Anda di halaman 1dari 226

Kumpulan data gabungan pra analisis

Asisten Kemal :

4.1. Profil Wilayah Penelitian

4.1.1. Profil Kabupaten Magelang

Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa
Tengah, tepatnya di daerah selatan Jawa Tengah yang langsung berbatasan dengan Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Secara administrasi, Kabupaten Magelang dibagi menjadi 21
kecamatan, dengan jumlah desa sebanyak 367 desa dan 5 kelurahan dan beribu kota di Kota
Mungkid. 21 kecamatan tersebut beserta luas wilayahnya disajikan pada grafik berikut

Grafik 3.1: Grafik luas kecamatan di Kabupaten Magelang (Dinkes Kab Magelang,2016)

Kabupaten Magelang menurut BPS Kabupaten Magelang (2016) memiliki jumlah


penduduk 1.257. 123 jiwa yang tersebar di 21 kecamatan. Jumlah penduduk terbesar berada di
Kecamatan Mertoyudan (114.212 jiwa). Sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil
berada di Kecamatan Ngluwar (31.187 jiwa). Apabila dilihat berdasarkan kepadatan penduduknya
yang dihitung dengan jumlah penduduk per kilometer persegi wilayah kecamatan, maka
Kecamatan Muntilan merupakan kecamatan terpadat penduduk dengan kepadatan penduduk 777
jiwa per km2. Sedangkan kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah ada di Kecamatan
Kajoran dengan kepadatan 636 jiwa per km2. Apabila dilihat dari komposisi penduduknya,
Kabupaten Magelang memiliki jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan
(630.821 jiwa, 50,18% dibanding 626.302 jiwa, 49,82%) Detail selengkapnya ada di tabel 3.2, 3.3
dan 3.4.

Grafik 3.2: Penduduk di Kabupaten Magelang (Dinkes Kabupaten Magelang, 2016)


Grafik 3.3: Kepadatan Penduduk Kabupaten Magelang (Dinkes Kab Magelang, 2016)

Grafik 3.4: Komposisi Penduduk Kabupaten Magelang (BPS Kabupaten Magelang, 2016)
Pelaksanaan kegiatan kesehatan di Kabupaten Magelang berpusat di Dinas Kesehatan
Kabupaten Magelang yang berada di Kota Mungkid. Pelayanan kesehatan primer dilakukan di
pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang ada di setiap kecamatan. Setiap kecamatan
memiliki satu unit puskesmas (kecuali di Grabag, Kajoran, Mertoyudan, Muntilan, Salaman,
Sawangan, dan Secang yang memiliki dua unit puskesmas) ditambah satu puskesmas yang ada di
Kota Mungkid. Ini berarti Kabupaten Magelang memiliki total 29 unit puskesmas yang dibawahi
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang.

4.1.2. Profil Puskesmas Mertoyudan I

4.1.2.1. Keadaan Umum Puskesmas Mertoyudan I

Kecamatan Mertoyudan merupakan salah satu dari total 21 kecamatan yang berada di
Kabupaten Magelang. Luas total kecamatan ini adalah 45,35 km2. Jumlah penduduk di Kecamatan
Mertoyudan kurang lebih sekitar 114.212 jiwa dengan kepadatan penduduk 2518 jiwa per km2.
Penduduk Kecamatan Mertoyudan merupakan penduduk dengan jumlah terbesar se-Kabupaten
Magelang. Adapun Kecamatan Mertoyudan secara detail digambarkan pada peta dibawah ini.
Gambar 4, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang

Untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di Kecamatan Mertoyudan,


maka dibentuklah pusat kesehatan masyarakat Mertoyudan (Puskesmas Mertoyudan). Akan tetapi,
mengingat Kecamatan Mertoyudan memiliki luas wilayah yang cukup luas serta jumlah penduduk
yang banyak, maka dibentuklah dua unit puskesmas, yaitu Puskesmas Mertoyudan I (yang akan
dibahas selanjutnya) dan Puskesmas Mertoyudan II. Kedua puskesmas ini diharapkan mampu
memberikan pelayanan maksimal di bidang kesehatan sebagai penyedia layanan primer bagi
masyarakat yang khususnya tinggal di Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang.

Puskesmas Mertoyudan I merupakan satu diantara kedua puskesmas yang telah disebutkan
sebelumnya. Lokasi puskesmas ini ada di Jalan Bambang Soegeng km 5 Mertoyudan, Kabupaten
Magelang. Lokasi Puskesmas Mertoyudan I ini sangat mudah dicapai karena berada di jalan lintas
antara Magelang, Jawa Tengah dengan Sleman, DIY. Puskesmas Mertoyudan I memiliki luas
wilayah kerja sebesar 19,6 km2, meliputi kira-kira 43 persen dari wilayah keseluruhan Kecamatan
Mertoyudan. Adapun wilayah-wilayah yang dilingkupi wilayah kerja Puskesmas Mertoyudan I
meliputi lima desa dan satu komplek militer. Kelima desa tersebut meliputi Desa Banyurojo
dengan 5 dusun, Desa Mertoyudan dengan 12 dusun, Desa Sumberrejo dengan 10 dusun, Desa
Danurejo dengan 13 dusun, dan Desa Donorojo dengan 13 dusun. Sedangkan satu komplek militer
yang menjadi lingkup wilayah kerja adalah Akademi Militer (Akmil) yang letaknya kurang lebih
5 km dari Puskesmas Mertoyudan I.

Untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan kepada masyarakat, Puskesmas


Mertoyudan I memiliki sejumlah fasilitas penunjang yang disajikan dalam tabel berikut

Tabel 2, Daftar Fasilitas Puskesmas Mertoyudan I

No Nama Fasilitas Keterangan

5 R. Periksa 1 (BPU) Ruang periksa utama oleh dokter Puskesmas

6 R. Periksa 2 (BPU) Ruang periksa cadangan apabila ada dokter


tambahan yang mengisi

7 R. Tunggu Ruang tunggu tepat di depan ruang periksa


dengan hiburan berupa TV agar pasien tidak
bosan
8 R. VK (Ruang Bersalin) Ruang khusus untuk menolong persalinan

9 R. Pendaftaran Ruang mendaftar, baik masuknya pasien baru


ataupun pasien lama yang hendak berobat

10 R. Apotik Untuk pengambilan obat yang diresepkan

11 R. Gudang Obat Untuk menampung persediaan obat-obatan milik


Puskesmas

12 R. BP Gigi Ruang konsultasi, periksa dan tindakan khusus


pasien yang mengalami masalah gigi

13 R. Laboratorium Laboratorium untuk pemeriksaan penunjang yang


dibutuhkan

14 R. KIA/KB Ruang untuk konsultasi masalah kesehatan ibu


dan anak serta perencanaan KB

15 R. Gizi Ruang untuk konsultasi tentang masalah gizi

16 R. Imunisasi Ruang untuk konsultasi dan pemberian imunisasi.


Di dalamnya terdapat penampungan vaksin.

17 R. Tindakan UGD Ruang tindakan juga digunakan untuk ruangan


pelayanan gawat darurat. Ruang ini juga untuk
pemberian tindakan yang sifatnya tidak gawat

18 R. Sanitasi Dapat digunakan untuk konsultasi dan konseling


masalah sanitasi

19 R. MTBS Ruang khusus untuk pelaksanaan manajemen


terpadu balita sakit (MTBS). Pasien balita yang
sakit akan diperiksa oleh tenaga keperawatan.
Selain fasilitas-fasilitas yang disebutkan dalam tabel, Puskesmas Mertoyudan I juga
memiliki klinik khusus tuberkulosis (TB) yang berdiri sejak 2017. Selain itu, Puskesmas
Mertoyudan I tengah merencanakan penambahan fasilitas baru, yaitu bangsal rawat inap. Bangsal
rawat inap yang direncanakan ini diharapkan mampu memberi pelayanan rawat inap bagi
masyarakat.

4.1.2.1 Status Puskesmas Mertoyudan I sebagai BLUD

Puskesmas-puskesmas yang ada di Kabupaten Magelang, termasuk Puskesmas


Mertoyudan I sejak 2018 telah memegang status sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Akan tetapi, perubahan status dari non BLUD menjadi BLUD dilakukan secara bertahap. Sejak
tahun 2015, Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang telah mempersiapkan status BLUD
puskesmas.Persiapan tersebut terkait dengan sosialisasi BLUD dan workshop oleh Dinas
Kesehatan. Akan tetapi, meskipun tahun 2015 telah dicanangkan, tetapi baru tahun 2018
Puskesmas Mertoyudan I mendapatkan status BLUD penuh. Hal ini dikarenakan Kabupaten
Magelang belum mempersiapkan regulasi terkait dengan BLUD.

Sebelumnya, puskesmas Mertoyudan I adalah lembaga non BLUD, lebih tepatnya Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Status BLUD sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan
Presiden (Perpres) No 32 Tahun 2014 mengenai BLUD. Perubahan status dari non BLUD menjadi
BLUD ini didasari dengan tidak mampunya Puskesmas memakai dana kapitasi dari BPJS. Akan
tetapi, solusi Perpres ini hanya merupakan solusi sementara. Oleh karena itu, Kabupaten Magelang
menyegerakan perubahan status Puskesmas dari yang sebelumnya adalah UPTD menjadi BLUD.
Akan tetapi, mengingat Kabupaten Magelang belum memiliki peraturan dan kesiapan untuk status
BLUD, maka status BLUD akan ditetapkan secara bertahap.

Mulai dari tahun 2015, Puskesmas Mertoyudan I sudah dipersiapkan untuk mengubah
statusnya dari UPTD menjadi BLUD. Saat 2015 itu, status Puskesmas Mertoyudan I belumlah
menjadi BLUD, melainkan masih UPTD. Barulah pada 2016 dan 2017 status BLUD bertahap bagi
Puskesmas Mertoyudan I dimulai. Puskesmas Mertoyudan I pada saat itu sudah bisa memakai
dana kapitasi BPJS. Akan tetapi, pengaturan keuangannya masih diatur oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten Magelang. Barulah pada 2018 Puskesmas Mertoyudan I memperoleh status sebagai
BLUD penuh. Adapun perubahan kewenangan Puskesmas Mertoyudan I dari sebelumnya non
BLUD menjadi BLUD adalah Puskesmas Mertoyudan I memiliki kewenangan penuhuntuk
mengatur sendiri keuangan mereka. Adapun detail perubahan terkait perubahan manajemen
keuangan akan dijelaskan lebih lanjut pada subbab 4.2.2 Dinamika Anggaran Puskesmas
Mertoyudan I.

4.2. Kebijakan dan Dinamika Penganggaran Kesehatan dan SPM di Puskesmas Mertoyudan I

4.2.1. Kebijakan Anggaran Kesehatan Puskesmas Mertoyudan I

Tujuan dari penganggaran kesehatan di Kabupaten Magelang adalah menyelenggarakan


kegiatan pelayanan kesehatan dengan dukungan keuangan yang mencukupi, teralokasikan secara
adil, serta bermanfaat dan berdaya gunauntuk menghasilkan derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya (Dinkes Kab Magelang, 2016). Penganggaran kesehatan di Kabupaten Magelang
meliputi sejumlah upaya, yaitu pencarian, pengalokasian, dan pemakaian anggaran. Akan tetapi,
penganggaran tidak serta merta langsung asal menganggarkan, melainkan melihat beberapa dasar
kebijakan yang berlaku. Kebijakan yang berlaku dapat berupa peraturan pemerintah (PP),
peraturan menteri (permen), dan peraturan bupati atau walikota (perbup/perwalkot).

Sumber kebjakan hukum yang pertama adalah Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2014
mengenai status BLUD. Status BLUD ini dimunculkan karena Puskesmas tak mampu memakai
anggaran dari BPJS berupa dana kapitasi. Dengan adanya status BLUD pada Puskesmas, mereka
dapat mengatur keadaan keuangan mereka sendiri. Dalam hal ini, tidak hanya anggaran saja,
melainkan sampai perencanaan dan realisasinya menyesuaikan sendiri dengan kebutuhan
Puskesmas

Sumber kebijakan yang digunakan dalam mengatur anggaran berikutnya adalah Permenkes
No 21 Tahun 2016 mengenai dana kapitasi BPJS. Dalam peraturan ini, salah satu dana yang akan
dipakai dalam pelaksanaan puskesmas adalah dana kapitasi dari BPJS. Dana kapitasi ini dihitung
dengan jumlah penduduk dikalikan harga per orang yang ditetapkan. Di dalam peraturan tersebut,
dijelaskan bahwa dana kapitasi adalah dana yang diberikan dari BPJS kepada puskesmas tiap
bulannya, dengan pengaturan yang sedemikian rupa. Uang kapitasi ini akan dipakai untuk
membayar jasa pelayanan serta operasi puskesmas lainnya misalnya pemeliharaan, pemenuhan
ATK, dan belanja modal.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, puskesmas-puskesmas yang ada di Kabupaten


Magelang memiliki status sebagai badan layanan umum daerah (BLUD). Oleh karena itu,
pengaturan anggaran disesuaikan dengan status puskesmas sebagai BLUD. Oleh karena itu, dasar
kebijakan yang dpakai adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 79 Tahun 2018.
Sebagai BLUD, puskesmas memiliki kemampuan untuk dapat mengatur keuangan yang ada di
puskesmas itu sendiri. Perlu diketahui, sebelum menjadi BLUD, puskesmas adalah unit pelaksana
teknis (UPT), dimana puskesmas menjalankan mandat dari dinas kesehatan yang ada di wilayah
yang bersangkutan.

Kebijakan pusat berikutnya yang berlaku di puskesmas adalah Permenkes No 71 Tahun


2016 mengenai Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). BOK merupakan dana yang digunakan
khusus untuk menjalankan fungsi puskesmas sebagai faskes dengan fokus layanan promotif dan
preventif. Selain itu, dana BOK juga bisa dipakai untuk menjalankan program dalam rangka
pemenuhan SPM. Dana BOK ini berasal dari pusat, dengan aliran dana berada di APBD dahulu.
Lalu, BOK disalurkan ke tiap puskesmas yang ada di wilayah kabupaten/kota tersebut.

4.2.2. Dinamika Anggaran Puskesmas Mertoyudan I

Anggaran di Puskesmas Mertoyudan I mengalami sejumlah perubahan. Perubahan ini didasarkan


status puskesmas yang dahulunya adalah lembaga non BLUD menjadi lembaga BLUD. Menurut
Kepala Puskesmas Mertoyudan I, perubahan yang paling signifikan dalam penganggaran di
Puskesmas Mertoyudan I adalah manajemen dan penggunaan anggaran. Sedangkan untuk
sumbernya, menurut beliau tidak ada perubahan yang signifikan. Adapun dinamika sebelum dan
sesudah BLUD tersebut dijelaskan seperti berikut.

“Sebenarnya sih sama aja sih dik, gak ada bedanya dari sebelum JKN dan sesudah JKN dik. Bedanya cuma
namanya aja dik. Jadi dulu kayak namanya Jamkesmas, Askes sekarang digabung jadi BPJS Kesehatan di JKN gitu
dik. Nah dari daerah juga ada yang namanya Jamkesda yang sekarang masih ada. Pada dasarnya sih sama aja dik.
Cuma perubahan nama-nama itu aja yang membedakannya dik. Justru yang beda ada pada pengelolaan
anggarannya seperti yang saya sebutkan tadi itu dik.” K, 276-294

1. Sebelum BLUD (Sebelum 2018)

Pada masa sebelum BLUD, puskesmas menerima dana dari sejumlah sumber.Sumber itu
kebanyakan merupakan sumber dari pemerintah. Sumber-sumber itu meliputi Jamkesmas, Askes,
Jamkesda dan Jampersal. Selain itu, ada sumber lain seperti sumber pasien umum (Out of pocket),
dan lain-lain yang sah (retribusi parkir) (Permenkes No 75 Tahun 2014).

Terkait dengan perencanaan dan pelaksanaan anggaran, puskesmas merupakan pelaksana Rencana
Kegiatan Anggaran (RKA). RKA tersebut merupakan rencana yang dibuat oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten Magelang. Akan tetapi, puskesmas juga dapat mengajukan kebutuhan mereka sesuai
yang dibutuhkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang. Rencana Kegiatan Anggaran
(RKA) yang dibuat oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang yang sifatnya rigid (kaku). Hal ini
berdampak pada ketidaksesuaian kebutuhan puskesmas dan rencana anggaran Dinkes sehingga
pemakaian anggaran dapat dikatakan berpotensi tidak tepat sasaran.

“Jadi kalau sebelum BLUD kan rencana kegiatan anggaran (RKA) itu kan dibuatkan Dinas Kesehatan ya. Nah lalu
RKA ini kan nanti dilaksanakan oleh puskesmas dik. Jadi puskesmas hanya sebagai pelaksana kegiatan.” K,216-

218

“Nah bedanya RKA dari Dinas Kesehatan itu dia lebih kaku ya dik, kalau harus A ya A, B ya B gitu, rigid istilahnya
dik” K, 231-234.

Sebelum menjadi BLUD, puskesmas diwajibkan menyetorkan 10 persen dari pendapatan


seluruhnya setiap bulan kepada Pemkab melalui Dinkes Kabupaten Magelang. Uang tersebut dari
Dinkes akan disetorkan ke kas daerah (Kasda). Terkait dengan itu, Kepala Puskesmas Mertoyudan
I menyatakan sebagai berikut.

“Nah untuk Kasda, setorannya dilakukan saat puskesmas sedang dalam BLUD bertahap. Sekarang, puskesmas
memiliki hak penuh anggarannya. Bentuk kembalinya ke Puskesmas nanti yaa macam-macam ya...dalam bentuk
alat kesehatan misalnya, yaa disesuaikan dengan RKA yang ada begitu. Jadi ada rencana pemakaian 10% setoran
itu yang juga dibuat oleh dinas gitu. Jadi yaa misalnya untuk beli alat kesehatan misalnya nominalnya sekian. Nanti
alkesnya dikembalikan ke puskesmas, kayak kita yang punya uang, tapi dinas yang membelikan dan diberi ke
Puskesmas, sesuai dengan perencanaan” K, 332-351

Seperti yang disampaikan oleh Kepala Puskesmas Mertoyudan I diatas, uang setoran ke Kasda
merupakan upaya untuk pemenuhan usulan kebutuhan puskesmas seperti yang disebutkan di
bagian sebelumnya. Uang 10 persen ini nanti akan dikembalikan kepada Puskesmas dalam bentuk
yang bermacam-macam, menyesuaikan usulan yang diberikan puskesmas sebelumnya.
Kekurangannya adalah waktu yang dibutuhkan untuk kembalinya uang ini membutuhkan waktu
yang lebih lama menyesuaikan keadaannya.

2. Setelah BLUD (Setelah 2018)

Pada masa BLUD sekarang, sumber anggaran yang sebelumnya adalah Jamkesmas dan Askes,
dijadikan satu menjadi dana kapitasi BPJS. Sedangkan sumber umum tetap menjadi sumber
pemasukan. Di sisi lain, selain retribusi parkir, terdapat sumber tambahan yaitu jasa giro. Jasa giro
merupakan jasa penyimpanan uang dari bank. Semenjak masuknya status BLUD ke Puskesmas,
merekapun memiliki rekening bank masing-masing. Dengan adanya rekening bank ini, puskesmas
mendapatkan bonus yang merupakan jasa giro.

“Nah kalau pas BLUD, puskesmas membuat RKA mereka masing-masing juga. Tapi namanya RKA ini namanya
sekarang jadi RBA (Rencana Bisnis Anggaran), ini cuma ganti nama aja (ganti terminologi), tapi intinya tetap sama
dengan RKA” K, 216-230

Di masa Puskesmas sebagai BLUD sekarang, Puskesmas sudah memiliki RKA sendiri, atau
sekarang disebut sebagai Rencana Bisnis Anggaran (RBA). Berbeda dengan RKA Dinas
Kesehatan, RBA ini akan merinci sejumlah kebutuhan puskesmas dan puskesmas menjalankan
sendiri sesuai apa yang ada di RBA puskesmas. Puskesmas berhak menentukan sendiri apa yang
mereka butuhkan untuk menjalankan program. Kelebihannya adalah puskesmas bisa memenuhi
apa yang benar-benar dibutuhkan oleh pihak puskesmas sendiri sehingga anggaran bisa tepat
sasaran. Keterangan-keterangan tersebut dijelaskan oleh Kepala Puskesmas Mertoyudan I.

“Dengan adanya RBA ini dik, puskesmas bisa melaksanakan sendiri kebutuhannya, sesuai yang dibutuhkan” K,
251-256
Berbeda dengan status Puskesmas yang sekarang adalah BLUD, puskesmas tidak lagi menyetor
10 persen uang ke Pemkab. Keseluruhan pendapatan puskesmas sekarang bisa diambil seluruhnya
oleh puskesmas dan dibelanjakan sesuai kebutuhan puskesmas sendiri. Jadi, puskesmas dapat
menikmati seluruh pendapatan mereka untuk digunakan dalam rangka memenuhi SPM Kesehatan.
Kembalinya dalam bentuk barang misalnya juga tergantung kebutuhan Puskesmas sendiri.

Puskesmas BLUD telah mendapatkan dampak positif bagi puskesmas sendiri. Hal ini dikatakan
oleh Kepala Puskesmas Mertoyudan I yang mengatakan bahwa kemajuan puskesmas sangat
tampak saat BLUD. Kemampuan puskesmas dalam mengatur sendiri anggaran dan kebutuhan
menjadi hal yang sangat diharapkan puskesmas. Hal ini tercantum dari dialog dibawah ini.

“...sehingga puskesmas sekarang sudah lebih maju di era JKN ini dik. Pokoknya signifikan sekali lah, puskesmas
semakin maju dan inovatif dengan menyesuaikan kebutuhan puskesmas sendiri ” K, 264-270

Tabel 3 Perbedaan Anggaran Puskesmas sebelum dan sesudah BLUD

Hal Sebelum BLUD (sebelum 2018) Setelah BLUD (mulai 2018)


Sumber Jamkesmas, Askes, Jamkesda, Kapitasi BPJS, Jamkesda, Jampersal,
Jampersal, Out of pocket, dan lain-lain BOK (dari DAK), Out of pocket, dan
yang sah (retribusi parkir) lain-lain yang sah (retribusi parkir dan
jasa giro)
Perencanaan Perencanaan anggaran sesuai dengan Perencanaan anggaran sesuai dengan
dan dasar RKA Dinkes, puskesmas sebagai RBA puskesmas, puskesmas
pelaksanaan pihak pelaksana RKA melaksanakan sendiri RBA mereka
Sifat Rigid, harus sesuai dengan RKA Fleksibel, bisa disesuaikan dengan
Pelaksanaan Dinkes RBA puskesmas
Kembali ke Diberlakukan setoran sebesar 10 Tidak diberlakukan setoran 10 persen
APBD persen dari pendapatan puskesmas dari pendapatan puskesmas
Kembali ke Sesuai usulan puskesmas sebelumnya Dipenuhi sendiri oleh puskesmas
Puskesmas kepada Dinkes
4.2.3. Sumber Anggaran Puskesmas Mertoyudan I

Sesuai dengan teori oleh Ghufron (2008) yang menyatakan bahwa anggaran kesehatan dapat dari
pemerintah dan bukan pemerintah (swasta, dan sumber lain yang sah), maka Puskesmas
Mertoyudan I pun juga memiliki sumber yang sedemikian rupa. Hanya saja, sampai sekarang,
sumber swasta belum ada yang masuk puskesmas. Dengan demikian, puskesmas memiliki sumber
pemerintah dan sumber lain yang sah. Sumber pemerintahan yaitu jaminan kesehatan Dan Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK). Sedangkan sumber umumnya berupa pasien umum, retribusi, dan
jasa giro. Di Puskesmas Mertoyudan I ini, sumber anggaran puskesmas terbagi dua, yaitu sumber
secara umum dan BOK.

1. Sumber Anggaran Secara Umum Milik Puskesmas

Menurut Kepala Puskesmas Mertoyudan I, ada beberapa sumber yang dapat dijadikan sebagai
sumber anggaran. Sumber-sumber anggaran itu berperan besar terhadap kelangsungan Puskesmas
Mertoyudan I. Akan tetapi, ada beberapa sumber yang tidak menjadi pendapatan, melainkan
sebagai perantara. Puskesmas sebagai perantara uang berarti puskesmas hanya akan melewatkan
uang untuk disalurkan ke penerima yang berhak sesuai ketentuan . Berikut adalah penjelasan dari
sumber-sumber tersebut:

a. Sumber umum, atau bisa juga disebut sebagai out of pocket pay, merupakan sumber dimana
pasien membayar sendiri biaya pengobatan dan tindakan. Pasien umum ini tidak membayar
melalui BPJS, tetapi mereka memakai uang mereka sendiri untuk membayar tarif yang
ditetapkan puskesmas. Biaya yang dibebankan kepada pasien umum ini meliputi biaya
tindakan medis, biaya administrasi, pelayanan surat keterangan sehat atau sakit (bila pasien
membutuhkan), dan biaya laboratorium. Persentase pembayaran pasien umum ini sangat
kecil menyumbang anggaran Puskesmas Mertoyudan I, hanya mencakup 5-10 persen dari
total pendapatan yang diraih tiap bulannya.
b. Sumber kapitasi, merupakan sumber dimana jaminan kesehatan, dalam hal ini BPJS
membayar berdasarkan per anggota BPJS yang terdaftar di Puskesmas Mertoyudan I.
Menurut Kepala Puskesmas, per anggota BPJS di wilayah Puskesmas Mertoyudan I
bernilai Rp. 6.500,00. Dana kapitasi ini menyumbang anggaran Puskesmas Mertoyudan I
dengan nilai yang paling besar, sekitar 85-90 persen keseluruhan pendapatan tiap bulannya.
c. Sumber non kapitasi, merupakan sumber dimana sumber ini tidak masuk ke dalam kapitasi
BPJS, dalam hal ini adalah kegiatan persalinan. Kegiatan persalinan ini masih dibagi dua,
yaitu persalinan jam kerja (JK), dalam hal ini jam kerja Puskesmas Mertoyudan I adalah
pukul 07.00-14.00 WIB setiap hari (Minggu dan hari besar tutup), serta persalinan diluar
jam kerja (LJK). Uang non kapitasi ini dibayarkan oleh BPJS, dengan frekuensi
menyesuaikan situasi dan kondisi atau tidak tiap bulan (bisa dijadikan satu dalam waktu
tertentu). Sebagai catatan, uang JK masuk ke pendapatan Puskesmas Mertoyudan I, sedang
uang LJK tidak masuk pendapatan, melainkan akan disalurkan ke bidan yang melakukan
asuhan persalinan di luar jam kerja. Adapun nilainya cukup kecil, yakni hanya sekitar 1
persen dari keseluruhan pemasukan.
d. Sumber program Prolanis, merupakan dana yang diberikan BPJS untuk menjalankan
program pengelolaan penyakit kronis (Prolanis). Uang Prolanis ini tidak masuk ke
pendapatan puskesmas, melainkan disalurkan langsung ke kegiatan prolanis. Kegiatannya
bisa mencakup senam sehat, penyediaan makanan dan minuman dengan menu Germas,
pemeriksaan kesehatan, dan sebagainya. Uang Prolanis pun juga tidak dibayar perbulan,
melainkan melihat situasinya.
e. Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) merupakan sumber jaminan kesehatan yang berasal
dari Dinkes Kabupaten Magelang. Peserta yang termasuk Jamkesda ini belum masuk ke
BPJS. Jumlah pemasukan dari Jamkesda ini sangat sedikit, yaitu sekitar 1 persen saja.
Pembayarannya pun tidak rutin per bulan, melainkan juga melihat situasi dan kondisi
f. Sumber lain yang sah dan tidak mengikat, sesuai dengan UU No 75 tahun 2014, yang
meliputi retribusi parkir dan jasa giro. Retribusi parkir dihargai Rp.2000,00 untuk motor
dan Rp.5000,00 untuk mobil. Jasa giro merupakan keuntungan yang diperoleh dari bank
setelah menabung beberapa lama. Jasa giro ini baru muncul saat dimulainya transisi
puskesmas menjadi BLUD sampai BLUD penuh sekarang, seiring dengan adanya rekening
sendiri untuk Puskesmas Mertoyudan I. Jasa giro ini selalu masuk ke pendapatan
puskesmas tiap bulannya.
g. Sisa Belanja, merupakan uang sisa belanja yang dilaporkan oleh bendahara pemasukan dan
pengeluaran Puskesmas Mertoyudan I. Sisa belanja ini akan diakumulasi ke pendapatan
Puskesmas seluruhnya.

Uang dari penjumlahan dana umum, kapitasi, uang JK, dan Jamkesda disatukan menjadi
pemasukan dari jasa pelayanan. Uang dari parkir dan giro masuk ke pendapatan lain-lain.
Sedangkan uang dari LJK, Prolanis, dan sisa belanja dimasukkan menjadi dana bukan pendapatan.
Penjumlahan ketiganya menjadi pendapatan Puskesmas Mertoyudan I secara keseluruhan.

2. Sumber dari Bantuan Operasional Kesehatan (BOK)

Sesuai dngan Permenkes No 71 Tahun 2016 yang mengatur masalah Bantuan Operasional
Kesehatan (BOK), dana ini digunakan untuk membantu pelayanan puskesmas dalam menjalani
fungsinya, yaitu pelaksanaan kegiatan promotif dan preventif. Dana BOK ini diterima Puskesmas
Mertoyudan I dari pusat yang dialirkan melalui APBD Kabupaten Magelang. Dalam hal ini, dana
BOK adalah dana yang digunakan untuk memenuhi SPM yang diwujudkan dalam program-
program didalamnya.

Selain uang BOK, uang dari kapitasi JKN, dalam hal ini kapitasi BPJS yang sudah dijelaskan
sebelumnya juga dipakai. Hanya saja uang JKN lebih banyak dioperasikan menjadi anggaran
puskesmas dan sedikit bagian digunakan untuk menunjang dana BOK. Dana BOK dalam
penggunaannya hanya boleh difokuskan pada pemenuhan program dan SPM serta menjalankan
fungsi puskesmas sebagai faskes pelayanan primer. Dana BOK tidak boleh dijadikan anggaran
puskesmas. Sebaliknya, anggaran puskesmas diperbolehkan untuk menyokong dana BOK.

Selama 3 tahun belakangan ini, Puskesmas Mertoyudan I telah menerima BOK. Akan tetapi, tren
BOK ini nilainya selalu menurun. Bahkan untuk tahun 2019, BOK yang akan diterima akan turun
lagi. Hal ini dikarenakan kenaikan pemasukan uang kapitasi di puskesmas sehingga Puskesmas
Mertoyudan I mengalami penurunan BOK. Akan tetapi, hal ini tak dianggap mengganggu karena
kombinasi BOK dan kapitasi saat dihitung sudah mencukupi kemampuan puskesmas dalam
menjalankan programnya. Namun, pihak Puskesmas tetap membuka diri apabila ada bantuan-
bantuan dari pihak mana saja, baik dari pihak pemerintah seperti pemkab, maupun pihak swasta
(sampai hari ini, swasta belum ada).
Grafik 3.6 Pemasukan BOK Puskesmas Mertoyudan I

Grafik 3.5. Distribusi sumber pendapatan Puskesmas Mertoyudan I


4.2.4. Penggunaan Anggaran Puskesmas Mertoyudan I

Anggaran Puskesmas Mertoyudan I (100%) dibagi menjadi dua pemakaiannya, yaitu


pemakaian untuk belanja pegawai puskesmas (60%) dan kebutuhan operasional (40%). Bagan
pembagiannya seperti dibawah ini. Meskipun Puskesmas Mertoyudan I memiliki status BLUD
dengan kewenangan untuk mengatur keuangan sendiri, Puskesmas Mertoyudan I masih menganut
pembagian anggaran seperti sebelum BLUD, yaitu 60:40 (Permenkes No. 75 Tahun 2014)
Uang belanja pegawai digunakan untuk menggaji pegawai yang ada di Puskesmas, baik
dari staf kesehatan maupun staf non kesehatan yang tertera pada jaspel dan pegawai BLUD, akan
tetapi, bagi yang PNS, gajinya sudah dari pusat. Sedangkan uang lembur adalah uang yang
digunakan untuk membayar tambahan apabila ada staf yang bersangkutan terpaksa harus lembur
kerja. Uang operasional BLUD digunakan untuk menjalankan operasional Puskesmas Mertoyudan
I. Uang operasional ini dibagi menjadi dua, yaitu belanja barang dan jasa serta belanja modal.
Belanja barang dan jasa adalah belanja pemakaian barang atau jasa yang kurang dari setahun
pemakaiannya, misal alat kesehatan sekali pakai, alat tulis kantor (ATK), bahan habis pakai
laboratorium, alat kebersihan, dan sebagainya. Sedangkan belanja modal adalah belanja peralatan
yang pemakaiannya bisa lebih dari setahun, misalnya komputer, laptop, alat laboratorium, dan
sebagainya. Apabila terjadi kekurangan dana untuk memenuhi subbagian pemakaian, maka boleh
digantikan dari subbagian lain yang asalnya harus dari kategori besar yang sama. Misalnya apabila
terjadi kekurangan uang untuk beli ATK yang masuk ke barang dan jasa, maka harus digantikan
dari subbagian lain, yaitu modal. Anggaran BLUD ini paling banyak berasal dari kapitasi BPJS.

Bagan Hubungan Dana BOK dengan Anggaran Puskesmas

4.2.3. Alokasi Anggaran untuk SPM di Puskesmas Mertoyudan I

4.2.3.1. Pelaksanaan SPM Kesehatan di Puskesmas Mertoyudan I

Hendarwan (2015) menyatakan bahwa SPM Kesehatan merupakan target yang harus
dipenuhi secara minimal oleh faskes yang bersangkutan. Adapun pelaksanaannya dapat mengacu
pada UU No. 43 Tahun 2016. Akan tetapi, standar pelayanan minimal kesehatan (SPM Kes) yang
dipakai di Puskesmas Mertoyudan I adalah SPM Kes dari Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang
Tahun 2015 yang merujuk pada Perbup No 4 Tahun 2015 dan SPM Kes dari Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2016 yang merujuk pada Permenkes No 43 Tahun 2016.
Pemakaian kedua SPM ini dikarenakan menurut Kepala Puskesmas Mertoyudan I, puskesmas
masih menjalani masa transisi karena belum ada kepastian mengenai standar mana yang akan
dipakai. SPM Kes yang ada di Perbup No 4 Tahun 2015 memiliki 6 poin dengan sejumlah subpoin,
dimana SPM Kes yang ada di Permenkes No 43 Tahun 2016 memiliki 12 poin. Standar yang
dipakai menurut Kepala Puskesmas Mertoyudan I seperti dinyatakan sebagai berikut.

“Kalau lebih tepatnya sih...gimana ya...keduanya masih dipakai sih dik. Pelaksanaan kedua SPM mudahnya seperti
digabung yang lama dan baru. Kalau sampai akhir tahun ini belum ada kepastian, ya dua-duanya dipakai dulu.
Lebih tepatnya seperti transisi gitu.” K, 22-29

Dalam rangka memenuhi kedua SPM tersebut, Puskesmas Mertoyudan I harus menyiasati program
yang dijalankan. Hal ini disampaikan oleh Kepala Puskesmas Mertoyudan I yang juga mengatakan
bahwa pemenuhan SPM ini tidak perlu sampai dua kali kerja apabila kita mampu menyiasati
program-program yang dipakai untuk memenuhi SPM. Caranya adalah melakukan langkah
manajemen, yaitu perencanaan, persiapan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Pengambilan
langkah manajemen diharapkan mampu memenuhi target-target yang telah ditetapkan.

Mengingat waktu dan biaya juga merupakan salah satu pembatas pemenuhan SPM, maka ada
baiknya program-program tidak dijalankan sendiri-sendiri (Hendawan et.al., 2015). Untuk itu,
maka program yang berkaitan sebaiknya dijalankan secara bersama. Dengan adanya sinergitas
program, maka waktu dan biaya akan menjadi lebih efektif dan efisien. Untuk dapat
menggabungkan program, maka dibuatlah fasilitas berupa rapat lintas program dan lokakarya
mini. Rapat lintas program diharapkan mampu mempertemukan program-program yang berkaitan
sehingga para anggota bisa mengetahui program yang berkaitan. Sedangkan lokakarya mini
(lokmin) selain menjadi fasilitas perencanaan, juga menjadi fasilitas evaluasi dan perencanaan
baru. Jadi, apabila dua program yang semula sendiri-sendiri kerjanya, saat lokakarya mini dapat
disatukan untuk meningkatkan capaian SPM yang mungkin belum maksimal.
Setiap program yang dijalankan akan selalu dievaluasi tiap bulan lewat rapat bulanan program.
Rapat program bulanan ini dilakukan untuk mengetahui seberapa baik dan seberapa jauh
perjalanan program dan pencapaian SPM pada bulan itu. Setelah 3 bulan, diselenggarakan
lokakarya mini triwulanan untuk mengevaluasi kerja program dan pencapaian SPM selama 3
bulan. Adapun bahan yang bisa dijadikan evaluasi antara lain pendanaan, petugas, peralatan
penunjang, dan kesulitan pelaksanaan. Setiap masalah dan kekurangan yang ditemukan bisa
dievaluasi dan ditemukan solusinya.

4.2.3.2. Alokasi Anggaran ke SPM Kesehatan

SPM Kesehatan menurut Kepala Puskesmas Mertoyudan I dan juga diterangkan dalam
Hendarwan et.al. (2015) ialah standar yang dijadikan puskesmas dalam memberikan pelayanan
dan merencanakan program. Program-program yang dibuat adalah program-program yang
digunakan untuk memenuhi SPM yang ditetapkan. Program-program yang dibuat harus semuanya
dilaksanakan, dalam artian satu programpun tak boleh ada yang sama sekali tak berjalan. Hal ini
diterangkan oleh Kepala Puskesmas Mertoyudan I seperti berikut.

“...maka ada prinsip yang harus diingat, yaitu prinsip bahwa kegiatan puskesmas tidak boleh ada yang
ditinggalkan.”K, 480-484

Suatu program tentu membutuhkan banyak faktor pendukung, salah satunya adalah faktor
pendanaan (Kuzairi et.al., 2017). Pendanaan ini sifatnya adalah pendukung kegiatan yang akan
dilaksanakan. Adapun sebelum ditetapkan program, para penanggungjawab program mengusulkan
jenis program dan kebutuhannya. Semua program dan kebutuhan didaftarka beserta estimasi
pemakaian anggaran. Semua program dan estimasi tadi dipertimbangkan dengan hati-hati, dengan
tidak meninggalkan prinsip manajemen, efektif, dan efisien. Setiap program juga harus dipastikan
agar tidak ada yang tidak mendapatkan uang. Pengalokasian anggatan per bidang tiap tahunnya
sangat bervariasi, tergantung tren dan masalah yang dihadapi puskesmas. Oleh karena itu,
pengambilan langkah manajemen menjadi penting dalam menentukan prioritas program. Untuk
menghemat anggaran, kegiatan yang saling berkaitan dapat dijalankan bersama. Perlu diketahui,
anggaran hanya memiliki sifat suportif pada program. Sifat suportif ini tertuang pada pernyataan
Kepala Puskesmas seperti berikut.
“Dan juga, kegiatan harus tetap jalan meskipun anggaran kurang atau tidak ada. Anggaran sifatnya hanya
mensupport kegiatan.” K, 466-470

Sifat suportif ini berarti anggaran hanya mendukung kegiatan yang akan dijalankan. Anggaran
akan selalu dibagikan untuk pelaksanaan program. Sedangkan setiap program sifatnya wajib, baik
ada anggarannya maupun kurang anggarannya, atau bahkan tanpa anggaran. Untuk itu, maka ada
beberapa strategi yang bisa dipakai untuk menghadapi hal tersebut menurut Kepala Puskesmas
Mertoyudan I antara lain:

a. Menggabungkan dua program yang berkaitan. Solusi ini akan menggabungkan dua
program yang mungkin salah satunya atau keduanya sebelum digabung terdeteksi
mengalami kekurangan anggaran. Penggabungan program ini tentu tidak asal gabung,
melainkan apakah keduanya saling berkaitan atau tidak. Misalnya KIA dan Gizi.
b. Menambal dari uang BLUD. Dalam hal ini, uang BLUD, misalnya dari kapitasi JKN ada
yang masih bersisa atau belum terpakai, maka uang tersebut bisa dipakai untuk menambal
defisit yang dialami program.
c. Kerjasama dengan perangkat pemerintahan dan kegiatan masyarakat. Perangkat
pemerintahan ini dapat mulai dari kecamatan sampai desa. Adanya peran perangkat
pemerintahan akan memberikan legitimasi kepada puskesmas untuk menjalankan program
yang diperlukan bersama pemerintah. Puskesmas dapat masuk juga ke kegiatan
masyarakat, misalnya ibu-ibu PKK, arisan dan sebgainya.

Siasat-siasat yang disebutkan tadi bukan hanya dilakukan saat suatu program mengalami defisit
dan atau tidak ada anggaran. Program-program yang mungkin cukup anggarannya pun dapat
disiasati dengan dengan cara-cara di atas, tetapi tidak berlaku dengan tambalan dari anggaran
BLUD. Contohnya program pemberantasan sarang nyamuk (PSN) bisa diadakan di sela-sela acara
desa untuk ibu-ibu dan para pemuda (tidak harus acara besar)

4.2.4. Pencapaian SPM Kesehatan di Puskesmas Mertoyudan I

4.2.4.1. Pencapaian SPM dan Dukungan Anggaran terhadap Pencapaian SPM

Sesuai dengan Peraturan Bupati Kabupaten Magelang No 4 Tahun 2015, Puskesmas


Mertoyudan I sebagai faskes layanan primer berkewajiban memberikan pelayanan maksimal
dengan SPM sebagai patokan pencapaian pelayanan. Pencapaian SPM dilakukan dengan membuat
program-program pelayanan masyarakat sesuai dengan fungsinya sebagai ujung tombak kesehatan
di masyarakat dengan fokus ke kegiatan promotif dan preventif tanpa meninggalkan fungsi kuratif
dan rehabilitatif.

Seperti yang disampaikan sebelumnya, karena Kabupaten Magelang belum menetapkan


SPM Kesehatan mana yang akan digunakan, maka Puskesmas Mertoyudan I masih memakai SPM
dari Perbup No 4 Tahun 2015. Akan tetapi, Puskesmas Mertoyudan I juga menerapkan SPM dari
Kementerian Kesehatan RI yang tertuang dalam Undang-Undang No 48 Tahun 2016. Adapun
seperti yang dinyatakan oleh Hendarwan et.al.(2015) pelaksanaan SPM harus mampu memenuhi
kebutuhan dasar fisiologis manusia. Oleh karena itu, pelaksanaan SPM di Puskesmas Mertoyudan
I diharapkan mampu memenuhi kebutuhan fisiologis masyarakat di Puskesmas Mertoyudan I.
Dalam hal ini, karena tadi SPM yang dipakai ada dua, maka pelaporannya terpisah antara yang
dari Kabupaten Magelang dengan yang dari Kemenkes. Hanya saja, pelaksanaannya pun boleh
dilakukan secara bebarengan. Hal ini selain dapat menghemat waktu dan pencapaian yang lebih
baik, faktor anggaran pun juga dapat lebih hemat dan terkendali (WHO, 2016).

Kedua SPM yang ditetapkan oleh kabupaten dan pusat memiliki sedikit perbedaan. Untuk SPM
Kabupaten Magelang, fokusnya adalah untuk memberantas masalah yang terkait dengan KIA.
Sebelas dari 15 indikator saja memiliki satu bahasan besar, yaitu KIA. SPM yang ada di Kabupaten
Magelang termasuk dalam SPM yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI atau dapat juga
dikatakan bahwa SPM dari pusat adalah hasil kompilasi dari beberapa SPM dan program-program
yang ada di Indonesia . Sebagai contoh, di Permenkes No 43 Tahun 2016 ada kriteria pelayanan
anak sekolah dasar, di SPM Kabupaten Magelang ada beberapa SPM yang masuk ke kriteria
pelayanan anak misalnya UCI (Universal Coverage Immunization), gizi buruk, dan sebagainya..
Grafik 3.7., Pemenuhan SPM Kabupaten Magelang oleh Puskesmas Mertoyudan I

Grafik 3.8. Pencapaian SPM UU No 43 Tahun 2016 oleh Puskesmas Mertoyudan I di tahun 2018
Dari pencapaian diatas, dapat dikatakan bahwa pencapaian SPM untuk KIA, baik dari SPM
Kabupaten maupun SPM Kemenkes memiliki pencapaian yang tinggi. Hal ini dapat dimengerti
dari fokus SPM yang ada di Kabupaten Magelang yang berfokus pada masalah umum berupa KIA
sehingga SPM Kemenkes ikut naik. Dengan fokus yang besar di KIA (40%), maka tidak
mengherankan bahwa Puskesmas Mertoyudan I menganggarkan KIA lebih besar dari lainnya
(detail ada pada grafik 3.10). Akan tetapi, terlihat juga bahwa cakupan untuk usia produktif, lansia,
UKM dan UKP, serta penemuan penyakit dapat dikatakan rendah meskipun Puskesmas
Mertoyudan I sudah menganggarkan dana UKM dan UKP sebesar 36% (detail ada pada grafik
3.10). Pencapaian ini tidak serta merta karena anggran saja. Tetapi diakui oleh Kepala Puskesmas
Mertoyudan I, masih banyak yang harus dievaluasi serta mencari beberapa faktor lain yang bisa
diperbaiki.

“Jadi misalnya ini ada yang jauh ni ya, untuk yang ini 26% untuk penderita DM misalnya, kan sangat jauh dari
target. Ini karena keadaan dari tenaga kesehatan sendiri yang terbatas. Kalau ingin meriksa semua orang DM kan
tenaganya juga harus banyak. Nanti juga dievaluasi kalau memang seperti itu. Nah kita kan punya dana dari
BLUD, nanti kita bisa rekruitmen tenaga kesehatan sama perawat untuk meningkatkan capaian ini. Termasuk juga
kita bisa menggerakkan masyarakat untuk kesini buat periksa, misal dengan penyuluhan. Untuk saat ini kita
memang butuh SDM. Uang sudah ada, tapi Perbup belum mendukung gitu untuk rekruitmen. Nanti kita perbaiki
semua pencapaiannya yang masih kurang. Harapannya kalau perbup untuk rekrutmen pegawai sudah jadi, bisa
mulai rekruitmen tenaga kesehatan” K, 643-648

Anggaran yang dipakai dalam pelaksanaan SPM, seperti yang disebutkan sebelumnya
adalah anggaran BOK dan anggaran kapitasi dari pusat yang dapat dibantu dengan dana BLUD
bila diperlukan. Anggaran BOK tadi mulai tahun 2019 ini alokasinya dibagi menjadi dua, yaitu
anggaran pendukung manajemen (5%) dan anggaran untuk kepentingan program, UKM, dan UKP
(95%). Sesuai dengan fungsinya, maka anggaran BOK ini yang bagian UKM dan UKP nya akan
dialokasikan untuk SPM kesehatan dan program-programnya.

Nah kalau SPM dan program kita ambilnya dari dua sumber, yaitu BOK dan dari kapitasi program JKN. Kalau
BOK itu jumlahnya banyak, tapi kalau dari kapitasi program JKN nilainya tidak terlalu besar, lebih difokuskan ke
operasional. Jadi uang BOK itu memiliki pemanfaatan yang berbeda dari anggaran puskesmas. Uang dari BOK
tentu dipakai untuk menjalankan semua program dan SPM, dan juga untuk menjalankan fungsi puskesmas yang
fokusnya pada promotif dan preventif” K, 394-407
Adapun penggunaan anggaran ini seperti yang ditegaskan sebelumnya adalah pendukung program,
tetapi bukan berarti program jalan tanpa anggaran. Kepala Puskesmas Mertoyudan I menegaskan
bahwa dukungan anggaran yang diberikan akan dikelola sepenuhnya oleh penanggung jawab
program dan dilaporkan setiap triwulanan dalam lokakarya mini. Dukungan anggaran yang
diberikan dari BOK, kapitasi JKN, dan BLUD menurut Kepala Puskesmas Mertoyudan I dapat
dikatakan cukup.

Tabel 4, Alokasi Anggaran BOK ke SPM Tahun 2018

Total Alokasi Kasar untuk SPM Rp.250 Juta (Total BOK Rp.405 Juta)

No Indikator SPM Alokasi Pencapaian


1 Kesehatan Ibu dan Anak (termasuk anak Rp.101,1 juta (40%) 98%
sekolah dasar dan remaja serta
penyuluhan ke sekolah-sekolah)
2 UKM dan UKP (dari usia produktif Rp.90 juta (36%) 50%
sampai lansia serta PM maupun PTM)
3 Desa Siaga (Desa UCI, PHBS, STBM, Rp.33,4 juta (13,2%) 75%
CTPS, dan ODF)
4 Lokakarya dan Perencanaan (termasuk Rp.26 juta (10,8%) 100%
lintas sektoral)

Grafik 3.10., Grafik alokasi kasar SPM dengan anggaran BOK

Fokus puskesmas pada tahun 2018 adalah perbaikan KIA yang dirasa belum maksimal.
Oleh karena itu, 40% anggaran BOK digunakan untuk memperbaiki status KIA. Hasilnya pun
dapat dikatakan memuaskan meskipun bila mengikuti SPM dari Kemenkes belum memenuhi. Di
saat yang bersamaan, meskipun anggaran UKM dan UKP cukup tinggi, dengan selisih anggaran
dengan KIA hanya 4% lebih rendah, pencapaian UKM dan UKP untuk puskesmas justru rendah.
Hal ini nanti disebabkan oleh sejumlah faktor seperti masalah SDM yang detailnya akan dijelaskan
di bagian berikutnya. Desa Siaga merupkan program pembinaan kesehatan berkelanjutan untuk
masyarakat desa di daerah kerja Puskesmas Mertoyudan I. Program-program yang dicanangkan
meliputi desa UCI (Universal Coverage Immunization), cuci tangan pakai sabun (CTPS), sanitasi
terpadu berbasis masyarakat (STBM), perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), dan gerakan open
defecation free (ODF). Program ini merupakan program rutin puskesmas dengan penganggaran
rutin. Meskipun anggarannya tak terlalu besar, pencapaiannya pun cukup baik meskipun masih
banyak perbaikan yang dibutuhkan, terutama masalah UCI yang belum tercakup seluruhnya.
Lokakarya dan perencanaan merupakan SPM yang tercantum pada Perbup Magelang No 4 Tahun
2015. Perhitungan alokasi diatas belum ditambah dengan tambahan sarana. Sarana yang dimaksud
seperti leaflet, buku KIA, kartu PHBS, stiker, sarana promosi, dan sebagainya. Apabila dijumlah
dengan semua fasilitas tambahan, alokasi SPM berada di angka 300 juta rupiah.
Anggaran pun berpengaruh dalam pelaksanaan program, tetapi bukan faktor utama. Hal lain yang
sangat penting dan tak kalah penting dalam manajemen anggaran adalah sinergitas dan manajemen
program, baik sinergitas dan manajemen para penanggung jawab, sinergitas dan manajemen
anggaran, dan sinergitas dan manajemen waktu. Anggaran besar yang dialokasikan pada suatu
program belum tentu memberikan dampak yang positif. Oleh karena itu, sejumlah faktor akan
berperan penting mengenai bagaimana mengelola anggaran dan mengelola sumber-sumber daya
yang dimiliki puskesmas. Masih banyak faktor lain yang mendukung tercapainya target SPM yang
akan dijelaskan pada subbab selanjutnya

4.2.4.2. Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Pencapaian SPM

Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, pencapaian SPM tidak serta-merta terwujud
karena satu faktor saja. Fakor-faktor yang mempengaruhi pencapaian SPM ini harus saling
bersinergi (Hendarwan et.al., 2015). Apabila ada faktor yang mempermudah pencapaian, maka
faktor tersebut akan dipertahankan atau bila memungkinkan dapat ditingkatkan. Adapun faktor-
faktor penyulit harus diusahakan untuk dicari solusinya agar faktor tersebut dapat mendukung
pencapaian SPM.

Ada beberapa faktor yang juga mempengaruhi pencapaian SPM. Faktor-faktor yang yang
dimaksud antara lain:

1. Faktor pendukung puskesmas, yaitu faktor-faktor yang mendukung pelaksanaan dan


pencapaian SPM. Faktor-faktor pendukung ini meliputi:
a. Faktor anggaran dan manajemen anggaran puskesmas. Meskipun seperti di
awal tadi sifatnya suportif saja, anggaran tetap tak boleh dilepaskan sebagai
faktor penting pencapaian SPM. Anggaran yang diberikan untuk pelaksanaan
program dapat menunjang kebutuhan material pemenuhan SPM sesuai dengan
kebutuhan program. Anggaran Puskesmas Mertoyudan I dapat dikatakan cukup
untuk mendorong pelaksanaan program untuk pemenuhan SPM. Faktor
anggaran ini juga termasuk pemasukan yang cukup banyak seiring dengan
bertambahnya kapitasi BPJS mengikuti peningkatan jumlah peserta BPJS.
b. Faktor BLUD. Sejak Puskesmas Mertoyudan I memperoleh status sebagai
BLUD, banyak kebutuhan, sarana dan prasarana yang dapat dipenuhi sendiri
oleh puskesmas. Puskesmas cukup mengikuti RBA yang mereka buat sesuai
dengan apa yang benar-benar dibutuhkan Puskesmas, tanpa harus mengikuti
RKA Dinkes.
c. Faktor manajemen. Manajemen program, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
monitoring, dan evaluasi menjadi faktor penting berhasil tidaknya pencapaian
SPM. Program-program yang ditata dengan dalam rangka memenuhi SPM akan
menunjukkan hasil maksimal. Selain manajemen program, manajemen
anggaran, manajemen anggaran, manajemen SDM, dan manajemen sarana dan
prasarana juga harus baik.
d. Faktor motivasi pelaku pelayanan. Dalam hal ini, pelaku pelayanan, misalnya
dokter, perawat, kader, dan sebagainya dalam melaksanakan program untuk
pemenuhan SPM wajib memiliki motivasi tinggi dalam melaksanakan. Cara
memotivasi pun bisa beragam per personelnya, mulai dari pendekatan sampai
jadi motivasi tinggi. Tinggi rendahnya motivasi ini akan menentukan seberapa
jauh pelaksanaan program dan pencapaian yang ingin dicapai. Apabila seorang
personalia program memiliki motivasi tinggi, maka personalia tersebut dapat
merencanakan, melaksanakan, memonitor, dan mengevaluasi program yang
dilaksanakan dengan hasil yang maksimal dan hal ini berlaku juga sebaliknya.
Motivasi kerja yang terlihat di Puskesmas Mertoyudan I dapat dikatakan baik.
Pelayanan yang cepat dan komprehensif, baik dalam bidang medis maupun
nonmedis di Puskesmas Mertoyudan I menjadi bukti motivasi kerja pegawai.
e. Faktor kompetensi SDM. Kompetensi merupakan salah satu faktor yang dapat
menentukan apakah seseorang yang diberikan tanggung jawab benar-benar
memhami permasalahan yang dihadapi dan mampu menyelesaikan masalah
sesuai dengan target yang ingin dicapai. Apabila kompetensi seseorang tinggi,
maka dia akan lebih memahami keadaan dan situasi yang perlu untuk
diselesaikan permasalahannya dan berlaku juga dengan sebaliknya. Misalnya,
seorang personalia ditugaskan untuk KIA harus memahami konsep KIA dan
manajemennya serta mampu memberi solusi atas permasalahan puskesmas. Di
Puskesmas Mertoyudan, kompetensi para penanggung jawab dapat dikatakan
cukup, dengan seiring berjalannya waktu, kompetensi mereka akan terus
berkembang.
f. Faktor partisipasi aktif masyarakat. Sejak era kesehatan memasuki era JKN
dengan BPJS sebagai lembaga penjaminnya, maka masyarakat sekarang
cenderung tak pernah ragu untuk periksa ke puskesmas, meskipun keluhan yang
dialami dapat tergolong cukup ringan seperti pusing dan batuk pilek biasa
sampai kontrol karena gangguan penyakit kronis. Hal ini dapat meningkatkan
pemenuhan SPM yang ada di wilayah kerja Puskesmas Mertoyudan I. Dengan
banyaknya anggota masyarakat yang aktif, target pelayanan sesuai indikator
akan dapat terpenuhi dalam waktu yang lebih singkat
g. Faktor lintas sektoral. Faktor ini merupakan faktor yang penting dalam
menggerakkan masyarakat untuk hidup sehat. Masyarakat akan lebih terpacu
apabila pejabat masyarakat formal (seperti camat, kepala desa/lurah, dan kepala
dusun) dan pejabat masyarakat informal (tokoh agama, tokoh masyarakat, dan
tetua desa/dusun) juga mendukung pelaksanaan program kesehatan.
2. Faktor penghambat puskesmas, merupakan faktor-faktor yang menghambat
pelaksanaan dan pencapaian SPM puskesmas yang meliputi:
a. Faktor waktu dan jumlah tanggung jawab. Seorang personalia dengan
tanggung jawab yang banyak (lebih dari satu tanggung jawab) tentu akan
mengalami tekanan yang luar biasa. Ketika seseorang diamanahi tanggung
jawab lebih dari satu, beliau akan berusaha mengatur waktu agar semuanya
mampu terakomodasi. Usaha akomodasi ini tentu akan sangat berdampak
terhadap waktu dan efektivitas pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada
pelaksanaan program, dimana kadang ditemui satu program sudah berjalan,
program lainnya justru masih tertinggal pelaksanaannya. Seringkali seorang
petugas yang banyak tanggung jawabnya juga tidak sedikit yang merasakan
kesulitan manajemen waktu, mulai dari waktu istirahat yang relatif singkat
dikarenakan waktu pekerjaan yang padat, sampai dengan program-program
yang terhambat. Belum lagi bila personalia tersebut diberi tugas-tugas tertentu
dari kabupaten, provinsi, dan atau pusat yang berpotensi sangat mengganggu
tanggung jawabnya. Hal ini paling sering identik dengan jumlah SDM yang
terbilang masih kurang.
b. Faktor jumlah SDM. Jumlah SDM menurut Kepala Puskesmas dan Ka TU
merupakan masalah yang terjadi sekarang ini. Meskipun kualitas tenaga dan
kader mumpuni, apabila jumlahnya tidak memadai, maka sama saja. Jumlah
yang sedikit menyebabkan sulitnya pelaksanaan program yang melibatkan
partisipasi orang banyak. Kendala yang sering ditemui adalah peraturan-
peraturan bupati mengenai rekrutmen SDM kesehatan yang belum juga jadi.
Kendala ini menyebabkan puskesmas tak mampu berbuat banyak dalam
merekrut tenaga tambahan.
c. Faktor demografis. Lokasi wilayah kerja Puskesmas Mertoyudan I yang cukup
dekat dengan wilayah administrasi Kota Magelang menjadi permasalahan yang
umum terjadi. Beberapa anggota masyarakat yang ada di wilayah kerja
Puskesmas Mertoyudan I seringkali ada yang lebih memilih untuk ke faskes
yang ada di Kota Magelang seperti RSU Tidar Magelang, RST dr. Soedjono
Magelang, dan sebagainya. Masalah lain yang sering muncul adalah mobilisasi
penduduk yang begitu aktif sehingga antara estimasi dan kenyataan jumlah
sasaran dapat berbeda, baik itu kekurangan, maupun kelebihan. Masalah yang
ditemukan pada saat kekurangan target adalah perpindahan penduduk dari satu
faskes ke faskes lain, baik itu di Kabupaten Magelang, maupun luar kota.
Sedangkan saat kelebihan target, masalah yang ditemui adalah masuknya
anggota baru yang belum sempat tercatat seperti tadi. Kekurangan target akan
menyebabkan pencapaian menurun. Sebaliknya, kelebihan target akan
menyebabkan pencapaian menjadi diatas seratus persen.
d. Faktor target yang terlalu tinggi. Diakui oleh Kepala Puskesmas Mertoyudan I,
faktor target yang sangat tinggi di SPM 2016 menjadi kendala. Hal ini membuat
puskesmas harus berupaya memutar otak lebih supaya beberapa indikator dapat
mencapai target 100%. Bahkan untuk mendekati angka 100% saja usahanya
harus lebih keras. Belum lagi dengan kriteria pencapaian dan tatacara
pencapaian yang cukup rumit di Permenkes No 43 Tahun 2016 yang membuat
puskesmas mengalami kesulitan untuk mencanangkan program yang efektif.
4.2.5. Temuan Lainnya

Dalam pelaksanaan penelitian, ada beberapa temuan yang terkait dengan penganggaran
serta peran BLUD puskesmas di Kabupaten Magelang. Meskipun status BLUD di puskesmas telah
tetap, namun masih ditemukan beberapa hal yang seharusnya tidak dilakukan. Dalam hal ini, ada
temuan Pemkab melakukan sejumlah intervensi dan tindakan yang seharusnya tidak diperbolehkan
kepada BLUD puskesmas. Adapun hal yang diintervensi oleh Pemkab adalah terkait dengan
penganggaran dan dana BOK milik BLUD puskesmas.

Terkait dengan aturan penganggaran, ditemukan bahwa Pemkab menetapkan jasa


pelayanan maksimal 60 persen dari jumlah anggaran BLUD. Hal ini jelas sangat bertentangan
dengan semangat dari Menteri Kesehatan RI yang menekankan bahwa jasa pelayanan minimal
adalah 60 persen. Hal ini cukup masuk akal mengingat pekerjaan di puskesmas merupakan
pekerjaan dengan risiko tinggi, tetapi mereka memiliki penghasilan yang rendah atas usaha mereka
di Puskesmas. Belum lagi Permendagri No 79 Tahun 2018 yang memberi keleluasaan dengan
prinsip 12 keleluasaan BLUD. Dua belas keleluasaan BLUD yang dimaksud adalah BLUD bebas
untuk: (1) mengatur pembiayaan dan pendapatan sendiri, (2) mengatur kas sendiri, (3) mengatur
utang sendiri, (4) mengatur piutang sendiri, (5) mengatur investasi sendiri, (6) mengatur pengadaan
barang dan jasa (barjas) sendiri, (7) mengatur barang sendiri, (8) mengatur akuntansi, pelaporan,
dan pertanggungjawaban sendiri, (9) mengatur sisa kas dan defisit sendiri di akhir tahun, (10)
mengatur kerjasama dengan lembaga lain, (11) pengelolaan dana secara langsung, (12)
merumuskan standar, kebijakan, sistem, dan prosedur (SOP) keuangan. Dengan demikian, secara
langsung dapat dikatakan Pemkab melakukan pelanggaran pada asas fleksibilitas BLUD.
Diketahui juga, keduabelas asas tadi belum memiliki payung hukum berupa perbup. Meskipun ada
Permendagri tadi, aturan tersebut tak bisa dilaksanakan apabila belum memiliki aturan turunan
regional di kota/kabupaten sehingga masih bisa ditemukan penyimpangan pada asas keleluasaan
BLUD tadi.

Untuk dana BOK, Pemkab menetapkan bahwa sistem BOK adalah dengan sistem klaim.
Maksudnya, puskesmas melaksanakan dahulu semua program yang direncanakan dengan
kekuatan pendanaan yang ada, lalu ketika selesai, barulah dimintakan klaim sesuai dengan jumlah
dana yang habis dipakai oleh puskesmas. Sistem klaim ini diberlakukan karena menurut Pemkab
sistem ini bertujuan untuk mengatasi kemalasan pelaporan oleh satu atau dua pihak puskesmas.
Hal ini jelas tidak cocok dengan Permenkes No 71 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa
pemberian BOK diberi di awal tahun. Puskesmas-puskesmas yang memiliki kekuatan yang cukup
sebelum klaim BOK mungkin bisa menjalankan program dahulu, tetapi pasti tidak mampu lepas
dari jeratan utang dari banyak pihak. Misalkan saja utang tersebut dapat berasal dari utang makan
minum (mamin) dari penyedia makanan ringan atau katering, utang ATK dari toko penyedia ATK,
utang perbaikan dan perawatan dari bengkel, dan utang lain-lain. Kalaupun ada uang, itupun bisa
saja memakai uang pribadi dahulu, itupun kalau cukup. Dengan demikian, puskesmas berutang
bukan hanya dengan pihak lain, tetapi dengan orang yang uang pribadinya dipinjam dahulu. Hal
seperti ini sebenarnya tidak diperlukan, mengingat puskesmas adalah layanan publik di bidang
kesehatan yang memerlukan tunjangan dana agar bisa maksimal dalam memberikan pelayanan
kepada publik. Hal seperti kemalasan pelaporan tentu hanya satu atau dua puskesmas, sedangkan
28-27 puskesmas lainnya disiplin tentu tak dapat dijadikan alasan. Kemalasan ini jangan sampai
digeneralisasikan bahwa semua puskesmas itu malas melapor, tetapi perlu pembinaan intensif bagi
satu atau dua puskesmas yang malas atau sering terlambat melapor , atau bila perlu sampai metode
punishment apabila terus- menerus terjadi. Oleh karena itu, pihak pemkab dan puskesmas harus
sama-sama berkomitmen untuk memaksimalkan dan menggunakan anggaran BOK yang telah
diamanahkan untuk dapat menunjang pemenuhan SPM dan pelayanan publik.
BAB V

SIMPULAN

5.1. Simpulan

Dari sejumlah pembahasan yang kami dapatkan, dapat disimpulkan bahwa anggaran
memiliki peran penting dalam pencapaian SPM Kesehatan di Puskesmas Mertoyudan I Kabupaten
Magelang. Akan tetapi, anggaran bukan satu-satunya faktor yang dapat mendukung pencapaian
SPM di Puskesmas Mertoyudan I. Anggaran dalam pelaksanaan SPM memiliki sifat suportif.
Artinya anggaran ini hanya akan mendukung pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan
pencapaian SPM di Puskesmas Mertoyudan I. Akan tetapi, perlu diluruskan juga bahwa bukan
berarti kegiatan itu berjalan tanpa anggaran. Kegiatan yang dianggarkan memerlukan perencanaan
yang matang sehingga setidaknya dapat diperkirakan jumlah anggaran yang akan dianggarkan
pada program untuk pencapaian SPM.

Sumber anggaran untuk pelaksanaan SPM utamanya berasal dari BOK. Akan tetapi,
anggaran BOK bisa ditutup dengan anggaran BLUD milik Puskesmas. Besarnya anggaran BLUD
yang digunakan untuk menutup dana BOK bisa bervariasi tiap tahunnya, tergantung situasi
anggaran BOK dan program-program yang dicanangkan. Puskesmas memiliki kewenangan untuk
mengatur keuangan BOK dan BLUD sendiri, sesuai dengan statusnya sebagai BLUD.
Perlu ditegaskan, setiap indikator SPM tidak harus mendapat pembagian jatah anggaran
yang sama jumlahnya. Pembagian ini harus disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi oleh
puskesmas dalam jangka waktu satu tahun kedepan dengan melihat keadaan di tahun sebelumnya.
Sebagai contoh di Puskesmas Mertoyudan I, masalah KIA masih menjadi masalah yang perlu
diselesaikan, maka anggarannya bisa diberikan lebih banyak dari yang lain. Akan tetapi juga harus
diingat bahwa diusahakan semua program juga harus mendapatkan jatah anggaran. Jangan sampai
fokusnya di satu program, tetapi yang lain kurang atau bahkan tidak mendapatkan pendanaan.
Untuk pelaksanaan SPM, dana yang dipakai adalah dana BOK, tetapi bisa juga memakai dana
BLUD apabila dana BOK belum mencukupi.

Terkait dengan faktor pendukung, seperti yang dibahas sebelumnya, anggaran harus juga
didukung dengan banyak faktor lain. Faktor-faktor yang meningkatkan pencapaian SPM selain
anggaran ialah faktor manajemen, faktor BLUD, faktor motivasi SDM, faktor kompetensi SDM,
faktor partisipasi aktif masyarakat, dan faktor lintas sektoral. Faktor-faktor pendukung inilah yang
harus disinergikan bersama anggaran dalam upaya mencapai derajat SPM yang lebih baik. Bahkan,
beberapa faktor tersebut apabila dapat lebih ditingkatkan, maka akan jauh lebih baik. Sedangkan
faktor-faktor yang mengganggu pencapaian SPM antara lain faktor waktu dan tanggung jawab,
faktor jumlah SDM, faktor demografis, dan faktor target yang terlampau tinggi. Untuk faktor
waktu serta SDM, hal ini terkait dengan minimnya sosialisasi tentang perekrutan pegawai
pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) dalam PP No. 49 Tahun 2018 Pasal 2. Minimnya
sosialisasi tentang PP ini menyebabkan puskesmas menyangka mereka tidak dapat merekrut lebih
banyak tenaga tambahan, padahal sesungguhnya mampu. Akan tetapi, harus diingat bahwa aturan
turunan regional PP ini harus ada agar PP ini dapat dilaksanakan. Untuk faktor demografis, tentu
sangat sulit mengendalikannya karena berkaitan dengan keadaan penduduk sendiri. Untuk target
SPM, satu-satunya hal yg bisa dilakukan adalah perubahan standar dari Kementerian Kesehatan.
Perubahan ini terkait dengan capaian yang 100% pada semua indikator yang dirasa berat oleh
puskesmas.

5.2 Saran

Penelitian ini hanya dilakukan pada satu puskesmas saja. Oleh karena itu, dibutuhkan
penelitian lainnya yang menyelidiki tentang dukungan anggaran terhadap SPM Kesehatan di
puskesmas lainnya di Kabupaten Magelang. Selain itu, penelitian ini harus diperkuat dengan
penelitian di faktor lain selain anggaran. Misalnya penelitian mengenai faktor SDM, faktor
demografi, dan sebagainya. Atau apabila memungkinkan, dapat diperlukan penelitian lain dengan
lingkup se-Kabupaten Magelang.

Terkait dengan penyelewengan yang terjadi pada pembatasan jasa pelayanan dan klaim
BOK, Pemerintah Kabupaten Magelang harus memberikan perlindungan hukum kepada BLUD.
Selama ini, belum ada payung hukum turunan tentang perlindungan kepada BLUD. Permendagri
no 79 Tahun 2018 jelas tidak dapat terlaksana tanpa payung hukum turunan berupa perbup. Tidak
adanya payung hukum terhadap BLUD menyebabkan pelanggaran terhadap fungsi BLUD dan
keleluasaannya. Pemkab sebaiknya juga menghentikan sistem klaim dan beralih ke sistem
pemberian diawal agar pelaksanaan program dan usaha pencapaian SPM lebih maksimal. Dinas
Kesehatan Kabupaten Magelang diharapkan untuk selalu membimbing Puskesmas agar disiplin
dalam melaksanakan tugasnya dalam melayani masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Baskarada, Saša. 2014. Qualitative Case Study Guidelines. Qualitative report, 19 (40).

Creswell, J.W. 2013. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Dasmar, D dan, Jafar N., Studi Evaluasi Program Dana Bantuan Operasional Kesehatan Di
Kabupaten Luwu, Jurnal AKK, 2013, 2:1-7

Denzim, N.K. dan Lincoln, Y.S. 2011. The Sage Handbook of Qualitative Research 1.
Terjemahan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Dinas Kesehatan NTB, 2006, Modul Pelatihan dan Pendampingan Penyusunan District Health
Account Tahun 2006 -2007 di Kabupaten/Kota Provinsi Nusa Tenggara Barat, Mataram: Dinkes
NTB

Ghufron, Ali, 2008, Sistem Pembiayaan Nasional dan Penyusunan Anggaran Kesehatan,
Yogyakarta: UGM Press
Hendarwan H., Rosita, Suriani O., Analisis Implementasi Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan Kabupaten/Kota , Jurnal Ekologi Kesehatan, 2015, 14 (4): 367-380

Haslinda, 2016, Pengaruh Perencanaan Anggaran dan Evaluasi Anggaran terhadap


Kinerja Organisasi dengan Standar Biaya Sebagai Variabel Moderating (Studi Kasus Pemerintah
Daerah Kabupaten Wajo). Undergraduate (S1) thesis, Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar.

Kuzairi, U., Yuswadi H., Budiharjo A., Patriadi H.B., Implementasi Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Pada Pelayanan Publik Bidang Pelayanan Kesehatan (Studi Kasus Pada Rumah
Sakit Umum Dr. H. Koesnadi Bondowoso), Politico Journal, 2017, 17(2): 1-21

Laksono, Agung Dwi dkk, 2010, Standar Pelayanan Minimal Kesehatan: Sebuah Panduan
Formulasi di Tingkat Puskesmas/Kecamatan, Surabaya: Health Advocacy

Mehrolhassani M.H., Jafari ., Zeinali J., Ansari M., Provincial health accounts in Kerman,
Iran: an evidence of a “mixed” healthcare financing system, International Journal of Health Policy
and Management, 2014, 2(2), 69–74

Moleong, J. Lexy. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Cetakan ketigapuluh. PT


Remaja Rosdakarya Offset.

Organisation for Economic Co-operation and Development, 2011, Evaluating Budget Support:
Methodological Approach, Paris: OECD Development Assistance Committee

Poullier, Jean-Pierre dkk, 2011, National Health Accounts: Concepts, Data Sources And
Methodology, Jenewa: World Health Organization.

Oxfam IBIS Denmark, 2014, Toolbox for Budget Analysis Guide, Kopenhagen: IBIS

Peraturan Pemerintah No 49 Tahun 2018 Tentang Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja
(P3K), Jakarta: Pemerintah RI
Peraturan Presiden No 32 Tahun 2014 Tentang Badan Layanan Umum Daerah Puskesmas, Jakarta,
Kepresidenan

Peraturan Menteri Dalam Negeri No 79 Tahun 2018 Tentang Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD), Jakarta: Kemendagri

Peredaryenko, M.S., Krauss S.E., Calibrating the Human Instrument: Understanding

the Interviewing Experience of Novice Qualitative Researchers, The Qualitative Report, 2013, 18
(85), 1-17

Rajan, D. dkk. 2016, Budgetting for Health: Strategizing national health in the 21st century: a
handbook Chapter 8, Jenewa: World Health Organization

Saifuddin, 2007, Analisis Perencanaan Dan Penganggaran Program Kesehatan Ibu Dan Anak
Pada Puskesmas Di Kota Banjar Jawa Barat Tahun 2007. Masters thesis, Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro

Sitorus E., Wahyuni A., Analisis Pembiayaan Kesehatan Bersumber Pemerintah di Kota Serang
Tahun 2014 – 2016, Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia,2017, 6 (3) 138-148

Tauristiati, Delsi, 2016, Provincial Health Account (PHA) untuk Analisis Belanja Kegiatan
Kesehatan Provinsi, http://bappeda.jabarprov.go.id/7299-2/ , update tanggal 29 Agustus 2016,
diakses tanggal 5 September 2018

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta: Kemendagri RI

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Jakarta: Kemenkes RI

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Minimal Kesehatan, Jakarta:
Kemenkes RI

Undang-Undang No 75 Tahun 2014 Tentang Puskesmas, Jakarta: Kemenkes RI


LAMPIRAN

Lampiran 1

Panduan Pengumpulan Data

Narasumber : Ka Puskesmas Mertoyudan I

Data Primer : Wawancara mendalam

Data Sekunder: Data-data hardcopy/ softcopy anggaran, data-data pencapaian SPM, UU dan
Permenkes

Daftar pertanyaan untuk menggali masalah dukungan anggaran terhadap pencapaian SPM :

Bagaimana strategi pencapaian SPM di Puskesmas? Adakah regulasi atau instruksi khusus dari
Pemkab mengenai pencapaian SPM di Kab. Magelang, khususnya Puskesmas Mertoyudan I?

Bagaimana Pemkab membantu anggaran Puskesmas Mertoyudan I? Mohon penjelasan dan


bukti, apakah sudah cukup atau belum?

Mohon dijelaskan dari mana saja sumber anggaran Puskesmas Mertoyudan I? Dari pihak
pemerintahan saja kah? Apakah pihak-pihak swasta juga ada?

Bagaimana pengalokasian anggaran terhadap SPM di Puskesmas Mertoyudan I dari seluruh


anggaran? Bagaimana cara membaginya per SPM yang ditentukan?

Bagaimana penerapan SPM di Puskesmas Mertoyudan I? Mudah atau sulit? Mengapa demikian?

Bagaimana merencanakan penganggaran untuk SPM di Puskesmas Mertoyudan I?


Bagaimana evaluasi pencapaian SPM dan evaluasi anggaran dilakukan di Puskesmas
Mertoyudan I?

Bagaimana pencapaian SPM di Puskesmas Mertoyudan I apabila dianggarkan dana sekian


(jumlah disesuaikan dengan data anggaran) per bidang nya? Apakah ditingkatkan dapat
meningkatkan pencapaian SPM? Mengapa?

Bagaimana upaya Puskesmas apabila terjadi defisit anggaran untuk pelaksanaan SPM?Apakah
defisit anggaran akan mempengaruhi pencapaian SPM? Bagaimana caranya?

Lampiran 2

Panduan Pengumpulan Data

Narasumber : Ka Bagian Keuangan/ Bendahara Puskesmas Mertoyudan I

Data Primer : Wawancara mendalam

Data Sekunder: Data-data hardcopy/ softcopy anggaran, data-data pencapaian SPM, UU dan
Permenkes

Daftar pertanyaan untuk menggali masalah dukungan anggaran terhadap pencapaian SPM :

1. Pencapaian pembangunan yang ingin diwujudkan/SPMnya?

2. Dari mana sumber sumber dana dan pengguna anggaran kesehatan dan SPM pada
khususnya?

a) Pusat: DAU/ DAK/BOK, BPJS (dana kapitasi)?


b) APBD Kabupaten: seperti apa?
c) Dana dari yang lain: Pihak swasta, NGO, lembaga masyarakat?
d) Komposisi dan porsinya? Dari pusat berapa, provinsi berapa dsb
e) Bagaimana memisahkan anggaran untuk SPM dengan dana umumnya?
3. Bagaimana idealnya jumlah anggaran yang dialokasikan untuk SPM di Puskesmas
Mertoyudan I? Bagaimana untuk saat ini jumlahnya, sesuai atau belum?

4. Bagaimana pelaksanaan SPM di Puskesmas Mertoyudan I? Mudah atau sulitkah?


Mengapa begitu?

5. Bagaimana dasar-dasar perencanaan dan perumusan anggaran Puskesmas scr umum dan
SPM Puskesmas Mertoyudan I? Apa yang menjadi pertimbangan?

6. Apa saja masalah yang muncul dalam perencanaan dan pelaksanaan? Mengapa
demikian? Bagaimana menanggulangi masalah tersebut?

7. Bagaimana rencana perbaikan untuk waktu berikutnya?

8. Kemampuan anggaran untuk kesehatan berapa persen? SPM berapa persentasenya ?

9. Bagaimana rumusan yang baik dan realistis dalam pencapaian SPM dan targetnya?

10. Bagaimana menjaga agar anggaran cukup dan lebih realistis? Adakah upaya menambal
defisit apabila terjadi defisit anggaran?

Lampiran 3
Panduan Observasi di Puskesmas Mertoyudan I
Berikut ini adalah panduan yang dilakukan peneliti saat melakukan penelitian (observasi) di
Puskesmas Mertoyudan I
Mengamati dan mendokumentasikan pelaksanaan program SPM (beberapa program yang bisa
ditemui) di Puskesmas Mertoyudan 1.
Mencari identitas dan membuat janji wawancara dengan informan penelitian.
Menyimak penjelasan dan informasi dari para informan.
Merangkum informasi dari informan.
Mengamati dokumen dan database anggaran serta pencapaian SPM di Puskesmas Mertoyudan I.
Lampiran 4

Tabel Pencapaian SPM Puskesmas Mertoyudan I Tahun 2018 Menurut Perbup No 4 Tahun 2015

No Kegiatan Target Sasaran 2018 Realisasi % Capaian


1 Cakupan Kunjungan Ibu 100% 929 885 95%
Hamil (K4)
2 Cakupan Komplikasi 80% 186 165 89%
Kebidanan yang ditangani
3 Cakupan pertolongan 100% 886 831 94%
persalinan oleh Tenaga
Kesehatan yang memiliki
kompetensi Kebidanan
4 Cakupan Pelayanan Nifas 90% 886 821 93%
5 Cakupan Neonatal dengan 85% 65 103 158%
komplikasi yg ditangani
6 Cakupan kunjungan Bayi 90% 844 889 105%
7 Cakupan Desa UCI 100% 5 3 60%
8 Cakupan Pelayanan Anak 90% 2.860 1.269 44%
Balita
9 Cakupan Balita gizi buruk 100% 3 3 100%
mendapat perawatan
10 Cakupan pemberian MP 100% 500 369 74%
ASI pd anak usia 6-24
bulan dari gakin
11 Cakupan Penjaringan 100% 688 684 99%
Kesehatan Siswa SD dan
setingkat
12 Cakupan Peserta KB Aktif 70% 8.684 12.546 144%
13 Cakupan penemuan dan
penanganan penderita
penyakit
AFP rate per 100.000 ≥ 1 0 0%
penduduk < 15 th 2/100.000
penduduk
Penemuan penderita 70% 103 18 17%
pneumonia balita
Penemuan pasien baru TB 50% 66 9 14%
BTA(+) (Case Detection
Rate)
Penemuan penderita diare 90% 10.127 573 6%
yg ditangani sesuai standar
Penderita DBD yang 100% 3 11 100%
ditangani sesuai standar
14 Cakupan pelayanan 100% 5.579 6.345 114%
kesehatan dasar pasien
masyarakat miskin
15 Cakupan desa/kelurahan 100% 0 1 100%
mengalami KLB yang
dilakukan penyeledikan
epidemiologi < 24 jam
16 Cakupan Desa Siaga Aktif 85% 5 5 100%
17 Pelaksanaan Lokmin 100% 12 12 100%
Bulanan
18 Pelaksanaan Lokmin 100% 4 4 100%
Tribulanan

Lampiran 5

Tabel Pencapaian SPM Puskesmas Mertoyudan I Tahun 2018 Menurut UU No 43 Tahun 2016

No Indikator Pencapaian Target Sasaran Realisasi %


2018 Capaian
1 Persentase ibu hamil 100% 929 913 98%
mendapatkan pelayanan ibu
hamil
2 Persentase ibu bersalin 100% 886 821 93%
mendapat pelayanan
persalinan
3 Presentase bayi baru lahir 100% 844 827 98%
mendapatkan pelayanan
kesehatan bayi baru lahir
4 Persentase anak usia 0-59 100% 2.860 2.609 91%
bulan yang mendapatkan
pelayanan kesehatan balita
sesuai standar
5 Persentase anak usia 100% 688 684 99%
pendidikan dasar yang
mendapatkan skrining
kesehatan sesuai standar
6 Persentase warga negara 100% 19.627 57,55%
usia 15–59 tahun 34.107
mendapatkan skrining
kesehatan sesuai standar
7 Persentase warga negara 100% 6100 1.490 24%
usia 60 tahun Keatas
mendapatkan skrining
kesehatan sesuai standar
8 Persentase penderita 100% 4707 1.985 42%
hipertensi mendapat
pelayanan kesehatan sesuai
standar
9 Persentase penyandang DM 100% 3647 960 26%
yang mendapatkan
pelayanan kesehatan sesuai
standar
10 ODGJ berat yang 100% 44 56 100%
mendapatkan pelayanan
kesehatan jiwa sesuai
standar
11 Persentase Orang dengan 100% 66 10 15%
TB mendapatkan pelayanan
TB sesuai standar
12 Persentase orang berisiko 100% 995 423 43%
terinfeksi HIV mendapatkan
pemeriksaan HIV sesuai
standar

Lampiran 6
Transkrip Narasumber

Nama : Bapak dr. K

Tempat wawancara : Puskesmas Mertoyudan I

Tanggal wawancara : 16 Maret 2019

Lama wawancara : 53 menit 37 detik

Jabatan : Ka Puskesmas Mertoyudan I

Situasi

Wawancara dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 16 Maret 2018 di ruang Kepala
Puskesmas Mertoyudan I. Narasumber mempersilakan peneliti untuk memulai inform consent dan
memberi penjelasan yang diperlukan. Narasumber bersedia diwawancarai. Wawancara dimulai
pada pukul 08.30 dan berakhir pada pukul 09.40. Hasil wawancara direkam dan dicatat peneliti.
Narasumber juga memberikan penjelasan secara tertulis di kertas untuk mempermudah penjelasan
informasi yang dibutuhkan.

Baris Inisial Wawancara Tema Subtema

1 P Mohon maaf dok, untuk SPM


Kesehatan sendiri untuk Puskesmas
Mertoyudan I apakah ada instruksi atau
aturan khusus dari Kabupaten tidak
dok?

5 K Untuk SPM sendiri, sebenarnya lebih


tepatnya diberikan dari Kabupaten
Magelang yang asalnya dari
Kementerian Kesehatan. Dinas
kesehatan akan menyampaikannya
kepada puskesmas. Jadi setiap SPM
yang diberikan kepada puskesmas
sudah dijelaskan dan tinggal
dilaksanakan sesuai instruksi
10
Pelaksanaan SPM Instruksi
Kes (K, 8-15) khusus Kab
P
Untuk sumber pelaksanaannya, SPM Magelang
yang dipakai itu masih pakai yang lama terkait SPM (K,
atau sudah pakai yang baru ya dok? 8-15)

K
15 Kalau lebih tepatnya sih...gimana
ya...keduanya masih dipakai sih dik.
Pelaksanaan kedua SPM mudahnya
seperti digabung yang lama dan baru.
Kalau sampai akhir tahun ini belum ada
kepastian, ya dua-duanya dipakai dulu.
Lebih tepatnya seperti transisi gitu.

.
P
20
Oh begitu dok. Kalau target-target yang
ditetapkan seperti yang tertera di data
ini, misalnya untuk KIA sekian, untuk
yang ini sekian, itu yang menetapkan
Dinamika SPM
targetnya siapa ya dok? Pelaksanaan SPM Kes di
Kes (K, 22-29) Puskesmas (K,
K 22-29)
Target ini kalau yang lama sudah dari
25 kementeriannya dik. Kabupaten sama
puskesmas tinggal terima jadi dik.
Termasuk yang 2016 juga dik semua
dari kementerian. Kita pun juga sudah
P
terima jadi.

Kalau membedakan program sama


SPM di Puskesmas Mertoyudan I
30 seperti apa dok?
K
Untuk program, kalau program kan dik
kita acuannya adalah SPM ya dik. Jadi
nanti apa programnya puskesmas itu
ngacunya pada SPM itu dik. Kita kayak
harus ini SPM nya apa, kegiatannya
apa, targetnya berapa, dan setelah itu
35 evaluasinya seperti apa. Benar kata Target SPM (K,
adik bahwa SPM adalah patokan, 37-42)
sedang program adalah cara untuk
mencapai target SPM yang
Pelaksanaan SPM
ditentukan.SPM itu seperti tujuan
Kes (K, 37-43)
puskesmas dan juga dipakai untuk
mengukur keberhasilan program. Nah
contohnya nih dik, KIA misalnya, nah
itu ngukurnya dari programnya kayak
40 K1, K4, ANC, dan sebagainya. Nah,
program KIA dinyatakan berhasil
apabila SPM nya terpenuhi semua dik.
SPM juga menjadi parameter
keberhasilan program yang kita
laksanakan. Jadi bagaimana hasil
kinerja suatu program juga ditentukan
P dari pencapaian SPM nya dik.

45
Ohh begitu ya dok. Saya mengerti.
Nah, untuk pelaksanaan praktisnya,
yang Dokter lihat apakah terasa sulit
atau mudah? Bagaimana bisa begitu
dok.
Upaya
Pencapaian
Yaa saya akui ya ada beberapa yang SPM (K, 48-
50 70)
sulit tercapai. Yang pertama adalah
Pelaksanaan SPM
masalah demografis atau
Kes (K, 48-70)
kependudukan di wilayah kerja
K puskesmas dik. Nah karena letaknya
yang dekat dengan kota yang jumlah
penduduknya cepat berganti gitu.
Masyarakat kan sangat mobile dan
datang serta pergi. Misalnya seperti ibu
hamil yang sudah terdata, tapi pindah
kemudian. Kan akhirnya tak ada
55 kontak dengan tenaga kesehatan,
akhirnya tak terdata sehingga membuat
cakupan jadi rendah gitu dik. Ini yang
paling sering. Selain itu dik, juga
targetnya terlalu tinggi sehingga
puskesmas mengalami kesulitan untuk
mencapai target. Nah untuk targetnya
ngitungnya kan pake estimasi jumlah
penduduk. Nah terkadang data ini tak
60 sesuai dengan apa yang ada di
lapangan, jadi yaa ada sebagian besar
yang bisa dipenuhi, ada juga yang
masih perlu perbaikan karena belum
bisa terpenuhi karena faktor tadi yang
P saya sebutkan

Ohh begitu rupanya dok. Saya paham.


65 Nah seperti yang dokter bilang Pencapaian
sebelumnya, untuk mencapai SPM kan SPM (78-103)
kita perlu program nih dok. Kalau
perencanaan programya itu caranya Faktor penyulit
bagaimana ya dok? pencapaian
SPM (78-103)

Evaluasi
Nah untuk program sendiri supaya bisa pencapaian
berhasil, maka butuh perencanaan yang SPM (78-103)
70
sangat matang. Nah untuk itu, kita
K pakai langkah manajemen, yaitu
perencanaan, lalu persiapan,
selanjutnya pelaksanaan, dan akhirnya
dimonitor dan dievaluasi. Jadi dengan
demikian, dengan perencanaan yang
baik dan komprehensif, yang juga
berkaitan dengan program lain
diharapkan dapat mencapai hasil yang
maksimal. Nah program-program itu
75 dik tak bisa berdiri sendiri-sendiri.
Program itu kalau saling berkaitan bisa
dijalankan bersama, misalnya KIA dan
gizi dan program kesehatan lingkungan
dengan promosi kesehatan. Nah itu kan
saling berkaitan kan. Jadi di puskesmas
itu ada kegiatan rapat lintas program
gitu dik. Kemudian lokakarya mini
juga sebagai bagian dari perencanaan,
80 pelaksanaan, serta pengendalian
program dik. Jadi memang pada Manajemen
dasarnya tak bisa sendiri-sendiri, harus SPM (112-139)
komprehensif programnya supaya
P
hasilnya baik dan maksimal. Bentuk
pengendalian
Pelaksanaan SPM pencapaian
Kes (K, 78-103) SPM (139-139)
Oalah, begitu rupanya dok. Saya
paham. Nah dok untuk target
85 pencapaian sendiri ya dok, menurut
dokter target yang realistis yang bisa
dicapai SPM yang mana ya dok?
Mengapa begitu dok?

Kalau yang baru ini kan banyak yang


seratus persen ya. Ini kan kita juga
menyadari bahwa SPM baru ini juga
90
ada kaitannya dengan program
pemerintah yang lain, jadi seperti JKN
sendiri, mereka mengadopsi program-
program dalam JKN, sehingga
capaiannya harus seratus persen begitu
dik. Kemudian dengan program lain
seperti PIS-PK, akreditasi puskesmas,
dan sebagainya. Nah ini yang baru
kemungkinan sudah digabung dengan
program-program lainnya,jadi
95 capaiannya harus tinggi, jadi misalnya
pemeriksaan di masyarakat harus
seratus persen. Di program lain yang
juga mencanangkan pemeriksaan juga Penjelasan inti
harus seratus persen. Jadi SPM yang SPM Kes 2016
baru ini tampaknya berat tetapi sudah (147-163
kompilasi dari banyak kegiatan dari
P puskesmas dan luar dan kerja Kesulitan
puskesmas menjadi lebih berat. Pelaksanaan
SPM (164-169)
100

Oh ya begitu ya dok. Nah, kalau saya


lihat dari beberapa data pencapaian
SPM ini, beberapa ada yang
tercapai,bahkan melampaui begitu.
Apa saja faktor-faktor yang
mendukung tingginya pencapaian SPM
itu dok?
105

Pertama, adalah dari perencanaan


K
sendiri ya, jadi harus baik gitu. Petugas,
pendanaan juga mendukung.
Kemudian alat-alat yang dipakai dan
persiapan alat-alatnya begitu. Nah
semuanya harus baik. Nah kalau dalam
melaksanakan rencana ya harus sesuai
110 yang direncanakan. Kadang membawa
program itu ke kegiatan itu yang
membutuhkan usaha dan seni, karena
mendorong dan memotivasi petugas
dalam melaksanakan kegiatan itu tidak Faktor
mudah untuk dilakukan, bisa diberi pendukung
motivasi dan arahan supaya bisa pencapaian
terarah dan menghasilkan hasil yang Pelaksanaan SPM SPM (178—
198)
bagus. Dan yang juga tidak kalah Kes (K, 112-139)
115 penting adalah kerjasama lintas sektor
juga. Jadi puskesmas tidak sendirian.
Jadi dengan adanya kerjasama lintas
P Kesulitan
sektor program puskesmas bisa pelaksanaan
berjalan dengan baik. SPM (188-193)

Nah, untuk yang anggaran sendiri itu


kan dok ada dua kan, sebelum JKN dan
setelah JKN. Nah mohon maaf dok,
120 apakah dokter bisa menerangkan
perbedaan diantara keduanya,
termasuk sumber-sumbernya juga dok?

Nah dik, sebetulnya sih dik JKN itu


kan asalnya dari Jamkesmas dan
lainnya kan dik. Kalau
pemanfaatannya sendiri dik kan
125 pembagiannya lebih tepatnya adalah
sebelum BLUD dan sesudah BLUD.
Jadi kalau sebelum BLUD kan
rencana kegiatan anggaran (RKA) itu
kan dibuatkan Dinas Kesehatan ya. Manajemen
Nah lalu RKA ini kan nanti anggaran
dilaksanakan oleh puskesmas dik. Jadi Puskesmas
puskesmas hanya sebagai pelaksana Sebelum
kegiatan. Nah kalau pas BLUD, BLUD (216-
K puskesmas membuat RKA mereka 222)
130 masing-masing juga. Tapi namanya
RKA ini namanya sekarang jadi RBA Manajemen
(Rencana Bisnis Anggaran), ini cuma anggaran
ganti nama aja (ganti terminologi), Puskesmas
tapi intinya tetap sama dengan RKA. setelah BLUD
Nah bedanya RKA dari Dinas (223-230)
Kesehatan itu dia lebih kaku ya dik,
kalau harus A ya A, B ya B gitu, rigid Perbedaan
istilahnya dik.Nah kekurangannya manajemen
kalau rigid itu adalah seringkali anggaran
135 kebutuhan puskesmas itu tidak sesuai sebelum dan
dengan RKA. Ambil contoh aja dik setelah BLUD
puskesmas misalnya butuhnya gorden, (231-279)
eee yang tertulis di RKA nya malah
kamera gitu. Nah ini kan jelas gak
sinkron dik, susah malahan jadinya.
Dengan adanya puskesmas yang
BLUD ini dik, puskesmas punya
wewenang untuk merancang apa yang
benar-benar dibutuhkan
puskesmas.Jadi kita punya fleksibilitas
140 untuk memenuhi kebutuhan kita dik
dan bisa terpenuhi dengan cepat.
Dengan adanya RBA ini dik,
puskesmas bisa melaksanakan sendiri
kebutuhannya, sesuai yang
dibutuhkan. Nah kalau kita bicara
sumber dananya dik, sebenarnya
sumber dananya itu ya dari JKN itu
dik. Nah kalau sebelum jaman BLUD,
uang dari JKN nya masuk ke dinas
145 dahulu dik. Nah kalau sekarang
dananya masuk langsung ke
Puskesmas sehingga puskesmas Pelaksanaan SPM
sekarang sudah lebih maju di era JKN Kes (K, 147-168)
ini dik. Pokoknya signifikan sekali
lah, puskesmas semakin maju dan
inovatif dengan menyesuaikan
kebutuhan puskesmas sendiri.

Lalu kalau sumber dana puskesmas


150 sendiri sebelum JKN dan setelah JKN
sendiri perbedaannya dimana ya dok?

Sebenarnya sih sama aja sih dik, gak


ada bedanya dari sebelum JKN dan
sesudah JKN dik. Bedanya cuma
namanya aja dik. Jadi dulu kayak
namanya Jamkesmas, Askes sekarang
digabung jadi BPJS Kesehatan di JKN
gitu dik. Nah dari daerah juga ada
155 yang namanya Jamkesda yang
sekarang masih ada. Pada dasarnya sih
P sama aja dik. Cuma perubahan nama-
nama itu aja yang membedakannya
dik. Justru yang beda ada pada
pengelolaan anggarannya seperti yang
saya sebutkan tadi itu dik.

Kalau sumber-sumber lain dok seperti


dari pusat dok? Sumber
160 anggaran
Kalau itu paling banyak ya dari sebelum BLUD
penyelenggaraan JKN seperti BPJS (275-279)
dik, lainnya ya kayak tadi, tambah
K
Jampersal. Dan juga ada dana BOK Perubahan
yang berasal dari pusat yang sumber
dilewatkan ke Pemda dulu dik anggaran dari
sebelum BLUD
Kalau dari Pemda sendiri dananya dari dan setelah
mana saja ya dok? BLUD (279-
165 294)
Kalau daerah masih ada yang dari
DAK gitu dik. Pemda juga
melewatkan uang BOK untuk
Puskesmas dik. Jadi Pemda yang
punya tanggung jawab dan yang akan
P mendistribusikan uangnya. Nah
uangnya nanti disesuaikan dengan
RKA Dinas dan usulan puskesmas
yang dikumpulkan sebelumya dik.
K Untuk tahun 2020 besok, uang BOK Sumber
170
akan diberikan seperti sistem BLUD Anggaran dari
sekarang, jadi nanti menyesuaikan pusat (298-300)
dengan RBA puskesmas.

Oh begitu rupanya dok. Nah dok, saya


sempat melihat setoran ke Kasda
sebesar 10%. Nah itu sebenarnya uang
P setoran itu akan kembali dalam bentuk Sumber
apa ya dok? anggaran dari
175 Pemda (309-
Nah untuk Kasda, setorannya 3130
dilakukan saat puskesmas sedang
dalam BLUD bertahap. Sekarang, Alur uang BOK
puskesmas memiliki hak penuh ke Puskesmas
anggarannya. Bentuk kembalinya ke (213-319)
K Puskesmas nanti yaa macam-macam
ya...dalam bentuk alat kesehatan Pelaksanaan SPM
Rencana
misalnya, yaa disesuaikan dengan Kes (K, 178-198) perubahan alur
RKA yang ada begitu. Jadi ada uang BOK
rencana pemakaian 10% setoran itu (320-232
yang juga dibuat oleh dinas gitu. Jadi
180 yaa misalnya untuk beli alat kesehatan
misalnya nominalnya sekian. Nanti
alkesnya dikembalikan ke puskesmas,
kayak kita yang punya uang, tapi dinas
yang membelikan dan diberi ke
Puskesmas, sesuai dengan
perencanaan. Yaa ujung-ujungnya ya
kembali ke puskesmas lagi. Kalau
sekarang, puskesmas sendiri yang
ngurus penuh.
P Manajemen
185
Kalau menurut dokter, manakah yang anggaran
jauh lebih baik dari hal yang tadi, sebelum BLUD
dipotong 10 % lalu dibelanjakan dinas (331-352)
atau langsung puskesmas?

Yaa jelas yang langsung puskesmas.


Kalau lewat dinas kan jauh lebih
panjang jalurnya, dan juga kembalinya
pun tak bisa cepat. Kalau langsung
190 puskesmas jauh lebih singkat dan
pemenuhannya juga lebih cepat.

Nah kalau sekarang dok, untuk


K membagi anggaran yang ada untuk
SPM kira-kira seperti apa ya dok?
Apakah sama rata ataukah ada yang
diprioritaskan dahulukah?

Nah, untuk anggaran puskesmas, kita


membaginya dulu menjadi dua dengan
195
rasio 60:40, yaitu 60% jasa pelayanan
puskesmas dan 40% operasional
puskesmas. Untuk operasional
puskesmas ini termasuk untuk
kegiatan-kegiatan seperti beli barang
dan jasa serta beli modal. Nah kalau
-
modal itu maksudnya pemakaian lebih
dari setahun kayak misalnya beli Dinamika
komputer, laptop. Kalau barang dan manajemen
jasa ini pemakaiannya kurang dari
setahun misalnya seperti alat anggaran
200 kebersihan, ATK, alkes, dan lain-lain. Puskesmas
Nah kalau SPM dan program kita (362-363)
ambilnya dari dua sumber, yaitu BOK
dan dari kapitasi program JKN. Kalau
BOK itu jumlahnya banyak, tapi kalau
dari kapitasi program JKN nilainya
P
tidak terlalu besar, lebih difokuskan ke
operasional. Jadi uang BOK itu
memiliki pemanfaatan yang berbeda
dari anggaran puskesmas. Uang dari
205 BOK tentu dipakai untuk menjalankan Anggaran (K,209-
semua program dan SPM, dan juga 269) Detail anggaran
untuk menjalankan fungsi puskesmas Puskesmas
yang fokusnya pada promotif dan (376-390)
K
preventif. Untuk pemakaiannya
misalnya uang untuk mamin (makan Detail anggaran
dan minum) untuk rapat, senam, dan BOK dan
sebagainya, kita ambilkan uangnya Kapitasi JKN
dari BOK. Tapi kalau misalnya kurang (391-399)
ya boleh diambilkan dari operasional
barang dan jasa. Nah, yang jadi Alur
210
catatan penting, uang BOK tidak manajemen
P boleh dialihkan ke operasional anggaran
puskesmas. BOK harus digunakan puskesmas,
untuk pembiayaan promotif dan BOK, dan
preventif. Kapitasi (401-
405)
Kalau pembagian uang BOK ke SPM
tersebut pembagiannya bagaimana ya Penggunaan
dok? Apakah sama rata ataukah ada anggaran
yang diprioritaskan dahulukah? BLUD, BOK,
215 dan JKN (405-
Nah untuk itu, kita harus 419)
mengumpulkan dulu para
penanggungjawab per programnya.
Nanti per penanggungjawab akan
K mengusulkan seperti apa program
yang akan diusulkan, Lalu kita analisis
usulan-usulan yang diberikan.
Puskesmas akan mengalokasikan dana
sesuai dengan permintaan. Tetapi kita
220
gak bisa sembarangan ngasih uangnya.
Tiap program yang didapat harus kita
pilih-pilih dahulu sehingga semua
program bisa jalan. Misalnya KIA ada
sekian program, dan harus
dilaksanakan semua, nah kasihan
program lain gak bisa berjalan karena
gak ada duitnya. Nah makanya
pembagiannya penting dan
disesuaikan dengan masalah yang
dihadapi puskesmas.
225
Kalau programnya apakah ada
kemungkinan bisa disatukan gak dok?
Misalnya kalau ada kaitannya antara
satu program dengan program lainnya
yang mungkin bisa digabung dan
dikerjakan bersama.

Nah kalau begitu jelas bisa dik. Kayak


tadi misalnya KIA dan gizi gak perlu Tahapan
230 ada program ganda, dua-duanya punya pembagian
program sendiri yang banyak. Nah anggaran untuk
kalau kayak gitu bagusnya dijadikan SPM
satu program, terus nanti jalan
barengan. Jadinya uangnya hemat.
Dan juga, kegiatan harus tetap jalan
meskipun anggaran kurang atau tidak
ada. Anggaran sifatnya hanya
mensupport kegiatan.

235 Nah kalau begitu, terus bagaimana


dengan nasib program-program yang
mengalami defisit atau bahkan tak
punya uang sama sekali untuk
program dok? Apa usaha yang
dilakukan puskesmas untuk itu?

Nah begini, misalnya aja ada kegiatan


yang gak ada anggarannya, maka ada
prinsip yang harus diingat, yaitu
P prinsip bahwa kegiatan puskesmas
240
tidak boleh ada yang ditinggalkan.
Nah makanya ada beberapa cara untuk
menyiasati hal ini. Yang pertama
adalah koordinasi antarprogram di
puskesmas kalau-kalau bisa
dikombinasikan. Kalau tidak ada ya
kita tambal dan atau ambilkan dari
uang operasional milik BLUD
Puskesmas, misalnya dari JKN, siapa
tahu ada uang sisa yang bisa dipakai
yang belum dianggarkan. Atau bisa
245 kerjasama dengan desa. Misalnya
kalau di desa ada kegiatan, misal ada Perencanaan
pertemuan ibu-ibu PKK, maka kita dan Manajemen
bisa nyelip disitu . Wilayahnya tidak SPM (458-461)
K
hanya di desa, melainkan bisa
dilakukan sampai kecamatan. Atau Peran Anggaran
bisa dari sumber lain kalau terhadap
memungkinkan. Jadi banyak caranya program dan
supaya program tetap bisa jalan. SPM (465-469)

250 Walah, begitu caranya ya dok. Nah


kalau dana yang lain selain BOK dan
JKN seperti apa dok, mungkin swasta
atau apa begitu?

Kalau swasta sih sampai sekarang ini


belum ada sih dik. Adanya lembaga
swasta itu lebih ke kerjasama gitu dek,
tapi lembaga swastanya yang
bidangnya kesehatan gitu dik. Kalau
255 yang lain selain kesehatan ya belum
ada sampai sekarang. Seperti kayak
laboratorium kesehatan. Jadi ya Manajemen
kerjasama gitu. Kalau kayak dana anggaran
P CSR (Corporate Social program untuk
Responsibility) itu sampai sekarang SPM (486-505)
belum ada.
Manajemen
Nah dok, kalau evaluasi pelaksanaan program dan
SPM itu seperti apa dok? SPM (486-489)
260
Nah, kita lakukan per bulan lewat Sumber
rapat program. Nah nanti pas rapat anggaran
program itu, kita semua saling tahu program (490-
K program kita seperti apa. Jadi bukan 495)
hanya programnya sendiri yang tahu,
tapi juga program rekan-rekan gitu
juga harus tahu. Nah kalau sudah Pelaksanaan
saling tahu, kan kita tahu mana SPM (496-505)
program yang kira-kira selanjutnya
saling sinkron gitu. Kalau gak ada
begitu, ya tiap program jalan sendiri-
265 sendiri, cuma kan nanti jadi kalau
tidak digabung repot juga ternyata,
padahal berkaitan. Nah kalau program
itu bisa dijadikan satu ya ngapain
repot-repot dua kali kerja. Nah kalau
evaluasinya kita pakai lokakarya mini
puskesmas. Jadi SPM itu misalnya
sampai bulan keenam itu
P
pencapaiannya gimana, apa sudah
50% kah gitu. Nah pencapaiannya kita
270 evaluasi dari pendanaan, apa dari
petugasnya, apa dari alat-alatnya, apa
dari metodenya. Jadi ya ada masalah
apa, bisa dicari solusinya. Kalau sudah
bagus ya teruskan.
K Wah saya mengerti pak. Nah sekarang Sumber
kalau kita kaitkan dengan anggaran, anggaran
menurut dokter, apabila setiap Anggaran (K, 276- swasta (514-
anggaran yang diberikan itu 294) 515)
275 dinaikkan, apakah itu bisa mendukung
peningkatan pencapaian SPM dok? Kerjasama
Puskesmas
Kalau soal itu ya gimana ya dik, ya dengan instansi
sangat mendukung dik. Nah tapi swasta (516-
anggaran itu ya tidak semata-mata 518)
sebagai faktor kesuksesan pencapaian
SPM ya dik. Masih banyak faktor lain
280 yang menunjang keberhasilan SPM
dik, seperti motivasi petugas misalnya.
Kalau petugasnya sibuk, misalnya
pada kasus petugas yang kerja Tahapan
multibidang, kayak tugas di A, di B, evaluasi
sama di C, yang satu berhasil, eh yang pelaksanaan
satu ketinggalan. Kalau seperti ini SPM (532-545)
akan mempengaruhi kinerja juga. Jadi
uang itu tidak hanya jadi faktornya Bentuk
285 kegiatan
gitu. Sinergi antarprogram dan lintas
sektor juga gak kalah penting untuk evaluasi
menggerakkan masyarakat. Kayak anggaran (548-
harus bisa kerjasama dengan pak 551)
camat yang pegang tangggungjawab
di kecamatan. Dengan ada support Bahan evaluasi
dari beliau, puskesmas bisa tersupport SPM dan
dan programnya jalan lancar gitu. anggaran (552-
561)
290 Nah kalau anggaran tadi, apakah
puskesmas dananya dirasa cukup dok,
P
ataukah ada bantuan dari Pemkab
dok?

Nah kalau disini, kita masih ada


anggaran dari Pemkab, cuma ya kalau
secara umum kita dari BLUD, kapitasi
dan BOK itu sudah cukup dik. Cuma Anggaran (K, 296-
kalau kabupaten mau nambahin ya gak 304)
295 apa, silakan saja dan lebih bagus. Dari
Pemkab, pihaknya menutup biaya
K obat-obatan. Puskesmas sebenarnya
sdh nganggarkan obat dari farmasi dan
saya lihat sudah cukup. Tapi ya obat
tetap kita terima dari kabupaten.

Nah kalau untuk mencapai SPM itu


kan harus sesuai standar kan, jadi
seperti apa langkah-langkahnya itu,
300 apa standar yang dipakai untuk
melaksanakan SPM itu dok?

Nah kalau itu kita mengikuti standar


akreditasi puskesmas yang ada di
Anggaran
Permenkes nomor 75 tentang
P sebagai faktor
puskesmas gitu. Adik bisa coba lihat,
pendukung
itu dah lengkap banget disitu. Jadi kita
Anggaran (K, 309- SPM (566-570)
mengikuti apa yang ada disitu,
322)
misalnya apa saja sarana dan alat-alat
Faktor-faktor
yang harus ada di KIA itu ya kita
305 penentu
nurutnya kesana. Sama kegiatan KIA
keberhasilan
K nya yang harus dilaksanakan itu apa
SPM (570-595)
saja. Nah kita pelaksanaannya juga
berdasarkan peraturan dari Menteri
Kesehatan gitu.
Nah lalu bagaimana dengan SPM
dimana kasusnya ternyata gak ada atau
kurang kasusnya? Apakah itu sangat
mempengaruhi pencapaian dok?
310 Jadi misalnya ini ada yang jauh ni ya,
untuk yang ini 26% untuk penderita
DM misalnya, kan sangat jauh dari
target. Ini karena keadaan dari tenaga
kesehatan sendiri yang terbatas. Kalau
ingin meriksa semua orang DM kan
tenaganya juga harus banyak. Nanti
juga dievaluasi kalau memang seperti
itu. Nah kita kan punya dana dari
BLUD, nanti kita bisa rekruitmen
315 tenaga kesehatan sama perawat untuk
meningkatkan capaian ini. Termasuk
juga kita bisa menggerakkan
masyarakat untuk kesini buat periksa, Peran Pemkab
misal dengan penyuluhan. Untuk saat mendukung
ini kita memang butuh SDM. Uang anggaran
sudah ada, tapi Perbup belum puskesmas
mendukung gitu untuk rekruitmen. (601-606, 608-
Nanti kita perbaiki semua 610)
pencapaiannya yang masih kurang.
320 Kecukupan
Harapannya kalau perbup untuk
anggaran
rekrutmen pegawai sudah jadi, bisa
Puskesmas
mulai rekruitmen tenaga kesehatan.
(604-608)
P Memang sih sulit mencapai seratus
persen sesuai instruksi kemenkes, tapi
itu kita jadikan acuan untuk mencapai
perbaikan pencapaian SPM agar jadi
lebih baik

325

Anggaran (K, 332- Standar


354) pelayanan
K
Puskesmas
berdasarkan
SPM (625-627)
Pelayanan SPM
berdasarkan
Permenkes
330
(634-636)

335

Hambatan
pelaksanaan
SPM (647-650)

Faktor penyulit
pencapaian
SPM (647-650)
P Solusi
340
perbaikan
pencapaian
SPM (653-659)

345
350
P

355 Anggaran (K, 361-


368)

360

365

K
Anggaran (K, 376-
420)
370

375

380

385

390
395

400

405

410
415

Alokasi Anggaran
dan pengaruhnya ke
SPM (K, 427-440)

420

425

430
435

440

445

Pelaksanaan SPM
Kes (K, 457-469)

450
455

460

465

Alokasi Anggaran
terhadap SPM (K,
479-506)

470
475

480

485

490

495
500

Anggaran (K, 515-


528)

505

510

515
Pelaksanaan SPM
Kes (K, 532-559)
520

525

530

535
540

545

550

555

Anggaran (K, 566-


594)
560

560

565

570
575

580

Anggaran (K, 601-


613)

590

595

600
605

Pelaksanaan SPM
Kes (K, 622-636)

610

615

620
625

630

635

640
3. Asisten Efina

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kabupaten Sleman

Kabupaten Sleman adalah salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta.


Kabupaten Sleman pada bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah,
pada bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta Provinsi D.I.
Yogyakarta, pada bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo Provinsi D.I
Yogyakarta dan Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah, dan pada bagian utara berbatasan
dengan Kabupaten Boyolali Provinsi Jawa Tengah (Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman,
2018).

Gambar 3. Peta Kabupaten Sleman (Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman, 2018)

Luas wilayah kabupaten Sleman adalah 57,482 Ha atau 574,82 km2, sekitar 18% dari luas
DIY dan terdiri dari 17 wilayah kecamatan, 86 desa dan 1.212 dusun. Salah satu kecamatan yang
terdapat di Kabupaten Sleman adalah Kecamatan Gamping, yang terdiri dari 5 desa, 59 dusun
dengan luas 2.925 Ha. Kecamatan Gamping memiliki jumlah penduduk sebanyak 65.789 jiwa
dan kepadatan sebesar 2.249 km2 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman, 2017).

4.1.1 Profil Puskesmas Gamping 1


Kabupaten Sleman memiliki puskesmas sejumlah 25 puskemas yang tersebar di setiap
kecamatan, salah satunya adalah Puskesmas Gamping 1 yang merupakan puskesmas wilayah
perkotaan dan terletak di Dusun Delingsari, Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping
Kabupaten Sleman Yogyakarta. Luas wilayah kerja Puskesmas Gamping 1 adalah 16.140 km 2
dengan batas-batas wilayah kerja sebagai berikut:

Utara : Kecamatan Godean

Selatan : Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul

Barat : Kecamatan Godean

Timur : Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul

Puskesmas Gamping 1 memiliki wilayah kerja yang terdiri dari 2 desa, yaitu Desa
Balecatur dan Desa Ambarketawang, dimana Desa Balecatur terdiri atas 18 dusun dan 136 RT dan
Desa Ambarketawang terdiri dari 13 dusun dan 120 RT. Keadaan penduduk di wilayah kerja
puskesmas Gamping 1 pada tahun 2016 adalah sebagai berikut:

Jumlah penduduk : 40.722 jiwa

Laki-laki : 20.447 jiwa

Perempuan : 20.275 jiwa

Jumlah rumah tangga : 14.309 KK

Kepadatan penduduk : 2.663 jiwa/km

4.1.2 Analisis Sumber Daya Non Finansial Puskesmas Gamping 1

4.1.2.1 Sumber Daya Manusia (SDM)

a. Kuantitas SDM

Tabel 5. Jumlah Pegawai Puskesmas Gamping 1

No Kategori Tenaga Jumlah Keterangan


1. Kepala Puskesmas 1 PNS
2. Kepala Subbag TU 1 PNS
3. Dokter umum 3 2 PNS; 1 BLUD
4. Dokter gigi 1 PNS
5. Bidan 6 5 PNS; 1 BLUD
6. Perawat 6 5 PNS; 1 BLUD
7. Perawat gigi 2 PNS
8. Asisten apoteker 2 PNS
9. Analis laboratorium 2 PNS
10. Sanitarian 2 1 PNS; 1 BLUD
11. Nutrisionis 2 PNS
12. Perekam medis 2 PNS
13. Administrasi umum 6 5 PNS; 1 BLUD
14. Pengemudi 1 PNS
15. Bidan PTT 1 PTT pusat
16. Bidan 6 5 PNS; 1 BLUD
17. Psikolog 1 BLUD
18. Aset IT 1 BLUD
19. Satpam 1 BLUD
20. Fisioterapi 1 BLUD
21. Pembuku 1 BLUD
22. Apoteker 1 BLUD
23. Promkes 1 BLUD
24. Bendahara 3 2 PNS; 1 BLUD
25. Pengemudi 1 PNS
26. Pengaman 1 Kontrak daerah
27. Jaga malam 1 BLUD
28. Pramu saji 1 BLUD
Total 58 orang
Kuantitas SDM di Puskesmas Gamping 1 apabila dilihat dari standar ketenagaan
puskesmas berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 tahun 2014 sudah sangat
mencukupi. Namun dalam prakteknya, masih banyak tenaga kesehatan yang mengeluh bahwa
SDM kesehatan masih belum mencukupi kebutuhan Puskesmas, terutama setelah era JKN
(Jaminan Kesehatan Nasional) dimana jumlah kunjungan puskesmas lebih banyak dibandingkan
dengan sebelum era JKN. Kekurangan SDM kesehatan ini disebabkan karena moratorium PNS
sehingga tidak adanya penerimaan pegawai baru sebagai pengganti pegawai lama yang sudah tidak
bertugas.

“Ya karena kalau pensiun kita tidak ada yang ngganti, kan kita ga ada penerimaan pegawai,
PNS. Jadi kita ga ada ini… Ga ada petugas pengganti.” (SH, 127-131)

“Cuma SDMnya yang tidak banyak, SDM itu ra oleh diangkat angkat dadi PNS gitu lho.”
(SS, 119-121)

Moratorium Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) adalah penundaan sementara penerimaan
PNS di Indonesia (Skripsi Siagian, 2017). Kebijakan ini diterapkan untuk penataan jumlah,
kualitas dan distribusi PNS, yang bertujuan untuk audit organisasi dan penataan SDM sesuai
dengan rencana strategi pembangunan, juga redistribusi pegawai baik secara internal maupun
lintas instansi berdasarkan hasil perhitungan analisis jabatan dan analisis beban kerja (ANJAB
ABK) (Permenpan No 36, 2018).

Menurut Rakhmawanto (2010), moratorium dilaksanakan unuk mereview bezetting,


rightsizing dan budgetting dalam rangka mengevaluasi dan memastikan bahwa instansi pemerintah
sudah berjalan efektif dan efisien sesuai fungsinya. Bezetting atau persediaan pegawai merupakan
jumlah pegawai yang telah dimiliki oleh suatu unit kerja pada saat ini. Dalam penetapan formasi
PNS, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu jumlah PNS yang ada (bezetting), jumlah
PNS yang berhenti, pensiun atau meninggal dunia, jumlah PNS yang naik pangkat dan kebutuhan
PNS menurut jabatan dan pendidikannya, dengan memperhatikan analisis kebutuhan pegawai.
Rightzising atau restrukturisasi kelembagaan dilaksanakan agar instansi pemerintah dapat
beroperasi secara efisien, efektif dan produktif, sehingga dapat meningkatkan kinerja pemerintah
dalam meberikan manfaat baik kepada negara maupun kepada masyarakat. Tahap ini dilaksanakan
dengan cara pemetaan kembali dan konsolidasi (regrouping) agar mendapatkan penataan PNS
secara lebih ideal. Budgetting atau anggaran merupakan rencana keuangan untuk jangka waktu
atau periode tertentu di masa yang akan datang. Moratorium beperan sebagai jeda yang dapat
dilakukan oleh instansi untuk mengevaluasi kembali jalannya proses pengadaan, seleksi,
penempatan serta efisiensi anggaran belanja pegawai.

Gambar 4. Kerangka kebijakan moratorium PNS (Rakhmawanto, 2010)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siagian (2017), moratorium PNS memiliki hal
negatif dan juga hal positif dalam pelaksanaannya. Dampak positif yang terjadi adalah timbulnya
penataan atau rekonstruksi pegawai pemerintah yang lebih baik, dan juga menghemat anggaran
belanja pegawai. Sedangkan dampak negatifnya adalah pelaksanaan program kerja yang kurang
efektif karena kekurangan SDM dan meningkatnya pengangguran. Dampak negatif ini terasa di
Puskesmas Gamping 1, dimana setiap petugas memegang lebih dari satu program sehingga fokus
pegawai dapat terpecah, baik untuk pelayanan kesehatan maupun pada saat pelaksanaan program.
Bahkan terkadang pegawai tersebut tidak bisa melakukan pelayanan kesehatan seharusnya karena
harus menjalankan program, sehingga jika pasien sedang ramai terjadi penumpukan pasien.

“… Kemudian selain petugasnya itu terbatas, masing-masing petugasnya itu juga disampiri
dengan tanggung jawab program yang lain. Jadi mungkin mereka kan fokusnya jadi
terpecah kan…” (E, 257-263)

Beban kerja yang bertambah merupakan hal penting yang tidak dapat dilupakan. Beban
kerja mempunyai dampak yang signifikan terhadap kinerja pegawai, dimana beban kerja yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah berhubungan dengan kinerja pegawai yang tidak maksimal. Beban
kerja yang terlalu tinggi dapat memicu ketidakmampuan pegawai untuk mengatasi tekanan,
sehingga atasan seharusnya dapat mengurangi beban kerja. Berkebalikan dengan beban kerja yang
terlalu rendah, pegawai yang mempunyai kemampuan lebih tidak dapat maksimal dalam
menggunakan kemampuannya (Shah et al, 2011). Puskesmas Gamping 1 telah melakuan analisis
jabatan dan analisis beban kerja (ANJAB ABK) untuk mengevaluasi beban kerja pegawai, namun
permasalahan utama tetap pada kurangnya SDM. Hal ini sesuai dengan penelitian Maharani et al
(2014) bahwa peningkatan sumber daya manusia dapat menjadikan pelayanan kesehatan di
puskesmas semakin prima. Namun penambahan SDM tidak serta merta menjadi solusi utama dari
permasalahan yang dihadapi di Puskesmas. Penelitian yang dilakukan di fasilitas kesehatan di
Tanzania oleh Maestad et all (2010) menunjukkan bahwa jumlah petugas yang terdapat di fasilitas
kesehatan tidak secara langsung meningkatkan kualitas atau waktu pelayanan, karena kurangnya
rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diemban.

Dikarenakan jumlah pegawai yang masih kurang, maka penambahan pegawai baru
dilakukan melalui jalur lain yaitu BLUD. Puskesmas Gamping 1 sudah berstatus puskesmas Badan
Layanan Umum Daerah (BLUD), yang merupakan sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana
teknis dinas/badan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Puskesmas memiliki
fleksibilitas atau keleluasaan dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari
ketentuan pengelolaan daerah pada umumnya (Kementrian Dalam Negeri, 2018). Puskesmas
BLUD merupakan satuan kerja kementrian kesehatan, yaitu kantor atau satuan kerja di lingkungan
Kementrian Kesehatan yang berkedudukan sebagai pengguna anggaran/barang atau kuasa
pengguna anggaran/barang, dimana satuan kerja ini menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (PPK-BLU) yang merupakan pola pengelolaan keuangan yang
memberikan fleksibilitas untuk menerapkan praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat (Kementrian Kesehatan RI, 2014).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 tahun 2014, pegawai pada satuan
kerja yang menerapkan PPK-BLU terdiri dari pegawai negeri sipil dan pegawai non-PNS. Pegawai
non-PNS kemudian terbagi lagi menjadi pegawai tetap dan pegawai kontrak, dimana pegawai tetap
adalah pegawai yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh pimpinan BLU dan memiliki nomor
induk pegawai dan pengadaannya dilakukan apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi melalui
pengadaan pegawai negeri sipil. Pengadaan pegawai BLU dilaksanakan melalui tahap perencanaan
terlebih dahulu berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja dan kebutuhan pegawai unit
kerja pada satuan kerja. Sedangkan pegawai kontrak merupakan pegawai dengan perjanjian kerja
yang memenuhi syarat dan diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu.

Puskesmas Gamping 1 mempunyai kurang lebih 10 pegawai BLUD yang dilaksanakan


melalui perekrutan dari dinas dengan menyesuaikan kebutuhan puskesmas. Pegawai BLUD yang
diterima kemudian mendapatkan gaji dari pendapatan BLUD. Pendapatan BLUD bersumber dari
jasa layanan, hibah, hasil kerja sama dengan pihak lain, APBD, APBN dan lain-lain pendapatan
BLUD yang sah antara lain hasil penjualan kekayaan yang tidak dipisahkan, hasil pemanfaatan
kekayaan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah dengan mata uang
asing, dan lain sebagainya (Pemerintah Kabupaten Sleman, 2018).

“Kalau yang BLUD itu misalnya kaya pemeliharaan gedung, gaji sini kan ada BLUD 10…”
(IPO, 95-100)

Namun pengangkatan pegawai BLUD ini juga masih belum menutupi persoalan
kekurangan SDM karena dana puskesmas terbatas sehingga tidak bisa mengangkat lebih banyak
pegawai, sehingga solusi yang dilakukan oleh puskesmas adalah pengoptimalan kerja pegawai.

“… Tapi kita itu diluar jam kantor itu baru bisa mengerjakan pekerjaan sehari-harinya. Jadi
kita pelayanan UKM UKP itu di jam kantor, tiap pagi itu harus ngatur yang pelayanan ke
masyarakat siapa yang pelayanan dalam gedung siapa, kemudian nanti malam itu
programnya apa. Itu kita kasih PR, kita koordinasi di WA group…” (SS, 264-273)

“… Misalkan ada yang cuti atau meninggal nanti dilimpahkan kepada siapa gitu” (TM, 30-
32)

Solusi pengalihan tugas ini disebut juga dengan task shifting, yaitu pendelegasian tugas
untuk pegawai yang sudah ada atau pegawai baru melalui suatu pelatihan tertentu. Task shifting di
fasilitas kesehatan bertujuan untuk meningkatkan layanan perawatan kesehatan atau sebagai
alternatif untuk memberikan pelayanan kesehatan yang sama dengan kualitas tertentu dan biaya
yang lebih rendah, namun dapat menimbulkan masalah lain yaitu motivasi pegawai yang perlu
dijaga dan kemampuan serta keterampilan yang perlu diperhatikan sebelum pengalihan tugas
dilakukan (Fulton et al, 2011).
4.1.2.2 Obat-obatan

Pelayanan kefarmasian di puskesmas merupakan faktor penting dari terlaksananya


pelayanan kesehatan yang maksimal. Pelayanan kefarmasian memiliki dua tahapan, yaitu
pengelolaan sediaan farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) dan pelayanan farmasi klinik.
Pelayanan ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74
Tahun 2016.

Dalam kegiatan pengelolaan sediaan farmasi dan BMHP, diperlukan adanya perencanaan,
permintaan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pemusnahan dan penarikan, pengendalian, administrasi dan pemantauan. Perencanaan dilakukan
dengan mempertimbangkan pola penyakit, pola konsumsi sediaan sebelumnya, data mutasi dan
rencana pengembangan. Puskesmas Gamping 1 dalam pengadaan obat mengacu pada formularium
nasional dan formularium kabupaten melalui perencanaan setiap satu tahun sekali bersama dengan
puskesmas lain dan gudang farmasi. Perkiraan kebutuhan dilakukan dengan menghitung metode
konsumsi obat tahun sebelumnya dan tren pemakaian obat dan BMHP. Pengadaan sediaan farmasi
dan BMHP di luar dinas disesuaikan dengan kebutuhan Puskesmas Gamping 1, yaitu bahan gigi
dan bahan lab yang memang tidak disediakan oleh Dinas Kesehatan dengan menggunakan sumber
dana BLUD.

“… formularium kabupaten sudah mengacu ke formularium nasional. Jadi sudah


disesuaikan dengan formularium yang ada disusun oleh pusat…” (M, 141-145)

Untuk obat-obatan yang tersedia di Puskesmas Gamping 1 dalam penggunaannya sudah


mencukupi untuk kebutuhan pelayanan farmasi karena pengadaan dari Dinas Kesehatan sudah
mengacu formularium nasional. Jika ada obat khusus permintaan dokter, maka bagian farmasi
akan berupaya untuk mencari subtitusi dari obat lain yang mempunyai fungsi yang sama.
Pengadaan obat dengan mengacu pada Fornas merupakan salah satu upaya pemerintah untuk
menjaga mutu dan cost effective, serta solusi pencegahan korupsi dari pengadaan obat (Winda,
2018).

Kendala yang dialami oleh bagian farmasi adalah keterlambatan distribusi obat dari UPT
POAK sehingga pelayanan kefarmasian menjadi sedikit terganggu. Namun Puskesmas Gamping
1 sudah menyediakan anggaran tersendiri jika persediaan obat sudah benar-benar habis, sehingga
tidak perlu menunggu ketersediaan obat dari UPT POAK.

“… Misal ada kasus di sana habis, padahal itu obat yang esensial seperti obat batuk gitu,
datengnya agak lama. Jadi kita perlu pengadaan sendiri, biasanya pakai dana tersebut. Jadi
memang di anggaran itu sudah ada dana mendadak atau dana yang insidental gitu lah…”
(M, 104-112)

Sarana dan prasarana yang tersedia di Puskesmas Gamping 1 sudah mendukung pelayanan
kefarmasian. Sarana dan prasarana yang tersedia adalah ruang obat dan gudang penyimpanan obat.
Untuk ruang obat sendiri terdiri dari bagian penerimaan resep, bagian pelayanan resep dan
peracikan, bagian penyerahan obat, ruang konseling, bagian penyimpanan obat dan BMHP dan
bagian arsip.

Terdapat sarana dan prasarana penunjang yang terdapat di ruang obat dan gudang
penyimpanan obat. Sarana dan prasarana tersebut antara lain 1 set meja dan kursi, komputer, rak
obat, meja peracikan dan peralatan peracikan obat lainnya. Sarana dan prasarana ini sudah dapat
digunakan secara maksimal oleh pegawai kefarmasian sehingga memudahkan dalam pelayanan
kefarmasian.

“… Karena kita sistemnya sudah less paper tidak perlu pakai resep manual jadi membantu
sekali dalam pelayanan, itu juga etiketnya sudah pakai stiker tidak perlu tulis tangan jadi
mempercepat. Tidak terlalu membebani.” (M, 398-405)
Gambar 5. Ruang obat Puskesmas Gamping 1

4.1.2.3 Laboratorium

Laboratorium Puskesmas Gamping 1 menyediakan pelayanan pemeriksaan dasar seperti


hematologi, kimia klinik, mikrobiologi dan parasitologi, imunologi, urinalisa dan feses.
Kemampuan pemeriksaan, alat dan metode yang tersedia atau digunakan di puskesmas sudah
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Laboratorium Puskesmas. Standar ini ditetapkan agar puskesmas dapat memberikan pelayanan
laboratorium yang maksimal.

Reagen yang digunakan adalah reagen yang sudah disediakan oleh Dinas Kesehatan, yang
dalam perencanaannya ditentukan oleh laboran di puskesmas yang masih dalam satu wilayah
tersebut. Jika ada reagen yang tidak dapat disediakan oleh dinas, maka puskesmas melakukan
pengadaan sendiri dengan menggunakan dana BLUD.

“Kan sudah ada anggarannya sendiri ya. Yang dari dinas ada sendiri, yang ngga ada di
dinas kita merencanakan sendiri. Nanti kan ada dana yang diluar untuk itu ya, artinya sudah
ada dana yang apabila butuh sewaktu-waktu sudah ada dana sendiri.” (TM, 91-98)

Namun dalam pelaksanaannya terkadang terdapat kendala berupa stok reagen yang kosong
baik di puskesmas maupun di dinas. Stok reagen tersebut kemudian dapat terpenuhi dengan
peminjaman reagen ke puskesmas lain untuk memenuhi kebutuhan atau dengan memundurkan
jadwal pemeriksaan rutin namun tidak merujuk ke tempat lain.

“Jadi kita pinjem NS1 5 di puskesmas lain, nanti kalau kita udah ada drop lagi nanti kita
kembalikan.” (TM, 220-222)

“Ya cuma sementara kosongnya. Misalkan sifilis ya. Sifilis kan didrop dari provinsi.
Misalnya kosong ya kita ga mengerjakan. Nanti kalau misalkan ibu hamil kan dari trimester
pertama sampai keempat. Jadi nanti periksanya cuma mundur, ga pas waktunya.” (TM,
235-242)

Dari segi prasarana, laboratorium Puskesmas Gamping 1 sudah mempunyai area-area yang
dibedakan tiap fungsinya, yaitu loket, area pengambilan sampel dan area pemeriksaan spesimen.
Selain itu, pengaturan mengenai area laboratorium juga sudah memperhatikan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan berupa pemisahan limbah antara limbah
infeksius, limbah non-infeksius, limbah benda tajam dan limbah cair, serta pemisahan penyerahan
sampel dahak melalui bagian luar gedung puskesmas untuk mencegah penularan.

“Itu kan PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi), jadi ini kan ruangan non infeksius,
jadi nanti ga terpengaruh. Sampel dahak kan infeksius, jadi harus lewat belakang.” (TM,
323-327)

Gambar 6. Bagian penyerahan sampel dahak dan limbah medis cair

Kendala lain yang muncul adalah pekerjaan yang menumpuk karena permintaan
pemeriksaan laboratorium yang tinggi karena tidak hanya dari puskesmas namun rujukan dari
pihak lain seperti dokter keluarga. Sehingga hasil pemeriksaan tidak dapat keluar dengan cepat.

“… Tapi kan pasien rujukan dari swasta, jadi bukan dari sini tapi dari dokter keluarga. Jadi
kalau dirujuk kesini kan harus ikut alur di puskesmas. Saya kan juga melayani pasien umum
to jadi numpuk-numpuk. Misalkan periksa urin to, kan hasilnya lama (tertawa).” (TM, 277-
268)

Pemeriksaan laboratorium untuk pasien rujukan atau dari luar puskesmas harus mengikuti
alur kegiatan pemeriksaan yang sudah berjalan di puskesmas, namun tanpa melalui pemeriksaan
dokter puskesmas. Alur kegiatan pemeriksaan laboratorium dijelaskan lebih lanjut pada gambar di
bawah ini.

Gambar 7. Alur Kegiatan Pemeriksaan Laboratorium di Puskesmas (Permenkes No 37, 2012)

4.1.2.4 Sarana dan prasarana lainnya

Sarana dan prasarana lain yang dimiliki oleh Puskesmas Gamping 1 sudah mengikuti
standar yang ditetapkan oleh pemerintah melalui aplikasi sarana, prasarana dan alat kesehatan
(ASPAK). ASPAK adalah suatu aplikasi berbasis web yang disediakan untuk fasilitas pelayanan
kesehatan untuk menghimpun dan menyajikan informasi terkait sarana, prasarana dan alat
kesehatan. Tujuan dari aplikasi ini adalah untuk inventarisasi, pemetaan dan pengawasan terhadap
pemenuhan sarana, prasarana dan alat kesehatan, serta untuk mendukung akreditasi fasilitas
pelayanan kesehatan. ASPAK memuat data-data berupa data umum fasilitas kesehatan, data
fasilitas berupa data bangunan, data ruangan, data prasarana, data peralatan, dan data lainnya.
ASPAK harus selalu diupdate agar sarana, prasarana dan alat yang tersedia dapat terpantau
kuantitasnya (Permenkes no 31, 2018)

Sarana, prasarana dan alat yang dimiliki oleh Puskesmas Gamping 1 sudah tergolong cukup
lengkap, namun karena standar ASPAK merata untuk seluruh puskesmas di Indonesia, maka
terkadang Puskesmas Gamping 1 tidak dapat memenuhi kriteria tersebut karena alat yang dimiliki
puskesmas memiliki standar yang lebih tinggi.

“…tapi gini. Kalau di kita bukan karena jelek, karena bagus. Jadi ada karena jelek ada
karena bagus, karena kelebihan. Kita juga ada aplikasinya.” (SS, 475-478).

Data yang sudah dimasukkan ke dalam ASPAK dapat digunakan untuk berbagai hal, yaitu
penyusunan kebutuhan untuk pemenuhan standar, izin operasional dan penetapan klasifikasi
fasilitas pelayanan, izin operasional dan penetapan klasifikasi, pengembangan pelayanan, serta
penilaian akreditasi (Permenkes no 31, 2018). ASPAK diharapkan dapat menjadi sarana bagi
fasilitas kesehatan untuk mengevaluasi sarana dan prasarana, karena ketersediaan sarana dan
prasarana yang memadai menjadi penting untuk menunjang pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Selain kelengkapan sarana dan prasarana, aspek penting yang perlu diperhatikan adalah
pemanfaatan sarana dan prasarana tesebut secara maksimal. Puskesmas Gamping 1 sudah
menggunakan komputer untuk pelaporan sehingga mempermudah pekerjaan pegawai. Hal ini
sejalan dengan penelitian Ristiani (2017) bahwa ketersediaan sarana dan prasarana di fasilitas
kesehatan signifikan memengaruhi kepuasan pasien, namun sarana dan prasarana yang lengkap
dan berfungsi optimal dapat secara nyata menunjang pencapaian tingkat kepuasan pasien.

4.1.3 Pencapaian SPM Bidang Kesehatan Puskesmas Gamping 1

Standar Pelayanan Minimal secara keseluruhan tercantum dalam Peraturan Pemerintah


Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018. SPM bidang kesehatan diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 43 tahun 2016, yang kemudian diatur lebih lanjut di wilayah Kabupaten Sleman
melalui Peraturan Bupati Sleman Nomor 10.1 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan Kabupaten Sleman, yang menyatakan bahwa pemerintah daerah
menyelenggarakan pelayanan dasar kesehatan sesuai SPM bidang kesehatan, meliputi SPM wajib
dan SPM pengembangan. SPM wajib terlampir dalam Perbup 10.1 tahun 2018, menerangkan 12
indikator SPM wajib bidang kesehatan sesuai dengan Permenkes Nomor 43 tahun 2016, sedangkan
SPM pengembangan diatur lebih lanjut oleh kepala dinas kesehatan melalui Surat Keputusan
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman Nomor 188/DKS/2018 tentang Standar Pelayanan
Minimal Pengembangan Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. SPM pengembangan ini ditetapkan
dengan tujuan untuk menilai mutu pelayanan kesehatan dan mengevaluasi apakah pelaksanaan
kegiatan mencapai tujuan yang diharapkan atau tidak.

Perbedaan antara SPM wajib dan SPM pengembangan adalah terdapat 33 indikator dalam
SPM pengembangan, dimana dalam indikator-indikator tersebut sudah memuat SPM wajib namun
ditambahkan indikator lain berdasarkan pertimbangan bahwa SPM bidang kesehatan nomor 43
tahun 2016 belum mencakup semua program kesehatan (Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman,
2018).

Pencapaian SPM kesehatan di Puskesmas Gamping 1 berdasarkan Permenkes No 43 tahun


2016 pada semester 1 tahun 2018 adalah sebagai berikut.

120%

100%

80%

60%

40%

20%

0%

Gambar 8. Grafik Pencapaian SPM Semester I tahun 2018 Puskesmas Gamping I

Dari grafik tersebut, dapat dilihat bahwa tidak semua indikator mencapai target yang sudah
ditetapkan. Indikator yang sudah mencapai target hanya sejumlah 4 indikator dari total 12
indikator, yaitu pelayanan kesehatan ibu bersalin, pealyanan kesehatan bayi baru lahir, pelayanan
kesehatan orang dengan gangguan jiwa berat, dan pelayanan kesehatan orang dengan risiko
terinfeksi HIV. Tidak tercapainya target ini dikarenakan adanya beberapa kendala selama
pelaksanaan program SPM.

Pada indikator pelayanan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin dan bayi baru lahir tergabung
menjadi satu program yaitu program KIA. Data sekunder menunjukkan bahwa pada indikator ini
sudah menunjukkan hasil yang baik dan memenuhi target. Berikut ini merupakan capaian yang
telah diperoleh untuk program KIA pada SPM pengembangan Puskesmas Gamping 1 tahun 2018.

120%

100%

80%

60%

40%

20%

0%
Pelayanan Pelayanan KB Pemberian ASI
kesehatan ibu eksklusif
nifas

Gambar 9. Pencapaian SPM pengembangan program KIA Puskesmas Gamping 1

Metode yang digunakan oleh Puskesmas Gamping 1 untuk mencapai hasil 100% adalah
melalui screening untuk setiap ibu hamil disertai dengan data checklist layanan ANC. Selain itu,
kerjasama dengan pihak di luar puskesmas, seperti klinik, bidan praktek swasta atau rumah sakit
yang terdapat pada wilayah kerja Puskesmas Gamping 1.

“Ya itu tadi. Kalau kita di puskesmas itu harus menscreening setiap ibu hamil itu apakah
sudah mendapatkan layanan ANC terpadu itu atau belum, nah kita itu ada checklistnya
untuk setiap ibu hamil itu apakah sudah sudah mendapatkan layanan ANC tahap terpadu
atau belum. Apabila belum ya jika sudah saatnya diperiksa ya kita berikan layanan. Selain
itu, ya itu tadi. Kita bekerjasama dengan pihak swasta untuk membantu programnya
pemerintah dalam rangka mencapai SPM ini.” (E, 101-115)

Kendala utama dalam pelaksanaan program KIA selain SDM yang kurang adalah faktor
fasilitas kesehatan di luar puskesmas yang juga menyediakan pelayanan kesehatan ibu hamil,
karena program pemerintah terutama untuk mendukung terlaksananya SPM masih dirasa kurang
tersosialisasikan dengan baik, sehingga berdampak pada pelaporan ke puskesmas.

“Nek kalau lingkungan itu faskes swasta karena belum banyak terpapar kebijakan-
kebijakan pemerintah kan, mungkin kurang mendukung. Seperti layanan ANC terpadu itu,
kalau pihak swastanya tidak tahu program-program pemerintah kan jadi akhirnya ga
mendukung, ga laporan juga.” (E, 276-287)

Solusi yang sudah dilakukan Puskesmas Gamping 1 terkait kerjasama dengan pihak luar
puskesmas adalah melalui kegiatan jejaring, yaitu koordinasi dan komunikasi untuk data laporan
ibu hamil, kemudian juga dilakukan monitoring dan evaluasi sehingga target bisa dicapai secara
maksimal.

Pada indikator TB, Puskesmas Gamping 1 memperoleh 46% dari target 100% untuk SPM
kesehatan. Untuk SPM yang mengacu Permenkes nomor 43 tahun 2016, indikator pelayanan
kesehatan orang dengan tuberkulosis sendiri mempunyai pengertian berupa pelayanan yang
diberikan oleh seluruh orang dengan TB yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai
kewenangannya di FKTP atau FKTL baik pemerintah maupun swasta. Pelayanan ini mencakup
penegakkan diagnosis secara bakteriologis dan klinis serta pemeriksaan pemantauan kemajuan
pengobatan pada akhir pengobatan intensif, bulan ke 5 dan akhir pengobatan.

Berdasarkan pernyataan narasumber, untuk pengobatan TB sudah mencapai 100%, yang


artinya tidak ada pasien yang mengalami DO (drop out) saat pengobatan. Namun untuk penemuan
kasus TB tidak bisa mencapai target.

“100% itu dari yang apa? Dari pengobatan yang kesembuhan to? Kalau yang penemuan itu
70% atau 90% ya saya lupa. Kalau pengobatan kita sudah 100%. Ngga ada yang DO.” (R,
81-86)

Masalah utama dari program TB adalah kurangnya SDM terutama untuk laboran.
Berdasarkan standar ketenagaan puskesmas yang terdapat di Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
75 Tahun 2014, sebenarnya jumlah ahli teknologi laboratorium medik sudah mencukupi. Namun
permintaan untuk pemeriksaan laboratorium tidak hanya dilakukan oleh bagian tertentu saja,
namun semua bagian seperti BP umum, KIA, MTBS dan lain sebagainya, sehingga hasil
pemeriksaan BTA untuk TB biasanya selesai dalam waktu 3 sampai 4 hari.
“Ya mungkin kita bisa sambi. Jadi buat preparat nanti setelah jam 12. Nanti kalau kita
mengecat pagi-pagi, nanti kita lihat di mikroskop kita sambi kalau pas-pasan selo ya baru
dikerjakan” (TM, 304-309)

Kendala lain yang dialami pada program TB selain kurangnya SDM adalah dari faktor
pasien. Petugas laboran atau dokter sebenarnya sudah memberitahu bagaimana cara mengeluaran
dahak, namun pasien terkadang tidak bisa mengeluarkan dahak, tidak menyerahkan pot dahak,
atau salah dalam mengeluarkan spesimen dahak sehingga hasil pemeriksaan laboratorium tidak
dapat maksimal.

Solusi dari kendala yang dialami adalah dengan edukasi mengenai mengeluarkan dahak
dari pemegang program TB atau dari pihak laboran. Selain itu untuk memantau kepatuhan minum
obat penderita TB, Puskesmas Gamping 1 memiliki program SMS gateway, yaitu sms pengingat
yang dikirimkan setiap hari sekitar jam 5 pagi untuk pasien-pasien tertentu, termasuk pasien TB,
untuk meminum obat. Program SMS gateway ini merupakan program dari bagian farmasi
Puskesmas Gamping 1 yang digunakan tidak hanya di program TB, namun pada program lainnya
seperti kesehatan lingkungan, KIA, gizi, dan lain sebagainya.

4.2 Kabupaten Magelang

Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Jawa
Tengah dan berbatasan dengan beberapa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dan DIY. Pada
bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali, pada bagian
selatan berbatasan dengan Kabupaten Purworejo dan DIY, pada bagian barat berbatasan dengan
Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo, dan pada bagian utara berbatasan dengan
Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang. Selain itu, Kabupaten Magelang juga
berbatasan dengan Kota Magelang yang terdapat di tengah (Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang
profil kes magelang, 2017).
Gambar 10. Peta Kabupaten Magelang (Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang profil kes
magelang, 2017).

Kabupaten Magelang terbagi menjadi 21 kecamatan yang terdiri dari 367 desa dan 5
kelurahan dengan luas sekitar 1.085,73 km2 atau 3,34% dari luas wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Salaman merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Magelang dengan luas wilayah
68,87 km2, jumlah penduduk sekitar 69.901 jiwa, kepadatan sekitar 1014,97 km2 (Dinas Kesehatan
Kabupaten Magelang profil kes magelang, 2017).

4.2.1 Profil Puskesmas Salaman 1

Kabupaten Magelang memiliki sejumlah 29 puskesmas yang tersebar di berbagai


kecamatan, salah satu diantaranya adalah Puskesmas Salaman 1. Luas wilayah kerja Puskesmas
Salaman 1 adalah 38,89 km2 dan memiliki batas wilayah puskesmas sebagai berikut:

Utara : Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang

Selatan : Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo dan Kecamatan Samigaluh, Daerah


Istimewa Yogyakarta.

Barat : Wilayah kerja Puskesmas Salaman 2

Timur : Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang

Wilayah kerja Puskesmas Salaman 1 mencakup 10 desa dari total 20 desa yang terdapat di
Kecamatan Salaman, yaitu desa Salaman, Kalisalak, Menoreh, Kalirejo, Paripurno, Ngargoretno,
Ngadirejo, Sidomulyo, Kebonrejo dan Banjarharjo. Kondisi geografis di wilayah kerja Puskesmas
Salaman 1 sebagian besar adalah pegunungan. Keadaan penduduk di wilayah kerja Puskesmas
Salaman 1 pada tahun 2018 adalah sebagai berikut:

Jumlah penduduk : 45.564 jiwa

Laki-laki : 22.821 jiwa (50,08%)

Perempuan : 22.743 jiwa (49,91%)

Jumlah rumah tangga : 13.839 KK

Kepadatan penduduk : 14.388,16 jiwa/km2

4.2.2 Analisis Sumber Daya Non Finansial Puskesmas Salaman 1

4.2.2.1 Sumber Daya Manusia (SDM)

a. Kuantitas SDM

Tabel 6. Data ketenagaan Puskesmas Salaman 1 per 1 Januari 2018

No Kategori Tenaga Jumlah


1. Kepala puskesmas 1
2. Kasubag TU 1
3. Dokter spesialis -/-/-
dalam/anak/obsgyn
4. Dokter umum 4
5. Dokter gigi 1
6. Bidan desa 10
7. Bidan puskesmas/PONED/THL 3/6/3
8. Perawat PNS/THL 18/10
9. Pelaksana keperawatan 4
10. Perawatan gigi -
11. Administrasi umum 8
12. Promosi kesehatan 1
13. Perekam medis 1
14. Nutrisionis 2
15. Sanitarian 2
16. Pranata labkes 2
17. Apoteker/Ass. Apoteker 1/3
18. Radiografi 1
19. Teknisi elektromedis 1
20. Verifikator keuangan 1
21. Pengadministrasi kepegawaian 1
22. Pengadministrasi keuangan 3
23. Petugas kebersihan PNS/THL 3/6
24. Penjaga kantor (PNS/THL) 3/1
25. Pengemudi (THL) 2
26. Tenaga dapur THL 6
27. Petugas cuci THL 1
28. Juru malaria desa 4
Total 114

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 tahun 2014, jumlah pegawai di


Puskesmas Salaman 1 sudah lebih dari cukup. Namun jumlah ini masih terasa kurang jika
dibandingkan dengan program puskesmas yang harus dijalankan. Selain itu, kebijakan moratorium
PNS di Puskesmas Salaman 1 juga berdampak pada kurangnya kuantitas SDM dan bertambahnya
beban kerja, sehingga Puskesmas Salaman 1 harus mengoptimalkan SDM yang ada.

“Iya, nah itu moratorium sampai bertahun-tahun, jadi kita sama sekali ngga ada pengadaan
CPNS. Jadi ya pegawai yang ada itu yang diberdayakan. Jadi untuk volume pekerjaan
misalkan ada yang pensiun atau ada yang meninggal, pekerjaannya ya diampu yang ada.
Artinya volume pekerjaannya yang tambah, tapi untuk kuantitas dari SDMnya ngga
tambah. Beban kerjanya yang nambah.” (G, 84-95)

Kinerja pegawai dapat ditingkatkan melalui beberapa hal, salah satunya adalah beban kerja.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tjiabrata (2017), terdapat adanya pengaruh yang
signifikan antara beban kerja terhadap kinerja karyawan. Namun di Puskesmas Salaman 1, masih
terdapat adanya beban kerja yang tidak merata, ini dikarenakan kualitas SDM yang menjadi
kendala dalam pelayanan puskesmas. Kemampuan setiap SDM yang tidak sama, terutama untuk
pengoperasian komputer atau penggunaan internet. Dalam pelayanan kesehatan sekarang,
penggunaan internet sangat diperlukan karena sistem yang sudah paper less untuk memudahkan
pendataan dan juga pelaporan.

Penambahan pegawai melalui perekrutan BLUD sendiri tidak dapat dilakukan oleh
Puskesmas Salaman 1 karena peraturan bupati untuk daerah Magelang masih belum disahkan.
Maka dari itu, solusi yang dilakukan puskesmas adalah mengangkat pegawai wiyata bakti.
Pengadaan pegawai wiyata bakti atau pegawai tidak tetap dilakukan mandiri oleh puskesmas,
dengan gaji menggunakan pendapatan Puskesmas Salaman 1.

“… Tapi 2017 itu statusnya di magelang pun masih bertahap. Tahun 2018 itu sudah
menjadi penuh. Jadi secara otomastis tidak berlaku kan karna beda status. Lah gek sadar
saiki nggawe saiki jadi tahun ini buat 2, 2018 dan 2019.” (H, 109-119)

“Kita belum. Perbupnya belum ada jadi kita belum menerima. Hanya ada tenaga wiyata
bakti…” (G, 39-41)

Puskesmas Salaman 1 sebagai puskesmas rawat inap tentu memerlukan pegawai yang lebih
banyak dibandingkan dengan puskesmas rawat jalan, termasuk diantaranya untuk shift malam.
Namun untuk pelayanan, khususnya untuk shift malam, sudah dirasa mencukupi karena terbantu
oleh tenaga internship.

“Iya ada jadwalnya digilir. Tapi kan 4 dokter itu agak susah buat shift malem, jadi yang
jaga malem itu dokter Fitri karena dia kan ada di rumah dinas sini. Tapi untuk yang terjun
ke lapangan langsung internship, nanti kalau ada apa-apa on call sama bu Fitri.” (M, 232-
239)

Lain halnya untuk bagian kefarmasian, tenaga farmasi belum bisa memenuhi permintaan
puskesmas untuk mengadakan piket di UGD puskesmas karena jumlah pegawai yang terbatas dan
juga kesibukan lain. Maka dari itu pekerjaan kefarmasian di UGD dilakukan oleh petugas UGD.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2016, penyelenggaraan pelayanan
kefarmasian di puskesmas minimal harus dilaksanakan oleh 1 orang tenaga apoteker dan dibantu
oleh tenaga teknis kefarmasian sesuai dengan kebutuhan. Namun karena keterbatasan, pelayanan
kefarmasian tidak dapat dilakukan secara maksimal dan harus dilakukan oleh petugas lain.

4.2.2.2 Obat-obatan

Regulasi yang mengatur pengadaan sediaan farmasi dan BMHP di Puskesmas Salaman 1
adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian. Peraturan ini sudah mencakup mulai dari pengadaan hingga pelayanan farmasi klinik
kepada pasien.

“Kalau kita pakai permenkes 74 tentang standar pelayanan minimal kefarmasian di


puskesmas.” (W, 4-6)

Untuk pengadaan obat-obatan, Puskesmas Salaman 1 membuat formularium puskesmas


yang mengacu pada formularium nasional, e-katalog, dan DOEN. Penyusunan formularium
puskesmas dilakukan sebagai upaya penyesuaian dari ketiga sumber acuan tadi dan juga obat-obat
yang tidak disediakan oleh Dinas Kesehatan, karena Puskesmas Salaman 1 merupakan puskesmas
rawat inap yang membutuhkan lebih banyak sediaan farmasi dan BMHP dibandingkan dengan
puskesmas rawat jalan biasa.
Pengadaan Penerimaan Penyimpana Pendistribus Monitoring
Obat dan n ian & Evaluasi
BMHP
•Pengadaa •Laporan •Penyimpa •Distribusi •Pengecek
n Dinkes penerima nan ke ke sub an obat
•Pengadaa an barang gudang unit berkala
n sendiri obat puskesma •Pelaporan
•Pelaporan s ke dinkes
dengan •Pelaporan
kartu stok

Gambar. Alur Pengelolaan Sediaan Farmasi dan BMHP Puskesmas Salaman 1

Kendala yang ada di bagian farmasi adalah dari pengadaan obat, baik dari dinas maupun
pengadaan sendiri. Tidak semua obat yang terdapat di e-katalog sesuai dengan formularium
nasional dan DOEN, sehingga dinas tidak bisa mengadakan obat tersebut. Hal ini sejalan dengan
penelitan Winda (2018) yang menyatakan bahwa tidak semua item obat di Fornas tayang di e-
katalog meskipun telah mengalami peningkatan setiap tahun. Hal ini disebabkan karena data
Rencana Kebutuhan Obat (RKO) dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang diajukan oleh
Kementrian Kesehatan sehingga terjadi gagal lelang dan obat yang dibutuhkan tidak tersedia.
Padahal obat-obatan yang tidak tersedia di e-katalog harus disediakan sendiri oleh puskesmas dan
memerlukan dana yang lebih besar.

Pengadaan obat sendiri oleh puskesmas juga menjadi kendala lain. Pemasok obat dari
perusahan farmasi tidak banyak yang bersedia untuk menyediakan obat ke puskesmas karena
birokrasi yang lebih rumit dibandingkan dengan apotek. Juga terkadang obat-obatan yang
ditawarkan tidak sesuai dengan permintaan puskesmas. Selain itu, dana yang terbatas menjadikan
puskesmas tidak bisa melengkapi obat-obatan yang dibutuhkan.

“Kalau di puskesmas kan kelengkapan birokrasi butuh lebih banyak ya. Ada tanda tangan
panita pengadaan, ada SPJ, ada pajak ini pajak itu. Jadi kadang beberapa supplier ngga mau
masuk puskesmas karena administrasinya lebih ribet.” (W, 119-125)

Solusi yang telah dilakukan oleh puskesmas adalah menentukan obat prioritas yang akan
dilakukan pengadaan sendiri jika obat tersebut tidak terdapat di dinas. Puskesmas Salaman 1 juga
melakukan relokasi obat-obatan yang berasal dari dinas dengan cara mengambil stok persediaan
obat dari puskesmas lain. Hal itu selain berguna untuk memenuhi kebutuhan obat Puskesmas
Salaman 1, juga membantu puskesmas lain untuk menghabiskan stok obat dan menghindari obat
yang kadaluwarsa. Namun jika stok obat di puskesmas lain juga sedikit, maka tidak dilakukan
relokasi obat tetapi hanya peminjaman obat, sehingga Puskesmas Salaman 1 wajib mengembalikan
obat tersebut.

Ruangan farmasi di Puskesmas Salaman 1 sudah terbagi berdasarkan fungsinya masing-


masing. Ini sesuai dengan Permenkes Nomor 74 tahun 2016 mengenai sarana prasarana ruang
obat. Selain itu, disediakan juga gudang obat yang terletak tidak jauh dari ruang obat.

Gambar 11. Tampak depan ruang farmasi Puskesmas Salaman 1

Sarana dan prasarana yang terdapat di gudang obat Puskesmas Salaman 1 masih belum
mencukupi. Dari hasil observasi dan wawancara, didapatkan hasil bahwa lemari penyimpanan
NAPZA masih menggunakan lemari kayu biasa, sedangkan seharusnya obat narkotika dan
psikotropika harus menggunakan lemari khusus. Hal ini dikarenakan dana yang terbatas sehingga
pemenuhan sarana dan prasarana tidak bisa maksimal. Selain itu, perpindahan status Puskesmas
Salaman 1 menjadi rumah sakit juga menjadi salah satu alasan karena sarana dan prasarana yang
diprioritaskan untuk diganti atau dibeli menjadi banyak.

4.2.2.3 Laboratorium
Dari segi sarana dan prasarana, laboratorium Puskesmas Salaman 1 belum memenuhi
standar sesuai dengan peraturan yang diacu, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 tentang
Penyelenggaraan Laboratorium Puskesmas, karena di dalam ruangan laboratorium belum terdapat
adanya blower. Namun selain itu sudah memenuhi kriteria yang ditentukan. Penyimpanan reagen
sudah dilakukan di rak khusus, tempat yang kering dan dibedakan menurut jenisnya. Ruang
penyimpanan reagen terdapat di dalam ruangan laboratorium Puskesmas Salaman 1.

“Karena kita kan pasang AC, itu kan harus dikeluarkan lewat blower itu.” (T, 193-195)

Gambar 12. Laboratorium Puskesmas Salaman 1

Kendala lainnya yang dialami untuk pelayanan laboratorium adalah distribusi reagen dari
Dinas Kesehatan yang jumlahnya sangat sedikit sehingga tidak mencukupi untuk kebutuhan
puskesmas, sehingga puskesmas harus melakukan pengadaan mandiri untuk reagen-reagen yang
dibutuhkan.

“Jadi kalau dari dinas, kita ngajukan umpama ya, 10 gitu nanti diacc nya 1. Padahal kita
ngajukan 1 tahun ya, kita perencanaan 1 tahun. Tapi kalau dari dinas itu… Mungkin dinas
juga, istilahnya dibagi-bagi lah sama puskesmas lain jadi ngga cukup setahun, paling cuma
cukup sebulan lah.” (T, 23-32)

4.2.2.4 Sarana dan prasarana lainnya


Sarana dan prasarana yang terdapat di Puskesmas Salaman 1 sudah terdata pada ASPAK
sesuai dengan Permenkes nomor 31 tahun 2018. Dalam praktiknya, mengacu pada Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 75 tahun 2014 tentang Puskesmas, sarana dan prasarana di Puskesmas
Salaman 1 sudah mencukupi sarana dan prasarana minimal, namun karena Puskesmas Salaman 1
adalah puskesmas rawat inap dan akan berubah menjadi rumah sakit, terkadang ada beberapa
sarana prasarana yang belum mencukupi.

“Karena dananya itu yang terbatas. Pelayanannya sudah seperti rumah sakit, tetapi untuk
anggarannya itu seperti puskesmas.” (G, 167-170)

Pada ruangan poli TB yang tersedia di puskesmas, masih ditemukan adanya


ketidaksesuaian dengan standar yang ada pada Pedoman Teknis Bangunan dan Prasarana Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama untuk Mencegah Infeksi yang Ditransmisikan Oleh Udara,
karena cahaya masih terhalangi untuk masuk.

“Kalau ruangan ngga ya. Karena kan memang harusnya ada poli TB, tapi di sini kan mau
jadi rumah sakit. Jadi ada ruangan itu ya kita pakai dulu.” (K, 298-302)

Gambar 13. Poli TB Puskesmas Salaman 1

Kendala lainnya yang dihadapi adalah dari bagian kefarmasian. BMHP berupa infus set
yang dikirim oleh Dinas Kesehatan dikirim pada satu waktu, sehingga infus set harus diletakkan
di luar gudang obat. Hal ini mengakibatkan infus set tersebut diletakkan di ruangan tidak terpakai
sehingga tidak sesuai standar kefarmasian yang berlaku. Namun hal ini akan diperhitungkan untuk
pembangunan rumah sakit sebagai pengganti puskesmas, sehingga puskesmas terpaksa untuk
meletakkan infus set sementara di ruangan tersebut.

Sarana dan prasarana berupa komputer dan jaringan internet juga terkadang menimbulkan
masalah dalam pelayanan di puskesmas. Terdapat beberapa faktor yang berperan, yaitu server
yang bermasalah dan aplikasi yang terkadang tidak berfungsi sehingga pada saat input data
menjadi tidak terbaca. Beberapa fasilitas pendukung seperti komputer, laptop atau printer juga
tidak tersedia pada beberapa bagian, sehingga harus menggunakan laptop dari bagian lain atau
menggunakan laptop sendiri. Solusi terkait kendala ini adalah dengan back up data secara manual
menggunakan laptop tanpa diinput pada aplikasi.

“… kemarin ikut di laptop bendahara, dan itu kan bendahanya juga pakai ya, kalau kita
nebeng dan mau entry tapi akhirnya error kan jadinya juga ngga berjalan di sini” (W, 432-
436)

4.2.3 Pencapaian SPM Bidang Kesehatan Puskesmas Salaman 1

250.00%

200.00%

150.00%

100.00%

50.00%

0.00%

Gambar 14. Capaian SPM Puskesmas Salaman 1 tahun 2018


Regulasi SPM yang digunakan oleh Puskesmas Salaman 1 adalah Permenkes No.
741/MENKES/SK/IX/2008 dan Permenkes Nomor 43 Tahun 2016. Kedua peraturan ini masih
digunakan bersamaan karena perintah penggunaan SPM yang belum jelas.

“Ya gimana ya karena perintahnya masih ada jadi kita nurut saja sih, mungkin tahun depan
kita sudah pakai yang Permenkes 2016 aja. Jadi untuk sekarang memang kita bikin
laporannya 2 untuk masing-masing permenkes.” (F, 63-67)

Terdapat beberapa indikator yang tidak mencapai target 100% jika dilihat melalui data
sekunder, antara lain pelayanan kesehatan ibu hamil, pelayanan kesehatan balita, pelayanan
kesehatan pada usia produktif, pelayanan kesehatan pada penderita hipertensi, pelayanan
kesehatan orang dengan TB, dan pelayanan kesehatan orang dengan risiko terinfeksi HIV.

Pada indikator pelayanan kesehatan penderita diabetes melitus, setiap penderita diabetes
melitus di wilayah kerja harus mendapatkan pelayanan sesuai standar. Artinya pelayanan
kesehatan diberikan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan mencakup empat pilar
penatalaksanaan, pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan HbA1C, dan kewajiban masuk
menjadi peserta JKN. Puskesmas Salaman 1 untuk indikator ini sudah memperoleh capaian yang
sangat baik, yaitu sebesar 170,33% pada tahun 2018. Metode yang digunakan oleh pelaksana
program antara lain screening penderita di BP umum atau dari bidan desa yang menemukan pasien
suspek diabetes melitus. Target ini juga bisa diraih karena prolanis merupakan program yang sudah
terjadwal secara pasti sehingga pasien yang datang sudah bisa memenuhi target.

“Kalau untuk sementara ini belum ada kunjungan rumah ya, karena banyak sekali kan
pasiennya. Kalau yang ada kunjungan rumahnya itu TB, kalau yang DM itu belum ada.
Paling kalau ada tetangganya yang pegawai sini paling diajak atau diingatkan. Atau dari
bidan desa, kan bidan desa gitu menyebar ya, jadi bidan desa yang mengingatkan. Tapi
kalau kunjungan rumah khusus belum ada programnya.” (M, 206-218)

Sedangkan untuk indikator program TB, masih belum mencapai target. Capaian SPM pada
tahun 2018 untuk indikator TB hanya meraih 37,78%. Kendala yang dihadapi pada program ini
adalah tidak ditemukannya pasien TB walaupun sudah terdapat beberapa program terkait TB,
antara lain penyuluhan, screening melalui kader TB, mahasiswa dan juga bidan desa, kunjungan
rumah pada penderita TB, dan lain-lain. Dari hasil evaluasi dan monitoring, dimungkinkan target
yang wajib dicapai terlalu tinggi sehingga Puskesmas Salaman1 tidak dapat mencapai angka
tersebut.

“…Targetnya tinggi mbak. Padahal kita sudah berusaha maksimal…” (K, 8-14)

Selain program internal yang sudah dilakukan oleh Puskesmas Salaman 1, terdapat juga
program eksternal yang dilakukan oleh Puskesmas Salaman 1, yaitu kerjasama lintas sektoral dan
kerjasama dengan LSM khusus untuk menscreening penderita TB. Kerjasama LSM ini merupakan
kerjasama di luar dinas kesehatan dan sudah dilakukan pada beberapa puskesmas di Kabupaten
Magelang dan tujuan untuk menemukan penderita TB.

“… ada LSM sendiri. Ini dibiayai dari global fund. Jadi dia itu minta kader, nanti dia yang
mendidik, kemudian dari LSMnya itu minta data dari saya, kadernya itu suruh
mengunjungi kotak-kotak yang BTA positif dari data 2018. Mulai bulan ini baru
berjalan.” (K, 146-153)

4.3 Kendala dan Solusi Pencapaian Target SPM dalam Pelayanan Puskesmas

4.3.1 Kendala dan Solusi Pencapaian Target SPM Puskesmas Gamping 1

Berdasarkan observasi, wawancara dan data sekunder, kendala dalam pencapaian SPM dan
solusi yang sudah dilakukan oleh Puskesmas Gamping 1 adalah sebagai berikut.

Tabel 7. Kendala dan Solusi Capaian Target SPM Puskesmas Gamping 1

Kendala dalam pencapaian SPM Solusi yang ditawarkan


SDM
1. Pembatasan SDM karena 1. Pengangkatan pegawai BLUD
moratorium dengan dana puskesmas
2. Beban kerja meningkat 2. Pelaksanaan ANJAB ABK
3, Task shifting
4. Pengoptimalan pegawai
Obat-obatan
1. Distribusi obat dari Dinas 1. Pengadaan obat dengan dana
Kesehatan terlambat puskesmas
2. Evaluasi ketersediaan obat dan stok
obat
Laboratorium
1. Stok reagen habis 1. Pengadaan sendiri oleh puskesmas
2. Peminjaman reagen ke puskesmas
lain
3. Memundurkan jadwal cek
laboratorium
4. Evaluasi ketersediaan dan stok
reagen
2. Penumpukan pekerjaan karena 1. Penegakkan peraturan alur
pasien di luar puskesmas atau pelayanan laboratorium puskesmas
karena permintaan pengecekan 2. Melakukan pemeriksaan spesimen
yang banyak di sela-sela waktu luang saat jam
kerja
Sarana dan Prasarana lainnya
1. Ketidaksesuaian standar dengan 1. Tetap menginput data pada
ASPAK ASPAK
Kerjasama dengan pihak luar puskesmas
1. Laporan SPM tidak lengkap 1. Kerjasama jejaring dengan klinik,
dokter keluarga dan rumah sakit
terdekat
Inovasi Program
1. Pemantauan kepatuhan minum 1. SMS gateway
obat pasien

4.3.2 Kendala dan Solusi Pencapaian Target SPM Puskesmas Salaman 1

Berdasarkan observasi, wawancara dan data sekunder, kendala dalam pencapaian SPM dan
solusi yang sudah dilakukan oleh Puskesmas Salaman 1 adalah sebagai berikut.

Tabel 8. Kendala dan Solusi Pencapaian Target SPM Puskesmas Salaman 1


Kendala dalam pencapaian SPM Solusi yang ditawarkan
SDM
1. Pembatasan SDM karena 1. Pengangkatan pegawai wiyata
moratorium bakti dengan dana puskesmas
2. Shift rawat inap 2. Dibantu dengan dokter internship
3. Pelayanan kefarmasian di UGD 3. Pelayanan kefarmasian dilakukan
tidak dilakukan oleh apoteker/TTK oleh petugas non apoteker/TTK
4. Kompetensi tenaga wiyata bakti 4. Pelaksanaan ANJAB ABK
tidak sesuai dengan yang 5. Task shifting
dibutuhkan puskesmas
5. Pembagian tugas menjadi tidak
merata karena SDM yang kurang
menguasai suatu keahlian
Obat-obatan
1. Persediaan obat di e-katalog 1. Pengadaan obat dengan dana
tidak sesuai dengan Fornas dan puskesmas
DOEN 2. Menentukan obat prioritas
3. Relokasi obat dari puskesmas lain
4. Meminjam obat dari puskesmas
lain
Laboratorium
1. Stok reagen habis 1. Pengadaan sendiri oleh puskesmas
2. Sarana dan prasarana ada yang 2. Mengajukan pengadaan
tidak sesuai standar
Sarana dan Prasarana lainnya
1. Beberapa ruangan tidak sesuai 1. Mengajukan pengadaan dan
standar menunggu ruangan di gedung
2. Fasilitas pendukung kurang puskesmas baru
(komputer, printer) 2. Menggunakan fasilitas pribadi
3. Server bermasalah dan aplikasi 3. Back up data secara manual
error
Kerjasama dengan pihak luar puskesmas
1. Target TB tidak memenuhi target 1. Kerjasama dengan LSM melalui
pengadaan dan pelatihan kader untuk
menemukan kasus TB.
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

5.1.1 Kesesuaian Sumber Daya Non Finansial Puskesmas Gamping 1 dan Puskesmas
Salaman 1 dengan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan

Hasil analisis sumber daya non finansial Puskesmas Gamping 1 dan Puskesmas Salaman
1 terhadap pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan secara keseluruhan
sudah cukup baik, namun masih terdapat beberapa kendala, diantaranya faktor Sumber Daya
Manusia (SDM) yang tidak mencukupi, ketersediaan reagen dan obat-obatan di Dinas Kesehatan
yang masih belum mencukupi, faktor ruangan yang masih belum sesuai dengan standar, dan
anggaran yang terbatas.

Dari capaian SPM, Puskesmas Gamping 1 dan Puskesmas Salaman 1 mengacu pada
standar yang sama, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016, namun Puskesmas
Salaman 1 juga masih menggunakan peraturan yang lama yaitu Permenkes
741/MENKES/SK/XI/2008 sehingga terdapat target yang berbeda.

5.1.2 Sumber Daya Non Finansial Puskesmas Gamping 1 dan Puskesmas Salaman 1 dalam
mendukung Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan

Capaian yang belum memenuhi target 100% untuk semua indikator menjadi kendala di
kedua puskesmas. Faktor-faktor yang mempengaruhi terutama pada kurangnya SDM untuk
menjalankan program sehingga program tidak bisa dijalankan dengan maksimal. Selain itu, faktor
dari pasien juga berperan penting dalam pencapaian SPM bidang kesehatan. Pada indikator TB,
pasien seringkali tidak mematuhi aturan dalam mengeluarkan dahak atau dalam mengumpulkan
pot berisi spesimen dahak, sehingga pengecekan laboratorium tidak dapat menunjukkan hasil
maksimal. Pada indikator lain seperti KIA, kurangnya kesadaran ibu hamil untuk segera
mendapatkan pelayanan yang dimulai dari awal kehamilan menjadi kendala yang memengaruhi
capaian SPM. Selain itu, faktor eksternal yaitu kerjasama dengan pihak di luar puskesmas seperti
dokter keluarga, klinik, atau rumah sakit juga terkadang tidak lengkap dalam hal pelaporan,
sehingga capaian SPM yang dihasilkan menjadi tidak maksimal.
5.2 Saran

5.2.1 Bagi Puskesmas Gamping 1 dan Salaman 1

Pemenuhan sumber daya finansial di Puskesmas Gamping 1 dan Salaman 1 selain harus
lengkap, juga harus memenuhi standar yang telah ditentukan. Selain itu, SDM yang kurang
mencukupi dan program yang terlalu banyak menjadikan pelayanan tidak maksimal karena harus
mengurus beberapa hal sekaligus. Maka disarankan kepada jajaran SDM di puskesmas Gamping
1 dan Salaman 1 untuk mengetahui peran dan beban kerja yang telah diberikan sehingga program
dan pelayanan dapat berjalan seimbang dan dapat mencapai hasil maksimal.

Agar dapat mencapai target SPM yang telah ditetapkan, evaluasi dan monitoring sangat
diperlukan tidak hanya untuk pemegang program namun juga kepada seluruh SDM di puskesmas
yang terlibat sehingga dapat menciptakan alur koordinasi yang baik dan pemahaman yang
menyeluruh. Selain itu, penetapan peraturan SPM yang berlaku di puskesmas juga harus dievaluasi
kembali agar tidak menyebabkan kebingungan dalam pelaksanaan dan penyusunan laporan SPM.

5.2.2 Bagi Dinas Kesehatan

Disarankan kepada pemerintah Dinas Kesehatan Sleman untuk mengevaluasi kembali


program-program yang ada sehingga dapat menentukan prioritas program yang akan dilakukan.

5.2.3 Bagi Penelitian Selanjutnya

Untuk memfokuskan penelitian kepada satu dimensi manajemen dan indikator SPM
tertentu yang memiliki permasalahan kompleks.
DAFTAR PUSTAKA

Astari, E. R. 2018. Analisis Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di


Puskesmas Pauh Kota Padang Tahun 2018. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Andalas.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman. 2018. Kabupaten Sleman dalam Angka. Yogyakarta:
BPS Kabupaten Sleman.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman. 2017. Kecamatan Gamping dalam Angka. Yogyakarta:
BPS Kabupaten Sleman
Carolien, I., Fudholi, A., Endarti, D. 2017. Evaluasi ketersediaan obat sebelum dan sesudah
implementasi JKN pada puskesmas di Kabupaten Keerom Provinsi Papua. Jurnal Manajemen dan
Pelayanan Farmasi, 7(1): 30-39.
Crowe, S., Cresswell, K., Robertson, A., Huby, G., Avery, A., Sheikh, A. 2011. The case study
approach. BMC Medical Research Methodology, 11(100): 1-9.
Fulton, B. D., et al. 2011. Health workforce skill mix and task shifting in low income countries: a
review of recent evidence. Human Resources for Health, 9;1.
Hendarwan, H et al. 2015. Analisis implementasi standar pelayanan minimal bidang kesehatan
kabupaten/kota, Jurnal Ekologi Kesehatan, 14(2): 367-380.
Herujito, Y. M. 2001. Dasar-Dasar Manajemen. Jakarta: PT Grasindo.
Kementrian Kesehatan RI. 2017. Data Dasar Puskesmas Kondisi Desember 2016. Jakarta:
Kemenkes RI.
Kementrian Kesehatan RI. 2012. Laporan Akhir Riset Fasilitas Kesehatan 2011 Puskesmas.
Jakarta: Kemenkes RI.
Khozin, M. 2010. Evaluasi implementasi kebijakan standar pelayanan minimal bidang kesehatan
di Kabupaten Gunungkidul. Jurnal Studi Pemerintahan, 1(1): 29-56.
Maharani, E.A., Lestari, H., Lituhayu, D. 2017. Evaluasi implementasi program Jaminan
Kesehatan Masyakarat (Jamkesmas) di Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri. Journal of
Public Policy and Management Review, 3(4).
Menteri Kesehatan RI, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 43 Tahun
2016 Tentang Standar Pelayanan Minimal. Jakarta.
Menteri Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun
2014 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta.
Menteri Kesehatan RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun
2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta.
Menteri Kesehatan RI. 2017. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/395/2017 Tentang Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN). Jakarta.
Menteri Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2014 Tentang Pengelolaan Pegawai Non Pegawai Negeri Sipil pada Satuan Kerja Kementrian
Kesehatan yang Menerapkan Pola Pengelolaan Badan Layanan Umum.
Mujiati., Yuniar, Y. 2016. Ketersediaan sumber daya manusia kesehatan pada fasilitas kesehatan
tingkat pertama dalam era jaminan kesehatan nasional di delapan kabupaten-kota di Indonesia,
Media Litbangkes, 26(4): 201-210.
Moestad, O., Torsvik G., Aakvik A. Overworked? On the relationship between workload and
health worker performance. Journal of Health Economics. 29;686-98.
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Pemerintah Indonesia, 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan. Jakarta.
Pemerintah Indonesia, 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah. Jakarta.
Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman. 2016. Peraturan Bupati Sleman Tahun 2016 Tentang
Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2017. Yogyakarta.
Radina, F. D., Damayanti, A. N. 2012. Evaluasi pelaksanaan standar pelayanan minimal pada
program penemuan penderita pneumonia balita. Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia, 1(4):
301-308.
Rakhmawanto, A. 2016. Kebijakan moratorium PNS: analisis bezetting pegawai, rightsizing
kelembagaan, dan budgeting penyelenggaraan pemerintahan. Jurnal Borneo Administrator, 12(1):
29-47.
Rukmini., Rosihermiatie, B., Nantabah, Z. 2012. Ketersediaan dan kelayakan ruangan pelayanan
puskesmas berdasarkan topografi, demografi dan geografi di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan, 15(4): 408-417.
Sastroasmoro, S., Ismael, S. 2014. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung
Seto.
Satrianegara, M. F., Saleha, S. 2009. Buku Ajar Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan
Serta Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Shah, S.S.H., et al. 2011. Workload and performance of employees. Interdisciplinary Journal of
Contemporary Research in Business, 3(5): 256-267.
Siagian, D. 2018. Implementasi Kebijakan Moratorium Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)
terhadap Efektivitas Program Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Dairi. Skripsi. Fakultas Hukum
Universitas Sumatra Utara.
Siriyei, I., Wulandari, R. D. 2013. Faktor determinan rendahnya pencapaian cakupan standar
pelayanan minimal bidang kesehatan di Puskesmas Mojo Kota Surabaya. Jurnal Administrasi
Kesehatan Indonesia, 1(3): 244-251.
Tumuwe, W. N., Tilaar, C., Maramis, F. R. R. 2014. Analisis implementasi standar pelayanan
minimal bidang kesehatan di Puskesmas Ondong Siau Barat Kabupaten Sitaro. Skripsi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Winda, S. 2018. Formularium Nasional (FORNAS) dan e-catalogue obat seabgai upaya
pencegahan korupsi dalam tata kelola obat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Integritas, 4(2):
177-206.
Yin, R. K. 2013. Case Study Research: Design and Methods. London and Singapore: Sage.
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kabupaten Sleman

Kabupaten Sleman adalah salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta.


Kabupaten Sleman pada bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah,
pada bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta Provinsi D.I.
Yogyakarta, pada bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo Provinsi D.I
Yogyakarta dan Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah, dan pada bagian utara berbatasan
dengan Kabupaten Boyolali Provinsi Jawa Tengah (Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman,
2018).

Gambar 3. Peta Kabupaten Sleman (Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman, 2018)

Luas wilayah kabupaten Sleman adalah 57,482 Ha atau 574,82 km2, sekitar 18% dari luas
DIY dan terdiri dari 17 wilayah kecamatan, 86 desa dan 1.212 dusun. Salah satu kecamatan yang
terdapat di Kabupaten Sleman adalah Kecamatan Gamping, yang terdiri dari 5 desa, 59 dusun
dengan luas 2.925 Ha. Kecamatan Gamping memiliki jumlah penduduk sebanyak 65.789 jiwa
dan kepadatan sebesar 2.249 km2 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman, 2017).

4.1.1 Profil Puskesmas Gamping 1

Kabupaten Sleman memiliki puskesmas sejumlah 25 puskemas yang tersebar di setiap


kecamatan, salah satunya adalah Puskesmas Gamping 1 yang merupakan puskesmas wilayah
perkotaan dan terletak di Dusun Delingsari, Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping
Kabupaten Sleman Yogyakarta. Luas wilayah kerja Puskesmas Gamping 1 adalah 16.140 km2
dengan batas-batas wilayah kerja sebagai berikut:

Utara : Kecamatan Godean

Selatan : Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul

Barat : Kecamatan Godean

Timur : Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul

Puskesmas Gamping 1 memiliki wilayah kerja yang terdiri dari 2 desa, yaitu Desa
Balecatur dan Desa Ambarketawang, dimana Desa Balecatur terdiri atas 18 dusun dan 136 RT dan
Desa Ambarketawang terdiri dari 13 dusun dan 120 RT. Keadaan penduduk di wilayah kerja
puskesmas Gamping 1 pada tahun 2016 adalah sebagai berikut:

Jumlah penduduk : 40.722 jiwa

Laki-laki : 20.447 jiwa

Perempuan : 20.275 jiwa

Jumlah rumah tangga : 14.309 KK

Kepadatan penduduk : 2.663 jiwa/km

4.1.2 Analisis Sumber Daya Non Finansial Puskesmas Gamping 1

4.1.2.1 Sumber Daya Manusia (SDM)

b. Kuantitas SDM

Tabel 5. Jumlah Pegawai Puskesmas Gamping 1

No Kategori Tenaga Jumlah Keterangan


1. Kepala Puskesmas 1 PNS
2. Kepala Subbag TU 1 PNS
3. Dokter umum 3 2 PNS; 1 BLUD
4. Dokter gigi 1 PNS
5. Bidan 6 5 PNS; 1 BLUD
6. Perawat 6 5 PNS; 1 BLUD
7. Perawat gigi 2 PNS
8. Asisten apoteker 2 PNS
9. Analis laboratorium 2 PNS
10. Sanitarian 2 1 PNS; 1 BLUD
11. Nutrisionis 2 PNS
12. Perekam medis 2 PNS
13. Administrasi umum 6 5 PNS; 1 BLUD
14. Pengemudi 1 PNS
15. Bidan PTT 1 PTT pusat
16. Bidan 6 5 PNS; 1 BLUD
17. Psikolog 1 BLUD
18. Aset IT 1 BLUD
19. Satpam 1 BLUD
20. Fisioterapi 1 BLUD
21. Pembuku 1 BLUD
22. Apoteker 1 BLUD
23. Promkes 1 BLUD
24. Bendahara 3 2 PNS; 1 BLUD
25. Pengemudi 1 PNS
26. Pengaman 1 Kontrak daerah
27. Jaga malam 1 BLUD
28. Pramu saji 1 BLUD
Total 58 orang

Kuantitas SDM di Puskesmas Gamping 1 apabila dilihat dari standar ketenagaan


puskesmas berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 tahun 2014 sudah sangat
mencukupi. Namun dalam prakteknya, masih banyak tenaga kesehatan yang mengeluh bahwa
SDM kesehatan masih belum mencukupi kebutuhan Puskesmas, terutama setelah era JKN
(Jaminan Kesehatan Nasional) dimana jumlah kunjungan puskesmas lebih banyak dibandingkan
dengan sebelum era JKN. Kekurangan SDM kesehatan ini disebabkan karena moratorium PNS
sehingga tidak adanya penerimaan pegawai baru sebagai pengganti pegawai lama yang sudah tidak
bertugas.

“Ya karena kalau pensiun kita tidak ada yang ngganti, kan kita ga ada penerimaan pegawai,
PNS. Jadi kita ga ada ini… Ga ada petugas pengganti.” (SH, 127-131)

“Cuma SDMnya yang tidak banyak, SDM itu ra oleh diangkat angkat dadi PNS gitu lho.”
(SS, 119-121)

Moratorium Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) adalah penundaan sementara penerimaan
PNS di Indonesia (Skripsi Siagian, 2017). Kebijakan ini diterapkan untuk penataan jumlah,
kualitas dan distribusi PNS, yang bertujuan untuk audit organisasi dan penataan SDM sesuai
dengan rencana strategi pembangunan, juga redistribusi pegawai baik secara internal maupun
lintas instansi berdasarkan hasil perhitungan analisis jabatan dan analisis beban kerja (ANJAB
ABK) (Permenpan No 36, 2018).

Menurut Rakhmawanto (2010), moratorium dilaksanakan unuk mereview bezetting,


rightsizing dan budgetting dalam rangka mengevaluasi dan memastikan bahwa instansi pemerintah
sudah berjalan efektif dan efisien sesuai fungsinya. Bezetting atau persediaan pegawai merupakan
jumlah pegawai yang telah dimiliki oleh suatu unit kerja pada saat ini. Dalam penetapan formasi
PNS, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu jumlah PNS yang ada (bezetting), jumlah
PNS yang berhenti, pensiun atau meninggal dunia, jumlah PNS yang naik pangkat dan kebutuhan
PNS menurut jabatan dan pendidikannya, dengan memperhatikan analisis kebutuhan pegawai.
Rightzising atau restrukturisasi kelembagaan dilaksanakan agar instansi pemerintah dapat
beroperasi secara efisien, efektif dan produktif, sehingga dapat meningkatkan kinerja pemerintah
dalam meberikan manfaat baik kepada negara maupun kepada masyarakat. Tahap ini dilaksanakan
dengan cara pemetaan kembali dan konsolidasi (regrouping) agar mendapatkan penataan PNS
secara lebih ideal. Budgetting atau anggaran merupakan rencana keuangan untuk jangka waktu
atau periode tertentu di masa yang akan datang. Moratorium beperan sebagai jeda yang dapat
dilakukan oleh instansi untuk mengevaluasi kembali jalannya proses pengadaan, seleksi,
penempatan serta efisiensi anggaran belanja pegawai.
Gambar 4. Kerangka kebijakan moratorium PNS (Rakhmawanto, 2010)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siagian (2017), moratorium PNS memiliki hal
negatif dan juga hal positif dalam pelaksanaannya. Dampak positif yang terjadi adalah timbulnya
penataan atau rekonstruksi pegawai pemerintah yang lebih baik, dan juga menghemat anggaran
belanja pegawai. Sedangkan dampak negatifnya adalah pelaksanaan program kerja yang kurang
efektif karena kekurangan SDM dan meningkatnya pengangguran. Dampak negatif ini terasa di
Puskesmas Gamping 1, dimana setiap petugas memegang lebih dari satu program sehingga fokus
pegawai dapat terpecah, baik untuk pelayanan kesehatan maupun pada saat pelaksanaan program.
Bahkan terkadang pegawai tersebut tidak bisa melakukan pelayanan kesehatan seharusnya karena
harus menjalankan program, sehingga jika pasien sedang ramai terjadi penumpukan pasien.

“… Kemudian selain petugasnya itu terbatas, masing-masing petugasnya itu juga disampiri
dengan tanggung jawab program yang lain. Jadi mungkin mereka kan fokusnya jadi
terpecah kan…” (E, 257-263)

Beban kerja yang bertambah merupakan hal penting yang tidak dapat dilupakan. Beban
kerja mempunyai dampak yang signifikan terhadap kinerja pegawai, dimana beban kerja yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah berhubungan dengan kinerja pegawai yang tidak maksimal. Beban
kerja yang terlalu tinggi dapat memicu ketidakmampuan pegawai untuk mengatasi tekanan,
sehingga atasan seharusnya dapat mengurangi beban kerja. Berkebalikan dengan beban kerja yang
terlalu rendah, pegawai yang mempunyai kemampuan lebih tidak dapat maksimal dalam
menggunakan kemampuannya (Shah et al, 2011). Puskesmas Gamping 1 telah melakuan analisis
jabatan dan analisis beban kerja (ANJAB ABK) untuk mengevaluasi beban kerja pegawai, namun
permasalahan utama tetap pada kurangnya SDM. Hal ini sesuai dengan penelitian Maharani et al
(2014) bahwa peningkatan sumber daya manusia dapat menjadikan pelayanan kesehatan di
puskesmas semakin prima. Namun penambahan SDM tidak serta merta menjadi solusi utama dari
permasalahan yang dihadapi di Puskesmas. Penelitian yang dilakukan di fasilitas kesehatan di
Tanzania oleh Maestad et all (2010) menunjukkan bahwa jumlah petugas yang terdapat di fasilitas
kesehatan tidak secara langsung meningkatkan kualitas atau waktu pelayanan, karena kurangnya
rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diemban.

Dikarenakan jumlah pegawai yang masih kurang, maka penambahan pegawai baru
dilakukan melalui jalur lain yaitu BLUD. Puskesmas Gamping 1 sudah berstatus puskesmas Badan
Layanan Umum Daerah (BLUD), yang merupakan sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana
teknis dinas/badan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Puskesmas memiliki
fleksibilitas atau keleluasaan dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari
ketentuan pengelolaan daerah pada umumnya (Kementrian Dalam Negeri, 2018). Puskesmas
BLUD merupakan satuan kerja kementrian kesehatan, yaitu kantor atau satuan kerja di lingkungan
Kementrian Kesehatan yang berkedudukan sebagai pengguna anggaran/barang atau kuasa
pengguna anggaran/barang, dimana satuan kerja ini menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (PPK-BLU) yang merupakan pola pengelolaan keuangan yang
memberikan fleksibilitas untuk menerapkan praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat (Kementrian Kesehatan RI, 2014).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 tahun 2014, pegawai pada satuan
kerja yang menerapkan PPK-BLU terdiri dari pegawai negeri sipil dan pegawai non-PNS. Pegawai
non-PNS kemudian terbagi lagi menjadi pegawai tetap dan pegawai kontrak, dimana pegawai tetap
adalah pegawai yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh pimpinan BLU dan memiliki nomor
induk pegawai dan pengadaannya dilakukan apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi melalui
pengadaan pegawai negeri sipil. Pengadaan pegawai BLU dilaksanakan melalui tahap perencanaan
terlebih dahulu berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja dan kebutuhan pegawai unit
kerja pada satuan kerja. Sedangkan pegawai kontrak merupakan pegawai dengan perjanjian kerja
yang memenuhi syarat dan diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu.

Puskesmas Gamping 1 mempunyai kurang lebih 10 pegawai BLUD yang dilaksanakan


melalui perekrutan dari dinas dengan menyesuaikan kebutuhan puskesmas. Pegawai BLUD yang
diterima kemudian mendapatkan gaji dari pendapatan BLUD. Pendapatan BLUD bersumber dari
jasa layanan, hibah, hasil kerja sama dengan pihak lain, APBD, APBN dan lain-lain pendapatan
BLUD yang sah antara lain hasil penjualan kekayaan yang tidak dipisahkan, hasil pemanfaatan
kekayaan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah dengan mata uang
asing, dan lain sebagainya (Pemerintah Kabupaten Sleman, 2018).

“Kalau yang BLUD itu misalnya kaya pemeliharaan gedung, gaji sini kan ada BLUD 10…”
(IPO, 95-100)

Namun pengangkatan pegawai BLUD ini juga masih belum menutupi persoalan
kekurangan SDM karena dana puskesmas terbatas sehingga tidak bisa mengangkat lebih banyak
pegawai, sehingga solusi yang dilakukan oleh puskesmas adalah pengoptimalan kerja pegawai.

“… Tapi kita itu diluar jam kantor itu baru bisa mengerjakan pekerjaan sehari-harinya. Jadi
kita pelayanan UKM UKP itu di jam kantor, tiap pagi itu harus ngatur yang pelayanan ke
masyarakat siapa yang pelayanan dalam gedung siapa, kemudian nanti malam itu
programnya apa. Itu kita kasih PR, kita koordinasi di WA group…” (SS, 264-273)

“… Misalkan ada yang cuti atau meninggal nanti dilimpahkan kepada siapa gitu” (TM, 30-
32)

Solusi pengalihan tugas ini disebut juga dengan task shifting, yaitu pendelegasian tugas
untuk pegawai yang sudah ada atau pegawai baru melalui suatu pelatihan tertentu. Task shifting di
fasilitas kesehatan bertujuan untuk meningkatkan layanan perawatan kesehatan atau sebagai
alternatif untuk memberikan pelayanan kesehatan yang sama dengan kualitas tertentu dan biaya
yang lebih rendah, namun dapat menimbulkan masalah lain yaitu motivasi pegawai yang perlu
dijaga dan kemampuan serta keterampilan yang perlu diperhatikan sebelum pengalihan tugas
dilakukan (Fulton et al, 2011).

4.1.2.2 Obat-obatan
Pelayanan kefarmasian di puskesmas merupakan faktor penting dari terlaksananya
pelayanan kesehatan yang maksimal. Pelayanan kefarmasian memiliki dua tahapan, yaitu
pengelolaan sediaan farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) dan pelayanan farmasi klinik.
Pelayanan ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74
Tahun 2016.

Dalam kegiatan pengelolaan sediaan farmasi dan BMHP, diperlukan adanya perencanaan,
permintaan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pemusnahan dan penarikan, pengendalian, administrasi dan pemantauan. Perencanaan dilakukan
dengan mempertimbangkan pola penyakit, pola konsumsi sediaan sebelumnya, data mutasi dan
rencana pengembangan. Puskesmas Gamping 1 dalam pengadaan obat mengacu pada formularium
nasional dan formularium kabupaten melalui perencanaan setiap satu tahun sekali bersama dengan
puskesmas lain dan gudang farmasi. Perkiraan kebutuhan dilakukan dengan menghitung metode
konsumsi obat tahun sebelumnya dan tren pemakaian obat dan BMHP. Pengadaan sediaan farmasi
dan BMHP di luar dinas disesuaikan dengan kebutuhan Puskesmas Gamping 1, yaitu bahan gigi
dan bahan lab yang memang tidak disediakan oleh Dinas Kesehatan dengan menggunakan sumber
dana BLUD.

“… formularium kabupaten sudah mengacu ke formularium nasional. Jadi sudah


disesuaikan dengan formularium yang ada disusun oleh pusat…” (M, 141-145)

Untuk obat-obatan yang tersedia di Puskesmas Gamping 1 dalam penggunaannya sudah


mencukupi untuk kebutuhan pelayanan farmasi karena pengadaan dari Dinas Kesehatan sudah
mengacu formularium nasional. Jika ada obat khusus permintaan dokter, maka bagian farmasi
akan berupaya untuk mencari subtitusi dari obat lain yang mempunyai fungsi yang sama.
Pengadaan obat dengan mengacu pada Fornas merupakan salah satu upaya pemerintah untuk
menjaga mutu dan cost effective, serta solusi pencegahan korupsi dari pengadaan obat (Winda,
2018).

Kendala yang dialami oleh bagian farmasi adalah keterlambatan distribusi obat dari UPT
POAK sehingga pelayanan kefarmasian menjadi sedikit terganggu. Namun Puskesmas Gamping
1 sudah menyediakan anggaran tersendiri jika persediaan obat sudah benar-benar habis, sehingga
tidak perlu menunggu ketersediaan obat dari UPT POAK.
“… Misal ada kasus di sana habis, padahal itu obat yang esensial seperti obat batuk gitu,
datengnya agak lama. Jadi kita perlu pengadaan sendiri, biasanya pakai dana tersebut. Jadi
memang di anggaran itu sudah ada dana mendadak atau dana yang insidental gitu lah…”
(M, 104-112)

Sarana dan prasarana yang tersedia di Puskesmas Gamping 1 sudah mendukung pelayanan
kefarmasian. Sarana dan prasarana yang tersedia adalah ruang obat dan gudang penyimpanan obat.
Untuk ruang obat sendiri terdiri dari bagian penerimaan resep, bagian pelayanan resep dan
peracikan, bagian penyerahan obat, ruang konseling, bagian penyimpanan obat dan BMHP dan
bagian arsip.

Terdapat sarana dan prasarana penunjang yang terdapat di ruang obat dan gudang
penyimpanan obat. Sarana dan prasarana tersebut antara lain 1 set meja dan kursi, komputer, rak
obat, meja peracikan dan peralatan peracikan obat lainnya. Sarana dan prasarana ini sudah dapat
digunakan secara maksimal oleh pegawai kefarmasian sehingga memudahkan dalam pelayanan
kefarmasian.

“… Karena kita sistemnya sudah less paper tidak perlu pakai resep manual jadi membantu
sekali dalam pelayanan, itu juga etiketnya sudah pakai stiker tidak perlu tulis tangan jadi
mempercepat. Tidak terlalu membebani.” (M, 398-405)

Gambar 5. Ruang obat Puskesmas Gamping 1


4.1.2.3 Laboratorium

Laboratorium Puskesmas Gamping 1 menyediakan pelayanan pemeriksaan dasar seperti


hematologi, kimia klinik, mikrobiologi dan parasitologi, imunologi, urinalisa dan feses.
Kemampuan pemeriksaan, alat dan metode yang tersedia atau digunakan di puskesmas sudah
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Laboratorium Puskesmas. Standar ini ditetapkan agar puskesmas dapat memberikan pelayanan
laboratorium yang maksimal.

Reagen yang digunakan adalah reagen yang sudah disediakan oleh Dinas Kesehatan, yang
dalam perencanaannya ditentukan oleh laboran di puskesmas yang masih dalam satu wilayah
tersebut. Jika ada reagen yang tidak dapat disediakan oleh dinas, maka puskesmas melakukan
pengadaan sendiri dengan menggunakan dana BLUD.

“Kan sudah ada anggarannya sendiri ya. Yang dari dinas ada sendiri, yang ngga ada di
dinas kita merencanakan sendiri. Nanti kan ada dana yang diluar untuk itu ya, artinya sudah
ada dana yang apabila butuh sewaktu-waktu sudah ada dana sendiri.” (TM, 91-98)

Namun dalam pelaksanaannya terkadang terdapat kendala berupa stok reagen yang kosong
baik di puskesmas maupun di dinas. Stok reagen tersebut kemudian dapat terpenuhi dengan
peminjaman reagen ke puskesmas lain untuk memenuhi kebutuhan atau dengan memundurkan
jadwal pemeriksaan rutin namun tidak merujuk ke tempat lain.

“Jadi kita pinjem NS1 5 di puskesmas lain, nanti kalau kita udah ada drop lagi nanti kita
kembalikan.” (TM, 220-222)

“Ya cuma sementara kosongnya. Misalkan sifilis ya. Sifilis kan didrop dari provinsi.
Misalnya kosong ya kita ga mengerjakan. Nanti kalau misalkan ibu hamil kan dari trimester
pertama sampai keempat. Jadi nanti periksanya cuma mundur, ga pas waktunya.” (TM,
235-242)

Dari segi prasarana, laboratorium Puskesmas Gamping 1 sudah mempunyai area-area yang
dibedakan tiap fungsinya, yaitu loket, area pengambilan sampel dan area pemeriksaan spesimen.
Selain itu, pengaturan mengenai area laboratorium juga sudah memperhatikan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan berupa pemisahan limbah antara limbah
infeksius, limbah non-infeksius, limbah benda tajam dan limbah cair, serta pemisahan penyerahan
sampel dahak melalui bagian luar gedung puskesmas untuk mencegah penularan.

“Itu kan PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi), jadi ini kan ruangan non infeksius,
jadi nanti ga terpengaruh. Sampel dahak kan infeksius, jadi harus lewat belakang.” (TM,
323-327)

Gambar 6. Bagian penyerahan sampel dahak dan limbah medis cair

Kendala lain yang muncul adalah pekerjaan yang menumpuk karena permintaan
pemeriksaan laboratorium yang tinggi karena tidak hanya dari puskesmas namun rujukan dari
pihak lain seperti dokter keluarga. Sehingga hasil pemeriksaan tidak dapat keluar dengan cepat.

“… Tapi kan pasien rujukan dari swasta, jadi bukan dari sini tapi dari dokter keluarga. Jadi
kalau dirujuk kesini kan harus ikut alur di puskesmas. Saya kan juga melayani pasien umum
to jadi numpuk-numpuk. Misalkan periksa urin to, kan hasilnya lama (tertawa).” (TM, 277-
268)

Pemeriksaan laboratorium untuk pasien rujukan atau dari luar puskesmas harus mengikuti
alur kegiatan pemeriksaan yang sudah berjalan di puskesmas, namun tanpa melalui pemeriksaan
dokter puskesmas. Alur kegiatan pemeriksaan laboratorium dijelaskan lebih lanjut pada gambar di
bawah ini.
Gambar 7. Alur Kegiatan Pemeriksaan Laboratorium di Puskesmas (Permenkes No 37, 2012)

4.1.2.4 Sarana dan prasarana lainnya

Sarana dan prasarana lain yang dimiliki oleh Puskesmas Gamping 1 sudah mengikuti
standar yang ditetapkan oleh pemerintah melalui aplikasi sarana, prasarana dan alat kesehatan
(ASPAK). ASPAK adalah suatu aplikasi berbasis web yang disediakan untuk fasilitas pelayanan
kesehatan untuk menghimpun dan menyajikan informasi terkait sarana, prasarana dan alat
kesehatan. Tujuan dari aplikasi ini adalah untuk inventarisasi, pemetaan dan pengawasan terhadap
pemenuhan sarana, prasarana dan alat kesehatan, serta untuk mendukung akreditasi fasilitas
pelayanan kesehatan. ASPAK memuat data-data berupa data umum fasilitas kesehatan, data
fasilitas berupa data bangunan, data ruangan, data prasarana, data peralatan, dan data lainnya.
ASPAK harus selalu diupdate agar sarana, prasarana dan alat yang tersedia dapat terpantau
kuantitasnya (Permenkes no 31, 2018)

Sarana, prasarana dan alat yang dimiliki oleh Puskesmas Gamping 1 sudah tergolong cukup
lengkap, namun karena standar ASPAK merata untuk seluruh puskesmas di Indonesia, maka
terkadang Puskesmas Gamping 1 tidak dapat memenuhi kriteria tersebut karena alat yang dimiliki
puskesmas memiliki standar yang lebih tinggi.
“…tapi gini. Kalau di kita bukan karena jelek, karena bagus. Jadi ada karena jelek ada
karena bagus, karena kelebihan. Kita juga ada aplikasinya.” (SS, 475-478).

Data yang sudah dimasukkan ke dalam ASPAK dapat digunakan untuk berbagai hal, yaitu
penyusunan kebutuhan untuk pemenuhan standar, izin operasional dan penetapan klasifikasi
fasilitas pelayanan, izin operasional dan penetapan klasifikasi, pengembangan pelayanan, serta
penilaian akreditasi (Permenkes no 31, 2018). ASPAK diharapkan dapat menjadi sarana bagi
fasilitas kesehatan untuk mengevaluasi sarana dan prasarana, karena ketersediaan sarana dan
prasarana yang memadai menjadi penting untuk menunjang pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Selain kelengkapan sarana dan prasarana, aspek penting yang perlu diperhatikan adalah
pemanfaatan sarana dan prasarana tesebut secara maksimal. Puskesmas Gamping 1 sudah
menggunakan komputer untuk pelaporan sehingga mempermudah pekerjaan pegawai. Hal ini
sejalan dengan penelitian Ristiani (2017) bahwa ketersediaan sarana dan prasarana di fasilitas
kesehatan signifikan memengaruhi kepuasan pasien, namun sarana dan prasarana yang lengkap
dan berfungsi optimal dapat secara nyata menunjang pencapaian tingkat kepuasan pasien.

4.1.3 Pencapaian SPM Bidang Kesehatan Puskesmas Gamping 1

Standar Pelayanan Minimal secara keseluruhan tercantum dalam Peraturan Pemerintah


Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018. SPM bidang kesehatan diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 43 tahun 2016, yang kemudian diatur lebih lanjut di wilayah Kabupaten Sleman
melalui Peraturan Bupati Sleman Nomor 10.1 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan Kabupaten Sleman, yang menyatakan bahwa pemerintah daerah
menyelenggarakan pelayanan dasar kesehatan sesuai SPM bidang kesehatan, meliputi SPM wajib
dan SPM pengembangan. SPM wajib terlampir dalam Perbup 10.1 tahun 2018, menerangkan 12
indikator SPM wajib bidang kesehatan sesuai dengan Permenkes Nomor 43 tahun 2016, sedangkan
SPM pengembangan diatur lebih lanjut oleh kepala dinas kesehatan melalui Surat Keputusan
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman Nomor 188/DKS/2018 tentang Standar Pelayanan
Minimal Pengembangan Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. SPM pengembangan ini ditetapkan
dengan tujuan untuk menilai mutu pelayanan kesehatan dan mengevaluasi apakah pelaksanaan
kegiatan mencapai tujuan yang diharapkan atau tidak.
Perbedaan antara SPM wajib dan SPM pengembangan adalah terdapat 33 indikator dalam
SPM pengembangan, dimana dalam indikator-indikator tersebut sudah memuat SPM wajib namun
ditambahkan indikator lain berdasarkan pertimbangan bahwa SPM bidang kesehatan nomor 43
tahun 2016 belum mencakup semua program kesehatan (Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman,
2018).

Pencapaian SPM kesehatan di Puskesmas Gamping 1 berdasarkan Permenkes No 43 tahun


2016 pada semester 1 tahun 2018 adalah sebagai berikut.

120%

100%

80%

60%

40%

20%

0%

Gambar 8. Grafik Pencapaian SPM Semester I tahun 2018 Puskesmas Gamping I

Dari grafik tersebut, dapat dilihat bahwa tidak semua indikator mencapai target yang sudah
ditetapkan. Indikator yang sudah mencapai target hanya sejumlah 4 indikator dari total 12
indikator, yaitu pelayanan kesehatan ibu bersalin, pealyanan kesehatan bayi baru lahir, pelayanan
kesehatan orang dengan gangguan jiwa berat, dan pelayanan kesehatan orang dengan risiko
terinfeksi HIV. Tidak tercapainya target ini dikarenakan adanya beberapa kendala selama
pelaksanaan program SPM.
Pada indikator pelayanan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin dan bayi baru lahir tergabung
menjadi satu program yaitu program KIA. Data sekunder menunjukkan bahwa pada indikator ini
sudah menunjukkan hasil yang baik dan memenuhi target. Berikut ini merupakan capaian yang
telah diperoleh untuk program KIA pada SPM pengembangan Puskesmas Gamping 1 tahun 2018.

120%

100%

80%

60%

40%

20%

0%
Pelayanan Pelayanan KB Pemberian ASI
kesehatan ibu eksklusif
nifas

Gambar 9. Pencapaian SPM pengembangan program KIA Puskesmas Gamping 1

Metode yang digunakan oleh Puskesmas Gamping 1 untuk mencapai hasil 100% adalah
melalui screening untuk setiap ibu hamil disertai dengan data checklist layanan ANC. Selain itu,
kerjasama dengan pihak di luar puskesmas, seperti klinik, bidan praktek swasta atau rumah sakit
yang terdapat pada wilayah kerja Puskesmas Gamping 1.

“Ya itu tadi. Kalau kita di puskesmas itu harus menscreening setiap ibu hamil itu apakah
sudah mendapatkan layanan ANC terpadu itu atau belum, nah kita itu ada checklistnya
untuk setiap ibu hamil itu apakah sudah sudah mendapatkan layanan ANC tahap terpadu
atau belum. Apabila belum ya jika sudah saatnya diperiksa ya kita berikan layanan. Selain
itu, ya itu tadi. Kita bekerjasama dengan pihak swasta untuk membantu programnya
pemerintah dalam rangka mencapai SPM ini.” (E, 101-115)

Kendala utama dalam pelaksanaan program KIA selain SDM yang kurang adalah faktor
fasilitas kesehatan di luar puskesmas yang juga menyediakan pelayanan kesehatan ibu hamil,
karena program pemerintah terutama untuk mendukung terlaksananya SPM masih dirasa kurang
tersosialisasikan dengan baik, sehingga berdampak pada pelaporan ke puskesmas.
“Nek kalau lingkungan itu faskes swasta karena belum banyak terpapar kebijakan-
kebijakan pemerintah kan, mungkin kurang mendukung. Seperti layanan ANC terpadu itu,
kalau pihak swastanya tidak tahu program-program pemerintah kan jadi akhirnya ga
mendukung, ga laporan juga.” (E, 276-287)

Solusi yang sudah dilakukan Puskesmas Gamping 1 terkait kerjasama dengan pihak luar
puskesmas adalah melalui kegiatan jejaring, yaitu koordinasi dan komunikasi untuk data laporan
ibu hamil, kemudian juga dilakukan monitoring dan evaluasi sehingga target bisa dicapai secara
maksimal.

Pada indikator TB, Puskesmas Gamping 1 memperoleh 46% dari target 100% untuk SPM
kesehatan. Untuk SPM yang mengacu Permenkes nomor 43 tahun 2016, indikator pelayanan
kesehatan orang dengan tuberkulosis sendiri mempunyai pengertian berupa pelayanan yang
diberikan oleh seluruh orang dengan TB yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai
kewenangannya di FKTP atau FKTL baik pemerintah maupun swasta. Pelayanan ini mencakup
penegakkan diagnosis secara bakteriologis dan klinis serta pemeriksaan pemantauan kemajuan
pengobatan pada akhir pengobatan intensif, bulan ke 5 dan akhir pengobatan.

Berdasarkan pernyataan narasumber, untuk pengobatan TB sudah mencapai 100%, yang


artinya tidak ada pasien yang mengalami DO (drop out) saat pengobatan. Namun untuk penemuan
kasus TB tidak bisa mencapai target.

“100% itu dari yang apa? Dari pengobatan yang kesembuhan to? Kalau yang penemuan itu
70% atau 90% ya saya lupa. Kalau pengobatan kita sudah 100%. Ngga ada yang DO.” (R,
81-86)

Masalah utama dari program TB adalah kurangnya SDM terutama untuk laboran.
Berdasarkan standar ketenagaan puskesmas yang terdapat di Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
75 Tahun 2014, sebenarnya jumlah ahli teknologi laboratorium medik sudah mencukupi. Namun
permintaan untuk pemeriksaan laboratorium tidak hanya dilakukan oleh bagian tertentu saja,
namun semua bagian seperti BP umum, KIA, MTBS dan lain sebagainya, sehingga hasil
pemeriksaan BTA untuk TB biasanya selesai dalam waktu 3 sampai 4 hari.
“Ya mungkin kita bisa sambi. Jadi buat preparat nanti setelah jam 12. Nanti kalau kita
mengecat pagi-pagi, nanti kita lihat di mikroskop kita sambi kalau pas-pasan selo ya baru
dikerjakan” (TM, 304-309)

Kendala lain yang dialami pada program TB selain kurangnya SDM adalah dari faktor
pasien. Petugas laboran atau dokter sebenarnya sudah memberitahu bagaimana cara mengeluaran
dahak, namun pasien terkadang tidak bisa mengeluarkan dahak, tidak menyerahkan pot dahak,
atau salah dalam mengeluarkan spesimen dahak sehingga hasil pemeriksaan laboratorium tidak
dapat maksimal.

Solusi dari kendala yang dialami adalah dengan edukasi mengenai mengeluarkan dahak
dari pemegang program TB atau dari pihak laboran. Selain itu untuk memantau kepatuhan minum
obat penderita TB, Puskesmas Gamping 1 memiliki program SMS gateway, yaitu sms pengingat
yang dikirimkan setiap hari sekitar jam 5 pagi untuk pasien-pasien tertentu, termasuk pasien TB,
untuk meminum obat. Program SMS gateway ini merupakan program dari bagian farmasi
Puskesmas Gamping 1 yang digunakan tidak hanya di program TB, namun pada program lainnya
seperti kesehatan lingkungan, KIA, gizi, dan lain sebagainya.

4.2 Kabupaten Magelang

Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Jawa
Tengah dan berbatasan dengan beberapa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dan DIY. Pada
bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali, pada bagian
selatan berbatasan dengan Kabupaten Purworejo dan DIY, pada bagian barat berbatasan dengan
Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo, dan pada bagian utara berbatasan dengan
Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang. Selain itu, Kabupaten Magelang juga
berbatasan dengan Kota Magelang yang terdapat di tengah (Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang
profil kes magelang, 2017).
Gambar 10. Peta Kabupaten Magelang (Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang profil kes
magelang, 2017).

Kabupaten Magelang terbagi menjadi 21 kecamatan yang terdiri dari 367 desa dan 5
kelurahan dengan luas sekitar 1.085,73 km2 atau 3,34% dari luas wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Salaman merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Magelang dengan luas wilayah
68,87 km2, jumlah penduduk sekitar 69.901 jiwa, kepadatan sekitar 1014,97 km2 (Dinas Kesehatan
Kabupaten Magelang profil kes magelang, 2017).

4.2.1 Profil Puskesmas Salaman 1

Kabupaten Magelang memiliki sejumlah 29 puskesmas yang tersebar di berbagai


kecamatan, salah satu diantaranya adalah Puskesmas Salaman 1. Luas wilayah kerja Puskesmas
Salaman 1 adalah 38,89 km2 dan memiliki batas wilayah puskesmas sebagai berikut:

Utara : Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang

Selatan : Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo dan Kecamatan Samigaluh, Daerah


Istimewa Yogyakarta.

Barat : Wilayah kerja Puskesmas Salaman 2

Timur : Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang

Wilayah kerja Puskesmas Salaman 1 mencakup 10 desa dari total 20 desa yang terdapat di
Kecamatan Salaman, yaitu desa Salaman, Kalisalak, Menoreh, Kalirejo, Paripurno, Ngargoretno,
Ngadirejo, Sidomulyo, Kebonrejo dan Banjarharjo. Kondisi geografis di wilayah kerja Puskesmas
Salaman 1 sebagian besar adalah pegunungan. Keadaan penduduk di wilayah kerja Puskesmas
Salaman 1 pada tahun 2018 adalah sebagai berikut:

Jumlah penduduk : 45.564 jiwa

Laki-laki : 22.821 jiwa (50,08%)

Perempuan : 22.743 jiwa (49,91%)

Jumlah rumah tangga : 13.839 KK

Kepadatan penduduk : 14.388,16 jiwa/km2

4.2.2 Analisis Sumber Daya Non Finansial Puskesmas Salaman 1

4.2.2.1 Sumber Daya Manusia (SDM)

b. Kuantitas SDM

Tabel 6. Data ketenagaan Puskesmas Salaman 1 per 1 Januari 2018

No Kategori Tenaga Jumlah


1. Kepala puskesmas 1
2. Kasubag TU 1
3. Dokter spesialis -/-/-
dalam/anak/obsgyn
4. Dokter umum 4
5. Dokter gigi 1
6. Bidan desa 10
7. Bidan puskesmas/PONED/THL 3/6/3
8. Perawat PNS/THL 18/10
9. Pelaksana keperawatan 4
10. Perawatan gigi -
11. Administrasi umum 8
12. Promosi kesehatan 1
13. Perekam medis 1
14. Nutrisionis 2
15. Sanitarian 2
16. Pranata labkes 2
17. Apoteker/Ass. Apoteker 1/3
18. Radiografi 1
19. Teknisi elektromedis 1
20. Verifikator keuangan 1
21. Pengadministrasi kepegawaian 1
22. Pengadministrasi keuangan 3
23. Petugas kebersihan PNS/THL 3/6
24. Penjaga kantor (PNS/THL) 3/1
25. Pengemudi (THL) 2
26. Tenaga dapur THL 6
27. Petugas cuci THL 1
28. Juru malaria desa 4
Total 114

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 tahun 2014, jumlah pegawai di


Puskesmas Salaman 1 sudah lebih dari cukup. Namun jumlah ini masih terasa kurang jika
dibandingkan dengan program puskesmas yang harus dijalankan. Selain itu, kebijakan moratorium
PNS di Puskesmas Salaman 1 juga berdampak pada kurangnya kuantitas SDM dan bertambahnya
beban kerja, sehingga Puskesmas Salaman 1 harus mengoptimalkan SDM yang ada.

“Iya, nah itu moratorium sampai bertahun-tahun, jadi kita sama sekali ngga ada pengadaan
CPNS. Jadi ya pegawai yang ada itu yang diberdayakan. Jadi untuk volume pekerjaan
misalkan ada yang pensiun atau ada yang meninggal, pekerjaannya ya diampu yang ada.
Artinya volume pekerjaannya yang tambah, tapi untuk kuantitas dari SDMnya ngga
tambah. Beban kerjanya yang nambah.” (G, 84-95)

Kinerja pegawai dapat ditingkatkan melalui beberapa hal, salah satunya adalah beban kerja.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tjiabrata (2017), terdapat adanya pengaruh yang
signifikan antara beban kerja terhadap kinerja karyawan. Namun di Puskesmas Salaman 1, masih
terdapat adanya beban kerja yang tidak merata, ini dikarenakan kualitas SDM yang menjadi
kendala dalam pelayanan puskesmas. Kemampuan setiap SDM yang tidak sama, terutama untuk
pengoperasian komputer atau penggunaan internet. Dalam pelayanan kesehatan sekarang,
penggunaan internet sangat diperlukan karena sistem yang sudah paper less untuk memudahkan
pendataan dan juga pelaporan.

Penambahan pegawai melalui perekrutan BLUD sendiri tidak dapat dilakukan oleh
Puskesmas Salaman 1 karena peraturan bupati untuk daerah Magelang masih belum disahkan.
Maka dari itu, solusi yang dilakukan puskesmas adalah mengangkat pegawai wiyata bakti.
Pengadaan pegawai wiyata bakti atau pegawai tidak tetap dilakukan mandiri oleh puskesmas,
dengan gaji menggunakan pendapatan Puskesmas Salaman 1.

“… Tapi 2017 itu statusnya di magelang pun masih bertahap. Tahun 2018 itu sudah
menjadi penuh. Jadi secara otomastis tidak berlaku kan karna beda status. Lah gek sadar
saiki nggawe saiki jadi tahun ini buat 2, 2018 dan 2019.” (H, 109-119)

“Kita belum. Perbupnya belum ada jadi kita belum menerima. Hanya ada tenaga wiyata
bakti…” (G, 39-41)

Puskesmas Salaman 1 sebagai puskesmas rawat inap tentu memerlukan pegawai yang lebih
banyak dibandingkan dengan puskesmas rawat jalan, termasuk diantaranya untuk shift malam.
Namun untuk pelayanan, khususnya untuk shift malam, sudah dirasa mencukupi karena terbantu
oleh tenaga internship.

“Iya ada jadwalnya digilir. Tapi kan 4 dokter itu agak susah buat shift malem, jadi yang
jaga malem itu dokter Fitri karena dia kan ada di rumah dinas sini. Tapi untuk yang terjun
ke lapangan langsung internship, nanti kalau ada apa-apa on call sama bu Fitri.” (M, 232-
239)

Lain halnya untuk bagian kefarmasian, tenaga farmasi belum bisa memenuhi permintaan
puskesmas untuk mengadakan piket di UGD puskesmas karena jumlah pegawai yang terbatas dan
juga kesibukan lain. Maka dari itu pekerjaan kefarmasian di UGD dilakukan oleh petugas UGD.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2016, penyelenggaraan pelayanan
kefarmasian di puskesmas minimal harus dilaksanakan oleh 1 orang tenaga apoteker dan dibantu
oleh tenaga teknis kefarmasian sesuai dengan kebutuhan. Namun karena keterbatasan, pelayanan
kefarmasian tidak dapat dilakukan secara maksimal dan harus dilakukan oleh petugas lain.

4.2.2.2 Obat-obatan

Regulasi yang mengatur pengadaan sediaan farmasi dan BMHP di Puskesmas Salaman 1
adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian. Peraturan ini sudah mencakup mulai dari pengadaan hingga pelayanan farmasi klinik
kepada pasien.

“Kalau kita pakai permenkes 74 tentang standar pelayanan minimal kefarmasian di


puskesmas.” (W, 4-6)

Untuk pengadaan obat-obatan, Puskesmas Salaman 1 membuat formularium puskesmas


yang mengacu pada formularium nasional, e-katalog, dan DOEN. Penyusunan formularium
puskesmas dilakukan sebagai upaya penyesuaian dari ketiga sumber acuan tadi dan juga obat-obat
yang tidak disediakan oleh Dinas Kesehatan, karena Puskesmas Salaman 1 merupakan puskesmas
rawat inap yang membutuhkan lebih banyak sediaan farmasi dan BMHP dibandingkan dengan
puskesmas rawat jalan biasa.
Pengadaan Penerimaan Penyimpana Pendistribus Monitoring
Obat dan n ian & Evaluasi
BMHP
•Pengadaa •Laporan •Penyimpa •Distribusi •Pengecek
n Dinkes penerima nan ke ke sub an obat
•Pengadaa an barang gudang unit berkala
n sendiri obat puskesma •Pelaporan
•Pelaporan s ke dinkes
dengan •Pelaporan
kartu stok

Gambar. Alur Pengelolaan Sediaan Farmasi dan BMHP Puskesmas Salaman 1

Kendala yang ada di bagian farmasi adalah dari pengadaan obat, baik dari dinas maupun
pengadaan sendiri. Tidak semua obat yang terdapat di e-katalog sesuai dengan formularium
nasional dan DOEN, sehingga dinas tidak bisa mengadakan obat tersebut. Hal ini sejalan dengan
penelitan Winda (2018) yang menyatakan bahwa tidak semua item obat di Fornas tayang di e-
katalog meskipun telah mengalami peningkatan setiap tahun. Hal ini disebabkan karena data
Rencana Kebutuhan Obat (RKO) dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang diajukan oleh
Kementrian Kesehatan sehingga terjadi gagal lelang dan obat yang dibutuhkan tidak tersedia.
Padahal obat-obatan yang tidak tersedia di e-katalog harus disediakan sendiri oleh puskesmas dan
memerlukan dana yang lebih besar.

Pengadaan obat sendiri oleh puskesmas juga menjadi kendala lain. Pemasok obat dari
perusahan farmasi tidak banyak yang bersedia untuk menyediakan obat ke puskesmas karena
birokrasi yang lebih rumit dibandingkan dengan apotek. Juga terkadang obat-obatan yang
ditawarkan tidak sesuai dengan permintaan puskesmas. Selain itu, dana yang terbatas menjadikan
puskesmas tidak bisa melengkapi obat-obatan yang dibutuhkan.

“Kalau di puskesmas kan kelengkapan birokrasi butuh lebih banyak ya. Ada tanda tangan
panita pengadaan, ada SPJ, ada pajak ini pajak itu. Jadi kadang beberapa supplier ngga mau
masuk puskesmas karena administrasinya lebih ribet.” (W, 119-125)

Solusi yang telah dilakukan oleh puskesmas adalah menentukan obat prioritas yang akan
dilakukan pengadaan sendiri jika obat tersebut tidak terdapat di dinas. Puskesmas Salaman 1 juga
melakukan relokasi obat-obatan yang berasal dari dinas dengan cara mengambil stok persediaan
obat dari puskesmas lain. Hal itu selain berguna untuk memenuhi kebutuhan obat Puskesmas
Salaman 1, juga membantu puskesmas lain untuk menghabiskan stok obat dan menghindari obat
yang kadaluwarsa. Namun jika stok obat di puskesmas lain juga sedikit, maka tidak dilakukan
relokasi obat tetapi hanya peminjaman obat, sehingga Puskesmas Salaman 1 wajib mengembalikan
obat tersebut.

Ruangan farmasi di Puskesmas Salaman 1 sudah terbagi berdasarkan fungsinya masing-


masing. Ini sesuai dengan Permenkes Nomor 74 tahun 2016 mengenai sarana prasarana ruang
obat. Selain itu, disediakan juga gudang obat yang terletak tidak jauh dari ruang obat.

Gambar 11. Tampak depan ruang farmasi Puskesmas Salaman 1

Sarana dan prasarana yang terdapat di gudang obat Puskesmas Salaman 1 masih belum
mencukupi. Dari hasil observasi dan wawancara, didapatkan hasil bahwa lemari penyimpanan
NAPZA masih menggunakan lemari kayu biasa, sedangkan seharusnya obat narkotika dan
psikotropika harus menggunakan lemari khusus. Hal ini dikarenakan dana yang terbatas sehingga
pemenuhan sarana dan prasarana tidak bisa maksimal. Selain itu, perpindahan status Puskesmas
Salaman 1 menjadi rumah sakit juga menjadi salah satu alasan karena sarana dan prasarana yang
diprioritaskan untuk diganti atau dibeli menjadi banyak.

4.2.2.3 Laboratorium
Dari segi sarana dan prasarana, laboratorium Puskesmas Salaman 1 belum memenuhi
standar sesuai dengan peraturan yang diacu, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 tentang
Penyelenggaraan Laboratorium Puskesmas, karena di dalam ruangan laboratorium belum terdapat
adanya blower. Namun selain itu sudah memenuhi kriteria yang ditentukan. Penyimpanan reagen
sudah dilakukan di rak khusus, tempat yang kering dan dibedakan menurut jenisnya. Ruang
penyimpanan reagen terdapat di dalam ruangan laboratorium Puskesmas Salaman 1.

“Karena kita kan pasang AC, itu kan harus dikeluarkan lewat blower itu.” (T, 193-195)

Gambar 12. Laboratorium Puskesmas Salaman 1

Kendala lainnya yang dialami untuk pelayanan laboratorium adalah distribusi reagen dari
Dinas Kesehatan yang jumlahnya sangat sedikit sehingga tidak mencukupi untuk kebutuhan
puskesmas, sehingga puskesmas harus melakukan pengadaan mandiri untuk reagen-reagen yang
dibutuhkan.

“Jadi kalau dari dinas, kita ngajukan umpama ya, 10 gitu nanti diacc nya 1. Padahal kita
ngajukan 1 tahun ya, kita perencanaan 1 tahun. Tapi kalau dari dinas itu… Mungkin dinas
juga, istilahnya dibagi-bagi lah sama puskesmas lain jadi ngga cukup setahun, paling cuma
cukup sebulan lah.” (T, 23-32)

4.2.2.4 Sarana dan prasarana lainnya


Sarana dan prasarana yang terdapat di Puskesmas Salaman 1 sudah terdata pada ASPAK
sesuai dengan Permenkes nomor 31 tahun 2018. Dalam praktiknya, mengacu pada Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 75 tahun 2014 tentang Puskesmas, sarana dan prasarana di Puskesmas
Salaman 1 sudah mencukupi sarana dan prasarana minimal, namun karena Puskesmas Salaman 1
adalah puskesmas rawat inap dan akan berubah menjadi rumah sakit, terkadang ada beberapa
sarana prasarana yang belum mencukupi.

“Karena dananya itu yang terbatas. Pelayanannya sudah seperti rumah sakit, tetapi untuk
anggarannya itu seperti puskesmas.” (G, 167-170)

Pada ruangan poli TB yang tersedia di puskesmas, masih ditemukan adanya


ketidaksesuaian dengan standar yang ada pada Pedoman Teknis Bangunan dan Prasarana Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama untuk Mencegah Infeksi yang Ditransmisikan Oleh Udara,
karena cahaya masih terhalangi untuk masuk.

“Kalau ruangan ngga ya. Karena kan memang harusnya ada poli TB, tapi di sini kan mau
jadi rumah sakit. Jadi ada ruangan itu ya kita pakai dulu.” (K, 298-302)

Gambar 13. Poli TB Puskesmas Salaman 1

Kendala lainnya yang dihadapi adalah dari bagian kefarmasian. BMHP berupa infus set
yang dikirim oleh Dinas Kesehatan dikirim pada satu waktu, sehingga infus set harus diletakkan
di luar gudang obat. Hal ini mengakibatkan infus set tersebut diletakkan di ruangan tidak terpakai
sehingga tidak sesuai standar kefarmasian yang berlaku. Namun hal ini akan diperhitungkan untuk
pembangunan rumah sakit sebagai pengganti puskesmas, sehingga puskesmas terpaksa untuk
meletakkan infus set sementara di ruangan tersebut.

Sarana dan prasarana berupa komputer dan jaringan internet juga terkadang menimbulkan
masalah dalam pelayanan di puskesmas. Terdapat beberapa faktor yang berperan, yaitu server
yang bermasalah dan aplikasi yang terkadang tidak berfungsi sehingga pada saat input data
menjadi tidak terbaca. Beberapa fasilitas pendukung seperti komputer, laptop atau printer juga
tidak tersedia pada beberapa bagian, sehingga harus menggunakan laptop dari bagian lain atau
menggunakan laptop sendiri. Solusi terkait kendala ini adalah dengan back up data secara manual
menggunakan laptop tanpa diinput pada aplikasi.

“… kemarin ikut di laptop bendahara, dan itu kan bendahanya juga pakai ya, kalau kita
nebeng dan mau entry tapi akhirnya error kan jadinya juga ngga berjalan di sini” (W, 432-
436)

4.2.3 Pencapaian SPM Bidang Kesehatan Puskesmas Salaman 1

250.00%

200.00%

150.00%

100.00%

50.00%

0.00%

Gambar 14. Capaian SPM Puskesmas Salaman 1 tahun 2018


Regulasi SPM yang digunakan oleh Puskesmas Salaman 1 adalah Permenkes No.
741/MENKES/SK/IX/2008 dan Permenkes Nomor 43 Tahun 2016. Kedua peraturan ini masih
digunakan bersamaan karena perintah penggunaan SPM yang belum jelas.

“Ya gimana ya karena perintahnya masih ada jadi kita nurut saja sih, mungkin tahun depan
kita sudah pakai yang Permenkes 2016 aja. Jadi untuk sekarang memang kita bikin
laporannya 2 untuk masing-masing permenkes.” (F, 63-67)

Terdapat beberapa indikator yang tidak mencapai target 100% jika dilihat melalui data
sekunder, antara lain pelayanan kesehatan ibu hamil, pelayanan kesehatan balita, pelayanan
kesehatan pada usia produktif, pelayanan kesehatan pada penderita hipertensi, pelayanan
kesehatan orang dengan TB, dan pelayanan kesehatan orang dengan risiko terinfeksi HIV.

Pada indikator pelayanan kesehatan penderita diabetes melitus, setiap penderita diabetes
melitus di wilayah kerja harus mendapatkan pelayanan sesuai standar. Artinya pelayanan
kesehatan diberikan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan mencakup empat pilar
penatalaksanaan, pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan HbA1C, dan kewajiban masuk
menjadi peserta JKN. Puskesmas Salaman 1 untuk indikator ini sudah memperoleh capaian yang
sangat baik, yaitu sebesar 170,33% pada tahun 2018. Metode yang digunakan oleh pelaksana
program antara lain screening penderita di BP umum atau dari bidan desa yang menemukan pasien
suspek diabetes melitus. Target ini juga bisa diraih karena prolanis merupakan program yang sudah
terjadwal secara pasti sehingga pasien yang datang sudah bisa memenuhi target.

“Kalau untuk sementara ini belum ada kunjungan rumah ya, karena banyak sekali kan
pasiennya. Kalau yang ada kunjungan rumahnya itu TB, kalau yang DM itu belum ada.
Paling kalau ada tetangganya yang pegawai sini paling diajak atau diingatkan. Atau dari
bidan desa, kan bidan desa gitu menyebar ya, jadi bidan desa yang mengingatkan. Tapi
kalau kunjungan rumah khusus belum ada programnya.” (M, 206-218)

Sedangkan untuk indikator program TB, masih belum mencapai target. Capaian SPM pada
tahun 2018 untuk indikator TB hanya meraih 37,78%. Kendala yang dihadapi pada program ini
adalah tidak ditemukannya pasien TB walaupun sudah terdapat beberapa program terkait TB,
antara lain penyuluhan, screening melalui kader TB, mahasiswa dan juga bidan desa, kunjungan
rumah pada penderita TB, dan lain-lain. Dari hasil evaluasi dan monitoring, dimungkinkan target
yang wajib dicapai terlalu tinggi sehingga Puskesmas Salaman1 tidak dapat mencapai angka
tersebut.

“…Targetnya tinggi mbak. Padahal kita sudah berusaha maksimal…” (K, 8-14)

Selain program internal yang sudah dilakukan oleh Puskesmas Salaman 1, terdapat juga
program eksternal yang dilakukan oleh Puskesmas Salaman 1, yaitu kerjasama lintas sektoral dan
kerjasama dengan LSM khusus untuk menscreening penderita TB. Kerjasama LSM ini merupakan
kerjasama di luar dinas kesehatan dan sudah dilakukan pada beberapa puskesmas di Kabupaten
Magelang dan tujuan untuk menemukan penderita TB.

“… ada LSM sendiri. Ini dibiayai dari global fund. Jadi dia itu minta kader, nanti dia yang
mendidik, kemudian dari LSMnya itu minta data dari saya, kadernya itu suruh
mengunjungi kotak-kotak yang BTA positif dari data 2018. Mulai bulan ini baru
berjalan.” (K, 146-153)

4.3 Kendala dan Solusi Pencapaian Target SPM dalam Pelayanan Puskesmas

4.3.1 Kendala dan Solusi Pencapaian Target SPM Puskesmas Gamping 1

Berdasarkan observasi, wawancara dan data sekunder, kendala dalam pencapaian SPM dan
solusi yang sudah dilakukan oleh Puskesmas Gamping 1 adalah sebagai berikut.

Tabel 7. Kendala dan Solusi Capaian Target SPM Puskesmas Gamping 1

Kendala dalam pencapaian SPM Solusi yang ditawarkan


SDM
1. Pembatasan SDM karena 1. Pengangkatan pegawai BLUD
moratorium dengan dana puskesmas
2. Beban kerja meningkat 2. Pelaksanaan ANJAB ABK
3, Task shifting
4. Pengoptimalan pegawai
Obat-obatan
1. Distribusi obat dari Dinas 1. Pengadaan obat dengan dana
Kesehatan terlambat puskesmas
2. Evaluasi ketersediaan obat dan stok
obat
Laboratorium
1. Stok reagen habis 1. Pengadaan sendiri oleh puskesmas
2. Peminjaman reagen ke puskesmas
lain
3. Memundurkan jadwal cek
laboratorium
4. Evaluasi ketersediaan dan stok
reagen
2. Penumpukan pekerjaan karena 1. Penegakkan peraturan alur
pasien di luar puskesmas atau pelayanan laboratorium puskesmas
karena permintaan pengecekan 2. Melakukan pemeriksaan spesimen
yang banyak di sela-sela waktu luang saat jam
kerja
Sarana dan Prasarana lainnya
1. Ketidaksesuaian standar dengan 1. Tetap menginput data pada
ASPAK ASPAK
Kerjasama dengan pihak luar puskesmas
1. Laporan SPM tidak lengkap 1. Kerjasama jejaring dengan klinik,
dokter keluarga dan rumah sakit
terdekat
Inovasi Program
1. Pemantauan kepatuhan minum 1. SMS gateway
obat pasien

4.3.2 Kendala dan Solusi Pencapaian Target SPM Puskesmas Salaman 1

Berdasarkan observasi, wawancara dan data sekunder, kendala dalam pencapaian SPM dan
solusi yang sudah dilakukan oleh Puskesmas Salaman 1 adalah sebagai berikut.

Tabel 8. Kendala dan Solusi Pencapaian Target SPM Puskesmas Salaman 1


Kendala dalam pencapaian SPM Solusi yang ditawarkan
SDM
1. Pembatasan SDM karena 1. Pengangkatan pegawai wiyata
moratorium bakti dengan dana puskesmas
2. Shift rawat inap 2. Dibantu dengan dokter internship
3. Pelayanan kefarmasian di UGD 3. Pelayanan kefarmasian dilakukan
tidak dilakukan oleh apoteker/TTK oleh petugas non apoteker/TTK
4. Kompetensi tenaga wiyata bakti 4. Pelaksanaan ANJAB ABK
tidak sesuai dengan yang 5. Task shifting
dibutuhkan puskesmas
5. Pembagian tugas menjadi tidak
merata karena SDM yang kurang
menguasai suatu keahlian
Obat-obatan
1. Persediaan obat di e-katalog 1. Pengadaan obat dengan dana
tidak sesuai dengan Fornas dan puskesmas
DOEN 2. Menentukan obat prioritas
3. Relokasi obat dari puskesmas lain
4. Meminjam obat dari puskesmas
lain
Laboratorium
1. Stok reagen habis 1. Pengadaan sendiri oleh puskesmas
2. Sarana dan prasarana ada yang 2. Mengajukan pengadaan
tidak sesuai standar
Sarana dan Prasarana lainnya
1. Beberapa ruangan tidak sesuai 1. Mengajukan pengadaan dan
standar menunggu ruangan di gedung
2. Fasilitas pendukung kurang puskesmas baru
(komputer, printer) 2. Menggunakan fasilitas pribadi
3. Server bermasalah dan aplikasi 3. Back up data secara manual
error
Kerjasama dengan pihak luar puskesmas
1. Target TB tidak memenuhi target 1. Kerjasama dengan LSM melalui
pengadaan dan pelatihan kader untuk
menemukan kasus TB.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

5.1.1 Kesesuaian Sumber Daya Non Finansial Puskesmas Gamping 1 dan Puskesmas
Salaman 1 dengan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan

Hasil analisis sumber daya non finansial Puskesmas Gamping 1 dan Puskesmas Salaman
1 terhadap pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan secara keseluruhan
sudah cukup baik, namun masih terdapat beberapa kendala, diantaranya faktor Sumber Daya
Manusia (SDM) yang tidak mencukupi, ketersediaan reagen dan obat-obatan di Dinas Kesehatan
yang masih belum mencukupi, faktor ruangan yang masih belum sesuai dengan standar, dan
anggaran yang terbatas.

Dari capaian SPM, Puskesmas Gamping 1 dan Puskesmas Salaman 1 mengacu pada
standar yang sama, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016, namun Puskesmas
Salaman 1 juga masih menggunakan peraturan yang lama yaitu Permenkes
741/MENKES/SK/XI/2008 sehingga terdapat target yang berbeda.

5.1.2 Sumber Daya Non Finansial Puskesmas Gamping 1 dan Puskesmas Salaman 1 dalam
mendukung Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan

Capaian yang belum memenuhi target 100% untuk semua indikator menjadi kendala di
kedua puskesmas. Faktor-faktor yang mempengaruhi terutama pada kurangnya SDM untuk
menjalankan program sehingga program tidak bisa dijalankan dengan maksimal. Selain itu, faktor
dari pasien juga berperan penting dalam pencapaian SPM bidang kesehatan. Pada indikator TB,
pasien seringkali tidak mematuhi aturan dalam mengeluarkan dahak atau dalam mengumpulkan
pot berisi spesimen dahak, sehingga pengecekan laboratorium tidak dapat menunjukkan hasil
maksimal. Pada indikator lain seperti KIA, kurangnya kesadaran ibu hamil untuk segera
mendapatkan pelayanan yang dimulai dari awal kehamilan menjadi kendala yang memengaruhi
capaian SPM. Selain itu, faktor eksternal yaitu kerjasama dengan pihak di luar puskesmas seperti
dokter keluarga, klinik, atau rumah sakit juga terkadang tidak lengkap dalam hal pelaporan,
sehingga capaian SPM yang dihasilkan menjadi tidak maksimal.
5.2 Saran

5.2.1 Bagi Puskesmas Gamping 1 dan Salaman 1

Pemenuhan sumber daya finansial di Puskesmas Gamping 1 dan Salaman 1 selain harus
lengkap, juga harus memenuhi standar yang telah ditentukan. Selain itu, SDM yang kurang
mencukupi dan program yang terlalu banyak menjadikan pelayanan tidak maksimal karena harus
mengurus beberapa hal sekaligus. Maka disarankan kepada jajaran SDM di puskesmas Gamping
1 dan Salaman 1 untuk mengetahui peran dan beban kerja yang telah diberikan sehingga program
dan pelayanan dapat berjalan seimbang dan dapat mencapai hasil maksimal.

Agar dapat mencapai target SPM yang telah ditetapkan, evaluasi dan monitoring sangat
diperlukan tidak hanya untuk pemegang program namun juga kepada seluruh SDM di puskesmas
yang terlibat sehingga dapat menciptakan alur koordinasi yang baik dan pemahaman yang
menyeluruh. Selain itu, penetapan peraturan SPM yang berlaku di puskesmas juga harus dievaluasi
kembali agar tidak menyebabkan kebingungan dalam pelaksanaan dan penyusunan laporan SPM.

5.2.2 Bagi Dinas Kesehatan

Disarankan kepada pemerintah Dinas Kesehatan Sleman untuk mengevaluasi kembali


program-program yang ada sehingga dapat menentukan prioritas program yang akan dilakukan.

5.2.3 Bagi Penelitian Selanjutnya

Untuk memfokuskan penelitian kepada satu dimensi manajemen dan indikator SPM
tertentu yang memiliki permasalahan kompleks.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Profil Kabupaten Sleman

Kabupaten Sleman terletak diantara 107o15’ 03’’ dan 100°29’ 30’’ lintang selatan. Wilayah
Kabupaten Sleman berketinggian antara 100–2500 M dari permukaan laut. Jarak terjauh utara–
selatan ±32 KM, timur–barat ±35 KM. Luas wilayah Kabupaten Sleman seluas 18 % dari luas
wilayah DIY atau seluas 57.482.000 ha. Kabupaten Sleman terdiri dari 17 kecamatan, 86 desa, 1212
dusun, dengan jumlah 2.890 RW dan 6.961 RT. Jumlah penduduk pada pertengahan tahun 2017
sebesar 1.062.861 jiwa, terdiri laki-laki 531.741 jiwa dan perempuan 531.120 jiwa. Tingkat
kepadatan penduduk 1.849 jiwa/km2, rasio jenis kelamin laki-laki per wanita sebesar 100,12%
(Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, 2018)
Berdasarkan batas wilayah Kabupaten Sleman meliputi bagian utara berbatasan dengan
Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Magelang Propinsi Jawa Tengah dengan gunung merapi
sebagai puncaknya, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah,
bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan kota Yogyakarta dan bagian barat
berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Magelang Propinsi Jawa Tengah.Secara
umum lokasi Kabupaten Sleman dapat di lihat dalam gambar sebagai berikut:

Gambar 7. Denah
Kabupaten Sleman (Profil Kesehatan Sleman,2018)

4.2 Profil SDM Kabupaten Sleman

Jumlah tenaga yang bekerja di lingkungan Dinas Kesehatan (dinas dan puskesmas) sampai
dengan Desember 2017 sebanyak 1.157 orang. Jumlah tenaga medis di 25 puskesmas tahun 2017
sebanyak 121 orang, terdiri dari 1 orang dokter spesialis anak, dokter umum 88 orang, dan 31 orang
dokter gigi, 1 orang dokter gigi spesialis. Jumlah tenaga medis di rumah sakit sebanyak 2.132 yang
tersebar di rumah sakit dan klinik yang terdiri dari 1165 orang dokter umum, 724 orang dokter
spesialis, dokter gigi 158 orang dan dokter gigi spesialis 85 orang. Adapun rasio ketenagaan di
Kabupaten Sleman terhadap jumlah penduduk (per 100.000) ditunjukkan pada tabel 1.

NO Jenis Tenaga Kerja Jumlah Rasio (/100.000) Standar Keterangan

1 Dokter Spesialis 725 68,21 6 Terpenuhi


2 Dokter Umum 529 49,8 40 Terpenuhi

3 Dokter Gigi 277 26,1 11 Terpenuhi

4 Dokter Keluarga 67 7 2 Terpenuhi

5 Apoteker 280 21,63 10 Terpenuhi

6 Bidan 787 148,18 100 Terpenuhi

7 Perawat 3485 297,5 117,5 Terpenuhi

8 Ahli Gizi 139 13,07 22 Terpenuhi

9 Ahli Sanitasi Belum


88 8,28 40
Terpenuhi

10 Ahli Kesehatan Belum


61 5,74 40
Masyarakat Terpenuhi

Tabel 1. Keadaan SDM Kabupaten Sleman Tahun 2017 (Profil Kesehatan Sleman,2018)

Dari tabel 1 diketahui bahwa beberapa jenis ketenagaan telah memenuhi standar
sebagaimana ditetapkan dalam Indikator Indonesia Sehat, yaitu dokter spesialis, dokter umum,
dokter gigi, dokter keluarga, bidan, perawat, Apoteker, dan Ahli Gizi, Nutrisionis dan Dietesien).
Adapun yang belum memenuhi standar yaitu ahli sanitasi dan ahli kesehatan masyarakat.

4.3 Profil Puskesmas Mlati II


Puskesmas Mlati II adalah fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang terlatak di
o
Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman. Wilayah kerja Puskesmas Mlati II terletak diantara 107 15’
03’’ LS dan 100029’ 30’’ lintang selatan dan berada pada ketinggian antara 100 - 2500 m diatas
permukaan laut .

Gambar 8. Puskesmas Mlati II (Profil Puskesmas Mlati II, 2018)

Luas wilayah kerja Puskesmas Mlati II seluas 15,79 km dengan rincian luas Desa
Sumberadi 6 km, Desa Tlogoadi 4,82 km dan Desa Tirtoadi seluas 4,97 km.
Batas wilayah kerja Puskesmas Mlati II adalah :

 Bagian Utara : Desa Tridadi Kecamatan Sleman


 Bagian Timur : Desa Trihanggo Kecamatan Gamping
 Bagian Selatan : Desa Sidomoyo Kecamatan Godean

 Bagian Barat : Desa Margomulyo Kecamatan Seyegan

Kecamatan Mlati terdiri dari 5 desa dan wilayah kerja Puskesmas Mlati II terdiri dari 3
desa yaitu Desa Sumberadi, Tlogoadi dan Tirtoadi, 42 dusun,106 RW dan 254 RT. Jumlah secara
rinci terlihat pada tabel berikut :

No Desa Dusun RW RT

1 Sumberadi 15 39 99

2 Tlogoadi 12 35 88
3 Tirtoadi 15 32 69

Jumlah 42 106 256

Tabel 2 Jumlah Desa, Dusun, RW dan RT (Profil Puskesmas Mlati II, 2018)

Jarak tempuh terjauh dari masing-masing wilayah ke Puskesmas Mlati II adalah


Desa Sumberadi : ±2,5 Km, Desa Tlogoadi : ±2,5 Km dan Desa Tirtoadi: ±3,5 Km. Jumlah
penduduk pada akhir tahun 2017 sebesar 38.786 jiwa yang terdiri laki-laki 19.500 jiwa dan
perempuan 19.286 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 2,456 jiwa/km. Desa dengan
jumlah penduduk terbanyak adalah Sumberadi dengan 15.433 jiwa, diikuti Desa Tlogoadi
sebesar 12.776 jiwa (33%) dan Desa Tirtoadi dengan 10.567 jiwa (27,2%)

Gambar 9. Wilayah
Kerja Puskesmas
Mlati II (Profil
Puskesmas
Mlati II,2018)
4.4 Profil Kabupaten
Magelang

Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang ada di wilayah Provinsi Jawa
Tengah. Secara geografis Kabupaten Magelang terletak diantara 1000-01’-51” Bujur Timur, 1100-
26’-58” Bujur Timur, 70-19’-13” Lintang Selatan dan 70-42’-16” Lintang Selatan. Secara
administrasi, Kabupaten Magelang dibagi menjadi 21 kecamatan, dengan jumlah desa sebanyak
367 desa dan 5 kelurahan dan beribu kota di Kota Mungkid. Kabupaten Magelang menurut BPS
Kabupaten Magelang (2016) memiliki jumlah penduduk 1.257. 123 jiwa yang tersebar di 21
kecamatan. Jumlah penduduk terbesar berada di Kecamatan Mertoyudan (114.212 jiwa).
Sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil berada di Kecamatan Ngluwar (31.187
jiwa).
Grafik 1 Penduduk Kabupaten Magelang (Dinkes Magelang, 2016)
Apabila dilihat berdasarkan kepadatan penduduknya yang dihitung dengan jumlah
penduduk per kilometer persegi wilayah kecamatan, maka Kecamatan Muntilan merupakan
kecamatan terpadat penduduk dengan kepadatan penduduk 777 jiwa per km2. Sedangkan
kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah ada di Kecamatan Kajoran dengan kepadatan
636 jiwa per km2.

Grafik 2 Kepadatan Penduduk Kabupaten Magelang (Dinkes Magelang, 2016)


Secara Geografis Kabupaten Magelang berbatasan dengan beberapa kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Tengah.
 Sebelah Utara : Kabupaten Temanggung & Kabupaten Semarang
 Sebelah Selatan : Kabupaten Purworejo & Provinsi DIY
 Sebelah Timur : Kabupaten Boyolali & Kabupaten Semarang
 Sebelah Barat : Kabupaten Temangung & Kabupaten Purworejo
Selain berbatasan dengan 5 kabupaten dan 1 daerah istimewa di sebelah utara, selatan,
timur dan barat Kabupaten Magelang juga berbatasan dengan Kota Magelang yang terletak di
tengah-tengah

Gambar 10. Denah Kabupaten Magelang (Profil Kesehatan Magelang,2016)


Pelaksanaan kegiatan kesehatan di Kabupaten Magelang berpusat di Dinas Kesehatan
Kabupaten Magelang yang berada di Kota Mungkid. Pelayanan kesehatan primer dilakukan di
pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang ada di setiap kecamatan. Setiap kecamatan
memiliki satu unit puskesmas (kecuali di Grabag, Kajoran, Mertoyudan, Muntilan, Salaman,
Sawangan, dan Secang yang memiliki dua unit puskesmas) ditambah satu puskesmas yang ada di
Kota Mungkid. Ini berarti Kabupaten Magelang memiliki total 29 unit puskesmas yang dibawahi
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang.

4.5 Profil Puskesmas Mungkid

Puskesmas Mungkid merupakan salah satu Puskesmas dari 29 Puskesmas yang ada di
Kabupaten Magelang yang terletak di wilayah tengah Kabupaten Magelang, tepatnya di Dusun
Blabak, Desa Mungkid, Kecamatan Mungkid sendiri secara keseluruhan terdiri dari 16 desa, dari
16 desa tersebut 2 desa merupakan wilayah kerja Puskesmas Kota Mungkid dan 14 Desa
Puskesmas Mungkid.
Wilayah kerja Puskesmas Mungkid masuk dalam wilayah Kabupaten Magelang dengan
batas-batas wilayah Puskesmas Mungkid adalah :

 Bagian Utara : Kecamatan Mertoyudan


 Bagian Selatan : Kecamatan Muntilan.
 Bagian Barat : Kecamatan Borobudur
 Bagian Timur : Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Candimulyo

Wilayah kerja Puskesmas Mungkid meliputi 14 desa yaitu Desa Mungkid yang meliputi
12 dusun, Desa Ambartawang yang meliputi 7 dusun, Desa Blondo yang meliputi 7 dusun, Desa
Bumirejo meliputi 11 dusun, Desa Paremono meliputi 14 dusun, Desa Rambeanak meliputi 14
dusun, Desa Progowati meliputi 9 dusun, Desa Ngrajek meliputi 6 dusun, Desa Pabelan meliputi
10 dusun, Desa Bojong meliputi 14 dusun, Desa Pagersari meliputi 9 dusun, Desa Senden meliputi
7 dusun, Desa Treko meliputi 5 dusun dan Desa Gondang meliputi 6 dusun. Luas wilayah Kerja
Puskesmas Mungkid secara keseluruhan mencapai 3171,92 ha (31,72 km2). Semua wilayah desa
di wilayah Puskesmas Mungkid merupakan daerah dataran/hamparan.

Luas wilayah kerja Puskesmas Mungkid yang paling luas adalah Desa Pabelan sebesar
3,48 km2 (348 ha). Sedangkan wilayah yang luasnya paling kecil yaitu Desa Progowati sebesar
0,29 km2 (28,87 ha).

Gambar 11. Peta Wilayah Puskesmas Mungkid (Profil Puskesmas Mungkid,2018)


Perbandingan jumlah penduduk laki-laki dengan penduduk perempuan merupakan
perkembangan penduduk menurut jenis kelamin. Rasio jenis kelamin di Kecamatan Mungkid
tahun 2018 adalah 99,30%. Hal ini menggambarkan bahwa jumlah penduduk perempuan lebih
banyak daripada jumlah penduduk laki-laki. proporsi penduduk menurut jenis kelamin yaitu
penduduk Laki-laki lebih banyak yaitu sejumlah 34.060 jiwa (50,176%) dibandingkan penduduk
Perempuan yaitu sejumlah 33.859 jiwa (49,823%).

Perempuan Laki-Laki
Laki-Laki;
; 33.859
34.060 Perempuan

Gambar 12. Proporsi Penduduk di Kecamatan Mungkid (Profil Puskesmas Mungkid,2018)

Berdasarkan proyeksi laju pertumbuhan penduduk tahun 2018 menunjukkan bahwa


jumlah penduduk Kecamatan Mungkid tahun 2018 sebesar 67919 jiwa. Jumlah penduduk
Kecamatan Mungkid tahun 2018 paling banyak di Desa Pabelan, sedangkan yang paling sedikit di
Desa Treko.

Tabel 3. Jumlah Penduduk Kecamatan Mungkid (Profil Puskesmas Mungkid,2018)


NO DESA Luas Wilayah (km2) Jumlah Penduduk
1 Ngrajek 1.85 3328
2 Progowati 2.85 4008
3 Rambeanak 3.82 6438
4 Paremono 4.15 7415
5 Pabelan 3.48 8455
6 Bojong 2.55 5664
7 Pagersari 2.14 3118
8 Mungkid 1.71 6022
9 Ambartawang 2.08 3890
10 Bumirejo 2.48 6439
11 Blondo 2.30 5821
12 Senden 2.17 3486
13 Gondang 1.77 2005
14 Treko 1.33 1830
34,68 67919

4.6 Analisis Dukungan SDM


4.6.1 Jenis & Regulasi Sumber Daya Manusia
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang
dimaksud tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Tenaga di bidang
kesehatan terdiri atas tenaga kesehatan dan asisten tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan merupakan
salah satu faktor penting untuk mencapai target program puskesmas. Dengan terpenuhinya sumber
daya manusia maka target program yang telah direncanakan akan berjalan sesuai dengan yang
direncanakan.

Terdapat beberapa jenis tenaga kerja di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid.
Berdasarkan hasil wawancara terdapat perbedaan jenis tenaga kerja yang berada di Puskesmas
Mlati II dan Puskesmas Mungkid. Adapun perbedaannya dapat terlihat pada gambar 13 dan 14

BLUD
PNS
Puskesmas PHL
Mlati II Non PNS
Outscourchi
ng
Honor
Daerah

Gambar 13. Jenis Tenaga Kerja di Puskesmas Mlati II


PNS
Puskesmas PHL
Mungkid Non PNS
PTT

Gambar 14. Jenis Tenaga Kerja di Puskesmas Mungkid

Berdasarkan gambar diatas terdapat persamaan dan perbedaan jenis tenaga kerja yang ada
di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid. Adapun persamaan tenaga kerja yang dimaksud
adalah adanya pegawai negeri sipil dan juga tenaga non PNS yaitu pekerja harian lepas dan
pegawai tidak tetap/honor daerah. Sedangkan perbedaan tenaga kerja adalah adanya tenaga BLUD
dan tenaga outsourching yang ada di Puskesmas Mlati II.

Tidak adanya tenaga BLUD di Puskesmas Mungkid dikarenakan belum adanya regulasi
yang jelas untuk mengatur perekrutan tenaga BLUD. Perekrutan tenaga BLUD baru akan
dilaksanakan tahun 2019. Hal ini diketahui berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber.

“........tahun 2018 sebenarnya kita mau mengadakan perekrutan pegawai dinas kesehatan tapi
tekniknya atau gimana belum jelas jadi pemda suruh mengubah lagi. Sehingga tahun 2019 nanti
kita baru merekrut tenaga BLUD” (L, 294-301)

Regulasi perekrutan tenaga kerja terbagi menjadi dua yaitu regulasi perekrutan tenaga
PNS dan tenaga non PNS. Regulasi tenaga PNS diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menjelaskan bahwa pengadaan PNS berdasarkan
kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja
setiap instansi untuk jangka waktu lima tahun. Regulasi perekrutan ini diperkuat oleh adanya
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun
2018 tentang Kriteria Penetapan Kebutuhan Pegawai Negeri Sipil dan Pelaksanaan Seleksi Calon
Pegawai Negeri Sipil Tahun 2018 dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 37 Tahun 2018 tentang Nilai Ambang Batas Seleksi Kompetensi
Dasar Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun 2018.

Selain itu juga pemerintah pada tahun 2019 akan mengadakan perekrutan Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Menurut Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang
Manajemen PPPK, yang dimaksud PPPK adalah warga nergara indonesia yang memenuhi syarat
tertentu dan diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka
melaksanakan tugas pemerintahan. Untuk pengadaan perekrutan PPPK tahap I tahun 2019
pemerintah memprioritaskan perekrutan pada tiga bidang yaitu tenaga pendidikan, tenaga
kesehatan dan penyuluhan pertanian. Adapun untuk masa perjanjian kerja paling singkat satu tahun
dan perpanjangan berdasarkan pada pencapaian kinerja dan kebutuhan institusi.

Regulasi terkait perekrutan tenaga non PNS diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 79 Tahun 2018 tentang Badan Layanan Umum Daerah dan Peraturan Bupati
Sleman Nomor 1.3 Tahun 2018 tentang Badan Layanan Umum Daerah. Pada Permendagri Nomor
79 tahun 2018 menjelaskan bahwa pengangkatan pegawai diselenggarakan untuk mendukung
kinerja BLUD dan disesuaikan dengan kebutuhan, profesionalitas, kemampuan keuangan serta
berdasarkan prinsip efisiensi, ekonomis dan produktif dalam meningkatkan pelayanan. Ketentuan
lebih lanjut dijelaskan dalam Peraturan Bupati Sleman Nomor 1.3 Tahun 2018 yang menjelaskan
tentang Pengangkatan pegawai BLUD disesuaikan dengan kebutuhan instansi.

Terdapat beberapa mekanisme perekrutan dari tenaga kesehatan dan non kesehatan yang
ada di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid. Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah tenaga
aparatur sipil negara yang direkrut oleh pemerintah secara objektif berdasarkan kompetensi,
kualifikasi dan persyaratan lain yang dibutuhkan jabatan. Penyelenggaraan seleksi terdiri dari tiga
tahap yaitu seleksi administrasi, seleksi kompetensi dasar, dan seleksi kompetensi bidang.
Penempatan kerja PNS ditentukan oleh pemerintah dan berdasarkan dari situasi dan kebutuhan
yang ada pada daerah/ instansi terkait. Perekturan tenaga PNS pada lingkungan Puskesmas Mlati
II dan Puskesmas Mungkid menggunakan usulan kepada dinas kesehatan kabupaten.

“kita semua proses perekturannya pakai usulan ke dinas kesehatan kemudian dinas kesehatan langsung
ke BKKPD terus nanti kalau BKKPD ada penerimaan CPNS mana yang kosong baru diadakan
perekrutan” (E, 107-113)
Pegawai BLUD adalah tenaga kerja yang direkrut oleh Dinas Kesehatan Kabupaten
Sleman sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh puskesmas. Proses seleksi
diadakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Kemudian pegawai yang dinyatakan lolos
seleksi akan ditempatkan pada puskesmas yang membutuhkan. Puskesmas akan melaksanakan
kontrak kerja dengan pegawai BLUD dengan diketahui oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.
Dalam proses perekrutannya tidak ditemui hambatan/kendala. Tenaga BLUD di Puskesmas Mlati
II terdiri dari dokter, bidan, psikolog, akuntansi, perawat, apoteker, analis laborat, fisioterapi,
promosi kesehatan dan tenaga administrasi.

“Untuk tenaga BLUD saya kira tidak ada hambatannya ya karena kita hanya menerima dari
pemda/dinas kesehatan” (S, 66-69)

Pegawai outsourching adalah tenaga kerja yang berasal dari kerjasama antara puskesmas
dan pihak CV yang menaungi pekerja outsourching. Kemudian pihak CV yang menaungi tersebut
mengirimkan pegawainya sesuai dengan kebutuhan puskesmas. Tenaga outsourching terdiri dari
satpam dan tenaga kebersihan. Dalam proses perekrutannya terdapat hambatan/kendala yang
ditemui.kendala yang dihadapi adalah puskesmas harus memebrikan orientasi kerja kepada pekerja
outscouching setiap adanya rotasi kerja

“untuk tenaga outsourching karena status ketenagaan itu milik CV sehingga kendalanya itu pada CV
kan mempunyai mekanisme rotasi antar tempat dengan mitra kerja mereka sehingga ketika ada
pergantian tenaga kita harus memberikan penjelasan atau orientasi” (S, 74-83)

Pekerja harian lepas adalah tenaga kerja yang direkrut oleh puskesmas dengan perjanjian
kerja bersama pegawai bersangkutan. Perekrutan pekerja harian lepas berdasarkan dengan
kebutuhan yang ada di puskesmas. Pekerja harian lepas terdiri dari tenaga masak dan tenaga
loundry. Dalam melakukan proses penerimaan tenaga kerja, puskesmas melakukan seleksi sesuai
dengan standar kompetensi pegawai tersebut.

“… Kalau mau masuk ke instansi kan ada standarnya ya… Misalnya bidan, ya seorang bidan yang
bekerja pada suatu instansi kan harus punya keahlian tentang persalinan normal, keterampilan tentang
KB misalnya” (R, 76-83)

Pekerja tidak tetap dan tenaga honor daerah adalah tenaga kerja yang direkrut oleh dinas
kesehatan. Perekrutan ini berdasarkan usulan setiap puskesmas. Pekerja tersebut melaksanakan
kontrak kerja dengan dinas kesehatan. Kemudian pegawai tersebut akan ditempatkan pada
puskesmas yang membutuhkan. Pegawai PTT sudah ada di Puskesmas Mungkid sejak tahun
2007/2008. Contoh pegawai PTT yang berada di Puskesmas Mungkid adalah bidan. Sedangkan
contoh pegawai honor daerah di Puskesmas Mlati II adalah sopir ambulance.

“yang mengajukan adalah dinas kesehatan kabupaten. Dinas Kesehatan kabupaten mengusulkan ke
dinas kesehatan provinsi” (E, 400-403)

“Kalau honor daerah itu yang menyeleksi Pemda dan kita hanya menerima. Selama ini untuk honor
daerah itu sopir atau driver” (S, 23-26)

Menurut Andrizul dan Yoserizal (2013), proses rekruitmen dan penempatan SDM bisa
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor koordinasi, faktor transparansi, dan faktor finansial
sehingga hasil rekruitmen sumber daya manusia belum merupakan hasil usulan kebutuhan
organisasi. Kemampuan yang dimiliki oleh sumber daya manusia dalam melaksanakan tugas,
tentunya berpengaruh dalam penyelesaian tugas yang diberikan. Akibatnya banyak pekerjaaan
yang tertunda penyelesaiannya dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat juga tidak
memuaskan. Dampaknya kepercayaan masyarakat akan kinerja sumber daya manusia menjadi
semakin buruk dan jelek.
4.6.2 Kuantitas Sumber Daya Manusia
Kuantitas sumber daya manusia menjadi salah satu faktor yang menentukan pelayanan
kesehatan di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid. Berdasarkan profil Puskesmas Mlati II
tahun 2018 sumber daya manusia yang ada sebanyak 82 orang.
Berdasarkan tabel 4 terdapat beberapa sumber daya manusia yang sudah mencukupi dan
masih belum mencukupi. Adapun sumber daya manusia yang sudah mencukupi terdiri dari tenaga
dokter gigi, bidan, perawat gigi, asisten apoteker, sanitarian, elektromedik, epidemiolog kesehatan,
promosi kesehatan, radiografer, pramu kebersihan, tenaga laudry, tenaga masak, petugas
keamanan dan bendahara. Sedangkan sumber daya manusia yang belum mencukupi adalah tenaga
dokter, psikolog, perawat, analis laborat, nutrisionist, rekam medis, fisioterapis, tenaga
administrasi, binatu, kasir, pengelola sistem informasi.
Tabel 4. Sumber Daya Manusia Puskesmas Mlati II
No Jabatan & Jumlah Jumlah No Jabatan & Jumlah Jumlah
Pendidikan Pegawai & Ideal Pendidikan Pegawai Ideal
Status & Status
1. Kepala Puskesmas1 16 1 16. Epidemiolog 16 1
Kesehatan5
2. Kepala Bagian TU1 16 1 17. Pengemudi 39 3
Ambulan5
3. Dokter Umum2 4 (36,17) 9 18. Fisioterapis4 17 2
4. Dokter Gigi2 26 2 19. Promosi 2 (16, 17) 2
Kesehatan2
5. Psikolog1 17 3 20. Radiografer4 16 1
6. Bidan (34, 103) 13 (106,37) 13 21. Pramu 510 5
Kebersihan5
7. Perawat (114, 23) 13 (86,57) 10 22. Tenaga 18 1
Laundry5
8. Perawat gigi5 26 2 23. Tenaga Masak5 28 2
9. Asisten Apoteker 26 2 24. Petugas 310 3
(14, 15) Keamanan5
10. Apoteker2 2 (16, 17) 2 25. Tenaga 6(46, 27) 7
Administrasi (24,
45 )
11. Analisis Laborat 5 (46,17) 7 26. Binatu 0 1
(13, 24)
12. Sanitarian(12, 14) 26 2 27. Bendahara 3 (12,24) 3
13. Nutrisionist(13, 14) 26 3 28. Juru 16 2
Bayar/Kasir5
14. Rekam Medis4 26 7 29. Pengelola Sistem 0 1
Informasi
15. Elektromedik4 16 1 Jumlah 82 96

Keterangan:

1 = Pendidikan S2 6 = Tenaga PNS

2 = Pendidikan S1 7 = Tenaga BLUD


3 = Pendidikan D4 8 = Tenaga PHL

3 = Pendidikan D3 9 = Tenaga Honor Daerah

5 = Pendidikan SMA 10 = Tenaga Outsourching

Berdasarkan tabel 4 jumlah ideal tenaga kerja di Puskesmas Mlati II yaitu sebanyak 96
orang, akan tetapi pada kenyataannya tenaga kerja yang ada di Puskesmas Mlati II yaitu sebanyak
82 orang. Adapun kesimpulannya yaitu tenaga kerja di Puskesmas Mlati II belum mencapai
formasi ideal dan masih membutuhkan tenaga kerja sebanyak 14 orang.

Jumlah sumber daya manusia di Puskesmas Mlati II terdiri dari tenaga PNS sebanyak 52
orang, tenaga BLUD sebanyak 16 orang, tenaga PHL sebanyak 3 orang, tenaga honor daerah
sebanyak 3 orang dan tenaga outsourching sebanyak 8 orang.

Berdasarkan Profil Puskesmas Mungkid tahun 2018 sumber daya manusia yang ada
sebanyak 47 orang. Dari data yang didapat hanya 4 jenis tenaga kerja yang sudah memenuhi
jumlah ideal yang telah ditentukan. Sedangkan sebagian besar jenis tenaga kerja belum memenuhi
jumlah ideal yang telah ditentukan.

Berdasarkan tabel 5 terdapat beberapa sumber daya manusia yang sudah mencukupi dan
masih belum mencukupi. Adapun sumber daya manusia yang mencukupi terdiri dari tenaga bidan
dan sopir. Sedangkan sumber daya manusia yang belum mencukupi terdiri dari tenaga dokter,
dokter gigi, perawat gigi, asisten apoteker, analis laborat, sanitarian, gizi, rekam medis, dan tenaga
kebersihan

Berdasarkan tabel 5 jumlah ideal tenaga kerja di Puskesmas Mungkid yaitu sebanyak 61
orang, akan tetapi pada kenyataannya tenaga kerja yang ada di puskesmas mungkid yaitu sebanyak
47 orang. Adapun kesimpulannya yaitu tenaga kerja di Puskesmas Mungkid belum mencapai
formasi ideal dan masih membutuhkan tenaga kerja sebanyak 14 orang. Tenaga kerja di Puskesmas
Mungkid terdiri dari tenaga PNS sebanyak 31 orang, tenaga PTT sebanyak 1 orang dan tenaga
PHL sebanyak 5 orang.

Tabel 5. Sumber Daya Manusia Puskesmas Mungkid


No Jabatan & Pendidikan Jumlah Jumlah No Jabatan& Jumlah Jumlah
Pegawai Ideal Pendidikan Pegawai& Ideal
& Status Status
1. Kepala Puskesmas1 11 1 13. Gizi 1 13 2
2. Kepala Bagian TU1 13 1 14. Rekam 13 2
Medis1
3. Dokter Umum1 22 4 15. Pekarya 0 0
4. Dokter Gigi1 12 2 16. Sopir8 14 1
5. Psikolog 0 0 17. Fisioterapis 0 0
6. Bidan (171,17) 183 17 18. Kebersihan8 25 4
7. Perawat 83 8 19. Penjaga 14 2
Puskesmas8
8. Perawat gigi 13 2 20. Akuntan 0 1
9. Asisten Apoteker1 13 2 21. Pengelola 14 0
Barang
10. Apoteker 0 0 22. Tenaga 54 7
Administrasi
(41, 18)
11. Analisis Laborat1 13 2 23. Tenaga 0 1
Promkes
12. Sanitarian/HS1 13 2 Jumlah 47 61
13. Gizi 1 13 2

Keterangan:

1 = Pendidikan S2 6 = Tenaga PNS


2 = Pendidikan S1 7 = Tenaga PTT
3 = Pendidikan D3 8 = Tenaga PHL
4 = Pendidikan SMA
5 = Pendidikan SMP

Dalam rangka pembangunan kesehatan pada RPJMN 2015-2019 salah satu unsur yang
berperan dalam percepatan pembangunan kesehatan adalah terpenuhinya tenaga kesehatan yang
bertugas di sarana pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut kementrian
kesehatan melakukan upaya yaitu jumlah puskesmas yang minimal memiliki lima jenis tenaga
kesehatan sebanyak 5.600 puskesmas (Kemenkes, 2017). Namun kenyataan yang ditemui di
lapangan upaya tersebut belum berjalan sesuai harapan. Keadaan ini dapat ditemukan di
Puskesmas Mungkid. Di Puskesmas Mungkid hanya dua jenis tenaga kesehatan yang memenuhi
formasi ideal. Kurangnya sumber daya manusia ini dapat dilihat dengan adanya tugas yang
tumpang tindih/ lebih dari satu yang dilaksanakan oleh petugas. Contohnya yaitu adanya tenaga
administrasi yang merangkap dan menjalankan program promosi kesehatan

“setiap karyawan bisa mempunyai tugas lebih dari satu dan mereka mengampu beberapa tugas supaya
tugas itu bisa dijalankan” (S, 147-150)

Problematika kurangnya tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan masyarakat ini dapat


disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah belum adanya aturan dan regulasi yang
mengatur tentang pengangkatan tenaga kerja dan adanya efek dari moratorium PNS. Belum adanya
regulasi yang mengatur ini berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada responden.

“........tidak ada peraturan dari dinas yang mengatur tentang pengangkatan tenaga kerja, sambil nunggu
dari dinas untuk membuat peraturan” (E, 182-185)

Untuk mengatasi kurangnya tenaga kerja, puskesmas mengajukan usulan penambahan


tenaga kerja kepada Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah (BKKPD) secara
online. Pengajuan ini dilakukan setiap akhir tahun setelah diadakannya analisa jabatan dan analisa
beban kerja. Pengajuan ini berupa tenaga kerja yang belum ada atau yang belum mencapai jumlah
ideal sesuai dengan kebutuhan puskesmas.

“kita nanti pake usulan ke BKPPD ( Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah) itu
melalui dinas kesehatan” (E, 80-83)

Namun pengusulan penambahan tenaga kerja yang masih kurang ini tidak semuanya
dipenuhi oleh Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah BKKPD. Hal ini dikarenakan
adanya regulasi/aturan yang sulit untuk memenuhi tersedianya tenaga kerja dan juga tergantung
dengan keputusan pemerintah dalam menentukan formasi atau jumlah tenaga kerja.

“berapa yang dibutuhkan nanti akan usulkan ke dinas yang pada akhirnya nanti tidak semua tenaga
yang kita minta disetujui karena tergantung dari keputusan pemerintah untuk formasi yang dipenuhi”
(S, 138-144)

Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja tersebut maka Puskesmas Mlati II dan
Puskesmas Mungkid melakukan perekturan tenaga kerja non PNS seperti tenaga BLUD, tenaga
PHL dan tenaga outsourching. Perekrutan tenaga PHL ini dilaksanakan oleh pihak puskesmas dan
disesuaikan dengan kebutuhan puskesmas. Namun perekrutan ini terkendala dengan terbatasnya
pendapatan puskesmas untuk menggaji pegawai PHL.

“Misalnya disini kan perawat umum ada enam tapi yang kita butuhkan ada delapan jadi kita
mengangkat PHL. Jadi sekarang sudah terpenuhi karena adanya PHL itu” (E, 80-90)

“bidan kan kurang adanya hanya 2 dan semua bidan desa, untuk itu menggunakan biaya sendiri
(kapitasi, retribusi dan jamkesda), tapi kalau banyak kan saya tidak sanggup” (L, 360-366)

Selain itu juga kurangnya sumber daya manusia di puskesmas juga berpengaruh terhadap
program yang dijalankan oleh puskesmas. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terdapat
pengaruh kuantitas sumber daya dengan pelaksanaan program puskesmas. Kurangnya tenaga kerja
di puskesmas mengakibatkan program yang dijalankan akan semakin susah untuk dijalankan.
Begitupun sebaliknya, dengan tercukupinya tenaga kerja dua puskesmas maka koordinasi lebih
gampang dan program yang dijalankan akan semakin mudah untuk dijalankan.

“Ya berpengaruh… Misalnya kalau jumlahnya sesuai kebutuhan kan koordinasinya lebih gampang…
Lalu targetnya bisa lebih mudah tercapai… Tapi kalau sumber dayanya kurang kan ya otomatis lebih
sulit dalam pengerjaannya… Misalnya pekerjaan yang harus dikerjakan beberapa orang kalau hanya
dikerjakan oleh orang yang lebih sedikit ya lebih capek gitu” (R, 122-132)

Menurut Anna (2012), disebutkan bahwa semakin banyak dan beragam tenaga kerja yang
ada maka akan berdampak positif terhadap masyarakat. Hal ini dikarenakan secara langsung
dengan adanya berbagai jenis tenaga kesehatan akan membuat mereka memperkuat keilmuan
masing-masing yang nantinya akan terbentuk standar kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga
kerja tersebut. Sehingga yang harus diperhatikan adalah keutuhan jenis tenaga kesehatan
berdasarkan kebutuhan masing-masing wilayah.
4.6.3 Moratorium Sumber Daya Manusia
Adanya moratorium yang diadakan oleh pemerintah merupakan salah satu penyebab
kurangnya tenaga kerja yang ada di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid. Moratorium
sendiri mulai diadakan tahun 2015 oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Adanya moratorium
pegawai negeri sipil diharapkan dapat menstabilkan anggaran dan menyesuaikan jumlah PNS
sesuai dengan kebutuhan dan beban kerja.

Tidak adanya pengangkatan pegawai negeri sipil menyebabkan jumlah tenaga kerja di
puskesmas yang melakukan pelayanan kesehatan menjadi berkurang dan mempengaruhi
pencapaian program puskesmas. Contohnya yaitu adanya PNS yang memasuki masa pensiun maka
otomatis tidak ada yang menggantikan posisi tersebut, hal ini mengakibatkan kekosongan pada
posisi tersebut dan juga beban kerja pegawai yang ada akan semakin meningkat.

“Iya jelas berpengaruh, kalau PNS pensiun kan kosong jadi kekurangan tenaga, akhirnya kita tidak
mungkin BP (badan layanan) kita tutup, seperti kemarin perawat giginya pensiun tidak mungkin
ditangani dokter giginya sendiri karena pasien kita kan cukup banyak ya” (E, 132-140)

Tujuan diadakannya moratorium adalah untuk mereview bezzetting dan penataan PNS,
rightsizing kelembagaan dan tatalaksana, serta mengatur anggaran. bezzetting dan penataan PNS
diperlukan untuk mendapatkan jumlah ideal pegawai dan sesuai dengan kebutuhan baik dari sisi
kuantitas maupun sisi kualitas. Rightsizing kelembagaan dilakukan untuk menciptakan organisasi
yang sederhana, flate dan kaya fungsi dengan memperjelas tatalaksana (business process).
Pengaturan anggaran dilakukan untuk menciptakan komposisi ideal antara jumlah anggaran untuk
belanja anggaran dan belanja pembangunan (Rakhmawanto, 2016).

Namun pada kenyataannya efek dari diterapkannya moratorium menimbulkan hal-hal


negatif. Salah satunya yaitu kualitas pelayanan kesehatan yang semakin menurun akibat
berkurangnya tenaga PNS. Selanjutnya dengan adanya moratorium PNS mengakibatkan
kosongnya beberapa formasi kerja. Adanya kebijakan moratorium ini memperlihatkan
ketidakkonsistenan antara pemerintahan sebelumnya dengan pemerintahan yang sekarang. Maka
sebaiknya program kebijakan pemerintah berlangsung secara berkesinambungan dan terus
menerus sehingga hasilnya akan bermanfaat bagi masyarakat (Rakhmawanto, 2016).

4.6.4 Analisis Jabatan & Analisa Beban Kerja Sumber Daya Manusia
Menurut Pranoto dan Retnowati (2015), analisis jabatan adalah proses mempelajari
jabatan dengan mengumpulkan informasi tentang tanggung jawab, tugas-tugas, hubungan kerja,
syarat menempati jabatan tersebut, dan keadaan pekerjaan yang sedang berlangsung. Analisis
kebutuhan pegawai merupakan proses yang dilakukan secara logik, teratur, dan berkesinambungan
untuk mengetahui jumlah dan kualitas pegawai yang diperlukan berdasarkan beban kerja.
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009 tentang Organisasi Perangkat Daerah
Pemerintah Kabupaten Sleman dijelaskan bahwa setiap unit pelaksana teknis melaksanakan
analisa beban kerja setiap akhir tahun. Analisa beban kerja dilaksanakan dengan harapan agar
dapat memenuhi tuntutan kebutuhan untuk menciptakan efektifitas, efisiensi, serta profesionalitas
sumber daya manusia yang memadai pada instansi sehingga mampu melaksanakan tugas pokok
dan fungsinya dengan baik.

Proses analisa jabatan dan analisa beban kerja dilakukan untuk mendapatkan pedoman
dalam perencanaan SDM karena secara sistematik proses ini juga merupakan informasi tentang
suatu jabatan dan ketentuan atau syarat yang harus dipenuhi untuk mengisi jabatan tersebut.

“kita kan ada analisis jabatan, anjab itu… Analisis jabatan itu berisi tentang kebutuhan jabatan…
Nanti dari situ diperoleh tenaga apa yang masih kurang, misalnya sekarang kan dokternya ada 2, nanti
bila pasiennya banyak misalnya kalau disini bisa sampai 200 atau lebih, kan harusnya dokternya nggak
cuman 2, ya bisa ditambah… Itu tadi diperoleh dari Analisa jabatan” (R, 62-72)

Perhitungan analisa jabatan dilakukan untuk semua tenaga PNS yang berada di
lingkungan Puskesmas Mungkid dan Puskesmas Mlati II. Hasil dari pelaksanaan analisis beban
kerja menjadi tolak ukur bagi puskesmas dalam melaksanakan kegiatan, menyusun organisasi
pegawai, serta penyempurnaan sistem prosedur kerja dan manajemen lainnya. Analisa jabatan
berdasarkan beban kerjanya artinya berapa banyak tugas yang diselesaikan dan karyawan yang
harus mengampu tugas itu. Adapun perhitungan dari analisa jabatan dan analisa beban kerja setiap
fomasi jabatan berbeda karena mempunyai perhitungan yang berbeda pula. Misalnya hasil analisa
jabatan antara dokter dan perawat dapat berbeda

“Jadi analisa jabatan mempunyai perhitungan tersendiri tiap tenaga beda misalnya dokter sama
perawat beda dengan bidan juga beda” (E, 58-63)

Selain untuk menentukan beban kerja setiap formasi jabatan, analisa jabatan juga
diperlukan untuk menentukan formasi ideal setiap formasi jabatan. Selain melalui analisa jabatan
formasi ideal setiap jabatan juga berpedoman kepada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75
Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Nantinya hasil dari analisa jabatan yang rutin
diadakan pada akhir tahun akan dilaporkan kepada Badan Kepegawaian Daerah (BKD) untuk
ditindaklanjuti

“Itu berdasarkan analisis jabatan. Misalkan puskesmas saya ada dokternya 4 tapi sekarang adanya 2.
Dari puskesmas itu sendiri dan dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD)” (L, 565-570)

Bezetting merupakan jumlah pegawai yang dimiliki oleh suatu unit kerja. Kebutuhan
pegawai diartikan sebagai kebutuhan apa yang diharapkan dengan kondisi analisis kebutuhan.
Dengan mengetahui analisis kebutuhan maka dapat diketahui jumlah pegawai yang dibutuhkan
dalam setiap formasi kerja.

Gambaran Buzzeting

1. Peta Jabatan

2. Analisa Jabatan

3. Analisa Beban Kerja

4. Proyeksi 5 tahun kedepan

Gambar 15. Gambaran Buzzeting

Analisis jabatan dalam manajemen sumberdaya manusia memiliki peran yang sangat
strategis dalam proses pengembangan organisasi. Analisis jabatan akan memberikan gambaran
untuk membantu pengambilan keputusan mengenai rekrutmen, seleksi, latihan, promosi, maupun
kompensasi. Selain memberikan manfaat kepada organisasi, analisis jabatan juga memberikan
manfaat kepada pegawai dalam suatu organisasi, dengan penempatan sesuai dengan kualifikasi,
maka pegawai telah diberikan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan potensi yang
ada pada dirinya dengan seoptimal mungkin. Analisis jabatan yang outputnya adalah informasi
jabatan yang berguna untuk pengambilan kebijakan rekrutmen, seleksi, kompensasi, promosi, dan
latihan. Tujuan akhir yang hendak dicapai dalam analisis jabatan adalah terciptanya sistem
kepegawaian yang mumpuni dengan menerapkan prinsip the right man in the right place (Giyarto,
2015)

4.6.5 Kualitas Sumber Daya Manusia


Kualitas sumber daya manusia merupakan salah satu unsur utama dalam pelaksanaan
upaya kesehatan. Tenaga kerja yang berkualitas akan menghasilkan suatu hasil kerja yang optimal
sesuai dengan target kerjanya. Berdasarkan hasil wawancara kualitas sumber daya manusia di
Puskesmas Mlati II sudah cukup baik. Namun hasil berbeda terjadi di Puskesmas Mungkid.
Kualitas SDM di Puskesmas Mungkid masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya
mencapaian stunting di Puskesmas Mungkid.

“kompetensi dan kualitasnya memang rendah. Stunting sekarang lagi banyak, dia dari awal 2018
melakukan pendataan stunting jadi kita mengetahui jumlah stunting di kecamatan mungkid tapi
hasilnya tidak muncul (memuaskan), jadi kepala puskesmas harus detail gitu, selain kuantitas, kualitas
juga kurang disini (puskesmas mungkid)” (L, 367-373)

Saat ini tenaga kesehatan Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid dituntut untuk
terus meningkatkan kualitas. Tenaga kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat mampu
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat sehingga akan terwujud derajat
kesehatan yang setinggi-setingginya. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas tenaga
kesehatan yaitu melalui pelatihan/seminar.

“Untuk kualitas saya kira karena tuntutan program berupaya untuk terus meningkatkan kemampuan
petugas. Beberapa upaya yang bisa dilakukan antara lain dengan menyertakan karyawan ketika ada
pelatihan” (S, 180-185)

Berdasarkan hasil wawancara terdapat pengaruh kualitas sumber daya manusia terhadap
pelayanan kesehatan di Puskemas Mlati II dan Puskesmas Mungkid. Dengan kualitas tenaga kerja
yang mencukupi, maka koordinasi kerja dan pemahaman akan kondisi yang dihadapi akan baik
dan berakibat tercapainya program puskesmas. Begitupun sebaliknya dengan kualitas tenaga kerja
yang nelum mencukupi maka koordinasi kerja dan pemahaman akan kondisi yang dihadapi akan
semakin buruk dan berakibat tidak tercapaiannya program puskesmas.

“...terkait kualitas sumber dayanya berpengaruh juga, kalau di KIA ini kan contohnya ada 3 ruangan,
standarnya kan 1 orang 1 ruangan… Nah kadang-kadang karena tugasnya itu… eee… mungkin 1
orang tugasnya yang harusnya disini terus tugas di tempat lain, atau urgent, atau rapat atau apa, jadi
kan tidak terpenuhi to, jadi harus nyambi hahahaha… Tapi alhamdulillah masih bisa” (R, 134-145)

Kualitas sumber daya manusia dapat dikatakan baik apabila atasan, manajer, atau bahkan
pemerintahan pusat memberikan 3 komponen kepada pegawai yaitu komponen teamwork
(kerjasama tim), komponen training (pelatihan) dan komponen employee empowerment
(pemberdayaan pegawai). Komponen teamwork (kerjasama tim) yaitu atasan melakukan
pengembangan ide-ide yang muncul dari karyawan dan atasan memberikan kebebasan pada
karyawan untuk melaksanakan dan menyelesaikan masalahnya sendiri sehingga mereka akan
berusaha belajar dan mencari solusi dari permasalahan yang mereka hadapi. Pada komponen
training (pelatihan) sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan pegawai seperti masalah
teknis dan multitasking. Dengan diadakannya pelatihan maka karyawan diharapkan dapat
meningkatkan ketangkasan, kecepatan dan efisiensi. Selain itu juga dengan diadakannya pelatihan
karyawan dapat terus memperbaharui ilmu terkini sesuai dengan profesinya. Pada komponen
employee empowerment (pemberdayaan pegawai) yaitu mengizinkan pegawai untuk
memperhatikan pekerjaan mereka masing-masing dan memberikan kebebasan kepada karyawan
memberhentikan pekerjaannya jika sewaktu-waktu pekerjaannya diluar batas kendali. Maka atasan
memberikan dukungan teknis untuk mendampingi mereka dalam pengambilan keputusan
(Gutierrez et al, 2016).

4.6.6 Analisa kompetensi


Kompetensi sangat perlu dipahami petugas kesehatan puskesmas dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya. Kompetensi adalah kombinasi spesifik antara pengetahuan, penguasaan
tugas keterampilan dan disiplin kerja yang dibutuhkan untuk mengerjakan suatu kegiatan khusus.
Untuk mengetahui kompetensi setiap tenaga kerja di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas
Mungkid maka dilakukan analisa kompetensi. Analisa kompetensi mempunyai tujuan untuk
mengetahui kompetensi yang telah tercapai dan belum tercapai oleh setiap tenaga kerja sesuai
dengan standar kompetensi profesinya. Hasil dari analisa kompetensi akan mengetahui
keterampilan yang sudah dimiliki dan yang belum dimiliki oleh tenaga kerja tersebut sesuai dengan
standar kompetensi profesinya. Sebagai tindak lanjutnya maka kompetensi yang belum dicapai
akan diajukan untuk melakukan pelatihan/seminar.

“Kemudian nilai kompetensi juga gitu, jadi setiap SDM pasti ada standar kompetensinya terus
dievaluasi setiap tahun dia gap-nya apa, misalnya bidan ini satu bidan ini namanya ini, kompetensinya
harusnya mampu ini mampu ini mampu ini, pelatihan ini pelatihan ini, nah gap-nya apa yang tahun
ini. Oh dia belum dapet ini belum dapet ini… Nah nanti ada perencanaan pelatihan” (L, 727-739)

Berdasarkan hasil wawancara mendalam, analisa kompetensi diadakan setiap 6 bulan


sekali oleh pihak puskesmas. Syarat diadakannya analisa kompetensi ditentukan oleh Badan
Kepegawaian Daerah (BKD) kabupaten. Nantinya pihak Badan Kepegawaian Daerah (BKD)
kabupaten akan mengirimkan isian dalam bentuk formulir kepada pihak puskemas. Selanjutnya
pihak puskesmas akan mengisi kompetensi yang telah tercapai dan yang belum tercapai oleh
tenaga kerja.
“Yang menentukan syaratnya Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Adanya kompetensi setiap tenaga
kesehatan disini. Misalnya dokter harus ini, bidan dia harus sudah pelatihan ini” (L, 331-336)

Hasil dari analisa kompetensi akan dilaporkan kepada pihak dinas kesehatan untuk
ditindaklanjuti. Laporan hasil analisa kompetensi berupa jumlah tenaga kerja yang sudah
mempunyai keterampilan dan juga yang belum mempunyai keterampilan sesuai dengan bidang
profesinya masing masing.
“Kita laporkan sekaligus kita mengirimkan misalnya, dari sekian perawat ada beberapa orang yang
belum mendapatkan pelatihan gawat darurat. Lalu dari hasil tersebut kita berikan ke dinas kesehatan,
untuk dimintakan diadakan pelatihan” (S, 771-778)
Contoh dari hasil analisa kompetensi adalah terdapat perawat yang belum dan yang sudah
mendapatkan pelatihan/seminar Pelatihan Perawat Gawat Darurat (PPDG) sesuai dengan standar
kompetensi profesi perawat maka pihak puskesmas mengusulkan kepada dinas kesehatan untuk
mendapatkan Pelatihan Perawat Gawat Darurat (PPGD)
“Misalnya ada pelatihan PPGD (Pelatihan Perawat Gawat Darurat), kita mengusulkan ke dinas
kesehatan bahwa ada sekian perawat yang belum mendapatkan pelatihan PPGD” (S, 745-750)
Menurut Wibowo (2007), kompetensi dapat digunakan untuk memprediksi kinerja
seseorang artinya jika mempunyai kompetensi yang tinggi, maka akan mempunyai kinerja yang
akan tinggi pula. Begitupun sebaliknya jika mempunyai kompetensi yang rendah, maka akan
mempunyai kinerja yang rendah pula. Penempatan pegawai pada posisi yang sesuai dengan bidang
dan kompetensinya merupakan salah satu faktor penentu dalam peningkatan kinerja pegawai.
Selain itu juga kompetensi seseorang karyawan dapat meningkatkan daya saing perusahaan. Jadi
dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kompetensi dan meningkatkan
kinerja karyawan yang diharapkan karyawan
4.6.7 Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pelatihan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan sebagai upaya untuk
meningkatkan kemampuan, keterampilan, kinerja dan prestasikaryawannya (Yuniarti, dkk. 2013).
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada di Puskesmas Mlati II dan
Puskesmas Mungkid terdapat beberapa cara yang dilakukan salah satunya yaitu mengikuti
pelatihan/seminar. Upaya ini dilakukan dalam rangka mendukung tercapainya sasaran program
Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM (BPPSDM) kesehatan tahun 2019 yaitu
meningkatnya kualitas tenaga kesehatan. Dengan diadakannya pelatihan maka karyawan
diharapkan dapat meningkatkan ketangkasan, kecepatan dan efisiensi. Selain itu juga dengan
diadakannya pelatihan karyawan dapat terus memperbaharui ilmu terkini sesuai dengan profesinya
(Gutierrez et al, 2016).
“Prinsipnya selama itu berpengaruh terhadap peningkatan kualitas petugas, puskesmas selalu
memberikan kemudahan untuk masin-masing karyawan meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya” (S,
228-234)

Adanya pelatihan tenaga kerja merupakan tindak lanjut dari hasil analisa kompetensi yang
rutin dilakukan oleh pihak puskesmas. Dari hasil analisa kompetensi maka pihak puskesmas dapat
mengetahui keterampilan yang sudah dimiliki dan keterampilan yang belum dimiliki setiap tenaga
kerja. Analisa ini berdasarkan usulan dari kepala masing masing program puskesmas. Selanjutnya
pihak puskesmas akan memberikan hasil analisa kompetensi kepada BKKPD untuk penanganan
lebih lanjut. Namun realisasi usulan pelatihan tidak dapat langsung diwujudkan dan biasanya baru
dapat direalisasikan pada tahun berikutnya
“Kita mengajukannya tiap tahun melalui online ke dinas langsung. Baik itu dari tenaga fungsional,
tenaga administrasi, tenaga struktural. Tapi pengajuan tahun ini realisasinya untuk tahun depan.
Pelatihan itu biasanya banyak dari dinas kesehatan.” (S, 220-227)
Terdapat tiga mekanisme pelatihan yang diikuti oleh tenaga kesehatan di Puskesmas
Mungkid dan Puskesmas Mlati II. Yaitu dari dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten
dan secara perorangan. Adapun dana pelatihan yang diadakan oleh dinas kesehatan provinsi
berasal dari dana APBN, selanjutnya dana pelatihan yang diadakan oleh dinas kesehatan kabupaten
berasal dari dana APBD, dan dana pelatihan secara perorangan berasal dari dana tenaga kerja yang
bersangkutan.

Dana Pelatihan
SDM

Dinas Kesehatan
Dinas Kesehatan
Kabupaten Biaya Sendiri
Provinsi (APBN)
(APBD)
Gambar 16. Dana Pelatihan SDM
Terdapat tiga mekanisme pelatihan yang dapat diikuti oleh tenaga kesehatan. Yang
pertama yaitu pelatihan/seminar yang berasal dari dinas kesehatan provinsi. Pelatihan yang
diadakan oleh dinas kesehatan provinsi merupakan hasil usulan dari puskesmas untuk diadakannya
pelatihan/seminar. Nantinya pihak puskesmas mengirimkan sejumlah tenaga kesehatan yang
ditentukan oleh dinas provinsi untuk mengikuti pelatihan/seminar. Dana dari pelatihan/seminar ini
berasal dari dana APBN

“Kalau APBN yang mengadakan dinas kesehatan misalkan puskesmas mungkid dapat jatah bidan
mengikuti pelatihan ANC kita hanya mengirimkan orang saja dan tidak memikirkan biayanya dan
yang menentukan kuotanya pesertanya dinas sesuai dengan usulan puskesmas” (E, 241-250)

Selanjutnya yaitu pelatihan/seminar yang berasal dari dinas kesehatan kabupaten.


Pelatihan yang diadakan oleh dinas kesehatan kabupaten merupakan hasil usulan dari puskesmas
untuk diadakannya pelatihan/seminar. Nantinya pihak puskesmas mengirimkan sejumlah tenaga
kesehatan yang ditentukan oleh dinas kabupaten untuk mengikuti pelatihan/seminar. Dana dari
pelatihan/seminar ini berasal dari dana APBD

“Kalau dari APBD misalkan kita ada dapat panggilan dari BKPPD dan itu berasal usulan dari
puskesmas karena kan tiap tahun kita mengusulkan pelatihan tenaga kerja tiap tahun. Kita hanya
mengirimkan orang saja untuk melaksanakan pelatihan dan itu yang menentukan BKPPD sesuai
dengan usulan puskesmas” (E, 232-237)

Selanjutnya yaitu pelatihan yang berasal dari tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Adanya pelatihan yang ditanggung sendiri oleh tenaga kesehatan yang bersangkutan biasanya
adalah pelatihan yang berasal dari organisasi progesi. Contohnya yaitu dokter secara mandiri
mengikuti pelatihan ACLS (Advance Cardiac Life Support). Selanjutnya dari pihak puskesmas
hanya memberikan izin kerja kepada tenaga kesehatan yang bersangkutan untuk mengikuti
pelatihan/seminar.

“Kalau dari biaya sendiri misalnya kompetensi bidan harus mempunyai kompetensi APN tetapi tidak
ada anggaran, tapi dia mau dengan biaya sendiri dan dari puskesmas hanya memberikan izin untuk
mengikuti pelatihan tersebut” (E, 253-260)

Elnaga et al. (2013) menyatakan bahwa tanpa pelatihan yang tepat karyawan tidak
menerima informasi dan pengembangan keterampilan ke potensi maksimal yang digunakan untuk
menyelesaikan tugas. Karyawan yang menjalani pelatihan yang tepat cenderung lebih lama
menjaga pekerjaan. Uraian yang telah dijelaskan di atas menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
pelatihan terhadap kinerja dengan mediasi kepemimpinan.
Pelatihan dan pengembangan SDM memiliki pengaruh yang signifikan terhadap disiplin
kerja karyawan. Hal ini berarti semakin banyak pelatihan SDM maka disiplin kerja akan semakin
meningkat. Begitu juga sebaliknya semakin sedikit pelatihan SDM maka disiplin kerja akan
semakin menurun. Pelatihan merupakan cara organisasi memberikan pengembangan dan
meningkatkan kualitas kompetensi yang telah ada pada setiap karyawan. Pelatihan dipandang
sebagai suatu pendekatan yang sistematis dan terstruktur dalam pembelajaran dan pengembangan
untuk meningkatkan kualitas individu, kelompok maupun organisasi (Khawaja & Nadeem, 2013).
Untuk itu serangkaian kegiatan organisasi diarahkan kepada penambahan pengetahuan atau
keterampilan yang nantinya berdampak dengan peningkatan kinerja. Pelatihan juga berfungsi
sebagai suatu intervensi untuk meningkatkatkan kualitas barang dan jasa dalam keterampilan
teknis karyawan. Cara yang paling efektif memotivasi dan memepertahankan kualitas sumber daya
manusia dalam sebuah lingkup organisasi yaitu dengan adanya pelatihan dan pengembangan (Atan
& Mahmood, 2015). Menurut hamilton (2008), tingkat kinerja karyawan dapat ditentukan oleh
jenis pelatihan dan pengembangan yang pernah diikutinya. Secara langsung pelatihan dan
pengembangan mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung terhadap peningkatan
kompetensi karyawan. Lebih lanjut dikatakan bahwa organisasi mempunyai kewajiban untuk
merancang program pelatihan dan pengembangan untuk meningkatkan kinerja dengan
memfokuskan pelatihan tersebut dan program pengembangan kompetensi, pelatihan yang berguna
untuk pengembangan jangka panjang.
4.6.8 Penggajian Sumber Daya Manusia
Menurut Tulus (2011), Gaji adalah sejumlah uang yang diterima oleh tenaga-tenaga majerial
dan tata usaha atas sumbangan jasanya, yang menerima uang dengan jumlah yang tetap berdasarkan
tarif bulanan. Secara garis besar sistem penggajian tenaga kerja di Puskesmas Mlati II dan
Puskesmas Mungkid terbagi menjadi dua kelompok. Kedua kelompok yang dimaksud adalah
Pegawai PNS dan Pegawai Non PNS. Hal ini dapat dilihat pada gambar 17.

Puskesmas
Mlati II

PNS Non PNS

Gaji Pokok Jasa TPP Gaji Pokok Jasa


Pelayanan Pelayanan

Gambar 17. Sistem Penggajian di Puskesmas Mlati II


Berdasarkan gambar 17 sistem penggajian tenaga kerja PNS di Puskesmas Mlati II terdiri
dari gaji pokok PNS, jasa pelayanan dan Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP). Gaji pokok PNS
sendiri berasal dari pemerintah pusat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun
2019 Tentang Perubahan Kedelapan Belas Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977
Tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Pada peraturan tersebut mengatur gaji pokok PNS
berdasarkan golongan, jenjang pendidikan terakhir dan lama masa kerja. Selain mendapatkan gaji
pokok, pegawai PNS di Puskesmas Mlati II juga mendapatkan Tambahan Penghasilan Pegawai
(TPP). Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) ini diatur dalam Peraturan Bupati Sleman Nomor
30 Tahun 2016 tentang Pemberian Tambahan Penghasilan Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan
Pemerintah Kabupaten Sleman, Keputusan Bupati Sleman Nomor 1.15/Kep.KDH/A/2017 Tahun
2017 tentang Besaran Tambahan Penghasilan Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah
Kabupaten Sleman. Besaran tambahan TPP ini berdasarkan jabatan dan golongan pegawai.
Pembayaran TPP dilakukan setiap 3 bulan sekali dan langsung ke rekening pribadi tenaga PNS.
Selanjutnya gaji pokok pegawai Non PNS tenaga BLUD diatur dalam Surat Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Sleman Nomor 814/0169 Tahun 2019 tentang Besaran Upah Pegawai
BLUD/Non PNS Pada Unit Pelayanan Teknis di Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman
Tahun 2019. Sedangkan besaran gaji tenaga pekerja harian lepas (PHL) dan tenaga outsourching
dan honor daerah diatur dalam Peraturan Bupati Sleman Nomor 47.1 Tahun 2017 Tentang
Standarisasi Harga Barang dan Jasa Tahun Anggaran 2018. Penggajian tenaga PHL dan tenaga
outsourching berasal dari pendapatan puskesmas sedangkan honor daerah berasal dari Pemerintah
Daerah Kabupaten Sleman.
Sistem Penggajian tenaga kerja PNS dan Non PNS di Puskesmas Mungkid dapat dilihat
pada gambar 18

Puskesmas
Mungkid

PNS Non PNS

Gaji Pokok Jasa Lembur Gaji Pokok Lembur


Pelayanan

Gambar 18. Sistem Penggajian di Puskesmas Mungkid


Berdasarkan gambar 18 sistem penggajian tenaga kerja PNS di Puskesmas Mungkid
terdiri dari gaji pokok PNS, jasa pelayanan dan lembur. Gaji pokok PNS sendiri berasal dari
pemerintah pusat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2019 tentang
Perubahan Kedelapan Belas Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan
Gaji Pegawai Negeri Sipil. Pada peraturan tersebut mengatur gaji pokok PNS berdasarkan
golongan, jenjang pendidikan terakhir dan lama masa kerja. Di Puskesmas Mungkid sendiri
pegawai PNS tidak mendapatkan Tambahan Penghasilan Pegawai. Hal ini dikarenakan
Pemerintah Kabupaten Magelang menganggap bahwa jasa resiko pelayanan sama seperti
tambahan penghasilan pegawai. Namun pegawai PNS yang bekerja di luar lingkungan puskesmas
tetap mendapatkan TPP. Sebelum adanya kapitasi pegawai PNS di Puskesmas Mungkid pernah
mendapatkan TPP.

“Di luar puskesmas ada, orang pemda yang dapat. Dulu kami juga pernah dapat sebelum adanya
kapitasi” (E, 374-375)

Selanjutnya besaran gaji pegawai non PNS seperti pekerja harian lepas diatur dalam
Peraturan Bupati Magelang tentang Standar Harga Barang dan Jasa Tahun Anggaran 2018.
Penggajian tenaga PHL berasal dari pendapatan puskesmas (kapitasi, retribusi dan jamkesda)
Sedangkan pegawai PTT gajinya berasal dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

Sistem penggajian dari tenaga harian lepas adalah sistem harian. Yang dimaksud dengan
sistem harian adalah petugas diberi upah sesuai dengan jumlah kehadiran petugas tersebut yang
dikumulasikan setiap akhir bulan.

“Jadi sistem penggajiannya kalau dia tidak datang maka tidak digaji” (E, 311-312)

Gaji pegawai PNS dan pegawai Non PNS juga didapatkan dari jasa resiko pelayanan. Jasa
resiko pelayanan berasal dari dana yang didapatkan puskesmas setiap bulan. Regulasi jasa resiko
pelayanan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Penggunaan
Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional. Besaran jasa resiko pelayanan tenaga puskesmas
berdasarkan tiga kriteria utama: tingkat jabatan/latar belakang pendidikan, kehadiran, dan variabel
lokal (senioritas, beban kerja, dan masa kerja).

Di Puskesmas Mungkid sendiri besaran jasa resiko pelayanan sendiri diatur dalam
Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang Nomor 188.45/0/05/2018 tentang
Pembagian Jasa Pelayanan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Unit kerja Puskesmas
Kabupaten Magelang. Pada peraturan tersebut diatur poin poin yang didapatkan tenaga kerja
berdasarkan jabatan di puskesmas dan profesi tenaga kerja puskesmas.

Besaran jasa resiko pelayanan ini tergantung dari dana penghasilan puskesmas setiap
bulannya. Semakin besar penghasilan puskesmas maka semakin besar pula jasa pelayanan yang
didapatkan oleh tenaga puskesmas dan begitu juga sebaliknya semakin kecil penghasilan
puskesmas maka semakin sedikit pula jasa pelayanan yang didapatkan oleh tenaga puskesmas.
Dana puskesmas terdiri dari beberapa sumber antara lain mahasiswa pkl, dari retribusi, pasien
umum dan pasien melahirkan, dari layanan ambulan.
“jasa resiko pelayanan kan dari pendapatan puskesmas.Pendapatan puskesmas kan beberapa jenis
yaitu dari kapitasi puskesmas yang ditransfer setiap tengah bulan, ada dari jasa layanan misalnya dari
dana penelitian, ada yang dari mahasiswa pkl, dari retribusi, pasien umum dan pasien melahirkan, dari
layanan ambulan” (S, 363-375)

Salah satu sumber pendapatan puskesmas berasal dari dana kapitasi yang didapatkan dari
BPJS. Besaran dana kapitasi tergantung dari 3 komponen yaitu contact rate harus mencapai 15%,
rujukan spesialistik <50% dan peserta prolanis harus hadir 50%. Semakin rendah contact rate yang
didapat maka besaran dana kapitasi juga akan berkurang. Dana kapitasi yang berasal dari PNS
sangat diandalkan oleh puskesmas untuk menggaji tenaga kerja non PNS

“Sementara untuk tenaga-tenaga itu kan setiap bulan harus digaji dari dana pendapatan puskesmas
karena itu memang dana kapitasi sangat diandalkan oleh puskesmas untuk memberikan gaji untuk
tenaga non pns” (S, 25-30)

Jasa Pelayanan

Pegawai BLUD
Belanja Pegawai
(Puskesmas Mlati
(60%)
II)

Lembur
(Puskesmas
Anggaran
Mungkid)
Puskesmas

Barang dan Jasa


(Gaji PHL, ATK)
Operasional
(40%)
Modal
(Komputer,
Laptop)

Gambar 19. Anggaran Puskesmas

Berdasarkan gambar 19 diketahui bahwa anggaran puskesmas nantinya digunakan untuk


belanja pegawai sebanyak 60 % dan untuk operasional sebanyak 40%. Hal ini pun juga diatur
dalam Peraturan Bupati Sleman Nomor 1.1 Tahun 2014 tentang Penggunaan Pendapatan Unit
Pelaksana Teknis Badan Layanan Umum Daerah Pada Dinas Kesehatan. Pada peraturan tersebut
dijelaskan bahwa UPT puskesmas rawat inap menggunakan biaya pegawai paling banyak 60%
dan biaya non pegawai/operasional paling sedikit 40%. Sedangkan di magelang diatur dalam
Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang Nomor 188.45/0/05/2018 tentang
Pembagian Jasa Pelayanan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Unit Kerja Puskesmas
Kabupaten Magelang. Pada peraturan tersebut dijelaskan bahwa pemanfaatan jasa pelayanan
sebesar maksimal 60% dari pendapatan dan sisa dana pendapatan digunakan untuk kegiatan
opersional BLUD Unit Kerja Puskesmas.
Setiap organisasi tentunya mempunyai kebijaksanaan tentang upah dan gaji yang
diberikan kepada karyawannya sebagai imbalan atas waktu, tenaga, keahlian dan keterampilan
serta jasa-jasa lainnya yang mereka berikan kepada organisasi. Akan tetapi perlu di tekankan
bahwa yang dimaksud dengan sistem imbalan dalam pengelolaan sumber daya manusia tidak
terbatas hanya pada upah dan gaji saja, akan tetapi mencakup pula berbagai kompensasi materil
lainnya seperti berbagai bentuk tunjuangan-tunjangan istri dan anak, tunjangan biaya pengobatan
atau pemeliharaan kesehatan, tunjangan biaya hidup atau yang dikenal dengan tunjangan
kemahalan, tunjangan jabatan-fasilitas angkutan, fasilitas perumahan, asuransi, bantuan biaya
pendidikan dan bahkan juga hak cuti pada waktu mana seseorang tetap menerima penghasilan
penuh (Siagian, 2016).

Pemberian insentif merupakan salah satu hal pokok yang harus diperhatikan oleh
perusahaan. Semangat tidaknya karyawan bisa juga disebabkan oleh besar kecilnya insentif yang
diterima. Apabila karyawan tidak mendapatkan insentif yang sesuai dengan besarnya pengorbanan
dalam bekerja, maka karyawan tersebut cenderung malas bekerja dan tidak bersemangat yang ada
akhirnya mereka bekerja semaunya tanpa ada motivasi yang tinggi. Dengan adanya pemberian
insentif yang tepat serta cara kerja yang baik sehingga ke depannya, proses kerja organisasi dapat
berjalan sesuai tujuan organisasi. Kinerja karyawan sangat erat kaitannya dengan Gaji dan Insentif
yang mereka terima, karena dapat berdampak positif maupun negatif terhadap semangat kerjanya
yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja karyawan dalam suatu organisasi (Subianto, 2016).

Penelitian yang dilakukan oleh Maharani (2009), menyebutkan bahwa insentif materiil
dan insentif non materiil berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Jadi di dalam memberikan
insentif perusahaan harus mengetahui kebutuhan karyawan masing-masing. Dengan adanya
kebutuhan, seseorang akan termotivasi melakukan pekerjaan dan berarti dapat membantu dalam
upaya memenuhi kebutuhannya. Apabila karyawan merasa kebutuhannya dapat terpenuhi dengan
melakukan suatu pekerjaan, maka ia dapat termotivasi untuk bekerja lebih baik dan secara otomatis
berarti kinerjanya meningkat. pada hakekatnya insentif dapat mendorong karyawan bekerja lebih
baik dengan memanfaatkan unsur-unsur kerja yang lebih optimal, karena terdorong keinginan
untuk memperoleh insentif yang lebih tinggi. Hal ini dapat diperoleh apabila karyawan mampu
memenuhi target yang ditetapkan perusahaan.

4.6.9 Manajemen Sumber Daya Manusia


Manajemen sumber daya manusia adalah suatu usaha untuk mengarahkan dan mengelola
sumber daya manusia di dalam suatu organisasi agar mampu berpikir dan bertindak sebagaimana
yang diinginkan oleh organisasi. (Lestari, 2016).

Manajemen
SDM

Perencanaan Organisasi Pelaksanaan Monitoring Evaluasi

Gambar 20. Manajemen Sumber Daya Manusia


Secara umum terdapat 5 tahap dalam manajemen sumber daya manusia. Tahapan yang
dimaksud yaitu tahap perencanaan, tahap organisasi, tahap pelaksanaan, tahap monitoring dan
tahap evaluasi.
Tahap pertama yaitu tahap perencanaan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
33 Tahun 2015 tentang Perencanaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, perencanaan bertujuan
untuk merencanakan sumber daya manusia yang tepat meliputi jenis, jumlah dan kualifikasi sesuai
kebutuhan organisasi berdasarkan metode perencanaan yang sesuai dalam rangka mencapai tujuan
pembangunan kesehatan. Perencanaan sumber daya manusia berkaitan dengan penentuan
kebutuhan akan tenaga kerja dimasa depan, baik dalam arti jumlah dan kualifikasinya untuk
mengisi berbagai jabatan dan menyelenggarakan berbagai aktivitas baru kelak (Siagian, 2016).
Tahap perencanaan di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid berdasarkan analisa beban
kerja dan analisa jabatan yang rutin diadakan setiap tahun. Selain itu juga setiap awal tahun
penanggung jawab program UKM dan UKP membuat perencanaan program dan jumlah SDM
yang dibutuhkan untuk menjalankan program tersebut.

“Jadi setiap tahun kan kita ada namanya penyusunan uraian tugas. Maksudnya itu semua uraian tugas
puskesmas itu kita susun, kemudian kita bagi tugas ini ke personil yang ini. Nanti kalau kurang kita
ajukan permintaan ke Dinas Kesehatan. Meskipun kita tetap memaksimalkan keberadaan dari tenaga
tersebut” (S, 642-649)

Tahap kedua dalam manajemen sumber daya manusia adalah tahap organisasi.
Pengorganisasian adalah langkah untuk menetapkan, menggolongkan dan mengatur berbagai
macam kegiatan, menetapkan tugas pokok dan wewenang serta pendelegasian tugas (Muninjaya,
2004). Berdasarkan hasil wawancara mendalam di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid
pengorganisasian SDM belum berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan adanya tenaga
kerja yang menjalankan program lebih dari satu/ rangkap. Contohnya yaitu adanya tenaga
administrasi yang merangkap dan menjalankan program promosi kesehatan atas dasar surat
keputusan kepala dinas

“satu personil bisa mengampu lebih dari satu penugasan. Misalnya seorang perawat dia bisa sebagai
pengelola tempat jaga, dia juga bisa pengelola program, dan juga sebagai pengelola ptm” (S, 652-658)

Dengan adanya tenaga puskesmas yang menjalankan tugas lebih dari satu, maka pihak
puskesmas memperhatikan apabila terdapat pegawai kesulitan dalam melaksanakan tugas. Sebagai
tindak lanjutnya beban kerja karyawan tersebut sebaiknya dikurangi atau digeser dan diberikan
tugasnya ke petugas yang lain. Tapi kalau rasanya masih bisa dilaksanakan oleh satu petugas maka
akan lanjutkan.

“Jadi di dalam UKP itu kan ada PJ nya, dan dibawah UKP ada PJ Program. Kalau misalnya ada
pegawai yang merasa kesulitan terkait dengan pelaksanaan tugas, nanti hubungkan kan dengan PJ
UKP nya” (S, 669-675)

Tahap ketiga dalam manajemen sumber daya manusia adalah tahap pelaksanaan. Fungsi
pelaksanaan mencangkup fungsi memberi bimbingan, memberikan motivasi, memberi arah, dan
mempengaruhi (Nurbaeti et al, 2012). Pada fungsi ini lebih mengarahkan dan menggerakkan
semua sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah disepakati. Berdasarkan hasil wawancara
mendalam pada tahap pelaksanaanya banyak ditemukan hambatan, namun pihak puskesmas selalu
membantu tenaga kesehatan untuk mengurangi hambatan tersebut. Contohnya apabila terdapat
kompetensi yang kurang maka akan diikutkan pelatihan sesuai dengan profesi tenaga kerja
tersebut.

“Kalau hambatan saya kira ada. Tapi kan bagaimana kita bisa mengelola hambatan itu supaya tidak
mengganggu. Jadi gini, kalau memang dibutuhkan peningkatan kompetensi dengan pelatihan ya kita
mengusulkan ke dinas kesehatan. Atau kalau perlu seminar ya kita mengirimkan kalau ini ada
seminar.” (S, 693-703)

Tahap keempat dalam manajemen sumber daya manusia adalah tahap monitoring.
Monitoring adalah serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk memberikan informasi tentang
sebab dan akibat dari satu kebijakan yang lebih terfokus pada kegiatan yang sedang dilaksanakan.
Tujuan monitoring adalah mengetahui apakah kegiatan yang sedang berlangsung sesuai dengan
perencanaan dan prosedur yang telah disepakati. Berdasarkan hasil wawancara pelaksanaan
monitoring di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid menggunakan absensi finger print
yang bersifat online dan berhubungan langsung dengan BKKPD. Absensi finger print dilakukan
saat pagi hari dan sore hari. Pelaksanaan monitoring dilakukan setiap hari dan absensi akan direkap
pada akhir bulan.

“Iya terdapat monitoring disini contohnya pagi, datang apel pagi jam 7 dengan finger print, kalau tidak
datang kan kita ada absen sama nanti ada grup untuk izin yang disertai karena apa misalnya karena
keperluan keluarga, izin karena sakit, atau izin karena datang terlambat” (E, 270-274)

Selain menggunakan absensi finger print yang bersifat online, monitoring di Puskesmas
Mungkid dan Puskesmas Mlati II juga menggunakan absensi manual. Monitoring ini digunakan
untuk tenaga kerja non PNS seperti tenaga PHL. Pelaksanaan monitoring dilakukan setiap hari
melalui absensi. Pada akhir bulan absensi akan dijumlahkan dan direkap untuk dilakukan evaluasi.

“Selain dengan finger print kita juga ada yang dilakukan dengan manual (absensi) untuk monitoring”
(E, 278-281)

Tahap kelima dalam manajemen sumber daya manusia adalah tahap evaluasi. Evaluasi
merupakan suatu proses sistematis menetapkan nilai tentang sesuatu hal, seperti objek, proses,
unjuk kerja, kegiatan, hasil, tujuan, atau hal lain berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian.
Berdasarkan hasil wawancara proses evaluasi di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid
sudah berjalan dengan baik. Tahap evaluasi digunakan untuk menilai tenaga kerja dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
“evaluasi untuk melihat kemampuan petugas di dalam menjalankan tugas di tempat kerjanya” (S, 327-
331)

Tahap evaluasi dinilai setiap akhir tahun dan terdapat beberapa komponen penilaiannya.
Komponen evaluasi dinilai dari seberapa banyak kehadiran melalui finger print, integritas,
perilaku kerja dan lain-lain. Yang mempunyai wewenang untuk melakukan evaluasi yaitu kepala
puskesmas untuk tenaga fungsional tertentu dan kepala tata usaha untuk tenaga fungsional umum.
Untuk penilaian pegawai nanti dilaksanakan akhir tahun. Penilaian berdasarkan beberapa
komponen seperti komponen perilaku kinerja, prestasinya, intergritas, disiplin dan dilihat dari
keseharian.

“Ada yang namanya PPKP (penilaian prestasi kerja pegawai) yang dilakukan pada akhir tahun.
Evaluasi sudah dilakukan melalui daftar kehadiran melalui fingerprint yang online dengan PPKP” (S,
299-304)

Hasil dari evaluasi yang dilakukan nantinya akan mempengaruhi kelanjutan dari kontrak
kerja dari tenaga kerja yang bersangkutan. Apabila prestasi kerja karyawan tersebut baik maka
kontrak kerjanya akan diperpanjang, namun apabila prestasi kerjanya tidak memuaskan maka
kontrak kerjanya tidak akan diperpanjang

“penilaian kinerja pegawai dan tergantung dari kinerja pegawai dan kalau memuaskan tentunya kita
akan melanjutkan MoU tersebut di tahun yang akan datang akan tetapi kalau tidak memuaskan
tentunya sulit untuk dilanjutkan” (S, 284-291)

Robbins dan Judge (2015) mengatakan bahwa praktik pelaksanaan dalam manajemen
sumber daya manusia (SDM) seperti proses perekrutan karyawan, mempengaruhi efektivitas
organisasi. Dengan manajemen sumber daya manusia yang baik, organisasi bisa merekrut orang
yang tepat, mencari tahu siapakah orang yang tepat tersebut, mengidentifikasi orang yang tepat
merupakan tujuan dari proses rekruitmen, yang menyertakan karakteristik dari individu
(kemampuan, pengalaman, dan lain sebagainya) sesuai dengan persyaratan pekerjaan.
Jika pelaksanaan manajemen SDM baik maka akan meningkatkan kualitas SDM.
Terdapat 3 kunci penting dalam manajemen sumber daya manusia yaitu kinerja karyawan,
produktifitas karyawan dan semangat kerja karyawan. Kinerja karyawan merupakan hasil kerja
yang dicapai baik secara kualitas dan kuantitas oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugas
yang diberikan kepadanya. Produktifitas karyawan adalah gabungan keluaran (output) jasa dan
(input) jasa yang digunakan dalam proses produksi. Semangat kerja karyawan dapat dinilai dari
bagaimana seorang karyawan mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya setiap hari (Samsuni,
2017).
Salah satu sasaran penting dalam rangkaian manajemen sumber daya manusia adalah
terciptanya kepuasan kerja anggota organisasi yang bersangkutan dan berdampak kepada
peningkatan prestasi kerja. Dengan adanya kepuasan kerja diharapkan pencapaian organisasi akan
semakin baik, akurat dan mingkat (Irbayuni,2012). Menurut Hamid (2013), terdapat hubungan
manajemen sumber daya manusia strategik dengan kinerja organisasi yaitu manajemen sumber
daya manusia strategik dapat meningkatkan kinerja organisasi. Hal ini berarti sumber daya
manusia dengan tujuan strategis organisasi dapat berjalan dengan baik maka kinerja organisasi
dapat berkembang, di lain sisi juga berdampak mengembangkan budaya organisasi yang
mendorong inovasi fleksibilitas dan keunggulan kompetitif.

4.7 Penemuan Baru

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2016


tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat Dengan Pendekatan Keluarga,
PISPK mempunyai tujuan yaitu mendukung pencapaian standar pelayanan minimal
kabupaten/kota melalui peningkatan akses dan skrining kesehatan. PISPK ini juga merupakan
salah satu program dari Agenda ke-5 Nawa Cita yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup manusia
Indonesia.

Terdapat tambahan tenaga kerja pada program PISPK. Tenaga PISPK terdiri dari
nutrisionist, epidemiolog, dan promosi kesehatan. Tenaga ini diharapkan nantinya untuk
mendukung upaya-upaya yang bisa meningkatkan upaya SPM kesehatan. Perekrutan tenaga
PISPK ini dilakukan mandiri oleh Puskesmas Mlati II yang di umumkan melalui website yang
dikelola oleh puskesmas. Proses seleksi tenaga kerja dilakukan oleh tim internal yang dibentuk
oleh Puskesmas Mlati II.

“Tenaga baru itu bertujuan untuk mendukung program indonesia sehat dengan pendekatan keluarga.
Terdapat tiga tenaga yang kita rekrut yaitu. Tenaga ini diharapkan nantinya untuk mendukung upaya-upaya yang
bisa meningkatkan upaya SPM” (S, 168-177)
Sistem penggajian tenaga PISPK ini berasal dari dana BOK yang dikirimkan langsung
oleh pihak Kementrian Kesehatan kepada Dinas Kabupaten Sleman dan kemudian dana tersebut
akan diberikan kepada pihak Puskesmas Mlati II.

“anggaran operasional kesehatan dari Kementerian Kesehatan, bukan dana BLUD. Artinya, jumlah
anggaran dari Kementerian Kesehatan melalui Pemerintah Sleman, kita gunakan untuk menggaji tenaga BOK”
(S, 613-619)

Dalam pelaksanaannya, Pendekatan keluarga yang dimaksud adalah berupa kunjungan


rumah oleh Puskesmas dan perluasan dari upaya Puskesmas meliputi kegiatan sebagai berikut :

1. Kunjungan keluarga untuk pendataan/pengumpulan data Profil Kesehatan Keluarga dan


peremajaan (updating) pangkalan datanya.
2. Kunjungan keluarga dalam rangka promosi kesehatan sebagai upaya promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitative.
3. Kunjungan keluarga untuk menindaklanjuti pelayanan kesehatan dalam gedung
4. Pemanfaatan data dan informasi dari profil kesehatan keluarga untuk
pengorganisasian/pemberdayaan masyarakat dan manajemen keluarga.

4.8 Pencapaian SPM Umum


Standar pelayanan minimal (SPM) bidang kesehatan tiap tahunnya tentunya memiliki
capaian hasil evaluasi. Pencapaian standar pelayanan minimal menjadi indikator kinerja
puskesmas yang akan di evaluasi pada akhir tahun.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan SPM di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas
Mungkid dilaksanakan melalui kegiatan lokakarya mini yang rutin dilaksanakan setiap bulan. Pada
kegiatan lokakarya mini tersebut, setiap penanggung jawab program akan memaparkan hasil
capaian SPM dan kendala serta hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan SPM. Apabila terdapat
program yang tingkat pencapaiannya masih rendah dan tidak memenuhi target maka akan
dilakukan analisis faktor penyebabnya. Analisis yang dilihat terdiri dari 6 faktor yaitu Men
(manusia), Method (cara atau metode), Money (dana), Material (bahan, sarana dan prasarana),
Market (pasaran atau tempat) dan Machine ( mesin, peralatan atau teknologi). Setelah faktor
penghambat diketahui, puskesmas kemudian membuat rencana perbaikan untuk dilakukan ditahun
berikutnya. Dengan begitu diharapkan capaian SPM dapat mencapai target yang telah ditetapkan.

4.8.1 Pencapaian SPM Kesehatan Puskesmas Mlati II


Dalam melaksanakan kegiatan SPM kesehatan, Puskesmas Mlati II menggunakan
pedoman Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Minimal. Penggunaan SPM kesehatan di Puskesmas Mlati II digunakan untuk penilaian kinerja
puskesmas yang diadakan setiap akhir tahun dan penilaian akreditasi puskesmas. Terdapat 12
indikator jenis pelayanan SPM pada Permenkes Nomor 43 tahun 2016. Jenis pelayanan tersebut
mengacu siklus kehidupan yaitu pelayanan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, bayi baru lahir,
balita, usia anak pendidikan dasar, usia produktif, usia lanjut, penderita hipertensi, penderita
diabetes melitus, orang dengan gangguan jiwa berat, orang dengan TB dan terakhir adalah orang
dengan risiko terinfeksi HIV.
Berikut adalah pencapaian SPM Kesehatan Puskesmas Mlati II Tahun 2018 berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan
Grafik 3. Pencapaian SPM Kesehatan Puskesmas Mlati II

Berdasarkan grafik 3 terdapat lima indikator yang mencapai target pencapaian 100% yaitu
indikator setiap ibu bersalin mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar, indikator setiap anak
pada usia pendidikan dasar mendapatkan skrining kesehatan sesuai standar, indikator setiap ODGJ
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar, pelayanan kesehatan orang dengan TB dan
pelayanan kesehatan orang dengan risiko terinfeksi HIV.
Sedangkan terdapat tujuh indikator yang belum mencapai target indikator yaitu indikator
setiap ibu hamil mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar, indikator setiap bayi lahir
mendapatkan yankes sesuai standar, indikator setiap balita mendapatkan yankes sesuai standar,
setiap WNI usia 15-59 tahun mendapatkan skrining kesehatan sesuai standar, setiap WNI usia 60
tahun keatas mendapatkan skrining kesehatan sesuai standar, setiap penderita HT mendapatkan
pelayanan kesehatan sesuai standar dan setiap penderita DM mendapatkan pelayanan kesehatan
sesuai standar.
Berdasarkan wawancara terdapat beberapa kendala yang menyebabkan tidak tercapainya
target SPM. Salah satunya yaitu terkait dengan data proyeksi/sasaran.

“........terkait dengan data. Data yang ada tidak sinkron karena data dari desa dan data dari BPS tidak
sama. Jadi kita berdasarkan data dari pendataan kader” (V, 100-104)

Selain dikarenakan data yang tidak sinkron, terdapat faktor lain yang menyebabkan
capaian tidak terpenuhi. Pada indikator ibu hamil faktor hambatannya yaitu tidak semua ibu hamil
melakukan skrining/pemeriksaan ke dokter spesialis kandungan.

“...... skrining dan pendataan ibu hamil yang dilakukan oleh petugas KIA jadi masih sedikit lebih baik
itupun K4 belum tentu bisa karena K1 kadang mereka bisa datang ke dokter spesialis dan tidak datang
ke puskesmas” (V, 87-94)

Pada indikator setiap bayi lahir mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar faktor
hambatannya yang ditemukan yaitu tidak semua ibu hamil melahirkan di bulan desember namun
pelaporan SPM ditutup pada akhir tahun mengakibatkan ada data ibu hamil yang tidak masuk
hitungan dan mengurangi angka pencapaian dan mengakibatkan hasil pencapaian tidak mencapai
100%.

“data proyeksinya itu sebanyak 550 dan ditutup di bulan desember. Namun tidak semua ibu hamil itu
selesai hamilnya di bulan desember, bisa jadi prediksi kelahirannya di bulan maret. Jadi kan
pelayanannya belum selesai di bulan desember, jadi tidak bisa tercapai 100%” (A, 93-100)

Pada indikator setiap balita mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar, hambatan
yang ditemukan adalah tidak semua ibu mengontol ulang bayi ke puskesmas dan tidak semua bayi
melahirkan di puskesmas serta tidak adanya kewajiban untuk mengontrol bayi ke puskesmas.
Selain itu juga anak usia 5 tahun sudah banyak bersekolah baik di wilayah kerja maupun tidak di
wilayah kerja Puskesmas Mlati II dan tidak mempunyai waktu untuk melakukan skrining
kesehatan di Puskesmas Mlati II serta menjadi tantangan tersendiri bagi pegawai puskesmas untuk
melakukan skrining. Hal ini dikarenakan tidak adanya kerjasama antara pihak puskesmas dan
sekolah untuk melaksanakan skrining kesehatan pada anak balita. Selain itu juga tidak adanya
kewajiban bagi pihak sekolah untuk melaporkan anak balita kepada Puskesmas Mlati II untuk
melaksanakan skrining kesehatan.

“Indikator untuk bayi itu 0-28 hari. Karena tidak semua ibu mengontrol ulang bayinya ke puskesmas
karena tidak semua lahirnya di puskesmas. Nah dari sana kenapa kontrolnya masih lemah karena tidak
ada kewajiban untuk mengontrol bayi ke puskesmas” (A, 102-110)

“Anak-anak sekarang ketika umur 5 (lima) tahun apakah ke posyandu semua kan tidak. Sudah ada
yang disekolahkan, dan sekolahnya tidak masuk ke mlati 2 Dan tidak semua sekolah juga melaporkan
ke puskesmas, walaupun puskesmas telah mencoba menjaring sekolah-sekolah untuk bisa
melaporkan” (A, 120-124)

Pada indikator setiap WNI usia 15-59 tahun mendapatkan skrining kesehatan sesuai
standar, hambatan yang ditemukan adalah banyak masyarakat usia produktif yang bekerja, kuliah,
sekolah sehingga tidak mempunyai waktu yang cukup berkunjung ke puskesmas untuk melakukan
skrining kesehatan. Selanjutnya rendahnya pencapaian pada indikator usia produktif dikarenakan
terbatasnya waktu pelayanan kesehatan di Puskesmas Mlati II. Selain itu juga banyak warga yang
berada dan bekerja di luar daerah/Provinsi DIY sehingga tidak memungkinkan pergi ke Puskesmas
Mlati II untuk melaksanakan skrining dan konsultasi kesehatan sesuai standar.

“Usia 15-59 tahun kan orang dengan usia produktif otomatis dia tidak selalu dengan KTP dia tinggal
disini, padahal jumlah penduduk yang disini dan terdaftar& didata tidak semuanya tinggal disini dan
bisa saja di tinggal di luar kota tidak datang kesini, untuk itu bagaimana saya bisa melakukan skrining”
(V, 75-84)

Pada indikator setiap WNI usia > 60 tahun mendapatkan skrining kesehatan sesuai standar
faktor hambatannya yaitu tidak semua lansia mempunyai kendaraan untuk pergi ke puskesmas.
Hal ini mengakibatkan sedikitnya lansia yang melakukan skrining dan konsultasi kesehatan ke
puskesmas. Selain itu juga kurangnya kesadaran lansia terkait masalah kesehatan juga
mempengaruhi rendahnya capaian pada indikator ini.
“Masyarakat kita masih banyak yang minta dimanjakan dimana banyak yang ingin didatangi atau
dikunjungi” (A, 148-151)

Pada indikator setiap pasien hipertensi dan diabetes militus mendapatkan pelayanan
kesehatan sesuai standar faktor hambatannya yaitu kurangnya kesadaran masyarakat untuk kontrol
penyakit ke puskesmas dan adanya kesulitan dari pihak puskesmas untuk mencari data pasien
diabetes militus yang berada di wilayah Puskesmas Mlati II.

“banyak hipertensi yang tidak memiliki gejala, maka banyak masyarakat yang melihat itu bukan
masalah. Jadi walaupun hipertensinya tinggi banyak yang merasa tidak perlu untuk berobat” (A, 126-
131)

Pada indikator setiap orang berisiko terinfeksi HIV (ibu hamil, pasien TB, pasien IMS,
waria/transgender, pengguna napza, dan warga binaan lembaga pemasyarakatan) mendapatkan
pelayanan kesehatan sesuai standar pencapaiannya melebihi dari target yang telah ditentukan. Hal
ini dikarenakan pada penentuan target sasaran Puskesmas Mlati II menggunakan angka proyeksi.

“untuk HIV itu kan ada proyeksi. Untuk tahun ini proyeksinya itu untuk ibu hamil, penderita IMSS,
dan penderita TB. Jadi misalnya, untuk ibu hamil itu kita sudah memprediksi untuk tahun ini tetapi
kemudian bertambah. Kalau bertambah kan nambah kasaran juga di bawahnya” (A, 180-189)

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan tidak terpenuhinya beberapa indikator SPM
di Puskesmas Mlati II diakibatkan oleh banyaknya beban atau tugas yang ditanggung oleh
puskesmas saat ini sehingga mengakibatkan kurangnya waktu yang diperlukan untuk memenuhi
target semua program yang ada di puskesmas dan sekarang puskesmas dalam bekerja tidak melihat
jam jadi bisa kapan saja untuk kerjanya. Menurut Lestari (2016), meningkatnya beban kerja tenaga
puskesmas diakibatkan oleh kebijakan di era JKN dimana puskesmas merupakan salah satu
fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang harus didatangi peserta JKN untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan dasar. Akibat dari kebijakan ini, jumlah kunjungan pasien ke puskesmas
semakin meningkat dan dapat dipastikan beban kerja para petugas puskesmas pun akan meningkat
pula

“Sebenarnya puskesmas ini sudah overload, dimana semua indikator kinerja masuknya ke puskesmas.
Mereka tidak melihat beban kerja kami seperti apa sehingga tidak sesuai nalar” (A, 74-79)

Selain menggunakan standar pelayanan minimal kesehatan yang berpedoman pada


Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016, Puskesmas Mlati II juga menggunakan SPM
yang berasal dari Peraturan Bupati Sleman Nomor 10.1 Tahun 2013 tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Kesehatan. Pada Perbup Sleman tersebut terdapat 63 indikator kinerja yang harus
dilaksanakan. Di Puskesmas Mlati II hanya tiga indikator dilaksanakan yaitu indikator
rumah/bangunan bebas jentik nyamuk aedes, indikator cangkupan rumah tangga ber PHBS, dan
indikator pelayanan KB sesuai standar. Adanya penambahan indikator ini dikarenakan rendahnya
pencapaian target pada tahun sebelumnya dan masih ditemukan banyaknya masalah pada indikator
tersebut. Berikut ini adalah pencapaian target indikator berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
RI Nomor 741/MENKES/PER/VII/2008 Tentang SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten Kota.

Tabel 6. Indikator Kinerja SPM Kesehatan Puskesmas Mlati II

Target
No Jenis Pelayanan Cangkupan
Pencapaian

1 Rumah/bangunan bebas jentik 95% 33,71%


nyamuk aedes

2 Cangkupan rumah tangga ber 52,5% 50,90%


PHBS

3 Pelayanan KB sesuai standar 100% 100%

Berdasarkan tabel 6 dari tiga indikator tambahan hanya satu yang mencapai target yang
ditetapkan yaitu pada indikator Pelayanan KB sesuai standar namun dua indikator lainnya yaitu
indikator rumah/bangunan bebas jentik nyamuk aedes dan indikator cangkupan rumah tangga ber
PHBS belum mencapai target yang telah ditetapkan.
4.8.2 Pencapaian SPM Kesehatan Puskesmas Mungkid
Standar pelayanan minimal (SPM) bidang kesehatan tiap tahunnya tentunya memiliki
capaian hasil evaluasi untuk melihat potret pelayanan kesehatan. Dalam melaksanakan kegiatan
SPM kesehatan, Puskesmas Mungkid menggunakan pedoman Peraturan Bupati Nomor 4 Tahun
2015. Pencapaian SPM ini terdapat dalam bentuk laporan pada sebuah dokumen profil kesehatan
Puskesmas Mungkid. Profil kesehatan tersebut dibuat secara rinci setiap tahunnya. Berdasarkan
dokumen profil kesehatan Puskesmas Mungkid tahun 2018, terdapat indikator kinerja yang telah
mencapai target yang telah ditentukan dan ada indikator kinerja SPM Puskesmas masih belum
berhasil mencapai target yang telah ditentukan. Dari 75 indikator kinerja terdapat 41 indikator
kinerja yang memenuhi target pencapaian dan 34 indikator kinerja yang belum memenuhi terget
pencapaian. Indikator kinerja tersebut tergabung dalam delapan jenis pelayanan, yaitu Upaya
Kesehatan Jiwa, Upaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Upaya Pencegahan Penyakit, Upaya
Kesehatan Lansia, Upaya Kesehatan Sekolah, Upaya Gizi, Upaya kesehatan Lingkungan dan
Upaya Promosi Kesehatan.
Pada indikator kinerja upaya indikator upaya kesehatan jiwa dari 2 indikator kinerja tidak
ada yang memenuhi target pencapaian. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Target
No Indikator Kinerja Sasaran Cangkupan
Pencapaian

1 Setiap orang dengan gangguan 100% 448 33,71%


jiwa mendapatkan pelayanan
kesehatan sesuai standar

2 Kunjungan ODGJ ke puskesmas 15% 5965 1,71%

Tabel 7. Indikator Kinerja Upaya Kesehatan Jiwa

Rendahnya pencapaian kinerja upaya kesehatan jiwa disebabkan oleh kurangnya


sosialisasi program desa sehat siaga jiwa dari pihak puskesmas mungkid. Pada tahun 2018 dari 14
desa yang menjadi wilayah kerja puskesmas mungkid hanya ada 3 yang menjalankan program
desa sehat siaga jiwa. Namun pada tahun 2019 ini akan ada 5 desa baru yang akan menjalankan
program ini sehingga totalnya akan menjadi 8 desa dari 14 desa yang akan menjalankan program
desa sehat siaga jiwa. Selain kurangnya sosialisasi dari pihak puskesmas, rendahnya pencapaian
ini juga diakibatkan oleh terbatasnya jumlah sumber daya manusia yang menjalankan program ini.
Dari hasil wawancara hanya ada 1 petugas yang menjalankan program ini ditambah 1 desa yang
mempunyai relawan untuk membantu program kesehatan jiwa. Faktor lain yang menyebabkan
rendahnya pencapaian adalah kurangnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap masalah
kejiwaan.
Pencapaian pada indikator kinerja kesehatan ibu&anak secara keseluruhan cukup
memuaskan. Hal ini dapat dilihat dengan hanya terdapat 3 indikator yang belum memenuhi target
capaian dan 13 indikator sudah mencapai target pencapaian.
Indikator yang memenuhi target capaian dapat dilihat dari tabel berikut:
Target
No Indikator Kinerja Sasaran Cangkupan
Pencapaian

1 Cangkupan Kunjungan K4 95% 963 95,53%

2 Deteksi kasus resiko tinggi ibu 100% 193 131,83%


hamil

3 Ibu hamil resti yang ditangani 100% 193 131,83%

4 Ibu hamil dengan komplikasi yang 100% 193 131,83%


ditangani

5 Cangkupan pertolongan persalinan 100% 923 100%


oleh tenaga kesehatan

6 Cangkupan Kn1 (6 jam sd 48 jam) 100% 923 100%

7 Cangkupan kunjungan neonatus 95% 879 99,88%


(Kn2) (hari ke 3 sd hari ke 7)

8 Cangkupan kunjungan neonatus 95% 879 99,88%


(Kn3) (hari ke 8 sd hari ke 28)

9 Cangkupan kunjungan bayi 92% 879 105,8%

10 BBLR yang ditangani 100% 19 100%

Tabel 8. Indikator Kinerja KIA

Terdapat beberapa indikator yang melebihi target pencapaian. Hal ini disebabkan oleh
sasaran yang digunakan menggunakan nilai estimasi. Namun pada kenyataannya nilai estimasi
yang ditentukan tidak sesuai dengan yang diperkirakan. Selain itu juga tingginya pencapaian
dikarenakan adanya ibu hamil yang berasal dari luar puskesmas mungkid yang mengecek
kehamilan di puskesmas mungkid.
Pencapaian pada indikator upaya P2M secara keseluruhan tergolong baik. Hal ini dapat
dilihat dengan 15 indikator yang sudah memenuhi target capaian dan 7 indikator yang belum
memenuhi target capaian.
Target
No Indikator Kinerja Sasaran Cangkupan
Pencapaian

1 Setiap orang dengan TB 100% 74 16,21%


mendapatkan pelayanan TB sesuai
standar

2 Cangkupan suspect TB 70% 788 22,96%

3 Penemuan kasus TB BTA (+) 70% 74 16,21%

4 Setiap orang berisiko terinfeksi 100% 1033 71,63%


HIV (ibu hamil, pasien TB, pasien
IMS, waria/transgender, pengguna
napza, dan warga binaan lembaga
permasyarakatan) mendapatkan
pemeriksaan HIV sesuai standar

5 Angka kesembuhan (convertion 70% 245 16,73%


rate)

6 Cangkupan balita dengan diare 26% 1144 19,8%


yang ditangani sesuai standar

7 Penderita kusta yang selesai 90% 1 0


berobat (RFT rate)

Tabel 9. Indikator Kinerja Upaya P2M

Upaya P2M (pengendalian dan pemberantasan penyakit menular dan tidak menular)
terdiri dari pencegahan penyakit TB, pencegahan penyakit diare dan pneumonia pada balita, dan
layanan imunisasi. Layanan imunisasi terdiri dari imunisasi BCG, imunisasi DPT 1 dan DPT 3,
imunisasi polio 1 dan 3, imunisasi campak, imunisasi hepatitis B0, hepatitis B1, hepatitis B2,
hepatitis B3.

Dari data sekunder yang didapatkan capaian layanan imunisasi sudah memuaskan dan
dari semua indikator yang ada sudah mencapai target yang ditetapkan serta layanan pencegahan
penyakit TB belum memuaskan. Hal ini dapat dilihat hanya 2 indikator yang memenuhi target
capaian dan 5 indikator yang tidak memenuhi target capaian yang telah ditetapkan.

Rendahnya pencapaian layanan pencegahan penyakit TB disebabkan oleh kurangnya


kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap penyakit TB, adanya perasaan malu atau sungkan
untuk periksa penyakit TB dan dari faktor lingkungan yang takut dikucilkan apabila terdiagnosa
penyakit TB, serta banyak dari ekonomi keluarga menengah ke bawah, pasien tidak kembali
setelah di beri pot, Pasien sulit mengeluarkan dahak.

Dari faktor sumber daya manusianya juga belum semua kader aktif melakukan sosialisasi
mengenai penyakit TB kepada masyarakat dan kurangnya kerja sama lintas program. Untuk
meningkatkan cangkupan layanan penyakit TB maka pada tahun 2019 Puskesmas Mungkid
mengadakan program simantuk. Program simantuk adalah program siaga memantau batuk.
Program ini berisi sosialisasi kepada warga tentang adanya keluarga atau lingkungan sekitar yang
mempunyai keluhan batuk lebih dari 2 minggu maka secara aktif melapor kepada kader/petugas
dan sosialisasi cara batuk efektif kepada masyarakat. Selain itu juga petugas secara aktif
mengambil dahak ke rmh pasien bila pot tidak kembali, petugas mengingatkan kepada petugas
PKD dan PUSTU bila ada suspek dan gejala segera diambil dahaknya untuk dilaksanakan
pemeriksaan.

Pencapaian pada indikator upaya kesehatan lansia secara keseluruhan belum memuaskan.
Hal ini dikarenakan dari 3 indikator yang ada tidak satupun yang memenuhi target capaian.
Rendahnya pencapaian pada indikator upaya kesehatan lansia disebabkan oleh kurangnya
kesadaran dan pengetahuan lansia terhadap kesehatan, lansia jarang di rumah karena bekerja
sehingga tidak mengikuti posyandu dan kurangnya anggaran untuk pelatihan untuk lansia.
Indikator yang belum memenuhi target capaian dapat dilihat dari tabel berikut:

Target
No Indikator Kinerja Sasaran Cangkupan
Pencapaian

1 Jumlah posyandu pra usila dan 100% 70 78,57%


usila yang ada

2 Cangkupan pelayanan pralansia 100% 8966 61,43%


dan lansia
3 Setiap warga negara indonesia usia 100% 8966 50,18%
60 tahun ke atas mendapatkan
skrining kesehatan sesuai standar

Tabel 10. Indikator Kinerja Kesehatan Lansia

Pencapaian pada indikator upaya kesehatan sekolah secara keseluruhan sudah


memuaskan. Pada indikator upaya kesehatan sekolah 1 indikator yang sudah mencapai target
capaian dan 1 indikator yang belum mencapai terget capaian. Hal ini dapat dilihat dari tabel
berikut:

Target
No Indikator Kinerja Sasaran Cangkupan
Pencapaian

1 Cangkupan pelayanan kesehatan 45% 1742 99,31%


siswa TK, SD, SMP dan SMA

2 Capaian skrining kesehatan pada 100% 1159 98,5%


anak pada usia pendidikan dasar
sesuai standar

Tabel 11. Indikator Kinerja Upaya Kesehatan Sekolah

Terpenuhinya semua target pencapaian indikator upaya kesehatan sekolah ini oleh adanya
kerjasama lintas sektoral antara puskesmas dan pihak sekolah.

Pencapaian pada indikator upaya gizi secara keseluruhan sudah cukup memuaskan. Pada
indikator upaya gizi terdapat 9 indikator yang sudah memenuhi target capaian dan 2 indikator yang
belum terpenuhi.

Indikator yang belum mencapai target capaian dapat dilihat dari tabel berikut:

Target
No Indikator Kinerja Sasaran Cangkupan
Pencapaian
1 Cangkupan pemberian pmt MP ASI 100% 1477 38,45%
pada bayi BGM dari gakin

2 Desa dengan cakupan keluarga 90% 10 71,42%


bergaram yodium baik

Tabel 12. Indikator Kinerja Upaya Gizi

Adanya pencapaian yang tidak memenuh target disebabkan oleh kurangnya kesadaran
dan pengetahuan masyarakat terkait masalah gizi serta kurangnya sumber daya manusia yang
menjalankan program upaya gizi ini.

Pencapaian pada indikator upaya kesehatan lingkungan secara keseluruhan belum


memuaskan. Pada indikator upaya kesehatan lingkungan terdapat 5 indikator yang belum
memenuhi target capaian dan 2 indikator yang sudah memenuhi target pencapaian.

Rendahnya capaian indikator upaya kesehatan lingkungan disebabkan oleh kurangnya


kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan lingkungan. Contohnya yaitu masih
banyaknya warga desa yang BAB di kali sungai. Selain itu kurangnya sumber daya manusia dalam
menjalankan program ini juga menjadi faktor yang berperan dalam banyaknya indikator yang
belum tercapai.

Indikator yang belum mencapai target capaian dapat dilihat dari tabel berikut:

Target
No Indikator Kinerja Sasaran Cangkupan
Pencapaian

1 Proporsi TTU yang memenuhi 76% 91 59,34%


syarat sanitasi

2 Proporsi TPM memenuhi syarat 72% 144 48,61%

3 Proporsi penduduk akses jamban 87% 65875 73,40%


yang memenuhi syarat kesehatan

4 Proporsi pengelolaan sampah RT 50% 17070 34,39%


memenuhi syarat kesehatan
5 Proporsi pengelolaan sampah RT 49% 17070 23,57%
memenuhi syarat kesehatan

Tabel 13. Indikator Kinerja Upaya Kesehatan Lingkungan

Pencapaian pada indikator upaya promosi kesehatan secara keseluruhan belum


memuaskan. Hal ini dibuktikan dengan terdapat 5 indikator yang sudah memenuhi target capaian
dan 6 indikator yang belum memenuhi target pencapaian. Indikator yang belum mencapai target
capaian dapat dilihat dari tabel berikut:

Target
No Indikator Kinerja Sasaran Cangkupan
Pencapaian

1 Cangkupan desa siaga aktif 100% 14 69%

2 Frekuensi Pembinaan 80% 127 30%

3 Jumlah kader terlatih 100% 8966 50,18%

4 Penyuluhan HIV/AIDS di sekolah 65% 16 8,4%

5 Penyuluhan P3 NAPZA di sekolah 65% 16 8,4%

Tabel 14. Indikator Kinerja Upaya Promosi kesehatan

Rendahnya pencapaian upaya promosi kesehatan disebabkan oleh beberapa hal.


Contohnya yaitu pada program kader terlatih yaitu terdapat masalah kurangnya anggaran untuk
melaksanakan pelatihan kader. Pada program peyuluhan NAPZA dan HIV/AIDS terdapat masalah
yaitu belum adanya integrasi lintas program dan kurangnya sumber daya manusia untuk
melakukan sosialisasi ke sekolah.

4.9 Persamaan Pelaksanaan SPM Kesehatan


Terdapat beberapa persamaan pelaksanaan SPM kesehatan yang ada di Puskesmas Mlati
II dan Puskesmas Mungkid. Persamaan yang dimaksud adalah belum semua indikator SPM
kesehatan yang dijalankan mencapai target program. Salah satu faktornya disebabkan oleh
kurangnya sumber daya manusia yang tersedia untuk melaksanakan program SPM kesehatan. Hal
ini dapat terlihat dengan adanya tenaga kerja yang mempunyai tugas rangkap/lebih dari satu untuk
melaksanakan program SPM kesehatan. Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja yang ada,
Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid melaksanakan perekrutan pegawai non PNS.
Pegawai non PNS yang dimaksud yaitu tenaga BLUD, tenaga PHL, tenaga outscourching, tenaga
honor daerah dan tenaga PTT. Selain itu juga dalam setiap tahunnya dilakukan adanya analisis
beban kerja dan analisis jabatan untuk mengetahui kebutuhan sumber daya manusia di puskesmas.

Untuk kualitas SDM di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid setiap 6 bulan
diadakan analisa kompetensi terhadap setiap formasi jabatan untuk mengetahui keterampilan yang
sudah dimiliki dan belum dimiliki oleh setiap tenaga kerja. Untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia, maka tenaga kesehatan rutin mengikuti pelatihan baik yang diadakan oleh dinas
kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten maupun organisasi profesi seperti dokter, dokter
gigi, bidan dan perawat. Untuk penggajian tenaga PNS berasal dari kementrian keuangan yang
disesuaikan dengan golongan masing-masing tenaga kerja. Sedangkan untuk penggajian tenaga
non PNS berasal dari keputusan bupati yang diatur di dalam standar barang harga dan jasa (SHBJ)
setiap kabupaten. Dalam melaksanakan perencanaan sumber daya manusia puskesmas
melaksanakannya berdasarkan analisa jabatan dan analisa beban kerja yang rutin diadakan setiap
tahun. Untuk pelaksanaan monitoring pihak Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid melalui
finger print yang langsung terhubung dengan Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Untuk
pelaksanaan evaluasi dilakukan oleh kepala puskesmas setiap akhir bulan dan akhir tahun untuk
melihat kinerja setiap tenaga kerja yang ada di puskesmas. Setiap bulan rutin diadakan monitoring
dan evaluasi pencapaian indikator SPM kesehatan untuk melihat capaian yang telah diraih dan
mengindentifikasi hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan SPM kesehatan.

4.10 Perbedaan Pelaksanaan SPM Kesehatan


Terdapat beberapa perbedaan pelaksanaan SPM kesehatan yang ada di puskesmas Mlati
II dan Puskesmas Mungkid. Hal ini dapat terlihat pada tabel berikut ini

No Puskesmas Mlati II Puskesmas Mungkid


1 Pedoman SPM kesehatan yang Pedoman SPM kesehatan yang
digunakan adalah Permenkes No 43 digunakan adalah Perbup No 4
tahun 2016 tentang Standar tahun 2015 Tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Pelayanan Minimal Pada Puskesmas
Kesehatan
2 Terdapat tenaga Outsourching, honor Terdapat tenaga PHL dan PTT
daerah, PHL, BLUD, BOK
3 Mempunyai regulasi perekrutan Belum ada regulasi perekrutan
tenaga non PNS tenaga non PNS
4 Terdapat insentif daerah (dibayar Tidak terdapat insentif daerah
setiap 3 bulan sekali)
5 Tidak terdapat uang lembur Terdapat uang lembur
6 Terdapat Program Indonesia Sehat Tidak terdapat Program Indonesia
Dengan Pendekatan Keluarga Sehat Dengan Pendekatan Keluarga
(PISPK) (PISPK)
Tabel 15. Perbedaan Pelaksanaan SPM Kesehatan
Tabel 16. Daftar Narasumber

Narasumber Inisial Status

1 L Kepala Puskesmas Mungkid

2 E Kepala Subbagian Tata Usaha Puskesmas Mungkid

3 R Penanggung Jawab UKM Puskesmas Mungkid

4 V Kepala Puskesmas Mlati II

5 S Kepala Subbagian Tata Usaha Puskesmas Mlati II

6 A Penanggung Jawab UKM Puskesmas Mlati II


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN
Sumber daya manusia yang ada di Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid belum
sepenuhnya mendukung pelaksanan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor penyebab. Faktor tersebut terdiri faktor kuantitas dan faktor
manajemen SDM. Faktor yang menjadi hambatan kuantitas SDM antara lain kurangnya tenaga
kerja yang ditemukan di Puskesmas Mungkid dan Puskesmas Mlati II. Kurangnya tenaga kerja
disebabkan oleh adanya moratorium yang diadakan oleh pemerintah sejak tahun 2015. Untuk
mengatasi kekurangan tenaga kerja puskesmas mengadakan perekrutan tenaga non PNS seperti
tenaga BLUD, tenaga PHL, tenaga outscoursing. Namun perekturan ini juga tidak dapat dilakukan
dalam skala yang besar dikarenakan terbatasnya anggaran puskesmas untuk menggaji tenaga kerja
non PNS. Selanjutnya kurangnya SDM di puskesmas disebabkan oleh tidak adanya regulasi
mengenai perekrutan tenaga kerja non PNS di Kabupaten Magelang. Faktor yang menghambat
manajemen SDM adalah belum berjalannya pengorganisasian dengan baik. Hal ini dibuktikan
dengan adanya tenaga kerja yang menjalani tanggung jawab pekerjaan lebih dari satu. Selain itu
juga gaji yang didapatkan tenaga non PNS tidak sebanding dengan beban kerja yang ditanggung.

Selain faktor sumber daya manusia, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
pencapaian SPM seperti faktor kerjasama lintas sektoral dan faktor partisipasi aktif masyarakat
seperti kesadaran masyarakat untuk berkunjung ke puskesmas untuk konsultasi kesehatan. Selain
itu juga manajemen puskesmas, faktor anggaran juga memengaruhi pencapaian SPM. Selanjutnya
juga dengan adanya program PISPK dapat mendukung pencapaian standar pelayanan minimal
kabupaten/kota melalui peningkatan akses dan skrining kesehatan

5.2 SARAN
Beberapa saran yang penulis sampaikan terkait penelitian ini diantaranya:

 Untuk Pemerintah Pusat & Daerah kabupaten Sleman dan Magelang


Pelaksanaan SPM yang mengacu pada Permenkes RI Nomor 43 Tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Minimal perlu diterapkan secara merata di seluruh Puskesmas
di Indonesia. Selain itu juga untuk ditinjau ulang kembali target SPM yang mencapai 100%
karena pada kenyataan di lapangan sangat sulit untuk mencapai target tersebut dan terdapat
banyak hambatan yang ditemukan. Selanjutnya yaitu pemerintah diharapkan untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kerja di puskesmas dan membuka moratorium PNS kembali.
Berikutnnya pemerintah Kabupaten Magelang diharapkan membuat regulasi mengenai
perekrutan tenaga non PNS di puskesmas dan memberikan TPP sebagai insentif untuk
tenaga PNS yang bekerja di puskesmas.
 Untuk Dinas Kesehatan
Pelaksanaan SPM tiap Puskesmas agar terus dievaluasi tiap tahunnya. Baik dari
segi pencapaian target maupun ketersediaan sumber daya manusia. Program yang banyak
seharusnya diimbangi dengan pelayanan yang layak baik dari unsur SDM yang
menjalankan programnya, biaya yang mendukung terjalannya program serta fasilitas yang
ada. Selain itu juga menentukan prioritas program SPM untuk puskesmas. Karena jika
SDM sedikit namun target yang diinginkan harus tercapai semua maka tidak akan dapat
memberikan hasil pelayanan yang maksimal. Selain itu juga keadaan kesehatan dan
lingkungan setiap puskesmas berbeda. Selanjutnya dinas kesehatan Kabupaten Sleman
juga meninjau ulang besaran gaji tenaga BLUD karena gaji yang didapatkan belum
sebanding dengan beban kerja yang ditanggung oleh tenaga kerja.
 Untuk Pihak BPJS
Peraturan yang sekarang diberlakukan sangat memberatkan pihak puskesmas. Hal
ini mengakibatkan banyak target yang tidak terpenuhi. Untuk itulah maka perlu ditinjau
ulang peraturan yang ada agar kedepannya pihak puskesmas dapat memenuhi program
yang ditetapkan oleh BPJS
 Untuk Pihak Puskesmas
Jajaran unit kesehatan Puskesmas Mlati II dan Puskesmas Mungkid perlu dengan
jeli mengetahui perannya dan pentingnya menyadarkan masyarakat agar dapat saling
bersinergi mencapai bagian cakupan wilayah kerja yang sehat di Puskesmas Mlati II dan
Puskesmas Mungkid.
Daftar Pustaka

Andrizul, & Yoserizal., 2013. Rekrutmen dan Penempatan Pegawai. Jurnal Kebijakan Publik,
Vol.4, No.1.
Anonim, 2009, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,
Jakarta.
Anonim, 2014, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara, Jakarta.
Anonim, 2014, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan, Jakarta.
Böhm, A., 1994. Theoretical Coding : Text Analysis in Grounded Theory.

Bupati Kabupaten Magelang, 2015, Peraturan Bupati Magelang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Pemberian Insentif untuk Pegawai Negeri Sipil, Magelang.
Bupati Kabupaten Sleman, 2016, Peraturan Bupati Sleman Nomor 30 Tahun 2016 tentang
Pemberian Insentif untuk Pegawai Negeri Sipil, Sleman.
Cresswel, J. W., 2012. Educational Research : Planning, Conducting and Evaluating Quantitative
and Qualitative Research. 4th ed. Boston : Pearson.
Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang, 2016, Profil Kesehatan Kabupaten Magelang Tahun
2016, Magelang.
Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, 2018, Profil Kesehatan Kabupaten Sleman Tahun 2018,
Sleman.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2018, Pencapaian SPM Bidang Kesehatan
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017, Jawa Tengah.

Ellys L. Pembayun., 2013. Qualitative Research Methodology in Communication. Lentera Ilmu


Cendekia, Jakarta.
Elnaga., Amir., Imran A., 2013. The Effect Of Training On Employee Performance. European
Journal Of Bussinnes And Management, 5(4): pp:137-147
Giyarto., 2015. Pengaruh Analisis Jabatan terhadap Pencapaian Organisasi di Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Skipsi, Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Gutierrez L., Molina V., Kaynak H., 2016. The Role of Human Resource-Related Quality
Management Practices in New Product Development : A Dynamic Capability Perspective.
Journal of Emerald Insight. doi.org/10.1108/IJOPM-07-2016-0387
Hamid, Jery. 2013., Startegic Human Resource Management and Performance : The Universalistic
Approach- Case of Tunisia. Journal of Business Studies Quarterly 2013, Vol.5, No.2.
Hamilton, D.L., 2008. Training, Development and Employee performance in the oil and Gas
Industry in Nigeria. European Journal of Scientific Research. Vol 19 Issue 3 ; pp. 518.
Harun, H.,2014.Analisis Implementasi Standar Pelayanan Minimum ( SPM ) Peserta Aktif KB
atau Contraceptive Prevalence Rate ( CPR ) di Kecamatan Sangir Kabupaten
Solok,Thesis,Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran,
Universitas Andalas
Herlambang, S., Murwani, A., 2012. Cara Mudah Memahami Manajemen Kesehatan dan Rumah
sakit. Gosyen publishing: Yogyakarta.
Husein, R., 2013. Studi Evaluasi Ketersediaan Tenaga Kesehatan di Puskesmas pada
Kabupaten/Kota Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan terhadap Capaian Indikator
Kinerja Standar Pelayanan Minimal Kabupaten/Kota, Thesis, Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat Kebijakan dan Hukum Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia
Ilyas, A., 2014. Pertanggungjwaban Pidana Dokter Dalam Praktek Medik di Rumah Sakit.
Rangkang Education, Yogyakarta. Bagian I.
Irbayuni, Sulastri., 2012. Pengaruh Kompensasi Kerja dan Komitmen Organisasi Terhadap
Keinginan Untuk Pindah Kerja Pada PT.Surya Sumber Daya Energi Sumber Daya. Jurnal
NeO-Bis, Vol 6, No.1
Kementrian Kesehatan, 2017, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017, Jakarta.
Kementrian Kesehatan, 2017, Rencana Aksi Kegiatan Tahun 2015-2019 Pusat Peningkatan Mutu
Sumber Daya Manusia Kesehatan, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber
Daya Manusia Kesehatan, Jakarta.
Kementrian Kesehatan, 2015, Rencana Aksi Program Badan Pengembangan dan Pemberdayaan
Sumber Daya Manusia Kesehatan Tahun 2015-2019, Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Jakarta.
Khawaja & Nadeem., 2013. Training and development program and its benefits to employee and
organization: A conceptual study, European Journal of Business and Management,
Vol.5.,No.2
Hameed, A. & Waheed, A., 2011. Employee development and its affect on employee performance
a conceptual framework, International Journal of Business and Social Science, Vol.2, No.
13, pp. 224
Kurniati. Anna., 2012. Kajian SDM Kesehatan di Indonesia. Salemba Medika. Jakarta.
Lestari, T. R. P., 2016. Analisa Ketersediaan Tenaga Kesehatan di Puskesmas Kota Mamuju
Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2014.
https://jurnal.dpr.go.id/index.php/kajian/article/view/768/513 [diakses tanggal 5 April
2019]

Moleong, Lexy J., 2014 Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya : Bandung.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2008, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 741 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di
kabupaten/kota, Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2013, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 46 tahun 2013 tentang Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia, Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2015, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 33 tahun 2015 tentang Sumber Daya Manusia Kesehatan, Jakarta.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 43 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan, Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat
Dengan Pendekatan Keluarga, Jakarta.
Muninjaya, A.A., 2004. Manajemen Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Nurbeti M., Jamil NA., Ghazali PL., Sunarto., Kuntari T., 2012. Ilmu Kesehatan Masyarakat untuk
Kompetensi Dokter Umum. Program Hibah HPEQ FK UII.
Notoatmodjo, S., 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT. Rineka Cipta: Jakarta.
Pranoto, L. H., Retnowati. 2015. Analisis Beban Kerja. Gudang Penerbit Pedoman Penyusunan
Standar Kompetensi kerja Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Badan Kepegawain
Negara, Jakarta.
Pemerintah Indonesia, 2018. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen
PPPK, Jakarta.
Presiden Republik Indonesia, 2012. Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional, Jakarta.
Puskesmas Mlati II., 2018. Profil Puskesmas Mlati II 2018. Yogyakarta.
Puskesmas Mungkid., 2018. Profil Puskesmas Mungkid 2018. Magelang.
Robbins, Stephen P & Judge, Timothy A., 2015. Organizational Behavior Edition 16, Perason
Education, New Jersey.
Rakhmawanto, A. 2016. Kebijakan Moratorium PNS : Analisis Bezetting Pegawai, Rightsizing
Kelembagaan, dan Budgeting Penyelenggaraan Pemerintahan. Jurnal Borneo
Administrator. 12(1), pp. 29–48.
Samsuni.,2017. Manajemen Sumber Daya Manusia. Al Falah, Vol. XVII, pp. 113–124.
Siagian., Sondang P., 2016. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara, Jakarta.
Subianto, Marianus., 2016. Pengaruh Gaji dan Insentif Tterhadap Kinerja Karyawan Pada PT.
Serba Mulia Auto di Kabupaten Kutai Barat. eJournal Administrasi Bisnis. 4(3) : 698-712
Sulastri, Lilis., 2012. Manajemen Sebuah Pengantar. La Goods Publishing, Bandung.
Tulus Agus, Moh. et al, 2011, Manajemen Sumber Daya Manusia, Buku Panduan Mahasiswa
(edisi kelima). PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wibowo. 2007. Manajemen Kinerja. Rajawali Pres. Jakarta.
World Health Organizing. 2009. Handbook on Monitoring and Evaluation of Human Resources
for Health. New York.
Yuniarti., Eka P., Bambang S S., Hamidah N U., 2013. Pengaruh On The Job Training Dan Off
The Job Training Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Pada Pegawai Divisi Operasional dan
Teknik dan Personalia dan Umum Kantor Pusat PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero)
Surabaya), Jurnal Administrasi Bisnis, 6(1).
FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI NARASUMBER

Untuk penelitian dengan judul “ANALISIS DUKUNGAN SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP
PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN DI
PUSKESMAS MLATI II DAN PUSKESMAS MUNGKID”

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama :
Umur :
Jabatan :
Alamat :
No. Telepon :
Setelah mendapat penjelasan tentang maksud dan tujuan serta manfaat penelitian, identitas
narasumber akan dirahasiakan, dan informasi yang diberikan akan dijaga kerahasiaannya dan
hanya digunakan untuk kepentingan penelitian, dengan ini saya menyatakan bersedia
berpartisipasi menjadi narasumber penelitian yang dilakukan oleh saudara Muhammad Rifki Audi
dari Fakultas Kedokteran Unirvesitas Islam Indonesia.

Non Finasial Ngluwar Magelang

Assisten ANALISIS SUMBER DAYA NON FINANSIAL TERHADAP PELAKSANAAN


STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN DI PUSKESMAS
NGLUWAR

Hidayaning Nur Syahbania1, Nur Aisyah Jamil2, Sunarto3


1
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia
2
Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia
3
Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia
INTISARI

Latar Belakang: Standar Pelayanan Minimal (SPM) dibentuk dengan tujuan khusus di bidang
kesehatan, untuk memastikan apakah layanan kesehatan memberikan pelayanan terbaik untuk
setiap warga. Berdasarkan Permenkes Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang kesehatan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah, pencapaian SPM bidang kesehatan pada tahun
2017 di Kota Magelang baru mencapai 5 indikator SPM yang mencapai target, sementara di
kabupaten Magelang hanya 2 yang mencapai target.
Tujuan: Mengetahui masalah sumber daya non finansial (sarana, prasarana, alat, dan tenaga)
dalam mendukung pelaksanaan SPM di Puskesmas Ngluwar.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan pendekatan case study. Penelitian
dilakukan di Puskesmas Ngluwar Pengumpulan data yaitu terdiri dari wawancara mendalam,
observasi non partisipan, dan dokumen.
Hasil: Di Puskesmas Ngluwar, hanya 2 Indikator SPM yang telah mencapai 100% yaitu kesehatan
ibu bersalin dan pelayanan kesehatan orang dengan TB. Faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu
meliputi Sumber Daya Manusia (SDM), alat dan ketersediaan obat, serta faktor luar yaitu PIS PK.
Kesimpulan: SDM yang sedikit menyebabkan adanya tenaga rangkap dan meningkatkan beban
kerja karena ketidak sesuaian rasio antara pemberi layanan dan penerima layanan puskesmas.
Selain itu adanya program tambahan seperti PIS PK (Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Keluarga) justru semakin menghambat pencapaian SPM karena menyita tenaga dan waktu SDM.
Faktor-faktor ini perlu dievaluasi dan diperbaiki bersama agar dapat mencapai kedua belas
indikator SPM.

Kata Kunci: Sumber daya non finansial, standar pealayanan minimal bidang kesehatan,
puskesmas, kabupaten magelang.
ANALYSIS OF NON FINANCIAL RESOURCES IN IMPLEMENTATION OF
MINIMAL HEALTH SERVICES IN PUSKESMAS NGLUWAR

Hidayaning Nur Syahbania1, Nur Aisyah Jamil3, Sunarto3


1
Students Faculty of Medical Universitas Islam Indonesia
2
Department of Public Health Faculty of Medicine Universitas Islam Indonesia 3Department of
Public Health Faculty of Medicine Universitas Islam Indonesia

ABSTRACT
Background: Minimum Health Service Standards (SPM) formed in order to make sure that health
services providing the best service to the people. Based on Permenkes No. 43 of 2016 on
Minimum Health Service Standards in District/ City of Central Java, SPM achievement in 2017 in
Magelang City only achieved 5 SPM indicators target, while in Magelang District only achieved
2 indicators target.
Tujuan: To find out the problem of non-financial resources (facilities, infrastructure, tools and
personnel) in supporting the implementation of MSS at Puskesmas Ngluwar.
Metode This study uses a qualitative design with a case study approach. The study was conducted
at Puskesmas Ngluwar. Data collected from in-depth interviews, non-participant observation, and
documents.
Hasil: Puskesmas Ngluwar only reached 2 SPM indicators that have achieve 100%, maternal
health and health services for TB patients. Factor that influence are include Human Resources
(SDM), tools and availability of drugs, and PIS PK as external factors.
Kesimpulan: Small number of SDM causing double jobdesk of employees, increasing work load
because of unbalance ratio between the health service provider and patients. Furthermore, another
program such as PIS PK actually made it more difficult to achieve SPM target, because it took up
more energy and time of SDM. These factors need to be evaluated and corrected together in order
to achieve the twelve SPM indicators target.

Kata Kunci: Non-financial resources, minimum health service standards, puskesmas,Ngluwar


district
PENDAHULUAN
Kesehatan adalah salah satu kebutuhan yang penting bagi setiap individu. Jika seseorang
dalam keadaan sakit, ia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya yang lain, baik itu
secara ekonomi maupun sosial. Oleh karena itu, kesehatan menjadi tanggung jawab seluruh lapisan
masyarakat, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain yang menjadi tanggung jawabnya.
Pemerintah juga memiliki tangguh jawab dalam menjamin pemenuhan kebutuhan kesehatan yang
berkualitas bagi setiap warga negara1.
Kewajiban pemerintah bertanggung jawab atas kesehatan warga negara dijelaskan dalam
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa kesehatan merupakan salah satu dari
enam pelayanan dasar dalam urusan pemerintahan konkuren dan wajib dilakukan. Mengingat akan
hal tersebut serta pentingnya manfaat dan kompleksnya karakteristik barang atau jasa kesehatan
bagi setiap warga negara, sehingga perlu dibuat suatu standar dalam setiap peranan pemerintah di
bidang kesehatan2.
Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah suatu ketentuan yang berisi tentang jenis dan
mutu pelayanan dasar, hal tersebut adalah urusan pemerintah wajib yang setiap warganya berhak
memperoleh secara minimal. Standar ini mempunyai dua fungsi utama yaitu fasilitator untuk
pemerintah daerah (Pemda) untuk melakukan pelayanan yang tepat kepada masyarakat dan
sebagai alat untuk masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap pemerintah mengenai kinerja
mereka dalam bidang pelayanan masyarakat di bidang kesehatan. Maka, target SPM setiap
tahunnya harus mencapai 100%. Harapannya, dengan dibentuknya SPM, khususnya dalam bidang
kesehatan adalah untuk memastikan apakah layanan-layanan kesehatan tersedia untuk setiap
warga, karena kesehatan merupakan salah satu dari Enam urusan wajib pemerintah yang terdapat
dalam UU Nomor 23 Tahun 20141.
Berdasarkan Permenkes Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang kesehatan di Kabupaten/Kota, pencapaian SPM bidang kesehatan pada tahun 2017 di Kota
Magelang baru mencapai 5 indikator SPM yang mencapai target, sementara di kabupaten
Magelang hanya 2 yang mencapai target. Padahal terdapat 12 indikator SPM yang harus mencapai
target3.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk meneliti mengenai masalah
sumber daya non finansial (sarana, prasarana, alat, dan tenaga) dalam mendukung pelaksanaan
standar pelayanan minimal (SPM) di Puskesmas Ngluwar.
METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan pendekatan case study. Penelitian
dilakukan di Puskesmas Ngluwar yang beralamat di Jalan Kyai Sahid Nomor. 14, Kecamatan
Ngluwar, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, selama 1 minggu yaitu pada tanggal 11-17 Februari
2018. Pengumpulan data yaitu terdiri dari wawancara mendalam, observasi non partisipan, dan
dokumen (profil puskesmas, data SPM 2018, dan LPLPO). Data yang telah dikumpulkan
diverifikasi dan dianalisis menggunakan metode triangulasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Puskesmas Ngluwar


Puskesmas Ngluwar puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang
berlokasi di Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Wilayah kerja puskesmas
Ngluwar yaitu mencakup 8 desa yaitu Desa Ngluwar, Somokaton, Pakunden, Bligo, Pakunden,
Bligo, Karangtalun, Jamus Kauman, Plosogede, Blongkeng. Dengan total penduduk berjumlah
33.175.
Jumlah tenaga kerja puskesmas Ngluwar tahun 2018 adalah 32 orang Pegawai Negri Sipil
(PNS) dan non PNS.
Tabel 1. Tenaga Kesehatan Puskesmas Ngluwar
No. Jabatan Jumlah Pendidikan Keterangan
1. Kepala 1 S1- Kedokteran Gigi Struktural
Puskesmas PNS
2. Dokter Umum 1 S1-Kedokteran Umum PNS
3. Dokter Gigi 1 S1- Kedokteran Gigi PNS
4. Bidan 10 D3 Kebidanan PNS
5. Perawat 4 D3 Perawat : 2 ; SPK : 2 PNS
6. Perawat gigi 1 SPRG PNS
7. Asisten Apoteker 1 SMF PNS
8. Analisis Laborat 2 D3 Analis PNS
9. Sanitarian/HS 1 D3 Kesehatan Lingkungan PNS
10. Gizi 1 D3 gizi PNS
11. Rekam Medis 1 D3 rekam medis PNS
12. Tata usaha 4 D3 MI : 1 orang , SMA :3 PNS
orang
13. Sopir 1 SMA Non PNS
14. Pramu kantor 1 SMA Non PNS
15. Penjaga dan 1 SMP: 1 Non PNS
cleaning service
16. Tenaga Promkes 1 S1- Sarjana Kesehatan Non PNS
Masyarakat
Total 32 PNS: 28, Non PNS: 4
Pencapaian Standar Pelayanan Minimal di Puskesmas Ngluwar
Pelaksanaan pelayanan kesehatan di Puskesmas Ngluwar telah mengacu pada standar
pelayanan minimal Permenkes No. 43 2016. Terdapat 12 indikator pencapaian SPM pada
Permenkes No. 34 tahun 2016.

Tabel 2. Pencapaian SPM Puskesmas Ngluwar


Jumlah %
No. Indikator Target Sasaran
Realisasi capaian
Persentase ibu hamil mendapatkan
1. 100% 456 388 85%
pelayanan ibu hamil
Persentase ibu bersalin mendapat
2. 100% 350 135 148%
pelayanan persalinan
Presentase bayi baru lahir mendapatkan
3. 100% 439 349 100%
pelayanan kesehatan bayi baru lahir
Persentase anak usia 0-59 bulan yang
4. mendapatkan pelayanan kesehatan 100% 1,837 314 90%
balita sesuai standar
Persentase anak usia pendidikan dasar
5. yang mendapatkan skrining kesehatan 100% 805 72 107%
sesuai standar
Persentase warga negara usia 15–59
6. tahun mendapatkan skrining kesehatan 100% 19,860 349 100%
sesuai standar
Persentase warga negara usia 60 tahun
7. Keatas mendapatkan skrining kesehatan 100% 6138 8 100%
sesuai standar
Persentase penderita hipertensi
8. mendapat pelayanan kesehatan sesuai 100% 2484 1,193 85%
standar
Persentase penyandang DM yang
9. mendapatkan pelayanan kesehatan 100% 751 12 100%
sesuai standar
ODGJ berat yang mendapatkan
10. 100% 58 135 159%
pelayanan kesehatan jiwa sesuai standar
Persentase Orang dengan TB
11. mendapatkan pelayanan TB sesuai 100% 13 441 98%
standar
Persentase orang berisiko terinfeksi HIV
12. mendapatkan pemeriksaan HIV sesuai 100% 490 4,191 79%
standar
Pada indikator pelayanan kesehatan ibu hamil, Puskesmas Ngluwar masih belum mencapai
angka 100%. Meskipun pencapaian kunjungan K1 untuk semua desa di kecamatan Ngluwar telah
mencapai 100%, namun pencapaian kunjungan K4 hanya satu desa yang mencapai persentasi
119,6%, sementara desa lain belum mencapai 100%. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh masing-
masing pasien yang tidak dapat dipantau untuk selalu kontrol selama kehamilan di puskesmas
ngluwar, seperti faktor kehamilan yang tidak diinginkan, kehamilan diluar nikah, atau kontrol ke
fasyankes lain selain puskesmas Ngluwar.

Indikator kesehatan ibu bersalin Puskesmas Ngluwar telah berhasil mencapai 100%.
Namun, berdasarkan data dari profil puskesmas, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan sebesar 99.7%, hal ini dikarenakan ada 1 ibu hamil yang melahirkan di rumahnya
sendiri. Berdasarkan hasil observasi langsung, puskesmas Ngluwar telah memiliki fasilitas ruang
persalinan serta terdapat jadwal jaga panggilan untuk bidan.

Pelayanan kesehatan bayi baru lahir di Puskesmas Ngluwar sudah cukup baik meskipun
belum mencapai 100%, hal ini dilihat berdasarkan data di profil puskesmas dimana cakupan
neonatus dengan komplikasi yang ditangani sebesar 138,5%, hal ini melebihi jumlah perkiraan
neonatus yang lahir dengan komplikasi serta cakupan kunjungan neonatal (KN lengkap)
capaiannya 98,3% untuk bayi laki-laki dan perempuan. Data kematian neonatal sebanyak 3 bayi
neoatal dan tidak ada kematian ibu bersalin.

Indikator kesehatan balita di Puskesmas Ngluwar belum mencapai target, dengan


persentasi cakupan pelayanan kesehatan anak balita 84,8% dan cakupan balita ditimbang 87,4%.
Indikator pelayanan kesehatan usia pendidikan dasar telah mencapai persentase 97,57%.
Meskipun masih belum mencapai 100%, namun untuk mendapatkan peningkatan jumlah cakupan
dibandingkan tahun sebelumnya telah dilakukan upaya seperti memberikan surat pelayanan
susulan di puskesmas bagi siswa/siswi yang berhalangan hadir. Faktor yang membuat belum
tercapainya standar pelayanan minimal adalah karena siswa/siswi yang tidak hadir saat
penjaringan di sekolah maupun setelah diberikan surat rujukan susulan.
Pelayanan kesehatan pada usia produktif memiliki capaian terendah yaitu sebesar 47%.
Berdasarkan profil puskesmas, dapat dilihat pula bahwa cakupan pengukuran tekanan darah usia
≥ 18 tahun 52,19% dan pemeriksaan obesitas usia ≥15 tahun 7,06%. Indikator ini menjadi salah
satu tantangan terbesar bagi puskesmas. Jumlah penduduk Kecamatan Ngluwar dengan usia 15-
59 tahun berjumlah 33.175 orang. Melakukan skrining per orangan, terutama untuk cek gula darah
dan IVA tentunya membutuhkan tenaga , waktu, dan dana yang lebih. Sementara itu, jumlah SDM
di Puskesmas Ngluwar masih kurang, ditambah lagi program serta pekerjaan lain yang harus
dilakukan juga banyak.
Pelayanan kesehatan pada usia lanjut di Puskesmas Ngluwar sudah cukup baik meskipun
belum mencapai 100%. Hal ini dapat dilihat berdasarkan cakupan pelayanan kesehatan usia lanjut
laki-laki dan perempuan yang mendapatkan pelayanan kesehatan 80.95%.
Indikator pelayanan penyakit tidak menular seperti pelayanan kesehatan penderita
hipertensi telah mencapai angka 99%, pelayanan kesehatan penderita Diabetes Melitus di
Puskesmas Ngluwar yaitu sebesar 58%, dan pelayanan kesehatan orang dengan gangguan jiwa
berat 138%.
Pelayanan kesehatan orang dengan TB di Puskesmas Ngluwar telah mencapai 100%.
Berdasarkan hasil CNR (Case Notification Rate) seluruh kasus tuberculosis dengan BTA + per
100.000 penduduk dari total pria dan wanita yaitu sebesar 36,17%.
Pelayanan kesehatan orang dengan risiko terinfeksi HIV 81%, hal ini menunjukkan bahwa
pelayanan kesehatan bagi orang yang beresiko HIV seperti ibu hamil, pasien TB, pasien infeksi
menular seksual waria/transgender, pengguna napza, dan warga binaan lembaga permasyarakatan,
belum maksimal.
Faktor – Faktor Pencapaian Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal pada Sumber Daya
Non Finansial.
Berdasarkan hasil wawancara, observasi, dan dokumen, terdapat beberapa faktor, terutapa
dari segi non finansial, yang berperan penting dalam pencapaian indikator SPM di puskesmas
Ngluwar. Beberapa faktor penting tersebut yaitu meliputi, SDM, alat dan ketersediaan obat, dan
sarana prasarana kesehatan.
Faktor Sumber Daya Manusia Puskesmas Ngluwar
Dari segi kuantitas, SDM di Puskesmas Ngluwar masih kurang. Total pegawai Puskesmas
berjumlah 32 orang. Dan jika dilihat dari masing-masing sektor, jumlah SDM kurang dari jumlah
yang dibutuhkan, hal ini memberikan dampak dibentuknya tenaga-tenaga rangkap. Padahal, setiap
tenaga puskesmas telah memiliki tugas untuk menjalankan program di bidangnya termasuk untuk
mencapai SPM. Namun karena ia merupakan tenaga rangkap, jobdesk nya bertambah, dan dalam
untuk mencapai SPM kemungkinan besar semakin berat dan terhambat. Secara tidak langsung,
keterbatasan kuantitas akan mempengaruhi kualitas SDM.
“Dokter saja yang harusnya dua, minimal dua itu kita baru punya satu” (R2, 164-165)

”Paling tidak sesuai permenkes, rasio antara petugas kesehatan dengan, dengan pasien itu
rasional, jadi bisa dilayani dengan baik, yang berkualitas”. (R1, 45-48)
Salah satu penyebab kurangnya kuantitas SDM adalah dari kebijakan pemerintah sendiri
berupa moratorium dan anggaran puskesmas.

“moratorium ya baru kemarin penerimaan PNS itu saja tidak mencukupi, maksudnya jumlahnya
itu kurang daripada yang diinginkan maksudnya, kabupaten Magelang cuma di jatah sekian gitu
ya, nah.. akhirnya kan untuk tenaga dokter umum itu tetep masih kurang” (R2, 167-171)

“maunya mau membayar dengan uang BLUD tapi karena di Ngluwar ini termasuk yang kapitasinya
tidak terlalu banyak jadikan kita juga berat”. (R2, 173-176)

Tabel 3. Standar Ketenagaan Puskesmas di daerah pedesaan menurut Permenkes No. 75 Tahun 20144

Idealita Realita
Tenaga Kerja Keterangan
Jumlah Jumlah
Dokter 1 1 Sesuai standar
Dokter Gigi 1 1 Sesuai standar
Perawat 5 5 Sesuai standar
Bidan 4 10 Melebihi standar
Tenaga Kesehatan Masyarakat 1 1 Sesuai standar

Tenaga Kesehatan Lingkungan 1 1 Sesuai standar

Ahli Laboratorium Medik 1 2 Melebihi standar


Tenaga Gizi 1 1 Sesuai standar
Tenaga Kefarmasian 1 1 Sesuai standar
Tenaga Administrasi 2 4 Sesuai standar
Pekarya 1 - Tidak sesuai standar

Berdasarkan Tabel. 2 dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja puskesmas Ngluwar telah
memenuhi standar, kecuali tenaga kerja pekarya. Meskipun begitu jumlah ini masih menjadi
hambatan bagi puskesmas dalam mencapai SPM, terutama bagi tenaga medis yang secara langsung
melakukan pelayanan terhadap pasien.

Kecamatan Ngluwar adalah suatu wilayah pedesaan dengan total penduduk 33.175 yang
merupakan cakupan kerja Puskesmas Ngluwar. Berdasarkan WHO, rasio dokter yang ideal adalah
1 dokter untuk 2500 penduduk. Tentunya rasio tersebut telah sesuai terhadap porsi dan beban
dokter dalam melaksanakan pelayanan5.
Ketika jumlah dokter tidak sebanding dengan jumlah pasien yang ditangani makan akan
menyebabkan peningkatan beban kerja. Beban kerja yang overload tentunya akan mempengaruhi
kualitas kerja seseorang. Rasio dokter dan pasien yang tidak sebanding akan memperpanjang jam
kerja, dokter akan kelelahan dan kehilangan motivasi kerja sehingga menurunkan kinerja dan
berdampak pada kepuasan masyarakat terhadap layanan puskesmas. Oleh karena itu, beban kerja
SDM pelayanan kesehatan di puskesmas penting dan tidak dapat diabaikan. Dalam menentukan
standar jumlah SDM yang di butuhkan di puskesmas, perlu mempertimbangkan kependudukan,
geografis, sosiologis, serta sarana dan prasarana antara kota dan desa6.

Faktor Fasilitas Alat dan ketersediaan Obat Puskemas Ngluwar

Alat kesehatan di puskesmas Ngluwar telah memiliki kelengkapan alat yang cukup baik
dilihat dari alat-alat yang dibutUhkan pada masing-masing indikator. Yang belum tersedia adalah
salah satu pemeriksaan pasien diabetes mellitus yaitu HbA1C.
HbA1C adalah tes yang dipakai untuk melihat efek perkembangan terapi 8-12 minggu
sebelumnya. Setelah diterapi, pemeriksaan ini diulang setiap 3 bulan atau setiap 1 bulan (pada
keadaan HbA1c >10%), untuk melihat hasil dan rencana terapi selanjutnya pada pasien Diabetes
Melitus Tipe 2 (DM Tipe II). DM tipe II dapat ditegakkan apabila hasil Glukosa Darah Puasa
(GDP) ≥126 mg/dL, atau Glukosa Darah Sewaktu ≥200 mg/dL, Glukosa Darah 2 jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200, atau HbA1c ≥6,5% dengan metode terstandarisasi7.
Pada pelaksanaannya, alat ini belum menjadi kebutuhan sektor laboratorium puskesmas
karena permintaan dari pelayanan umum selalu pemeriksaan diagnostik seperti cek gula darah
kapiler atau arteri untuk menilai GDS atau GDP.
Ketersediaan obat-obatan di Puskesmas Ngluwar telah sesuai dan mendukung SPM,
meskipun terkadang ada beberapa obat yang habis atau tidak ada ketika dibutuhkan, terdapat obat
subtitusi, atau obat pengganti.
Selain ketersediaan obat, evaluasi dan seleksi obat masuk dan keluar penting untuk
dilakukan untuk menjaga kualitas obat-obatan yang akan diterima dan dikonsumsi oleh pasien.
Hal ini telah dilakukan berupa pengecekan setiap bulan untuk mencegah adanya obat yang tidak
layak fisik atau melewati expired date.
“Tiap bulan kita melakukan stok opnam gudang sehingga tidak ada obat yang gigis dan yang
diberikan kepada pasien, itu minimal, mengurangi minimal untuk obat ED itu terjaga gitu lho,
sehingga kualitas obatnya yang diberikan kepada pasien itu tetap terjaga, pasien tidak mendapatkan
obat yang ED dari puskesmas.”(R7, 11-16)
Alur dalam permintaan dan penyediaan obat dari subunit ke apotik di buat dalam bentuk
laporan bulanan yang disebut dengan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO).
Dari subunit akan menuliskan obat-obat yang dibutuhkan, lalu diserahkan kepada Apotik,
kemudian Apotik akan melakukan penyetokkan obat sesuai dengan penyakit di puskesmas.
Sebagaimana dijelaskan pada PMK nomor 74 tahun 2016 tentang standar pelayanan
kefarmasian di puskesmas, dalam menjaga kualitas pelayanan kefarmasian, puskesmas perlu
melakukan pengendalian mutu seperti monitoring dan evaluasi, dalam hal ini puskesmas Ngluwar
telah menjalankan upaya tersebut dengan baik8.
Ketersediaan obat-obatan di Puskesmas Ngluwar dibandingkan dengan Permenkes
No.HK.01.07/MENKES/395/ 2017 Daftar Obat Esensial Nasional Puskesmas: antifilaria
(dietilkarbamazin), antisistosoma (prazikuantel), antibakteri (penisilin, tetrasiklin), antilepra
(dapson, klofamizin), antimalarial (dosisiklin, artesunat, kuinin, primakuin, kombinasi),
antiretroviral (lamivudin, zidovudin, tenofovir, nevirapin, dll), antiseptic dan bahan perawatan
saluran akar gigi (formokresol, gutta percha, kalsium dikroksida, pasta pengisi, dll), anti akne
(asam retinoat), larutan parenteral, antiglaukoma (asetazolamid, pilokarpin, timolol), antidepresan
(amitriptilin, fluoksetin), antispasmodic (atropin, hoisin butilbromid), katartik (bisakodil, gliserin,
laktulosa), ATS (anti tetanus serum), obat telinga, hidung, tenggorok (hidrogen peroksida,
karbogliserin, lidokain, oksimetazolin)9.
Beberapa obat berdasarkan kategori obat tidak tersedia, contohnya analgetik seperti
natrium diklofenak atau antikonvulsi seperti valproat, namun berdasarkan hasil wawancara
terdapat obat subtitusi, yaitu tersedianya obat-obat lain dalam kategori yang samat tersedia
sehingga dapat menggantikan obat yang tidak tersedia.
Faktor Fasilitas Sarana dan Prasarana Puskesmas Ngluwar
Tabel 4. Sarana dan prasarama berdasarkan Permenkes No. 75 Tahun 20144.
Sarana dan
Hasil Observasi Idealita
Prasarana
Sistem ventilasi Ventilasi ruangan sudah sesuai, - Jumlah bukaan ventilasi 15% terhadap luas
puskesmas memiliki jendela- lantai yang membutuhkan ventilasi
jendela besar di koridor, tiap - 3 elemen dasar : jumlah udara luar berkualitas
ruangan juga memiliki ventilasi > baik yang masuk, arah aliran udara dalam gedung
15%, udara bersirkulasi dengan dari area bersih ke area terkontaminasi, ada
baik pertukaran antara udara di dalam ruag dengan
udara dari luar.
Sistem Cahaya matahari yang masuk -Harus mempunyai pencahayaan alami dan buatan
penerangan melewati ventilasi cukup terang. -Pencahayaan harus terdistribusikan merata
Lampu-lampu yang digunakan -Lampu-lampu yang digunakan dari jenis hemat
juga cukup terang dan hemat energi
energi.
Sarana sanitasi Sumber air adalah PDAM, limbah -Sistem air bersih
dibuang di SPAL, dan sudah ada -Sistem penyaluran air kotor/ limbah
sistem pembuangan limbah medis -Sistem pembuangan limbah infeksius dan non
dan non medis infeksius
Sistem Sistem kelistrikan Puskesmas sistem kelistrikan mudah dioperasikan, diamati,
kelistrikan Ngluwar aman. sumber dipelihara, tidak membahayakan, tidak
kelistrikan berasal dari PLN dan mengganggu lingkungan, bagian bangunan dan
sumber daya listrik darurat dari instalasi lain.
generator listrik

Sistem Terdapat beberapa alat Alat komunikasi berupa kabel, seluler, radio
komunikasi komunikasi seperti telepon, kabel, komunikasi ataupun alat komunikasi lainnya.
televisi, speaker nomor antrian.
Sistem gas Tabung silinder oksigen Sistem gas medik yang digunakan adalah O2
medik diletakkan pada bagian (Oksigen) direncanakan dan diletakkan dengan
kegawatdaruratan seperti ruang mempertimbangkan tingkat keselamatan bagi
bersalin dan ruang tindakan. penggunanya.
Sistem proteksi Terdapat penangkal petir dengan Sistem proteksi petir harus dapat melindungi
petir kondisi prima dan melindungi semua bagian dari bangunan puskesmas termasuk
bangunan serta orang di manusia yang ada di dalamnya.
puskesmas
Sistem Terdapat alat pemadam kebakaran -Puskesmas harus terdapat alat pemadam
pelindung kebakaran
kebakaran -alat pemadam dengan kapasitas minimal 2 kg,
dan dipasang 1 buah setiap 15 m2
Sistem kontrol Nilai intensitas derajat kebisingan Kebisingan diluar bangunan Puskesmas tidak
kebisingan tidak diukur dengan menggunakan lebih dari 55 dBA dan di dalam bangunan
alat khusus sehingga tidak Puskesmas tidak lebih dari 45 dBA.
diketahui nilai pastinya.
Sistem Terdapat tangga antara lantai satu - lebar tangga minimal 120 cm untuk
transportasi dan dua, kondisi dalam keadaan mempermudah evakuasi dalam kondisi gawat
vertikal baik dan aman digunakan, serta darurat
memiliki pegangan tangan. - tidak terdapat tanjakan berlubang yang
membahayakan pengguna tangga
- harus dilengkapi dengan rel pegangan tangan
(handrail).
ambulans Terdapat 1 buah kendaraan Mengikuti syarat yang berlaku.
sebagai ambulans dan Puskesmas
Keliling

Dari segi kesehatan lingkungan, puskesmas Ngluwar telah cukup baik dalam
pengelolaannya. Berdasarkan hasil observasi, dapat dilihat bahwa untuk pengelolaan limbah medis
telah dikelola dengan baik, yaitu dengan membedakan dan menyediakan tempat sampah medis
dan non medis, berupa safety box.
Di Puskesmas juga telah menyediakan sampah tiga jenis, yaitu tempat sampah plastik,
kertas, dan organic meskipun dalam pelaksanaannya pengunjung puskesmas masih membuang
sampah tidak sesuai dengan jenisnya.
Untuk mencegah penyebaran penyakit menular, terutama TB, kesehatan lingkungan juga
telah menyediakan fasilitas seperti masker di lobby tepat di samping pintu masuk, wastafel dan
sabun cuci tangan di lorong ruang pelayanan, dan pojok dahak di samping belakang gedung.
Harapannya pasien dapat menggunakan fasilitas tersebut sejak awal masuk ke puskesmas.
Faktor PIS PK (Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga)
PIS PK merupakan program lain di puskesmas dari pemerintah yang harus dilaksanakan
oleh puskesmas. Berdasarkan hasil observasi program ini menjadi suatu masalah yang sering
dikeluhkan oleh pegawai puskesmas karena yang menjalankan program ini adalah mereka sendiri,
padahal kegiatan PIS PK menghabiskan banyak SDM, tenaga, dan waktu Puskesmas
menjadwalkan kegiatan PIS PK tiap hari senin dan kamis, sehingga pada hari tersebut Tim yang
bertugas akan keluar dan pergi ke Desa meninggalkan pekerjaannya ditengah-tengah jam
pelayanan, baik itu bidan, perawat, dll.
“karena itukan pendataan tho sehingga kita bisa dapat datanya, karena kan sekarang e.. PISPK itukan
sebenarnya bagusnya datanya adalah data riil, karena dia data riil, cuma kita juga kadang kesulitannya harus
menginput juga sementara pekerjaan di puskesmas kan banyak gitu lho, apa-apa sekarang harus ee.. datanya
kita mau akreditasi juga tahun ini kan jadi kita kesulitan, waktunya tenaganya juga e.. kekurangan tenaga
itu.” (R2, 88-96)
Berdasarkan PMK no 39 Tahun 2019 tentang PIS PK, dijelaskan bahwa PIS PK memiliki
12 indikator yang harus dicapai, dimana sebagian dari indikator tersebut memiliki capaian yang
sama dengan SPM. Selain itu pelaksanaan dilakukan oleh puskesmas melalui beberapa kegiatan
seperti pendataan, pengelolaan data, menyusun intervensi dan rencana, melakukan upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif, pelayanan kesehatan diluar dan didalam gedung serta
melakukan pelaporan. Apabila PIS PK berjalan dengan baik tanpa hambatan, tentunya turut
membantu dalam peningkatan pencapaian SPM10.
“di tenaga tadi jadi kalo saya sih kepengennya untuk PISPK itu harusnya jangan kita yang melaksanakan tapi
pemerintah mungkin bisa me.. mempihak ketiga-kan, istilahnya ada petugas tersendiri yang dibayar untuk
melaksanakan” (R2, 83-87)
PIS PK adalah program yang bagus, tetapi apabila dalam pelaksanaannya tidak ada
dukungan dari segi SDM maupun dana, maka hal ini justru semakin mempersulit puskesmas dalam
menjalankan program yang lain seperti SPM dan pelaksanaan PIS PK juga menjadi tidak
maksimal.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Secara keseluruhan, Puskesmas Ngluwar memiliki standar pelayanan yang cukup baik
karena telah memenuhi standar pelayanan minimal sesuai dengan Permenkes. No. 43 Tahun 2016.
Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi pencapaian SPM, khususnya dari segi sumber daya non
finansial. Hal tersebut meliputi faktor sumber daya manusia (SDM), alat dan ketersediaan obat,
serta faktor luar yaitu PIS PK, dalam memengaruhi capaian indikator SPM.
DAFTAR PUSTAKA

1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 43, 2016. Standar Pelayanan
Minimal Bidang Kesehatan.
2. Presiden Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2014. Presiden RI. Jakarta. 33-36.
3. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2018. Pencapaian SPM Bidang Kesehatan
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75, 2014. Pusat Kesehatan
Masyarakat.
5. Kemenkes RI. 2014. Peran Jumlah Dan Mutu Tenaga Kesehatan Dukung Percepatan Mdgs
Dan Implementasi Jkn. Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan
RI. http://www.depkes.go.id/article/print/20143250004/peran-jumlah-dan-mutu-tenaga-
kesehatan-dukung-percepatan-mdgs-dan-implementasi-jkn.html.
6. Mujiyati dan Yuniar, Y. 2016. Ketersediaan Sumber Daya Manusia Kesehatan pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional di Delapan Kabupaten-
Kota di Indonesia. 26 (4): 201–210
7. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI). 2015. Konsensus
Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia 2015. Jakarta: PB Perkeni
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74, 2016. Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas.
9. Peraturan Menteri Kesehatan RI No HK.01.07/MENKES/395/2017. Daftar Obat Esensial
Nasional. 2017, pp. 1–48.
10. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.39 Tahun 2016. Pedoman Penyelenggaraaan Program
Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga.

Handayaning
DAFTAR PUSTAKA

Astari, E. R. 2018. Analisis Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di


Puskesmas Pauh Kota Padang Tahun 2018. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Andalas.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman. 2018. Kabupaten Sleman dalam Angka. Yogyakarta:
BPS Kabupaten Sleman.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman. 2017. Kecamatan Gamping dalam Angka. Yogyakarta:
BPS Kabupaten Sleman
Carolien, I., Fudholi, A., Endarti, D. 2017. Evaluasi ketersediaan obat sebelum dan sesudah
implementasi JKN pada puskesmas di Kabupaten Keerom Provinsi Papua. Jurnal Manajemen dan
Pelayanan Farmasi, 7(1): 30-39.
Crowe, S., Cresswell, K., Robertson, A., Huby, G., Avery, A., Sheikh, A. 2011. The case study
approach. BMC Medical Research Methodology, 11(100): 1-9.
Fulton, B. D., et al. 2011. Health workforce skill mix and task shifting in low income countries: a
review of recent evidence. Human Resources for Health, 9;1.
Hendarwan, H et al. 2015. Analisis implementasi standar pelayanan minimal bidang kesehatan
kabupaten/kota, Jurnal Ekologi Kesehatan, 14(2): 367-380.
Herujito, Y. M. 2001. Dasar-Dasar Manajemen. Jakarta: PT Grasindo.
Kementrian Kesehatan RI. 2017. Data Dasar Puskesmas Kondisi Desember 2016. Jakarta:
Kemenkes RI.
Kementrian Kesehatan RI. 2012. Laporan Akhir Riset Fasilitas Kesehatan 2011 Puskesmas.
Jakarta: Kemenkes RI.
Khozin, M. 2010. Evaluasi implementasi kebijakan standar pelayanan minimal bidang kesehatan
di Kabupaten Gunungkidul. Jurnal Studi Pemerintahan, 1(1): 29-56.
Maharani, E.A., Lestari, H., Lituhayu, D. 2017. Evaluasi implementasi program Jaminan
Kesehatan Masyakarat (Jamkesmas) di Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri. Journal of
Public Policy and Management Review, 3(4).
Menteri Kesehatan RI, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 43 Tahun
2016 Tentang Standar Pelayanan Minimal. Jakarta.
Menteri Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun
2014 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta.
Menteri Kesehatan RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun
2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta.
Menteri Kesehatan RI. 2017. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/395/2017 Tentang Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN). Jakarta.
Menteri Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2014 Tentang Pengelolaan Pegawai Non Pegawai Negeri Sipil pada Satuan Kerja Kementrian
Kesehatan yang Menerapkan Pola Pengelolaan Badan Layanan Umum.
Mujiati., Yuniar, Y. 2016. Ketersediaan sumber daya manusia kesehatan pada fasilitas kesehatan
tingkat pertama dalam era jaminan kesehatan nasional di delapan kabupaten-kota di Indonesia,
Media Litbangkes, 26(4): 201-210.
Moestad, O., Torsvik G., Aakvik A. Overworked? On the relationship between workload and
health worker performance. Journal of Health Economics. 29;686-98.
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Pemerintah Indonesia, 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan. Jakarta.
Pemerintah Indonesia, 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah. Jakarta.
Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman. 2016. Peraturan Bupati Sleman Tahun 2016 Tentang
Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2017. Yogyakarta.
Radina, F. D., Damayanti, A. N. 2012. Evaluasi pelaksanaan standar pelayanan minimal pada
program penemuan penderita pneumonia balita. Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia, 1(4):
301-308.
Rakhmawanto, A. 2016. Kebijakan moratorium PNS: analisis bezetting pegawai, rightsizing
kelembagaan, dan budgeting penyelenggaraan pemerintahan. Jurnal Borneo Administrator, 12(1):
29-47.
Rukmini., Rosihermiatie, B., Nantabah, Z. 2012. Ketersediaan dan kelayakan ruangan pelayanan
puskesmas berdasarkan topografi, demografi dan geografi di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan, 15(4): 408-417.
Sastroasmoro, S., Ismael, S. 2014. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung
Seto.
Satrianegara, M. F., Saleha, S. 2009. Buku Ajar Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan
Serta Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Shah, S.S.H., et al. 2011. Workload and performance of employees. Interdisciplinary Journal of
Contemporary Research in Business, 3(5): 256-267.
Siagian, D. 2018. Implementasi Kebijakan Moratorium Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)
terhadap Efektivitas Program Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Dairi. Skripsi. Fakultas Hukum
Universitas Sumatra Utara.
Siriyei, I., Wulandari, R. D. 2013. Faktor determinan rendahnya pencapaian cakupan standar
pelayanan minimal bidang kesehatan di Puskesmas Mojo Kota Surabaya. Jurnal Administrasi
Kesehatan Indonesia, 1(3): 244-251.
Tumuwe, W. N., Tilaar, C., Maramis, F. R. R. 2014. Analisis implementasi standar pelayanan
minimal bidang kesehatan di Puskesmas Ondong Siau Barat Kabupaten Sitaro. Skripsi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Winda, S. 2018. Formularium Nasional (FORNAS) dan e-catalogue obat seabgai upaya
pencegahan korupsi dalam tata kelola obat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Integritas, 4(2):
177-206.
Yin, R. K. 2013. Case Study Research: Design and Methods. London and Singapore: Sage.

Anda mungkin juga menyukai