XDFR Dert

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

GENDER DYSPHORIA

Pembimbing:

dr. Mustika Chasanatusy S., Sp. F

Penyusun:

Robby 112016298

Anggela Trivenna Yordani 112017093

Silvia Gunawan 112017094

Dewa Ayu Agung Gita Sugandhi 112017163

Theresia Cesa Puteri Wongkar 112017196

Gheraldo Olanis Lamandasa 112018048

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA H.S.SAMSOERI MERTOJOSO

SURABAYA

2019
Bab I

Pendahuluan

Identitas gender adalah perasaan seseorang menjadi pria atau menjadi wanita.
Identitas gender merupakan komponen penting dari konsep diri. Identitas gender berbeda
dengan peran gender. Peran jenis kelamin yaitu bagaimana seseorang harus berperan sebagai
wanita atau pria di lingkungannya. Gender Dysphoria atau gangguan identitas gender adalah
hasrat menetap untuk menjadi atau sikap bersikeras seseorang bahwa ia berjenis kelamin
sebaliknya dan rasa tidak nyaman yang hebat dengan jenis kelamin aslinya serta peran
gendernya. Normalnya, identitas gender berdasarkan pada anatomi gender. Namun dalam
gangguan identitas gender terdapat konflik antara anatomi gender dan identitas gender.
Gender dysphoria adalah gangguan yang mengacu pada keadaan dimana individu merasa
adanya tidak kesesuaian antara jenis kelamin yang telah ditetapkan sejak lahir dengan jenis
kelamin yang dia identifikasikan. Gender dysphoria juga mengacu pada ketidakpuasan
afektif atau kognitif individu terhadap jenis kelamin yang telah ditetapkan.

1
Bab II

Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi

Gender Dysphoria atau gangguan identitas gender adalah hasrat menetap untuk
menjadi atau sikap bersikeras seseorang bahwa ia berjenis kelamin sebaliknya dan rasa tidak
nyaman yang hebat dengan jenis kelamin aslinya serta peran gendernya. Normalnya, identitas
gender berdasarkan pada anatomi gender. Namun dalam gangguan identitas gender terdapat
konflik antara anatomi gender dan identitas gender. Gender dysphoria adalah gangguan yang
mengacu pada keadaan dimana individu merasa adanya tidak kesesuaian antara jenis kelamin
yang telah ditetapkan sejak lahir dengan jenis kelamin yang dia identifikasikan. Gender
dysphoria juga mengacu pada ketidakpuasan afektif atau kognitif individu terhadap jenis
kelamin yang telah ditetapkan.1
Identitas gender adalah perasaan seseorang menjadi pria atau menjadi wanita.
Identitas gender merupakan komponen penting dari konsep diri. Identitas gender berbeda
dengan peran gender. Peran jenis kelamin yaitu bagaimana seseorang harus berperan sebagai
wanita atau pria di lingkungannya. Contohnya, banyak wanita yang memilih untuk berperan
sebagai pria, seperti melakukan olahraga yang agresif, atau lebih menyenangi aktivitas yang
menantang, tetapi mereka tetap merasa bahwa mereka adalah wanita. Contoh lainnya yaitu
beberapa pria merasa ia harus dapat berepran sebagai wanita, seperti ketika merawat anak
kecil atau memasak. Tetapi pria tersebut tetap menyadari bahwa mereka adalah pria.1
Identitas gender juga berbeda dengan orientasi seksual. Gay dan lesbian memiliki
minat seksual pada individu dengan gender yang sama dengan dirinya, tetapi gender identitas
mereka (mereka merasakan sebagai laki-laki atau perempuan) sesuai dengan anatomi seks
mereka. Tidak seperti orientasi seks gay dan lesbian, gangguan identitas gender termasuk hal
yang langka.2

2.2 Epidemiologi

Prevalensi gender dysphoria 0.005-0.014% untuk orang dewasa yang lahir sebagai laki -
laki, sedangkan 0,002-0.003% untuk orang dewasa yang lahir sebagai perempuan. Antara
anak-anak, lebih tinggi dalam orang-orang yang dilahirkan sebagai anak laki-laki, tempat ini
2 - 4,5 kali lebih besar daripada mereka yang dilahirkan sebagai anak perempuan. Di antara
2
remaja, tidak ada perbedaan nyata antara lelaki dan perempuan. Diperkirakan sekitar 0,005%
hingga 0,014% orang yang dianggap sebagai laki-laki saat lahir dan 0,002% hingga 0,003%
orang yang dianggap sebagai perempuan saat lahir akan mendapat diagnosis gender
dysphoria.3

2.3 Etiologi

a. Faktor Biologis
Gender dysphoria dapat disebabkan oleh gangguan fisik. Secara spesifik,
bukti menunjukkan bahwa identitas gender dipengaruhi oleh hormon dalam tubuh.
Tubuh manusia menghasilkan hormon testosteron yang mempengaruhi neuron otak,
dan berkontribusi terhadap maskulinisasi otak yang terjadi pada area seperti:
hipotalamus, dan sebaliknya dengan hormon feminism. Steroid seks mempengaruhi
ekspresi perilaku seksual pada laki-laki atau perempuan dewasa, yaitu testosteron
dapat meningkatkan libido dan keagresifan laki-laki. Namun, maskulinitas,
femininitas, dan identitas gender lebih merupakan akibat peristiwa kehidupaan pasca
lahir daripada pengaturan hormon pranatal.4

b. Faktor Psikososial
Pembentukan identitas gender dipengaruhi interaksi antara tempramen anak
dengan kualitas dan sikap orang tua. Peran gender yang dapat diterima budaya: masih
terdapat larangan bagi anak laki-laki untuk menunjukkan perilaku feminisme dan
anak wanita menjadi tomboy, termasuk akan pembedaan terhadap pakaian dan
mainan untuk anak laki-laki dan wanita. Kualitas hubungan ibu-anak pada tahun
pertama kehidupan paling penting dalam menegakkan identitas gender. Selama
periode ini, ibu normalnya memfasilitasi kesadaran anaknya dan rasa bangga
mengenai gender yang dimiliki: anak dinilai sebagai anak laki-laki dan anak
perempuan kecil, tetapi ibu yang memusuhi dan merendahkan dapat menimbulkan
masalah gender.4

3
2.4 Manifestasi Klinis

a. Gender dysphoria pada anak

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) edisi


ke-5, gender dysphoria pada anak ditandai dengan adanya ketidaksesuaian antara
jenis kelamin biologis dan jenis kelamin yang ia identifikasikan, dan dalam jangka
waktu 6 bulan setidaknya muncul 6 dari kriteria berikut:5
- Memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi jenis kelamin lain atau memaksa
bahwa ia memiliki berjenis kelamin (atau beberapa jenis kelamin alternatif yang
berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan).
- Pada anak laki-laki (jenis kelamin bilogis), memilih untuk menggunakan pakaian
perempuan: atau pada anak perempuan (jenis kelamin biologis), memilih untuk
mengenakan pakaian khas maskulin dan penentangan untuk mengenakan pakaian
feminin.
- Memiliki keinginan yang kuat untuk berperan sebagai lawan jenis dan berfantasi
menjadi lawan jenis.
- Memiliki keinginan yang kuat terhadap mainan, game, atau kegiatan stereotip
yang digunakan atau terlibat dalam oleh jenis kelamin lain.
- Memiliki keinginan yang kuat untuk berteman dengan jenis kelamin lain.
- Pada anak laki-laki (jenis kelamin biologis), penolakan yang kuat terhadap
mainan maskulin, permainan, kegiatan dan penolakan terhadap permainan yang
berat; atau pada anak perempuan (jenis kelamin biologis), penolakan yang kuat
terhadap mainan perempuan, permainan, dan kegiatan perempuan.
- Sangat tidak suka terhadap anatomi seksualnya (laki- laki merasa tidak suka
melihat penisnya, dan perempuan tidak ingin buang air kecil dengan cara duduk).
- Memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki karakteristik seks primer dan / atau
sekunder yang sesuai dengan salah satu gender yang ia identifikasikan.
Kondisi ini menyebabkan distress klinis signifikan atau penurunan fungsi
sosial, sekolah, atau bidang-bidang penting lainnya yang berfungsi

b. Gender dysphoria pada remaja dan dewasa


Gender dysphoria pada remaja dan dewasa ditandai dengan adanya
ketidaksesuaian antara gender yang diidentifikasikan dengan jenis kelamin biologis,
durasi minimal 6 bulan dan mencakup setidaknya dua hal berikut:5

4
- Ditandai dengan ketidaksesuaian antara gender yang diidentifikasikan dengan
karakteristik seks primer dan atau sekunder (atau pada remaja muda, karakteristik
seks sekunder diantisipasi).
- Memiliki keinginan yang kuat untuk menyingkirkan karakteristik primer dan atau
sekunder dari jenis kelamin biologisnya.
- Memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki karakteristik seks primer dan / atau
sekunder dari jenis kelamin lainnya.
- Memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi jenis kelamin lainnya (atau
beberapa jenis kelamin alternatif berbeda dari jenis kelamin biologis).
- Memiliki keinginan yang kuat untuk diperlakukan sebagai jenis kelamin lainnya
(atau beberapa jenis kelamin alternatif yang berbeda dari satu jenis kelamin yang
ditetapkan).
- Memiliki keyakinan yang kuat bahwa seseorang memiliki perasaan yang khas
dan reaksi dari jenis kelamin yang lain (atau beberapa jenis kelamin alternatif
yang berbeda dari satu jenis kelamin yang ditetapkan).
Kondisi ini menyebabkan distress klinis signifikan atau penurunan fungsi
sosial, pekerjaan atau lainnya.

2.5 Tatalaksana

a. Anak
Pada saat ini, tidak ada bukti signifkan yang menunjukkan bahwa intervensi
psikiatrik atau psikologik pada anak dapat memengaruhi orientasi seksual mereka di
kemudian hari. Penatalaksanaan terhadap anak dengan gangguan ini harus diikuti peran
serta lingkungan (penyediaan pakaian yang sesuai jenis kelaminnya) dan nasihat
tentang peran dari anatomi seksualnya. Hormon dan psikofarmakologi tidak pernah
digunakan.6

b. Remaja
Remaja muda yang mengalami gangguan ini pada awalnya merasa bahwa dirinya
seorang homoseksual. Perasaan cemas, takut serta malu dapat menyebabkan konflik
dalam perjalanan hidupnya. Para orang tua diharapkan mengerti kondisi psikologis
anak sehingga tekanan yang dirasakan oleh anak berkurang. Pada fase ini, akan timbul
perilaku menyembunyikan perubahan-perubahan sekunder tubuh, mulai dari minum

5
obat hormonal hingga rencana menjalani operasi di kemudian hari. Terapi psikologik
untuk anak dan orang tuanya memiliki peranan penting dalam perkembangan anak baik
dalam kehidupan sehari-hari di keluarga maupun masyarakat.6

c. Dewasa
Pada orang dewasa sering ditemukan permintaan langsung untuk operasi
penggantian anatomi kelamin dan pemakaian hormonal.6

2.6 Pencegahan

a. Pencegahan primer

Pencegahan primer merupakan aktivitas yang didesain untuk pencegahan


gangguan sebelum gejala-gejala dari gangguan itu muncul. Pada gangguan identitas
gender ini, pola asuh orang tua sangat berperan besar dalam pencegahan dan terdapat
peran aktif dari kedua orang tua dalam keluarga, bagaimana orang tua baik ayah
ataupun ibu dapat menjadi panutan bagi sang anak, orang tua membelikan pakaian yang
sesuai dengan jenis kelamin anaknya, membelikan mainan yang sesuai dengan jenis
kelamin anaknya dan jangan pernah menolak jenis kelamin anak sehingga anak tidak
nyaman dengan jenis kelaminnya. Pada masa kanak-kanak kehadiran orang tua sangat
berpengaruh pada perkembangan anak.6

b. Pencegahan sekunder

Pencegahan yang dilakukan adalah bagaimana orang tua mengantisipasi secara


efektif dalam menjaga anak-anaknya dari gejala-gejala gangguan identitas gender.
Orang tua harus mendorong anak untuk mengidentifikasi dirinya dengan salah satu
jenis kelamin dengan menegaskan perilaku yang sesuai dengan jenis kelamin dan
menghukum anak ketika anak berperilaku tidak sesuai dengan gendernya. Sejak anak
kecil orang tua sudah harus memberikan pakaian dan mainan yang sesuai dengan jenis
kelamin anaknya. Dalam studi yang meneliti anak yang menderita gangguan identitas
gender, peneliti menemukan bahwa orang tua anak tersebut tidak tegas seperti orang tua
dari anak yang tidak menderita gangguan identitas seksual. Anak ini tidak pernah diberi
hukuman atau dimarahi ketika ia berperilaku feminim atau bermain mainan perempuan,
seperti main boneka dan menggunakan pakaian perempuan.6

6
c. Pencegahan tersier

Pencegahan tersier dilakukan setelah gangguan muncul, pencegahan ini lebih


melibatkan penanganan yang tepat kepada pasien dengan maksud mencegah
gangguan menjadi kronik. Salah satunya adalah dengan menggunakan terapi hormon.
Terapi hormon ini biasanya paling bermanfaat remaja sebelum karakteristik seksual
sekunder mereka telah mengembangkan. Terapi penggantian hormon untuk pria
berperan merangsang pertumbuhan kumis dan ciri fisik maskulin lain mulai dari kulit,
rambut, suara, hingga distribusi lemak. Sementara untuk transgender wanita, terapi
penggantian hormon berperan untuk memunculkan payudara dan mengalokasikan
distribusi lemak tubuh.6

2.7 Prognosis

Anak laki - laki biasanya mengalami gangguan ini sebelum usia 4 tahun dan konflik
kelompok mulai terjadi pada awal sekolah, sekitar usia 7 – 8 tahun. Perilaku feminim
biasanya berkurang saat anak laki-laki bertumbuh. Baik pada pria maupun wanita, satu
hingga dua per tiga kasus tumbuh menjadi homoseksual. Jika gangguan identitas jenis
kelamin menetap hingga dewasa, maka memiliki tendensi menjadi kronik dan disertai
beberapa periode remisi.7

2.8 Aspek Hukum

Gender dysphoria adalah penderitaan yang dirasakan oleh seseorang sebagai akibat
dari seks dan gender yang diberikan kepada mereka saat mereka lahir. Dalam kasus ini,
gender dan seks yang diberikan kepada orang tersebut tidak sesuai dengan identitas gender
mereka, dan orang tersebut adalah seorang transgender. Transgenderis istilah umum bagi
orang-orang yang identitas gender, ekspresi gender, atau perilaku tidak sesuai dengan yang
biasanya terkait dengan seks yang mereka ditugaskan saat lahir.8
Pada dasarnya, di Indonesia sendiri aturan mengenai prosedur pergantian kelamin
(transgender) memang belum diatur khusus. Peraturan Undang-undang Indonesia hanya
menetapkan dua gender saja yaitu pria dan wanita. Hal ini dapat ditafsirkan dari pencantuman
tegas tentang pria dan wanita dalam Undang-undang Perkawinan (UU No. 1/1974) dan
ketentuan serupa mengenai isi kartu penduduk yang ditetapkan dalam Undang-undang
Administrasi Kependudukan (UU No. 23/2006).8

7
Undang-undang yang ada hanya mengatur mengenai interseksual, yaitu menurut
Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 69,
adalah:9
(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku
dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tatacara bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Hingga saat ini, belum ada Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam ayat (3)
tersebut. Peraturan Pemerintah lain yang membahas mengenai operasi penggantian kelamin
adalah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.191/MENKES/SK/III/1989
tentang Penunjukan Rumah Sakit dan Tim Ahli sebagai Tempat dan Pelaksanaan Operasi
Penyesuaian Kelamin. Di Indonesia sudah ada beberapa rumah sakit yang ditunjuk sebagai
pusat penanganan kelainan genital beserta tim pelaksana operasi penggantian kelamin, yang
terdiri dari ahli bedah urologi, bedah plastik, ahli penyakit kandungan dan ginekologi,
anestesiologi, ahli endokrinologi anak dan dewasa (internis), ahli genetika, andrologi,
psikiater atau psikolog, ahli patologi, ahli hukum, pemuka agama, dan petugas sosial medis.
Tim ini bekerja untuk penderita interseksual (tidak pada penderita transeksual) yang
membutuhkan penentuan jenis kelamin, perbaikan alat genital, dan pengobatan.10
Secara hukum, kaum transgender memiliki hak yang sama dengan manusia pada
umumnya sesuai dengan Undang-undang yang mengatur hak asasi manusia, diantaranya
sebagai berikut:
 Undang-undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 Pasal 1(1)
“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

 Pasal 28 D(1)
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di muka hukum”

 Pasal 28 I(2), berbunyi:

8
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun
dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”

Seorang transgender yang hendak melakukan perkawinan, harus memperhatikan


peraturan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan:8
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”

Berdasarkan pasal tersebut, maka seorang pria dan wanita merupakan salah satu
penentu sahnya perkawinan (tidak perkawinan sejenis). Bagi kaum transgender yang telah
mengalami operasi perubahan jenis kelamin, status kewarganegaraan berubah dalam sisi jenis
kelamin. Tidak masalah dalam hal jika kaum transgender menikah selama ia menikah dengan
jenis kelamin yang berlawanan dengan jenis kelaminnya yang sah dan terdaftar (sesuai Kartu
Tanda Penduduk).8 Transgender yang melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis
seperti halnya kaum homoseksual atau lesbian, diatur dalam Undang-undang Pasal 292
KUHP dan Pasal 492 Rancangan Undang-Undang KUHP:8
 Pasal 292 KUHP, berbunyi:
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin,
yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun”

 Pasal 492 Rancangan Undang-Undang KUHP berbunyi:


“Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis
kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 tahun, dipidana dengan
pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 7 tahun.”

Dasar hukum atau tatacara seseorang dapat melakukan pergantian kelamin atau
kedudukan hukum seseorang yang telah melakukan pergantian jenis kelamin adalah sebagai
berikut:10
1. Hukum Atas Pergantian Kelamin
Pada dasarnya, di Indonesia sendiri aturan mengenai prosedur pergantian kelamin
(transgender) memang belum diatur khusus. Akan tetapi, untuk memberikan perlindungan,
pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan,
dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia dan Warga Negara Indonesia

9
yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah diterbitkan Undang-
Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir
diubah dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”). Adapun yang
dimaksud dengan peristiwa penting menurut Pasal 1 angka 17 UU Adminduk berbunyi:
“Kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati,
perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan
nama dan perubahan status kewarganegaraan.
Dari definisi peristiwa penting di atas, memang pergantian jenis kelamin ini tidak
termasuk peristiwa penting yang disebut dalam Pasal 1 angka 17 UU Adminduk. Akan tetapi,
pergantian jenis kelamin ini dikenal dalam UU Adminduk sebagai “peristiwa penting
lainnya”. Dalam Pasal 56 ayat 1 UU Adminduk diatur bahwa pencatatan peristiwa penting
lainnya dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan Penduduk yang
bersangkutan setelah adanya penetapan pengadilan negeri yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Sedangkan yang dimaksud dengan “peristiwa penting lainnya” dijelaskan
dalam Penjelasan Pasal 56 ayat 1 UU Adminduk sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan "Peristiwa Penting lainnya" adalah peristiwa yang ditetapkan oleh
pengadilan negeri untuk dicatatkan pada Instansi Pelaksana, antara lain perubahan jenis
kelamin.7

2. Konsekuensi Hukum Atas Pergantian Kelamin


Setelah seorang transgender melakukan operasi pergantian kelamin bukan berarti
masalah ketidakjelasan kelamin yang dialaminya telah selesai, masih ada konsekuensi hukum
yang harus ditanggung atas pergantian kelamin. Konsekuensi hukum yang harus ditanggung
adalah perubahan data kependudukan. Berdasarkan Pasal 77 UU No. 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan, yang berbunyi: 10
“Tidak seorangpun dapat merubah/menganti/menambah identitasnya tanpa ijin
Pengadilan”
Dengan perubahan jenis kelamin tentunya seluruh juga ada perubahan mengenai data
kependudukan. Berdasarkan ketentuan tersebut, sangat wajar apabila seorang yang telah
melakukan operasi ganti kelamin mengajukan perubahan data identitas kependudukannya
kepada pengadilan melalui sebuah Permohonan. Perubahan status hukum dari seorang yang
berjenis kelamin laki-laki menjadi seorang yang berjenis kelamin perempuan atau sebaliknya

10
sampai dengan saat ini belum ada pengaturan dalam hukum, dengan demikian dalam
masyarakat yang tidak diatur oleh hukum sehingga menimbulkan suatu kekosongan hukum.8
Berdasarkan Pasal 10(1) Undang-undang Republik Indonesia No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi:10
"Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Pasal 10(1) UU No. 48 Tahun 2009 tersebut mengamanatkan bahwa Pengadilan


melalui Hakim sebagai dari representasi Pengadilan sebagai pilar terakhir untuk menemukan
keadilan bagi masyarakat dan demi kepentingan hukum yang beralasan kuat, wajib menjawab
kebutuhan hukum masyarakat dengan menemukan hukumnya jika tidak ada pengaturan
hukum terhadap perkara yang ditanganinya, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum
yang ada, kepatutan dan kesusilaan; sehingga penetapan ganti kelamin merupakan sebuah
jawaban dan sebuah penemuan hukum, karena belum ada suatu aturan yang mengatur tentang
hal tersebut, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum.10

11
Bab III

Kesimpulan

Gender Dysphoria atau gangguan identitas gender adalah hasrat menetap untuk
menjadi atau sikap bersikeras seseorang bahwa ia berjenis kelamin sebaliknya dan rasa tidak
nyaman yang hebat dengan jenis kelamin aslinya serta peran gendernya. Normalnya, identitas
gender berdasarkan pada anatomi gender. Dalam kasus ini, gender dan seks yang diberikan
kepada orang tersebut tidak sesuai dengan identitas gender mereka, dan orang tersebut adalah
seorang transgender. Pada dasarnya, di Indonesia sendiri aturan mengenai prosedur
pergantian kelamin (transgender) memang belum diatur khusus. Peraturan Undang-undang
Indonesia hanya menetapkan dua gender saja yaitu pria dan wanita. Hal ini dapat ditafsirkan
dari pencantuman tegas tentang pria dan wanita dalam Undang-undang Perkawinan (UU No.
1/1974) dan ketentuan serupa mengenai isi kartu penduduk yang ditetapkan dalam Undang-
undang Administrasi Kependudukan (UU No. 23/2006).

12
Daftar Pustaka

1. Freud S. Three essays on the theory of sexuality. London: Hogarth Standard Edition;
2006.
2. Liben LS, Bigler RS. Developmental gender differentiation: Pathways in conforming
and nonconforming outcomes. Switzerland: Gay Lesbian Mental Health Community;
2008.
3. Benjamin JS. Synopsis of psychiatry. 10th ed. NewYork: Lippincott Williams and
Wilkins; 2007.
4. Davinson, C.G., Neal, J.M., & Kring, A.M. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: Raja
Grafindo Persada Robert G. Meyer. Case Studies in Abnormal Behavior. Bandung:
Intervarsity Bookstore
5. American Psychiatric Association. (2013). Gender Dysphoria. In Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders (Fifth Edition ed.). Washington, DC:
American Psychiatric Publishing Inc.
6. Medraś M, Joź kow P. Transsexualism - Diagnostic and therapeutic aspects. Poland:
Department of Endocrinology, Diabetology and Isotope Therapy, Medical University
of Wrocław; 2010.
7. Ettner R, Monstrey S, Coleman E. Principles of transgender medicine and surgery.
2nd Ed. New York : Taylor & Francis;2016.
8. UNDP. Hidup sebagai LGBT di Indonesia: laporan nasional Indonesia, diakses
tanggal 6 Oktober 2019,
http://www.id.undp.org/content/dam/indonesia/docs/LGBT/Indonesia%20report,%20
27%20May%2014_ID_FINAL_Bahasa.pdf.
9. SIAPIK. UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, diakses tanggal 6 Oktober
2019, http://siapik.pom.go.id/apps/files/aturan/2015/9/20150917_102334_aturan.pdf.
10. Widhiatmoko B, Suyanto E. Legalitas perubahan jenis kelamin pada ambiogus
genitalia di Indonesia, diakses tanggal 6 Oktober 2019,
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/ikfml5427baf863full.pdf.

13

Anda mungkin juga menyukai