XDFR Dert
XDFR Dert
XDFR Dert
GENDER DYSPHORIA
Pembimbing:
Penyusun:
Robby 112016298
SURABAYA
2019
Bab I
Pendahuluan
Identitas gender adalah perasaan seseorang menjadi pria atau menjadi wanita.
Identitas gender merupakan komponen penting dari konsep diri. Identitas gender berbeda
dengan peran gender. Peran jenis kelamin yaitu bagaimana seseorang harus berperan sebagai
wanita atau pria di lingkungannya. Gender Dysphoria atau gangguan identitas gender adalah
hasrat menetap untuk menjadi atau sikap bersikeras seseorang bahwa ia berjenis kelamin
sebaliknya dan rasa tidak nyaman yang hebat dengan jenis kelamin aslinya serta peran
gendernya. Normalnya, identitas gender berdasarkan pada anatomi gender. Namun dalam
gangguan identitas gender terdapat konflik antara anatomi gender dan identitas gender.
Gender dysphoria adalah gangguan yang mengacu pada keadaan dimana individu merasa
adanya tidak kesesuaian antara jenis kelamin yang telah ditetapkan sejak lahir dengan jenis
kelamin yang dia identifikasikan. Gender dysphoria juga mengacu pada ketidakpuasan
afektif atau kognitif individu terhadap jenis kelamin yang telah ditetapkan.
1
Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi
Gender Dysphoria atau gangguan identitas gender adalah hasrat menetap untuk
menjadi atau sikap bersikeras seseorang bahwa ia berjenis kelamin sebaliknya dan rasa tidak
nyaman yang hebat dengan jenis kelamin aslinya serta peran gendernya. Normalnya, identitas
gender berdasarkan pada anatomi gender. Namun dalam gangguan identitas gender terdapat
konflik antara anatomi gender dan identitas gender. Gender dysphoria adalah gangguan yang
mengacu pada keadaan dimana individu merasa adanya tidak kesesuaian antara jenis kelamin
yang telah ditetapkan sejak lahir dengan jenis kelamin yang dia identifikasikan. Gender
dysphoria juga mengacu pada ketidakpuasan afektif atau kognitif individu terhadap jenis
kelamin yang telah ditetapkan.1
Identitas gender adalah perasaan seseorang menjadi pria atau menjadi wanita.
Identitas gender merupakan komponen penting dari konsep diri. Identitas gender berbeda
dengan peran gender. Peran jenis kelamin yaitu bagaimana seseorang harus berperan sebagai
wanita atau pria di lingkungannya. Contohnya, banyak wanita yang memilih untuk berperan
sebagai pria, seperti melakukan olahraga yang agresif, atau lebih menyenangi aktivitas yang
menantang, tetapi mereka tetap merasa bahwa mereka adalah wanita. Contoh lainnya yaitu
beberapa pria merasa ia harus dapat berepran sebagai wanita, seperti ketika merawat anak
kecil atau memasak. Tetapi pria tersebut tetap menyadari bahwa mereka adalah pria.1
Identitas gender juga berbeda dengan orientasi seksual. Gay dan lesbian memiliki
minat seksual pada individu dengan gender yang sama dengan dirinya, tetapi gender identitas
mereka (mereka merasakan sebagai laki-laki atau perempuan) sesuai dengan anatomi seks
mereka. Tidak seperti orientasi seks gay dan lesbian, gangguan identitas gender termasuk hal
yang langka.2
2.2 Epidemiologi
Prevalensi gender dysphoria 0.005-0.014% untuk orang dewasa yang lahir sebagai laki -
laki, sedangkan 0,002-0.003% untuk orang dewasa yang lahir sebagai perempuan. Antara
anak-anak, lebih tinggi dalam orang-orang yang dilahirkan sebagai anak laki-laki, tempat ini
2 - 4,5 kali lebih besar daripada mereka yang dilahirkan sebagai anak perempuan. Di antara
2
remaja, tidak ada perbedaan nyata antara lelaki dan perempuan. Diperkirakan sekitar 0,005%
hingga 0,014% orang yang dianggap sebagai laki-laki saat lahir dan 0,002% hingga 0,003%
orang yang dianggap sebagai perempuan saat lahir akan mendapat diagnosis gender
dysphoria.3
2.3 Etiologi
a. Faktor Biologis
Gender dysphoria dapat disebabkan oleh gangguan fisik. Secara spesifik,
bukti menunjukkan bahwa identitas gender dipengaruhi oleh hormon dalam tubuh.
Tubuh manusia menghasilkan hormon testosteron yang mempengaruhi neuron otak,
dan berkontribusi terhadap maskulinisasi otak yang terjadi pada area seperti:
hipotalamus, dan sebaliknya dengan hormon feminism. Steroid seks mempengaruhi
ekspresi perilaku seksual pada laki-laki atau perempuan dewasa, yaitu testosteron
dapat meningkatkan libido dan keagresifan laki-laki. Namun, maskulinitas,
femininitas, dan identitas gender lebih merupakan akibat peristiwa kehidupaan pasca
lahir daripada pengaturan hormon pranatal.4
b. Faktor Psikososial
Pembentukan identitas gender dipengaruhi interaksi antara tempramen anak
dengan kualitas dan sikap orang tua. Peran gender yang dapat diterima budaya: masih
terdapat larangan bagi anak laki-laki untuk menunjukkan perilaku feminisme dan
anak wanita menjadi tomboy, termasuk akan pembedaan terhadap pakaian dan
mainan untuk anak laki-laki dan wanita. Kualitas hubungan ibu-anak pada tahun
pertama kehidupan paling penting dalam menegakkan identitas gender. Selama
periode ini, ibu normalnya memfasilitasi kesadaran anaknya dan rasa bangga
mengenai gender yang dimiliki: anak dinilai sebagai anak laki-laki dan anak
perempuan kecil, tetapi ibu yang memusuhi dan merendahkan dapat menimbulkan
masalah gender.4
3
2.4 Manifestasi Klinis
4
- Ditandai dengan ketidaksesuaian antara gender yang diidentifikasikan dengan
karakteristik seks primer dan atau sekunder (atau pada remaja muda, karakteristik
seks sekunder diantisipasi).
- Memiliki keinginan yang kuat untuk menyingkirkan karakteristik primer dan atau
sekunder dari jenis kelamin biologisnya.
- Memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki karakteristik seks primer dan / atau
sekunder dari jenis kelamin lainnya.
- Memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi jenis kelamin lainnya (atau
beberapa jenis kelamin alternatif berbeda dari jenis kelamin biologis).
- Memiliki keinginan yang kuat untuk diperlakukan sebagai jenis kelamin lainnya
(atau beberapa jenis kelamin alternatif yang berbeda dari satu jenis kelamin yang
ditetapkan).
- Memiliki keyakinan yang kuat bahwa seseorang memiliki perasaan yang khas
dan reaksi dari jenis kelamin yang lain (atau beberapa jenis kelamin alternatif
yang berbeda dari satu jenis kelamin yang ditetapkan).
Kondisi ini menyebabkan distress klinis signifikan atau penurunan fungsi
sosial, pekerjaan atau lainnya.
2.5 Tatalaksana
a. Anak
Pada saat ini, tidak ada bukti signifkan yang menunjukkan bahwa intervensi
psikiatrik atau psikologik pada anak dapat memengaruhi orientasi seksual mereka di
kemudian hari. Penatalaksanaan terhadap anak dengan gangguan ini harus diikuti peran
serta lingkungan (penyediaan pakaian yang sesuai jenis kelaminnya) dan nasihat
tentang peran dari anatomi seksualnya. Hormon dan psikofarmakologi tidak pernah
digunakan.6
b. Remaja
Remaja muda yang mengalami gangguan ini pada awalnya merasa bahwa dirinya
seorang homoseksual. Perasaan cemas, takut serta malu dapat menyebabkan konflik
dalam perjalanan hidupnya. Para orang tua diharapkan mengerti kondisi psikologis
anak sehingga tekanan yang dirasakan oleh anak berkurang. Pada fase ini, akan timbul
perilaku menyembunyikan perubahan-perubahan sekunder tubuh, mulai dari minum
5
obat hormonal hingga rencana menjalani operasi di kemudian hari. Terapi psikologik
untuk anak dan orang tuanya memiliki peranan penting dalam perkembangan anak baik
dalam kehidupan sehari-hari di keluarga maupun masyarakat.6
c. Dewasa
Pada orang dewasa sering ditemukan permintaan langsung untuk operasi
penggantian anatomi kelamin dan pemakaian hormonal.6
2.6 Pencegahan
a. Pencegahan primer
b. Pencegahan sekunder
6
c. Pencegahan tersier
2.7 Prognosis
Anak laki - laki biasanya mengalami gangguan ini sebelum usia 4 tahun dan konflik
kelompok mulai terjadi pada awal sekolah, sekitar usia 7 – 8 tahun. Perilaku feminim
biasanya berkurang saat anak laki-laki bertumbuh. Baik pada pria maupun wanita, satu
hingga dua per tiga kasus tumbuh menjadi homoseksual. Jika gangguan identitas jenis
kelamin menetap hingga dewasa, maka memiliki tendensi menjadi kronik dan disertai
beberapa periode remisi.7
Gender dysphoria adalah penderitaan yang dirasakan oleh seseorang sebagai akibat
dari seks dan gender yang diberikan kepada mereka saat mereka lahir. Dalam kasus ini,
gender dan seks yang diberikan kepada orang tersebut tidak sesuai dengan identitas gender
mereka, dan orang tersebut adalah seorang transgender. Transgenderis istilah umum bagi
orang-orang yang identitas gender, ekspresi gender, atau perilaku tidak sesuai dengan yang
biasanya terkait dengan seks yang mereka ditugaskan saat lahir.8
Pada dasarnya, di Indonesia sendiri aturan mengenai prosedur pergantian kelamin
(transgender) memang belum diatur khusus. Peraturan Undang-undang Indonesia hanya
menetapkan dua gender saja yaitu pria dan wanita. Hal ini dapat ditafsirkan dari pencantuman
tegas tentang pria dan wanita dalam Undang-undang Perkawinan (UU No. 1/1974) dan
ketentuan serupa mengenai isi kartu penduduk yang ditetapkan dalam Undang-undang
Administrasi Kependudukan (UU No. 23/2006).8
7
Undang-undang yang ada hanya mengatur mengenai interseksual, yaitu menurut
Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 69,
adalah:9
(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku
dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tatacara bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Hingga saat ini, belum ada Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam ayat (3)
tersebut. Peraturan Pemerintah lain yang membahas mengenai operasi penggantian kelamin
adalah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.191/MENKES/SK/III/1989
tentang Penunjukan Rumah Sakit dan Tim Ahli sebagai Tempat dan Pelaksanaan Operasi
Penyesuaian Kelamin. Di Indonesia sudah ada beberapa rumah sakit yang ditunjuk sebagai
pusat penanganan kelainan genital beserta tim pelaksana operasi penggantian kelamin, yang
terdiri dari ahli bedah urologi, bedah plastik, ahli penyakit kandungan dan ginekologi,
anestesiologi, ahli endokrinologi anak dan dewasa (internis), ahli genetika, andrologi,
psikiater atau psikolog, ahli patologi, ahli hukum, pemuka agama, dan petugas sosial medis.
Tim ini bekerja untuk penderita interseksual (tidak pada penderita transeksual) yang
membutuhkan penentuan jenis kelamin, perbaikan alat genital, dan pengobatan.10
Secara hukum, kaum transgender memiliki hak yang sama dengan manusia pada
umumnya sesuai dengan Undang-undang yang mengatur hak asasi manusia, diantaranya
sebagai berikut:
Undang-undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 Pasal 1(1)
“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Pasal 28 D(1)
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di muka hukum”
8
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun
dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”
Berdasarkan pasal tersebut, maka seorang pria dan wanita merupakan salah satu
penentu sahnya perkawinan (tidak perkawinan sejenis). Bagi kaum transgender yang telah
mengalami operasi perubahan jenis kelamin, status kewarganegaraan berubah dalam sisi jenis
kelamin. Tidak masalah dalam hal jika kaum transgender menikah selama ia menikah dengan
jenis kelamin yang berlawanan dengan jenis kelaminnya yang sah dan terdaftar (sesuai Kartu
Tanda Penduduk).8 Transgender yang melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis
seperti halnya kaum homoseksual atau lesbian, diatur dalam Undang-undang Pasal 292
KUHP dan Pasal 492 Rancangan Undang-Undang KUHP:8
Pasal 292 KUHP, berbunyi:
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin,
yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun”
Dasar hukum atau tatacara seseorang dapat melakukan pergantian kelamin atau
kedudukan hukum seseorang yang telah melakukan pergantian jenis kelamin adalah sebagai
berikut:10
1. Hukum Atas Pergantian Kelamin
Pada dasarnya, di Indonesia sendiri aturan mengenai prosedur pergantian kelamin
(transgender) memang belum diatur khusus. Akan tetapi, untuk memberikan perlindungan,
pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan,
dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia dan Warga Negara Indonesia
9
yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah diterbitkan Undang-
Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir
diubah dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”). Adapun yang
dimaksud dengan peristiwa penting menurut Pasal 1 angka 17 UU Adminduk berbunyi:
“Kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati,
perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan
nama dan perubahan status kewarganegaraan.
Dari definisi peristiwa penting di atas, memang pergantian jenis kelamin ini tidak
termasuk peristiwa penting yang disebut dalam Pasal 1 angka 17 UU Adminduk. Akan tetapi,
pergantian jenis kelamin ini dikenal dalam UU Adminduk sebagai “peristiwa penting
lainnya”. Dalam Pasal 56 ayat 1 UU Adminduk diatur bahwa pencatatan peristiwa penting
lainnya dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan Penduduk yang
bersangkutan setelah adanya penetapan pengadilan negeri yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Sedangkan yang dimaksud dengan “peristiwa penting lainnya” dijelaskan
dalam Penjelasan Pasal 56 ayat 1 UU Adminduk sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan "Peristiwa Penting lainnya" adalah peristiwa yang ditetapkan oleh
pengadilan negeri untuk dicatatkan pada Instansi Pelaksana, antara lain perubahan jenis
kelamin.7
10
sampai dengan saat ini belum ada pengaturan dalam hukum, dengan demikian dalam
masyarakat yang tidak diatur oleh hukum sehingga menimbulkan suatu kekosongan hukum.8
Berdasarkan Pasal 10(1) Undang-undang Republik Indonesia No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi:10
"Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya”.
11
Bab III
Kesimpulan
Gender Dysphoria atau gangguan identitas gender adalah hasrat menetap untuk
menjadi atau sikap bersikeras seseorang bahwa ia berjenis kelamin sebaliknya dan rasa tidak
nyaman yang hebat dengan jenis kelamin aslinya serta peran gendernya. Normalnya, identitas
gender berdasarkan pada anatomi gender. Dalam kasus ini, gender dan seks yang diberikan
kepada orang tersebut tidak sesuai dengan identitas gender mereka, dan orang tersebut adalah
seorang transgender. Pada dasarnya, di Indonesia sendiri aturan mengenai prosedur
pergantian kelamin (transgender) memang belum diatur khusus. Peraturan Undang-undang
Indonesia hanya menetapkan dua gender saja yaitu pria dan wanita. Hal ini dapat ditafsirkan
dari pencantuman tegas tentang pria dan wanita dalam Undang-undang Perkawinan (UU No.
1/1974) dan ketentuan serupa mengenai isi kartu penduduk yang ditetapkan dalam Undang-
undang Administrasi Kependudukan (UU No. 23/2006).
12
Daftar Pustaka
1. Freud S. Three essays on the theory of sexuality. London: Hogarth Standard Edition;
2006.
2. Liben LS, Bigler RS. Developmental gender differentiation: Pathways in conforming
and nonconforming outcomes. Switzerland: Gay Lesbian Mental Health Community;
2008.
3. Benjamin JS. Synopsis of psychiatry. 10th ed. NewYork: Lippincott Williams and
Wilkins; 2007.
4. Davinson, C.G., Neal, J.M., & Kring, A.M. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: Raja
Grafindo Persada Robert G. Meyer. Case Studies in Abnormal Behavior. Bandung:
Intervarsity Bookstore
5. American Psychiatric Association. (2013). Gender Dysphoria. In Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders (Fifth Edition ed.). Washington, DC:
American Psychiatric Publishing Inc.
6. Medraś M, Joź kow P. Transsexualism - Diagnostic and therapeutic aspects. Poland:
Department of Endocrinology, Diabetology and Isotope Therapy, Medical University
of Wrocław; 2010.
7. Ettner R, Monstrey S, Coleman E. Principles of transgender medicine and surgery.
2nd Ed. New York : Taylor & Francis;2016.
8. UNDP. Hidup sebagai LGBT di Indonesia: laporan nasional Indonesia, diakses
tanggal 6 Oktober 2019,
http://www.id.undp.org/content/dam/indonesia/docs/LGBT/Indonesia%20report,%20
27%20May%2014_ID_FINAL_Bahasa.pdf.
9. SIAPIK. UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, diakses tanggal 6 Oktober
2019, http://siapik.pom.go.id/apps/files/aturan/2015/9/20150917_102334_aturan.pdf.
10. Widhiatmoko B, Suyanto E. Legalitas perubahan jenis kelamin pada ambiogus
genitalia di Indonesia, diakses tanggal 6 Oktober 2019,
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/ikfml5427baf863full.pdf.
13