Huyyygt

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 2

Kekerasan seksual adalah suatu hal yang biasanya terjadi tanpa memandang ras, budaya dan tingkat

ekonomi di seluruh dunia. Beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan banyak kasus yang terjadi
pada anak-anak dan masa remaja. Perempuan menjadi target yang lebih sering diserang, akan tetapi anak
laki-laki juga dilaporkan memiliki persentase kasus yang tinggi.

Dalam studi ini, mayoritas korban adalah perempuan yaitu sebanyak 173 orang (95.58%) dan laki-laki
sebanyak 5 orang (2.76%). Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Sarkar, Tamuli dan
Momonchand. Prevalensi dari begitu rendahnya kasus laki-laki bisa jadi dikarenakan rendahnya pelaporan
karena adanya stigma yang berujung pada penolakan dari warga sekitar dan lain sebagainya.

Studi kami mengungkapkan bahwa 33 (18,23%) anak berusia kurang dari 10 tahun, sementara 148
(81,76%) kasus berada dalam kisaran usia 10-18 tahun. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Sharma, diamati bahwa insiden dugaan pemerkosaan paling banyak terjadi pada gadis-gadis 15-18 tahun.
Hal ini juga serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh McCrann, yaitu usia yang paling rentan adalah
16-18 tahun, di 87 (48,06%) kasus diikuti oleh 11-15 tahun di 61 (33,70%) kasus. Temuan serupa
ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Amuli, Haider dan Sarkar yang melaporkan usia 11-20
tahun adalah usia yang sangat terpengaruh. Hal ini memperkuat ketentuan Undang-Undang POCSO,
dimana anak-anak di bawah 18 tahun tidak diperbolehkan untuk melakukan hubungan seksual meskipun
ada persetujuan. Dalam penelitian kami, ada sebagian besar korban yang diizinkan untuk berhubungan
seks tetapi usia mereka kurang dari delapan belas tahun. Ini menunjukkan kurangnya kesadaran tentang
usia legal untuk kedua jenis kelamin.

Dalam penelitian kami, tempat kejadian yang paling umum terjadi adalah di rumah terdakwa atau pelaku
yaitu sebesar 70 (38,67%) kasus, diikuti oleh rumah korban yaitu sebesar 31 (17,12%) kasus dan di
berbagai tempat lain di 80 (44,19%) kasus. Temuan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Maring
yang melaporkan rumah terdakwa atau pelaku adalah tempat yang paling umum terjadinya kekerasan
seksual pada anak yaitu sebesar 40,54% kasus dan berdasarkan penelitian yang dilakukan Haridas,
dilaporkan rumah terdakwa atau pelaku juga adalah tempat yang paling umum terjadinya kekerasan
seksual yaitu sebesar 45,39% kasus. Hal ini mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam sebagian
besar kasus, korban secara sukarela melarikan diri dengan pelaku atau terdakwa dengan alasan asmara.

Dalam penelitian ini, hubungan yang signifikan dicatat antara korban dan pelaku karena pelanggaran
terjadi dalam keadaan suka sama suka. Selain itu, penyerangan seksual dilakukan oleh orang-orang yang
memang telah dikenal korban yaitu sebesar 162 (89,50%) kasus, sementara dalam 19 (10,49%) kasus, para
penyerang adalah orang asing. Dalam penelitian kami, 48 (26,51%) penyerang adalah tetangga dan dalam
23 (12,70%) kasus yang dituduh adalah teman. Dari penelitian-penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar ancaman terhadap para korban adalah dari orang-orang yang dikenal dalam lingkaran
sosial mereka.

Dalam penelitian kami, 12 (6,62%) korban dilecehkan secara seksual oleh anggota keluarga, sementara 25
(13,81%) korban dilecehkan secara seksual oleh kerabat dekat. Penelitian kami hampir mirip dengan
penelitian yang dilakukan oleh Kumar, yang melaporkan bahwa 8,55% korban mengalami pelecehan
seksual oleh anggota keluarga. Dalam penelitian ini, waktu yang berlalu antara kejadian kekerasan seksual
dan pemeriksaan medik legal berkisar dari hari yang sama hingga lebih dari satu bulan. Jumlah maksimum
korban 50 (27,62%) diperiksa pada hari kedua serangan diikuti oleh 45 (24,86%) di hari ketiga hingga satu
minggu, 33 (18,23%) setelah satu minggu sampai satu bulan, 27 (14,91%) pada saat yang sama dan 20
(11,04%) setelah satu bulan. Keterlambatan dalam melaporkan kasus mungkin disebabkan oleh keraguan
pada pihak korban, orang tua korban dan kerabat juga merasa ragu untuk melaporkan kasus karena
berpikiran tentang suatu penghinaan. Ketakutan korban, orang tua serta kesenjangan dalam komunikasi
antara orang tua dan anak-anak tentang masalah ini menjadi alasan yang paling umum ditemukan hingga
akhirnya lambat dalam melaporkan kasus.

Dalam penelitian kami, selaput dara ditemukan robek dengan robekan baru yaitu sebesar 78 (43,09%),
robek dengan robekan lama sebesar 40 (22,09%) dan selaput dara utuh sebesar 22 (12,15%). Temuan ini
menunjukkan bahwa robekan himen baru dan lama dilaporkan pada sebagian besar kasus. Namun
robekan selaput dara bukanlah kriteria pasti telah terjadinya kekerasan seksual. Robekan selaput dara
dapat juga diakibatkan oleh beberapa hal seperti memasukkan tampon, masturbasi, atau kegiatan fisik
yang berat seperti senam atau menunggang kuda dapat menyebabkan robeknya selaput dara.

Deteksi mikroskopis spermatozoa di noda dan apusan biasanya digunakan untuk mengkonfirmasi
keberadaan semen dan dengan demikian secara ilmiah menguatkan dugaan telah terjadinya kekerasan
seksual. Dalam penelitian ini, 56 (30,93%) kasus kekerasan seksual wanita ditemukan positif pada
spermatozoa dan negatif pada 125 (69,06%) kasus. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Arif, yang
melaporkan semen pada 27,77% kasus dan negatif pada 72,22% kasus. Penyebab non-deteksi
spermatozoa dalam sebagian besar kasus adalah karena keterlambatan dalam pelaporan / pengungkapan,
penggunaan kondom, mencuci alat kelamin, mandi atau hubungan seksual dengan ejakulasi di luar vagina.

Anda mungkin juga menyukai