Anda di halaman 1dari 11

BOOK READING 1

Aprilin Krista Devi / dr. Irmadita, SpKK

Jumat, 11 Agustus 2017 / 12.00

Bab 80. AKNE VULGARIS DAN ERUPSI AKNEFORMIS (II)


Andrea L. Zaenglein , Emmy M. Graber, & Diane M. Thiboutot

TERAPI
Menyesuaikan regimen pasien akne dengan pengetahuan mengenai patogenesis akne dan
mekanisme kerja dari terapi akne yang tersedia akan memastikan respon terapi yang
maksimal. Regimen terapi harus dimulai lebih awal dan cukup agresif untuk mencegah
gejala sisa (sequelae) yang permanen. Seringkali banyak terapi digunakan secara kombinasi
untuk menghambat berbagai macam faktor dalam patogenesis akne (tabel 80-1). Mekanisme
kerja dari terapi akne umumnya dapat dikategorikan sebagai berikut berdasarkan
patofisiologinya :
1. Memperbaiki gangguan pada pola keratinisasi folikular.
2. Menurunkan aktivitas kelenjar sebasea.
3. Menurunkan populasi bakteri folikular terutama P.acnes.
4. Menggunakan efek anti inflamasi.

1
TERAPI LOKAL
Pembersihan. Pentingnya pembersihan pada terapi akne umumnya berdasarkan intuisi.
Mencuci muka dua kali sehari dengan pembersih yang lembut diikuti dengan pengolesan
terapi akne dapat dilakukan sebagai rutinitas dan diperlukan kepatuhan yang baik.
Pembersihan secara berlebihan atau menggunakan sabun alkalin kasar cenderung
meningkatkan pH kulit, mengganggu pelindung lemak kutaneus, dan menambah potensi
iritasi dari berbagai macam terapi akne secara topikal. Penggunaan syndet (detergen sintetik)
akan memungkinkan pembersihan tanpa menyebabkan gangguan pada pH normal kulit.
Sabun antibakteri yang mengandung bahan-bahan seperti triklosan, menghambat kokus gram
positif tetapi dapat meningkatkan batang gram negatif; pengaruh hal tersebut pada akne
masih belum jelas. Pembersih yang mengandung benzoil peroksida dan asam salisilat sering
digunakan sebagai sabun pencuci muka dan sangat baik untuk daerah yang sulit di jangkau
seperti punggung.

Agen Topikal. (Lihat Tabel 80-2)


Sulfur/Sodium Sulfasetamid/Resorsinol. Produk yang mengandung sulfur, sodium
sulfasetamid, dan resorsinol, merupakan salah satu terapi akne yang disukai, dapat ditemukan
dijual secara bebas dan di dalam resep. Sulfonamid diperkirakan memiliki sifat antibakteri
melalui penghambatan asam para-aminobenzoat (PABA), zat penting untuk pertumbuhan P.
acnes. Sulfur juga menghambat pembentukan asam lemak bebas dan diperkirakan memiliki
sifat keratolitik. Sulfur sering dikombinasikan dengan sodium sulfasetamide untuk
meningkatkan tolerabilitas secara kosmetiknya karena bau khas belerang. Resorsinol juga
diindikasikan untuk terapi akne karena sifat antimikroba yang dimilikinya. Resorsinol pada
umumnya digunakan dengan konsentrasi 2% secara kombinasi dengan sulfur 5%.

Asam salisilat. Asam salisilat adalah bahan preparat akne yang dijual secara bebas dengan
konsentrasi antara 0,5% hingga 2%. Asam β-hidroksi yang larut lemak ini memiliki sifat
komedolitik, lebih lemah dibandingkan dengan retinoid. Asam salisilat juga menyebabkan
pengelupasan lapisan stratum korneum melalui penurunan kohesi dari keratinosit. Reaksi
iritasi ringan dapat terjadi.

Asam Azeleat. Asam Azeleat tersedia dalam resep dengan sediaan krim 20% atau gel 15%.
Asam dikarboksilat ini memiliki sifat antimikroba dan komedolitik. Asam Azeleat juga
merupakan inhibitor kompetitif dari tirosinase dan dengan demikian mungkin mengurangi
hiperpigmentasi paska inflamasi. Umumnya ditoleransi dengan baik, meski dapat terjadi
sensasi terbakar yang sementara, dan obat ini aman digunakan pada saat hamil.

Benzoil Peroksida. Preparat benzoil peroksida merupakan obat yang paling sering
diresepkan di antara obat topikal oleh ahli dermatologi dan juga dijual secara bebas. Benzoil
peroksida memiliki sifat antimikroba yang kuat, yang bekerja dengan cara menurunkan
populasi bakteri dan hidrolisis trigliserida. Preparat benzoil peroksida tersedia dalam bentuk
krim, lotion, gel, sabun pencuci muka. Produk yang bertahan lama di kulit, seperti gel,
umumnya dianggap lebih efektif. Benzoil peroksida dapat menyebabkan kekeringan yang
signifikan dan iritasi. Dermatitis kontak alergi jarang dilaporkan. Hal yang penting adalah,
bakteri tidak mampu mengembangkan resistensi terhadap benzoil peroksida, menjadikannya
bahan ideal untuk terapi kombinasi.

Antibiotik Topikal. (Lihat Bab 218). Eritromisin dan klindamisin adalah antibiotik topikal
yang paling sering digunakan untuk pengobatan akne. Kedua antibiotik ini juga digunakan
dalam bentuk preparat kombinasi dengan benzoil peroksida. Meningkatnya jumlah resistensi

2
terhadap P. acnes dilaporkan pada pasien yang sedang diobati dengan antibiotik. Namun,
perkembangan resistensi lebih sedikit terjadi pada pasien yang diobati dengan kombinasi
benzoil peroksida / eritromisin atau klindamisin. Oleh karena itu, kombinasi kedua produk ini
lebih dipilih dibandingkan monoterapi dengan antibiotik topikal. Dapsone topikal adalah
antibiotik topikal terbaru yang disetujui untuk jerawat. Dengan pengolesan dapson topikal
dua kali sehari telah menunjukkan keberhasilan yang lebih baik dalam mengendalikan lesi
inflamasi (58%) dibandingkan dengan lesi noninflamasi (19%). Tidak seperti dapson oral,
dapsone topikal aman digunakan bahkan pada pasien dengan defisiensi G6PD. Dapson
topikal dapat ditoleransi dengan baik tetapi sebaiknya tidak dioleskan bersamaan dengan
benzoil peroksida karena dapat menyebabkan perubahan warna menjadi oranye pada kulit.

Retinoid. (Lihat Bab 217). Retinoid mempunyai kemampuan untuk mengikat dan
mengaktifkan reseptor asam retinoat (RAR) dan mengaktifkan transkripsi gen spesifik yang
mengakibatkan respon biologis. Beberapa retinoid mempunyai struktur kimia mirip dengan
tretinoin (all-trans-retinoic acid), tapi mungkin sama sekali berbeda seperti adapalene atau
tazarotene, dan masih mempotensiasi efek retinoid. Secara umum, pengikatan agen ini ke inti
RAR mempengaruhi ekspresi gen yang terlibat dalam proliferasi sel, diferensiasi,
melanogenesis, dan inflamasi. Hasilnya adalah perubahan pada akumulasi korneosit dan
kohesi, dan inflamasi. Dengan demikian, retinoid memiliki sifat komedolitik dan
antiinflamasi .
Tretinoin tersedia secara komersial dalam beberapa dosis dan formulasi. Karena
mempunyai sifat komedolitik dan antiinflamasi yang kuat, tretinoin digunakan secara luas.
Secara umum, semua retinoid bisa menyebabkan kontak iritan, dengan gel berbasis alkohol
dan cairan memiliki potensi iritasi yang paling besar. Beberapa formulasi baru menggunakan
mikrosfer (Retin A Micro® 0,04% atau gel 0,1%) atau tergabung dalam poliolprepolimer
(PP-2) (krim Avita®) untuk mengurangi potensi iritasi dari tretinoin sedangkan konsentrasi
obat lebih besar. Memberi saran kepada pasien untuk mengoleskan tretinoin pada malam hari
secara selang seling selama beberapa minggu pertama terapi dapat membantu memastikan
tolerabilitas yang lebih besar. Pasien juga harus berhati-hati terhadap paparan sinar matahari
karena terjadi penipisan stratum korneum, terutama bagi mereka yang mengalami reaksi
iritasi. Penggunaan tabir surya secara teratur harus disarankan. Sifat komedolitik dan
antiinflamasi retinoid topikal membuatnya ideal sebagai terapi pemeliharaan akne. Tretinoin
generik tidak aktif dengan penggunaan benzoil peroksida secara bersamaan dan bersifat
photolabile. Oleh karena itu, pasien harus disarankan untuk menggunakan tretinoin pada
waktu malam hari saat tidur.
Adapalene adalah retinoid sintetik yang dijual secara bebas karena tolerabilitasnya yang
sangat baik. Adapalane secara spesifik menargetkan reseptor RARγ. Adapalene bersifat
photostabil dan dapat digunakan secara kombinasi dengan benzoil peroksida tanpa
mengalami degradasi. Adapalene gel 0,1% pada percobaan klinis menunjukkan efikasi yang
seimbang atau lebih baik dibandingkan dengan tretinoin gel 0,025% dengan tolerabilitas
yang lebih baik. Adapalene tersedia pada konsentrasi 0,1% baik dalam bentuk gel nonalkohol
dan krim, serta gel 0,3%. Adapalene gel 0,3% menunjukkan efikasi yang sama dengan
tazarotene gel 0,1% dengan peningkatan tolerabilitas. Kombinasi agen topikal yang terdiri
dari adapalene 0,1% dan benzoil peroksida 2,5% juga tersedia.
Tazarotene yang juga merupakan retinoid sintetik, bekerja melalui aksi metabolitnya,
asam tazarotenik yang akan menghambat reseptor RARγ. Tazarotene merupakan agen
komedolitik yang poten dan lebih efektif dibandingkan tretinoin gel 0,025% dan tretinoin gel
mikrosfer 0,1% . Formulasi tazarotene dalam bentuk krim 0,1% dan gel disetujui sebagai
terapi akne. Sifat iritan dari tazarotene dapat diminimalkan dengan penggunaan terapi jangka
pendek. Pada regimen ini, obat dioleskan selama 5 menit kemudian dicuci dengan pembersih

3
yang lembut. Tazarotene termasuk kategori X pada kehamilan dan pasien wanita dalam
masa reproduksi harus dikonsulkan secara adekuat.
Gambaran mengenai agen topikal untuk akne ditunjukkan pada tabel 80-2.

4
TERAPI SISTEMIK
Antibiotik dan Agen Antibakteri. (Lihat Bab 230).

Tetrasiklin. Antibiotik spektrum luas banyak digunakan pada terapi akne dengan inflamasi.
Tetrasiklin merupakan antibiotik yang paling sering digunakan pada pengobatan akne.
Walaupun pemberian tetrasiklin oral tidak mempengaruhi produksi sebum, namun tetrasiklin
mengurangi konsentrasi asam lemak bebas sementara kandungan asam lemak yang
mengalami esterisasi meningkat. Penurunan pembentukan asam lemak bebas juga dilaporkan
pada penggunaan eritromisin, dimetilklortetrasiklin, klindamisin dan minosiklin. Asam lemak
bebas mungkin bukan iritan utama pada sebum, tetapi kadarnya merupakan indikasi aktivitas
metabolik dari bakteri P.acnes dan sekresi produk proinflamasi lainnya. Penurunan asam
lemak bebas memerlukan waktu beberapa minggu hingga terlihat jelas. Hal ini
menggambarkan perjalanan klinis penyakit selama terapi antibiotik, karena seringkali
diperlukan waktu beberapa minggu untuk memperoleh manfaat klinis secara maksimal.
Kemudian efeknya, adalah berupa salah satu pencegahan; lesi individu biasanya
membutuhkan waktu sehingga mengalami proses penyembuhan. Namun, fakta bahwa
penurunan asam lemak bebas yang terjadi menguatkan alasan pengunaan tetrasiklin.
Tetrasiklin juga bekerja melalui penekanan langsung terhadap jumlah P.acnes, namun
sebagian dari aksinya mungkin karena aktivitas antiinflamasi yang dimilikinya. Pada praktek
klinis, tetrasiklin biasanya diberikan dengan dosis awal 500-1000 mg / hari. Dosis yang
tinggi hingga 3.500 mg/hari digunakan pada kasus yang berat, namun diperlukan
pemantauan fungsi hati secara hati-hati. Tetrasiklin seharusnya diminum saat perut kosong,
1 jam sebelum atau 2 jam setelah makan, untuk mempermudah penyerapan; dengan
demikian, kepatuhan orang dewasa terhadap cara minum obat bisa menjadi tantangan.
Gangguan gastrointestinal (GI) adalah efek samping yang paling sering , mungkin dengan
esofagitis dan pankreatitis. Efek samping yang jarang terjadi meliputi hepatotoksisitas, reaksi
hipersensitivitas, leukositosis, purpura trombositopenik, dan pseudotumor serebri. Tetrasiklin
harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan penyakit ginjal karena dapat
meningkatkan uremia. Tetrasiklin memiliki afinitas yang cepat terhadap jaringan mineralisasi
dan disimpan pada gigi yang sedang berkembang, dimana bisa menyebabkan pewarnaan
kuning-coklat yang ireversibel; tetrasiklin juga dilaporkan menghambat pertumbuhan tulang
pada janin. Oleh karena itu, sebaiknya tidak diberikan pada ibu hamil, terutama setelah bulan
keempat kehamilan dan tidak direkomendasikan untuk digunakan pada anak di bawah usia 9
tahun pada terapi akne.
Derivat tetrasiklin, doksisiklin dan minosiklin, juga sering digunakan dalam pengobatan
Akne. Keduanya memiliki kelebihan tersendiri karena dapat dikonsumsi dengan makanan
tanpa mengganggu penyerapan. Doksisiklin diberikan dalam dosis 50-100 mg dua kali sehari.
Kekurangan utamanya adalah potensi risiko terjadinya reaksi fotosensitifitas, termasuk foto-
onikolisis, dan pasien mungkin perlu beralih ke antibiotik lain selama musim panas.
Minosiklin diberikan dalam dosis terbagi 100-200 mg / hari. Pasien yang diberi minosiklin
harus dipantau dengan hati-hati, karena obat tersebut bisa menyebabkan pigmentasi biru-
hitam, terutama di bekas akne, begitu juga dengan palatum durum, langit-langit mulut, dan
anterior tibia. Vertigo kadang-kadang terjadi. Hepatitis autoimun yang diinduksi minosiklin
dan sindroma lupus eritematosus sistemik pernah dilaporkan selama terapi minosiklin, namun
efek samping ini sangat jarang terjadi. Dari catatan, pasien yang mengalami reaksi mirip
lupus dapat dengan aman beralih ke tetrasiklin alternatif. Reaksi seperti penyakit serum dan
reaksi obat dengan eosinofilia dan gejala sistemik (DRESS) juga telah dilaporkan pada
penggunaan minosiklin.

5
Makrolid. Berhubungan dengan prevalensi strains P. acnes yang resisten terhadap
eritromisin, penggunaan eritromisin oral umumnya terbatas pada wanita hamil atau anak-
anak. Azitromisin digunakan lebih sering untuk akne, biasanya pada dosis 250-500 mg secara
oral tiga kali dalam 1 minggu. Azitromisin mengalami metabolisme di hepar dengan efek
samping yang paling sering berupa rasa tidak nyaman di gastrointestinal dan diare.

Trimetoprim-Sulfametoksazol. Kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol juga efektif pada


akne. Secara umum, karena potensi efek sampingnya lebih besar, antibiotik ini harus
digunakan hanya pada pasien dengan akne berat yang tidak berespon dengan antibiotik
lainnya. Rasa tidak nyaman di gastrointestinal dan reaksi hipersensitivitas kulit sering terjadi.
Reaksi tidak diharapkan yang serius, termasuk sindrom Stevens Johnson, spektrum nekrolisis
epidermal toksik (lihat Bab 40) dan anemia aplastik, telah dijelaskan. Jika trimetoprim-
sulfametoksazol digunakan, pasien harus dipantau tiap bulan karena potensi terjadinya
penekanan hematologis.

Sefaleksin. Sefaleksin, sefalosporin generasi pertama, secara in vitro dapat membunuh P.


acnes. Namun, karena bersifat hidrofilik dan tidak lipofilik, sefaleksin tidak dapat
berpenetrasi secara baik ke unit pilosebasea. Keberhasilan terapi dengan sefaleksin oral
kemungkinan besar disebabkan oleh sifat antiinflamasinya dibandingkan sifat antimikroba.
Karena risiko terjadinya perkembangan resistensi bakteri, terutama terhadap
Staphylococcus, para penulis enggan menggunakan sefaleksin untuk terapi akne.

Klindamisin dan Dapson. Antibiotik yang jarang digunakan termasuk klindamisin dan
dapson. Klindamisin dulu sering digunakan, tapi karena risiko terjadinya kolitis
pseudomembran, kini jarang digunakan secara sistemik untuk mengobati akne. Klindamisin
masih banyak digunakan secara topikal dan sering digunakan secara kombinasi dengan
benzoil peroksida. Dapson (lihat Bab 225), sulfon yang sering digunakan untuk gangguan
neutrofil kutaneous, mungkin bermanfaat pada akne meradang yang parah dan kasus jerawat
yang resisten. Dapson digunakan pada dosis 50-100 mg setiap hari selama 3 bulan. Kadar
G6PD harus diperiksa sebelum memulai terapi dan memantau secara rutin hemolisis dan
gangguan fungsi hati. Meski tidak efektif seperti isotretinoin, harganya relatif murah dan
dapat dipertimbangkan dalam kasus yang parah dimana isotretinoin bukan sebuah pilihan.

Antibiotik dan resistensi bakteri. Resistensi antibiotik adalah kekhawatiran yang


berkembang di seluruh dunia dan harus dicurigai pada pasien yang tidak responsif terhadap
terapi antibiotik yang tepat setelah 6 minggu pengobatan. Peningkatan resistensi
propionobacterium telah didokumentasikan ke semua makrolides dan tetrasiklin yang biasa
digunakan dalam pengobatan akne. Tingkat prevalensi 65% didokumentasikan dalam satu
penelitian yang dilakukan di Inggris. Secara keseluruhan, resistensi tertinggi pada eritromisin
dan terendah pada tetrasiklin lipofilik, doksisiklin, dan minosiklin. Resistensi paling sedikit
terjadi pada minosiklin. Untuk mencegah resistensi, penulis resep harus menghindari
pemberian antibiotik monoterapi, membatasi penggunaan antibiotik jangka panjang dan
mengkombinasikan penggunaannya dengan benzoil peroksida bila memungkinkan.

TERAPI HORMONAL UNTUK ACNE. Tujuan pemberian terapi hormonal adalah untuk
melawan efek androgen pada kelenjar sebasea. Hal ini dapat dicapai dengan antiandrogen,
atau agen yang dirancang untuk mengurangi produksi endogen dari androgen oleh kelenjar
ovarium atau adrenal, termasuk kontrasepsi oral, glukokortikoid, atau gonadotropin-releasing
hormone (GnRH) agonists.

6
Kontrasepsi Oral. Kontrasepsi oral dapat memperbaiki jerawat dengan empat mekanisme
utama. Pertama, menurunkan jumlah produksi androgen gonad dengan menekan produksi
LH. Kedua, menurunkan jumlah testosteron bebas dengan cara meningkatkan produksi
hormon seks yang terikat globulin. Ketiga, menghambat aktivitas dari aktivitas 5-α reduktase,
sehingga mencegah konversi testosteron menjadi DHT yang lebih poten. Terakhir, progestin
yang memiliki efek antiandrogenik dapat menghalangi reseptor androgen pada keratinosit dan
sebosit. Generasi ketiga progestin-gestodene (tidak tersedia di Amerika Serikat), desogestrel,
dan norgestimate, memiliki aktivitas androgenik intrinsik yang paling rendah. Dua progestin
telah menunjukkan sifat antiandrogenik : (1) cyproterone acetate (tidak tersedia di Amerika
Serikat) dan (2) drospirenon. Ada tiga kontrasepsi oral yang disetujui oleh administrasi
makanan dan obat (FDA) yang disetujui untuk pengobatan akne : (1) Ortho Tri-Cyclen, (2)
Estrostep, dan (3) Yaz. Ortho Tri-Cyclen adalah kontrasepsi oral trifasik yang terdiri dari
norgestimate (180, 215, 250 mg) kombinasi dengan etinil estradiol (35 μg). Dalam upaya
mengurangi efek samping estrogenik dari kontrasepsi oral, persiapan dengan estrogen dosis
rendah (20 μg) telah dikembangkan untuk perawatan akne. Estrostep berisi etinil estradiol
(20-35 μg) dalam kombinasi dengan norethindrone acetate (1 mg) . Yaz mengandung etinil
estradiol (20 ug) dan drospirenon antiandrogen (3 mg). Drospirenon adalah turunan 17 α-
spironolakton yang memiliki antimineralokortikoid dan sifat antiandrogenik, yang mungkin
meningkatkan penambahan berat badan dan kembung berhubungan dengan estrogen.
Kontrasepsi oral yang mengandung dosis rendah estrogen (20 μg) secara kombinasi dengan
levonorgestrel (Alesse) juga telah menunjukkan efikasi pada akne. Efek samping dari
kontrasepsi oral berupa mual, muntah, menstruasi abnormal, penambahan berat badan, dan
nyeri tekan payudara. Komplikasi yang jarang tapi lebih serius meliputi tromboflebitis,
emboli paru, dan hipertensi. Dengan penggunaan kontrasepsi oral yang mengandung estrogen
progestin dibandingkan dengan estrogen saja, efek samping seperti menstruasi yang
terlambat, menorrhagia, dan kram pramenstruasi jarang terjadi. Namun, efek samping lain
seperti mual, penambahan berat badan, bercak, nyeri tekan payudara, amenore, dan melasma
dapat terjadi.

Glukokortikoid. Karena aktivitas anti-inflamasinya, glukokortikoid sistemik dosis tinggi


mungkin bermanfaat dalam pengobatan akne. Dalam praktek, penggunaannya biasanya
terbatas pada pasien dengan akne yang berat, sering tumpang tindih dengan isotretinoin untuk
membatasi potensi terjadinya kekambuhan pada awal pengobatan. Selanjutnya, Karena
potensi efek sampingnya, obat ini biasanya digunakan dalam jangka waktu yang terbatas, dan
kekambuhan setelah perawatan sering terjadi. Penggunaan jangka panjang bisa
mengakibatkan munculnya jerawat akibat steroid. Glukokortikoid dalam dosis rendah juga
diindikasikan pada pasien wanita yang memiliki peningkatan kadar serum DHEAS terkait
dengan defisiensi 11 atau 21-hidroksilase atau pada individu lain yang menunjukkan
kelebihan androgen. Prednison dosis rendah (2,5 mg atau 5 mg) atau deksametason dapat
diberikan secara oral pada waktu tidur untuk menekan produksi androgen di adrenal.
Penggunaan glukokortikoid dan estrogen secara kombinasi telah digunakan pada akne
rekalsitran pada wanita, dengan cara menghambat produksi sebum. Mekanisme kerja
mungkin berhubungan dengan penurunan kadar androgen plasma yang besar dengan terapi
gabungan daripada yang dihasilkan oleh satu jenis obat saja.

Gonadotropin-Releasing Hormone Agonists. Agonis GnRH, seperti leuprolide (Lupron),


bekerja pada kelenjar pituitari untuk mengganggu pelepasan siklik gonadotropin. Efeknya
adalah penekanan ovarium steroidogenesis pada wanita. Agen ini digunakan pada
pengobatan hiperandrogenisme ovarium. GnRH agonis menunjukkan efikasi dalam terapi
akne dan hirsutisme pada wanita baik dengan dan tanpa gangguan endokrin. Namun,

7
penggunaannya terbatas karena efek sampingnya, yang berupa gejala menopause dan
kehilangan tulang (bone loss).

Antiandrogen. Spironolakton adalah antagonis aldosteron dan berfungsi pada akne sebagai
penghambat reseptor androgen dan inhibitor 5-α reduktase. Dengan dosis 50-100 mg dua kali
sehari, mengurangi produksi sebum dan memperbaiki akne. Efek sampingnya meliputi:
diuresis, potensi hiperkalemia, menstruasi ireguler, nyeri pada payudara, sakit kepala, dan
kelelahan. Penggunaan spironolakton dengan kontrasepsi oral bisa meringankan gejala
pendarahan pada menstruasi ireguler. Meski hiperkalemia adalah risiko spironolakton, risiko
ini terbukti minimal, bahkan saat spironolakton diberikan dengan antagonis aldosteron
lainnya (seperti drospirenon yang mengandung kontrasepsi oral). Sebagai antiandrogen, ada
risiko feminisasi janin laki-laki jika wanita hamil minum obat ini. Penelitian jangka panjang
pada tikus yang menerima spironolakton dosis tinggi menunjukkan peningkatan kejadian
adenoma pada organ endokrin dan hati. Temuan yang baru ini menyebabkan peringatan kotak
hitam oleh FDA.
Cyproterone acetate adalah antiandrogen progestasional yang menghalangi reseptor
androgen. Cyproterone acetate digabungkan dengan etinil estradiol dalam formulasi
kontrasepsi oral yang banyak digunakan di Eropa untuk perawatan akne. Cyproterone acetate
tidak tersedia di Amerika Serikat. Flutamide, penghambat reseptor androgen, digunakan
dengan dosis 250 mg dua kali sehari secara kombinasi dengan kontrasepsi oral untuk
perawatan akne atau hirsutisme pada wanita. Tes fungsi hati harus dimonitor, karena kasus
hepatitis fatal pernah dilaporkan. Kehamilan harus dihindari. Penggunaan flutamide dalam
perawatan akne terbatas karena efek sampingnya.

Isotretinoin. (Lihat Bab 228). Penggunaan oral Isotretinoin. (Lihat Bab 228). Penggunaan
oral retinoid, isotretinoin, telah mengubah manajemen akne yang resisten. Sudah disetujui
untuk digunakan pada pasien dengan akne nodular rekalsitran. Namun, biasanya digunakan di
jenis jerawat lainnya, termasuk jerawat signifikan yang tidak responsif diobati dengan
antibiotik oral dan jerawat itu mengakibatkan jaringan parut fisik atau emosional yang
signifikan. Isotretinoin juga efektif dalam pengobatan folikulitis gram negatif, pioderma
fasial, dan akne fulminan. Aspek terapi isotretinoin yang luar biasa adalah remisi lengkap di
hampir semua kasus dan panjangnya waktu remisi, yang berlangsung selama berbulan-bulan
hingga tahun di sebagian besar pasien. Namun, karena sifat teratogeniknya penggunaannya
sangat diatur di Amerika Serikat dengan dimulainya program iPledge pada bulan Maret 2006
untuk memastikan bahwa diikutinya prosedur pencegahan kehamilan.
Mekanisme kerja isotretinoin tidak sepenuhnya diketahui. Obat ini menghasilkan
penghambatan pada aktivitas kelenjar sebasea, hal ini tidak diragukan lagi dan sangat penting
dalam pembersihan awal. Pada beberapa kasus pasien, penghambatan kelenjar sebasea terus
berlanjut setidaknya satu tahun, namun pada sebagian besar pasien, produksi sebum kembali
normal setelah 2-4 bulan. Dengan demikian, cara kerja obat ini tidak bisa digunakan untuk
menjelaskan remisi jangka panjangnya. Populasi P. acnes juga menurun selama terapi
isotretinoin, tapi penurunan ini umumnya bersifat sementara. Isotretinoin tidak memiliki
efek penghambatan pada P. acnes secara in vitro. Oleh karena itu, efek pada populasi bakteri
mungkin secara tidak langsung, akibat penurunan lipid intrafolikular yang diperlukan untuk
pertumbuhan organisme. Isotretinoin juga memiliki aktivitas antiinflamasi dan mungkin
memiliki efek pada pola keratinisasi folikular. Efek ini juga sementara, dan penjelasan untuk
remisi jangka panjang masih belum jelas.
Dengan distribusi RAR, isotretinoin yang ada seringkali menimbulkan efek samping,
seperti yang terlihat pada sindrom hipervitaminosis A kronis. Secara umum, derajat
keparahan efek samping cenderung tergantung dosis. Efek samping yang paling sering

8
berhubungan dengan kulit dan selaput lendir. Cheilitis dari berbagai tingkat ditemukan di
hampir semua kasus. Efek samping lainnya yang mungkin terlihat di lebih dari 50% pasien
adalah kekeringan selaput lendir dan kulit. Dermatitis eksematosa kadang-kadang terlihat,
terutama di cuaca dingin dan kering. Penipisan rambut dan lesi paronikial granulomatosa
jarang terjadi. Temuan dibidang oftalmologis meliputi xerophthalmia, nyctalopia,
konjungtivitis, keratitis, dan neuritis optik. Kekeruhan kornea dan gangguan pendengaran
(baik sementara dan persisten) juga dilaporkan pada penggunaan isotretinoin. Pseudotumor
serebri, juga dikenal sebagai hipertensi intrakranial jinak, ditandai dengan sakit kepala yang
berat, mual, dan gangguan penglihatan. Risiko terjadinya pseudotumor serebri meningkat
dengan penggunaan tetrasiklin bersamaan dengan isotretinoin; Oleh karena itu, kedua obat
ini sebaiknya tidak digunakan secarta bersama-sama tanpa pertimbangan hati-hati
sebelumnya. Jika gejala menunjukkan hipertensi jinak intrakranial , diperlukan evaluasi
neurologis yang cepat untuk membuktikan terjadinya papil edema. Keluhan yang samar
seperti sakit kepala, kelelahan, dan letargi juga dapat terjadi.
Hubungan antara penggunaan isotretinoin dan efek pada kejiwaan saat ini sedang
dipelajari. Risiko terjadinya depresi, bunuh diri, psikosis, dan agresif dan / atau perilaku
kekerasan semuanya dicatat sebagai efek samping. Meskipun tidak ada mekanisme kerja
yang jelas, ada beberapa bukti biologis yang masuk akal. Efek samping pada kejiwaan yang
tidak diharapkan ditandai dengan adanya vitamin A dosis tinggi dan etretinate. Retinoid juga
memiliki kemampuan untuk masuk ke sistem saraf pusat (SSP) tikus dan mencit. Dan
akhirnya, ada beberapa laporan kasus dan penelitian mengenai pengunaan isotretinoin yang
dapat menyebabkan depresi pada individu tertentu. Sebuah meta-analisis dari sembilan
penelitian memperhatikan hubungan yang mungkin antara isotretinoin dan depresi ditemukan
bahwa kejadian depresi pada penderita yang menggunakan isotretinoin berkisar antara 1% -
11%. Penulis menunjukkan hal penting bahwa kisaran ini serupa dengan kelompok kontrol
pasien yang mendapat antibiotik oral. Penulis lain yang mempelajari studi case-control pada
isotretinoin dan depresi menemukan risiko relatif berkisar antara 0,9 sampai 2,7 dengan
interval kepercayaan yang luas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa isotretinoin
memiliki efek dalam meningkatkan suasana hati. Retinoid tidak mengaktifkan gen untuk
menginduksi perubahan perilaku / kejiwaan. Juga tidak ada bukti yang menunjukkan
fungsionalitas jalur sinyal retinoid di SSP yang matang. Pada studi berbasis populasi belum
mendukung kausalitas. Sebagai dermatologis sering berada di garis depan melihat pasien
dewasa yang berisiko depresi, skrining yang hati-hati pada orang dewasa sangat dibutuhkan,
karena risiko terjadinya depresi pada populasi ini adalah 10% -20% .
Gejala gastrointestinal umumnya jarang terjadi, tapi mual, esofagitis, gastritis, dan kolitis
bisa terjadi. Hepatitis akut jarang terjadi tapi pemantauan fungsi hati seharusnya dilakukan
secara teratur, karena peningkatan enzim hati terjadi pada 15% pasien, terkadang
membutuhkan dosis penyesuaian. Peningkatan kadar trigliserida serum terjadi pada sekitar
25% pasien yang menggunakan isotretinoin. Peningkatan ini, yang berhubungan dengan
dosis, biasanya terjadi dalam 4 minggu pertama pengobatan dan sering disertai dengan
peningkatan kolesterol secara keseluruhan dengan penurunan kadar lipoprotein densitas
tinggi. Efek dari gangguan yang bersifat sementara ini pada kesehatan arteri koroner masih
belum jelas. Pankreatitis akut merupakan komplikasi yang jarang terjadi yang mungkin
berhubungan atau tidak berhubungan dengan kadar trigliserida. Ada laporan kasus yang
mencatat hubungan potensial antara isotretinoin dan onset baru atau kambuhnya penyakit
inflamasi usus. Namun, sebuah penelitian yang secara kritis memeriksa laporan kasus ini
tidak menemukan hubungan sebab akibat antara penggunaan isotretinoin dan penyakit
radang usus. Pada studi terbaru case-control berdasarkan populasi ditemukan bahwa pasien
dengan penyakit radang usus tidak lebih mungkin telah menggunakan isotretinoin daripada
mereka yang tidak mengalami penyakit radang usus. Pasien dengan riwayat keluarga

9
penyakit radang usus, atau yang sudah menderita penyakit radang usus sebelumnya, harus
dinasehati tentang kemungkinan penyakit radang usus yang diinduksi oleh isotretinoin.
Isotretinoin memiliki efek yang baik pada mineralisasi tulang. Satu paket terapi
isotretinoin tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap kepadatan tulang. Namun,
paket terapi kronis atau yang diulang bisa mengakibatkan osteopenia yang signifikan.
Osteoporosis, fraktur tulang, dan proses penyembuhan fraktur tulang yang terlambat pernah
dilaporkan. Hiperostosis signifikan yang dilaporkan masih belum jelas, namun perkembangan
hiperostosis tulang setelah terapi isotretinoin lebih mungkin pada pasien yang menerima obat
dalam jangka waktu yang lebih lama dan dengan dosis yang lebih besar, misalnya pada
gangguan keratinisasi. Densitometri serial pada tulang seharusnya dilakukan pada setiap
pasien yang menggunakan isotretinoin dalam jangka panjang. Mialgia adalah keluhan
muskuloskeletal yang paling sering, terjadi pada 15% pasien. Pada kasus yang berat, kadar
kreatin fosfokinase harus dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya rhabdomiolisis.
Kelainan laboratorium lain yang pernah dilaporkan pada penggunaan isotretinoin adalah
peningkatan kadar sedimentasi eritrosit dan jumlah trombosit. Gangguan pada parameter sel
darah merah dengan penurunan hitung jumlah sel darah putih bisa terjadi. Sel darah putih
dalam urin sangat jarang dikaitkan dengan penggunaan isotretinoin. Sebagian besar
perubahan laboratorium yang terjadi bersifat ringan dan sembuh secara spontan saat terapi
dihentikan. Hal yang sangat perlu diperhatikan selama terapi isotretinoin adalah risiko obat
yang diberikan selama kehamilan dan hal ini menginduksi efek teratogenik pada Fetus. Obat
ini tidak bersifat mutagenik; efeknya adalah pada proses organogenesis. Karena itu, produksi
embriopati retinoik terjadi sangat dini pada kehamilan, dengan puncaknya saat minggu
ketiga kehamilan. Jumlah signifikan terjadinya kelainan pada janin telah dilaporkan setelah
penggunaan isotretinoin. Karena alasan ini, seharusnya ditekankan bahwa isotretinoin harus
diberikan hanya untuk pasien yang tidak merespon terhadap terapi lainnya. Selanjutnya
wanita dalam usia reproduktif harus diberitahu sepenuhnya tentang risiko kehamilan. Pasien
harus menggunakan dua teknik kontrasepsi yang sangat efektif seperti penggunaan
kontrasepsi oral dan kondom dengan jeli spermisidal. Kontrasepsi harus dimulai minimal 1
bulan sebelum terapi isotretinoin. Pasien wanita harus diberi konseling yang baik dan
mengerti tentang teknik kontrasepsi sebelum memulai terapi isotretinoin. Dua jenis
kontrasepsi harus digunakan selama terapi dengan isotretinoin dan selama 1 bulan setelah
terapi selesai. Pemberian isotretinoin hanya diberikan selama 1 bulan kepada pasien wanita
sehingga ia dapat konseling tiap bulan karena adanya bahaya yang terjadi pada kehamilan
selama terapi isotretinoin. Tes kehamilan harus diulang setiap bulan. Abstinensia sebagai
bentuk pengendalian kelahiran hanya boleh diijinkan secara khusus. Isotretinoin tidak bersifat
mutagenik. Meski kelihatannya jelas, memang begitu penting untuk mengingatkan pria yang
mengonsumsi isotretinoin untuk tidak memberikan obat mereka kepada teman perempuan
dalam keadaan apapun.
Dosis isotretinoin harian yang direkomendasikan berada pada kisaran 0,5-1 mg / kg / hari.
Dosis berdasarkan berat badan kumulatif dapat digunakan dengan dosis isotretinoin total
120-150 mg / kg selama satu paket terapi. Regimen dosis ini digunakan khusus pada pasien
yang memiliki dosis bervariasi atau periode perlakuan terputus terapi dimana pencapaian
dosis total akan memastikan kesempatan terbaik terjadinya remisi jangka panjang. Karena
lesi punggung dan dada menunjukkan respon yang sedikit dibandingkan lesi di wajah, dosis
sebesar 2 mg / kg / hari mungkin diperlukan pada pasien yang memiliki keterlibatan pada
batang tubuh yang sangat berat. Pasien dengan akne berat, terutama dengan lesi
granulomatosa, akan sering terjadi kekambuhan pada penyakit mereka saat terapi isotretinoin
dimulai. Karena itu, dosis awal harus rendah, bahkan di bawah 0,5 mg / kg / hari. Pasien ini
sering membutuhkan pretreatment selama 1-2 minggu dengan prednison (40-60 mg / hari),
yang harus dilanjutkan selama 2 minggu pertama terapi. Biasanya terapi isotretinoin

10
diberikan selama 20 minggu, tetapi lamanya pengobatan tidak mutlak; pada pasien yang
belum menunjukkan respon yang adekuat , terapi bisa diperpanjang. Tambahan perbaikan
dapat terlihat 1-2 bulan setelah penghentian terapi, sehingga tidak ada batas akhir yang
diperlukan untuk menentukan kapan harus menghentikan terapi. Regimen dosis rendah, 0,1-
0,4 mg / kg / hari, sudah menunjukkan efikasi. Namun, dengan dosis seperti itu, kejadian
kambuh setelah terapi lebih besar. Sekitar 10% pasien yang diobati dengan isotretinoin
memerlukan terapi yang kedua. Kecenderungan terjadinya pengulangan terapi meningkat
pada pasien yang berusia kurang dari 16-17 tahun.
Selanjutnya, diperlukan pemantauan laboratorium. Adalah tepat untuk melakukan
pemeriksaan darah lengkap dan tes fungsi hati, tapi hal yang paling penting adalah mengikuti
kadar trigliserida serum. Nilai dasar untuk serum trigliserida harus diperoleh dan diulang
pada minggu 3-4 dan minggu 6-8 terapi. Jika nilainya normal pada minggu 6-8, tidak perlu
mengulang tes selama waktu terapi yang tersisa kecuali ada faktor risiko. Jika serum
trigliserida meningkat di atas 500 mg / dL, kadarnya harus sering dipantau. Kadar di atas 700
sampai 800 mg / dL adalah alasan untuk menghentikan terapi atau mengobati pasien dengan
obat penurun lipid. Eruptive Exanthemas atau pankreatitis dapat terjadi pada kadar
trigliserida serum yang lebih tinggi.

11

Anda mungkin juga menyukai