambar di
bawah ini.
Sarana dan prasarana lain yang dimiliki oleh Puskesmas Gamping 1 sudah mengikuti
standar yang ditetapkan oleh pemerintah melalui aplikasi sarana, prasarana dan alat kesehatan
(ASPAK). ASPAK adalah suatu aplikasi berbasis web yang disediakan untuk fasilitas pelayanan
kesehatan untuk menghimpun dan menyajikan informasi terkait sarana, prasarana dan alat
kesehatan. Tujuan dari aplikasi ini adalah untuk inventarisasi, pemetaan dan pengawasan terhadap
pemenuhan sarana, prasarana dan alat kesehatan, serta untuk mendukung akreditasi fasilitas
pelayanan kesehatan. ASPAK memuat data-data berupa data umum fasilitas kesehatan, data
fasilitas berupa data bangunan, data ruangan, data prasarana, data peralatan, dan data lainnya.
ASPAK harus selalu diupdate agar sarana, prasarana dan alat yang tersedia dapat terpantau
kuantitasnya (Permenkes no 31, 2018)
Sarana, prasarana dan alat yang dimiliki oleh Puskesmas Gamping 1 sudah tergolong cukup
lengkap, namun karena standar ASPAK merata untuk seluruh puskesmas di Indonesia, maka
terkadang Puskesmas Gamping 1 tidak dapat memenuhi kriteria tersebut karena alat yang dimiliki
puskesmas memiliki standar yang lebih tinggi.
“…tapi gini. Kalau di kita bukan karena jelek, karena bagus. Jadi ada karena jelek ada
karena bagus, karena kelebihan. Kita juga ada aplikasinya.” (SS, 475-478).
Data yang sudah dimasukkan ke dalam ASPAK dapat digunakan untuk berbagai hal, yaitu
penyusunan kebutuhan untuk pemenuhan standar, izin operasional dan penetapan klasifikasi
fasilitas pelayanan, izin operasional dan penetapan klasifikasi, pengembangan pelayanan, serta
penilaian akreditasi (Permenkes no 31, 2018). ASPAK diharapkan dapat menjadi sarana bagi
fasilitas kesehatan untuk mengevaluasi sarana dan prasarana, karena ketersediaan sarana dan
prasarana yang memadai menjadi penting untuk menunjang pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Selain kelengkapan sarana dan prasarana, aspek penting yang perlu diperhatikan adalah
pemanfaatan sarana dan prasarana tesebut secara maksimal. Puskesmas Gamping 1 sudah
menggunakan komputer untuk pelaporan sehingga mempermudah pekerjaan pegawai. Hal ini
sejalan dengan penelitian Ristiani (2017) bahwa ketersediaan sarana dan prasarana di fasilitas
kesehatan signifikan memengaruhi kepuasan pasien, namun sarana dan prasarana yang lengkap
dan berfungsi optimal dapat secara nyata menunjang pencapaian tingkat kepuasan pasien.
Perbedaan antara SPM wajib dan SPM pengembangan adalah terdapat 33 indikator dalam
SPM pengembangan, dimana dalam indikator-indikator tersebut sudah memuat SPM wajib namun
ditambahkan indikator lain berdasarkan pertimbangan bahwa SPM bidang kesehatan nomor 43
tahun 2016 belum mencakup semua program kesehatan (Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman,
2018).
120%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Dari grafik tersebut, dapat dilihat bahwa tidak semua indikator mencapai target yang sudah
ditetapkan. Indikator yang sudah mencapai target hanya sejumlah 4 indikator dari total 12
indikator, yaitu pelayanan kesehatan ibu bersalin, pealyanan kesehatan bayi baru lahir, pelayanan
kesehatan orang dengan gangguan jiwa berat, dan pelayanan kesehatan orang dengan risiko
terinfeksi HIV. Tidak tercapainya target ini dikarenakan adanya beberapa kendala selama
pelaksanaan program SPM.
Pada indikator pelayanan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin dan bayi baru lahir tergabung
menjadi satu program yaitu program KIA. Data sekunder menunjukkan bahwa pada indikator ini
sudah menunjukkan hasil yang baik dan memenuhi target. Berikut ini merupakan capaian yang
telah diperoleh untuk program KIA pada SPM pengembangan Puskesmas Gamping 1 tahun 2018.
120%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Pelayanan Pelayanan KB Pemberian ASI
kesehatan ibu eksklusif
nifas
Metode yang digunakan oleh Puskesmas Gamping 1 untuk mencapai hasil 100% adalah
melalui screening untuk setiap ibu hamil disertai dengan data checklist layanan ANC. Selain itu,
kerjasama dengan pihak di luar puskesmas, seperti klinik, bidan praktek swasta atau rumah sakit
yang terdapat pada wilayah kerja Puskesmas Gamping 1.
“Ya itu tadi. Kalau kita di puskesmas itu harus menscreening setiap ibu hamil itu apakah
sudah mendapatkan layanan ANC terpadu itu atau belum, nah kita itu ada checklistnya
untuk setiap ibu hamil itu apakah sudah sudah mendapatkan layanan ANC tahap terpadu
atau belum. Apabila belum ya jika sudah saatnya diperiksa ya kita berikan layanan. Selain
itu, ya itu tadi. Kita bekerjasama dengan pihak swasta untuk membantu programnya
pemerintah dalam rangka mencapai SPM ini.” (E, 101-115)
Kendala utama dalam pelaksanaan program KIA selain SDM yang kurang adalah faktor
fasilitas kesehatan di luar puskesmas yang juga menyediakan pelayanan kesehatan ibu hamil,
karena program pemerintah terutama untuk mendukung terlaksananya SPM masih dirasa kurang
tersosialisasikan dengan baik, sehingga berdampak pada pelaporan ke puskesmas.
“Nek kalau lingkungan itu faskes swasta karena belum banyak terpapar kebijakan-
kebijakan pemerintah kan, mungkin kurang mendukung. Seperti layanan ANC terpadu itu,
kalau pihak swastanya tidak tahu program-program pemerintah kan jadi akhirnya ga
mendukung, ga laporan juga.” (E, 276-287)
Solusi yang sudah dilakukan Puskesmas Gamping 1 terkait kerjasama dengan pihak luar
puskesmas adalah melalui kegiatan jejaring, yaitu koordinasi dan komunikasi untuk data laporan
ibu hamil, kemudian juga dilakukan monitoring dan evaluasi sehingga target bisa dicapai secara
maksimal.
Pada indikator TB, Puskesmas Gamping 1 memperoleh 46% dari target 100% untuk SPM
kesehatan. Untuk SPM yang mengacu Permenkes nomor 43 tahun 2016, indikator pelayanan
kesehatan orang dengan tuberkulosis sendiri mempunyai pengertian berupa pelayanan yang
diberikan oleh seluruh orang dengan TB yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai
kewenangannya di FKTP atau FKTL baik pemerintah maupun swasta. Pelayanan ini mencakup
penegakkan diagnosis secara bakteriologis dan klinis serta pemeriksaan pemantauan kemajuan
pengobatan pada akhir pengobatan intensif, bulan ke 5 dan akhir pengobatan.
“100% itu dari yang apa? Dari pengobatan yang kesembuhan to? Kalau yang penemuan itu
70% atau 90% ya saya lupa. Kalau pengobatan kita sudah 100%. Ngga ada yang DO.” (R,
81-86)
Masalah utama dari program TB adalah kurangnya SDM terutama untuk laboran.
Berdasarkan standar ketenagaan puskesmas yang terdapat di Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
75 Tahun 2014, sebenarnya jumlah ahli teknologi laboratorium medik sudah mencukupi. Namun
permintaan untuk pemeriksaan laboratorium tidak hanya dilakukan oleh bagian tertentu saja,
namun semua bagian seperti BP umum, KIA, MTBS dan lain sebagainya, sehingga hasil
pemeriksaan BTA untuk TB biasanya selesai dalam waktu 3 sampai 4 hari.
“Ya mungkin kita bisa sambi. Jadi buat preparat nanti setelah jam 12. Nanti kalau kita
mengecat pagi-pagi, nanti kita lihat di mikroskop kita sambi kalau pas-pasan selo ya baru
dikerjakan” (TM, 304-309)
Kendala lain yang dialami pada program TB selain kurangnya SDM adalah dari faktor
pasien. Petugas laboran atau dokter sebenarnya sudah memberitahu bagaimana cara mengeluaran
dahak, namun pasien terkadang tidak bisa mengeluarkan dahak, tidak menyerahkan pot dahak,
atau salah dalam mengeluarkan spesimen dahak sehingga hasil pemeriksaan laboratorium tidak
dapat maksimal.
Solusi dari kendala yang dialami adalah dengan edukasi mengenai mengeluarkan dahak
dari pemegang program TB atau dari pihak laboran. Selain itu untuk memantau kepatuhan minum
obat penderita TB, Puskesmas Gamping 1 memiliki program SMS gateway, yaitu sms pengingat
yang dikirimkan setiap hari sekitar jam 5 pagi untuk pasien-pasien tertentu, termasuk pasien TB,
untuk meminum obat. Program SMS gateway ini merupakan program dari bagian farmasi
Puskesmas Gamping 1 yang digunakan tidak hanya di program TB, namun pada program lainnya
seperti kesehatan lingkungan, KIA, gizi, dan lain sebagainya.
Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Jawa
Tengah dan berbatasan dengan beberapa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dan DIY. Pada
bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali, pada bagian
selatan berbatasan dengan Kabupaten Purworejo dan DIY, pada bagian barat berbatasan dengan
Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo, dan pada bagian utara berbatasan dengan
Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang. Selain itu, Kabupaten Magelang juga
berbatasan dengan Kota Magelang yang terdapat di tengah (Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang
profil kes magelang, 2017).
Gambar 10. Peta Kabupaten Magelang (Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang profil kes
magelang, 2017).
Kabupaten Magelang terbagi menjadi 21 kecamatan yang terdiri dari 367 desa dan 5
kelurahan dengan luas sekitar 1.085,73 km2 atau 3,34% dari luas wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Salaman merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Magelang dengan luas wilayah
68,87 km2, jumlah penduduk sekitar 69.901 jiwa, kepadatan sekitar 1014,97 km2 (Dinas Kesehatan
Kabupaten Magelang profil kes magelang, 2017).
Wilayah kerja Puskesmas Salaman 1 mencakup 10 desa dari total 20 desa yang terdapat di
Kecamatan Salaman, yaitu desa Salaman, Kalisalak, Menoreh, Kalirejo, Paripurno, Ngargoretno,
Ngadirejo, Sidomulyo, Kebonrejo dan Banjarharjo. Kondisi geografis di wilayah kerja Puskesmas
Salaman 1 sebagian besar adalah pegunungan. Keadaan penduduk di wilayah kerja Puskesmas
Salaman 1 pada tahun 2018 adalah sebagai berikut:
a. Kuantitas SDM
“Iya, nah itu moratorium sampai bertahun-tahun, jadi kita sama sekali ngga ada pengadaan
CPNS. Jadi ya pegawai yang ada itu yang diberdayakan. Jadi untuk volume pekerjaan
misalkan ada yang pensiun atau ada yang meninggal, pekerjaannya ya diampu yang ada.
Artinya volume pekerjaannya yang tambah, tapi untuk kuantitas dari SDMnya ngga
tambah. Beban kerjanya yang nambah.” (G, 84-95)
Kinerja pegawai dapat ditingkatkan melalui beberapa hal, salah satunya adalah beban kerja.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tjiabrata (2017), terdapat adanya pengaruh yang
signifikan antara beban kerja terhadap kinerja karyawan. Namun di Puskesmas Salaman 1, masih
terdapat adanya beban kerja yang tidak merata, ini dikarenakan kualitas SDM yang menjadi
kendala dalam pelayanan puskesmas. Kemampuan setiap SDM yang tidak sama, terutama untuk
pengoperasian komputer atau penggunaan internet. Dalam pelayanan kesehatan sekarang,
penggunaan internet sangat diperlukan karena sistem yang sudah paper less untuk memudahkan
pendataan dan juga pelaporan.
Penambahan pegawai melalui perekrutan BLUD sendiri tidak dapat dilakukan oleh
Puskesmas Salaman 1 karena peraturan bupati untuk daerah Magelang masih belum disahkan.
Maka dari itu, solusi yang dilakukan puskesmas adalah mengangkat pegawai wiyata bakti.
Pengadaan pegawai wiyata bakti atau pegawai tidak tetap dilakukan mandiri oleh puskesmas,
dengan gaji menggunakan pendapatan Puskesmas Salaman 1.
“… Tapi 2017 itu statusnya di magelang pun masih bertahap. Tahun 2018 itu sudah
menjadi penuh. Jadi secara otomastis tidak berlaku kan karna beda status. Lah gek sadar
saiki nggawe saiki jadi tahun ini buat 2, 2018 dan 2019.” (H, 109-119)
“Kita belum. Perbupnya belum ada jadi kita belum menerima. Hanya ada tenaga wiyata
bakti…” (G, 39-41)
Puskesmas Salaman 1 sebagai puskesmas rawat inap tentu memerlukan pegawai yang lebih
banyak dibandingkan dengan puskesmas rawat jalan, termasuk diantaranya untuk shift malam.
Namun untuk pelayanan, khususnya untuk shift malam, sudah dirasa mencukupi karena terbantu
oleh tenaga internship.
“Iya ada jadwalnya digilir. Tapi kan 4 dokter itu agak susah buat shift malem, jadi yang
jaga malem itu dokter Fitri karena dia kan ada di rumah dinas sini. Tapi untuk yang terjun
ke lapangan langsung internship, nanti kalau ada apa-apa on call sama bu Fitri.” (M, 232-
239)
Lain halnya untuk bagian kefarmasian, tenaga farmasi belum bisa memenuhi permintaan
puskesmas untuk mengadakan piket di UGD puskesmas karena jumlah pegawai yang terbatas dan
juga kesibukan lain. Maka dari itu pekerjaan kefarmasian di UGD dilakukan oleh petugas UGD.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2016, penyelenggaraan pelayanan
kefarmasian di puskesmas minimal harus dilaksanakan oleh 1 orang tenaga apoteker dan dibantu
oleh tenaga teknis kefarmasian sesuai dengan kebutuhan. Namun karena keterbatasan, pelayanan
kefarmasian tidak dapat dilakukan secara maksimal dan harus dilakukan oleh petugas lain.
4.2.2.2 Obat-obatan
Regulasi yang mengatur pengadaan sediaan farmasi dan BMHP di Puskesmas Salaman 1
adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian. Peraturan ini sudah mencakup mulai dari pengadaan hingga pelayanan farmasi klinik
kepada pasien.
Kendala yang ada di bagian farmasi adalah dari pengadaan obat, baik dari dinas maupun
pengadaan sendiri. Tidak semua obat yang terdapat di e-katalog sesuai dengan formularium
nasional dan DOEN, sehingga dinas tidak bisa mengadakan obat tersebut. Hal ini sejalan dengan
penelitan Winda (2018) yang menyatakan bahwa tidak semua item obat di Fornas tayang di e-
katalog meskipun telah mengalami peningkatan setiap tahun. Hal ini disebabkan karena data
Rencana Kebutuhan Obat (RKO) dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang diajukan oleh
Kementrian Kesehatan sehingga terjadi gagal lelang dan obat yang dibutuhkan tidak tersedia.
Padahal obat-obatan yang tidak tersedia di e-katalog harus disediakan sendiri oleh puskesmas dan
memerlukan dana yang lebih besar.
Pengadaan obat sendiri oleh puskesmas juga menjadi kendala lain. Pemasok obat dari
perusahan farmasi tidak banyak yang bersedia untuk menyediakan obat ke puskesmas karena
birokrasi yang lebih rumit dibandingkan dengan apotek. Juga terkadang obat-obatan yang
ditawarkan tidak sesuai dengan permintaan puskesmas. Selain itu, dana yang terbatas menjadikan
puskesmas tidak bisa melengkapi obat-obatan yang dibutuhkan.
“Kalau di puskesmas kan kelengkapan birokrasi butuh lebih banyak ya. Ada tanda tangan
panita pengadaan, ada SPJ, ada pajak ini pajak itu. Jadi kadang beberapa supplier ngga mau
masuk puskesmas karena administrasinya lebih ribet.” (W, 119-125)
Solusi yang telah dilakukan oleh puskesmas adalah menentukan obat prioritas yang akan
dilakukan pengadaan sendiri jika obat tersebut tidak terdapat di dinas. Puskesmas Salaman 1 juga
melakukan relokasi obat-obatan yang berasal dari dinas dengan cara mengambil stok persediaan
obat dari puskesmas lain. Hal itu selain berguna untuk memenuhi kebutuhan obat Puskesmas
Salaman 1, juga membantu puskesmas lain untuk menghabiskan stok obat dan menghindari obat
yang kadaluwarsa. Namun jika stok obat di puskesmas lain juga sedikit, maka tidak dilakukan
relokasi obat tetapi hanya peminjaman obat, sehingga Puskesmas Salaman 1 wajib mengembalikan
obat tersebut.
Sarana dan prasarana yang terdapat di gudang obat Puskesmas Salaman 1 masih belum
mencukupi. Dari hasil observasi dan wawancara, didapatkan hasil bahwa lemari penyimpanan
NAPZA masih menggunakan lemari kayu biasa, sedangkan seharusnya obat narkotika dan
psikotropika harus menggunakan lemari khusus. Hal ini dikarenakan dana yang terbatas sehingga
pemenuhan sarana dan prasarana tidak bisa maksimal. Selain itu, perpindahan status Puskesmas
Salaman 1 menjadi rumah sakit juga menjadi salah satu alasan karena sarana dan prasarana yang
diprioritaskan untuk diganti atau dibeli menjadi banyak.
4.2.2.3 Laboratorium
Dari segi sarana dan prasarana, laboratorium Puskesmas Salaman 1 belum memenuhi
standar sesuai dengan peraturan yang diacu, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 tentang
Penyelenggaraan Laboratorium Puskesmas, karena di dalam ruangan laboratorium belum terdapat
adanya blower. Namun selain itu sudah memenuhi kriteria yang ditentukan. Penyimpanan reagen
sudah dilakukan di rak khusus, tempat yang kering dan dibedakan menurut jenisnya. Ruang
penyimpanan reagen terdapat di dalam ruangan laboratorium Puskesmas Salaman 1.
“Karena kita kan pasang AC, itu kan harus dikeluarkan lewat blower itu.” (T, 193-195)
Kendala lainnya yang dialami untuk pelayanan laboratorium adalah distribusi reagen dari
Dinas Kesehatan yang jumlahnya sangat sedikit sehingga tidak mencukupi untuk kebutuhan
puskesmas, sehingga puskesmas harus melakukan pengadaan mandiri untuk reagen-reagen yang
dibutuhkan.
“Jadi kalau dari dinas, kita ngajukan umpama ya, 10 gitu nanti diacc nya 1. Padahal kita
ngajukan 1 tahun ya, kita perencanaan 1 tahun. Tapi kalau dari dinas itu… Mungkin dinas
juga, istilahnya dibagi-bagi lah sama puskesmas lain jadi ngga cukup setahun, paling cuma
cukup sebulan lah.” (T, 23-32)
“Karena dananya itu yang terbatas. Pelayanannya sudah seperti rumah sakit, tetapi untuk
anggarannya itu seperti puskesmas.” (G, 167-170)
“Kalau ruangan ngga ya. Karena kan memang harusnya ada poli TB, tapi di sini kan mau
jadi rumah sakit. Jadi ada ruangan itu ya kita pakai dulu.” (K, 298-302)
Kendala lainnya yang dihadapi adalah dari bagian kefarmasian. BMHP berupa infus set
yang dikirim oleh Dinas Kesehatan dikirim pada satu waktu, sehingga infus set harus diletakkan
di luar gudang obat. Hal ini mengakibatkan infus set tersebut diletakkan di ruangan tidak terpakai
sehingga tidak sesuai standar kefarmasian yang berlaku. Namun hal ini akan diperhitungkan untuk
pembangunan rumah sakit sebagai pengganti puskesmas, sehingga puskesmas terpaksa untuk
meletakkan infus set sementara di ruangan tersebut.
Sarana dan prasarana berupa komputer dan jaringan internet juga terkadang menimbulkan
masalah dalam pelayanan di puskesmas. Terdapat beberapa faktor yang berperan, yaitu server
yang bermasalah dan aplikasi yang terkadang tidak berfungsi sehingga pada saat input data
menjadi tidak terbaca. Beberapa fasilitas pendukung seperti komputer, laptop atau printer juga
tidak tersedia pada beberapa bagian, sehingga harus menggunakan laptop dari bagian lain atau
menggunakan laptop sendiri. Solusi terkait kendala ini adalah dengan back up data secara manual
menggunakan laptop tanpa diinput pada aplikasi.
“… kemarin ikut di laptop bendahara, dan itu kan bendahanya juga pakai ya, kalau kita
nebeng dan mau entry tapi akhirnya error kan jadinya juga ngga berjalan di sini” (W, 432-
436)
250.00%
200.00%
150.00%
100.00%
50.00%
0.00%
“Ya gimana ya karena perintahnya masih ada jadi kita nurut saja sih, mungkin tahun depan
kita sudah pakai yang Permenkes 2016 aja. Jadi untuk sekarang memang kita bikin
laporannya 2 untuk masing-masing permenkes.” (F, 63-67)
Terdapat beberapa indikator yang tidak mencapai target 100% jika dilihat melalui data
sekunder, antara lain pelayanan kesehatan ibu hamil, pelayanan kesehatan balita, pelayanan
kesehatan pada usia produktif, pelayanan kesehatan pada penderita hipertensi, pelayanan
kesehatan orang dengan TB, dan pelayanan kesehatan orang dengan risiko terinfeksi HIV.
Pada indikator pelayanan kesehatan penderita diabetes melitus, setiap penderita diabetes
melitus di wilayah kerja harus mendapatkan pelayanan sesuai standar. Artinya pelayanan
kesehatan diberikan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan mencakup empat pilar
penatalaksanaan, pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan HbA1C, dan kewajiban masuk
menjadi peserta JKN. Puskesmas Salaman 1 untuk indikator ini sudah memperoleh capaian yang
sangat baik, yaitu sebesar 170,33% pada tahun 2018. Metode yang digunakan oleh pelaksana
program antara lain screening penderita di BP umum atau dari bidan desa yang menemukan pasien
suspek diabetes melitus. Target ini juga bisa diraih karena prolanis merupakan program yang sudah
terjadwal secara pasti sehingga pasien yang datang sudah bisa memenuhi target.
“Kalau untuk sementara ini belum ada kunjungan rumah ya, karena banyak sekali kan
pasiennya. Kalau yang ada kunjungan rumahnya itu TB, kalau yang DM itu belum ada.
Paling kalau ada tetangganya yang pegawai sini paling diajak atau diingatkan. Atau dari
bidan desa, kan bidan desa gitu menyebar ya, jadi bidan desa yang mengingatkan. Tapi
kalau kunjungan rumah khusus belum ada programnya.” (M, 206-218)
Sedangkan untuk indikator program TB, masih belum mencapai target. Capaian SPM pada
tahun 2018 untuk indikator TB hanya meraih 37,78%. Kendala yang dihadapi pada program ini
adalah tidak ditemukannya pasien TB walaupun sudah terdapat beberapa program terkait TB,
antara lain penyuluhan, screening melalui kader TB, mahasiswa dan juga bidan desa, kunjungan
rumah pada penderita TB, dan lain-lain. Dari hasil evaluasi dan monitoring, dimungkinkan target
yang wajib dicapai terlalu tinggi sehingga Puskesmas Salaman1 tidak dapat mencapai angka
tersebut.
“…Targetnya tinggi mbak. Padahal kita sudah berusaha maksimal…” (K, 8-14)
Selain program internal yang sudah dilakukan oleh Puskesmas Salaman 1, terdapat juga
program eksternal yang dilakukan oleh Puskesmas Salaman 1, yaitu kerjasama lintas sektoral dan
kerjasama dengan LSM khusus untuk menscreening penderita TB. Kerjasama LSM ini merupakan
kerjasama di luar dinas kesehatan dan sudah dilakukan pada beberapa puskesmas di Kabupaten
Magelang dan tujuan untuk menemukan penderita TB.
“… ada LSM sendiri. Ini dibiayai dari global fund. Jadi dia itu minta kader, nanti dia yang
mendidik, kemudian dari LSMnya itu minta data dari saya, kadernya itu suruh
mengunjungi kotak-kotak yang BTA positif dari data 2018. Mulai bulan ini baru
berjalan.” (K, 146-153)
4.3 Kendala dan Solusi Pencapaian Target SPM dalam Pelayanan Puskesmas
Berdasarkan observasi, wawancara dan data sekunder, kendala dalam pencapaian SPM dan
solusi yang sudah dilakukan oleh Puskesmas Gamping 1 adalah sebagai berikut.
Berdasarkan observasi, wawancara dan data sekunder, kendala dalam pencapaian SPM dan
solusi yang sudah dilakukan oleh Puskesmas Salaman 1 adalah sebagai berikut.
5.1 Kesimpulan
5.1.1 Kesesuaian Sumber Daya Non Finansial Puskesmas Gamping 1 dan Puskesmas
Salaman 1 dengan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
Hasil analisis sumber daya non finansial Puskesmas Gamping 1 dan Puskesmas Salaman
1 terhadap pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan secara keseluruhan
sudah cukup baik, namun masih terdapat beberapa kendala, diantaranya faktor Sumber Daya
Manusia (SDM) yang tidak mencukupi, ketersediaan reagen dan obat-obatan di Dinas Kesehatan
yang masih belum mencukupi, faktor ruangan yang masih belum sesuai dengan standar, dan
anggaran yang terbatas.
Dari capaian SPM, Puskesmas Gamping 1 dan Puskesmas Salaman 1 mengacu pada
standar yang sama, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016, namun Puskesmas
Salaman 1 juga masih menggunakan peraturan yang lama yaitu Permenkes
741/MENKES/SK/XI/2008 sehingga terdapat target yang berbeda.
5.1.2 Sumber Daya Non Finansial Puskesmas Gamping 1 dan Puskesmas Salaman 1 dalam
mendukung Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
Capaian yang belum memenuhi target 100% untuk semua indikator menjadi kendala di
kedua puskesmas. Faktor-faktor yang mempengaruhi terutama pada kurangnya SDM untuk
menjalankan program sehingga program tidak bisa dijalankan dengan maksimal. Selain itu, faktor
dari pasien juga berperan penting dalam pencapaian SPM bidang kesehatan. Pada indikator TB,
pasien seringkali tidak mematuhi aturan dalam mengeluarkan dahak atau dalam mengumpulkan
pot berisi spesimen dahak, sehingga pengecekan laboratorium tidak dapat menunjukkan hasil
maksimal. Pada indikator lain seperti KIA, kurangnya kesadaran ibu hamil untuk segera
mendapatkan pelayanan yang dimulai dari awal kehamilan menjadi kendala yang memengaruhi
capaian SPM. Selain itu, faktor eksternal yaitu kerjasama dengan pihak di luar puskesmas seperti
dokter keluarga, klinik, atau rumah sakit juga terkadang tidak lengkap dalam hal pelaporan,
sehingga capaian SPM yang dihasilkan menjadi tidak maksimal.
5.2 Saran
Pemenuhan sumber daya finansial di Puskesmas Gamping 1 dan Salaman 1 selain harus
lengkap, juga harus memenuhi standar yang telah ditentukan. Selain itu, SDM yang kurang
mencukupi dan program yang terlalu banyak menjadikan pelayanan tidak maksimal karena harus
mengurus beberapa hal sekaligus. Maka disarankan kepada jajaran SDM di puskesmas Gamping
1 dan Salaman 1 untuk mengetahui peran dan beban kerja yang telah diberikan sehingga program
dan pelayanan dapat berjalan seimbang dan dapat mencapai hasil maksimal.
Agar dapat mencapai target SPM yang telah ditetapkan, evaluasi dan monitoring sangat
diperlukan tidak hanya untuk pemegang program namun juga kepada seluruh SDM di puskesmas
yang terlibat sehingga dapat menciptakan alur koordinasi yang baik dan pemahaman yang
menyeluruh. Selain itu, penetapan peraturan SPM yang berlaku di puskesmas juga harus dievaluasi
kembali agar tidak menyebabkan kebingungan dalam pelaksanaan dan penyusunan laporan SPM.
Untuk memfokuskan penelitian kepada satu dimensi manajemen dan indikator SPM
tertentu yang memiliki permasalahan kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
Gambar 3. Peta Kabupaten Sleman (Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman, 2018)
Luas wilayah kabupaten Sleman adalah 57,482 Ha atau 574,82 km2, sekitar 18% dari luas
DIY dan terdiri dari 17 wilayah kecamatan, 86 desa dan 1.212 dusun. Salah satu kecamatan yang
terdapat di Kabupaten Sleman adalah Kecamatan Gamping, yang terdiri dari 5 desa, 59 dusun
dengan luas 2.925 Ha. Kecamatan Gamping memiliki jumlah penduduk sebanyak 65.789 jiwa
dan kepadatan sebesar 2.249 km2 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman, 2017).
Puskesmas Gamping 1 memiliki wilayah kerja yang terdiri dari 2 desa, yaitu Desa
Balecatur dan Desa Ambarketawang, dimana Desa Balecatur terdiri atas 18 dusun dan 136 RT dan
Desa Ambarketawang terdiri dari 13 dusun dan 120 RT. Keadaan penduduk di wilayah kerja
puskesmas Gamping 1 pada tahun 2016 adalah sebagai berikut:
b. Kuantitas SDM
“Ya karena kalau pensiun kita tidak ada yang ngganti, kan kita ga ada penerimaan pegawai,
PNS. Jadi kita ga ada ini… Ga ada petugas pengganti.” (SH, 127-131)
“Cuma SDMnya yang tidak banyak, SDM itu ra oleh diangkat angkat dadi PNS gitu lho.”
(SS, 119-121)
Moratorium Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) adalah penundaan sementara penerimaan
PNS di Indonesia (Skripsi Siagian, 2017). Kebijakan ini diterapkan untuk penataan jumlah,
kualitas dan distribusi PNS, yang bertujuan untuk audit organisasi dan penataan SDM sesuai
dengan rencana strategi pembangunan, juga redistribusi pegawai baik secara internal maupun
lintas instansi berdasarkan hasil perhitungan analisis jabatan dan analisis beban kerja (ANJAB
ABK) (Permenpan No 36, 2018).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siagian (2017), moratorium PNS memiliki hal
negatif dan juga hal positif dalam pelaksanaannya. Dampak positif yang terjadi adalah timbulnya
penataan atau rekonstruksi pegawai pemerintah yang lebih baik, dan juga menghemat anggaran
belanja pegawai. Sedangkan dampak negatifnya adalah pelaksanaan program kerja yang kurang
efektif karena kekurangan SDM dan meningkatnya pengangguran. Dampak negatif ini terasa di
Puskesmas Gamping 1, dimana setiap petugas memegang lebih dari satu program sehingga fokus
pegawai dapat terpecah, baik untuk pelayanan kesehatan maupun pada saat pelaksanaan program.
Bahkan terkadang pegawai tersebut tidak bisa melakukan pelayanan kesehatan seharusnya karena
harus menjalankan program, sehingga jika pasien sedang ramai terjadi penumpukan pasien.
“… Kemudian selain petugasnya itu terbatas, masing-masing petugasnya itu juga disampiri
dengan tanggung jawab program yang lain. Jadi mungkin mereka kan fokusnya jadi
terpecah kan…” (E, 257-263)
Beban kerja yang bertambah merupakan hal penting yang tidak dapat dilupakan. Beban
kerja mempunyai dampak yang signifikan terhadap kinerja pegawai, dimana beban kerja yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah berhubungan dengan kinerja pegawai yang tidak maksimal. Beban
kerja yang terlalu tinggi dapat memicu ketidakmampuan pegawai untuk mengatasi tekanan,
sehingga atasan seharusnya dapat mengurangi beban kerja. Berkebalikan dengan beban kerja yang
terlalu rendah, pegawai yang mempunyai kemampuan lebih tidak dapat maksimal dalam
menggunakan kemampuannya (Shah et al, 2011). Puskesmas Gamping 1 telah melakuan analisis
jabatan dan analisis beban kerja (ANJAB ABK) untuk mengevaluasi beban kerja pegawai, namun
permasalahan utama tetap pada kurangnya SDM. Hal ini sesuai dengan penelitian Maharani et al
(2014) bahwa peningkatan sumber daya manusia dapat menjadikan pelayanan kesehatan di
puskesmas semakin prima. Namun penambahan SDM tidak serta merta menjadi solusi utama dari
permasalahan yang dihadapi di Puskesmas. Penelitian yang dilakukan di fasilitas kesehatan di
Tanzania oleh Maestad et all (2010) menunjukkan bahwa jumlah petugas yang terdapat di fasilitas
kesehatan tidak secara langsung meningkatkan kualitas atau waktu pelayanan, karena kurangnya
rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diemban.
Dikarenakan jumlah pegawai yang masih kurang, maka penambahan pegawai baru
dilakukan melalui jalur lain yaitu BLUD. Puskesmas Gamping 1 sudah berstatus puskesmas Badan
Layanan Umum Daerah (BLUD), yang merupakan sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana
teknis dinas/badan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Puskesmas memiliki
fleksibilitas atau keleluasaan dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari
ketentuan pengelolaan daerah pada umumnya (Kementrian Dalam Negeri, 2018). Puskesmas
BLUD merupakan satuan kerja kementrian kesehatan, yaitu kantor atau satuan kerja di lingkungan
Kementrian Kesehatan yang berkedudukan sebagai pengguna anggaran/barang atau kuasa
pengguna anggaran/barang, dimana satuan kerja ini menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (PPK-BLU) yang merupakan pola pengelolaan keuangan yang
memberikan fleksibilitas untuk menerapkan praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat (Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 tahun 2014, pegawai pada satuan
kerja yang menerapkan PPK-BLU terdiri dari pegawai negeri sipil dan pegawai non-PNS. Pegawai
non-PNS kemudian terbagi lagi menjadi pegawai tetap dan pegawai kontrak, dimana pegawai tetap
adalah pegawai yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh pimpinan BLU dan memiliki nomor
induk pegawai dan pengadaannya dilakukan apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi melalui
pengadaan pegawai negeri sipil. Pengadaan pegawai BLU dilaksanakan melalui tahap perencanaan
terlebih dahulu berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja dan kebutuhan pegawai unit
kerja pada satuan kerja. Sedangkan pegawai kontrak merupakan pegawai dengan perjanjian kerja
yang memenuhi syarat dan diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu.
“Kalau yang BLUD itu misalnya kaya pemeliharaan gedung, gaji sini kan ada BLUD 10…”
(IPO, 95-100)
Namun pengangkatan pegawai BLUD ini juga masih belum menutupi persoalan
kekurangan SDM karena dana puskesmas terbatas sehingga tidak bisa mengangkat lebih banyak
pegawai, sehingga solusi yang dilakukan oleh puskesmas adalah pengoptimalan kerja pegawai.
“… Tapi kita itu diluar jam kantor itu baru bisa mengerjakan pekerjaan sehari-harinya. Jadi
kita pelayanan UKM UKP itu di jam kantor, tiap pagi itu harus ngatur yang pelayanan ke
masyarakat siapa yang pelayanan dalam gedung siapa, kemudian nanti malam itu
programnya apa. Itu kita kasih PR, kita koordinasi di WA group…” (SS, 264-273)
“… Misalkan ada yang cuti atau meninggal nanti dilimpahkan kepada siapa gitu” (TM, 30-
32)
Solusi pengalihan tugas ini disebut juga dengan task shifting, yaitu pendelegasian tugas
untuk pegawai yang sudah ada atau pegawai baru melalui suatu pelatihan tertentu. Task shifting di
fasilitas kesehatan bertujuan untuk meningkatkan layanan perawatan kesehatan atau sebagai
alternatif untuk memberikan pelayanan kesehatan yang sama dengan kualitas tertentu dan biaya
yang lebih rendah, namun dapat menimbulkan masalah lain yaitu motivasi pegawai yang perlu
dijaga dan kemampuan serta keterampilan yang perlu diperhatikan sebelum pengalihan tugas
dilakukan (Fulton et al, 2011).
4.1.2.2 Obat-obatan
Pelayanan kefarmasian di puskesmas merupakan faktor penting dari terlaksananya
pelayanan kesehatan yang maksimal. Pelayanan kefarmasian memiliki dua tahapan, yaitu
pengelolaan sediaan farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) dan pelayanan farmasi klinik.
Pelayanan ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74
Tahun 2016.
Dalam kegiatan pengelolaan sediaan farmasi dan BMHP, diperlukan adanya perencanaan,
permintaan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pemusnahan dan penarikan, pengendalian, administrasi dan pemantauan. Perencanaan dilakukan
dengan mempertimbangkan pola penyakit, pola konsumsi sediaan sebelumnya, data mutasi dan
rencana pengembangan. Puskesmas Gamping 1 dalam pengadaan obat mengacu pada formularium
nasional dan formularium kabupaten melalui perencanaan setiap satu tahun sekali bersama dengan
puskesmas lain dan gudang farmasi. Perkiraan kebutuhan dilakukan dengan menghitung metode
konsumsi obat tahun sebelumnya dan tren pemakaian obat dan BMHP. Pengadaan sediaan farmasi
dan BMHP di luar dinas disesuaikan dengan kebutuhan Puskesmas Gamping 1, yaitu bahan gigi
dan bahan lab yang memang tidak disediakan oleh Dinas Kesehatan dengan menggunakan sumber
dana BLUD.
Kendala yang dialami oleh bagian farmasi adalah keterlambatan distribusi obat dari UPT
POAK sehingga pelayanan kefarmasian menjadi sedikit terganggu. Namun Puskesmas Gamping
1 sudah menyediakan anggaran tersendiri jika persediaan obat sudah benar-benar habis, sehingga
tidak perlu menunggu ketersediaan obat dari UPT POAK.
“… Misal ada kasus di sana habis, padahal itu obat yang esensial seperti obat batuk gitu,
datengnya agak lama. Jadi kita perlu pengadaan sendiri, biasanya pakai dana tersebut. Jadi
memang di anggaran itu sudah ada dana mendadak atau dana yang insidental gitu lah…”
(M, 104-112)
Sarana dan prasarana yang tersedia di Puskesmas Gamping 1 sudah mendukung pelayanan
kefarmasian. Sarana dan prasarana yang tersedia adalah ruang obat dan gudang penyimpanan obat.
Untuk ruang obat sendiri terdiri dari bagian penerimaan resep, bagian pelayanan resep dan
peracikan, bagian penyerahan obat, ruang konseling, bagian penyimpanan obat dan BMHP dan
bagian arsip.
Terdapat sarana dan prasarana penunjang yang terdapat di ruang obat dan gudang
penyimpanan obat. Sarana dan prasarana tersebut antara lain 1 set meja dan kursi, komputer, rak
obat, meja peracikan dan peralatan peracikan obat lainnya. Sarana dan prasarana ini sudah dapat
digunakan secara maksimal oleh pegawai kefarmasian sehingga memudahkan dalam pelayanan
kefarmasian.
“… Karena kita sistemnya sudah less paper tidak perlu pakai resep manual jadi membantu
sekali dalam pelayanan, itu juga etiketnya sudah pakai stiker tidak perlu tulis tangan jadi
mempercepat. Tidak terlalu membebani.” (M, 398-405)
Reagen yang digunakan adalah reagen yang sudah disediakan oleh Dinas Kesehatan, yang
dalam perencanaannya ditentukan oleh laboran di puskesmas yang masih dalam satu wilayah
tersebut. Jika ada reagen yang tidak dapat disediakan oleh dinas, maka puskesmas melakukan
pengadaan sendiri dengan menggunakan dana BLUD.
“Kan sudah ada anggarannya sendiri ya. Yang dari dinas ada sendiri, yang ngga ada di
dinas kita merencanakan sendiri. Nanti kan ada dana yang diluar untuk itu ya, artinya sudah
ada dana yang apabila butuh sewaktu-waktu sudah ada dana sendiri.” (TM, 91-98)
Namun dalam pelaksanaannya terkadang terdapat kendala berupa stok reagen yang kosong
baik di puskesmas maupun di dinas. Stok reagen tersebut kemudian dapat terpenuhi dengan
peminjaman reagen ke puskesmas lain untuk memenuhi kebutuhan atau dengan memundurkan
jadwal pemeriksaan rutin namun tidak merujuk ke tempat lain.
“Jadi kita pinjem NS1 5 di puskesmas lain, nanti kalau kita udah ada drop lagi nanti kita
kembalikan.” (TM, 220-222)
“Ya cuma sementara kosongnya. Misalkan sifilis ya. Sifilis kan didrop dari provinsi.
Misalnya kosong ya kita ga mengerjakan. Nanti kalau misalkan ibu hamil kan dari trimester
pertama sampai keempat. Jadi nanti periksanya cuma mundur, ga pas waktunya.” (TM,
235-242)
Dari segi prasarana, laboratorium Puskesmas Gamping 1 sudah mempunyai area-area yang
dibedakan tiap fungsinya, yaitu loket, area pengambilan sampel dan area pemeriksaan spesimen.
Selain itu, pengaturan mengenai area laboratorium juga sudah memperhatikan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan berupa pemisahan limbah antara limbah
infeksius, limbah non-infeksius, limbah benda tajam dan limbah cair, serta pemisahan penyerahan
sampel dahak melalui bagian luar gedung puskesmas untuk mencegah penularan.
“Itu kan PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi), jadi ini kan ruangan non infeksius,
jadi nanti ga terpengaruh. Sampel dahak kan infeksius, jadi harus lewat belakang.” (TM,
323-327)
Kendala lain yang muncul adalah pekerjaan yang menumpuk karena permintaan
pemeriksaan laboratorium yang tinggi karena tidak hanya dari puskesmas namun rujukan dari
pihak lain seperti dokter keluarga. Sehingga hasil pemeriksaan tidak dapat keluar dengan cepat.
“… Tapi kan pasien rujukan dari swasta, jadi bukan dari sini tapi dari dokter keluarga. Jadi
kalau dirujuk kesini kan harus ikut alur di puskesmas. Saya kan juga melayani pasien umum
to jadi numpuk-numpuk. Misalkan periksa urin to, kan hasilnya lama (tertawa).” (TM, 277-
268)
Pemeriksaan laboratorium untuk pasien rujukan atau dari luar puskesmas harus mengikuti
alur kegiatan pemeriksaan yang sudah berjalan di puskesmas, namun tanpa melalui pemeriksaan
dokter puskesmas. Alur kegiatan pemeriksaan laboratorium dijelaskan lebih lanjut pada gambar di
bawah ini.
Gambar 7. Alur Kegiatan Pemeriksaan Laboratorium di Puskesmas (Permenkes No 37, 2012)
Sarana dan prasarana lain yang dimiliki oleh Puskesmas Gamping 1 sudah mengikuti
standar yang ditetapkan oleh pemerintah melalui aplikasi sarana, prasarana dan alat kesehatan
(ASPAK). ASPAK adalah suatu aplikasi berbasis web yang disediakan untuk fasilitas pelayanan
kesehatan untuk menghimpun dan menyajikan informasi terkait sarana, prasarana dan alat
kesehatan. Tujuan dari aplikasi ini adalah untuk inventarisasi, pemetaan dan pengawasan terhadap
pemenuhan sarana, prasarana dan alat kesehatan, serta untuk mendukung akreditasi fasilitas
pelayanan kesehatan. ASPAK memuat data-data berupa data umum fasilitas kesehatan, data
fasilitas berupa data bangunan, data ruangan, data prasarana, data peralatan, dan data lainnya.
ASPAK harus selalu diupdate agar sarana, prasarana dan alat yang tersedia dapat terpantau
kuantitasnya (Permenkes no 31, 2018)
Sarana, prasarana dan alat yang dimiliki oleh Puskesmas Gamping 1 sudah tergolong cukup
lengkap, namun karena standar ASPAK merata untuk seluruh puskesmas di Indonesia, maka
terkadang Puskesmas Gamping 1 tidak dapat memenuhi kriteria tersebut karena alat yang dimiliki
puskesmas memiliki standar yang lebih tinggi.
“…tapi gini. Kalau di kita bukan karena jelek, karena bagus. Jadi ada karena jelek ada
karena bagus, karena kelebihan. Kita juga ada aplikasinya.” (SS, 475-478).
Data yang sudah dimasukkan ke dalam ASPAK dapat digunakan untuk berbagai hal, yaitu
penyusunan kebutuhan untuk pemenuhan standar, izin operasional dan penetapan klasifikasi
fasilitas pelayanan, izin operasional dan penetapan klasifikasi, pengembangan pelayanan, serta
penilaian akreditasi (Permenkes no 31, 2018). ASPAK diharapkan dapat menjadi sarana bagi
fasilitas kesehatan untuk mengevaluasi sarana dan prasarana, karena ketersediaan sarana dan
prasarana yang memadai menjadi penting untuk menunjang pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Selain kelengkapan sarana dan prasarana, aspek penting yang perlu diperhatikan adalah
pemanfaatan sarana dan prasarana tesebut secara maksimal. Puskesmas Gamping 1 sudah
menggunakan komputer untuk pelaporan sehingga mempermudah pekerjaan pegawai. Hal ini
sejalan dengan penelitian Ristiani (2017) bahwa ketersediaan sarana dan prasarana di fasilitas
kesehatan signifikan memengaruhi kepuasan pasien, namun sarana dan prasarana yang lengkap
dan berfungsi optimal dapat secara nyata menunjang pencapaian tingkat kepuasan pasien.
120%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Dari grafik tersebut, dapat dilihat bahwa tidak semua indikator mencapai target yang sudah
ditetapkan. Indikator yang sudah mencapai target hanya sejumlah 4 indikator dari total 12
indikator, yaitu pelayanan kesehatan ibu bersalin, pealyanan kesehatan bayi baru lahir, pelayanan
kesehatan orang dengan gangguan jiwa berat, dan pelayanan kesehatan orang dengan risiko
terinfeksi HIV. Tidak tercapainya target ini dikarenakan adanya beberapa kendala selama
pelaksanaan program SPM.
Pada indikator pelayanan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin dan bayi baru lahir tergabung
menjadi satu program yaitu program KIA. Data sekunder menunjukkan bahwa pada indikator ini
sudah menunjukkan hasil yang baik dan memenuhi target. Berikut ini merupakan capaian yang
telah diperoleh untuk program KIA pada SPM pengembangan Puskesmas Gamping 1 tahun 2018.
120%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Pelayanan Pelayanan KB Pemberian ASI
kesehatan ibu eksklusif
nifas
Metode yang digunakan oleh Puskesmas Gamping 1 untuk mencapai hasil 100% adalah
melalui screening untuk setiap ibu hamil disertai dengan data checklist layanan ANC. Selain itu,
kerjasama dengan pihak di luar puskesmas, seperti klinik, bidan praktek swasta atau rumah sakit
yang terdapat pada wilayah kerja Puskesmas Gamping 1.
“Ya itu tadi. Kalau kita di puskesmas itu harus menscreening setiap ibu hamil itu apakah
sudah mendapatkan layanan ANC terpadu itu atau belum, nah kita itu ada checklistnya
untuk setiap ibu hamil itu apakah sudah sudah mendapatkan layanan ANC tahap terpadu
atau belum. Apabila belum ya jika sudah saatnya diperiksa ya kita berikan layanan. Selain
itu, ya itu tadi. Kita bekerjasama dengan pihak swasta untuk membantu programnya
pemerintah dalam rangka mencapai SPM ini.” (E, 101-115)
Kendala utama dalam pelaksanaan program KIA selain SDM yang kurang adalah faktor
fasilitas kesehatan di luar puskesmas yang juga menyediakan pelayanan kesehatan ibu hamil,
karena program pemerintah terutama untuk mendukung terlaksananya SPM masih dirasa kurang
tersosialisasikan dengan baik, sehingga berdampak pada pelaporan ke puskesmas.
“Nek kalau lingkungan itu faskes swasta karena belum banyak terpapar kebijakan-
kebijakan pemerintah kan, mungkin kurang mendukung. Seperti layanan ANC terpadu itu,
kalau pihak swastanya tidak tahu program-program pemerintah kan jadi akhirnya ga
mendukung, ga laporan juga.” (E, 276-287)
Solusi yang sudah dilakukan Puskesmas Gamping 1 terkait kerjasama dengan pihak luar
puskesmas adalah melalui kegiatan jejaring, yaitu koordinasi dan komunikasi untuk data laporan
ibu hamil, kemudian juga dilakukan monitoring dan evaluasi sehingga target bisa dicapai secara
maksimal.
Pada indikator TB, Puskesmas Gamping 1 memperoleh 46% dari target 100% untuk SPM
kesehatan. Untuk SPM yang mengacu Permenkes nomor 43 tahun 2016, indikator pelayanan
kesehatan orang dengan tuberkulosis sendiri mempunyai pengertian berupa pelayanan yang
diberikan oleh seluruh orang dengan TB yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai
kewenangannya di FKTP atau FKTL baik pemerintah maupun swasta. Pelayanan ini mencakup
penegakkan diagnosis secara bakteriologis dan klinis serta pemeriksaan pemantauan kemajuan
pengobatan pada akhir pengobatan intensif, bulan ke 5 dan akhir pengobatan.
“100% itu dari yang apa? Dari pengobatan yang kesembuhan to? Kalau yang penemuan itu
70% atau 90% ya saya lupa. Kalau pengobatan kita sudah 100%. Ngga ada yang DO.” (R,
81-86)
Masalah utama dari program TB adalah kurangnya SDM terutama untuk laboran.
Berdasarkan standar ketenagaan puskesmas yang terdapat di Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
75 Tahun 2014, sebenarnya jumlah ahli teknologi laboratorium medik sudah mencukupi. Namun
permintaan untuk pemeriksaan laboratorium tidak hanya dilakukan oleh bagian tertentu saja,
namun semua bagian seperti BP umum, KIA, MTBS dan lain sebagainya, sehingga hasil
pemeriksaan BTA untuk TB biasanya selesai dalam waktu 3 sampai 4 hari.
“Ya mungkin kita bisa sambi. Jadi buat preparat nanti setelah jam 12. Nanti kalau kita
mengecat pagi-pagi, nanti kita lihat di mikroskop kita sambi kalau pas-pasan selo ya baru
dikerjakan” (TM, 304-309)
Kendala lain yang dialami pada program TB selain kurangnya SDM adalah dari faktor
pasien. Petugas laboran atau dokter sebenarnya sudah memberitahu bagaimana cara mengeluaran
dahak, namun pasien terkadang tidak bisa mengeluarkan dahak, tidak menyerahkan pot dahak,
atau salah dalam mengeluarkan spesimen dahak sehingga hasil pemeriksaan laboratorium tidak
dapat maksimal.
Solusi dari kendala yang dialami adalah dengan edukasi mengenai mengeluarkan dahak
dari pemegang program TB atau dari pihak laboran. Selain itu untuk memantau kepatuhan minum
obat penderita TB, Puskesmas Gamping 1 memiliki program SMS gateway, yaitu sms pengingat
yang dikirimkan setiap hari sekitar jam 5 pagi untuk pasien-pasien tertentu, termasuk pasien TB,
untuk meminum obat. Program SMS gateway ini merupakan program dari bagian farmasi
Puskesmas Gamping 1 yang digunakan tidak hanya di program TB, namun pada program lainnya
seperti kesehatan lingkungan, KIA, gizi, dan lain sebagainya.
Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Jawa
Tengah dan berbatasan dengan beberapa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dan DIY. Pada
bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali, pada bagian
selatan berbatasan dengan Kabupaten Purworejo dan DIY, pada bagian barat berbatasan dengan
Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo, dan pada bagian utara berbatasan dengan
Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang. Selain itu, Kabupaten Magelang juga
berbatasan dengan Kota Magelang yang terdapat di tengah (Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang
profil kes magelang, 2017).
Gambar 10. Peta Kabupaten Magelang (Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang profil kes
magelang, 2017).
Kabupaten Magelang terbagi menjadi 21 kecamatan yang terdiri dari 367 desa dan 5
kelurahan dengan luas sekitar 1.085,73 km2 atau 3,34% dari luas wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Salaman merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Magelang dengan luas wilayah
68,87 km2, jumlah penduduk sekitar 69.901 jiwa, kepadatan sekitar 1014,97 km2 (Dinas Kesehatan
Kabupaten Magelang profil kes magelang, 2017).
Wilayah kerja Puskesmas Salaman 1 mencakup 10 desa dari total 20 desa yang terdapat di
Kecamatan Salaman, yaitu desa Salaman, Kalisalak, Menoreh, Kalirejo, Paripurno, Ngargoretno,
Ngadirejo, Sidomulyo, Kebonrejo dan Banjarharjo. Kondisi geografis di wilayah kerja Puskesmas
Salaman 1 sebagian besar adalah pegunungan. Keadaan penduduk di wilayah kerja Puskesmas
Salaman 1 pada tahun 2018 adalah sebagai berikut:
b. Kuantitas SDM
“Iya, nah itu moratorium sampai bertahun-tahun, jadi kita sama sekali ngga ada pengadaan
CPNS. Jadi ya pegawai yang ada itu yang diberdayakan. Jadi untuk volume pekerjaan
misalkan ada yang pensiun atau ada yang meninggal, pekerjaannya ya diampu yang ada.
Artinya volume pekerjaannya yang tambah, tapi untuk kuantitas dari SDMnya ngga
tambah. Beban kerjanya yang nambah.” (G, 84-95)
Kinerja pegawai dapat ditingkatkan melalui beberapa hal, salah satunya adalah beban kerja.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tjiabrata (2017), terdapat adanya pengaruh yang
signifikan antara beban kerja terhadap kinerja karyawan. Namun di Puskesmas Salaman 1, masih
terdapat adanya beban kerja yang tidak merata, ini dikarenakan kualitas SDM yang menjadi
kendala dalam pelayanan puskesmas. Kemampuan setiap SDM yang tidak sama, terutama untuk
pengoperasian komputer atau penggunaan internet. Dalam pelayanan kesehatan sekarang,
penggunaan internet sangat diperlukan karena sistem yang sudah paper less untuk memudahkan
pendataan dan juga pelaporan.
Penambahan pegawai melalui perekrutan BLUD sendiri tidak dapat dilakukan oleh
Puskesmas Salaman 1 karena peraturan bupati untuk daerah Magelang masih belum disahkan.
Maka dari itu, solusi yang dilakukan puskesmas adalah mengangkat pegawai wiyata bakti.
Pengadaan pegawai wiyata bakti atau pegawai tidak tetap dilakukan mandiri oleh puskesmas,
dengan gaji menggunakan pendapatan Puskesmas Salaman 1.
“… Tapi 2017 itu statusnya di magelang pun masih bertahap. Tahun 2018 itu sudah
menjadi penuh. Jadi secara otomastis tidak berlaku kan karna beda status. Lah gek sadar
saiki nggawe saiki jadi tahun ini buat 2, 2018 dan 2019.” (H, 109-119)
“Kita belum. Perbupnya belum ada jadi kita belum menerima. Hanya ada tenaga wiyata
bakti…” (G, 39-41)
Puskesmas Salaman 1 sebagai puskesmas rawat inap tentu memerlukan pegawai yang lebih
banyak dibandingkan dengan puskesmas rawat jalan, termasuk diantaranya untuk shift malam.
Namun untuk pelayanan, khususnya untuk shift malam, sudah dirasa mencukupi karena terbantu
oleh tenaga internship.
“Iya ada jadwalnya digilir. Tapi kan 4 dokter itu agak susah buat shift malem, jadi yang
jaga malem itu dokter Fitri karena dia kan ada di rumah dinas sini. Tapi untuk yang terjun
ke lapangan langsung internship, nanti kalau ada apa-apa on call sama bu Fitri.” (M, 232-
239)
Lain halnya untuk bagian kefarmasian, tenaga farmasi belum bisa memenuhi permintaan
puskesmas untuk mengadakan piket di UGD puskesmas karena jumlah pegawai yang terbatas dan
juga kesibukan lain. Maka dari itu pekerjaan kefarmasian di UGD dilakukan oleh petugas UGD.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2016, penyelenggaraan pelayanan
kefarmasian di puskesmas minimal harus dilaksanakan oleh 1 orang tenaga apoteker dan dibantu
oleh tenaga teknis kefarmasian sesuai dengan kebutuhan. Namun karena keterbatasan, pelayanan
kefarmasian tidak dapat dilakukan secara maksimal dan harus dilakukan oleh petugas lain.
4.2.2.2 Obat-obatan
Regulasi yang mengatur pengadaan sediaan farmasi dan BMHP di Puskesmas Salaman 1
adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian. Peraturan ini sudah mencakup mulai dari pengadaan hingga pelayanan farmasi klinik
kepada pasien.
Kendala yang ada di bagian farmasi adalah dari pengadaan obat, baik dari dinas maupun
pengadaan sendiri. Tidak semua obat yang terdapat di e-katalog sesuai dengan formularium
nasional dan DOEN, sehingga dinas tidak bisa mengadakan obat tersebut. Hal ini sejalan dengan
penelitan Winda (2018) yang menyatakan bahwa tidak semua item obat di Fornas tayang di e-
katalog meskipun telah mengalami peningkatan setiap tahun. Hal ini disebabkan karena data
Rencana Kebutuhan Obat (RKO) dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang diajukan oleh
Kementrian Kesehatan sehingga terjadi gagal lelang dan obat yang dibutuhkan tidak tersedia.
Padahal obat-obatan yang tidak tersedia di e-katalog harus disediakan sendiri oleh puskesmas dan
memerlukan dana yang lebih besar.
Pengadaan obat sendiri oleh puskesmas juga menjadi kendala lain. Pemasok obat dari
perusahan farmasi tidak banyak yang bersedia untuk menyediakan obat ke puskesmas karena
birokrasi yang lebih rumit dibandingkan dengan apotek. Juga terkadang obat-obatan yang
ditawarkan tidak sesuai dengan permintaan puskesmas. Selain itu, dana yang terbatas menjadikan
puskesmas tidak bisa melengkapi obat-obatan yang dibutuhkan.
“Kalau di puskesmas kan kelengkapan birokrasi butuh lebih banyak ya. Ada tanda tangan
panita pengadaan, ada SPJ, ada pajak ini pajak itu. Jadi kadang beberapa supplier ngga mau
masuk puskesmas karena administrasinya lebih ribet.” (W, 119-125)
Solusi yang telah dilakukan oleh puskesmas adalah menentukan obat prioritas yang akan
dilakukan pengadaan sendiri jika obat tersebut tidak terdapat di dinas. Puskesmas Salaman 1 juga
melakukan relokasi obat-obatan yang berasal dari dinas dengan cara mengambil stok persediaan
obat dari puskesmas lain. Hal itu selain berguna untuk memenuhi kebutuhan obat Puskesmas
Salaman 1, juga membantu puskesmas lain untuk menghabiskan stok obat dan menghindari obat
yang kadaluwarsa. Namun jika stok obat di puskesmas lain juga sedikit, maka tidak dilakukan
relokasi obat tetapi hanya peminjaman obat, sehingga Puskesmas Salaman 1 wajib mengembalikan
obat tersebut.
Sarana dan prasarana yang terdapat di gudang obat Puskesmas Salaman 1 masih belum
mencukupi. Dari hasil observasi dan wawancara, didapatkan hasil bahwa lemari penyimpanan
NAPZA masih menggunakan lemari kayu biasa, sedangkan seharusnya obat narkotika dan
psikotropika harus menggunakan lemari khusus. Hal ini dikarenakan dana yang terbatas sehingga
pemenuhan sarana dan prasarana tidak bisa maksimal. Selain itu, perpindahan status Puskesmas
Salaman 1 menjadi rumah sakit juga menjadi salah satu alasan karena sarana dan prasarana yang
diprioritaskan untuk diganti atau dibeli menjadi banyak.
4.2.2.3 Laboratorium
Dari segi sarana dan prasarana, laboratorium Puskesmas Salaman 1 belum memenuhi
standar sesuai dengan peraturan yang diacu, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 tentang
Penyelenggaraan Laboratorium Puskesmas, karena di dalam ruangan laboratorium belum terdapat
adanya blower. Namun selain itu sudah memenuhi kriteria yang ditentukan. Penyimpanan reagen
sudah dilakukan di rak khusus, tempat yang kering dan dibedakan menurut jenisnya. Ruang
penyimpanan reagen terdapat di dalam ruangan laboratorium Puskesmas Salaman 1.
“Karena kita kan pasang AC, itu kan harus dikeluarkan lewat blower itu.” (T, 193-195)
Kendala lainnya yang dialami untuk pelayanan laboratorium adalah distribusi reagen dari
Dinas Kesehatan yang jumlahnya sangat sedikit sehingga tidak mencukupi untuk kebutuhan
puskesmas, sehingga puskesmas harus melakukan pengadaan mandiri untuk reagen-reagen yang
dibutuhkan.
“Jadi kalau dari dinas, kita ngajukan umpama ya, 10 gitu nanti diacc nya 1. Padahal kita
ngajukan 1 tahun ya, kita perencanaan 1 tahun. Tapi kalau dari dinas itu… Mungkin dinas
juga, istilahnya dibagi-bagi lah sama puskesmas lain jadi ngga cukup setahun, paling cuma
cukup sebulan lah.” (T, 23-32)
“Karena dananya itu yang terbatas. Pelayanannya sudah seperti rumah sakit, tetapi untuk
anggarannya itu seperti puskesmas.” (G, 167-170)
“Kalau ruangan ngga ya. Karena kan memang harusnya ada poli TB, tapi di sini kan mau
jadi rumah sakit. Jadi ada ruangan itu ya kita pakai dulu.” (K, 298-302)
Kendala lainnya yang dihadapi adalah dari bagian kefarmasian. BMHP berupa infus set
yang dikirim oleh Dinas Kesehatan dikirim pada satu waktu, sehingga infus set harus diletakkan
di luar gudang obat. Hal ini mengakibatkan infus set tersebut diletakkan di ruangan tidak terpakai
sehingga tidak sesuai standar kefarmasian yang berlaku. Namun hal ini akan diperhitungkan untuk
pembangunan rumah sakit sebagai pengganti puskesmas, sehingga puskesmas terpaksa untuk
meletakkan infus set sementara di ruangan tersebut.
Sarana dan prasarana berupa komputer dan jaringan internet juga terkadang menimbulkan
masalah dalam pelayanan di puskesmas. Terdapat beberapa faktor yang berperan, yaitu server
yang bermasalah dan aplikasi yang terkadang tidak berfungsi sehingga pada saat input data
menjadi tidak terbaca. Beberapa fasilitas pendukung seperti komputer, laptop atau printer juga
tidak tersedia pada beberapa bagian, sehingga harus menggunakan laptop dari bagian lain atau
menggunakan laptop sendiri. Solusi terkait kendala ini adalah dengan back up data secara manual
menggunakan laptop tanpa diinput pada aplikasi.
“… kemarin ikut di laptop bendahara, dan itu kan bendahanya juga pakai ya, kalau kita
nebeng dan mau entry tapi akhirnya error kan jadinya juga ngga berjalan di sini” (W, 432-
436)
250.00%
200.00%
150.00%
100.00%
50.00%
0.00%
“Ya gimana ya karena perintahnya masih ada jadi kita nurut saja sih, mungkin tahun depan
kita sudah pakai yang Permenkes 2016 aja. Jadi untuk sekarang memang kita bikin
laporannya 2 untuk masing-masing permenkes.” (F, 63-67)
Terdapat beberapa indikator yang tidak mencapai target 100% jika dilihat melalui data
sekunder, antara lain pelayanan kesehatan ibu hamil, pelayanan kesehatan balita, pelayanan
kesehatan pada usia produktif, pelayanan kesehatan pada penderita hipertensi, pelayanan
kesehatan orang dengan TB, dan pelayanan kesehatan orang dengan risiko terinfeksi HIV.
Pada indikator pelayanan kesehatan penderita diabetes melitus, setiap penderita diabetes
melitus di wilayah kerja harus mendapatkan pelayanan sesuai standar. Artinya pelayanan
kesehatan diberikan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan mencakup empat pilar
penatalaksanaan, pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan HbA1C, dan kewajiban masuk
menjadi peserta JKN. Puskesmas Salaman 1 untuk indikator ini sudah memperoleh capaian yang
sangat baik, yaitu sebesar 170,33% pada tahun 2018. Metode yang digunakan oleh pelaksana
program antara lain screening penderita di BP umum atau dari bidan desa yang menemukan pasien
suspek diabetes melitus. Target ini juga bisa diraih karena prolanis merupakan program yang sudah
terjadwal secara pasti sehingga pasien yang datang sudah bisa memenuhi target.
“Kalau untuk sementara ini belum ada kunjungan rumah ya, karena banyak sekali kan
pasiennya. Kalau yang ada kunjungan rumahnya itu TB, kalau yang DM itu belum ada.
Paling kalau ada tetangganya yang pegawai sini paling diajak atau diingatkan. Atau dari
bidan desa, kan bidan desa gitu menyebar ya, jadi bidan desa yang mengingatkan. Tapi
kalau kunjungan rumah khusus belum ada programnya.” (M, 206-218)
Sedangkan untuk indikator program TB, masih belum mencapai target. Capaian SPM pada
tahun 2018 untuk indikator TB hanya meraih 37,78%. Kendala yang dihadapi pada program ini
adalah tidak ditemukannya pasien TB walaupun sudah terdapat beberapa program terkait TB,
antara lain penyuluhan, screening melalui kader TB, mahasiswa dan juga bidan desa, kunjungan
rumah pada penderita TB, dan lain-lain. Dari hasil evaluasi dan monitoring, dimungkinkan target
yang wajib dicapai terlalu tinggi sehingga Puskesmas Salaman1 tidak dapat mencapai angka
tersebut.
“…Targetnya tinggi mbak. Padahal kita sudah berusaha maksimal…” (K, 8-14)
Selain program internal yang sudah dilakukan oleh Puskesmas Salaman 1, terdapat juga
program eksternal yang dilakukan oleh Puskesmas Salaman 1, yaitu kerjasama lintas sektoral dan
kerjasama dengan LSM khusus untuk menscreening penderita TB. Kerjasama LSM ini merupakan
kerjasama di luar dinas kesehatan dan sudah dilakukan pada beberapa puskesmas di Kabupaten
Magelang dan tujuan untuk menemukan penderita TB.
“… ada LSM sendiri. Ini dibiayai dari global fund. Jadi dia itu minta kader, nanti dia yang
mendidik, kemudian dari LSMnya itu minta data dari saya, kadernya itu suruh
mengunjungi kotak-kotak yang BTA positif dari data 2018. Mulai bulan ini baru
berjalan.” (K, 146-153)
4.3 Kendala dan Solusi Pencapaian Target SPM dalam Pelayanan Puskesmas
Berdasarkan observasi, wawancara dan data sekunder, kendala dalam pencapaian SPM dan
solusi yang sudah dilakukan oleh Puskesmas Gamping 1 adalah sebagai berikut.
Berdasarkan observasi, wawancara dan data sekunder, kendala dalam pencapaian SPM dan
solusi yang sudah dilakukan oleh Puskesmas Salaman 1 adalah sebagai berikut.
5.1 Kesimpulan
5.1.1 Kesesuaian Sumber Daya Non Finansial Puskesmas Gamping 1 dan Puskesmas
Salaman 1 dengan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
Hasil analisis sumber daya non finansial Puskesmas Gamping 1 dan Puskesmas Salaman
1 terhadap pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan secara keseluruhan
sudah cukup baik, namun masih terdapat beberapa kendala, diantaranya faktor Sumber Daya
Manusia (SDM) yang tidak mencukupi, ketersediaan reagen dan obat-obatan di Dinas Kesehatan
yang masih belum mencukupi, faktor ruangan yang masih belum sesuai dengan standar, dan
anggaran yang terbatas.
Dari capaian SPM, Puskesmas Gamping 1 dan Puskesmas Salaman 1 mengacu pada
standar yang sama, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016, namun Puskesmas
Salaman 1 juga masih menggunakan peraturan yang lama yaitu Permenkes
741/MENKES/SK/XI/2008 sehingga terdapat target yang berbeda.
5.1.2 Sumber Daya Non Finansial Puskesmas Gamping 1 dan Puskesmas Salaman 1 dalam
mendukung Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
Capaian yang belum memenuhi target 100% untuk semua indikator menjadi kendala di
kedua puskesmas. Faktor-faktor yang mempengaruhi terutama pada kurangnya SDM untuk
menjalankan program sehingga program tidak bisa dijalankan dengan maksimal. Selain itu, faktor
dari pasien juga berperan penting dalam pencapaian SPM bidang kesehatan. Pada indikator TB,
pasien seringkali tidak mematuhi aturan dalam mengeluarkan dahak atau dalam mengumpulkan
pot berisi spesimen dahak, sehingga pengecekan laboratorium tidak dapat menunjukkan hasil
maksimal. Pada indikator lain seperti KIA, kurangnya kesadaran ibu hamil untuk segera
mendapatkan pelayanan yang dimulai dari awal kehamilan menjadi kendala yang memengaruhi
capaian SPM. Selain itu, faktor eksternal yaitu kerjasama dengan pihak di luar puskesmas seperti
dokter keluarga, klinik, atau rumah sakit juga terkadang tidak lengkap dalam hal pelaporan,
sehingga capaian SPM yang dihasilkan menjadi tidak maksimal.
5.2 Saran
Pemenuhan sumber daya finansial di Puskesmas Gamping 1 dan Salaman 1 selain harus
lengkap, juga harus memenuhi standar yang telah ditentukan. Selain itu, SDM yang kurang
mencukupi dan program yang terlalu banyak menjadikan pelayanan tidak maksimal karena harus
mengurus beberapa hal sekaligus. Maka disarankan kepada jajaran SDM di puskesmas Gamping
1 dan Salaman 1 untuk mengetahui peran dan beban kerja yang telah diberikan sehingga program
dan pelayanan dapat berjalan seimbang dan dapat mencapai hasil maksimal.
Agar dapat mencapai target SPM yang telah ditetapkan, evaluasi dan monitoring sangat
diperlukan tidak hanya untuk pemegang program namun juga kepada seluruh SDM di puskesmas
yang terlibat sehingga dapat menciptakan alur koordinasi yang baik dan pemahaman yang
menyeluruh. Selain itu, penetapan peraturan SPM yang berlaku di puskesmas juga harus dievaluasi
kembali agar tidak menyebabkan kebingungan dalam pelaksanaan dan penyusunan laporan SPM.
Untuk memfokuskan penelitian kepada satu dimensi manajemen dan indikator SPM
tertentu yang memiliki permasalahan kompleks.
Kabupaten Sleman terletak diantara 107o15’ 03’’ dan 100°29’ 30’’ lintang selatan. Wilayah
Kabupaten Sleman berketinggian antara 100–2500 M dari permukaan laut. Jarak terjauh utara–
selatan ±32 KM, timur–barat ±35 KM. Luas wilayah Kabupaten Sleman seluas 18 % dari luas
wilayah DIY atau seluas 57.482.000 ha. Kabupaten Sleman terdiri dari 17 kecamatan, 86 desa, 1212
dusun, dengan jumlah 2.890 RW dan 6.961 RT. Jumlah penduduk pada pertengahan tahun 2017
sebesar 1.062.861 jiwa, terdiri laki-laki 531.741 jiwa dan perempuan 531.120 jiwa. Tingkat
kepadatan penduduk 1.849 jiwa/km2, rasio jenis kelamin laki-laki per wanita sebesar 100,12%
(Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, 2018)
Berdasarkan batas wilayah Kabupaten Sleman meliputi bagian utara berbatasan dengan
Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Magelang Propinsi Jawa Tengah dengan gunung merapi
sebagai puncaknya, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah,
bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan kota Yogyakarta dan bagian barat
berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Magelang Propinsi Jawa Tengah.Secara
umum lokasi Kabupaten Sleman dapat di lihat dalam gambar sebagai berikut:
Gambar 7. Denah
Kabupaten Sleman (Profil Kesehatan Sleman,2018)
Jumlah tenaga yang bekerja di lingkungan Dinas Kesehatan (dinas dan puskesmas) sampai
dengan Desember 2017 sebanyak 1.157 orang. Jumlah tenaga medis di 25 puskesmas tahun 2017
sebanyak 121 orang, terdiri dari 1 orang dokter spesialis anak, dokter umum 88 orang, dan 31 orang
dokter gigi, 1 orang dokter gigi spesialis. Jumlah tenaga medis di rumah sakit sebanyak 2.132 yang
tersebar di rumah sakit dan klinik yang terdiri dari 1165 orang dokter umum, 724 orang dokter
spesialis, dokter gigi 158 orang dan dokter gigi spesialis 85 orang. Adapun rasio ketenagaan di
Kabupaten Sleman terhadap jumlah penduduk (per 100.000) ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Keadaan SDM Kabupaten Sleman Tahun 2017 (Profil Kesehatan Sleman,2018)
Dari tabel 1 diketahui bahwa beberapa jenis ketenagaan telah memenuhi standar
sebagaimana ditetapkan dalam Indikator Indonesia Sehat, yaitu dokter spesialis, dokter umum,
dokter gigi, dokter keluarga, bidan, perawat, Apoteker, dan Ahli Gizi, Nutrisionis dan Dietesien).
Adapun yang belum memenuhi standar yaitu ahli sanitasi dan ahli kesehatan masyarakat.
Luas wilayah kerja Puskesmas Mlati II seluas 15,79 km dengan rincian luas Desa
Sumberadi 6 km, Desa Tlogoadi 4,82 km dan Desa Tirtoadi seluas 4,97 km.
Batas wilayah kerja Puskesmas Mlati II adalah :
Kecamatan Mlati terdiri dari 5 desa dan wilayah kerja Puskesmas Mlati II terdiri dari 3
desa yaitu Desa Sumberadi, Tlogoadi dan Tirtoadi, 42 dusun,106 RW dan 254 RT. Jumlah secara
rinci terlihat pada tabel berikut :
No Desa Dusun RW RT
1 Sumberadi 15 39 99
2 Tlogoadi 12 35 88
3 Tirtoadi 15 32 69
Tabel 2 Jumlah Desa, Dusun, RW dan RT (Profil Puskesmas Mlati II, 2018)
Gambar 9. Wilayah
Kerja Puskesmas
Mlati II (Profil
Puskesmas
Mlati II,2018)
4.4 Profil Kabupaten
Magelang
Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang ada di wilayah Provinsi Jawa
Tengah. Secara geografis Kabupaten Magelang terletak diantara 1000-01’-51” Bujur Timur, 1100-
26’-58” Bujur Timur, 70-19’-13” Lintang Selatan dan 70-42’-16” Lintang Selatan. Secara
administrasi, Kabupaten Magelang dibagi menjadi 21 kecamatan, dengan jumlah desa sebanyak
367 desa dan 5 kelurahan dan beribu kota di Kota Mungkid. Kabupaten Magelang menurut BPS
Kabupaten Magelang (2016) memiliki jumlah penduduk 1.257. 123 jiwa yang tersebar di 21
kecamatan. Jumlah penduduk terbesar berada di Kecamatan Mertoyudan (114.212 jiwa).
Sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil berada di Kecamatan Ngluwar (31.187
jiwa).
Grafik 1 Penduduk Kabupaten Magelang (Dinkes Magelang, 2016)
Apabila dilihat berdasarkan kepadatan penduduknya yang dihitung dengan jumlah
penduduk per kilometer persegi wilayah kecamatan, maka Kecamatan Muntilan merupakan
kecamatan terpadat penduduk dengan kepadatan penduduk 777 jiwa per km2. Sedangkan
kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah ada di Kecamatan Kajoran dengan kepadatan
636 jiwa per km2.
Puskesmas Mungkid merupakan salah satu Puskesmas dari 29 Puskesmas yang ada di
Kabupaten Magelang yang terletak di wilayah tengah Kabupaten Magelang, tepatnya di Dusun
Blabak, Desa Mungkid, Kecamatan Mungkid sendiri secara keseluruhan terdiri dari 16 desa, dari
16 desa tersebut 2 desa merupakan wilayah kerja Puskesmas Kota Mungkid dan 14 Desa
Puskesmas Mungkid.
Wilayah kerja Puskesmas Mungkid masuk dalam wilayah Kabupaten Magelang dengan
batas-batas wilayah Puskesmas Mungkid adalah :
Wilayah kerja Puskesmas Mungkid meliputi 14 desa yaitu Desa Mungkid yang meliputi
12 dusun, Desa Ambartawang yang meliputi 7 dusun, Desa Blondo yang meliputi 7 dusun, Desa
Bumirejo meliputi 11 dusun, Desa Paremono meliputi 14 dusun, Desa Rambeanak meliputi 14
dusun, Desa Progowati meliputi 9 dusun, Desa Ngrajek meliputi 6 dusun, Desa Pabelan meliputi
10 dusun, Desa Bojong meliputi 14 dusun, Desa Pagersari meliputi 9 dusun, Desa Senden meliputi
7 dusun, Desa Treko meliputi 5 dusun dan Desa Gondang meliputi 6 dusun. Luas wilayah Kerja
Puskesmas Mungkid secara keseluruhan mencapai 3171,92 ha (31,72 km2). Semua wilayah desa
di wilayah Puskesmas Mungkid merupakan daerah dataran/hamparan.
Luas wilayah kerja Puskesmas Mungkid yang paling luas adalah Desa Pabelan sebesar
3,48 km2 (348 ha). Sedangkan wilayah yang luasnya paling kecil yaitu Desa Progowati sebesar
0,29 km2 (28,87 ha).
Perempuan Laki-Laki
Laki-Laki;
; 33.859
34.060 Perempuan
Terdapat beberapa jenis tenaga kerja di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid.
Berdasarkan hasil wawancara terdapat perbedaan jenis tenaga kerja yang berada di Puskesmas
Mlati II dan Puskesmas Mungkid. Adapun perbedaannya dapat terlihat pada gambar 13 dan 14
BLUD
PNS
Puskesmas PHL
Mlati II Non PNS
Outscourchi
ng
Honor
Daerah
Berdasarkan gambar diatas terdapat persamaan dan perbedaan jenis tenaga kerja yang ada
di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid. Adapun persamaan tenaga kerja yang dimaksud
adalah adanya pegawai negeri sipil dan juga tenaga non PNS yaitu pekerja harian lepas dan
pegawai tidak tetap/honor daerah. Sedangkan perbedaan tenaga kerja adalah adanya tenaga BLUD
dan tenaga outsourching yang ada di Puskesmas Mlati II.
Tidak adanya tenaga BLUD di Puskesmas Mungkid dikarenakan belum adanya regulasi
yang jelas untuk mengatur perekrutan tenaga BLUD. Perekrutan tenaga BLUD baru akan
dilaksanakan tahun 2019. Hal ini diketahui berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber.
“........tahun 2018 sebenarnya kita mau mengadakan perekrutan pegawai dinas kesehatan tapi
tekniknya atau gimana belum jelas jadi pemda suruh mengubah lagi. Sehingga tahun 2019 nanti
kita baru merekrut tenaga BLUD” (L, 294-301)
Regulasi perekrutan tenaga kerja terbagi menjadi dua yaitu regulasi perekrutan tenaga
PNS dan tenaga non PNS. Regulasi tenaga PNS diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menjelaskan bahwa pengadaan PNS berdasarkan
kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja
setiap instansi untuk jangka waktu lima tahun. Regulasi perekrutan ini diperkuat oleh adanya
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun
2018 tentang Kriteria Penetapan Kebutuhan Pegawai Negeri Sipil dan Pelaksanaan Seleksi Calon
Pegawai Negeri Sipil Tahun 2018 dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 37 Tahun 2018 tentang Nilai Ambang Batas Seleksi Kompetensi
Dasar Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun 2018.
Selain itu juga pemerintah pada tahun 2019 akan mengadakan perekrutan Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Menurut Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang
Manajemen PPPK, yang dimaksud PPPK adalah warga nergara indonesia yang memenuhi syarat
tertentu dan diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka
melaksanakan tugas pemerintahan. Untuk pengadaan perekrutan PPPK tahap I tahun 2019
pemerintah memprioritaskan perekrutan pada tiga bidang yaitu tenaga pendidikan, tenaga
kesehatan dan penyuluhan pertanian. Adapun untuk masa perjanjian kerja paling singkat satu tahun
dan perpanjangan berdasarkan pada pencapaian kinerja dan kebutuhan institusi.
Regulasi terkait perekrutan tenaga non PNS diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 79 Tahun 2018 tentang Badan Layanan Umum Daerah dan Peraturan Bupati
Sleman Nomor 1.3 Tahun 2018 tentang Badan Layanan Umum Daerah. Pada Permendagri Nomor
79 tahun 2018 menjelaskan bahwa pengangkatan pegawai diselenggarakan untuk mendukung
kinerja BLUD dan disesuaikan dengan kebutuhan, profesionalitas, kemampuan keuangan serta
berdasarkan prinsip efisiensi, ekonomis dan produktif dalam meningkatkan pelayanan. Ketentuan
lebih lanjut dijelaskan dalam Peraturan Bupati Sleman Nomor 1.3 Tahun 2018 yang menjelaskan
tentang Pengangkatan pegawai BLUD disesuaikan dengan kebutuhan instansi.
Terdapat beberapa mekanisme perekrutan dari tenaga kesehatan dan non kesehatan yang
ada di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid. Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah tenaga
aparatur sipil negara yang direkrut oleh pemerintah secara objektif berdasarkan kompetensi,
kualifikasi dan persyaratan lain yang dibutuhkan jabatan. Penyelenggaraan seleksi terdiri dari tiga
tahap yaitu seleksi administrasi, seleksi kompetensi dasar, dan seleksi kompetensi bidang.
Penempatan kerja PNS ditentukan oleh pemerintah dan berdasarkan dari situasi dan kebutuhan
yang ada pada daerah/ instansi terkait. Perekturan tenaga PNS pada lingkungan Puskesmas Mlati
II dan Puskesmas Mungkid menggunakan usulan kepada dinas kesehatan kabupaten.
“kita semua proses perekturannya pakai usulan ke dinas kesehatan kemudian dinas kesehatan langsung
ke BKKPD terus nanti kalau BKKPD ada penerimaan CPNS mana yang kosong baru diadakan
perekrutan” (E, 107-113)
Pegawai BLUD adalah tenaga kerja yang direkrut oleh Dinas Kesehatan Kabupaten
Sleman sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh puskesmas. Proses seleksi
diadakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Kemudian pegawai yang dinyatakan lolos
seleksi akan ditempatkan pada puskesmas yang membutuhkan. Puskesmas akan melaksanakan
kontrak kerja dengan pegawai BLUD dengan diketahui oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.
Dalam proses perekrutannya tidak ditemui hambatan/kendala. Tenaga BLUD di Puskesmas Mlati
II terdiri dari dokter, bidan, psikolog, akuntansi, perawat, apoteker, analis laborat, fisioterapi,
promosi kesehatan dan tenaga administrasi.
“Untuk tenaga BLUD saya kira tidak ada hambatannya ya karena kita hanya menerima dari
pemda/dinas kesehatan” (S, 66-69)
Pegawai outsourching adalah tenaga kerja yang berasal dari kerjasama antara puskesmas
dan pihak CV yang menaungi pekerja outsourching. Kemudian pihak CV yang menaungi tersebut
mengirimkan pegawainya sesuai dengan kebutuhan puskesmas. Tenaga outsourching terdiri dari
satpam dan tenaga kebersihan. Dalam proses perekrutannya terdapat hambatan/kendala yang
ditemui.kendala yang dihadapi adalah puskesmas harus memebrikan orientasi kerja kepada pekerja
outscouching setiap adanya rotasi kerja
“untuk tenaga outsourching karena status ketenagaan itu milik CV sehingga kendalanya itu pada CV
kan mempunyai mekanisme rotasi antar tempat dengan mitra kerja mereka sehingga ketika ada
pergantian tenaga kita harus memberikan penjelasan atau orientasi” (S, 74-83)
Pekerja harian lepas adalah tenaga kerja yang direkrut oleh puskesmas dengan perjanjian
kerja bersama pegawai bersangkutan. Perekrutan pekerja harian lepas berdasarkan dengan
kebutuhan yang ada di puskesmas. Pekerja harian lepas terdiri dari tenaga masak dan tenaga
loundry. Dalam melakukan proses penerimaan tenaga kerja, puskesmas melakukan seleksi sesuai
dengan standar kompetensi pegawai tersebut.
“… Kalau mau masuk ke instansi kan ada standarnya ya… Misalnya bidan, ya seorang bidan yang
bekerja pada suatu instansi kan harus punya keahlian tentang persalinan normal, keterampilan tentang
KB misalnya” (R, 76-83)
Pekerja tidak tetap dan tenaga honor daerah adalah tenaga kerja yang direkrut oleh dinas
kesehatan. Perekrutan ini berdasarkan usulan setiap puskesmas. Pekerja tersebut melaksanakan
kontrak kerja dengan dinas kesehatan. Kemudian pegawai tersebut akan ditempatkan pada
puskesmas yang membutuhkan. Pegawai PTT sudah ada di Puskesmas Mungkid sejak tahun
2007/2008. Contoh pegawai PTT yang berada di Puskesmas Mungkid adalah bidan. Sedangkan
contoh pegawai honor daerah di Puskesmas Mlati II adalah sopir ambulance.
“yang mengajukan adalah dinas kesehatan kabupaten. Dinas Kesehatan kabupaten mengusulkan ke
dinas kesehatan provinsi” (E, 400-403)
“Kalau honor daerah itu yang menyeleksi Pemda dan kita hanya menerima. Selama ini untuk honor
daerah itu sopir atau driver” (S, 23-26)
Menurut Andrizul dan Yoserizal (2013), proses rekruitmen dan penempatan SDM bisa
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor koordinasi, faktor transparansi, dan faktor finansial
sehingga hasil rekruitmen sumber daya manusia belum merupakan hasil usulan kebutuhan
organisasi. Kemampuan yang dimiliki oleh sumber daya manusia dalam melaksanakan tugas,
tentunya berpengaruh dalam penyelesaian tugas yang diberikan. Akibatnya banyak pekerjaaan
yang tertunda penyelesaiannya dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat juga tidak
memuaskan. Dampaknya kepercayaan masyarakat akan kinerja sumber daya manusia menjadi
semakin buruk dan jelek.
4.6.2 Kuantitas Sumber Daya Manusia
Kuantitas sumber daya manusia menjadi salah satu faktor yang menentukan pelayanan
kesehatan di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid. Berdasarkan profil Puskesmas Mlati II
tahun 2018 sumber daya manusia yang ada sebanyak 82 orang.
Berdasarkan tabel 4 terdapat beberapa sumber daya manusia yang sudah mencukupi dan
masih belum mencukupi. Adapun sumber daya manusia yang sudah mencukupi terdiri dari tenaga
dokter gigi, bidan, perawat gigi, asisten apoteker, sanitarian, elektromedik, epidemiolog kesehatan,
promosi kesehatan, radiografer, pramu kebersihan, tenaga laudry, tenaga masak, petugas
keamanan dan bendahara. Sedangkan sumber daya manusia yang belum mencukupi adalah tenaga
dokter, psikolog, perawat, analis laborat, nutrisionist, rekam medis, fisioterapis, tenaga
administrasi, binatu, kasir, pengelola sistem informasi.
Tabel 4. Sumber Daya Manusia Puskesmas Mlati II
No Jabatan & Jumlah Jumlah No Jabatan & Jumlah Jumlah
Pendidikan Pegawai & Ideal Pendidikan Pegawai Ideal
Status & Status
1. Kepala Puskesmas1 16 1 16. Epidemiolog 16 1
Kesehatan5
2. Kepala Bagian TU1 16 1 17. Pengemudi 39 3
Ambulan5
3. Dokter Umum2 4 (36,17) 9 18. Fisioterapis4 17 2
4. Dokter Gigi2 26 2 19. Promosi 2 (16, 17) 2
Kesehatan2
5. Psikolog1 17 3 20. Radiografer4 16 1
6. Bidan (34, 103) 13 (106,37) 13 21. Pramu 510 5
Kebersihan5
7. Perawat (114, 23) 13 (86,57) 10 22. Tenaga 18 1
Laundry5
8. Perawat gigi5 26 2 23. Tenaga Masak5 28 2
9. Asisten Apoteker 26 2 24. Petugas 310 3
(14, 15) Keamanan5
10. Apoteker2 2 (16, 17) 2 25. Tenaga 6(46, 27) 7
Administrasi (24,
45 )
11. Analisis Laborat 5 (46,17) 7 26. Binatu 0 1
(13, 24)
12. Sanitarian(12, 14) 26 2 27. Bendahara 3 (12,24) 3
13. Nutrisionist(13, 14) 26 3 28. Juru 16 2
Bayar/Kasir5
14. Rekam Medis4 26 7 29. Pengelola Sistem 0 1
Informasi
15. Elektromedik4 16 1 Jumlah 82 96
Keterangan:
Berdasarkan tabel 4 jumlah ideal tenaga kerja di Puskesmas Mlati II yaitu sebanyak 96
orang, akan tetapi pada kenyataannya tenaga kerja yang ada di Puskesmas Mlati II yaitu sebanyak
82 orang. Adapun kesimpulannya yaitu tenaga kerja di Puskesmas Mlati II belum mencapai
formasi ideal dan masih membutuhkan tenaga kerja sebanyak 14 orang.
Jumlah sumber daya manusia di Puskesmas Mlati II terdiri dari tenaga PNS sebanyak 52
orang, tenaga BLUD sebanyak 16 orang, tenaga PHL sebanyak 3 orang, tenaga honor daerah
sebanyak 3 orang dan tenaga outsourching sebanyak 8 orang.
Berdasarkan Profil Puskesmas Mungkid tahun 2018 sumber daya manusia yang ada
sebanyak 47 orang. Dari data yang didapat hanya 4 jenis tenaga kerja yang sudah memenuhi
jumlah ideal yang telah ditentukan. Sedangkan sebagian besar jenis tenaga kerja belum memenuhi
jumlah ideal yang telah ditentukan.
Berdasarkan tabel 5 terdapat beberapa sumber daya manusia yang sudah mencukupi dan
masih belum mencukupi. Adapun sumber daya manusia yang mencukupi terdiri dari tenaga bidan
dan sopir. Sedangkan sumber daya manusia yang belum mencukupi terdiri dari tenaga dokter,
dokter gigi, perawat gigi, asisten apoteker, analis laborat, sanitarian, gizi, rekam medis, dan tenaga
kebersihan
Berdasarkan tabel 5 jumlah ideal tenaga kerja di Puskesmas Mungkid yaitu sebanyak 61
orang, akan tetapi pada kenyataannya tenaga kerja yang ada di puskesmas mungkid yaitu sebanyak
47 orang. Adapun kesimpulannya yaitu tenaga kerja di Puskesmas Mungkid belum mencapai
formasi ideal dan masih membutuhkan tenaga kerja sebanyak 14 orang. Tenaga kerja di Puskesmas
Mungkid terdiri dari tenaga PNS sebanyak 31 orang, tenaga PTT sebanyak 1 orang dan tenaga
PHL sebanyak 5 orang.
Keterangan:
Dalam rangka pembangunan kesehatan pada RPJMN 2015-2019 salah satu unsur yang
berperan dalam percepatan pembangunan kesehatan adalah terpenuhinya tenaga kesehatan yang
bertugas di sarana pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut kementrian
kesehatan melakukan upaya yaitu jumlah puskesmas yang minimal memiliki lima jenis tenaga
kesehatan sebanyak 5.600 puskesmas (Kemenkes, 2017). Namun kenyataan yang ditemui di
lapangan upaya tersebut belum berjalan sesuai harapan. Keadaan ini dapat ditemukan di
Puskesmas Mungkid. Di Puskesmas Mungkid hanya dua jenis tenaga kesehatan yang memenuhi
formasi ideal. Kurangnya sumber daya manusia ini dapat dilihat dengan adanya tugas yang
tumpang tindih/ lebih dari satu yang dilaksanakan oleh petugas. Contohnya yaitu adanya tenaga
administrasi yang merangkap dan menjalankan program promosi kesehatan
“setiap karyawan bisa mempunyai tugas lebih dari satu dan mereka mengampu beberapa tugas supaya
tugas itu bisa dijalankan” (S, 147-150)
“........tidak ada peraturan dari dinas yang mengatur tentang pengangkatan tenaga kerja, sambil nunggu
dari dinas untuk membuat peraturan” (E, 182-185)
“kita nanti pake usulan ke BKPPD ( Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah) itu
melalui dinas kesehatan” (E, 80-83)
Namun pengusulan penambahan tenaga kerja yang masih kurang ini tidak semuanya
dipenuhi oleh Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah BKKPD. Hal ini dikarenakan
adanya regulasi/aturan yang sulit untuk memenuhi tersedianya tenaga kerja dan juga tergantung
dengan keputusan pemerintah dalam menentukan formasi atau jumlah tenaga kerja.
“berapa yang dibutuhkan nanti akan usulkan ke dinas yang pada akhirnya nanti tidak semua tenaga
yang kita minta disetujui karena tergantung dari keputusan pemerintah untuk formasi yang dipenuhi”
(S, 138-144)
Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja tersebut maka Puskesmas Mlati II dan
Puskesmas Mungkid melakukan perekturan tenaga kerja non PNS seperti tenaga BLUD, tenaga
PHL dan tenaga outsourching. Perekrutan tenaga PHL ini dilaksanakan oleh pihak puskesmas dan
disesuaikan dengan kebutuhan puskesmas. Namun perekrutan ini terkendala dengan terbatasnya
pendapatan puskesmas untuk menggaji pegawai PHL.
“Misalnya disini kan perawat umum ada enam tapi yang kita butuhkan ada delapan jadi kita
mengangkat PHL. Jadi sekarang sudah terpenuhi karena adanya PHL itu” (E, 80-90)
“bidan kan kurang adanya hanya 2 dan semua bidan desa, untuk itu menggunakan biaya sendiri
(kapitasi, retribusi dan jamkesda), tapi kalau banyak kan saya tidak sanggup” (L, 360-366)
Selain itu juga kurangnya sumber daya manusia di puskesmas juga berpengaruh terhadap
program yang dijalankan oleh puskesmas. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terdapat
pengaruh kuantitas sumber daya dengan pelaksanaan program puskesmas. Kurangnya tenaga kerja
di puskesmas mengakibatkan program yang dijalankan akan semakin susah untuk dijalankan.
Begitupun sebaliknya, dengan tercukupinya tenaga kerja dua puskesmas maka koordinasi lebih
gampang dan program yang dijalankan akan semakin mudah untuk dijalankan.
“Ya berpengaruh… Misalnya kalau jumlahnya sesuai kebutuhan kan koordinasinya lebih gampang…
Lalu targetnya bisa lebih mudah tercapai… Tapi kalau sumber dayanya kurang kan ya otomatis lebih
sulit dalam pengerjaannya… Misalnya pekerjaan yang harus dikerjakan beberapa orang kalau hanya
dikerjakan oleh orang yang lebih sedikit ya lebih capek gitu” (R, 122-132)
Menurut Anna (2012), disebutkan bahwa semakin banyak dan beragam tenaga kerja yang
ada maka akan berdampak positif terhadap masyarakat. Hal ini dikarenakan secara langsung
dengan adanya berbagai jenis tenaga kesehatan akan membuat mereka memperkuat keilmuan
masing-masing yang nantinya akan terbentuk standar kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga
kerja tersebut. Sehingga yang harus diperhatikan adalah keutuhan jenis tenaga kesehatan
berdasarkan kebutuhan masing-masing wilayah.
4.6.3 Moratorium Sumber Daya Manusia
Adanya moratorium yang diadakan oleh pemerintah merupakan salah satu penyebab
kurangnya tenaga kerja yang ada di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid. Moratorium
sendiri mulai diadakan tahun 2015 oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Adanya moratorium
pegawai negeri sipil diharapkan dapat menstabilkan anggaran dan menyesuaikan jumlah PNS
sesuai dengan kebutuhan dan beban kerja.
Tidak adanya pengangkatan pegawai negeri sipil menyebabkan jumlah tenaga kerja di
puskesmas yang melakukan pelayanan kesehatan menjadi berkurang dan mempengaruhi
pencapaian program puskesmas. Contohnya yaitu adanya PNS yang memasuki masa pensiun maka
otomatis tidak ada yang menggantikan posisi tersebut, hal ini mengakibatkan kekosongan pada
posisi tersebut dan juga beban kerja pegawai yang ada akan semakin meningkat.
“Iya jelas berpengaruh, kalau PNS pensiun kan kosong jadi kekurangan tenaga, akhirnya kita tidak
mungkin BP (badan layanan) kita tutup, seperti kemarin perawat giginya pensiun tidak mungkin
ditangani dokter giginya sendiri karena pasien kita kan cukup banyak ya” (E, 132-140)
Tujuan diadakannya moratorium adalah untuk mereview bezzetting dan penataan PNS,
rightsizing kelembagaan dan tatalaksana, serta mengatur anggaran. bezzetting dan penataan PNS
diperlukan untuk mendapatkan jumlah ideal pegawai dan sesuai dengan kebutuhan baik dari sisi
kuantitas maupun sisi kualitas. Rightsizing kelembagaan dilakukan untuk menciptakan organisasi
yang sederhana, flate dan kaya fungsi dengan memperjelas tatalaksana (business process).
Pengaturan anggaran dilakukan untuk menciptakan komposisi ideal antara jumlah anggaran untuk
belanja anggaran dan belanja pembangunan (Rakhmawanto, 2016).
4.6.4 Analisis Jabatan & Analisa Beban Kerja Sumber Daya Manusia
Menurut Pranoto dan Retnowati (2015), analisis jabatan adalah proses mempelajari
jabatan dengan mengumpulkan informasi tentang tanggung jawab, tugas-tugas, hubungan kerja,
syarat menempati jabatan tersebut, dan keadaan pekerjaan yang sedang berlangsung. Analisis
kebutuhan pegawai merupakan proses yang dilakukan secara logik, teratur, dan berkesinambungan
untuk mengetahui jumlah dan kualitas pegawai yang diperlukan berdasarkan beban kerja.
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009 tentang Organisasi Perangkat Daerah
Pemerintah Kabupaten Sleman dijelaskan bahwa setiap unit pelaksana teknis melaksanakan
analisa beban kerja setiap akhir tahun. Analisa beban kerja dilaksanakan dengan harapan agar
dapat memenuhi tuntutan kebutuhan untuk menciptakan efektifitas, efisiensi, serta profesionalitas
sumber daya manusia yang memadai pada instansi sehingga mampu melaksanakan tugas pokok
dan fungsinya dengan baik.
Proses analisa jabatan dan analisa beban kerja dilakukan untuk mendapatkan pedoman
dalam perencanaan SDM karena secara sistematik proses ini juga merupakan informasi tentang
suatu jabatan dan ketentuan atau syarat yang harus dipenuhi untuk mengisi jabatan tersebut.
“kita kan ada analisis jabatan, anjab itu… Analisis jabatan itu berisi tentang kebutuhan jabatan…
Nanti dari situ diperoleh tenaga apa yang masih kurang, misalnya sekarang kan dokternya ada 2, nanti
bila pasiennya banyak misalnya kalau disini bisa sampai 200 atau lebih, kan harusnya dokternya nggak
cuman 2, ya bisa ditambah… Itu tadi diperoleh dari Analisa jabatan” (R, 62-72)
Perhitungan analisa jabatan dilakukan untuk semua tenaga PNS yang berada di
lingkungan Puskesmas Mungkid dan Puskesmas Mlati II. Hasil dari pelaksanaan analisis beban
kerja menjadi tolak ukur bagi puskesmas dalam melaksanakan kegiatan, menyusun organisasi
pegawai, serta penyempurnaan sistem prosedur kerja dan manajemen lainnya. Analisa jabatan
berdasarkan beban kerjanya artinya berapa banyak tugas yang diselesaikan dan karyawan yang
harus mengampu tugas itu. Adapun perhitungan dari analisa jabatan dan analisa beban kerja setiap
fomasi jabatan berbeda karena mempunyai perhitungan yang berbeda pula. Misalnya hasil analisa
jabatan antara dokter dan perawat dapat berbeda
“Jadi analisa jabatan mempunyai perhitungan tersendiri tiap tenaga beda misalnya dokter sama
perawat beda dengan bidan juga beda” (E, 58-63)
Selain untuk menentukan beban kerja setiap formasi jabatan, analisa jabatan juga
diperlukan untuk menentukan formasi ideal setiap formasi jabatan. Selain melalui analisa jabatan
formasi ideal setiap jabatan juga berpedoman kepada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75
Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Nantinya hasil dari analisa jabatan yang rutin
diadakan pada akhir tahun akan dilaporkan kepada Badan Kepegawaian Daerah (BKD) untuk
ditindaklanjuti
“Itu berdasarkan analisis jabatan. Misalkan puskesmas saya ada dokternya 4 tapi sekarang adanya 2.
Dari puskesmas itu sendiri dan dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD)” (L, 565-570)
Bezetting merupakan jumlah pegawai yang dimiliki oleh suatu unit kerja. Kebutuhan
pegawai diartikan sebagai kebutuhan apa yang diharapkan dengan kondisi analisis kebutuhan.
Dengan mengetahui analisis kebutuhan maka dapat diketahui jumlah pegawai yang dibutuhkan
dalam setiap formasi kerja.
Gambaran Buzzeting
1. Peta Jabatan
2. Analisa Jabatan
Analisis jabatan dalam manajemen sumberdaya manusia memiliki peran yang sangat
strategis dalam proses pengembangan organisasi. Analisis jabatan akan memberikan gambaran
untuk membantu pengambilan keputusan mengenai rekrutmen, seleksi, latihan, promosi, maupun
kompensasi. Selain memberikan manfaat kepada organisasi, analisis jabatan juga memberikan
manfaat kepada pegawai dalam suatu organisasi, dengan penempatan sesuai dengan kualifikasi,
maka pegawai telah diberikan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan potensi yang
ada pada dirinya dengan seoptimal mungkin. Analisis jabatan yang outputnya adalah informasi
jabatan yang berguna untuk pengambilan kebijakan rekrutmen, seleksi, kompensasi, promosi, dan
latihan. Tujuan akhir yang hendak dicapai dalam analisis jabatan adalah terciptanya sistem
kepegawaian yang mumpuni dengan menerapkan prinsip the right man in the right place (Giyarto,
2015)
“kompetensi dan kualitasnya memang rendah. Stunting sekarang lagi banyak, dia dari awal 2018
melakukan pendataan stunting jadi kita mengetahui jumlah stunting di kecamatan mungkid tapi
hasilnya tidak muncul (memuaskan), jadi kepala puskesmas harus detail gitu, selain kuantitas, kualitas
juga kurang disini (puskesmas mungkid)” (L, 367-373)
Saat ini tenaga kesehatan Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid dituntut untuk
terus meningkatkan kualitas. Tenaga kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat mampu
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat sehingga akan terwujud derajat
kesehatan yang setinggi-setingginya. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas tenaga
kesehatan yaitu melalui pelatihan/seminar.
“Untuk kualitas saya kira karena tuntutan program berupaya untuk terus meningkatkan kemampuan
petugas. Beberapa upaya yang bisa dilakukan antara lain dengan menyertakan karyawan ketika ada
pelatihan” (S, 180-185)
Berdasarkan hasil wawancara terdapat pengaruh kualitas sumber daya manusia terhadap
pelayanan kesehatan di Puskemas Mlati II dan Puskesmas Mungkid. Dengan kualitas tenaga kerja
yang mencukupi, maka koordinasi kerja dan pemahaman akan kondisi yang dihadapi akan baik
dan berakibat tercapainya program puskesmas. Begitupun sebaliknya dengan kualitas tenaga kerja
yang nelum mencukupi maka koordinasi kerja dan pemahaman akan kondisi yang dihadapi akan
semakin buruk dan berakibat tidak tercapaiannya program puskesmas.
“...terkait kualitas sumber dayanya berpengaruh juga, kalau di KIA ini kan contohnya ada 3 ruangan,
standarnya kan 1 orang 1 ruangan… Nah kadang-kadang karena tugasnya itu… eee… mungkin 1
orang tugasnya yang harusnya disini terus tugas di tempat lain, atau urgent, atau rapat atau apa, jadi
kan tidak terpenuhi to, jadi harus nyambi hahahaha… Tapi alhamdulillah masih bisa” (R, 134-145)
Kualitas sumber daya manusia dapat dikatakan baik apabila atasan, manajer, atau bahkan
pemerintahan pusat memberikan 3 komponen kepada pegawai yaitu komponen teamwork
(kerjasama tim), komponen training (pelatihan) dan komponen employee empowerment
(pemberdayaan pegawai). Komponen teamwork (kerjasama tim) yaitu atasan melakukan
pengembangan ide-ide yang muncul dari karyawan dan atasan memberikan kebebasan pada
karyawan untuk melaksanakan dan menyelesaikan masalahnya sendiri sehingga mereka akan
berusaha belajar dan mencari solusi dari permasalahan yang mereka hadapi. Pada komponen
training (pelatihan) sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan pegawai seperti masalah
teknis dan multitasking. Dengan diadakannya pelatihan maka karyawan diharapkan dapat
meningkatkan ketangkasan, kecepatan dan efisiensi. Selain itu juga dengan diadakannya pelatihan
karyawan dapat terus memperbaharui ilmu terkini sesuai dengan profesinya. Pada komponen
employee empowerment (pemberdayaan pegawai) yaitu mengizinkan pegawai untuk
memperhatikan pekerjaan mereka masing-masing dan memberikan kebebasan kepada karyawan
memberhentikan pekerjaannya jika sewaktu-waktu pekerjaannya diluar batas kendali. Maka atasan
memberikan dukungan teknis untuk mendampingi mereka dalam pengambilan keputusan
(Gutierrez et al, 2016).
“Kemudian nilai kompetensi juga gitu, jadi setiap SDM pasti ada standar kompetensinya terus
dievaluasi setiap tahun dia gap-nya apa, misalnya bidan ini satu bidan ini namanya ini, kompetensinya
harusnya mampu ini mampu ini mampu ini, pelatihan ini pelatihan ini, nah gap-nya apa yang tahun
ini. Oh dia belum dapet ini belum dapet ini… Nah nanti ada perencanaan pelatihan” (L, 727-739)
Hasil dari analisa kompetensi akan dilaporkan kepada pihak dinas kesehatan untuk
ditindaklanjuti. Laporan hasil analisa kompetensi berupa jumlah tenaga kerja yang sudah
mempunyai keterampilan dan juga yang belum mempunyai keterampilan sesuai dengan bidang
profesinya masing masing.
“Kita laporkan sekaligus kita mengirimkan misalnya, dari sekian perawat ada beberapa orang yang
belum mendapatkan pelatihan gawat darurat. Lalu dari hasil tersebut kita berikan ke dinas kesehatan,
untuk dimintakan diadakan pelatihan” (S, 771-778)
Contoh dari hasil analisa kompetensi adalah terdapat perawat yang belum dan yang sudah
mendapatkan pelatihan/seminar Pelatihan Perawat Gawat Darurat (PPDG) sesuai dengan standar
kompetensi profesi perawat maka pihak puskesmas mengusulkan kepada dinas kesehatan untuk
mendapatkan Pelatihan Perawat Gawat Darurat (PPGD)
“Misalnya ada pelatihan PPGD (Pelatihan Perawat Gawat Darurat), kita mengusulkan ke dinas
kesehatan bahwa ada sekian perawat yang belum mendapatkan pelatihan PPGD” (S, 745-750)
Menurut Wibowo (2007), kompetensi dapat digunakan untuk memprediksi kinerja
seseorang artinya jika mempunyai kompetensi yang tinggi, maka akan mempunyai kinerja yang
akan tinggi pula. Begitupun sebaliknya jika mempunyai kompetensi yang rendah, maka akan
mempunyai kinerja yang rendah pula. Penempatan pegawai pada posisi yang sesuai dengan bidang
dan kompetensinya merupakan salah satu faktor penentu dalam peningkatan kinerja pegawai.
Selain itu juga kompetensi seseorang karyawan dapat meningkatkan daya saing perusahaan. Jadi
dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kompetensi dan meningkatkan
kinerja karyawan yang diharapkan karyawan
4.6.7 Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pelatihan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan sebagai upaya untuk
meningkatkan kemampuan, keterampilan, kinerja dan prestasikaryawannya (Yuniarti, dkk. 2013).
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada di Puskesmas Mlati II dan
Puskesmas Mungkid terdapat beberapa cara yang dilakukan salah satunya yaitu mengikuti
pelatihan/seminar. Upaya ini dilakukan dalam rangka mendukung tercapainya sasaran program
Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM (BPPSDM) kesehatan tahun 2019 yaitu
meningkatnya kualitas tenaga kesehatan. Dengan diadakannya pelatihan maka karyawan
diharapkan dapat meningkatkan ketangkasan, kecepatan dan efisiensi. Selain itu juga dengan
diadakannya pelatihan karyawan dapat terus memperbaharui ilmu terkini sesuai dengan profesinya
(Gutierrez et al, 2016).
“Prinsipnya selama itu berpengaruh terhadap peningkatan kualitas petugas, puskesmas selalu
memberikan kemudahan untuk masin-masing karyawan meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya” (S,
228-234)
Adanya pelatihan tenaga kerja merupakan tindak lanjut dari hasil analisa kompetensi yang
rutin dilakukan oleh pihak puskesmas. Dari hasil analisa kompetensi maka pihak puskesmas dapat
mengetahui keterampilan yang sudah dimiliki dan keterampilan yang belum dimiliki setiap tenaga
kerja. Analisa ini berdasarkan usulan dari kepala masing masing program puskesmas. Selanjutnya
pihak puskesmas akan memberikan hasil analisa kompetensi kepada BKKPD untuk penanganan
lebih lanjut. Namun realisasi usulan pelatihan tidak dapat langsung diwujudkan dan biasanya baru
dapat direalisasikan pada tahun berikutnya
“Kita mengajukannya tiap tahun melalui online ke dinas langsung. Baik itu dari tenaga fungsional,
tenaga administrasi, tenaga struktural. Tapi pengajuan tahun ini realisasinya untuk tahun depan.
Pelatihan itu biasanya banyak dari dinas kesehatan.” (S, 220-227)
Terdapat tiga mekanisme pelatihan yang diikuti oleh tenaga kesehatan di Puskesmas
Mungkid dan Puskesmas Mlati II. Yaitu dari dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten
dan secara perorangan. Adapun dana pelatihan yang diadakan oleh dinas kesehatan provinsi
berasal dari dana APBN, selanjutnya dana pelatihan yang diadakan oleh dinas kesehatan kabupaten
berasal dari dana APBD, dan dana pelatihan secara perorangan berasal dari dana tenaga kerja yang
bersangkutan.
Dana Pelatihan
SDM
Dinas Kesehatan
Dinas Kesehatan
Kabupaten Biaya Sendiri
Provinsi (APBN)
(APBD)
Gambar 16. Dana Pelatihan SDM
Terdapat tiga mekanisme pelatihan yang dapat diikuti oleh tenaga kesehatan. Yang
pertama yaitu pelatihan/seminar yang berasal dari dinas kesehatan provinsi. Pelatihan yang
diadakan oleh dinas kesehatan provinsi merupakan hasil usulan dari puskesmas untuk diadakannya
pelatihan/seminar. Nantinya pihak puskesmas mengirimkan sejumlah tenaga kesehatan yang
ditentukan oleh dinas provinsi untuk mengikuti pelatihan/seminar. Dana dari pelatihan/seminar ini
berasal dari dana APBN
“Kalau APBN yang mengadakan dinas kesehatan misalkan puskesmas mungkid dapat jatah bidan
mengikuti pelatihan ANC kita hanya mengirimkan orang saja dan tidak memikirkan biayanya dan
yang menentukan kuotanya pesertanya dinas sesuai dengan usulan puskesmas” (E, 241-250)
“Kalau dari APBD misalkan kita ada dapat panggilan dari BKPPD dan itu berasal usulan dari
puskesmas karena kan tiap tahun kita mengusulkan pelatihan tenaga kerja tiap tahun. Kita hanya
mengirimkan orang saja untuk melaksanakan pelatihan dan itu yang menentukan BKPPD sesuai
dengan usulan puskesmas” (E, 232-237)
Selanjutnya yaitu pelatihan yang berasal dari tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Adanya pelatihan yang ditanggung sendiri oleh tenaga kesehatan yang bersangkutan biasanya
adalah pelatihan yang berasal dari organisasi progesi. Contohnya yaitu dokter secara mandiri
mengikuti pelatihan ACLS (Advance Cardiac Life Support). Selanjutnya dari pihak puskesmas
hanya memberikan izin kerja kepada tenaga kesehatan yang bersangkutan untuk mengikuti
pelatihan/seminar.
“Kalau dari biaya sendiri misalnya kompetensi bidan harus mempunyai kompetensi APN tetapi tidak
ada anggaran, tapi dia mau dengan biaya sendiri dan dari puskesmas hanya memberikan izin untuk
mengikuti pelatihan tersebut” (E, 253-260)
Elnaga et al. (2013) menyatakan bahwa tanpa pelatihan yang tepat karyawan tidak
menerima informasi dan pengembangan keterampilan ke potensi maksimal yang digunakan untuk
menyelesaikan tugas. Karyawan yang menjalani pelatihan yang tepat cenderung lebih lama
menjaga pekerjaan. Uraian yang telah dijelaskan di atas menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
pelatihan terhadap kinerja dengan mediasi kepemimpinan.
Pelatihan dan pengembangan SDM memiliki pengaruh yang signifikan terhadap disiplin
kerja karyawan. Hal ini berarti semakin banyak pelatihan SDM maka disiplin kerja akan semakin
meningkat. Begitu juga sebaliknya semakin sedikit pelatihan SDM maka disiplin kerja akan
semakin menurun. Pelatihan merupakan cara organisasi memberikan pengembangan dan
meningkatkan kualitas kompetensi yang telah ada pada setiap karyawan. Pelatihan dipandang
sebagai suatu pendekatan yang sistematis dan terstruktur dalam pembelajaran dan pengembangan
untuk meningkatkan kualitas individu, kelompok maupun organisasi (Khawaja & Nadeem, 2013).
Untuk itu serangkaian kegiatan organisasi diarahkan kepada penambahan pengetahuan atau
keterampilan yang nantinya berdampak dengan peningkatan kinerja. Pelatihan juga berfungsi
sebagai suatu intervensi untuk meningkatkatkan kualitas barang dan jasa dalam keterampilan
teknis karyawan. Cara yang paling efektif memotivasi dan memepertahankan kualitas sumber daya
manusia dalam sebuah lingkup organisasi yaitu dengan adanya pelatihan dan pengembangan (Atan
& Mahmood, 2015). Menurut hamilton (2008), tingkat kinerja karyawan dapat ditentukan oleh
jenis pelatihan dan pengembangan yang pernah diikutinya. Secara langsung pelatihan dan
pengembangan mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung terhadap peningkatan
kompetensi karyawan. Lebih lanjut dikatakan bahwa organisasi mempunyai kewajiban untuk
merancang program pelatihan dan pengembangan untuk meningkatkan kinerja dengan
memfokuskan pelatihan tersebut dan program pengembangan kompetensi, pelatihan yang berguna
untuk pengembangan jangka panjang.
4.6.8 Penggajian Sumber Daya Manusia
Menurut Tulus (2011), Gaji adalah sejumlah uang yang diterima oleh tenaga-tenaga majerial
dan tata usaha atas sumbangan jasanya, yang menerima uang dengan jumlah yang tetap berdasarkan
tarif bulanan. Secara garis besar sistem penggajian tenaga kerja di Puskesmas Mlati II dan
Puskesmas Mungkid terbagi menjadi dua kelompok. Kedua kelompok yang dimaksud adalah
Pegawai PNS dan Pegawai Non PNS. Hal ini dapat dilihat pada gambar 17.
Puskesmas
Mlati II
Puskesmas
Mungkid
“Di luar puskesmas ada, orang pemda yang dapat. Dulu kami juga pernah dapat sebelum adanya
kapitasi” (E, 374-375)
Selanjutnya besaran gaji pegawai non PNS seperti pekerja harian lepas diatur dalam
Peraturan Bupati Magelang tentang Standar Harga Barang dan Jasa Tahun Anggaran 2018.
Penggajian tenaga PHL berasal dari pendapatan puskesmas (kapitasi, retribusi dan jamkesda)
Sedangkan pegawai PTT gajinya berasal dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Sistem penggajian dari tenaga harian lepas adalah sistem harian. Yang dimaksud dengan
sistem harian adalah petugas diberi upah sesuai dengan jumlah kehadiran petugas tersebut yang
dikumulasikan setiap akhir bulan.
“Jadi sistem penggajiannya kalau dia tidak datang maka tidak digaji” (E, 311-312)
Gaji pegawai PNS dan pegawai Non PNS juga didapatkan dari jasa resiko pelayanan. Jasa
resiko pelayanan berasal dari dana yang didapatkan puskesmas setiap bulan. Regulasi jasa resiko
pelayanan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Penggunaan
Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional. Besaran jasa resiko pelayanan tenaga puskesmas
berdasarkan tiga kriteria utama: tingkat jabatan/latar belakang pendidikan, kehadiran, dan variabel
lokal (senioritas, beban kerja, dan masa kerja).
Di Puskesmas Mungkid sendiri besaran jasa resiko pelayanan sendiri diatur dalam
Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang Nomor 188.45/0/05/2018 tentang
Pembagian Jasa Pelayanan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Unit kerja Puskesmas
Kabupaten Magelang. Pada peraturan tersebut diatur poin poin yang didapatkan tenaga kerja
berdasarkan jabatan di puskesmas dan profesi tenaga kerja puskesmas.
Besaran jasa resiko pelayanan ini tergantung dari dana penghasilan puskesmas setiap
bulannya. Semakin besar penghasilan puskesmas maka semakin besar pula jasa pelayanan yang
didapatkan oleh tenaga puskesmas dan begitu juga sebaliknya semakin kecil penghasilan
puskesmas maka semakin sedikit pula jasa pelayanan yang didapatkan oleh tenaga puskesmas.
Dana puskesmas terdiri dari beberapa sumber antara lain mahasiswa pkl, dari retribusi, pasien
umum dan pasien melahirkan, dari layanan ambulan.
“jasa resiko pelayanan kan dari pendapatan puskesmas.Pendapatan puskesmas kan beberapa jenis
yaitu dari kapitasi puskesmas yang ditransfer setiap tengah bulan, ada dari jasa layanan misalnya dari
dana penelitian, ada yang dari mahasiswa pkl, dari retribusi, pasien umum dan pasien melahirkan, dari
layanan ambulan” (S, 363-375)
Salah satu sumber pendapatan puskesmas berasal dari dana kapitasi yang didapatkan dari
BPJS. Besaran dana kapitasi tergantung dari 3 komponen yaitu contact rate harus mencapai 15%,
rujukan spesialistik <50% dan peserta prolanis harus hadir 50%. Semakin rendah contact rate yang
didapat maka besaran dana kapitasi juga akan berkurang. Dana kapitasi yang berasal dari PNS
sangat diandalkan oleh puskesmas untuk menggaji tenaga kerja non PNS
“Sementara untuk tenaga-tenaga itu kan setiap bulan harus digaji dari dana pendapatan puskesmas
karena itu memang dana kapitasi sangat diandalkan oleh puskesmas untuk memberikan gaji untuk
tenaga non pns” (S, 25-30)
Jasa Pelayanan
Pegawai BLUD
Belanja Pegawai
(Puskesmas Mlati
(60%)
II)
Lembur
(Puskesmas
Anggaran
Mungkid)
Puskesmas
Pemberian insentif merupakan salah satu hal pokok yang harus diperhatikan oleh
perusahaan. Semangat tidaknya karyawan bisa juga disebabkan oleh besar kecilnya insentif yang
diterima. Apabila karyawan tidak mendapatkan insentif yang sesuai dengan besarnya pengorbanan
dalam bekerja, maka karyawan tersebut cenderung malas bekerja dan tidak bersemangat yang ada
akhirnya mereka bekerja semaunya tanpa ada motivasi yang tinggi. Dengan adanya pemberian
insentif yang tepat serta cara kerja yang baik sehingga ke depannya, proses kerja organisasi dapat
berjalan sesuai tujuan organisasi. Kinerja karyawan sangat erat kaitannya dengan Gaji dan Insentif
yang mereka terima, karena dapat berdampak positif maupun negatif terhadap semangat kerjanya
yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja karyawan dalam suatu organisasi (Subianto, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Maharani (2009), menyebutkan bahwa insentif materiil
dan insentif non materiil berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Jadi di dalam memberikan
insentif perusahaan harus mengetahui kebutuhan karyawan masing-masing. Dengan adanya
kebutuhan, seseorang akan termotivasi melakukan pekerjaan dan berarti dapat membantu dalam
upaya memenuhi kebutuhannya. Apabila karyawan merasa kebutuhannya dapat terpenuhi dengan
melakukan suatu pekerjaan, maka ia dapat termotivasi untuk bekerja lebih baik dan secara otomatis
berarti kinerjanya meningkat. pada hakekatnya insentif dapat mendorong karyawan bekerja lebih
baik dengan memanfaatkan unsur-unsur kerja yang lebih optimal, karena terdorong keinginan
untuk memperoleh insentif yang lebih tinggi. Hal ini dapat diperoleh apabila karyawan mampu
memenuhi target yang ditetapkan perusahaan.
Manajemen
SDM
“Jadi setiap tahun kan kita ada namanya penyusunan uraian tugas. Maksudnya itu semua uraian tugas
puskesmas itu kita susun, kemudian kita bagi tugas ini ke personil yang ini. Nanti kalau kurang kita
ajukan permintaan ke Dinas Kesehatan. Meskipun kita tetap memaksimalkan keberadaan dari tenaga
tersebut” (S, 642-649)
Tahap kedua dalam manajemen sumber daya manusia adalah tahap organisasi.
Pengorganisasian adalah langkah untuk menetapkan, menggolongkan dan mengatur berbagai
macam kegiatan, menetapkan tugas pokok dan wewenang serta pendelegasian tugas (Muninjaya,
2004). Berdasarkan hasil wawancara mendalam di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid
pengorganisasian SDM belum berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan adanya tenaga
kerja yang menjalankan program lebih dari satu/ rangkap. Contohnya yaitu adanya tenaga
administrasi yang merangkap dan menjalankan program promosi kesehatan atas dasar surat
keputusan kepala dinas
“satu personil bisa mengampu lebih dari satu penugasan. Misalnya seorang perawat dia bisa sebagai
pengelola tempat jaga, dia juga bisa pengelola program, dan juga sebagai pengelola ptm” (S, 652-658)
Dengan adanya tenaga puskesmas yang menjalankan tugas lebih dari satu, maka pihak
puskesmas memperhatikan apabila terdapat pegawai kesulitan dalam melaksanakan tugas. Sebagai
tindak lanjutnya beban kerja karyawan tersebut sebaiknya dikurangi atau digeser dan diberikan
tugasnya ke petugas yang lain. Tapi kalau rasanya masih bisa dilaksanakan oleh satu petugas maka
akan lanjutkan.
“Jadi di dalam UKP itu kan ada PJ nya, dan dibawah UKP ada PJ Program. Kalau misalnya ada
pegawai yang merasa kesulitan terkait dengan pelaksanaan tugas, nanti hubungkan kan dengan PJ
UKP nya” (S, 669-675)
Tahap ketiga dalam manajemen sumber daya manusia adalah tahap pelaksanaan. Fungsi
pelaksanaan mencangkup fungsi memberi bimbingan, memberikan motivasi, memberi arah, dan
mempengaruhi (Nurbaeti et al, 2012). Pada fungsi ini lebih mengarahkan dan menggerakkan
semua sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah disepakati. Berdasarkan hasil wawancara
mendalam pada tahap pelaksanaanya banyak ditemukan hambatan, namun pihak puskesmas selalu
membantu tenaga kesehatan untuk mengurangi hambatan tersebut. Contohnya apabila terdapat
kompetensi yang kurang maka akan diikutkan pelatihan sesuai dengan profesi tenaga kerja
tersebut.
“Kalau hambatan saya kira ada. Tapi kan bagaimana kita bisa mengelola hambatan itu supaya tidak
mengganggu. Jadi gini, kalau memang dibutuhkan peningkatan kompetensi dengan pelatihan ya kita
mengusulkan ke dinas kesehatan. Atau kalau perlu seminar ya kita mengirimkan kalau ini ada
seminar.” (S, 693-703)
Tahap keempat dalam manajemen sumber daya manusia adalah tahap monitoring.
Monitoring adalah serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk memberikan informasi tentang
sebab dan akibat dari satu kebijakan yang lebih terfokus pada kegiatan yang sedang dilaksanakan.
Tujuan monitoring adalah mengetahui apakah kegiatan yang sedang berlangsung sesuai dengan
perencanaan dan prosedur yang telah disepakati. Berdasarkan hasil wawancara pelaksanaan
monitoring di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid menggunakan absensi finger print
yang bersifat online dan berhubungan langsung dengan BKKPD. Absensi finger print dilakukan
saat pagi hari dan sore hari. Pelaksanaan monitoring dilakukan setiap hari dan absensi akan direkap
pada akhir bulan.
“Iya terdapat monitoring disini contohnya pagi, datang apel pagi jam 7 dengan finger print, kalau tidak
datang kan kita ada absen sama nanti ada grup untuk izin yang disertai karena apa misalnya karena
keperluan keluarga, izin karena sakit, atau izin karena datang terlambat” (E, 270-274)
Selain menggunakan absensi finger print yang bersifat online, monitoring di Puskesmas
Mungkid dan Puskesmas Mlati II juga menggunakan absensi manual. Monitoring ini digunakan
untuk tenaga kerja non PNS seperti tenaga PHL. Pelaksanaan monitoring dilakukan setiap hari
melalui absensi. Pada akhir bulan absensi akan dijumlahkan dan direkap untuk dilakukan evaluasi.
“Selain dengan finger print kita juga ada yang dilakukan dengan manual (absensi) untuk monitoring”
(E, 278-281)
Tahap kelima dalam manajemen sumber daya manusia adalah tahap evaluasi. Evaluasi
merupakan suatu proses sistematis menetapkan nilai tentang sesuatu hal, seperti objek, proses,
unjuk kerja, kegiatan, hasil, tujuan, atau hal lain berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian.
Berdasarkan hasil wawancara proses evaluasi di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid
sudah berjalan dengan baik. Tahap evaluasi digunakan untuk menilai tenaga kerja dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
“evaluasi untuk melihat kemampuan petugas di dalam menjalankan tugas di tempat kerjanya” (S, 327-
331)
Tahap evaluasi dinilai setiap akhir tahun dan terdapat beberapa komponen penilaiannya.
Komponen evaluasi dinilai dari seberapa banyak kehadiran melalui finger print, integritas,
perilaku kerja dan lain-lain. Yang mempunyai wewenang untuk melakukan evaluasi yaitu kepala
puskesmas untuk tenaga fungsional tertentu dan kepala tata usaha untuk tenaga fungsional umum.
Untuk penilaian pegawai nanti dilaksanakan akhir tahun. Penilaian berdasarkan beberapa
komponen seperti komponen perilaku kinerja, prestasinya, intergritas, disiplin dan dilihat dari
keseharian.
“Ada yang namanya PPKP (penilaian prestasi kerja pegawai) yang dilakukan pada akhir tahun.
Evaluasi sudah dilakukan melalui daftar kehadiran melalui fingerprint yang online dengan PPKP” (S,
299-304)
Hasil dari evaluasi yang dilakukan nantinya akan mempengaruhi kelanjutan dari kontrak
kerja dari tenaga kerja yang bersangkutan. Apabila prestasi kerja karyawan tersebut baik maka
kontrak kerjanya akan diperpanjang, namun apabila prestasi kerjanya tidak memuaskan maka
kontrak kerjanya tidak akan diperpanjang
“penilaian kinerja pegawai dan tergantung dari kinerja pegawai dan kalau memuaskan tentunya kita
akan melanjutkan MoU tersebut di tahun yang akan datang akan tetapi kalau tidak memuaskan
tentunya sulit untuk dilanjutkan” (S, 284-291)
Robbins dan Judge (2015) mengatakan bahwa praktik pelaksanaan dalam manajemen
sumber daya manusia (SDM) seperti proses perekrutan karyawan, mempengaruhi efektivitas
organisasi. Dengan manajemen sumber daya manusia yang baik, organisasi bisa merekrut orang
yang tepat, mencari tahu siapakah orang yang tepat tersebut, mengidentifikasi orang yang tepat
merupakan tujuan dari proses rekruitmen, yang menyertakan karakteristik dari individu
(kemampuan, pengalaman, dan lain sebagainya) sesuai dengan persyaratan pekerjaan.
Jika pelaksanaan manajemen SDM baik maka akan meningkatkan kualitas SDM.
Terdapat 3 kunci penting dalam manajemen sumber daya manusia yaitu kinerja karyawan,
produktifitas karyawan dan semangat kerja karyawan. Kinerja karyawan merupakan hasil kerja
yang dicapai baik secara kualitas dan kuantitas oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugas
yang diberikan kepadanya. Produktifitas karyawan adalah gabungan keluaran (output) jasa dan
(input) jasa yang digunakan dalam proses produksi. Semangat kerja karyawan dapat dinilai dari
bagaimana seorang karyawan mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya setiap hari (Samsuni,
2017).
Salah satu sasaran penting dalam rangkaian manajemen sumber daya manusia adalah
terciptanya kepuasan kerja anggota organisasi yang bersangkutan dan berdampak kepada
peningkatan prestasi kerja. Dengan adanya kepuasan kerja diharapkan pencapaian organisasi akan
semakin baik, akurat dan mingkat (Irbayuni,2012). Menurut Hamid (2013), terdapat hubungan
manajemen sumber daya manusia strategik dengan kinerja organisasi yaitu manajemen sumber
daya manusia strategik dapat meningkatkan kinerja organisasi. Hal ini berarti sumber daya
manusia dengan tujuan strategis organisasi dapat berjalan dengan baik maka kinerja organisasi
dapat berkembang, di lain sisi juga berdampak mengembangkan budaya organisasi yang
mendorong inovasi fleksibilitas dan keunggulan kompetitif.
Terdapat tambahan tenaga kerja pada program PISPK. Tenaga PISPK terdiri dari
nutrisionist, epidemiolog, dan promosi kesehatan. Tenaga ini diharapkan nantinya untuk
mendukung upaya-upaya yang bisa meningkatkan upaya SPM kesehatan. Perekrutan tenaga
PISPK ini dilakukan mandiri oleh Puskesmas Mlati II yang di umumkan melalui website yang
dikelola oleh puskesmas. Proses seleksi tenaga kerja dilakukan oleh tim internal yang dibentuk
oleh Puskesmas Mlati II.
“Tenaga baru itu bertujuan untuk mendukung program indonesia sehat dengan pendekatan keluarga.
Terdapat tiga tenaga yang kita rekrut yaitu. Tenaga ini diharapkan nantinya untuk mendukung upaya-upaya yang
bisa meningkatkan upaya SPM” (S, 168-177)
Sistem penggajian tenaga PISPK ini berasal dari dana BOK yang dikirimkan langsung
oleh pihak Kementrian Kesehatan kepada Dinas Kabupaten Sleman dan kemudian dana tersebut
akan diberikan kepada pihak Puskesmas Mlati II.
“anggaran operasional kesehatan dari Kementerian Kesehatan, bukan dana BLUD. Artinya, jumlah
anggaran dari Kementerian Kesehatan melalui Pemerintah Sleman, kita gunakan untuk menggaji tenaga BOK”
(S, 613-619)
Berdasarkan grafik 3 terdapat lima indikator yang mencapai target pencapaian 100% yaitu
indikator setiap ibu bersalin mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar, indikator setiap anak
pada usia pendidikan dasar mendapatkan skrining kesehatan sesuai standar, indikator setiap ODGJ
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar, pelayanan kesehatan orang dengan TB dan
pelayanan kesehatan orang dengan risiko terinfeksi HIV.
Sedangkan terdapat tujuh indikator yang belum mencapai target indikator yaitu indikator
setiap ibu hamil mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar, indikator setiap bayi lahir
mendapatkan yankes sesuai standar, indikator setiap balita mendapatkan yankes sesuai standar,
setiap WNI usia 15-59 tahun mendapatkan skrining kesehatan sesuai standar, setiap WNI usia 60
tahun keatas mendapatkan skrining kesehatan sesuai standar, setiap penderita HT mendapatkan
pelayanan kesehatan sesuai standar dan setiap penderita DM mendapatkan pelayanan kesehatan
sesuai standar.
Berdasarkan wawancara terdapat beberapa kendala yang menyebabkan tidak tercapainya
target SPM. Salah satunya yaitu terkait dengan data proyeksi/sasaran.
“........terkait dengan data. Data yang ada tidak sinkron karena data dari desa dan data dari BPS tidak
sama. Jadi kita berdasarkan data dari pendataan kader” (V, 100-104)
Selain dikarenakan data yang tidak sinkron, terdapat faktor lain yang menyebabkan
capaian tidak terpenuhi. Pada indikator ibu hamil faktor hambatannya yaitu tidak semua ibu hamil
melakukan skrining/pemeriksaan ke dokter spesialis kandungan.
“...... skrining dan pendataan ibu hamil yang dilakukan oleh petugas KIA jadi masih sedikit lebih baik
itupun K4 belum tentu bisa karena K1 kadang mereka bisa datang ke dokter spesialis dan tidak datang
ke puskesmas” (V, 87-94)
Pada indikator setiap bayi lahir mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar faktor
hambatannya yang ditemukan yaitu tidak semua ibu hamil melahirkan di bulan desember namun
pelaporan SPM ditutup pada akhir tahun mengakibatkan ada data ibu hamil yang tidak masuk
hitungan dan mengurangi angka pencapaian dan mengakibatkan hasil pencapaian tidak mencapai
100%.
“data proyeksinya itu sebanyak 550 dan ditutup di bulan desember. Namun tidak semua ibu hamil itu
selesai hamilnya di bulan desember, bisa jadi prediksi kelahirannya di bulan maret. Jadi kan
pelayanannya belum selesai di bulan desember, jadi tidak bisa tercapai 100%” (A, 93-100)
Pada indikator setiap balita mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar, hambatan
yang ditemukan adalah tidak semua ibu mengontol ulang bayi ke puskesmas dan tidak semua bayi
melahirkan di puskesmas serta tidak adanya kewajiban untuk mengontrol bayi ke puskesmas.
Selain itu juga anak usia 5 tahun sudah banyak bersekolah baik di wilayah kerja maupun tidak di
wilayah kerja Puskesmas Mlati II dan tidak mempunyai waktu untuk melakukan skrining
kesehatan di Puskesmas Mlati II serta menjadi tantangan tersendiri bagi pegawai puskesmas untuk
melakukan skrining. Hal ini dikarenakan tidak adanya kerjasama antara pihak puskesmas dan
sekolah untuk melaksanakan skrining kesehatan pada anak balita. Selain itu juga tidak adanya
kewajiban bagi pihak sekolah untuk melaporkan anak balita kepada Puskesmas Mlati II untuk
melaksanakan skrining kesehatan.
“Indikator untuk bayi itu 0-28 hari. Karena tidak semua ibu mengontrol ulang bayinya ke puskesmas
karena tidak semua lahirnya di puskesmas. Nah dari sana kenapa kontrolnya masih lemah karena tidak
ada kewajiban untuk mengontrol bayi ke puskesmas” (A, 102-110)
“Anak-anak sekarang ketika umur 5 (lima) tahun apakah ke posyandu semua kan tidak. Sudah ada
yang disekolahkan, dan sekolahnya tidak masuk ke mlati 2 Dan tidak semua sekolah juga melaporkan
ke puskesmas, walaupun puskesmas telah mencoba menjaring sekolah-sekolah untuk bisa
melaporkan” (A, 120-124)
Pada indikator setiap WNI usia 15-59 tahun mendapatkan skrining kesehatan sesuai
standar, hambatan yang ditemukan adalah banyak masyarakat usia produktif yang bekerja, kuliah,
sekolah sehingga tidak mempunyai waktu yang cukup berkunjung ke puskesmas untuk melakukan
skrining kesehatan. Selanjutnya rendahnya pencapaian pada indikator usia produktif dikarenakan
terbatasnya waktu pelayanan kesehatan di Puskesmas Mlati II. Selain itu juga banyak warga yang
berada dan bekerja di luar daerah/Provinsi DIY sehingga tidak memungkinkan pergi ke Puskesmas
Mlati II untuk melaksanakan skrining dan konsultasi kesehatan sesuai standar.
“Usia 15-59 tahun kan orang dengan usia produktif otomatis dia tidak selalu dengan KTP dia tinggal
disini, padahal jumlah penduduk yang disini dan terdaftar& didata tidak semuanya tinggal disini dan
bisa saja di tinggal di luar kota tidak datang kesini, untuk itu bagaimana saya bisa melakukan skrining”
(V, 75-84)
Pada indikator setiap WNI usia > 60 tahun mendapatkan skrining kesehatan sesuai standar
faktor hambatannya yaitu tidak semua lansia mempunyai kendaraan untuk pergi ke puskesmas.
Hal ini mengakibatkan sedikitnya lansia yang melakukan skrining dan konsultasi kesehatan ke
puskesmas. Selain itu juga kurangnya kesadaran lansia terkait masalah kesehatan juga
mempengaruhi rendahnya capaian pada indikator ini.
“Masyarakat kita masih banyak yang minta dimanjakan dimana banyak yang ingin didatangi atau
dikunjungi” (A, 148-151)
Pada indikator setiap pasien hipertensi dan diabetes militus mendapatkan pelayanan
kesehatan sesuai standar faktor hambatannya yaitu kurangnya kesadaran masyarakat untuk kontrol
penyakit ke puskesmas dan adanya kesulitan dari pihak puskesmas untuk mencari data pasien
diabetes militus yang berada di wilayah Puskesmas Mlati II.
“banyak hipertensi yang tidak memiliki gejala, maka banyak masyarakat yang melihat itu bukan
masalah. Jadi walaupun hipertensinya tinggi banyak yang merasa tidak perlu untuk berobat” (A, 126-
131)
Pada indikator setiap orang berisiko terinfeksi HIV (ibu hamil, pasien TB, pasien IMS,
waria/transgender, pengguna napza, dan warga binaan lembaga pemasyarakatan) mendapatkan
pelayanan kesehatan sesuai standar pencapaiannya melebihi dari target yang telah ditentukan. Hal
ini dikarenakan pada penentuan target sasaran Puskesmas Mlati II menggunakan angka proyeksi.
“untuk HIV itu kan ada proyeksi. Untuk tahun ini proyeksinya itu untuk ibu hamil, penderita IMSS,
dan penderita TB. Jadi misalnya, untuk ibu hamil itu kita sudah memprediksi untuk tahun ini tetapi
kemudian bertambah. Kalau bertambah kan nambah kasaran juga di bawahnya” (A, 180-189)
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan tidak terpenuhinya beberapa indikator SPM
di Puskesmas Mlati II diakibatkan oleh banyaknya beban atau tugas yang ditanggung oleh
puskesmas saat ini sehingga mengakibatkan kurangnya waktu yang diperlukan untuk memenuhi
target semua program yang ada di puskesmas dan sekarang puskesmas dalam bekerja tidak melihat
jam jadi bisa kapan saja untuk kerjanya. Menurut Lestari (2016), meningkatnya beban kerja tenaga
puskesmas diakibatkan oleh kebijakan di era JKN dimana puskesmas merupakan salah satu
fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang harus didatangi peserta JKN untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan dasar. Akibat dari kebijakan ini, jumlah kunjungan pasien ke puskesmas
semakin meningkat dan dapat dipastikan beban kerja para petugas puskesmas pun akan meningkat
pula
“Sebenarnya puskesmas ini sudah overload, dimana semua indikator kinerja masuknya ke puskesmas.
Mereka tidak melihat beban kerja kami seperti apa sehingga tidak sesuai nalar” (A, 74-79)
Target
No Jenis Pelayanan Cangkupan
Pencapaian
Berdasarkan tabel 6 dari tiga indikator tambahan hanya satu yang mencapai target yang
ditetapkan yaitu pada indikator Pelayanan KB sesuai standar namun dua indikator lainnya yaitu
indikator rumah/bangunan bebas jentik nyamuk aedes dan indikator cangkupan rumah tangga ber
PHBS belum mencapai target yang telah ditetapkan.
4.8.2 Pencapaian SPM Kesehatan Puskesmas Mungkid
Standar pelayanan minimal (SPM) bidang kesehatan tiap tahunnya tentunya memiliki
capaian hasil evaluasi untuk melihat potret pelayanan kesehatan. Dalam melaksanakan kegiatan
SPM kesehatan, Puskesmas Mungkid menggunakan pedoman Peraturan Bupati Nomor 4 Tahun
2015. Pencapaian SPM ini terdapat dalam bentuk laporan pada sebuah dokumen profil kesehatan
Puskesmas Mungkid. Profil kesehatan tersebut dibuat secara rinci setiap tahunnya. Berdasarkan
dokumen profil kesehatan Puskesmas Mungkid tahun 2018, terdapat indikator kinerja yang telah
mencapai target yang telah ditentukan dan ada indikator kinerja SPM Puskesmas masih belum
berhasil mencapai target yang telah ditentukan. Dari 75 indikator kinerja terdapat 41 indikator
kinerja yang memenuhi target pencapaian dan 34 indikator kinerja yang belum memenuhi terget
pencapaian. Indikator kinerja tersebut tergabung dalam delapan jenis pelayanan, yaitu Upaya
Kesehatan Jiwa, Upaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Upaya Pencegahan Penyakit, Upaya
Kesehatan Lansia, Upaya Kesehatan Sekolah, Upaya Gizi, Upaya kesehatan Lingkungan dan
Upaya Promosi Kesehatan.
Pada indikator kinerja upaya indikator upaya kesehatan jiwa dari 2 indikator kinerja tidak
ada yang memenuhi target pencapaian. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Target
No Indikator Kinerja Sasaran Cangkupan
Pencapaian
Terdapat beberapa indikator yang melebihi target pencapaian. Hal ini disebabkan oleh
sasaran yang digunakan menggunakan nilai estimasi. Namun pada kenyataannya nilai estimasi
yang ditentukan tidak sesuai dengan yang diperkirakan. Selain itu juga tingginya pencapaian
dikarenakan adanya ibu hamil yang berasal dari luar puskesmas mungkid yang mengecek
kehamilan di puskesmas mungkid.
Pencapaian pada indikator upaya P2M secara keseluruhan tergolong baik. Hal ini dapat
dilihat dengan 15 indikator yang sudah memenuhi target capaian dan 7 indikator yang belum
memenuhi target capaian.
Target
No Indikator Kinerja Sasaran Cangkupan
Pencapaian
Upaya P2M (pengendalian dan pemberantasan penyakit menular dan tidak menular)
terdiri dari pencegahan penyakit TB, pencegahan penyakit diare dan pneumonia pada balita, dan
layanan imunisasi. Layanan imunisasi terdiri dari imunisasi BCG, imunisasi DPT 1 dan DPT 3,
imunisasi polio 1 dan 3, imunisasi campak, imunisasi hepatitis B0, hepatitis B1, hepatitis B2,
hepatitis B3.
Dari data sekunder yang didapatkan capaian layanan imunisasi sudah memuaskan dan
dari semua indikator yang ada sudah mencapai target yang ditetapkan serta layanan pencegahan
penyakit TB belum memuaskan. Hal ini dapat dilihat hanya 2 indikator yang memenuhi target
capaian dan 5 indikator yang tidak memenuhi target capaian yang telah ditetapkan.
Dari faktor sumber daya manusianya juga belum semua kader aktif melakukan sosialisasi
mengenai penyakit TB kepada masyarakat dan kurangnya kerja sama lintas program. Untuk
meningkatkan cangkupan layanan penyakit TB maka pada tahun 2019 Puskesmas Mungkid
mengadakan program simantuk. Program simantuk adalah program siaga memantau batuk.
Program ini berisi sosialisasi kepada warga tentang adanya keluarga atau lingkungan sekitar yang
mempunyai keluhan batuk lebih dari 2 minggu maka secara aktif melapor kepada kader/petugas
dan sosialisasi cara batuk efektif kepada masyarakat. Selain itu juga petugas secara aktif
mengambil dahak ke rmh pasien bila pot tidak kembali, petugas mengingatkan kepada petugas
PKD dan PUSTU bila ada suspek dan gejala segera diambil dahaknya untuk dilaksanakan
pemeriksaan.
Pencapaian pada indikator upaya kesehatan lansia secara keseluruhan belum memuaskan.
Hal ini dikarenakan dari 3 indikator yang ada tidak satupun yang memenuhi target capaian.
Rendahnya pencapaian pada indikator upaya kesehatan lansia disebabkan oleh kurangnya
kesadaran dan pengetahuan lansia terhadap kesehatan, lansia jarang di rumah karena bekerja
sehingga tidak mengikuti posyandu dan kurangnya anggaran untuk pelatihan untuk lansia.
Indikator yang belum memenuhi target capaian dapat dilihat dari tabel berikut:
Target
No Indikator Kinerja Sasaran Cangkupan
Pencapaian
Target
No Indikator Kinerja Sasaran Cangkupan
Pencapaian
Terpenuhinya semua target pencapaian indikator upaya kesehatan sekolah ini oleh adanya
kerjasama lintas sektoral antara puskesmas dan pihak sekolah.
Pencapaian pada indikator upaya gizi secara keseluruhan sudah cukup memuaskan. Pada
indikator upaya gizi terdapat 9 indikator yang sudah memenuhi target capaian dan 2 indikator yang
belum terpenuhi.
Indikator yang belum mencapai target capaian dapat dilihat dari tabel berikut:
Target
No Indikator Kinerja Sasaran Cangkupan
Pencapaian
1 Cangkupan pemberian pmt MP ASI 100% 1477 38,45%
pada bayi BGM dari gakin
Adanya pencapaian yang tidak memenuh target disebabkan oleh kurangnya kesadaran
dan pengetahuan masyarakat terkait masalah gizi serta kurangnya sumber daya manusia yang
menjalankan program upaya gizi ini.
Indikator yang belum mencapai target capaian dapat dilihat dari tabel berikut:
Target
No Indikator Kinerja Sasaran Cangkupan
Pencapaian
Target
No Indikator Kinerja Sasaran Cangkupan
Pencapaian
Untuk kualitas SDM di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid setiap 6 bulan
diadakan analisa kompetensi terhadap setiap formasi jabatan untuk mengetahui keterampilan yang
sudah dimiliki dan belum dimiliki oleh setiap tenaga kerja. Untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia, maka tenaga kesehatan rutin mengikuti pelatihan baik yang diadakan oleh dinas
kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten maupun organisasi profesi seperti dokter, dokter
gigi, bidan dan perawat. Untuk penggajian tenaga PNS berasal dari kementrian keuangan yang
disesuaikan dengan golongan masing-masing tenaga kerja. Sedangkan untuk penggajian tenaga
non PNS berasal dari keputusan bupati yang diatur di dalam standar barang harga dan jasa (SHBJ)
setiap kabupaten. Dalam melaksanakan perencanaan sumber daya manusia puskesmas
melaksanakannya berdasarkan analisa jabatan dan analisa beban kerja yang rutin diadakan setiap
tahun. Untuk pelaksanaan monitoring pihak Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid melalui
finger print yang langsung terhubung dengan Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Untuk
pelaksanaan evaluasi dilakukan oleh kepala puskesmas setiap akhir bulan dan akhir tahun untuk
melihat kinerja setiap tenaga kerja yang ada di puskesmas. Setiap bulan rutin diadakan monitoring
dan evaluasi pencapaian indikator SPM kesehatan untuk melihat capaian yang telah diraih dan
mengindentifikasi hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan SPM kesehatan.
5.1 KESIMPULAN
Sumber daya manusia yang ada di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid belum
sepenuhnya mendukung pelaksanan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor penyebab. Faktor tersebut terdiri faktor kuantitas dan faktor
manajemen SDM. Faktor yang menjadi hambatan kuantitas SDM antara lain kurangnya tenaga
kerja yang ditemukan di Puskesmas Mungkid dan Puskesmas Mlati II. Kurangnya tenaga kerja
disebabkan oleh adanya moratorium yang diadakan oleh pemerintah sejak tahun 2015. Untuk
mengatasi kekurangan tenaga kerja puskesmas mengadakan perekrutan tenaga non PNS seperti
tenaga BLUD, tenaga PHL, tenaga outscoursing. Namun perekturan ini juga tidak dapat dilakukan
dalam skala yang besar dikarenakan terbatasnya anggaran puskesmas untuk menggaji tenaga kerja
non PNS. Selanjutnya kurangnya SDM di puskesmas disebabkan oleh tidak adanya regulasi
mengenai perekrutan tenaga kerja non PNS di Kabupaten Magelang. Faktor yang menghambat
manajemen SDM adalah belum berjalannya pengorganisasian dengan baik. Hal ini dibuktikan
dengan adanya tenaga kerja yang menjalani tanggung jawab pekerjaan lebih dari satu. Selain itu
juga gaji yang didapatkan tenaga non PNS tidak sebanding dengan beban kerja yang ditanggung.
Selain faktor sumber daya manusia, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
pencapaian SPM seperti faktor kerjasama lintas sektoral dan faktor partisipasi aktif masyarakat
seperti kesadaran masyarakat untuk berkunjung ke puskesmas untuk konsultasi kesehatan. Selain
itu juga manajemen puskesmas, faktor anggaran juga memengaruhi pencapaian SPM. Selanjutnya
juga dengan adanya program PISPK dapat mendukung pencapaian standar pelayanan minimal
kabupaten/kota melalui peningkatan akses dan skrining kesehatan
5.2 SARAN
Beberapa saran yang penulis sampaikan terkait penelitian ini diantaranya:
Andrizul, & Yoserizal., 2013. Rekrutmen dan Penempatan Pegawai. Jurnal Kebijakan Publik,
Vol.4, No.1.
Anonim, 2009, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,
Jakarta.
Anonim, 2014, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara, Jakarta.
Anonim, 2014, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan, Jakarta.
Böhm, A., 1994. Theoretical Coding : Text Analysis in Grounded Theory.
Bupati Kabupaten Magelang, 2015, Peraturan Bupati Magelang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Pemberian Insentif untuk Pegawai Negeri Sipil, Magelang.
Bupati Kabupaten Sleman, 2016, Peraturan Bupati Sleman Nomor 30 Tahun 2016 tentang
Pemberian Insentif untuk Pegawai Negeri Sipil, Sleman.
Cresswel, J. W., 2012. Educational Research : Planning, Conducting and Evaluating Quantitative
and Qualitative Research. 4th ed. Boston : Pearson.
Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang, 2016, Profil Kesehatan Kabupaten Magelang Tahun
2016, Magelang.
Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, 2018, Profil Kesehatan Kabupaten Sleman Tahun 2018,
Sleman.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2018, Pencapaian SPM Bidang Kesehatan
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017, Jawa Tengah.
Moleong, Lexy J., 2014 Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya : Bandung.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2008, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 741 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di
kabupaten/kota, Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2013, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 46 tahun 2013 tentang Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia, Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2015, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 33 tahun 2015 tentang Sumber Daya Manusia Kesehatan, Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 43 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan, Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat
Dengan Pendekatan Keluarga, Jakarta.
Muninjaya, A.A., 2004. Manajemen Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Nurbeti M., Jamil NA., Ghazali PL., Sunarto., Kuntari T., 2012. Ilmu Kesehatan Masyarakat untuk
Kompetensi Dokter Umum. Program Hibah HPEQ FK UII.
Notoatmodjo, S., 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT. Rineka Cipta: Jakarta.
Pranoto, L. H., Retnowati. 2015. Analisis Beban Kerja. Gudang Penerbit Pedoman Penyusunan
Standar Kompetensi kerja Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Badan Kepegawain
Negara, Jakarta.
Pemerintah Indonesia, 2018. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen
PPPK, Jakarta.
Presiden Republik Indonesia, 2012. Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional, Jakarta.
Puskesmas Mlati II., 2018. Profil Puskesmas Mlati II 2018. Yogyakarta.
Puskesmas Mungkid., 2018. Profil Puskesmas Mungkid 2018. Magelang.
Robbins, Stephen P & Judge, Timothy A., 2015. Organizational Behavior Edition 16, Perason
Education, New Jersey.
Rakhmawanto, A. 2016. Kebijakan Moratorium PNS : Analisis Bezetting Pegawai, Rightsizing
Kelembagaan, dan Budgeting Penyelenggaraan Pemerintahan. Jurnal Borneo
Administrator. 12(1), pp. 29–48.
Samsuni.,2017. Manajemen Sumber Daya Manusia. Al Falah, Vol. XVII, pp. 113–124.
Siagian., Sondang P., 2016. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara, Jakarta.
Subianto, Marianus., 2016. Pengaruh Gaji dan Insentif Tterhadap Kinerja Karyawan Pada PT.
Serba Mulia Auto di Kabupaten Kutai Barat. eJournal Administrasi Bisnis. 4(3) : 698-712
Sulastri, Lilis., 2012. Manajemen Sebuah Pengantar. La Goods Publishing, Bandung.
Tulus Agus, Moh. et al, 2011, Manajemen Sumber Daya Manusia, Buku Panduan Mahasiswa
(edisi kelima). PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wibowo. 2007. Manajemen Kinerja. Rajawali Pres. Jakarta.
World Health Organizing. 2009. Handbook on Monitoring and Evaluation of Human Resources
for Health. New York.
Yuniarti., Eka P., Bambang S S., Hamidah N U., 2013. Pengaruh On The Job Training Dan Off
The Job Training Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Pada Pegawai Divisi Operasional dan
Teknik dan Personalia dan Umum Kantor Pusat PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero)
Surabaya), Jurnal Administrasi Bisnis, 6(1).
FAKULTAS KEDOKTERAN
Untuk penelitian dengan judul “ANALISIS DUKUNGAN SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP
PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN DI
PUSKESMAS MLATI II DAN PUSKESMAS MUNGKID”
Latar Belakang: Standar Pelayanan Minimal (SPM) dibentuk dengan tujuan khusus di bidang
kesehatan, untuk memastikan apakah layanan kesehatan memberikan pelayanan terbaik untuk
setiap warga. Berdasarkan Permenkes Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang kesehatan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah, pencapaian SPM bidang kesehatan pada tahun
2017 di Kota Magelang baru mencapai 5 indikator SPM yang mencapai target, sementara di
kabupaten Magelang hanya 2 yang mencapai target.
Tujuan: Mengetahui masalah sumber daya non finansial (sarana, prasarana, alat, dan tenaga)
dalam mendukung pelaksanaan SPM di Puskesmas Ngluwar.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan pendekatan case study. Penelitian
dilakukan di Puskesmas Ngluwar Pengumpulan data yaitu terdiri dari wawancara mendalam,
observasi non partisipan, dan dokumen.
Hasil: Di Puskesmas Ngluwar, hanya 2 Indikator SPM yang telah mencapai 100% yaitu kesehatan
ibu bersalin dan pelayanan kesehatan orang dengan TB. Faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu
meliputi Sumber Daya Manusia (SDM), alat dan ketersediaan obat, serta faktor luar yaitu PIS PK.
Kesimpulan: SDM yang sedikit menyebabkan adanya tenaga rangkap dan meningkatkan beban
kerja karena ketidak sesuaian rasio antara pemberi layanan dan penerima layanan puskesmas.
Selain itu adanya program tambahan seperti PIS PK (Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Keluarga) justru semakin menghambat pencapaian SPM karena menyita tenaga dan waktu SDM.
Faktor-faktor ini perlu dievaluasi dan diperbaiki bersama agar dapat mencapai kedua belas
indikator SPM.
Kata Kunci: Sumber daya non finansial, standar pealayanan minimal bidang kesehatan,
puskesmas, kabupaten magelang.
ANALYSIS OF NON FINANCIAL RESOURCES IN IMPLEMENTATION OF
MINIMAL HEALTH SERVICES IN PUSKESMAS NGLUWAR
ABSTRACT
Background: Minimum Health Service Standards (SPM) formed in order to make sure that health
services providing the best service to the people. Based on Permenkes No. 43 of 2016 on
Minimum Health Service Standards in District/ City of Central Java, SPM achievement in 2017 in
Magelang City only achieved 5 SPM indicators target, while in Magelang District only achieved
2 indicators target.
Tujuan: To find out the problem of non-financial resources (facilities, infrastructure, tools and
personnel) in supporting the implementation of MSS at Puskesmas Ngluwar.
Metode This study uses a qualitative design with a case study approach. The study was conducted
at Puskesmas Ngluwar. Data collected from in-depth interviews, non-participant observation, and
documents.
Hasil: Puskesmas Ngluwar only reached 2 SPM indicators that have achieve 100%, maternal
health and health services for TB patients. Factor that influence are include Human Resources
(SDM), tools and availability of drugs, and PIS PK as external factors.
Kesimpulan: Small number of SDM causing double jobdesk of employees, increasing work load
because of unbalance ratio between the health service provider and patients. Furthermore, another
program such as PIS PK actually made it more difficult to achieve SPM target, because it took up
more energy and time of SDM. These factors need to be evaluated and corrected together in order
to achieve the twelve SPM indicators target.
Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan pendekatan case study. Penelitian
dilakukan di Puskesmas Ngluwar yang beralamat di Jalan Kyai Sahid Nomor. 14, Kecamatan
Ngluwar, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, selama 1 minggu yaitu pada tanggal 11-17 Februari
2018. Pengumpulan data yaitu terdiri dari wawancara mendalam, observasi non partisipan, dan
dokumen (profil puskesmas, data SPM 2018, dan LPLPO). Data yang telah dikumpulkan
diverifikasi dan dianalisis menggunakan metode triangulasi.
Indikator kesehatan ibu bersalin Puskesmas Ngluwar telah berhasil mencapai 100%.
Namun, berdasarkan data dari profil puskesmas, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan sebesar 99.7%, hal ini dikarenakan ada 1 ibu hamil yang melahirkan di rumahnya
sendiri. Berdasarkan hasil observasi langsung, puskesmas Ngluwar telah memiliki fasilitas ruang
persalinan serta terdapat jadwal jaga panggilan untuk bidan.
Pelayanan kesehatan bayi baru lahir di Puskesmas Ngluwar sudah cukup baik meskipun
belum mencapai 100%, hal ini dilihat berdasarkan data di profil puskesmas dimana cakupan
neonatus dengan komplikasi yang ditangani sebesar 138,5%, hal ini melebihi jumlah perkiraan
neonatus yang lahir dengan komplikasi serta cakupan kunjungan neonatal (KN lengkap)
capaiannya 98,3% untuk bayi laki-laki dan perempuan. Data kematian neonatal sebanyak 3 bayi
neoatal dan tidak ada kematian ibu bersalin.
”Paling tidak sesuai permenkes, rasio antara petugas kesehatan dengan, dengan pasien itu
rasional, jadi bisa dilayani dengan baik, yang berkualitas”. (R1, 45-48)
Salah satu penyebab kurangnya kuantitas SDM adalah dari kebijakan pemerintah sendiri
berupa moratorium dan anggaran puskesmas.
“moratorium ya baru kemarin penerimaan PNS itu saja tidak mencukupi, maksudnya jumlahnya
itu kurang daripada yang diinginkan maksudnya, kabupaten Magelang cuma di jatah sekian gitu
ya, nah.. akhirnya kan untuk tenaga dokter umum itu tetep masih kurang” (R2, 167-171)
“maunya mau membayar dengan uang BLUD tapi karena di Ngluwar ini termasuk yang kapitasinya
tidak terlalu banyak jadikan kita juga berat”. (R2, 173-176)
Tabel 3. Standar Ketenagaan Puskesmas di daerah pedesaan menurut Permenkes No. 75 Tahun 20144
Idealita Realita
Tenaga Kerja Keterangan
Jumlah Jumlah
Dokter 1 1 Sesuai standar
Dokter Gigi 1 1 Sesuai standar
Perawat 5 5 Sesuai standar
Bidan 4 10 Melebihi standar
Tenaga Kesehatan Masyarakat 1 1 Sesuai standar
Berdasarkan Tabel. 2 dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja puskesmas Ngluwar telah
memenuhi standar, kecuali tenaga kerja pekarya. Meskipun begitu jumlah ini masih menjadi
hambatan bagi puskesmas dalam mencapai SPM, terutama bagi tenaga medis yang secara langsung
melakukan pelayanan terhadap pasien.
Kecamatan Ngluwar adalah suatu wilayah pedesaan dengan total penduduk 33.175 yang
merupakan cakupan kerja Puskesmas Ngluwar. Berdasarkan WHO, rasio dokter yang ideal adalah
1 dokter untuk 2500 penduduk. Tentunya rasio tersebut telah sesuai terhadap porsi dan beban
dokter dalam melaksanakan pelayanan5.
Ketika jumlah dokter tidak sebanding dengan jumlah pasien yang ditangani makan akan
menyebabkan peningkatan beban kerja. Beban kerja yang overload tentunya akan mempengaruhi
kualitas kerja seseorang. Rasio dokter dan pasien yang tidak sebanding akan memperpanjang jam
kerja, dokter akan kelelahan dan kehilangan motivasi kerja sehingga menurunkan kinerja dan
berdampak pada kepuasan masyarakat terhadap layanan puskesmas. Oleh karena itu, beban kerja
SDM pelayanan kesehatan di puskesmas penting dan tidak dapat diabaikan. Dalam menentukan
standar jumlah SDM yang di butuhkan di puskesmas, perlu mempertimbangkan kependudukan,
geografis, sosiologis, serta sarana dan prasarana antara kota dan desa6.
Alat kesehatan di puskesmas Ngluwar telah memiliki kelengkapan alat yang cukup baik
dilihat dari alat-alat yang dibutUhkan pada masing-masing indikator. Yang belum tersedia adalah
salah satu pemeriksaan pasien diabetes mellitus yaitu HbA1C.
HbA1C adalah tes yang dipakai untuk melihat efek perkembangan terapi 8-12 minggu
sebelumnya. Setelah diterapi, pemeriksaan ini diulang setiap 3 bulan atau setiap 1 bulan (pada
keadaan HbA1c >10%), untuk melihat hasil dan rencana terapi selanjutnya pada pasien Diabetes
Melitus Tipe 2 (DM Tipe II). DM tipe II dapat ditegakkan apabila hasil Glukosa Darah Puasa
(GDP) ≥126 mg/dL, atau Glukosa Darah Sewaktu ≥200 mg/dL, Glukosa Darah 2 jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200, atau HbA1c ≥6,5% dengan metode terstandarisasi7.
Pada pelaksanaannya, alat ini belum menjadi kebutuhan sektor laboratorium puskesmas
karena permintaan dari pelayanan umum selalu pemeriksaan diagnostik seperti cek gula darah
kapiler atau arteri untuk menilai GDS atau GDP.
Ketersediaan obat-obatan di Puskesmas Ngluwar telah sesuai dan mendukung SPM,
meskipun terkadang ada beberapa obat yang habis atau tidak ada ketika dibutuhkan, terdapat obat
subtitusi, atau obat pengganti.
Selain ketersediaan obat, evaluasi dan seleksi obat masuk dan keluar penting untuk
dilakukan untuk menjaga kualitas obat-obatan yang akan diterima dan dikonsumsi oleh pasien.
Hal ini telah dilakukan berupa pengecekan setiap bulan untuk mencegah adanya obat yang tidak
layak fisik atau melewati expired date.
“Tiap bulan kita melakukan stok opnam gudang sehingga tidak ada obat yang gigis dan yang
diberikan kepada pasien, itu minimal, mengurangi minimal untuk obat ED itu terjaga gitu lho,
sehingga kualitas obatnya yang diberikan kepada pasien itu tetap terjaga, pasien tidak mendapatkan
obat yang ED dari puskesmas.”(R7, 11-16)
Alur dalam permintaan dan penyediaan obat dari subunit ke apotik di buat dalam bentuk
laporan bulanan yang disebut dengan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO).
Dari subunit akan menuliskan obat-obat yang dibutuhkan, lalu diserahkan kepada Apotik,
kemudian Apotik akan melakukan penyetokkan obat sesuai dengan penyakit di puskesmas.
Sebagaimana dijelaskan pada PMK nomor 74 tahun 2016 tentang standar pelayanan
kefarmasian di puskesmas, dalam menjaga kualitas pelayanan kefarmasian, puskesmas perlu
melakukan pengendalian mutu seperti monitoring dan evaluasi, dalam hal ini puskesmas Ngluwar
telah menjalankan upaya tersebut dengan baik8.
Ketersediaan obat-obatan di Puskesmas Ngluwar dibandingkan dengan Permenkes
No.HK.01.07/MENKES/395/ 2017 Daftar Obat Esensial Nasional Puskesmas: antifilaria
(dietilkarbamazin), antisistosoma (prazikuantel), antibakteri (penisilin, tetrasiklin), antilepra
(dapson, klofamizin), antimalarial (dosisiklin, artesunat, kuinin, primakuin, kombinasi),
antiretroviral (lamivudin, zidovudin, tenofovir, nevirapin, dll), antiseptic dan bahan perawatan
saluran akar gigi (formokresol, gutta percha, kalsium dikroksida, pasta pengisi, dll), anti akne
(asam retinoat), larutan parenteral, antiglaukoma (asetazolamid, pilokarpin, timolol), antidepresan
(amitriptilin, fluoksetin), antispasmodic (atropin, hoisin butilbromid), katartik (bisakodil, gliserin,
laktulosa), ATS (anti tetanus serum), obat telinga, hidung, tenggorok (hidrogen peroksida,
karbogliserin, lidokain, oksimetazolin)9.
Beberapa obat berdasarkan kategori obat tidak tersedia, contohnya analgetik seperti
natrium diklofenak atau antikonvulsi seperti valproat, namun berdasarkan hasil wawancara
terdapat obat subtitusi, yaitu tersedianya obat-obat lain dalam kategori yang samat tersedia
sehingga dapat menggantikan obat yang tidak tersedia.
Faktor Fasilitas Sarana dan Prasarana Puskesmas Ngluwar
Tabel 4. Sarana dan prasarama berdasarkan Permenkes No. 75 Tahun 20144.
Sarana dan
Hasil Observasi Idealita
Prasarana
Sistem ventilasi Ventilasi ruangan sudah sesuai, - Jumlah bukaan ventilasi 15% terhadap luas
puskesmas memiliki jendela- lantai yang membutuhkan ventilasi
jendela besar di koridor, tiap - 3 elemen dasar : jumlah udara luar berkualitas
ruangan juga memiliki ventilasi > baik yang masuk, arah aliran udara dalam gedung
15%, udara bersirkulasi dengan dari area bersih ke area terkontaminasi, ada
baik pertukaran antara udara di dalam ruag dengan
udara dari luar.
Sistem Cahaya matahari yang masuk -Harus mempunyai pencahayaan alami dan buatan
penerangan melewati ventilasi cukup terang. -Pencahayaan harus terdistribusikan merata
Lampu-lampu yang digunakan -Lampu-lampu yang digunakan dari jenis hemat
juga cukup terang dan hemat energi
energi.
Sarana sanitasi Sumber air adalah PDAM, limbah -Sistem air bersih
dibuang di SPAL, dan sudah ada -Sistem penyaluran air kotor/ limbah
sistem pembuangan limbah medis -Sistem pembuangan limbah infeksius dan non
dan non medis infeksius
Sistem Sistem kelistrikan Puskesmas sistem kelistrikan mudah dioperasikan, diamati,
kelistrikan Ngluwar aman. sumber dipelihara, tidak membahayakan, tidak
kelistrikan berasal dari PLN dan mengganggu lingkungan, bagian bangunan dan
sumber daya listrik darurat dari instalasi lain.
generator listrik
Sistem Terdapat beberapa alat Alat komunikasi berupa kabel, seluler, radio
komunikasi komunikasi seperti telepon, kabel, komunikasi ataupun alat komunikasi lainnya.
televisi, speaker nomor antrian.
Sistem gas Tabung silinder oksigen Sistem gas medik yang digunakan adalah O2
medik diletakkan pada bagian (Oksigen) direncanakan dan diletakkan dengan
kegawatdaruratan seperti ruang mempertimbangkan tingkat keselamatan bagi
bersalin dan ruang tindakan. penggunanya.
Sistem proteksi Terdapat penangkal petir dengan Sistem proteksi petir harus dapat melindungi
petir kondisi prima dan melindungi semua bagian dari bangunan puskesmas termasuk
bangunan serta orang di manusia yang ada di dalamnya.
puskesmas
Sistem Terdapat alat pemadam kebakaran -Puskesmas harus terdapat alat pemadam
pelindung kebakaran
kebakaran -alat pemadam dengan kapasitas minimal 2 kg,
dan dipasang 1 buah setiap 15 m2
Sistem kontrol Nilai intensitas derajat kebisingan Kebisingan diluar bangunan Puskesmas tidak
kebisingan tidak diukur dengan menggunakan lebih dari 55 dBA dan di dalam bangunan
alat khusus sehingga tidak Puskesmas tidak lebih dari 45 dBA.
diketahui nilai pastinya.
Sistem Terdapat tangga antara lantai satu - lebar tangga minimal 120 cm untuk
transportasi dan dua, kondisi dalam keadaan mempermudah evakuasi dalam kondisi gawat
vertikal baik dan aman digunakan, serta darurat
memiliki pegangan tangan. - tidak terdapat tanjakan berlubang yang
membahayakan pengguna tangga
- harus dilengkapi dengan rel pegangan tangan
(handrail).
ambulans Terdapat 1 buah kendaraan Mengikuti syarat yang berlaku.
sebagai ambulans dan Puskesmas
Keliling
Dari segi kesehatan lingkungan, puskesmas Ngluwar telah cukup baik dalam
pengelolaannya. Berdasarkan hasil observasi, dapat dilihat bahwa untuk pengelolaan limbah medis
telah dikelola dengan baik, yaitu dengan membedakan dan menyediakan tempat sampah medis
dan non medis, berupa safety box.
Di Puskesmas juga telah menyediakan sampah tiga jenis, yaitu tempat sampah plastik,
kertas, dan organic meskipun dalam pelaksanaannya pengunjung puskesmas masih membuang
sampah tidak sesuai dengan jenisnya.
Untuk mencegah penyebaran penyakit menular, terutama TB, kesehatan lingkungan juga
telah menyediakan fasilitas seperti masker di lobby tepat di samping pintu masuk, wastafel dan
sabun cuci tangan di lorong ruang pelayanan, dan pojok dahak di samping belakang gedung.
Harapannya pasien dapat menggunakan fasilitas tersebut sejak awal masuk ke puskesmas.
Faktor PIS PK (Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga)
PIS PK merupakan program lain di puskesmas dari pemerintah yang harus dilaksanakan
oleh puskesmas. Berdasarkan hasil observasi program ini menjadi suatu masalah yang sering
dikeluhkan oleh pegawai puskesmas karena yang menjalankan program ini adalah mereka sendiri,
padahal kegiatan PIS PK menghabiskan banyak SDM, tenaga, dan waktu Puskesmas
menjadwalkan kegiatan PIS PK tiap hari senin dan kamis, sehingga pada hari tersebut Tim yang
bertugas akan keluar dan pergi ke Desa meninggalkan pekerjaannya ditengah-tengah jam
pelayanan, baik itu bidan, perawat, dll.
“karena itukan pendataan tho sehingga kita bisa dapat datanya, karena kan sekarang e.. PISPK itukan
sebenarnya bagusnya datanya adalah data riil, karena dia data riil, cuma kita juga kadang kesulitannya harus
menginput juga sementara pekerjaan di puskesmas kan banyak gitu lho, apa-apa sekarang harus ee.. datanya
kita mau akreditasi juga tahun ini kan jadi kita kesulitan, waktunya tenaganya juga e.. kekurangan tenaga
itu.” (R2, 88-96)
Berdasarkan PMK no 39 Tahun 2019 tentang PIS PK, dijelaskan bahwa PIS PK memiliki
12 indikator yang harus dicapai, dimana sebagian dari indikator tersebut memiliki capaian yang
sama dengan SPM. Selain itu pelaksanaan dilakukan oleh puskesmas melalui beberapa kegiatan
seperti pendataan, pengelolaan data, menyusun intervensi dan rencana, melakukan upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif, pelayanan kesehatan diluar dan didalam gedung serta
melakukan pelaporan. Apabila PIS PK berjalan dengan baik tanpa hambatan, tentunya turut
membantu dalam peningkatan pencapaian SPM10.
“di tenaga tadi jadi kalo saya sih kepengennya untuk PISPK itu harusnya jangan kita yang melaksanakan tapi
pemerintah mungkin bisa me.. mempihak ketiga-kan, istilahnya ada petugas tersendiri yang dibayar untuk
melaksanakan” (R2, 83-87)
PIS PK adalah program yang bagus, tetapi apabila dalam pelaksanaannya tidak ada
dukungan dari segi SDM maupun dana, maka hal ini justru semakin mempersulit puskesmas dalam
menjalankan program yang lain seperti SPM dan pelaksanaan PIS PK juga menjadi tidak
maksimal.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Secara keseluruhan, Puskesmas Ngluwar memiliki standar pelayanan yang cukup baik
karena telah memenuhi standar pelayanan minimal sesuai dengan Permenkes. No. 43 Tahun 2016.
Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi pencapaian SPM, khususnya dari segi sumber daya non
finansial. Hal tersebut meliputi faktor sumber daya manusia (SDM), alat dan ketersediaan obat,
serta faktor luar yaitu PIS PK, dalam memengaruhi capaian indikator SPM.
DAFTAR PUSTAKA
1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 43, 2016. Standar Pelayanan
Minimal Bidang Kesehatan.
2. Presiden Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2014. Presiden RI. Jakarta. 33-36.
3. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2018. Pencapaian SPM Bidang Kesehatan
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75, 2014. Pusat Kesehatan
Masyarakat.
5. Kemenkes RI. 2014. Peran Jumlah Dan Mutu Tenaga Kesehatan Dukung Percepatan Mdgs
Dan Implementasi Jkn. Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan
RI. http://www.depkes.go.id/article/print/20143250004/peran-jumlah-dan-mutu-tenaga-
kesehatan-dukung-percepatan-mdgs-dan-implementasi-jkn.html.
6. Mujiyati dan Yuniar, Y. 2016. Ketersediaan Sumber Daya Manusia Kesehatan pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional di Delapan Kabupaten-
Kota di Indonesia. 26 (4): 201–210
7. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI). 2015. Konsensus
Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia 2015. Jakarta: PB Perkeni
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74, 2016. Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas.
9. Peraturan Menteri Kesehatan RI No HK.01.07/MENKES/395/2017. Daftar Obat Esensial
Nasional. 2017, pp. 1–48.
10. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.39 Tahun 2016. Pedoman Penyelenggaraaan Program
Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga.
Handayaning
DAFTAR PUSTAKA