Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peternakan babi yang merupakan bagian dalam kebudayaan kehidupan
masyarakat di beberapa daerah untuk memenuhi kebutuhan daging sebagian
masyarakat di Indonesia. Semakin meningkatnya populasi babi maka semakin
besar pula peranan babi bagi masyarakat, sehingga kesehatan ternak babi harus
tetap dijaga dari infeksi virus, bakteri, maupun parasit. Penyakit menyebabkan
kerugian ekonomis dalam pengertian mortalitas dan morbiditas laju pertumbuhan
dan konversi makanan yang buruk, biaya pengobatan meningkat dan gangguan
kontinuitas produksi. Salah satu penyakit yang sangat ditakuti dan banyak
menimbulkan kerugian pada peternak babi yaitu penyakit Hog Cholera atau
Classical Swine Fever (CSF) (Herawati, 2014).
Hog Cholera merupakan penyakit virus yang sangat menular dari babi.
Penyakit ini dikenal sebagai penyakit yang paling merugikan pada babi sehingga
sangat ditakuti terutama oleh peternak babi karena mortalitas dan morbiditasnya
sangat tinggi berkisar antara 90 – 100 %. Di Indonesia, CSF dilaporkan pertama
kali tahun 1994 terjadi di pulau Sumatra dan secara bertahap menyebar ke Jawa
pada awal tahun 1995, Bali dan Kalimantan pada akhir tahun 1995 dan Papua tahun
2004 (Herawati, 2014).
Hog Cholera menjadi salah satu penyebab utama kegagalan produksi dan
reproduksi ternak babi adalah serangan penyakit infeksi maupun non infeksi.
Penyakit mengakibatkan kerugian ekonomis dalam pengertian mortalitas,
morbilitas, laju pertumbuhan, konservasi pakan buruk, biaya pengobatan
meningkat dan gangguan keberlangsungan reproduksi. Penyakit ini cepat menyebar
dan sulit dikendalikan karena virus persistensi di dalam limfosit dalam periode
yang sangat lama. Di samping itu, hog cholera menyebabkan imunosupresif yaitu
kondisi di mana sistem kekebalan tubuh terdepres sehingga memudahkan
masuknya agen-agen patogen lainnya (Jayanti, 2014).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan mengenai penyakit Hog Cholera?
2. Bagaimana epidemiologi terbaru pada Hog Cholera?
3. Bagaimana efek sosial maupun ekonomi yang ditimbulkan oleh penyakit Hog
Cholera?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui penjelasan penyakit Hog Cholera.
2. Untuk mengtahui epidemiologi dari penyakt Hog Cholera.
3. Untuk mengetahui efek sosial dan ekonomi yang timbul dari penyakit Hog
Cholera.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Etiologi Hog Cholera

Hog cholera merupakan penyakit endemic di Asia yang disebabkan oleh virus
lassical Swine Fever dimana penyakit ini dikategorikan sebagai penyakit hewan
strategs nasional karena dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar.
Classical Swine Fever (CSF) yang merupakan pestivirus dengan ciri-ciri adalah
mempunyai genom dengan single strand RNA yang mengandung 12,300 nukleotida
dimana genom ini terdiri dari dua regio non-translated pada ujung-ujung genom yaitu
5’NTR dan 3’NTR dan juga mengandung protein yang dibagi menjadi N-terminal
protease, kemudian empat struktur protein pada akhir 5’ (C, Erns, E1, E2), dan tujuh
protein non-structural (NS1, NS2, NS3, NS4A, NS4B, NS5A, NS5B) dimana dekat
dengan ujung genom 3’. Selain itu, virus ini juga mempunyai amplop dengan diameter
40 hingga 50 nm dan nucleocapsid dan juga merupakan family dari Flaviridae. Virus
CSF merupakan virus RNA yang mempunyai kemampuan bermutasi sangat pelan
khususnya terjadi diregio gen E2. Oleh karena itu bila terjadi perubahan atau mutasi
minor maka hal tersebut merupakan hal yang penting dalam studi molekular
epidemiologi. Pada virus CSF regio pada genom yang digunakan untuk menganilisis
filogenetik virus ini adalah gen 5’ NTR (150 bp), gen E2 (190 bp) dan gen NS5B (409
bp). Perdebatan mana yang merupakan regio terbaik dalam genom untuk melakukan
sequence gene masih terjadi. Beberapa peneliti mengatakan bahwa gen NS5B
merupakan regio yang baik karena menunjukkan variasi grup yang sangat berbeda
nyata. Sedangkan, peneliti lainnya menggunakan gen E2 untuk pemetaan gen dengan
alasan bahwa hasil dari analisis virus CSF hampir sama bagusnya dengan hasil bila
gabungan gen 5’NTR-E2 dianalisis dan juga metode ini merupakan rekomendasi dari
laboratorium OIE. Berdasarkan hasil sequence gen E2, virus CSF dibagi dalam tiga
genotype yaitu genotype I dimana terdiri dari sub-genotype 1.1-1.4; genotype II terdiri
dari sub-genotype 2.1-2.3, dan III terdiri dari 3.1-3.4 (Pandarangga.2016).

2.2 Gejala Klinis


Berdasarkan tingkat virulensinya Hog cholera dibagi menjadi tipe perakut,
akut, subakut dan kronis. Pada umumnya virus ini menyebabkan kelainan patologi di
sistem sirkulasi yaitu hemoragi dan imun sistem yaitu leukopenia dan
immusupresi.Keparahan gejala klinis pada hewan tergantung pada tingkat virulensi
virus, status imunitas dan umur babi dengan masa inkubasi adalah 7 sampai dengan
10 hari. Berdasarkan keparahannya bentuk dari HC adalah perakut, akut dan kronis.
Bentuk perakut ditandai dengan kematian mendadak tanpa memperlihatkan gejala
klinis dan kelainan patologi anatomi. Gejala klinis yang diperlihatkan oleh bentuk akut
adalah demam mencapai 410 C-420 C, anorexia, depresi, konstipasi yang disertai
dengan diare. Gejala klinis lain yang terlihat adalah sianosis disertai hemoragi pada
kulit area perut dan bagian telinga. Pernah dilaporkan gejala saraf seperti pergerakan
yang tidak beraturan, kelemahan kaki belakang dan konvulsi. Gejala klinis ini juga
terlihat pada 10 ekor babi di Kabupaten Jayapura tapi dua dari babi mengalami
pembengkakan skrotum. Kelainan patologi anatomi yang terlihat adalah kebengkakan
pada limfonodus, ginjal dan limpa kemudian disertai dengan hemoragi bentuk ptekie
dan ekmosa. Perdarahan juga terlihat pada vesica urinaria, laring, epiglotis jantung,
permukaan mukosa usus, dan kulit. Pada babi yang terserang hog cholera dalam
bentuk kronik akan bertahan dalam waktu 2-3 bulan dengan demam tidak menentu.
Gejala klinis yang terlihat tidak terlalu spesifik adalah depresi, tidak mau makan dan
leukopenia. Kelainan patologi anatomi yang terlihat adalah nekrosi dan ulser pada
mukosa usus serta terdapat button ulcers pada sekum dan kolon. Pada babi bunting,
fetus akan mengalami mumifikasi atau malformasi termasuk kepala
(Pandarangga.2016).

2.2 Hospes Hog Cholera dan Respon Imun Terhadap Infeksi Hog Cholera

Virus HC menyerang semua golongan umur babi, mempunyai hubungan


antigenik yang dekat dengan Bovine Viral Diarrhea Virus (BVDV) dan Border Disease
Virus (BDV). Babi muda lebih peka atau mudah terserang virus Hog cholera hal ini
berkaitan dengan menurunnya maternal antibodi dalam tubuh. Penurunan maternal
antibodi akan lebih cepat terjadi apabila anak babi terinfeksi suatu agen dan direspon
oleh maternal antibodi. Antibodi maternal merupakan kekebalan pasif yang memberi
perlindungan terhadap penyakit infeksi, tetapi perlindungan yang ditimbulkan bersifat
sementara. Pada babi, antibodi maternal tidak dapat diperoleh melalui plasenta, tetapi
dapat diperoleh melalui kolostrum. Maternal antibodi dapat meningkatkan imunitas
dengan mengganggu pertumbuhan organisme patogen atau memfasilitasi pemusnahan
patogen dengan proses opsonisasi. Antibodi maternal secara alami diperoleh dari
induknya melalui transfer plasenta, kolostrum, dan juga dapat diinduksi secara artifisial
(Jayanata.2016)

Respon imun terhadap HCV diperlihatkan dalam suatu jurnal yang berjudul
“Cellular Immune Response to Hog Cholera Virus (HCV): T Cells of Immune Pigs
Proliferate In Vitro upon Stimulation with Live HCV, but the El Envelope
Glycoprotein Is Not a Major T-Cell Antigen” karya Tjeerd g. Kimman dkk,
menjelaskan peningkatan proliferasi non-antigen spesifik pada saat inokulasi dengan
strain avirulent. Aktivasi sel T dari pelepasan sitokin in vivo pada infeksi virus lainnya
juga telah dilaporkan. Fenomena imunologis ini mungkin menutupi respons sel-T
tertentu dan dengan demikian bisa menjadi salah satu penjelasan untuk tanggapan sel-
T babi yang dilaporkan buruk atau tidak ada pada HCV. Pengalihan antigen virus dalam
persiapan PBMC, sebagai penjelasan yang mungkin untuk fenomena ini, tidak dapat
dikesampingkan sepenuhnya, tetapi kegagalan untuk memulihkan HCV yang layak
dari PBMC membuat hal ini sangat tidak mungkin. Respon ini tidak ada pada babi yang
naif-HCV. Selain proliferasi nonspesifik yang disebutkan di atas, kesulitan lain dalam
studi tanggapan sel T babi terhadap HCV adalah pentingnya jumlah virus dan lamanya
waktu yang diperlukan untuk stimulasi in vitro yang optimal dan tidak adanya
proliferasi pada stimulasi. dengan virus yang tidak aktif. Selain itu, HCV sulit untuk
tumbuh menjadi titer tinggi dan dimurnikan. Sediaan virion yang dimurnikan secara
gradien dapat sangat terkontaminasi dengan komponen seluler. Strain juga mungkin
berbeda dalam kapasitasnya untuk menginduksi respons sel-T, seperti yang
ditunjukkan oleh respons proliferasi yang buruk pada hewan yang diinokulasi dengan
strain Cedipest dibandingkan dengan respons pada hewan yang diinokulasi dengan
strain Brescia 2.1.1. Kesimpulan ini tampaknya dibenarkan, meskipun dalam
percobaan ini, inokulasi utama dengan strain Brescia 2.1.1 dan Cedipest tidak
dilakukan secara bersamaan. Strain virus dapat membunuh hewan sebelum respon
spesifik terdeteksi. Meskipun gagal mendeteksi tanggapan proliferatif terhadap vektor
yang mengekspresikan PRV vektor, virus vektor yang mengekspresikan protein HCV
lainnya karenanya perlu studi lebih lanjut dalam penelitian tentang tanggapan sel T
terhadap HCV (Kimman.1993)

2.4 Diagnosa

Kejadian wabah penyakit Hog Cholera diagnosis di lapangan dapat ditentukan


berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, dan pemerikasaan pasca mati. Anamnesis
yang menyangkut pembelian dan pemasuksan babi baru, adanya wabah di peternakan
tetangga, pakan yang tercampur sampah kota, kunjungan tamu yang baru saja mampir
dari kandang tertular, adanya babi yang mati dalam waktu 1-2 minggu setelah tampak
sakit, merupakan petunjuk bagus dalam penentuan diagnosis. Adanya gambaran darah
leukopenia selalu ditentukan pada Hog Cholera babi. Dalam pemeriksaan pasca mati
gambaran yang telah diuraikan perlu diperhatikan utamanya adalah pendarahan
kelenjar limfa, ginjal dan infark limpa yang patognomonik, serta adanya ulcer di
berbagai bagian usus besar sebagai diagnosis banding perlu diperhatikan African Swine
Fever (ASF). Salmonellosis Septik, Pasteurellosis (Septisemia Epizootika, SE),
Streptokokosis, Erysipelas dan infeksi Haemophilus somnus. Untuk menentukan
diagnosis definitive diperlukan konfirmasi laboratorik. Pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan meliputi deteksi antigen viral, isolasi virus atau demonstrasi adanya
antibody Hog Cholera. Antigen viral dapat diketahui dengan teknik antibodi fluorescen
langsung (direct FAT). Antigen Hog Cholera perlu dipisahkan dari antigen BVD, yang
untuk maksud tersebut dapat dilakukan dengan cara mewarnai biakan sel, atau
potongan jaringan beku, dengan konjugat monoclonal antibody yang secara khusus
dibuat dan mengandung epitope HCV (Dharmawan,2013).
2. 5 Pencegahan dan Pengendalian

Bila kasus Hog Cholera sudah cukup menurun cukup dilakukan stamping out.
Diberbagai bagian Indonesia, di peternakan babi perusahaan dan babi rakyat, dilakukan
vaksinasi massal secara rutin. Vaksinasi yang digunakan merupakan vaksin yang sudah
dilemahkan melalui pasasi berulang-ulang pada kelinci, dikenal sebagai galur C
(China) atau dilemahkan melalui biakan sel secara berulang-ulang, dan dikenal sebagai
jalur Japanese GPE dan French Triverval. Vaksin-vaksin tersebut, terutama vaksin
galur C, memacu kekebalan sejak 1minggu pasca inokulasi dan berlangsung selama 2–
3 tahun (Dharmawan,2013).

Tindakan biosekuriti yang dimaksud untuk mencegah penularan penyakit dari


berbagai sumber penularan yang ada di luar tubuh babi. Prinsip dasar biosekuriti adalah
sanitasi/ pembersihan dan disinfeksi. Tindakan tersebut berupa penyemprotan kandang
dengan air bersih setiap hari untuk menjaga kebersihan kandang (menjaga sanitasi
kandang) dan membunuh agen penyakit maupun vektor dengan cara desinfeksi secara
teratur dengan menggunakan desinfektan dilingkungan kandang.

Secara singkat ada 4 tindakan biosecurity yang harus dilakukan yaitu:

1. Pencegahan penyebaran penyakit melalui manusia. Itu dapat dilakukan dengan


membatasi dan menyemprot orang dan kendaraan yang masuk ke lokasi kandang
dengan desinfektan;

2. Pencegahan penyebaran penyakit melalui babi. Tindakan yang dilakukan adalah


dengan melakukan segera mengeluarkan babi yang mati ke luar kandang. Jika ada babi
yang menunjukan gejala sakit, segera di isolasi ke kandang isolasi;

3. Pencegahan penularan penyakit melalui peralatan. System all-in all out akan
membantu pencegahan penyebaran penyakit dari babi dewasa ke babi muda.
Peternakan harus membiasakan pembersihan dan desinfeksi kandang untuk
mengurangi mikroorganisme patogen hingga level minimum;
4. Pencegahan penyakit melalui vektor. Vektor penyebab penyakit seperti burung liar,
serangga, rodensia, parasit internal dan ekternal harus diberantas dengan insektisida.
Intektisida untuk mengontrol lalat dan kutu antara lain delta metrin, Antipar, Solfac,
dan Baydical, sedangkan kontrol rodentia dilakukan dengan menggunakan Racumin tp
(Dharmawan,2013).

Tidak ada pengobatan yang memungkinkan. Babi yang terkena dampak harus
disembelih dan bangkai dikubur atau dibakar.Profilaksis sanitasi merupakan
Komunikasi yang efektif antara otoritas veteriner, praktisi veteriner dan peternak babi
; Sistem pelaporan penyakit yang efektif ;Kebijakan impor yang ketat untuk babi hidup,
semen babi, dan daging babi segar dan sembuh;Karantina babi sebelum masuk ke
dalam kawanan; Sterilisasi (atau larangan) limbah makanan yang efisien untuk
babi;Kontrol rendering pabrik yang efisien;Pengawasan serologis terstruktur yang
ditargetkan untuk membiakkan induk babi dan babi hutan; Sistem identifikasi dan
pencatatan babi yang efektif ;Tindakan higienis yang efektif melindungi babi domestik
dari kontak dengan babi hutan (Dharmawan,2013).

2.6 Terapi Hog Cholera

Kasus penyakit Hog Cholera yang parah atau telah lanjut biasanya babi yang
telah terserang tidak ada lagi harapan sembuh. Namun untuk kasus penyakit yang baru
tahap awal besar harapan sembuh melalui pengobatan. Serum anti Hog Cholera
diberikan 1,25-1,50 kali dosis yang biasanya dianjurkan untuk pencegahan. Selain dari
serum, Terramycin/LA Injectible Solution (1 ml/ 5kg bobot badan/ hari selama 3–4)
hendaknya diberikan pada babi yang terserang untuk mencegah infeksi sekunder.
Disamping itu tindakan sanitasi perlu dilakukan kandang dan peralatan didesinfektan
dengan larutan NaOH atau desinfektan lain, dan kandang harus diistirahatkan selama
15-30 hari (Terpstra, 2011).

Tindakan vaksinasi dengan tujuan untuk menumbuhkan agen penyakit yang


mampu masuk kedalam tubuh babi dengan cara menyediakan zat kebal (antibodi)
dalam tubuh babi terhadap agen penyakit spesifik seperti Hog Cholera. Program
vaksinasi sangat penting dan harus diperhatikan di kalangan peternakan babi, sehingga
peternakan wajib melakukan vaksinasi untuk menjaga kesehatan babi agar babi
terhindar dari ancaman Hog Cholera. Belanda merupakan salah satu negara yang
berhasil memberantas Hog Cholera dengan program vaksinasi secara ketat dan teratur.
Untuk memberantas Hog Cholera pada 3 daerah epizootik di negeri Belanda pada
tahun 1973, dicanangkan program vaksin selama 1 tahun. Vaksin yang di pakai adalah
vaksin aktif strain Cina (C-strain). Vaksinasi massal dilakukan terhadap semua babi
berumur di atas 2 minggu. Setelah vaksinasi massal, vaksinasi dilakukan terhadap babi
yang berumur 6 – 8 minggu dan Induk babi bunting yang divaksin menyebabkan anak
menjadi carrier. Vaksinasi paling aman yaitu induk divaksin 2 minggu sebelum di
kawinkan dan babi yang didatangkan dari luar daerah (Tepstra,2011).
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Situasi Epidemiologi Terbaru

Di Indonesia sendiri penyakit Hog Cholera mewabah pertama kali di Sumatera


Utara pada tahun 1995, sejak itu penyakit tersebar di berbagai daerah seperti Sumatera
Barat, DKI Jakarta, Jawa barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara,
Sulawesi Selatan, Bali dan NTT. Penyakit bersifat endemik. Babi yang terserang virus
HC virulen, tingkat morbiditas dan mortalitasnya tinggi dapat mencapai 100%. Saat
wabah yang terjadi di Bali menunjukkan tingkat morbiditas rata-rata 60,15% dan
ortalitas 37,86% atau case fatality rate (CFR) 62,94%. Kasus HC tertinggi terjadi pada
anak babi yang berumur kurang dari 2 bulan dengan tingkat morbiditas 88,15% dan
mortalitas 78,88% atau CFR 87,21% dan tingkat mortalitas harian
27,03%(Pudjiatmoko, 2014). Daerah wabah hog cholera di Indonesia yang telah
ditetapkan berdasarkan SK. Mentan No. 888/ Kpts/TN. 560/9/97 adalah Provinsi
Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan
Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Provinsi Nusa Tenggara Timur
(Anonimous 1998).

Menurut OIE, penyakit HC termasuk dalam list A dimana mempunyai potensial


untuk menyebar dengan cepat dan memberi dampak serius bagi sosial ekonomi. Salah
satu contoh kasus adalah terjadinya outbreak HC yang terjadi pada tahun 1996-1997 di
Indonesia yaitu sekitar 15,313 kasus. Jumlah ini merupakan kerugian yang cukup besar
bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia menetapkan dalam
Peraturan Direktorat Jenderal Peternakan No: 59/Kpts/PD610/05/2007 bahwa penyakit
Hog Cholera adalah salah satu penyakit menular pada hewan yang mendapat prioritas
baik dalam pengendalian ataupun pemberantasannya. Oleh karena itu dengan review
ini, dapat memberikan informasi tentang karakteristik virus, perkembangan penyakit
ini di Indonesia setelah dua dekade menjadi endemik di area tertentu Indonesia dan
tindak lebih lanjut yang harus dilakukan dalam pemberantasan penyakit
ini(Pandarangga, 2016).

3.2 Distribusi Global

Hog cholera (HC) memiliki berbagai sinonim yaitu Classical Swine Fever
(CSF), Peste du Pork, Cholera Porcine dan Virus Schweine Pest, merupakan penyakit
viral menular yang di sebabkan oleh virus hog cholera, yang termasuk dalam Genus
Pestivirus dan Famili Flaviviridae. Hanya terdapat satu serotipe virus hog cholera
namun gejala yang di timbulkannya sangat bervariasi tergantung dari strain yang
menginfeksi . Virus ini secara antigenik berkerabat dengan Bovine Viral Diarrhea
Virus (BVDV), yang menyebabkan timbulnya penyakit BVD pada sapi serta Border
Disease Virus (BDV) pada domba (Utami, 2009).

Hog cholera dapat di temukan di berbagai bagian dunia seperti di negara-negara


Afrika Timur, Afrika Tengah, Cina, Asia Timur, Asia Selatan, Asia Tenggara, Mexico
dan Amerika Selatan. Wabah hog cholera terjadi di Prancis pada tahun 1822 sedangkan
di Jerman terjadi pada tahun 1833 kemudian penyakit ini menyebar ke Inggris dan
Eropa tahun 1862. Kasus hog cholera di kota Luxembourg terjadi pada bulan Oktober
2001 hingga Maret 2002. Penyakit ini tidak di temukan lagi di Prancis sejak 1972, di
Australia sejak 1962 dan di New Zealand sejak tahun 1953 (Utami, 2009).
OIE mengeluarkan peta status Clasiccal Swine Fever, dimana zona yang
berwarna Hijau merupakan zona yang memiliki status bebas CSF, zona yang berwarna
merah merupakan zona yang mendapatkan penangguhan status bebas CSF dan zona
yang berwarna abu-abu merupakan zona tanpa status CSF yang resmi dari OIE (OIE,
2018).
Di Indonesia penyakit hog cholera merupakan salah satu penyakit hewan
menular strategis di dalam daftar Penyakit Hewan Strategis Nasional yang tercantum
dalam Kepdirjen N0.59/Kpts/PD.610/05/2007 9 Mei 2007, mendapat prioritas dalam
usaha pencegahan , pengendalian dan pemberantasan. Adapun sejarah dari hog cholera
di Indonesia yakni bermula pada sebelum tahun 1995 dimana Hog Cholera atau
classical swine fever masih merupakan penyakit eksotis di Indonesia. Kasus Hog
cholera ini muncul pada awal tahun 1995 yang berawal dari kasus di provinsi Sumatera
Utara dan akhirnya menyebar dengan cepat melalui perdagangan babi di indonesia ke
daerah Sumatera Barat, Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi
Utara, Sulawesi Selatan dan Bali (Hartini, 2016).

3.3 Efek Sosial Ekonomi


Hog Cholera, seperti penyakit pada ternak lainnya, tentu saja menimbulkan
dampak sosial dan ekonomi yang sangat besar. Dilihat dampak sosialnya, babi selain
hewan konsumsi juga merupakan hewan yang digunakan untuk upacara adat. Oleh
karena itu, bila di suatu daerah yang upacara adatnya menggunakan babi dan di daerah
tersebut terjadi outbreak Hog Cholera, maka daerah tersebut akan mengalami kerugian
secara sosial karena tidak bisa melaksanakan upacara adatnya. Jumlah babi yang
dimiliki orang juga biasanya dijadikan sebagai ukuran kekayaan orang tersebut (status
sosial). Semakin banyak babi yang dimiliki, berarti semakin tinggi pula status
sosialnya. (Pandarangga, 2016).

Kerugian secara ekonomi pun tak kalah mengagetkan. Penyakit ini dapat
mengakibatkan kematian babi sampai 100%. Angka ini menunjukkan bahwa daerah
yang terkena wabah penyakit ini bisa saja mengalami kemusnahan dari semua babinya.
Di beberapa daerah, ternak babi sendiri merupakan salah satu komoditas unggulan
rakyat dan mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi (Supartika, 2015).

Bagan 3.1 Kerugian Ekonomi Akibat CSF (Classical Swine Fever)


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Hog cholera merupakan penyakit endemic di Asia yang disebabkan oleh virus
lassical Swine Fever dimana penyakit ini dikategorikan sebagai penyakit hewan
strategs nasional karena dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar.
Classical Swine Fever (CSF) yang merupakan pestivirus dengan ciri-ciri adalah
mempunyai genom dengan single strand RNA yang mengandung 12,300 nukleotida
dimana genom ini terdiri dari dua regio non-translated pada ujung-ujung genom.

Berdasarkan tingkat virulensinya Hog cholera dibagi menjadi tipe perakut,


akut, subakut dan kronis. Pada umumnya virus ini menyebabkan kelainan patologi di
sistem sirkulasi yaitu hemoragi dan imun sistem yaitu leukopenia dan immusupresi.
Virus HC menyerang semua golongan umur babi, mempunyai hubungan antigenik
yang dekat dengan Bovine Viral Diarrhea Virus (BVDV) dan Border Disease Virus
(BDV).

Bila kasus Hog Cholera sudah cukup menurun cukup dilakukan stamping out.
Diberbagai bagian Indonesia, di peternakan babi perusahaan dan babi rakyat, dilakukan
vaksinasi massal secara rutin. Vaksinasi yang digunakan merupakan vaksin yang sudah
dilemahkan melalui pasasi berulang-ulang pada kelinci, dikenal sebagai galur C
(China) atau dilemahkan melalui biakan sel secara berulang-ulang, dan dikenal sebagai
jalur Japanese GPE dan French Triverval. Vaksin-vaksin tersebut, terutama vaksin
galur C, memacu kekebalan sejak 1minggu pasca inokulasi dan berlangsung selama 2–
3 tahun.

4.2 Saran

Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada
banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1998. Pedoman Teknis Pemberantasan dan Pengendalian Penyakit


Classical Swine Fever (Hog Cholera). Direktorat Bina Kesehatan Hewan.
Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian.

Dharmawan R, Waluyati DE, Zubaidi DA. 2013. Monitoring Penyakit Clasical Swine
Fever (CSF) Atau Hog cholera Pada Babi Vaksinasi Dan Non VaksinasiI Di
Wilayah Kerja Provinsi Jawa Tengah Dan Jawa Timur Tahun 2012. Buletin
Laboratorium Veteriner Vol : 13 No : 2 Tahun 2012.

Hartini, Rina. 2016. Pemberantasan Hog Cholera Di Wilayah Balai Kerja Veteriner
Bukit Tinggi Tahun 2016. Bukittinggi. Kementerian Pertanian Direktorat
jendral perternakan dan Kesehatan Hewan Balai veteriner Bukittinggi

Herawati, A. 2014. Prevalensi Seropositif Hog Cholera Pascavaksinasi Pada Babi Di


Kabupaten Karanganyar [Skripsi]. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Jayanti, P. D. 2014. Perbandingan Vaksin Hog Cholera Terhadap Protektivitas Titer


Antibodi Anak Babi [Skripsi]. Universitas Udayana. Denpasar.

Jayanata, I Made Adi. et al.2016. Respon Imun Anak Babi Pasca Vaksinasi Hog
Cholera.Indonesia Medicus Veterinus.

Kimman, Tjeerd G. et al. 1993. Cellular Immune Response to Hog Cholera Virus
(HCV) : t Cells of IMMune Pigs Proliferate In Vitro upon Stimulation with Live
HCV, but the E1 Envelope Glycoprotein Is Not a Major T-Cell Antigen.Journal
of Virology.

Tepstra. S, Bahri SJ, dan Sarosa A. 2011.. Hog cholera pada Babi. Balai Penelitian
Veteriner Bogor.

Utami, Sri. 2009. Kajian Patologis Hog Cholera Kasus Outbreak tahun 2006 di
Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. Bogor. IPB.
OIE. 2018. Map Of CSF Official Status. World Organisation For Animal Health.
Pandarangga, Putri. 2016. Artikel Review: Perkembangan dan Gambaran
Klinikopatoogi Penyakit Hog Cholera di Indonesia. Universitas Nusa Cendana

Pandarangga, Putri. 2016. Artikel Review: Perkembangan dan Gambaran


Klinikopatologi Penyakit Hog Cholera di Indonesia. Kupang, Nusa Tenggara
Timur. Seminar Nasional Ke-4, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa
Cendana

Pudjiatmoko. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia

Putri, Pandarangga. 2016. Artikel Review : Perkembangan dan Gambaran


Klinikopatologi Penyakit Hog Cholera di Indonesia. Universitas Nusa
Cendana. Kupang.

Supartika. 2015. Hog Cholera di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur,
Laporan Kasus. Denpasar, Bali. Balai Besar Veteriner Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai