Anda di halaman 1dari 7

Dua perusahaan raksasa Korea Selatan akan segera berinvestasi di Kalimantan Barat

dalam sektor hilirisasi perkebunan kelapa sawit. Perusahaan yang masing-masing


bergerak di industri otomotif dan elektronik tersebut berniat membangun pabrik
pengolahan limbah tandan sawit menjadi biodiesel. Bekerjasama dengan Universitas
Tanjungpura, pentolan perusahaan global itu menyambangi kediaman Gubernur Kalbar
Sutarmidji. Sutarmidji menyambut baik investasi tersebut, menurutnya industri hilir ini
sesuai dengan kebutuhan Indonesia masa sekarang. Pemerinta Pusat sudah mewajibkan
pencampuran solar dengan 20 persen biodiesel dari sawit, atau B20. Selain itu, teknologi
yang dibawa oleh Korea ini sangat ramah lingkungan. Pasalnya bahan bakunya menggunakan
limbah paling akhir dari pengolahan CPO.

“Ini menjadi isu dunia juga, tentang emisi rumah kaca dari gas metan limbah sawit. Bahan
baku yang akan mereka gunakan adalah limbah sawit ini. Sehingga limbah kita bisa diolah di
sini dan dijadikan produk bernilai tambah. Apalagi menjadi biodiesel untuk menjawab
kebutuhan energi. Kitaakan mempelopori ini,” paparnya.

Selain mampu menyerap tenaga kerja lokal yang besar, produksi yang dihasilkan pun sangat
besar, yakni 1,5 juta ton per tahun. Pasalnya, selain untuk kebutuhan domestik, biodiesel ini
akan diekspor untuk memenuhi kebutuhan internasional. Apalagi kebutuhan dunia terhadap
bahan bakar non-fosil menjadi topik dunia pada hari ini. “Ini bisa menjawab hal itu.
Bagaimana selain limbah sawit bisa diolah jadi biodiesel dan tidak menjadi gas metan. Lalu
diekspor ke Eropa,” jelas dia.

Gubernur pun berjanji untuk mempercepat perizinan di tingkat provinsi bagi investasi ini.
Soal lokasi, rencananya akan ditempatkan di Kabupaten Kubu Raya. Pasalnya kawasan ini
dekat dengan pelabuhan dan bandara. Selain itu Kubu Raya bisa ditetapkan sebagai kawasan
agro-industri yang cocok untuk pengolahan hasil produk perkebunan.

“Tekad saya menjadikan Kalbar sebagai provinsi dengan pelayanan tercepat dan terbaik di
Indonesia. Ini sudah kami buktikan (saat memimpin) di Kota Pontianak. Sejauh investasi itu
menguntungkan daerah dan masyarakat, serta transparan tentu tidak ada alasan, untuk tidak
mengeluarkan izin. Kami minta permintaan ini diajukan tertulis, dan akan kami jawab
tertulis,” jelasnya.
Investor Korea Selatan mengaku serius untuk membangun pabrik pengolahan biodiesel dari
limbah sawit di Kalimantan Barat. Sebagai tahap awal, akan dilakukan terlebih dahulu riset
dan uji kelayakan. Universitas Tanjungpura dipercaya menjadi tim riset.

Rektor Untan, Prof Dr Thamrin Usman DEA mengatakan, investasi awal yang disiapkan
sebesar Rp500 miliar. Bila berhasil, akan ditambah lagi untuk perluasan area pabrik dan
mesin produksi.
Tahap pertama kerja sama ini berupa Oil Recovery berdurasi satu tahun dengan masa
kerjasama selama lima tahun. “Karena ini adalah pabrik, maka lahan yang dibutuhkan tidak
terlalu besar. Investor btuh sekitar 2,5 hektare untuk pabrik berkapasitas produksi 150 ribu
ton biodiesel per tahun. Namun ke depan bisa diperluas menjadi 25 Ha, untuk menghasilkan
produksi 1,5 juta ton per hari,” imbuhnya.

Thamrin menyebut, investor Korea ingin memaksimalkan potensi SDM lokal. Oleh sebab itu,
kerjasama yang diambil adalah kerjasama segitiga, melibatkan; investor, Untan dan
pemerintah. “Pabrik ini butuh banyak sekali pekerja lokal. Untuk tenaga ahli dari Untan saja,
mereka akan menyerap 300an orang,” jelasnya.
Mr Yoo M dari Korsel menyebut pihaknya, sudah memiliki teknologi tinggi dalam mengubah
limbah sangat jelek menjadi biodiesel yang ramah lingkungan. Apabila hal ini bisa
ditingkatkan menjadi skala industri, maka masalah lingkungan dari limbah sawit serta
keluhan mahalnya bahan baku untuk biodiesel dapat teratasi secara bersamaan.

Proyek ini pada gilirannya dapat diklaim sebagai Program Sawit Bersih. Hal ini menjadi
kampanye kepada masyarakat dunia bahwa Industri Sawit di Kalbar Ramah Lingkungan.
Dengan demikian dapat terhindar dari embargo dari negara-negara konsumen baik di Eropa
maupun Amerika dan Jepang.,” kata Thamrin.

Lewat sentuhan teknologi, gas ini pada gilirannya dapat dimanfaatkan sebagai gas penggerak
generator listrik utk menghasilkan listrik. Melalui teknologi yang dikembangkan oleh Korea,
limbah industri kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent) dapat diubah menjadi biogas, yang
dengan kapasitas produksi sebesar 9.000 N㎥ per hari akan mampu menghasilkan suplai
listrik sebesar 7.675 MWh per tahun.

Selain itu, lapisan minyak berkualitas sangat jelek atau Palm Acid Oil selanjutnya dapat
menambah beban pencemaran air dan tanah serta bau busuk di udara. Tetapi dengan bantuan
teknologi maju (Advance Technology), dapat diubah menjadi produk yang bernilai ekonomi
yang tinggi. Hasil akhirnya adalah Energi Ramah Lingkungan Biodiesel sebagai pengganti
BBM Solar.

Ke depan, pihak Korsel akan membangun sarana dan prasarana kawasan pabrik , rekrutmen
tenaga kerja lokal dan lain-lain dalam rangka industria biodiesel ini. Kalimantan Barat dipilih
lantaran potensi dari limbah sawit yang belum banyak tergarap di provinsi ini. Apabila pabrik
ini berhasil, maka pihaknya akan membuat pabrik-pabrik lain di banyak wilayah di Indonesia.
Sebagai informasi, pangsa pasar dari biodesel ini cukup besar. Namun belum banyak
perusahaan yang mampu melakukan pengolahannya lantaran teknologinya yang rumit dan
berbiaya besar. (ars)

Menurutnya apalagi teknologi yang dibawa oleh Korea Selatan tersebut sangat ramah lingkungan.
Pasalnya bahan bakunya menggunakan limbah paling akhir dari pengolahan CPO.

"Ini menjadi isu dunia juga, tentang emisi rumah kaca dari gas metan limbah sawit. Bahan baku yang
akan mereka gunakan adalah limbah sawit ini. Sehingga limbah kita bisa diolah di sini dan dijadikan
produk bernilai tambah. Apalagi menjadi biodiesel untuk menjawab kebutuhan energi. Kita akan
mempelopori ini," paparnya.

Selain mampu menyerap tenaga kerja lokal yang besar, produksi yang dihasilkan pun sangat besar,
yakni 1,5 juta ton per tahun. Pasalnya, selain untuk kebutuhan domestik, biodiesel ini akan diekspor
untuk memenuhi kebutuhan internasional. Apalagi kebutuhan dunia terhadap bahan bakar non-fosil
menjadi topik dunia pada hari ini.
"Sebagai tahap awal akan dilakukan terlebih dahulu riset dan uji kelayakan. Universitas Tanjungpura
dipercaya dan kerjasamanya menjadi tim riset," kata dia.

Menurutnya investasi awal yang disiapkan sebesar Rp500 miliar. Namun apabila berhasil, akan
ditambah lagi untuk perluasan area pabrik dan mesin produksi.

Tahap pertama kerja sama ini berupa "oil recovery" berdurasi satu tahun dengan masa kerja sama
selama lima tahun

"Berhubung ini adalah pabrik maka lahan yang dibutuhkan tidak terlalu besar. Investor butuh sekitar
2,5 hektare untuk pabrik berkapasitas produksi 150 ribu ton biodiesel per tahun. Namun ke depan
bisa diperluas menjadi 25 hektare, untuk menghasilkan produksi 1,5 juta ton per hari," kata dia.

Thamrin menyebut investor Korea ingin memaksimalkan potensi SDM lokal. Oleh sebab itu, kerja
sama yang diambil adalah kerja sama segitiga, melibatkan investor, Universitas Tanjungpura dan
pemerintah.

"Pabrik ini butuh banyak sekali pekerja lokal. Untuk tenaga ahli dari Universitas Tanjungpura saja,
mereka akan menyerap 300-an orang," jelasnya.

Sementara itu, Yoo M dari perwakilan perusahaan Korea Selatan menyebut bahwa pihaknya sudah
memiliki teknologi tinggi dalam mengubah limbah sangat jelek menjadi biodiesel yang ramah
lingkungan.

"Apabila hal ini bisa ditingkatkan menjadi skala industri, maka masalah lingkungan dari limbah sawit
serta keluhan mahalnya bahan baku untuk biodiesel dapat teratasi secara bersamaan," papar dia.

Menurutnya jika proyek ke depan berjalan maka dapat diklaim sebagai program sawit bersih. Hal itu
bisa menjadi kampanye kepada masyarakat dunia bahwa industri sawit di Kalbar ramah lingkungan.

"Dengan demikian dapat terhindar dari embargo dari negara-negara konsumen baik di Eropa
maupun Amerika dan Jepang," papar dia.

"Ini bisa menjawab hal itu. Bagaimana selain limbah sawit bisa diolah jadi biodiesel dan tidak
menjadi gas metan. Lalu diekspor ke Eropa," jelas dia.

Ia pun berjanji untuk mempercepat perizinan di tingkat provinsi bagi investasi ini. Soal lokasi,
rencananya akan ditempatkan di Kabupaten Kubu Raya.

Pasalnya kawasan ini dekat dengan pelabuhan dan bandara. Selain itu Kubu Raya bisa ditetapkan
sebagai kawasan agro-industri yang cocok untuk pengolahan hasil produk perkebunan.

Tekad saya menjadikan Kalbar sebagai provinsi dengan pelayanan tercepat dan terbaik di Indonesia.
Ini sudah kami buktikan di Kota Pontianak. Sejauh investasi itu menguntungkan daerah dan
masyarakat, serta transparan tentu tidak ada alasan, untuk tidak mengeluarkan izin. Kami minta
permintaan ini diajukan tertulis, dan akan kami jawab tertulis," jelasnya.

Sebagai tahap awal dua perusahaan tersebut akan melakukan terlebih dahulu riset dan uji
kelayakan. Universitas Tanjungpura dipercaya menjadi tim riset.

Investasi awal yang disiapkan sebesar Rp500 miliar dan dibutuhkan 2,5 hektare. Namun apabila
berhasil, akan ditambah lagi untuk perluasan area pabrik dan mesin produksi.

Pembangunan Berkelanjutan kini diadopsi oleh oleh hampir semua negara termasuk
Indonesia sebagai model pembangunan nasionalnya.

Terdapat tiga pilar yang sama pentingnya dalam pembangunan berkelanjutan yakni sosial,
ekonomi dan lingkungan.

Konsep pembangunan berkelanjutan mengharuskan bahwa kebijakan dan program


pembangunan harus berkeadilan dan merata (socially euqitable), memiliki pertumbuhan
(economically viable), dan secara lingkungan dapat ditoleransi dan berkelanjutan
(environmentally bearable).

Pembangunan industri minyak sawit dewasa ini dan ke depan mengadopsi dan menjalankan
konsep pembanguna berkelanjutan. Namun, disadari bahwa pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan layaknya sebuah perjalanan, di mana perbaikan dan penyempurnaan harus
dilakukan secara terus menerus menuju tujuan akhir yang ingin dicapainya.

Terdapat 17 tujuan dari pembangunan berkelanjutan yang secara garis besar mencakup
dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan.

Namun, dalam konteks industri minyak sawit setidaknya terdapat tujuh tujuan yang relevan
dengan pembangunan industri minyak sawit berkelanjutan. Dalam arti ini, industri minyak
sawit dapat memberikan kontribusi terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini relatif stabil pada angka
5%. Jika dibandingkan dengan negara-negara yang tergabung dalam G-20, pertumbuhan ini
relatif baik, bahkan sebenarnya merupakan pertumbuhan tertinggi ketiga setelah India dan
China.

Namun jika dibandingkan dengan kebutuhan ekonomi, maka pertumbuhan ekonomi yang
berkisar 5% ini tidak memadai jika kita hendak mengurangi secara cepat dan signifikan
kemiskinan dan pengangguran.

Pada kenyataannya, Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi berkisar 8% untuk dapat


terhindar dari middle income trap sekaligus mengurangi kemiskinan dan pengangguran.
Intinya, Indonesia membutuhkan kebijakan dan program ekonomi yang lebih efektif dan
agresif untuk mengatasi persoalan pertumbuhan, pemerataan dan pengentasan kemiskinan.

Studi oleh Ryan Edwards (2015) mengonfirmasi pentingnya kontribusi industri minyak sawit
dalam mengurangi kemiskinan dan pengangguran terutama di daerah pedesaan di luar Jawa.

Temuannya menunjukkan bahwa dari sekitar 10 juta penduduk yang dientaskan dari
kemiskinan dalam periode 2000-an, 1,3 juta di antaranya merupakan kontribusi dari ekspansi
perkebunan kelapa sawit.

Studi ini menyimpulkan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit meningkatkan pengeluaran
masyarakat miskin, memperluas pelayanan publik terutama akses masyarakat miskin
terhadap infrastruktur jalan dan listrik.

Hasil serupa diperoleh dari studi yang dilakukan oleh Krystof Obidzinski dan kawan-kawan
(2014) di Kalimantan Tengah di mana terbukti pembangunan perkebunan kelapa sawit
berhasil mengurangi tingkat pengangguran dengan menyediakan hampir separuh dari
kesempatan kerja yang ada dan memberikan manfaat terutama terhadap kelompok
masyarakat berpendapatan rendah dan menengah.

Terdapat kajian lain yang memberikan hasil serupa seperti yang dilakukan oleh Bank Dunia.
Intinya, adalah pengakuan bahwa industri minyak sawit merupakan instrumen yang efektif
dalam mengentaskan kemiskinan penciptaan lapangan kerja terutama di daerah pedesaan luar
Jawa.

Lebih jauh, jika kita melihat pertumbuhan produksi minyak sawit yang terus meningkat
sehingga pada 2016, Indonesia menghasilkan 34 juta ton minyak sawit.

Dengan komposisi sekitar 25% merupakan konsumsi domestik dan 75% ekspor, maka
sumbangan minyak sawit untuk ekonomi nasional semakin nyata.

Namun yang menarik selain dari besaran produksi adalah komposisinya, di mana ternyata
pertumbuhan produksi minyak sawit tertinggi adalah dihasilkan dari perkebunan rakyat
dibandingkan dengan perkebunan besar swasta maupun negara.

Artinya, selain memberikan sumbangan terhadap ekonomi secara keseluruhan, industri


minyak sawit juga memberikan aspek pemerataan di mana perkebunan rakyat tumbuh lebih
cepat dibanding swasta dan negara.

Kesimpulan ini semakin diperkuat jika melihat pertumbuhan ekspansi area dari perkebunan
rakyat yang juga tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan perkebunan swasta dan negara.
Sekarang ini pangsa dari perkebunan rakyat adalah sekitar 40%, sementara perkebunan
swasta dan negara masing-masing 54% dan 6%.

Komposisi ini relatif seimbang dan sehat bagi sebuah industri yang bukan saja merupakan
instrumen untuk pertumbuhan tetapi sekaligus pemerataan.

Akan tetapi, jika kita melihat produktivitas antara ketiga jenis pengusahaan terlihat bahwa
produktivitas perkebunan rakyat merupakan terendah. Ini berarti pendapatan per unit area
yang dihasilkannya pun rendah untuk perkebunan rakyat dibandingkan dengan swasta dan
negara.

Namun pada saat yang sama rendahnya produktivitas perkebunan rakyat ini merupakan
kesempatan untuk meningkatkan produktivitas minyak sawit Indonesia tanpa harus
tergantung pada ekspansi area.

Dengan demikian, peningkatan produktivitas perkebunan rakyat melalui perbaikan praktek


budi daya, pemupukan dan pemeliharaan seharusnya fokus dan prioritas semua pemangku
kepentingan.

Sebab, dengan peningkatan produktivitas ini bukan saja pertumbuhan dan pemerataan yang
terjadi tetapi juga aspek lingkungan semakin terjaga.

Namun ada hal yang perlu diperhatikan ke depan, di mana produksi diperkirakan akan
semakin melambat pertumbuhannya karena berbagai faktor di antaranya adanya restriksi
dalam perdagangan minyak sawit, kebijakan pemerintah yang membatasi perluasan area.

Kecenderungan perlambatan dalam produksi minyak sawit akan memiliki dampak bagi upaya
pengentasan kemiskinan dan kesempatan kerja di daerah pedesaan.

Padahal peningkatan produksi minyak sawit sekarang dan ke depan tetap dibutuhkan untuk
dua keperluan.

Pertama, pertumbuhan konsumsi minyak nabati dunia yang setiap tahun meningkat.
Setidaknya dunia memerlukan tambahan sebesar 51 juta minyak nabati dalam periode 2014-
2025 atau 5,1 juta ton setiap tahunnya.

Kedua, peningkatan produksi minyak sawit juga dibutuhkan untuk memenuhi peningkatan
konsumsi biofuel.

Dimensi lingkungan

Dimensi lingkungan dalam pembangunan industri minyak sawit berkelanjutan dijalankan


dengan mematuhi semua inisiatif dan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah di satu sisi,
di sisi lain industri sendiri memiliki komitmen kuat untuk menjalankan praktek-praktek
keberlanjutan dalam pengelolaan industrinya.

Di antara inisiatif dan ketentuan pemerintah dalam hubungan ini adalah sebagai berikut.
Pertama, one map policy yang bertujuan untuk memastikan kejelasan dan konsistensi alokasi
lahan melalui integrasi data geospatial.

Kedua, penghentian sementara konversi lahan gambut dan hutan primer untuk kegiatan
ekonomi termasuk perkebunan kelapa sawit.

Ketiga, pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) yang bertujuan untuk proteksi dan
restorasi lahan gambut.

Keempat, penguatan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang memastikan bahwa
pengelolaan industri minyak sawit dilakukan secara berkelanjutan.
Selain itu, industri juga memiliki komitmen secara sukarela untuk tidak melakukan
deforestrasi, tidak berekspansi dalam lahan gambut, dan menerapkan keterlacakan bahan
baku selain berpartisipasi dalam skema keberlanjutan yang diprakarsai oleh pemangku
kepentingan seperti RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil).

Indonesia kini merupakan negara produsen terbesar Certified Sustainable Palm Oil (CSPO)
yang dikeluarkan oleh RSPO. Dengan hal tersebut pembangunan industri minyak sawit
berkelanjutan dijalankan secara konsisten dan terus menerus mengalami perbaikan

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan indsutri minyak sawit
sejalan dan merupakan manifestasi dari pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan industri minyak sawit perlu dikembangkan lebih jauh dan dalam lagi karena
merupakan instrumen efektif dalam menciptakan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan
dan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi selain sebagai upaya untuk memenuhi
kebutuhan minyak nabati dunia.

Ke depan, peningkatan produktivitas perkebunan rakyat merupakan prioritas dan fokus dari
pembangunan industri minyak sawit.

Terakhir, industri minyak sawit memiliki komitmen kuat menjalankan pengelolaan industri
secara berkelanjutan dengan mematuhi berbagai ketentuan pemerintah dan secara sukarela
menerapkan praktek-praktek yang menjaga dan melestarikan lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai