Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Laringomalasia adalah kelainan kongenital pada laring berupa flaksiditas dan


inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika ariepiglotik dan
epiglotis, sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran napas yang menimbulkan gejala
utama berupa stridor inspiratoris kronik pada bayi dan anak. Laringomalasia pertama kali
diperkenalkan oleh Jackson pada tahun 1942 sebagai kelainan kongenital laring yang
paling sering ditemukan. Kelainan ini dapat hadir bersama dengan trakeomalasia.1,2

Pada penelitian Holinger pada 219 pasien dengan stridor, kelainan kongenital pada
laring menempati urutan pertama (60,3%) dan penyebab tersering keadaan stridor
pada neonatus, bayi dan anak-anak adalah laringomalasia (59,8%). Kejadian
laringomalasia pada laki-laki dua kali lebih banyak daripada perempuan.3

Biasanya, pasien dengan keadaan ini menunjukkan gejala pada saat baru
dilahirkan, dan setelah beberapa minggu pertama kehidupan secara bertahap berkembang
stridor inspiratoris dengan nada tinggi dan kadang kesulitan dalam pemberian makanan.
Laringomalasia merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, yang mula-mula terjadi
segera setelah kelahiran dan memberat pada bulan ke enam, serta membaik pada umur ke
12-18 bulan dan dapat bertahan sampai usia 4 tahun atau masa kanak-kanak.2,3

Dalam persentase yang kecil, keadaan laringotrakeomalasia yang berat yang


menimbulkan keadaan apnea, kesulitan makan, gagal tumbuh dan kor pulmonal akan
membutuhkan intervensi bedah untuk penatalaksanaannya.2

Berdasarkan fakta bahwa laringomalasia menempati urutan kelainan kongenital


tersering pada neonatus, bayi dan anak-anak, maka diperlukan pemahaman lebih lanjut,
sehingga memudahkan kita untuk mengetahui diagnosis dini dan penatalaksanaan
mutakhir laringomalasia.3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI DAN FISIOLOGI LARING

Laring adalah bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas. Bentuknya
menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar daripada bagian
bawah. Batas atas laring adalah aditus laring dan batas bawahnya adalah batas kaudal
kartilago krikoid. Di bagian atas, laring membuka ke dalam laringofaring dan di bawah
bersambung dengan trakea. Laring, faring, trakea dan paru-paru merupakan derivat foregut
embrional yang terbentuk sekitar 18 hari setelah konsepsi.4,5

Laring dibentuk oleh kartilago, ligamentum, otot dan membrana mukosa. Terletak
di sebelah ventral faring, berhadapan dengan vertebra cervicalis 3-6. Berada di sebelah
kaudal dari os hyoideum dan lingua, berhubungan langsung dengan trakea. Di bagian
ventral ditutupi oleh kulit dan fasia, di kiri kanan linea mediana terdapat otot-otot infra
hyoideus. Posisi laring dipengaruhi oleh gerakan kepala, deglutisi dan fonasi. 4

Kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid yang berbentuk
seperti huruf U dan beberapa kartilago. Laring dibentuk oleh 3 buah kartilago yang
tunggal, yaitu kartilago tireoidea, krikoidea, dan epiglotika, serta 3 buah kartilago yang
berpasangan, yaitu kartilago aritenoidea, kartilago kornikulata, dan kuneiform. Kartilago-
kartilago ini secara embriologis dibentuk dari unsur rawan dari lengkung faring ke-4 dan
ke-6 yang bersatu. Lengkung faring ini mulai tampak pada pertumbuhan embrio di
minggu ke-4 dan ke-5 intrauterin.4

Gerakan laring dilakukan oleh kelompok otot-otot intrinsik dan ekstrinsik. Otot-otot
ekstrinsik bekerja pada laring secara keseluruhan, terletak di suprahioid (m. digastrikus,
m.geniohioid, m.stilohioid, m.milohioid) dan infrahioid (m. sternohioid, m.omohioid,
m.tirohioid). Otot-otot intrinsik menyebabkan gerakan bagian laring tertentu yang
berhubungan dengan gerakan pita suara, yakni m. krikoaritenoid lateral, m. tiroepiglotika,
2
m. vokalis, m. tiroaritenoid, m. ariepiglotika, m. krikotiroid, m. aritenoid transversum, m.
aritenoid oblik dan m. krikoaritenoid posterior.4

Rongga laring terdiri atas tiga bagian, yaitu supraglotis, glottis, dan subglotis.
Daerah supraglotis terdiri dari epilaring dan vestibulum. Epilaring merupakan gabungan
dari permukaan epiglottis, plika ariepiglotika dan aritenoid, sedangkan vestibulum
terdiri dari pangkal epiglottis, plika vestibular dan ventrikel. Daerah glottis terdiri
dari pita suara dan 1 cm di bawahnya. Daerah subglotis adalah dari batas bawah glotis
sampai dengan batas bawah kartilago krikoid.4,5

Laring pada bayi normal terletak lebih tinggi pada leher dibandingkan orang
dewasa. Laring bayi juga lebih lunak, kurang kaku dan lebih dapat ditekan oleh tekanan
jalan nafas. Pada bayi laring terletak setinggi C2 hingga C4, sedangkan pada orang
dewasa hingga C6. Ukuran laring neonatus kira-kira 7 mm anteroposterior, dan membuka
sekitar 4 mm ke arah lateral.4,5

4,5
Fungsi laring terdiri dari :

1. Proteksi, yakni untuk mencegah makanan dan benda asing masuk ke dalam
trakea dengan menutup aditus laring dan rima glottis secara bersamaan
2. Refleks batuk, dapat mengeluarkan benda asing yang telah masuk ke dalam
trakea serta mengeluarkan sekret
3. Respirasi, yakni dengan mengatur besar kecilnya rima glottis
4. Sirkulasi, dengan terjadinya perubahan tekanan udara dalam traktus
trakeobronkial maka sirkulasi darah dari alveolus akan terpengaruh, demikian juga
sirkulasi darah tubuh
5. Proses menelan, dengan menggerakkan laring bagian bawah ke atas, menutup
aditus laringis dan mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak
mungkin masuk ke dalam laring
6. Emosi, yakni dapat mengekspresikan emosi seperti berteriak, mengeluh,
menangis dan lain-lain
7. Fonasi, yakni membuat suara dengan menentukan tinggi rendahnya nada

3
Gambar 1. Penampang anterior laring 4

Gambar 2. Penampang posterior laring 4

EMBRIOLOGI LARING

Seluruh sistem pernafasan merupakan hasil pertumbuhan faring primitif. Pada saat
embrio berusia 3,5 minggu, suatu alur yang disebut laringotrakeal groove tumbuh
dalam embrio pada bagian ventral foregut. Alur ini terletak di sebelah posterior dari
eminensia hipobronkial dan terletak lebih dekat dengan lengkung ke IV daripada
lengkung ke III.6
4
Lapisan dalam laring berasal dari endoderm, tetapi tulang rawan dan otot berasal
dari mesenkim lengkung faring ke-4 dan ke-6. Sebagai akibat dari proliferasi
mesenkim yang berlangsung cepat, auditus laringis berubah bentuknya dari sebuah celah
sagital menjadi lobang berbentuk T. Selanjutnya ketika mesenkim kedua lengkung faring
tersebut berubah menjadi kartilago tiroidea, krikoidea, serta aritenoidea, bentuk dewasa
auditus laringis yang khas sudah dapat dikenali.7

Selama masa pertumbuhan embrional ketika tuba yang single ini menjadi dua
struktur, tuba yang asli mula-mula mengalami obliterasi dengan proliferasi lapisan epitel,
kemudian epitel diresopsi, tuba kedua dibentuk dan tuba pertama mengalami
rekanulisasi. Berbagai malformasi dapat terjadi pada kedua tuba ini, misalnya fistula
trakeoesofageal. Pada maturasi lanjut, kedua tuba ini terpisah menjadi esofagus dan
bagian laringotrakeal.6

Pembukaan laringotrakeal ini adalah aditus laringeus primitif dan terletak diantara
lengkung IV dan V. Aditus laring pada perkembangan pertama berbentuk celah vertikal
yang kemudian menjadi berbentuk T dengan tumbuhnya hipobrachial eminence yang
tampak pada minggu ke 3 dan kemudian akan tumbuh menjadi epiglottis. Sepasang
aritenoid yang tampak pada minggu ke 5 dan pada perkembangan selanjutnya
sepasang massa aritenoid ini akan membentuk tonjolan yang kemudian akan menjadi
kartilago kuneiforme dan kartilago kornikulata. Kedua aritenoid ini dipisahkan
oleh incisura interaritenoid yang kemudian berobliterasi. Ketika ketiga organ ini tumbuh
selama minggu ke 5 – 10, lumen laring mengalami obliterasi, baru pada minggu ke 9
kembali terbentuk lumen yang berbentuk oval. Kegagalan pembentukan lumen ini akan
menyebabkan atresia atau stenosis laring. Plika vokalis sejati dan plika vokalis palsu
terbentuk antara minggu ke 8 – 9.6

Kira-kira pada saat terbentuk tulang rawan, epitel laring juga berproliferasi dengan
cepat, sehingga untuk sementara menutup lumen. Selanjutnya ketika terjadi vakuolisasi
dan rekanalisasi, terbentuklah sepasang resesus lateral yaitu ventrikel laringealis. Resesus
tersebut dibatasi oleh lipatan-lipatan jaringan yang tidak menghilang melainkan
berdiferensiasi menjadi pita suara palsu dan sejati.7

5
Gambar 3. Perkembangan Laring 6

Otot-otot laring pada mulanya muncul sebagai suatu sfingter intrinsik yang terletak
dalam tunas kartilago tiroid dan krikoid. Selama perkembangan selanjutnya, sfingter ini
terpisah menjadi massa otot-otot tersendiri (mudigah 13 – 16 mm). Otot-otot laring
pertama yang dikenal adalah interaritenoid, ariepiglotika, krikoaritenoid posterior
dan krikotiroid. Otot-otot laring intrinsik berasal dari mesoderm lengkung brakial ke 6
dan dipersarafi oleh n. rekuren laringeus. M. krikotiroid berasal dari mesoderm lengkung
brakial ke 4 dan dipersarafi oleh n. laringeus superior. Kumpulan otot ekstrinsik berasal
dari eminensia epikardial dan dipersarafi n. hipoglosus.8

Tulang hyoid akan mengalami penulangan pada enam tempat, dimulai pada saat
lahir dan lengkap setelah 2 tahun. Katilago tiroid akan mulai mengalami penulangan
pada usia 20 sampai 23 tahun, mulai pada tepi inferior. Kartilago krikoid mulai
usia 25 sampai 30 tahun inkomplit, begitupula dengan aritenoid.9

LARINGOMALASIA

 Definisi

Laringomalasia adalah kelainan kongenital pada laring berupa flaksiditas


dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika ariepiglotik dan
epiglotis, sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran napas yang menimbulkan gejala
utama berupa stridor inspiratoris kronis pada bayi dan anak.2

6
 Epidemiologi

Laringomalasia diperkenalkan pertama kali oleh Jackson pada tahun 1942.


Laringomalasia adalah anomali kongenital pada laring yang paling sering terjadi. Anak
laki-laki dilaporkan mengalami laringomalasia 2 kali lebih sering daripada anak
perempuan. Laringomalasia secara umum merupakan kondisi self-limiting, akan tetapi
dapat mengancam jiwa karena obstruksi jalan nafas yang ditimbulkannya. Selain itu,
laringomalasia juga dapat menyebabkan terjadinya kor pulmonal dan kegagalan
pertumbuhan pada anak. Laringomalasia dan trakeomalasia merupakan dua kelainan
kongenital tersering pada laring (59,8%) dan trakea (45,7%) neonatus, bayi dan anak
yang sering menyebabkan stridor.2

 Etiologi

Penyebab laringomalasia masih belum diketahui, namun banyak teori yang


menjelaskan patofisiologi laringomalasia. Terdapat hipotesis yang dibuat berdasarkan
model embriologi. Epiglotis dibentuk oleh lengkung brakial ketiga dan keempat. Pada
laringomalasia terjadi pertumbuhan lengkung ketiga yang lebih cepat dibandingkan yang
keempat sehingga epiglotis melengkung ke dalam.3,10,11

Secara umum terdapat dua teori patofisiologi laringomalasia, yaitu teori anatomi
dan teori neurogenik. Menurut teori anatomi, terdapat hipotesis bahwa terjadi
abnormalitas kelenturan tulang rawan dan sekitarnya yang menyebabkan kolapsnya
struktur supraglotis. Pada kepustakaan disebutkan bahwa kelainan congenital ini
bersifat otosomal dominan.3,10,11

Pada teori neuromuskular, dipercaya penyebab primer kelainan ini adalah


terlambatnya perkembangan kontrol neuromuscular dibanding dengan teori anatomi.
Penyebab neurogenik selanjutnya dihubungkan pula dengan abnormalitas neurogenik
lainnya. Belmont dan Grundfast menemukan 80% dari 30 anak dengan laringomalasia
mempunyai penyakit refluks gastroesofagus (PRGE), 13% terjadi hipotonia dan 10%
mengalami apnea tidur sentral. Mereka menganggap bahwa disfungsi atau
imaturitas dari control neuromuscular yang menjadi akar penyebab semua kelainan
tersebut.3,10,11

7
 Patofisiologi

Laringomalasia dapat terjadi di epiglotis, kartilago aritenoid, maupun pada


keduanya. Jika mengenai epiglotis, biasanya terjadi elongasi dan bagian dindingnya
terlipat. Epiglotis yang bersilangan membentuk omega, dan lesi ini dikenal sebagai
epiglotis omega (omega-shaped epiglottis). Jika mengenai kartilago aritenoid, tampak
terjadi pembesaran. Pada kedua kasus, kartilago tampak terkulai dan pada pemeriksaan
endoskopi tampak terjadi prolaps di atas laring selama inspirasi. Obstruksi
inspiratoris ini menyebabkan stridor inspiratoris, yang terdengar sebagai suara dengan
nada yang tinggi. 12

Matriks tulang rawan terdiri atas dua fase, yaitu fase cair dan fase padat dari
jaringan fibrosa dan proteoglikan yang dibentuk dari rangkaian mukopolisakarida.
Penelitian terhadap perkembangan tulang rawan laring menunjukkan perubahan yang
konsisten pada isi proteoglikan dengan pematangan. Tulang rawan neonatus terdiri dari
kondroitin-4-sulfat dengan sedikit kondroitin-6-sulfat dan hampir tanpa keratin sulfat.
Tulang rawan orang dewasa sebagian besar terdiri dari keratin sulfat dan kondroitin-6-
sulfat. Dengan bertambahnya pematangan, matriks tulang rawan bertambah, akan
menjadi kurang air, lebih fibrosis dan kaku. Bentuk omega dari epiglotis yang berlebihan,
plika ariepiglotik yang besar, dan perlunakan jaringan yang hebat mungkin ada dalam
berbagai tahap pada masing-masing kasus.3

Supraglotis yang terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis dan kartilago aritenoid
ditemukan mengalami prolaps ke dalam jalan napas selama inspirasi. Laringomalasia
umumnya dikategorikan ke dalam tiga tipe besar berdasarkan bagian anatomis
supraglotis yang mengalami prolaps walaupun kombinasi apapun dapat terjadi. Tipe
pertama melibatkan prolapsnya epiglotis di atas glotis. Yang kedua melipatnya tepi
lateral epiglotis di atas dirinya sendiri, dan yang ketiga prolapsnya mukosa aritenoid
yang berlebihan ke dalam jalan napas selama periode inspirasi.13

Laringomalasia merupakan penyebab tersering dari stridor inspiratoris kronik pada


bayi. Bayi dengan laringomalasia memiliki insidens untuk terkena refluks
gastroesophageal, diperkirakan sebagai akibat dari tekanan intratorakal yang lebih negatif
yang dibutuhkan untuk mengatasi obstruksi inspiratoris. Dengan demikian, anak-anak
dengan masalah refluks seperti ini dapat memiliki perubahan patologis yang sama

8
dengan laringomalasia, terutama pada pembesaran dan pembengkakan dari kartilago
aritenoid.12

Gambar 4. Gambaran Pemeriksaan Fisik


Laringomalasia 12

 Klasifikasi

Laringomalasia diklasifikasikan menjadi laringomalasia ringan, sedang dan berat


berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penemuan laringoskop. Laringomalasia
dapat terjadi di anterior (epiglottis prolaps ke posterior jalan nafas), lateral (kartilago
kuneiformis atau kartilago kornikulata prolaps ke medial jalan nafas), dan posterior
(mukosa yang berlebih pada aritenoid prolaps ke anterior saluran nafas). Laringomalasia
dapat timbul sebagai kombinasi tipe-tipe tersebut.14

Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk membuat


klasifikasi untuk laringomalasia. Laringomalasia umumnya dikategorikan ke dalam
tiga tipe besar berdasarkan bagian anatomis supraglotis yang mengalami prolaps
walaupun kombinasi apapun dapat terjadi.10,12

Tipe pertama melibatkan prolapsnya epiglotis di atas glotis. Yang kedua


melipatnya tepi lateral epiglotis di atas dirinya sendiri, dan yang ketiga prolapsnya
mukosa aritenoid yang berlebihan ke dalam jalan napas selama periode inspirasi.10,12

9
Gambar 5. Tipe 1 laringomalasia, yaitu prolaps dari mukosa kartilago
aritenoid yang tumpang tindih 10

Gambar 6.Tipe 2 laringomalasia, yaitu memendeknya plika


ariepiglotika10

10
Gambar 7. Tipe 3 Laringomalasia, yaitu melekuknya epiglotis ke
arah posterior 10

 Gambaran klinis

Tiga gejala yang terjadi pada berbagai tingkat dan kombinasi pada anak dengan
kelainan laring kongenital adalah obstruksi jalan napas, tangis abnormal yang dapat
berupa tangis tanpa suara (muffle) atau disertai stridor inspiratoris serta kesulitan
menelan yang merupakan akibat dari anomali laring yang dapat menekan esofagus.10

Laringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh spontan


pada 70% bayi saat usia 1-2 tahun. Gejala stridor inspirasi kebanyakan timbul
segera setelah lahir atau dalam usia beberapa minggu atau bulan kemudian. Pada
beberapa bayi tidak menimbulkan gejala sampai anak mulai aktif (sekitar 3 bulan)
atau dipresipitasi oleh infeksi saluran nafas. Stridor yang terjadi bersifat bervibrasi dan
bernada tinggi. Stridor akan bertambah berat sampai usia 8 bulan, menetap sampai
usia 9 bulan dan kemudian bersifat intermiten dan hanya timbul bila usaha bernafas
bertambah seperti saat anak aktif, menangis, makan, kepala fleksi, atau posisi supinasi.
Setelah itu keadaan makin membaik. Rata-rata stridor terjadi adalah selama 4 tahun 2
bulan. Tidak ada korelasi antara lama berlangsungnya stridor dengan derajat atau waktu
serangan.10,12

Stridor dapat disertai dengan retraksi sternum, interkosta, dan epigastrium


akibat usaha pernafasan, dan anak dapat ditemukan dalam keadaan pektus
ekskavatum.12

11
Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi napas yang berat. Penderita
laringomalasia biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang disertai muntah
sesudah makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gagal
tumbuh. Berdasarkan pemeriksaan radiologi, refluks lambung terjadi pada 80% dan
regurgitasi pada 40% setelah usia 3 bulan. Masalah makan dipercaya sebagai akibat
sekunder dari tekanan negative yang tinggi di esophagus intratorak pada saat
inspirasi.10,12

Pneumonitis aspirasi dilaporkan terjadi pada 7% anak dengan laringomalasia.


Mekanisme kelainan ini belum jelas, namun mungkin berhubungan dengan tekanan
negative dan masalah makan.10,12

Apne obstruksi tidur (23%) dan apnea sentral (10%) juga ditemukan. Keadaan
hipoksia dan hiperkapnia akibat hipoksia dan hiperkapnia akibat obstruksi nafas atas yang
lama akan berisiko tinggi untuk terjadinya serangan apnea yang mengancam jiwa dan
timbul hipertensi pulmonal, yang dapat menyebabkan kor pulmonal, aritmia jantung,
penyakit paru obstruksi kronis, masalah kognitif dan personal sebagai akibat sekunder
dari laringomalasia. 10

Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk membuat


klasifikasi untuk laringomalasia. Klasifikasi ini bertujuan untuk mempermudah
pemilihan teknik operasi supraglotoplasti. Klasifikasinya adalah sebagai berikut:
tipe 1, yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih; tipe 2, yaitu
memendeknya plika ariepiglotika; tipe 3, yaitu melekuknya epiglotis ke arah posterior.
Bentuk omega epiglotis tidak selalu menjadi ciri khas karena ini hanya ditemukan pada
30-50% pasien, dan kebanyakan tidak ditemukan adanya stridor.10,12

 Penegakan diagnosis

Laringomalasia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan penunjang berupa laringoskopi fleksibel dan radiologi. 3,10,12,15

a. Anamnesis
Dari anamnesis dapat kita temukan : 3,10,12,15
- Riwayat stridor inspiratoris diketahui mulai 2 bulan awal kehidupan. Suara
biasa muncul pada minggu 4-6 awal.
12
- Stridor berupa tipe inspiratoris dan terdengar seperti kongesti nasal, yang
biasanya membingungkan. Namun demikian stridornya persisten dan tidak
terdapat sekret nasal.
- Stridor bertambah jika bayi dalam posisi terlentang, ketika menangis,
ketika terjadi infeksi saluran nafas bagian atas, dan pada beberapa kasus,
selama dan setelah makan.
- Tangisan bayi biasanya normal
- Biasanya tidak terdapat intoleransi ketika diberi makanan, namun bayi
kadang tersedak atau batuk ketika diberi makan jika ada refluks pada bayi.
- Bayi gembira dan tidak menderita.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisis ditemukan : 3,10,12,15
- Pada pemeriksaan bayi terlihat gembira dan berinteraksi secara wajar.
- Dapat terlihat takipneu ringan
- Tanda-tanda vital normal, saturasi oksigen juga normal
- Biasanya terdengar aliran udara nasal, suara ini meningkat jika posisi bayi
terlentang
- Tangisan bayi biasanya normal, penting untuk mendengar tangisan bayi
selama pemeriksaan
- Stridor murni berupa inspiratoris. Suara terdengar lebih jelas di sekitar
angulus sternalis
c. Pemeriksaan penunjang

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laring dengan menggunakan


laringoskop serat fiber fleksibel selama periode pernapasan spontan. Penemuan
endoskopik yang paling sering adalah kolapsnya plika ariepiglotik dan kartilago
kuneiform ke sebelah dalam. Laringoskopi langsung merupakan cara yang terbaik untuk
memastikan diagnosis. Pemeriksaan dilakukan pada anak dalam keadaan sadar
dengan posisi tegak melalui kedua hidung tanpa adanya premedikasi. Bilah laringoskop
dimasukkan ke valekula dengan tekanan yang minimal pada epiglotis untuk
menegakkan diagnosis. Pada inspirasi, struktur sekitar vestibulum, terutama plika
ariepiglotik, epiglotis, dan kartilago aritenoid akan tampak turun ke saluran nafas, disertai

13
stridor yang sinkron. Visualisasi langsung memperlihatkan epiglotis berbentuk omega
selama inspirasi. 3,10,12,15

Melalui pemeriksaan ini, juga dapat dinilai pasase hidung, nasofaring, dan
supraglotis. Pada laringomalasia, pita suara dapat bergerak dengan baik, namun pada
keadaan berat, sulit memvisualisasikan pita suara akibat kolapnya supraglotis. 3,10,12,15

Pemeriksaan laringoskopi fleksibel memiliki beberapa kerugian, yaitu risiko


terlewatkannya diagnosis laringomalasia ringan bila pasien menangis dan penilaian
keadaan subglotis kurang akurat. 3,10,12,15

Olney, dkk membuat kategori kandidat yang sebaiknya dilakukan laringoskopi dan
bronkoskopi. Kriterianya adalah:10,12

1. Bayi dengan gangguan pernapasan berat, gagal tumbuh, mengalami fase apnea,
atau pneumonia berulang.
2. Bayi dengan gejala yang tidak sesuai dengan gambaran
laringomalasia pada laringoskopi fleksibel.
3. Bayi dengan lesi lain di laring.
4. Bayi yang akan dilakukan supraglotoplastis.

Nusbaum dan Maggi melaporkan 68% dari 297 anak dengan


laringomalasia mempunyai kelainan pernafasan lainnya yang ditemukan dengan
bronkoskopi. 3,10,12,15

Gambar 8. Laringoskop Langsung 12

14
 Diagnosis banding

Setiap kelainan yang menyebabkan obstruksi pada laring diagnosis banding


dari laringomalasia baik akibat kelainan kongenital, infeksi, trauma, benda asing, tumor,
paralisis pita suara, stenosis laring dan trakea.16

Laringomalasia didiagnosis banding dengan penyebab stridor inspiratoris lain pada


anak-anak. Antara lain yaitu, hemangioma supraglotik, massa atau adanya jaringan
intraluminal seperti laryngeal web dan kista laring, kelainan akibat trauma seperti
edema dan stenosis supraglotik, maupun kelainan pada pita suara. 16

 Penatalaksanaan

Pada lebih dari 99% kasus, satu-satunya pengobatan yang dibutuhkan adalah
waktu. Lesi sembuh secara berkala, dan stridor rata-rata hilang setelah dua tahun. Stridor
mulanya meningkat pada 6 bulan pertama, seiring bertambahnya aliran udara pernafasan
bersama dengan bertambahnya umur. Pada beberapa kasus, stridor dapat menetap hingga
dewasa. Dalam hal ini, stridor baru muncul setelah beraktifitas berat atau terkena infeksi.
Jika bayi mengeluarkan stridor yang lebih keras dan mengganggu tidur, hal ini dapat
diatasi dengan menghindari tempat tidur, bantal atau selimut yang terlalu lembut,
sehingga akan memperbaiki posisi bayi sehingga dapat mengurangi bunyi. Jika terjadi
hipoksemia berat pada bayi (ditandai dengan saturasi oksigen <90%) maka sebaiknya
diberikan tambahan oksigen. Tidak ada obat- obatan yang dibutuhkan untuk kelainan
ini.5

Sebagian besar anak dengan kelainan ini dapat ditangani secara konservatif.
Pada keadaan ini, hal yang dapat dilakukan adalah memberi keterangan dan keyakinan
utnuk menenangkan orang tua pasien tentang prognosis dan tindak lanjut yang teratur
hingga akhirnya stridor menghilang dan pertumbuhan yang normal dapat dicapai. Jarang
terjadi dimana seorang anak memiliki kelainan yang signifikan sehingga
memerlukan operasi. Trakeostomi merupakan prosedur pilihan untuk laringomalasia
berat. 10

Supraglotoplasti dapat dilakukan pada kasus-kasus yang lebih ringan. Berdasarkan


klasifikasi Olney terdapat tiga teknik supraglotoplasti yang dapat dilakukan. Teknik yang
dipilih tergantung pada kelainan laringomalasianya. Pada tipe 1, dimana terjadi prolaps

15
mukosa aritenoid pada kartilago aritenoid yang tumpang tindih, dilakukan eksisi jaringan
mukosa yang berlebihan pada bagian posterolateral dengan menggunakan pisau bedah
atau dengan laser CO2. Laringomalasia tipe 2 dikoreksi dengan cara memotong plika
ariepiglotika yang pendek yang menyebabkan mendekatnya struktur anterior dan
posterior supraglotis. Laringomalasia tipe 3 ditangani dengan cara eksisi melewati
ligament glosoepiglotika untuk menarik epiglottis ke depan dan menjahitkan sebagian
dari epiglottis ke dasar lidah.10,12

Gambar 9. Supraglotoplasti 12

 Prognosis

Prognosis laringomalasia umumnya baik. Biasanya dapat sembuh sendiri, dan tidak
berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pada sebagian besar pasien, gejala menghilang
pada usia dua tahun, sebagian lain pada usia satu tahun. Pada beberapa kasus, walaupun
tanda dan gejala menghilang, kelainan tetap ada. Pada keadaan seperti ini, biasanya
stridor akan muncul saat beraktifitas saat dewasa. 12

16
BAB IV

PENYAJIAN KASUS

A. Identitas Pasien
a. Nama : By. N
b. Usia : 2 bulan
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Tanggal Pemeriksaan : 28.09.2018

B. Anamnesis
a. Keluhan Utama : Sesak
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan rujukan dari RSUD pemangkat datang dengan keluhan
sesak sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan sesak dirasakan
hilang timbul. Sesak memberat saat pasien menyusui dan berkurang ketika pasien
tiarap atau senggiring. Saat pasien bernapas terdengar bunyi grok grok. Demam(-)
batuk (-) pilek (-) BAB dan BAK normal.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kejang (-)
Riwayat Keluhan yang sama (-)
d. Riwayat Keluarga
Riwayat Keluhan yang sama (-)
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tingkat ekonomi menengah kebawah
C. Pemeriksaan Fisik
a. KU : TSS
b. HR : 126x/menit
c. RR : 40 x/menit
d. Suhu : 370C
e. SpO2 : 99% dengan O2 0,5 lpm Nasal Canul bayi
f. Status Generalis
a) Kepala : Normochepal
b) Mata : tidak ada kelainan
c) THT : sulit dinilai
d) Mulut : tidak ada kelainan
e) Leher : tidak ada kelainan
f) Thorax : tidak ada kelainan
17
g) Pulmo : wheezing (+/+)
h) Jantung : tidak ada kelainan
i) Abdomen : tidak ada kelainan
g. Ekstremitas : tidak ada kelainan
D. Pemeriksaan Penunjang
laringoskop serat fiber fleksibel
E. Diagnosis
Laringomalasia
F. Tatalaksana
IVFD D5% ¼ NS 16 tpm
Inj. Cefotaxime 2 x 150mg
Inj. Ranitidin 2 x 3 mg
Inj. Dexamethason 0,5mg/6 jam

G. Follow Up
28 september 2018 Pukul 11.15
S : Sesak (+) pasien tampak lemas
O : CA (+), Mata Midriasis (+/+) Akral dingin, CRT > 2”, SpO2 78-82%
A : Laringomalasia
P : Pemasangan NGT
O2 3 lpm
Observasi TTV

28 september 2018 Pukul 20.40


S : Apnea (+)
O : nafas dengan baging, SpO2 77%. HR 56x/menit
A : Laringomalasia
P : KIE keluarga, RJP, Inj. Epinefrin 0,1cc

28 September 2018 Pukul 21.24


S : Tidak ada respom
O : HR (-), RR (-), SpO2 (-), pupil midriasis maksimal (+/+)
Dinyatakan meninggal dunia

18
BAB III

PEMBAHASAN

Laringomalasia adalah kelainan kongenital pada laring (59,8%) berupa flaksiditas dan
inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika ariepiglotik dan epiglotis,
sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran napas yang menimbulkan gejala utama berupa
stridor inspiratoris kronik pada bayi dan anak.

Secara umum terdapat dua teori patofisiologi laringomalasia, yaitu teori anatomi
dan teori neurogenik. Menurut teori anatomi, terdapat hipotesis bahwa terjadi
abnormalitas kelenturan tulang rawan dan sekitarnya yang menyebabkan kolapsnya struktur
supraglotis. Pada teori neuromuskular, dipercayai terjadinya disfungsi atau imaturitas dari
control neuromuscular.

Laringomalasia umumnya dikategorikan ke dalam tiga tipe besar berdasarkan bagian


anatomis supraglotis yang mengalami prolaps walaupun kombinasi apapun dapat terjadi.
Tipe pertama melibatkan prolapsnya epiglotis di atas glotis. Yang kedua melipatnya tepi
lateral epiglotis di atas dirinya sendiri, dan yang ketiga prolapsnya mukosa aritenoid yang
berlebihan ke dalam jalan napas selama periode inspirasi.

Laringomalasia ditegakkan berdasarkan anamnesis (obstruksi jalan napas, tangis


abnormal yang dapat berupa tangis tanpa suara atau disertai stridor inspiratoris serta kesulitan
menelan), pemeriksaan fisik (tampak takipnea ringan), endoskopi (kolapsnya plika
ariepiglotik dan kartilago kuneiform ke sebelah dalam) dan radiologi.

Diagnosis banding laringomalasia adalah hemangioma supraglotik, massa atau adanya


jaringan intraluminal seperti laryngeal web dan kista laring, kelainan akibat trauma seperti
edema dan stenosis supraglotik, maupun kelainan pada pita suara.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies – Buku Ajar THT. Penerbit buku kedokteran
EGC.Jakarta. 1997.
2. Bailey BJ, Calhoun KH. Head and Neck Surgery – Otolaringology, Volume
one, 2nd Edition. Lippincott – Raven Publishers. Philadelphia, USA.
3. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Jilid Satu,
Edisi 13. Binarupa Aksara. Jakarta. 1994
4. Snell RS. Anatomi Klinik Edisi Ketiga Bagian Ketiga. Jakarta : EGC ;1997. hal 156-7.
5. Herman B, Kartosoediro S. Disfonia. Dalam: Iskandar N, Soepardi EA (editor).
Buku ajar ilmu kesehatn telinga tenggorok kepala & leher. Edisi ke 6. Jakarta: Balai
Penerbit FK Ul. 2007: Hal. 231-236
6. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: pp 598-606
7. Sadler. Embriologi Kedokteran Langman. Edisi ke-7.2000.Jakarta:EGC
8. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1. Butterworth, Butterworth & Co Ltd.
1997. page 1/12/1-1/12/18
9. Moore, E.J and Senders, C.W. Cleft lip and palate. In : Lee, K.J. Essential
Otolaryngology Head and Neck Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill,
2003: pp 241-242.
10. Lusk RP. Congenital Anomalies of The Larynx. Dalam Ballenger JJ, Snow JB.

Otolaryngology Head and Neck Surgery 15th Edition. Baltimore : William &
Wilkins ;1996 pp 498-501.
11. Tucker HM. The Larynx, 2nd Edition. Thieme Medical Publishing Division.
Ohio, USA. 1993.
12. Bye MR. Epiglottic cyst: an unusual cause of stridor in an infant. Pediatric
Emergency Care. 1991.pp 85-6
13. Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment in Otolaringology – Head and Neck
Surgery. Lange Medical Book, Mc Graw-Hill Company. New York, USA. 2004.
14. Mukerji Shraddha, Pine Harold. Current Concepts in Diagnosis and Management of
Laryngomalacia. Grand Round Presentation, UTMB, Dept. Of Otolaryngology.2009
15. Cotton RT, Myer CM. Practical Pediatric Otolaryngology. Philadelphia : Lippincott-
Raven Publisher; 1999. pp 497-501.

20
16. Dhingra PL. Disease of Ear, Nose, and Throat, 2nd Edition. BI Churchill
Livingstone. New Delhi. 2002

21

Anda mungkin juga menyukai