Anda di halaman 1dari 11

PERBEDAAN SKOR POSITIVE AND NEGATIVE SYNDROME SCALE

(PANSS) AWAL DAN AKHIR TERHADAP STATUS KEKAMBUHAN


GANGGUAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA RAWAT INAP DI RUMAH
SAKIT JIWA DAERAH SUNGAI BANGKONG KOTA PONTIANAK

Catherine Sugandi1, Rozalina2, Muhammad Ibnu Kahtan3

Intisari
Latar Belakang: Skizofrenia adalah gangguan jiwa kronik dengan distorsi
pikiran, persepsi, emosi, berbicara, dan berperilaku. Sekitar 33% penderita
skizofrenia mengalami kekambuhan dan 12,1% kembali dirawat inap. Status
kekambuhan saat awal dan akhir perawatan dapat diukur dengan skor PANSS.
Tujuan: Mengetahui perbedaan antara skor PANSS awal dan akhir terhadap
status kekambuhan gangguan pada pasien skizofrenia yang dirawat inap di RSJD
Sungai Bangkong Kota Pontianak. Metodologi: Penelitian ini merupakan jenis
penelitian analitik komparatif kategorik berpasangan dengan desain penelitian
cross sectional. Total sampel yang ikut dalam penelitian ini sebanyak 35 orang.
Variabel bebas pada penelitian ini adalah status kekambuhan gangguan pada
pasien skizofrenia rawat inap di RSJD Sungai Bangkong Kota Pontianak
sedangkan variabel terikat pada penelitian ini adalah hasil skor PANSS (Positive
and Negative Syndrome Scale) awal dan akhir. Data akan dianalisis dengan
menggunakan uji Spearman dan akan dihitung menggunakan SPSS 23. Hasil:
Hasil Uji Spearman menunjukkan tidak ada korelasi antara perbedaan skor
PANSS awal dan akhir terhadap status kekambuhan gangguan pada pasien
skizofrenia yang dirawat inap di RSJD Sungai Bangkong Kota Pontianak
(p<0,05). Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara perbedaan skor PANSS
awal dan akhir terhadap status kekambuhan gangguan pada pasien skizofrenia
yang dirawat inap di RSJD Sungai Bangkong Kota Pontianak.

Kata Kunci: PANSS, pasien rawat inap, skizofrenia, status kekambuhan

1
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas
Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat.
2
Departemen Psikiatri Rumah Sakit Jiwa Daerah Sungai Bangkong Kota
Pontianak, Kalimantan Barat.
3
Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura
Pontianak, Kalimantan Barat.

2
DIFFERENCE BETWEEN INITIAL AND FINAL SCORE OF POSITIVE
AND NEGATIVE SYNDROME SCALE (PANSS) TO THE RELAPSE
STATUS OF DISORDER IN HOSPITALIZED SCHIZOPHRENIC
PATIENTS OF SUNGAI BANGKONG PSYCHIATRIC HOSPITAL IN
PONTIANAK CITY

Catherine Sugandi1, Rozalina2, Muhammad Ibnu Kahtan3

Abstract
Background: Schizophrenia is a chronic mental disorder with distortion of
thinking, perception, emotion, speech, and behaviour. 33% of schizophrenic
patients relapses and 12,1% be hospitalized. Relapse status from initial to final
treatment could be measured by PANSS. Purpose: Aiming to know the difference
between initial and final PANSS score towards relapse status of disorder in
hospitalized schizophrenic patients of Sungai Bangkong Psychiatric Hospital in
Pontianak City. Methodology: Paired categorical comparative analytic study was
used in the research with cross sectional approach. The total sample involved was
35 people. The independent variable was relapse status of disorder in hospitalized
schizophrenic patient of Sungai Bangkong Psychiatric Hospital and dependent
variable were initial and final PANSS score values. The data were analyzed using
Spearman Test with SPSS 23. Result: The result of Spearman test showed there
was no correlation between difference initial and final score of PANSS to the
relapse status of disorder in hospitalized schizophrenic patients of Sungai
Bangkong Psychiatric Hospital. Conclusion: There is no association between the
difference between initial and final score of Positive And Negative Syndrome
Scale (PANSS) to the relapse status of disorder in hospitalized schizophrenic
patients of Sungai Bangkong Psychiatric Hospital in Pontianak City.

Keywords : hospitalized patients, PANSS, relapse status, schizophrenia

1
Medical Education, Faculty of Medicine, Tanjungpura University, West Borneo.
2
Department of Psychiatry, Sungai Bangkong Psychiatric Hospital, West Borneo.
3
Department of Parasitology, Faculty of Medicine, Tanjungpura University, West
Borneo.

3
PENDAHULUAN
Masalah kesehatan jiwa adalah salah satu masalah kesehatan yang dihadapi
dunia. Data WHO menunjukkan bahwa sekitar 20% anak-anak maupun remaja
memiliki masalah kesehatan jiwa. Sekitar setengah dari masalah kesehatan jiwa
dimulai sebelum usia 14 tahun. Masalah neuropsikiatrik menjadi sebab utama
masalah kesehatan jiwa.1 Tidak hanya di dunia, masalah kesehatan jiwa juga
menjadi momok masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Prevalensi penyakit jiwa di Indonesia masih cukup besar. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan bahwa prevalensi
gangguan mental yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan
(ansietas) adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta
orang. Sedangkan, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia adalah 1,7
per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang.2 Gangguan jiwa berat adalah
gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas.
Gangguan jiwa berat dikenal dengan istilah psikosis dan salah satu contoh
psikosis adalah skizofrenia.3
Skizofrenia adalah gangguan jiwa kronik yang mempengaruhi bagaimana
seseorang berpikir, merasa, dan berperilaku.4 Sekitar lebih dari 21 juta orang di
dunia mengidap skizofrenia. Skizofrenia ditandai dengan distorsi cara berpikir,
persepsi, emosi, bahasa, dan perilaku. Ciri umum dari skizofrenia yaitu adanya
halusinasi, delusi, dan perilaku yang abnormal seperti penampilan yang aneh,
pengabaian diri, bicara yang ngawur, berkeliaran tanpa tujuan, bergumam atau
tertawa sendiri.5 Skizofrenia terbagi menjadi beberapa subtipe berdasarkan kriteria
diagnostik DSM-V yaitu tipe paranoid, tipe hebefrenik (terdisorganisasi), tipe
katatonik, tipe tidak tergolongkan (simpleks), dan tipe residual (kronis). 6
Prevalensi penyakit skizofrenia di dunia diperkirakan berkisar 0,5%-1%. Usia
pada saat episode pertama skizofrenia biasanya khas lebih muda pada laki-laki
(sekitar 21 tahun) dibandingkan perempuan (27 tahun). 7 Hampir 90% pasien yang
menjalani pengobatan skizofrenia berusia antara 15 sampai dengan 55 tahun. 8
Penelitian yang disponsori oleh National Institute of Mental Health (NIMH)
melaporkan bahwa prevalensi skizofrenia seumur hidup sebesar 1,3%. Kira-kira
0,025%-0,05% populasi total diobati untuk skizofrenia dalam setahun. 6 Di
Kalimantan Barat, hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan prevalensi
skizofrenia adalah 0,7 per 1000 penduduk dan merupakan provinsi paling rendah
dibandingkan dengan provinsi lain.3
Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) adalah skala medis yang
digunakan untuk mengukur kepelikan gejala pasien skizofrenia. PANSS
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1987 dan dikembangkan khususnya untuk
pembatasan psikometrik. PANSS terdiri dari 30 pertanyaan berdasarkan 3 gejala,
yaitu 7 butir soal gejala positif, 7 butir soal gejala negatif, dan 16 butir soal gejala
psikopatologi umum.9 Jika nilai PANSS pasien awal hingga akhir terapi terus
menurun, maka terapi tersebut dapat dikatakan berhasil. 10 PANSS menjadi salah
satu instrument klinis yang sering digunakan untuk mendefinisikan status
kekambuhan skizofrenia.
Kekambuhan merupakan keadaan pasien dimana muncul gejala yang sama
seperti sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus dirawat kembali. 11

4
Kekambuhan gangguan jiwa skizofrenia adalah munculnya kembali gejala
skizofrenia yang nyata.12 Sekitar 33% penderita skizofrenia mengalami
kekambuhan dan sekitar 12,1% kembali dirawat inap. 13 Dikarenakan banyaknya
penderita skizofrenia kambuhan, peneliti ingin melihat perbedaan antara skor
Positive And Negative Syndrome Scale (PANSS) awal dan akhir terhadap status
kekambuhan gangguan pada pasien skizofrenia rawat inap di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Sungai Bangkong Kota Pontianak.

BAHAN DAN METODE


Jenis desain penelitian ini adalah metode analitik komparatif kategorik
berpasangan dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian ini dilaksanakan di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Sungai Bangkong Kota Pontianak. Pelaksanaan
penelitian dimulai dari bulan Oktober 2017 - Desember 2017.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien rawat inap yang didiagnosis
skizofrenia kambuhan di RSJD Sui Bangkong Kota Pontianak. Kriteria eksklusi
pada penelitian ini adalah pasien skizofrenia yang disertai dengan gangguan
komunikasi dan gangguan jiwa lainnya. Jumlah sampel dalam penelitian yang
memenuhi kriteria inklusi adalah 35 orang. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah lembar PANSS (Positive and Negative Syndrome Scale).
Hasil penelitian diolah menggunakan SPSS 23 dan menggunakan uji T-
Berpasangan dan uji Spearman.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil dan pembahasan univariat
Tabel 1 Karakter Responden Penelitian
Frekuensi
Karakteristik Responden Penelitian
N %
Jenis kelamin
Laki-laki 27 77%
Perempuan 8 23%
Total 35 100%
Usia
20-29 6 17,1%
30-39 15 42,9%
40-49 9 25,7%
50-59 2 5,7%
60-69 2 5,7%
70-79 1 2,9%
Total 35 100%
Diagnosis Psikiatri
F20 Skizofrenia 2 5,7%
F20.0 Skizofrenia paranoid 32 91,4%
F20.3 Skizofrenia tidak terinci
1 2,9%
(undifferentiated)
Total 35 100%

5
Jumlah Kekambuhan
1-5 18 51,4%
6-10 8 23%
11-15 2 5,7%
16-20 3 8,5%
21-25 2 5,7%
26-30 2 5,7%
Total 35 100%
Hasil Skor PANSS Awal
71-80 6 17,1%
81-90 6 17,1%
91-100 7 20%
101-110 9 25,7%
111-120 5 14,3%
121-130 0 0%
131-140 1 2,9%
141-150 0 0%
151-160 1 2,9%
Total 35 100%
Hasil Skor PANSS Akhir
51-60 5 14,3%
61-70 17 48,6%
71-80 6 17,1%
81-90 6 17,1%
91-100 1 2,9%
Total 35 100%
Selisih Skor
1-5 1 2,9%
6-10 4 11,4%
11-20 10 28,6%
21-30 9 25,7%
31-40 3 8,5%
41-50 5 14,3%
51-60 2 5,7%
81-90 1 2,9%
Total 35 100%
Jumlah pasien skizofrenia yang berjenis kelamin laki-laki yang menjadi
responden penelitian adalah sebesar 27 orang dan yang berjenis kelamin
perempuan adalah sebesar 8 orang. Distribusi pasien skizofrenia laki-laki lebih
besar dibandingkan dengan pasien skizofrenia kelamin perempuan. Berdasarkan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rizky Ramadhani Arisyandi dan
Ingried Sira di RSJD Sungai Bangkong, didapatkan hasil sampel dengan distribusi
pasien berjenis kelamin laki-laki lebih besar daripada perempuan.13,14 Siti Zahnia
mengemukakan bahwa proporsi skizofrenia terbanyak adalah laki-laki (72%)
dengan kemungkinan laki-laki beresiko 2,37 kali lebih besar daripada
perempuan.15
Hormon estrogen yang dimiliki oleh perempuan dihipotesiskan memiliki efek
protektif terhadap skizofrenia dimana estrogen berpengaruh terhadap pelepasan
dopamin melalui neuron GABA. Pencitraan molekuler menunjukkan perubahan
densitas reseptor dopamin D2 dengan siklus menstruasi. Pencitraan PET
menunjukkan bahwa pengikatan reseptor dopamin D2 berkurang pada fase
folikuler (pada fase ini, estrogen meningkat dan menyebabkan penebalan

6
endometrium) dan meningkat pada fase periovulasi dan luteal (pada fase ini,
terjadi peningkatan hormon progesteron dan LH, serta terjadi penurunan jumlah
hormon estrogen).16,17
Castle dan Murray meninjau temuan pada struktur otak dan menemukan bukti
bahwa studi menggunakan MRI menunjukkan bahwa area korona otak mengalami
reduksi, pengecilan hipokampal, dan ventrikulomegali pada pasien skizofrenia
laki-laki, tetapi hal itu tidak terjadi pada perempuan dikarenakan studi MRI
menunjukkan bahwa abnormalitas struktur otak muncul pada daerah dimorfik
seksual. Jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan memiliki grey matter
yang rasionya lebih besar di kaudatus, hipokampus, korteks frontalis, dan gyrus
temporalis yang semua terlibat dalam fungsi berbahasa, berpikir, atensi, dan
memori. Hal ini menunjukkan bahwa daerah dimorfik seksual normal dapat
melindungi wanita skizofrenia dari gangguan fungsi kognitif akibat dari
abnormalitas otak.18
Selain itu juga, sejumlah penelitian dan ulasan telah menyimpulkan bahwa
pasien laki-laki pada umumnya cenderung untuk mengekspresikan gejala yang
lebih negatif serta penarikan sosial dan afek tumpul atau tidak sesuai daripada
pasien wanita. Wanita penderita skizofrenia di sisi lain, lebih cenderung hadir
dengan gangguan mood, disforia, gejala depresi dan ciri afektif atipikal. Secara
keseluruhan, wanita dengan skizofrenia tampaknya memiliki presentasi klinis dan
klinis yang kurang parah. Ulasan terbaru menunjukkan bahwa wanita dengan
skizofrenia lebih mungkin untuk didiagnosis banding dengan psikosis afektif,
atipikal atau manik dan skizoafektif. Selanjutnya, wanita tampak lebih rentan
terhadap gangguan psikosis reaktif akut serta skizofreniform onset awal dan
mendadak, dan biasanya cenderung untuk terselesaikan dengan hasil yang baik.18
Ring et al meneliti bahwa gejala negatif seperti perataan afektif, kemiskinan
berbicara dan penarikan sosial lebih banyak terjadi di antara laki-laki daripada
perempuan.19
Kelompok usia dengan jumlah responden baik laki-laki maupun perempuan
terbanyak yaitu usia 30-39 tahun dengan jumlah 15 orang, diikuti dengan usia 20-
49 tahun dengan jumlah responden sebanyak 9 orang, dan pada usia 20-29 tahun
dengan jumlah responden penelitian sebanyak 6 orang. Onset kemunculan
skizofrenia pada pasien laki-laki adalah usia 18-25 tahun dan pada perempuan
adalah usia 26-32 tahun.20 Pada penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan di
RSJD Sungai Bangkong Kota Pontianak oleh Rizky Ramadhani Arisyandi dan
Ingried Sira, usia pasien skizofrenia RSJD Sungai Bangkong terbanyak adalah
dari usia 25-44 tahun, di mana puncak usia terbanyak adalah usia 30-39 tahun
yang adalah usia produktif manusia.13,14 Salah satu faktor yang mempengaruhi
tingginya usia produktif menjadi skizofrenia adalah stressor psikososial dimana
seseorang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan sosial yang terjadi dan
akhirnya menjadi jatuh sakit.21
Diagnosis psikiatri pada responden penelitian terbanyak adalah skizofrenia
subtipe paranoid sebanyak 32 orang. Skizofrenia paranoid adalah salah satu tipe
skizofrenia di mana ciri utamanya adalah halusinasi dan/atau waham harus
menonjol.22 Menurut Fahrul et al, gejala halusinasi adalah gejala yang paling
banyak ditemukan yang merupakan salah satu ciri utama dari skizofrenia paranoid

7
karena terjadi abnormalitas dalam neurotransmiter dopamin dan asetilkolin yang
menyebabkan halusinasi.16,23 Skizofrenia paranoid memiliki stabilitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan subtipe lainnya dan sering sekali digunakan secara
klinis bersamaan dengan tipe undifferentiated.16 Prognosis skizofrenia paranoid
lebih baik dibandingkan dengan tipe lain karena mempunyai respon yang baik
dalam pengobatan.24
Pada pasien skizofrenia yang menjadi responden penelitian adalah pasien
skizofrenia eksaserbasi/kambuhan dan berulang kali dirawat inap. Kekambuhan
sendiri memiliki banyak faktor seperti psikopatologi, pengalaman hidup (seperti
pengalaman traumatik, gangguan psikiatrik, dan perkembangan saat masa kanak-
kanak), psikososial, kepribadian premorbid, ekspresi emosi keluarga, dan faktor
biologis seperti genetik.25 Salah satu faktor resiko tinggi terjadinya kekambuhan
adalah riwayat keluarga yang kuat dari skizofrenia. 26 Insiden kambuh pasien
skizofrenia adalah tinggi, yaitu berkisar 60%-75%.27 Pada penelitian yang
dilakukan Robinson, 74% pasien tidak minum obat secara teratur sehingga
mengalami kekambuhan dan 71% di antaranya dirawat inap ulang.28 Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Ratna Dewi, di antara pasien skizofrenia yang
rawat inap di SMF Jiwa RSU Dr Sardjito Yogyakarta, sekitar 75% pernah dirawat
sebelumnya atau merupakan pasien rawat ulang dan dari analisis multivariat yang
didapat dari penelitian tersebut, faktor keteraturan minum obat adalah faktor yang
paling berpengaruh dengan terjadinya kekambuhan pasien. 29 Pada penelitian yang
dilakukan oleh Rizky Ramadhani Arisyandi, baik pada kelompok kontrol maupun
kelompok perlakuan ditemukan pasien skizofrenia yang dirawat inap berulang
lebih banyak daripada pasien yang baru didiagnosis.14
Terapi dalam penatalaksanaan skizofrenia secara umum terdapat 2 jenis yaitu
terapi farmakologi dan terapi non farmakologi. Terapi farmakologi yang
digunakan pada pasien skizofrenia yaitu dengan antagonis reseptor dopamin yang
biasa disebut dengan antipsikotik klasik dan antagonis reseptor serotonin-dopamin
(SGA/second-generation antipsychotics). Sedangkan terapi nonfarmakologi yaitu
terapi psikososial yang mencakup berbagai metode untuk meningkatkan
kemampuan sosial, kecukupan diri, dan keterampilan seperti terapi keterampilan
perilaku, terapi berorientasi keluarga, terapi kelompok, dan terapi perilaku
kognitif.8
Antipsikotik klasik (tipikal) atau yang disebut dengan antagonis reseptor
dopamin umumnya menghambat reseptor D2 secara stereoselektif, dan afinitas
pengikatan mereka sangat berkaitan dengan potensi antipsikotik dan
ekstrapiramidal klinis. Contoh obat dari antipsikotik tipikal seperti klorpromazin,
haloperidol, perfenazin, trifluoperzin, dll. Sedangkan, antipsikotik atipikal
(second-generation antipsychotics) atau disebut juga sebagai antogonis reseptor
serotonin-dopamin memiliki kemampuan yang lebih besar untuk mengubah
aktivitas reseptor 5-HT2A daripada mengintervensi efek reseptor D2, meskipun
juga menghambat efek reseptor D2. Contoh obat antipsikotik atipikal adalah
klozapin, risperidon, olanzapin, kuetiapin, ziprasidon, dan aripiprazol.
Untuk sekitar 70% pasien dengan skizofrenia, obat antipsikotik tipikal dan
atipikal sama efikasinya dalam mengatasi gejala positif. Namun, beberapa bukti
cenderung memperlihatkan bahwa obat antipsikotik atipikal lebih bermanfaat

8
untuk gejala negatif dan kognisi, memperlihatkan risiko tardive dyskinesia dan
bentuk EPS lainnya yang lebih kecil, dan lebih jarang meningkatkan kadar
prolaktin. Dalam beberapa penelitian, sebagian dari obat antipsikotik baru
termasuk klozapin, risperidon, dan olanzapin memperlihatkan superioritas
dibandingkan dengan haloperidol dari segi respon keseluruhan. Pemberian
antipsikotik klasik seperti klorpromazin dan tioridazin memberikan efek sedasi
yang lebih kuat dan dapat mengakibatkan hipotensi ortostatik, sedangkan
haloperidol, perfenazin, dan tiotiksen dapat memicu sindrom ekstrapiramidal.30
Selain pemberian terapi farmakologi, turut juga diberikan terapi
nonfarmakologi untuk mengembalikan fungsi sosial dan mencegah kekambuhan,
seperti terapi kelompok yang bertujuan untuk mengatasi gejala gangguan jiwa
yang difokuskan kepada pasien, secara individu, kelompok, keluarga, maupun
komunitas. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) terdiri dari empat yaitu TAK
stimulasi kognitif/persepsi, TAK stimulasi sensori, TAK orientasi realita, dan
TAK sosialisasi.31
Terapi yang diberikan pada pasien skizofrenia di RSJD Sungai Bangkong
adalah terapi farmakologi dan terapi nonfarmakologi. Pada pasien skizofrenia
kambuhan, diberikan terapi farmakologi berupa risperidon, trifluoperazin (TFP),
dan klozapin. Pemberian risperidon pada pasien skizofrenia dapat meningkatkan
mood dan aktivitas motorik, sedangkan pemberian klozapin hanya diperuntukkan
untuk pasien skizofrenia dengan kasus pasien dengan resisten obat antipsikotik.
Klozapin juga diberikan pada pasien skizofrenia dengan indikasi bunuh diri, tetapi
efek samping dari klozapin adalah agranulositosis (kondisi akut dimana terjadi
leukopenia yang parah) sehingga diperlukan pengontrolan gambaran darah selama
18 minggu pertama, setelah itu 4 kali seminggu. 32,33 Pemberian TFP secara efektif
mampu mengobati gejala positif skizofrenia seperti halusinasi auditorik, visual,
dan waham, meskipun dengan beberapa efek samping yaitu involuntary shaking,
gelisah, dan movement disorder seperti postur yang aneh.34 Selain itu dilakukan
terapi nonfarmakologi yaitu TAK (Terapi Aktivitas Kelompok) dimana terdapat
beberapa permainan seperti menangkap bola, senam, rekreasi, karaoke yang biasa
dipimpin oleh perawat.
Hasil dan Pembahasan Uji Bivariat
Tabel 2 Hasil Uji T-Berpasangan
N Rerata P
Skor PANSS Awal 35 97,77
Skor PANSS Akhir 35 70,57 0,000
Selisih Skor PANSS Awal dan Akhir 35 27,2
Tabel 3 Hasil Uji Spearman
N Koefisien Nilai Sig.
Korelasi
Jumlah Kekambuhan 35
0,074 0,674
Selisih Skor PANSS Awal dan Akhir 35
Uji T berpasangan dapat dilakukan jika memenuhi persyaratan yaitu data
berdistribusi normal. Rata-rata dari selisih skor pada hasil uji T berpasangan
adalah 27,2 yang bernilai positif, berarti terjadi kecenderungan terjadi penurunan
PANSS. Setelah dilakukan uji T berpasangan, dilakukan uji Spearman yang
bertujuan untuk melihat hubungan status kekambuhan menggunakan data jumlah

9
kekambuhan dengan selisih skor PANSS pasien skizofrenia. Persyaratan dari uji
Spearman adalah data bersifat ordinal atau salah satunya ordinal dan data tidak
berdistribusi normal. Hasil yang di dapat ialah koefisien korelasi sebesar 0,074
(hubungan sangat lemah) dan nilai Sig sebesar 0,0674 (Sig < 0,05 tidak terdapat
korelasi) dimana diinterpretasikan bahwa tidak terdapat korelasi antara selisih
skor PANSS awal dan akhir dengan status kekambuhan pada pasien skizofrenia
yang dirawat inap di RSJD Sui Bangkong Kota Pontianak.

KESIMPULAN
Tidak terdapat hubungan antara selisih skor PANSS awal dan akhir dengan
status kekambuhan pada pasien skizofrenia yang dirawat inap di RSJD Sui
Bangkong Kota Pontianak.

DAFTAR PUSTAKA
1. WHO | 10 facts on mental health [Internet]. [cited 2017 Feb 2]. Available
from:
http://www.who.int/features/factfiles/mental_health/mental_health_facts/en/
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [Internet]. [cited 2017 Jan 31].
Available from: http://www.depkes.go.id/article/print/201410270011/stop-
stigma-dan-diskriminasi-terhadap-orang-dengan-gangguan-jiwa-odgj.html
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI. Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. [Internet]. [cited 2017 Feb 2]. Available
from :
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%20
2013.pdf.
4. NIMH » Schizophrenia [Internet]. [cited 2017 Feb 02]. Available from:
https://www.nimh.nih.gov/health/topics/schizophrenia/index.shtml
5. WHO | Schizophrenia [Internet]. WHO. [cited 2017 Feb 02]. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs397/en/
6. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis. Tangerang : Binarupa Aksara; 2010
7. CDC - Burden of Mental Illness - Mental Illness - Mental Health Basics -
Mental Health [Internet]. [cited 2017 Feb 3]. Available from:
https://www.cdc.gov/mentalhealth/basics/burden.htm
8. Kaplan H, Sadock BJ. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2010.
9. Salam R, Budiman R, Bastaman TK, Yuniar S, Damping C, Kusumawardhani
A, Purnamawati YD, Widyanto S. Pedoman Definisi PANSS (Positive and
Negative Symptoms Scale). FK Universitas Indonesia Bagian Psikiatri; 1994.
10. Kay SR, Fiszbein A, Opler LA. Positive and Negative Syndrome Scale
(PANSS). Psychiatric University Hospital Zurich Division of Clinical
Psychiatry; 2007.
11. Andri. Kongres Nasional Skizofrenia V Closing The Treathment Gap for
Schizophrenia. 2008.
12. Akbar M. Hubungan dukungan sosial keluarga terhadap tingkat kekambuhan
penderita skizofrenia di RS Grhasia Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas
Islam Indonesia; 2008.

10
13. Sira I. Karakteristik Skizofrenia di Rumah Sakit Khusus Alianyang Periode 1
Januari-31 Desember 2009. Pontianak : Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura; 2011.
14. Arisyandi RR. Pengaruh Kunjungan Keluarga Terhadap Skor Positive And
Negative Syndrome Scale (PANSS) Pada Pasien Skizofrenia Yang Dirawat
Inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sungai Bangkong. Pontianak : Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura; 2015.
15. Zahnia S. Kajian Epidemiologis Skizofrenia. Majority. 2016;5(4).
16. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook
of Psychiatry. 10th ed. UK : Wolters Kulwer; 2017.
17. Sherwood L. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta : EGC;
2014.
18. Javed MA. Gender and Schizophrenia. J Pak Med Assoc. 2000 Feb;50(2):63-
8.
19. Ring N, Tatitam D, Motitague L, et al. Gender differences in the incidence of
definite schizophrenia and atypical psychosis-Focus on negative symptoms of
schizophrenia. Acta Psychiatr. Scand 1991 :84 489-96.
20. Castle DJ, Wessely S, Murray RM. Sex and schizophrenia: effects of
diagnostic stringency, and associations with premorbid variables.i Br J
Psychiatry. 1993;162:658–64.
21. Hawari D. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Ed ke-2.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2006.
22. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia (PPDGJ). Edisi III. Jakarta : Dirjen Pelayanan Medis
RI;1993.
23. Fahrul, Mukaddas A, Faustine I. Rasionalitas Penggunaan Antipsikotik pada
Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Jiwa RSD Madani Provinsi
Sulawesi Tengah Periode Januari-April 2014. Online J Nat Sci. 2014
Aug;3(2):18–29.
24. Katherine and Patricia. Psychiatric Mental Health Nursing. 3 rd ed. Philadelpia
: Lippincott Williams & Wilkins; 2000.
25. Vaughn C, Snyder K, et al. Family factor in schizophrenic relapse a
replication. Rehabilitation research and training center in mental illness. J
Issues Nurs. 2005; 8(1).
26. Barlow SK. Mental illness and inherited predisposition. The Australasian
Genetics Resource Book. 2007.
27. Rohrer J. Family History of mental illness and frequent mental distress in
community clinic patients. J Eval Clin Pract. Blackwell Publishing.
2007;13(3):435-9(5).
28. Robinson D. Predictors of relapse following response from first episode of
schizophrenia or schizoaffective disorder. Long Island : Department of
Psychiatry of Hillside Hospital. 2008.
29. Dewi R, Marchira CR. Riwayat Gangguan Jiwa pada Keluarga dengan
Kekambuhan Pasien Skizofrenia di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Ber
Kedokt Masy. 2012 Jun 22;25(4):176.

11
30. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Farmakologi Dasar dan Klinik. Ed 12.
Jakarta : EGC; 2013.
31. Keliat BA, Akemat. Keperawatan Jiwa: terapi aktivitas kelompok. Jakarta:
EGC; 2005.
32. Schmitz G, Lepper H, Heidrich M. Farmakologi dan Toksikologi. Jakarta ;
EGC; 2008.
33. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J.
Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. New York : McGrawHill
Education; 2013.
34. Koch K, Mansi K, Haynes E, Adams CE, Sampson S, Furtado VA.
Trifluoperazine versus placebo for schizophrenia. Cochrane Database Syst
Rev. 2014;(1).

12

Anda mungkin juga menyukai