1
KELOMPOK VIII A
5. Apa hubungan mual,muntah, dan demam terhadap sakit yang diderita tn.V
dan bagaimana mekanismenya?
9. Apa saja pemeriksaan fisik dan penunjang yang dapat diberikan terhadap
tn.V?
Pemeriksaan head to toe, vital sign, pemeriksaan regio abdomen, rectal
toucher, pemeriksaan laboratorium, dan radiology
Tunika muskularis :
Lapisan sirkular dalam
Lapisan longitudinal luar
Plexus mientrikus diantaranya
Tunika serosa :
Sel adiposa 6
FISIOLOGI
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan
aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis
apendisitis. Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk
apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh
tubuh. 2
B. Nyeri Somatik
Nyeri somatik terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi oleh
saraf tepi, misalnya regangan pada peritoneum parietalis, dan luka pada
dinding perut. Nyeri dirasakan seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat
menunjukkan secara tepat letaknya dengan jari. Rangsang yang menimbulkan
nyeri ini dapat berupa rabaan, tekanan, rangsang kimiawi, atau proses radang.
Gesekan antara visera yang meradang akan menimbulkan rangsangan
peritoneum dan menyebabkan nyeri. Peradangannya sendiri maupun gesekan
antara kedua peritoneum dapat menyebabkan perubahan intensitas nyeri.
Gesekan inilah yang menjelaskan nyeri kontralateral pada apendisitis akut.
Setiap gerakan penderita, baik berupa gerak tubuh maupun gerak napas yang
dalam atau batuk, juga akan menambah rasa nyeri sehingga penderita gawat
perut yang disertai rangsang peritoneum berusaha untuk tidak bergerak,
bernapas dangkal, dan menahan batuk.
3. Hiperestesia
Hiperestesi atau hiperalgesi sering ditemukan di kulit jlka ada peradangan pada
rongga di bawahnya. Pada gawat perut, tanda ini sering ditemukan pada
peritonitis setempat maupun peritonitis umum. Nyeri peritoneum parietalis
dirasakan tepat pada tempat terangsangnya peritoneum sehingga penderita
dapat menunjuk dengan tepat dan pada tempat itu terdapat nyeri tekan, nyeri
gerak, nyeri batuk, nyeri lepas, serta tanda rangsang peritoneum lain dan defans
muskuler yang sering disertai hiperestesi kulit setempat.
4. Nyeri Kontinyu
Nyeri akibat rangsangan pada peritoneum parietale akan dirasakan terus-
menerus karena berlangsung terus, misalnya pada reaksi radang. Pada saat
pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot
dinding perut menunjukkan defans muskuler secara refleks untuk melindungi
bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat.
5. Nyeri Kolik
Kolik merupakan nyeri viseral akibat spasme otot polos organ berongga dan
biasanya disebabkan oleh hambatan pasase dalam organ tersebut (obstruksi
usus, batu ureter, batu empedu, peningkatan tekanan intraluminer). Nyeri ini
timbul karena hipoksia yang dialami oleh jaringan dinding saluran. Karena
kontraksi berbeda maka kolik dirasakan hilang timbul. Fase awal gangguan
pendarahan dinding usus juga berupa nyeri kolik. Serangan kolik biasanya
disertai perasaan mual bahkan sampai muntah. Dalam serangan, penderita
sangat gelisah kadang sampai berguling-guling di tempat tidur atau di jalan.
Yang khas Ialah trias kolik yang terdiri atas serangan nyeri perut yang kumatan
disertai mual atau muntah dan gerak paksa.
6. Nyeri Iskemik
Nyeri perut dapat juga berupa nyeri iskemik yang sangat hebat. menetap, dan
tidak menyurut. Nyeri ini merupakan tanda adanya jaringan yang terancam
nekrosis. Lebih lanjut akan tampak tanda intoksikasi umum, seperti takikardia,
keadaan umum yang jelek dan syok karena resorbsi toksin dari Jaringan
nekrosis.
7. Nyeri Pindah
Nyeri berubah sesuai dengan perkembangan patologi. Misalnya pada tahap
awal apendisitis. sebelum radang mencapai permukaan peritoneum, nyeri
viseral dirasakan di sekitar pusat disertai rasa mual karena apendiks termasuk
usus tengah. Setelah radang terjadi di seluruh dinding termasuk peritoneum
viserale, terjadi nyeri akibat rangsangan peritoneum yang merupakan nyeri
somatik. Pada saat ini, nyeri dirasakan tepat pada letak peritoneum yang
meradang, yaitu di perut kanan bawah. Jika apendiks kemudian mengalami
nekrosis dan gangren (apendisitis gangrenosa) nyeri berubah lagi menjadi nyeri
iskemik yang hebat, menetap dan tidak menyurut, kemudian penderita dapat
jatuh dalam keadaan toksis.
Pada perforasi tukak peptik duodenum, isi duodenum yang terdiri atas cairan
asam garam dan empedu masuk di rongga abdomen yang sangat merangsang
peritoneum setempat. Si sakit merasa sangat nyeri di tempat rangsangan itu
yaitu di perut bagian atas. Setelah beberapa waktu cairan isi duodenum
mengalir ke kanan bawah melalul jalan di sebelah lateral kolon ascendens
sampai ke tempat kedua, yaitu rongga perut kanan bawah sekitar sekum. Nyeri
itu kurang tajam dan kurang hebat dibandingkan nyeri pertama karena terjadi
pengenceran. Pasien sering mengeluh bahwa nyeri yang mulai di ulu hati
pindah ke kanan bawah. Proses ini berbeda sekali dengan proses nyeri pada
apendisitis akut. Akan tetapi kedua keadaan ini, apendisitis akut maupun
perforasi lambung atau duodenum, akan mengakibatkan peritonitis purulenta
2
umum jika tidak segera ditanggulangi dengan tindak bedah.
Drake, R. L., Vogl, A. W. & Mitchell, A. W. M., 2014. GRAY Dasar-Dasar Anatomi. 1st ed.
Singapore: Elsevier.
4. Mengapa rasa nyeri tn.V bertambah berat jika ia bergerak ?
Jawaban :
Nyeri yang terjadi pada penyakit yang diderita oleh Tn. V diawali dengan
nyeri samar-samar dan tumpul serta bersifat nyeri visceral yang terasa nyeri
pada daerah epigastrik sekitar umbilicus(umumnya berlangsung lebih dari 1
atau 2 hari) dan dalam beberapa jam nyeri berpindah atau bergeser ke
kuadran kanan bawah secara progresif dan lebih spesifik dapat terjadi
dikarenakan semakin memburuknya inflamasi dimana ditandai dengan nyeri
semakin tajam, lebih jelas tempat atau lokasinya atau bersifat somatik. Nyeri
mungkin bersifat lepas, individu mungkin mengeluh lebih nyeri ketika
tekanan di abdomen bergerak lebih cepat. Nyeri lepas berhubungan dengan
gelombang gerakan tiba-tiba yang terjadi melintasi cairan peritoneum ketika
11
tekanan dilepaskan.
5. Apa hubungan mual,muntah, dan demam terhadap sakit yang diderita tn.V
dan bagaimana mekanismenya?
Jawaban :
a. Demam
Trio sitokin yang sama berfungsi bersama sebagai pirogen endogen (PE) yang
memicu terjadinya demam (endogen berarti "dari dalam tubuh"; piro artinya
"panas" atau "api"; gen artinya "produksi"). Respons ini terjadi terutama jika
organisme penginvasi telah menyebar ke dalam darah. Pirogen endogen
menyebabkan pengeluaran prostaglandin di dalam hipotalamus, yaitu
perantara kimiawi lokal yang "menyalakan termostat" pengatur suhu tubuh.
Fungsi peningkatan suhu tubuh dalam melawan infeksi belum diketahui pasti.
Demam merupakan manifestasi sistemik umum peradangan, mengisyaratkan
bahwa peningkatan suhu memiliki peran menguntungkan yang penting dalam
respons peradangan secara keseluruhan, seperti didukung oleh bukti-bukti
terakhir. Suhu yang lebih tinggi tampaknya meningkatkan fagositosis,
meningkatkan kecepatan berbagai aktivitas peradangan depen-den- enzim,
dan menghambat perkembangbiakan bakteri dengan meningkatkan kebutuhan
bakteri terhadap besi. Menyelesaikan masalah kontroversial mengenai apakah
demam dapat bermanfaat merupakan hal yang sangat penting, karena luasnya
pemakaian obat yang menekan demam. 17
b. Mual dan muntah
Keluhan apendisitis dimulai dari nyeri di preumbilicus dan muntah karena
adanya rangsangan visceral karena adanya peradangan sehingga
menyebabkan regangan pada dinding mukosa. Proses muntah dikendalikan
oleh pusat muntah di sistem saraf pusat dengan aktivitas impus dari
chomoreceptor trigger zone (CTZ) nervus vagus. Proses muntah †erjadi
dalam tiga tahap: nausea, retching, emesis. Nausea adalah sensasi ingin
muntah akibat berbagai stimulus ditandai dengan rasa mual, gerakan
peristaltikaktif berhenti, terkanan fundus dan korpus menurun, sedangkan di
antrum pars desenden duodenum tekanan akan meningkat. Lalu pada fase
retching terjadi inspirasi dalam dengan gerakan otot napas spasmodic diikuti
kontraksi otot perut dan diafragma, serta relaksasi sfingter esophagus bawah.
Kemudian pada fase emesis perubahan tekanan intratoraks menjadi positif
dan sfingter esophagus akan relaksasi sehingga isi lambung keluar dari
mulut. 14
Analgetik
Analgetik atau obat-obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi
atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.
Mekanisame : Menghambat sintase Prostaglandins (PGs) di tempat yang
sakit/trauma jaringan.
Karakteristik :
1. Hanya efektif untuk menyembuhkan sakit
2. Bukan narkotika dan tidak menimbulkan adiksi, rasa senang dan gembira
3. Tidak mempengaruhi pernapasan
4. Gunanya untuk nyeri sedang, contohnya sakit gigi
Morfin adalah agonis opioid yang memiliki afinitas terbesar pada reseptor μ.
Reseptor ini merupakan reseptor opioid analgesik mayor. Reseptor μ dapat
ditemukan di otak (amigdala posterior, hipotalamus, talamus, dan nukleus
kaudatus), saraf tulang belakang, dan jaringan lain di luar SSP (vaskular,
jantung, paru-paru, sistem imun, dan saluran pencernaan).
Ikatan morfin dan reseptor opioid menyebabkan beberapa efek pada SSP
yaitu, inhibisi transmisi sinyal nyeri, mengubah respons terhadap nyeri,
menimbulkan efek analgesik, depresi napas, sedasi, supresi batuk, dan miosis.
Selain pada SSP, morfin juga bekerja pada sistem gastrointestinal. Efek yang
ditimbulkan berupa spasme spinkter Oddi dan penurunan gerakan peristaltik.
Pada otot polos sistem kemih dapat terjadi spasme. Morfin juga menyebabkan
vasodilatasi yang memicu hipotensi, flushing, mata merah, dan berkeringat.
Pada sistem endokrin, morfin mampu menghambat sekresi
adrenocorticotropic hormone (ACTH), kortisol, dan luteinizing hormone
(LH). Sementara itu, produksi hormon lainnya justru meningkat, misalnya
prolaktin, growth hormone (GH), insulin, dan glukagon.
2. Metadon
3. Fentanil
Mekanisme kerja: lebih poten dari pada morfin. Depresi pernapasan lebih
kecil kemungkinannya.
Indikasi: Medikasi praoperasi yang digunakan dalan anastesi.
Efek tak diinginkan: Depresi pernapasan lebih kecil kemungkinannya,
rigiditas otot, bradikardi ringan.
4. Kodein
Mekanisme kerja: sebuah prodrug 10% dosis diubah menjadi morfin.
Kerjanya disebabkan oleh morfin. Juga merupakan antitusif (menekan batuk)
Indikasi: Penghilang rasa nyeri minor
Efek tak diinginkan: Serupa dengan morfin, tetapi kurang hebat pada dosis
yang menghilangkan nyeri sedang. Pada dosis tinggi, toksisitas seberat
morfin.
2. Paracetamol/acetaminophen
3. Asam Mefenamat
Antipiretik
Obat antipiretik adalah obat untuk menurunkan panas. Hanya menurunkan
temperatur tubuh saat panas dan tidak berefektif pada orang normal. Dapat
menurunkan panas karena dapat menghambat prostatglandin pada CNS
(Central Nervous System) atau Susunan Saraf Pusat
1. Benorylate
Benorylate adalah kombinasi dari parasetamol dan ester aspirin. Obat ini
digunakan sebagai obat anti inflamasi dan antipiretik. Untuk pengobatan
demam pada anak obat ini bekerja lebih baik dibanding dengan parasetamol
dan aspirin dalam penggunaan yang terpisah. Karena obat ini derivat dari
aspirin maka obat ini tidak boleh digunakan untuk anak yang mengidap
Sindrom Reye.
2. Fentanyl
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika
digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM
(intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang
disebabkan kanker.
Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan menghilangkan rasa
sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang
persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap
menggunakan analgesik narkotika.
Fentanyl bekerja di dalam sistem syaraf pusat untuk menghilangkan rasa
sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem
syaraf pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan
tetapi tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan.
Ketergantungan biasa terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak.
Sehingga untuk mencegah efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan
dosis secara bertahap dengan periode tertentu sebelum pengobatan
dihentikan.
3. Piralozon
9. Apa saja pemeriksaan fisik dan penunjang yang dapat diberikan terhadap
tn.V?
Jawaban :
Gambaran Klinis
- Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali dirasakan
sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring
dengan waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan
nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit. Variasi lokasi
anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada anak-
anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat mulai
terjadi di kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri
pada flank, nyeri punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan gejala
yang umum pada anak dengan appendisitis retrocecal arau pelvis. Jika
inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejala dapat
berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan
kencing dan distensi kandung kemih.
- Anoreksia, nausea, vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya,
merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan.
- Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita
mengalami diare, timbul biasanya pada letak appendiks pelvikal yang
merangsang daerah rektum.
- Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 0
C). Jika suhu tubuh diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi.
- Anak dengan appendisitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki
kanan. Karena saat menekan dengan paha kanan akan menekan Caecum
hingga isi Caecum berkurang atau kosong.
- Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat menurun
atau menghilang.
- Anak dengan appendisitis biasanya menghindari diri untuk bergerak dan
cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut
diflexikan. 9 10
Pemeriksaan Abdomen
Meliputi:
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi.
-Rovsing sign
Pemeriksa melakukan palpasi mulai dari arah kiri abdomen sejajar letak titik
Mc.Burney. Lalu palpasi perlahan menuju arah kanan, positif bila dilakukan
penekanan didaerah kiri abdomen/sebelum mencapai titik Mc.Burney
dirasakan nyeri didaerah Mc.Burney karena penekanan menyebabkan ileum
bergerak ke arah kanan dan menyentuh appendiks, atau karena isi ileum
ketika ditekan akan masuk ke caecum dan menyebabkan appendiks
terangsang dan terasa nyeri.
-Ten Horn sign
Pemeriksa melakukan peregangan/ tarikan ringan pada testis kanan, maka
appendiks akan terasa nyeri. Hal ini disebabkan funiculus tertarik lalu
menyebabkan peritoneum bergerak dan menyentuh appendiks.
- Baldwin Sign
Pemeriksa menekan daerah didekat titik Mc. Burney yang merupakan batas
tidak nyeri dan nyeri, kemudian tungkai kanan dengan posisi articulatio genu
diangkat, maka daerah tidak nyeri tadi akan menjadi nyeri.
- Psoas sign
Pasien diminta tidur terlentang, kemudian minta penderita mengangkat
tungkai kanan dengan posisi articulatio genu lurus, dan pemeriksa melakukan
tahanan pasien yang mengangkat tungkai tersebut. Positif jika dirasakan nyeri
di appendiks
- Obturator sign
Pasien dalam posisi terlentang , lalu diminta melakukan posisi anteflexi dan
endorotasi articulatio coxae, pemeriksa memberikan perlawanan, maka akan
terasa sakit di appendiks
CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
appendisitis akut jika diagnosisnya tidak jelas, sensitifitas dan spesifisitasnya
kira-kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas,
dan curiga adanya abscess, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan
test diagnosti. Diagnosis appendisitis dengan CT-scan ditegakkan jika
appendiks dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada
appendiks yang terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran
“halo”. 8 9
Keterangan:
• 0-4 : Kemungkinan Appendicitis kecil
• 5-6 : Bukan diagnosis Appendicitis
• 7-8 : Kemungkinan besar Appendicitis
• 9-10 : Hampir pasti menderita Appendicitis.
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka
tindakan bedah sebaiknya dilakukan. pasien dengan skor ≥7 berisiko tinggi
mengalami apendisitis akut, sedangkan pasien dengan skor <5 memiliki risiko
sangat rendah.
Skor Alvarado terhadap pasien Tn. V:
• Migrasi luka ke RLQ skor 1
• Mual dan muntah skor 1
• Nyeri dalam RLQ skor 2
• Demam skor 1
• Leukositosis skor 2
Hasilnya 7 yaitu appendicitis probable( 93 % Appendisitis akut )
Maka, setelah melihat hasil dari beberapa pemeriksaan dan juga melalui
sistem skor alvarado ini. Kelompok kami mendiagnosis Tn. V Appendisitis
Akut .
Jawaban :
Epidemiologi
Berdasarkan data penelitian di Amerika Serikat pada tahun 1993-2008
terdapat peningkatan apendisitis akut dari 7,68% menjadi 9,38% dari 10.000
orang. Kelompok usia yang memiliki frekuensi tertinggi ditemukan pada
kelompok dengan rentang usia 10-19 tahun, tetapi pada kelompok usia ini
angka kejadian apendisitis akut mengalami penurunan sebesar 4,6%.
Sedangkan pada kelompok usia dengan rentan usia 30-69 tahun terdapat
peningkatan angka kejadian apendisitis akut sebesar 6,3% . Angka Kejadian
apendisitis yang telah menimbulkan perforasi seindiri masih tinggi yaitu 17-
40%, golongan prasekolah merupakan golongan yang paling sering
mengalami perforasi. Angka mortalitas pada apendisitis yang belum terjadi
perforasi masih rendah yaitu 0,1%- 1%, tetapi pada apendisitis yang telah
menjadi perforasi terdapat peningkatan angka mortalitas yaitu 5%.
Etiologi
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun
terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya
obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks yang biasanya disebabkan karena
adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid,
penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, tumor primer pada dinding
apendiks dan striktur. Penelitian terakhir menemukan bahwa ulserasi mukosa
akibat parasit seperti E Hystolitica, merupakan langkah awal terjadinya
apendisitis pada lebih dari separuh kasus, bahkan lebih sering dari sumbatan
lumen. Beberapa penelitian juga menunjukkan peran kebiasaan makan.
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya apendisitis akut ditinjau dari
teori Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor
lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku. Faktor biologi
antara lain usia, jenis kelamin, ras sedangkan untuk faktor lingkungan terjadi
akibat obstruksi lumen akibat infeksi bakteri, virus, parasit, cacing dan benda
asing dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Faktor pelayanan kesehatan
juga menjadi resiko apendisitis baik dilihat dari pelayan keshatan yang
diberikan oleh 13 layanan kesehatan baik dari fasilitas maupun non-fasilitas,
selain itu faktor resiko lain adalah faktor perilaku seperti asupan rendah serat
yang dapat mempengaruhi defekasi dan fekalit yang menyebabkan obstruksi
lumen sehingga memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi. 2
Jawaban :
Patogenesis : Apendiks vermiformis merupakan sisa apeks sekum yang
belum diketahui fungsinya pada manusia. Struktur ini berupa tabung yang
panjang, sempit (sekitar sampai 9 cm), dan mengandung arteria apendikularis
yang merupakan suatu arteria terminalis (end-artery). Pada posisi yang lazim,
apendiks terletak pada dinding abdomen di bawah titik McBurney. Titik
McBurney dicari dengan menarik garis dari spina iliaka superior kanan ke
umbilikus. Titik tengah garis ini merupakan tempat pangkal apendiks.
Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan
dinding organ tersebut. Patogenesis utamanya diduga karena adanya obstruksi
lumen, yang biasanya disebabkan oleh fekalit (feses keras yang terutama
disebabkan oleh serat). Penyumbatan pengeluaran sekret mukus
mengakibatkan terjadinya pembengkakan, infeksi, dan ulserasi. Peningkatan
tekanan intraluminal dapat menyebabkan terjadinya oklusi arteri terminalis
(end-artery) apendikularis. Bila keadaan ini dibiarkan berlangsung terus,
biasanya mengakibatkan nekrosis, gangren, dan perforasi.Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa ulserasi mukosa berjumlah sekitar 60 hingga 70% kasus,
lebih sering daripada sumbatan lumen. Penyebab ulserasi tidak diketahui,
walaupun sampai sekarang diperkirakan disebabkan oleh virus. Akhir-akhir
ini penyebab infeksi yang paling diperkirakan adalah Yersinia
11
enterocolitica.1.
Patofisiologis : Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin
lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi apendistis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah,
keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratifakut.Bila kemudian aliran
arteri terganggu akan terjadi infark dinding apppendix. 10
Jawaban :
Tingkat mortilitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang akurat
serta pembedahan.Tingkat mortilitas keseluruhan berkisar antara 0,2-0,8%
dan disebabkan oleh komplikasi penyakit daripada intervensi bedah.Pada
anak,angka ini berkisar antara 0,1-1%,sedangkan padan pasien diatas 70
tahun angka ini meningkat diatas 20%,terutama karena keterlambatan
diagnosis dan terapi. 14
DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland.2012. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 28.Jakarta: EGC
2. Sjamsuhidajat, R & Wim, de Jong . 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi
3.Jakarta : EGC
3. Price, SA, Wilson, LM. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 2 Ed/6. Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA,
editor. Jakarta: EGC; 2005
4. Ganiswarman , Sulistia G. 2001. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta :
Gaya Baru.
5. Urban dan Fischer.Sobbota Atlas Of Human Anatomy Ed.15 Jilid 1.Jakarta
:EGC
6. Eroschenko, Victor P. Atlas Histologi diFiore Ed.11. Jakarta : EGC
7. Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 5 No. 2 MEI 2016 ISSN 2302 –
2493, farmakologi ui, katzung
8. Panduan Skill Lab Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Jambi.Integrated Patient Management 2019.
9. Warsinggih. Appendisitis Akut.2016.
10. Sabiston C. David.2011.Buku Ajar Bedah Sabiston.Jakarta:EGC.
11. Price, Sylvia A. dkk. 2006. Patofisiologi Edisi 6 Vol. 1. Jakrta : EGC.
12. Katzung, B.G., 2012. Basic & Clinical Pharmacology. Edisi 12. Jakarta:
EGC.
13. Oswari,E. 2000. Bedah Dan Perawatannya. Edisi 3. Jakarta : balai penerbit
FKUI
14. Arifputera, Andy. DKK. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta :
Media Aesculapius
15. Ganong, William F. 2008. Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
16. Gorter, R.R. , Eker, H.H., Gorter, M.A.W., et al (2015). Diagnosis and
management of acute appendicitis. EAES consensus development
conference 2015. Surg Endosc. Springer 24 (2).
17. Sherwood, L. Edisi 8. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. Jakarta; EGC;
2014.
18. Rahmanto, tofik. Sistem skoring baru untuk mendiagnosis apendisistis akut.
2017.Lampung : Fakultas kedokteran Universitas Lampung.