Anda di halaman 1dari 21

TUGAS PATOLOGI SOSIAL

CHAPTER 11 – PROBLEMS OF EDUCATION


Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Patologi Sosial

Disusun oleh:

Ma’muliah Annida Nurul ‘Ilmi (10050014004)


Azmi Sholihatun Kurniawan (10050014036)
Talitha Marini Iskandar (10050014041)

Kelas: A
Dosen : Stephani Raihana Hamdan, M.Psi.

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2017
I. FENOMENA
Tulisan di bawah ini merupakan hasil refleksi dari lapangan setelah bertemu
dengan banyak guru dalam rangka sosialisasi Kurikulum 2013. Sosialisasi itu sendiri
bukan dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melainkan oleh
yayasan sekolah swasta atau kampus perguruan tinggi. Mereka penasaran ingin
mengetahui grand design (desain induk) Kurikulum 2013, yang selama ini diwacanakan
melalui media massa saja. Ternyata para guru, kepala sekolah, pengurus yayasan, dosen,
maupun mahasiswa banyak yang belum mengetahui desain induk Kurikulum 2013. Ini
artinya masalah sosialisasi itu sendiri minim.

Perubahan kurikulum, di mana pun, sebetulnya hampir sama, selalu


membutuhkan penyesuaian pola pikir para pemangku kepentingan (stake holder).
Demikian pula yang terjadi pada Kurikulum 2013 ini, ia hanya mungkin sukses bila ada
perubahan paradigma atau lebih tepatnya mindset para guru dalam proses pembelajaran.
Hal itu mengingat substansi perubahan dari Kurikulum 2006 (KTSP) ke Kurikulum 2013
ini adalah perubahan proses pembelajaran, dari pola pembelajaran ala bank, yaitu guru
menulis di papan tulis dan murid mencatat di buku serta guru menerangkan--sedangkan
murid mendengarkan--menjadi proses pembelajaran yang lebih mengedepankan murid
untuk melakukan pengamatan, bertanya, mengeksplorasi, mencoba, dan
mengekspresikannya. Proses pembelajaran yang mendorong siswa untuk aktif tersebut
hanya mungkin terwujud bila mindset guru telah berubah. Mereka tidak lagi memiliki
mindset bahwa mengajar harus di dalam kelas dan menghadap ke papan tulis. Mengajar
bisa dilakukan di perpustakaan, kebun, tanah lapang, atau juga di sungai. Media
pembelajaran pun tidak harus buku, alat peraga, atau komputer. Tanam-tanaman dan
pohon di kebun, sungai, dan sejenisnya juga dapat menjadi media pembelajaran.

Mengubah mindset guru seperti itu tidak mudah, karena sudah berpuluh tahun
guru mengajar dengan model ala bank. Tidak mudah bila tiba-tiba guru harus berubah
menjadi seorang fasilitator dan motivator. Mengubah mindset guru itulah pekerjaan
rumah tersendiri bagi Kemendikbud dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013.
Kegagalan mengubah mindset guru akan menjadi sumber kegagalan implementasi
Kurikulum 2013. Persoalannya adalah perubahan mindset guru tidak bisa dilakukan
dalam waktu singkat, melainkan butuh waktu bertahun-tahun, padahal Kurikulum 2013
itu harus dilaksanakan dalam waktu secepatnya. Komprominya adalah persoalan teknis
dilatihkan dalam waktu satu minggu, tapi perubahan mindset harus dilakukan terus-
menerus dengan cara mendorong guru untuk terus belajar.
Problem di lapangan

Implementasi Kurikulum 2013 akan menemui sejumlah masalah di lapangan.


Selain persoalan paradigmatik, seperti mengubah mindset guru tersebut, ada problem
teknis yang berkaitan dengan perubahan struktur kurikulum yang menyebabkan adanya
pelajaran yang hilang maupun bertambahnya jam. Semuanya itu berimplikasi pada nasib
guru.

Pertama, penghapusan mata pelajaran TIK (teknologi informasi dan komputer) di


SMP berimplikasi besar terhadap eksistensi para pengampu bidang TIK yang latar
belakang pendidikannya TIK. Mereka akan disalurkan ke mana? Pengajar TIK dengan
latar belakang IPA, matematika, atau lainnya dapat dengan mudah disalurkan ke mata
pelajaran lain sesuai dengan kompetensinya. Tapi tidak mudah bagi pengajar bidang TIK
yang sudah tersertifikasi. Mungkin mereka dapat disalurkan untuk mengajar prakarya
yang berbasiskan teknologi. Tapi masalahnya adalah apakah regulasi yang menyangkut
sertifikasi mendukung kebijakan tersebut. Bila tidak, guru pula yang akan menjadi
korban. Perebutan jam mengajar tetap akan terjadi untuk tetap dapat mempertahankan
sertifikasi.

Kedua, penjurusan/peminatan di SMA yang dimulai begitu murid masuk di kelas


I menimbulkan persoalan manajerial baru ihwal persyaratan pemilihan jurusan/minat.
Terutama bila para murid baru memilih jurusan/peminatan di kelompok tertentu,
misalnya kelompok matematika dan IPA saja. Para kepala sekolah/guru di SMA harus
cermat sekali dalam menampung minat para calon murid agar tidak sering terjadi
perpindahan jurusan/minat. Hal itu mengingat murid boleh pindah minat. Tapi seringnya
pindah minat murid akan menyulitkan pengelolaan sekolah.

Masalah pilihan jurusan/minat itu sebaiknya disosialisasi di kelas III SMP agar,
ketika lulus SMP, murid sudah memiliki gambaran mengenai jurusan/minat yang akan
diambil saat masuk SMA. Penulis menggunakan istilah “penjurusan” di sini, karena
ternyata apa yang disebut peminatan itu sama dengan penjurusan, hanya ditambah dengan
boleh mengambil bidang studi disiplin lain. Misalnya, kelompok matematika dan IPA
boleh mengambil antropologi. Atau, kelompok IPS boleh mengambil biologi. Tapi setiap
murid wajib mengambil semua mata pelajaran di kelompok peminatan. Ketika
perdebatan awal gagasan peminatan ini muncul, tidaklah demikian. Pada waktu itu,
diharapkan murid betul-betul mengambil materi yang diminati dan sesuai dengan
orientasi belajarnya di perguruan tinggi nantinya.

Ketiga, soal penambahan jam pelajaran di semua jenjang pendidikan juga


inkonsisten antara latar belakang penambahan dan penerjemahannya dalam struktur
kurikulum. Latar belakangnya adalah karena adanya perubahan pendekatan proses
pembelajaran, tapi dalam struktur kurikulum terjadi penambahan jumlah jam mata
pelajaran. Sebagai contoh, pendidikan agama di SD kelas I-III dari dua menjadi empat
jam seminggu, yang diikuti dengan perumusan kompetensi dasar (KD) yang seimbang
dengan jumlah jamnya, sehingga yang terjadi tetap mengejar materi, bukan proses
pembelajarannya yang dibenahi. Semestinya yang diubah adalah lamanya tatap muka
untuk setiap mata pelajaran, misalnya tatap muka di SD kelas I-III saat ini per jam mata
pelajaran itu selama 35 menit, bisa ditambah menjadi 45 menit. Di SMP-SMTA, dari 45
menit per jam pelajaran dapat ditambah menjadi 60 menit per jam pelajaran, sehingga
proses pembelajarannya lebih leluasa.

Problem lain yang dimunculkan dari penambahan jam pelajaran per minggu itu
adalah makin menghilangkan otonomi sekolah, karena waktu yang tersedia untuk
mengembangkan kurikulum sendiri makin sempit. Bagi sekolah-sekolah swasta,
kurikulum baru jelas menimbulkan beban baru bagi yayasan, karena harus memfasilitasi
peningkatan kualitas guru lewat pelatihan, pengadaan perpustakaan yang lengkap, dan
pendidikan tambahan agar guru dapat mengimplementasikan kurikulum baru tersebut
secara baik, dengan biaya ditanggung sendiri oleh pihak yayasan, yang ujungnya dipikul
oleh para orang tua murid.

II. RANGKUMAN PROBLEMS OF EDUCATION

PERSPEKTIF SOSIOLOGIS DALAM PENDIDIKAN

Di negara demokratis, pendidikan merupakan kebutuhan sosial dan memiliki banyak


masalah di dalamnya. Sekolah di harapkan dapat mempersiapkan generasi baru yang layak untuk
bekerja, diharapkan juga dapat membuat anak muda yang akan menjadi tenaga kerja sesuai
dengan keterampilan yang dibutuhkan seperti komputerisasi, menulis, dsb. Pendidikan yang
lebih tinggi di kuliah dan institusi pelatihan profesional diharapkan menciptakan anak muda yang
dapat menjadi ilmuwan, tenaga profesional, dan pemimpin bisnis, dan lain-lain.
Sekolah dan institusi yang lebih tinggi diharapkan dapat memecahkan masalah dalam hal
ketidakseimbangan. Mereka tidak diharapkan untuk membuat semua orang seimbang, semua
masyarakat dilahirkan dengan berbeda ketertarikan dan kemampuannya masing2, tapi mereka
diharapkan memberikan kesempatan yang sama untuk belajar dan mengasah kemampuan yang
masyarakat butuhkan. Selain tuntutan itu, sekolah juga diharapkan untuk dapat menyelesaikan
perihal masalah sosial seperti rasis, sexism, dan kekerasan.
Pandangan fungsionalis, pendidikan seharusnya merupakan satu dari beberapa bagian yang
saling bergantungan yang bekerja sama menciptakan masyarakat yang berguna dengan nilai
dasar dan kepercayaan yang sama. Pandangan konflik berpendapat bahwa sekolah menciptakan
sistem masyarakat yang tidak seimbang dan terbentuk stratifikasi kelas pada generasi baru anak2
( McLeod , 1995; Moore , 2004). Mereka fokus pada aspek koersif (pemaksaan) pendidikan;
mereka melihat masyarakat terbagi menjadi kelompok2 yg dominan dan yg minoritas,
pendidikan digunakan sebagai alat untuk mempromosikan kepentingan kelompok dominan,
sementara yg minoritas harus menerima situasi yang mereka dapat. Pandangan interaksionis,
menggambarkan sebagai bagaimana siswa memiliki ekspektasi mengenai prestasinya dan
bagaimana harapan itu dapat menghasilkan label yang membentuk masa depan siswa.

PENDEKATAN FUNGSIONALIS

Dari perspektif fungsionalis, masalah dalam sistem pendidikan adalah gejala disorganisasi
sosial. Sistem pendidikan diarahkan untuk siswa yang kehidupan keluarganya
stabil/sempurna/lengkap dan bermasyarakat. Hal ini tidak cocok untuk mengendalikan masalah
siswa yang dikeluarganya tidak teratur, seperti perceraian dan konflik budaya. Beberapa siswa
biasanya depresi dan marah, sulit konsentrasi pada tugas sekolah, dan sulit untuk diterima di
sekolah (Ballantine, 1993). Berdasarkan teori disorganisasi sosial, siswa seperti ini biasanya jadi
ikut ke kelompok yang menyimpang seperti gang, yang memperkuat sikap negatif mereka
terhadap sekolah. Dalam pandangan ini, sekolah adalah agen kontrol sosial yang tugasnya adalah
untuk memperkuat nilai-nilai masyarakat dan mengontrol penyimpangan melalui disiplin.
Pendidikan seharusnya merupakan satu dari beberapa bagian yang saling bergantungan yang
bekerja sama menciptakan masyarakat yang berguna dengan nilai dasar dan kepercayaan yang
sama. Selain itu pandangan fungsionalis berpendapat bahwa sistem pendidikan diarahkan bagi
siswa agar mendapatkan kehidupan stabil, sempurna, dan lengkap di keluarga dan
bermasyarakat.

PENDEKATAN KONFLIK

Menurut pandangan konflik, akar dari masalah pendidikan itu adalah tujuan dari
pendidikannya itu sendiri. Mempermasalahkan haruskah sekolah mengajarkan kurikulum umum
dalam satu bahasa atau sebaliknya, membantu melestarikan budaya siswa minoritas melalui
pendidikan bilingual contohnya.

Konflik teori punya dua macam, Marxian dan non-Marxian, Marxian bertujuan untuk
mengurangi stratifikasi sosial dan meningkatkan kesetaraan, berpendapat bahwa sekolah
mencerminkan nilai2 grup dalam masyarakat yang puas atau kurang mendukung kesetaraan.
Non-marxian mengacu sebagai nilai pendekatan konflik, fokus pada konflik antar kelompok
yang memiliki keinginan untuk mempertahankan atau membela status kelompoknya dalam suatu
komunitas tertentu.

PENDEKATAN INTERAKSIONIS

Siswa yang memiliki label sekolah “achievers,” “underachievers,” atau “nakal,” ini akan
“nempel” sepanjang hidup mereka (Johnson et al., 2005). Berdasarkan teori labelling, guru
membentuk ekspektasi pada awal tahun sekolah, berbagai cara harapan itu dikomunikasikan
pada siswanya. Maka siswa-siswa cederung melakukan cara-cara untuk memenuhi harapan
gurunya.Menurut pandangan fungsionalis, sekolah adalah agen kontrol sosial yang tugasnya
adalah untuk memperkuat nilai-nilai masyarakat dan mengontrol penyimpangan melalui disiplin.

Perspektif Pendekatan Edukasi sebagai Rekomendasi


Penelitian masalah sosial
Fungsionalis Disorganisasi sosial Sekolah tidak dapat Membutuhkan
membantu siswa sekolah yang bekerja
yang memiliki latar mirip seperti
belakang orangtua atau
disorganisasi atau IQ walinya, dalam
nya rendah beberapa kasus mesti
mengambil peran
mereka
Perilaku Masalah berasal dari Disiplin yang lebih
menyimpang penyimpangan oleh ketat ; perbaikan
beberapa kelompok pendidikan untuk
non-achieving, razia
di sekolah
Institusional Kesulitan dalam Memungkinkan
membentuk institusi orangtua untuk
pendidikan untuk memilih sekolah
memenuhi tuntutan yang terbaik
prestasi yang lebih
baik
Konflik Konflik kelas Mereka yang kaya Penyaluran sumber
dan memiliki daya yang memadai
kekuasaan menjamin ke sekolah untuk
anaknya meningkatkan
mendapatkan kualitas
pendidikan yang pendidikan bagi
berkualitas, masyarakat miskin
sebaliknya orang dan
yang miskin dan mendidik yang
tidak punya apa2 kurang beruntung
akan mendapatkan
pendidikan yang
rendah
Konflik nilai Masalah berasal dari Memungkinkan
ketegangan antara kelompok yang
kelompok yang berbeda untuk
berbeda dalam tujuan mencapai tujuan
pendidikan pendidikan juga
mencapai kompetensi
dasarnya
Interaksionis Labelling Label sekolah Penghapusan praktek
“achievers,” labelling seperti
“underachievers,” mencari kemampuan
atau “nakal” siswa

PENCAPAIAN PENDIDIKAN DAN PRESTASI

Usaha yang panjang untuk dapat mengurangi jumlah siswa yang putus sekolah tinggi dan
meningkatkan proporsi yang menyelesaikan 4 tahun kuliah. Untuk anggota kelompok minoritas,
ini terus menjadi keutamaan dalam menekan masalah pendidikan. Kesenjangan dalam
pencapaian pendidikan (jumlah tahun sekolah selesai) antara kulit hitam dan kulit putih telah
menyempit jauh sejak pergantian abad, terutama sebagai akibat dari peningkatan jumlah
minimum pendidikan yang diterima oleh hampir semua orang Amerika.

Ditingkat perguruan tinggi, pencapaian pendidikan untuk orang yang berpenghasilann


rendah terhalang oleh kurangnya bantuan keuangan yang diberikan pemerintah. Kesenjangan
dalam pencapaian pendidikan antara kulit putih dan siswa minoritas yang menjadi keprihatinan
bagi mereka yang percaya dasar kesetaraan pencapaian pendidikan sebagai kesetaraan sosial.
Bagi mereka, mendorong siswa untuk menyelesaikan sekolah tinggi.

Dalam semua kontroversi tentang pendidikan umu, ada kesepakatan diantara para ahli. Dari
sudut pandang ilmiah sosial, apakah sekolah benar-benar gagal untuk menghasilkan siswa
terdidik terletak pada sulitnya melakukan penelitian komparatif. Studi banding harus ada variabel
sosial konstan seperti bahasa dan kelas sosial. Namun, satu studi baru berhasil mengelola tes
standar dalam bahasa yang berbeda-beda dan dalam mengendalikan kelas sosial.

PENDIDIKAN DAN KESETARAAN: PERMASALAHAN DALAM MENDAPATKAN


AKSES YANG SAMA

Masyarakat egaliter (masyarakat yang mementingkan kesetaraan) memiliki tanggung


jawab untuk menyediakan akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas tinggi untuk semua
warganya. Para kritikus menganggap bahwa masyarakat AS telah gagal memenuhi tanggung
jawab ini, terutama untuk kelompok minoritas. Kritik ini telah menjadi sangat tajam dengan
komposisi populasi siswa telah berubah. Sejak tahun 1960, peningkatan jumlah orang kulit
hitam, Hispanik, dan kelompok minoritas lainnya telah menjadi terkonsentrasi di kota-kota pusat,
sementara jumlah orang kulit putih telah pindah ke pinggiran kota. Sebagai hasilnya, ebih dari 90
persen siswa di sekolah-sekolah umum yang hitam atau Hispanik bersekolah di pusat kota. Dan
karena sekolah pusat-kota sering memiliki sumber daya yang lebih sedikit daripada sekolah
pinggiran kota, kualitas pendidikan tersedia untuk penduduk pusat-kota hitam dan Hispanik
cenderung lebih rendah daripada yang tersedia untuk penduduk kulit putih di pinggiran kota.

Siswa Kulit Hitam

Di Utara, kesempatan pendidikan untuk orang kulit hitam dan kulit putih cenderung lebih
setara, namun kesenjangan antara sekolah di komunitas kulit hitam miskin dan orang-orang kulit
putih di pinggiran kota yang makmur cenderung mempertahankan perbedaan pencapaian dalam
hal pendidikanSalah satu faktor penting adalah persaingan antara anak-anak kulit hitam dan
anak-anak imigran Eropa, yang cenderung berasal dari keluarga yang berpendidikan lebih baik
menikmati keuntungan yang lebih daripada anak-anak kulit hitam yang orangtuanya bermigrasi
dari selatan. Faktor lain adalah tingkat pengangguran pada orang kulit hitam yang lebih tinggi.
Status pekerjaan orang tua memiliki banyak hubungannya dengan pencapaian pendidikan anak-
anak mereka karena anak-anak dari orang tua berpenghasilan rendah lebih mungkin untuk putus
sekolah (Slavin, 1997). Faktor ketiga adalah segregasi. Segregasi cenderung meningkatkan
kesenjangan antara kelompok-kelompok, bukan hanya karena sekolah minoritas, yang biasanya
terletak di pusat-pusat kota, memiliki lebih sedikit guru yang berkualitas dan sumber daya
lainnya, tetapi juga karena siswa di sekolah-sekolah tidak belajar nilai-nilai, kebiasaan kerja, dan
keterampilan mereka perlu bersaing secara efektif dalam masyarakat yang lebih besar.

Siswa Hispanik

Kelompok minoritas lain yang menghadapi kesulitan untuk mendapatkan akses yang
sama terhadap pendidikan adalah orang Amerika Hispanik. Kelompok besar ini (yang
menyumbang lebih dari 10 persen populasi A.S. dan tumbuh jauh lebih cepat daripada populasi
secara keseluruhan) sangat terkonsentrasi di wilayah metropolitan. Pencapaian pendidikan siswa
Hispanik lebih rendah daripada rata-rata untuk semua siswa. Faktor penting dalam perbedaan ini
adalah bahwa siswa Hispanik yang baru saja tiba di Amerika Serikat sama sekali tidak bisa
berbahasa Inggris atau tidak cukup banyak untuk bisa berhasil di sekolah. Faktor yang sangat
penting adalah bahwa siswa Hispanik, seperti orang kulit hitam, telah mengalami efek segelintir
de facto dan sekolah yang buruk, sebuah masalah yang sangat akut di wilayah metropolitan besar
(Carriuolo, Rodgers, & Stout, 2002; Atau lapangan, 2004/2005). Sejak akhir 1960-an, tujuan
utama pendidikan bagi siswa Hispanik adalah untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam
menggunakan bahasa Inggris tanpa membiarkan mereka tertinggal dalam pelajaran lain. Salah
satu teknik untuk mencapai ini adalah pendidikan dua bahasa / bicultural, di mana siswa
diajarkan seluruhnya atau sebagian dalam bahasa ibu mereka sampai mereka dapat berfungsi
secara memadai dalam bahasa Inggris, dan dalam beberapa kasus lebih lama.

Pendidikan Bilingual / Bicultural.

Keinginan untuk mengajar murid-murid yang tidak berbbahasa inggris dalam bahasa lain
selain bahasa Inggris adalah topik perdebatan sengit, terutama di California dan negara-negara
lain dengan populasi Hispanik yang besar (Colvin, 1996). Di satu sisi adalah mereka yang
percaya bahwa melestarikan bahasa dan budaya kelompok minoritas adalah tujuan pendidikan
masyarakat yang bermanfaat, bahkan perlu. Di sisi lain, mereka yang percaya bahwa siswa
minoritas harus "tenggelam" dalam pengajaran bahasa Inggris jika mereka harus siap untuk
bersaing secara efektif dalam masyarakat Amerika. Orangtua dan guru yang percaya bahwa
pendidikan bilingual sangat membantu menjaga agar anak-anak mereka tidak ketinggalan dalam
bidang substantif seperti matematika dan sains menghadapi tekanan kuat dari pendukung
gerakan Inggris yang sedang berkembang. Penentang pendidikan bilingual ini ingin
menghilangkan penggunaan bahasa lain di pemerintahan, sekolah (selain kelas bahasa asing yang
spesifik), dan institusi publik lainnya. Penelitian cermat baru-baru ini mengenai bagaimana siswa
dengan kemampuan bahasa Inggris yang terbatas dapat belajar bahasa Inggris dengan baik
sambil mengikuti studi mereka yang lain menunjukkan bahwa program bilingual di kelas awal,
dan pengajaran dalam bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di kelas dasar dan menengah,
menghasilkan Tingkat pencapaian tertinggi oleh siswa non-berbahasa Inggris (Genesee et al.,
2005).

Siswa Asia

Siswa dari China, Korea, India Timur, dan latar belakang Asia lainnya menghadapi
masalah yang sama sekali berbeda di sekolah A.S. Karena prestasi mereka yang lebih tinggi pada
ukuran kinerja sekolah yang paling banyak, siswa Asia dan orang tua mereka bangga dengan
pencapaian skolastik mereka namun sering merasa diperlakukan sebagai "model minoritas" yang
diharapkan berprestasi tinggi dan berperilaku sangat baik di sekolah. (Abboud & Kim, 2005; Yu,
2006). Orang Asia Amerika membentuk 4 persen populasi A.S. namun mewakili 20 persen siswa
yang saat ini mengikuti sekolah elite Ivy League A.S. Tetapi bagi siswa Asia yang tidak
mengungguli rekan mereka atau tidak bersikap sesuai dengan stereotip budaya, harapan yang
sangat tinggi dari keluarga mereka dan masyarakat yang lebih besar dapat menimbulkan masalah
parah.
Program Prasekolah

Sementara kontroversi ideologis telah beredar seputar pendidikan di sekolah dasar dan
menengah, kebijakan yang lebih pragmatis telah dikembangkan dan diuji di tingkat prasekolah.
Head Start dan program pendidikan awal lainnya semakin penting, terutama karena bukti
efektivitas mereka dalam menangani kebutuhan anak-anak dari keluarga berpendapatan rendah
telah terakumulasi. Evaluasi secara konsisten menunjukkan bahwa anak-anak dalam program
semacam itu menghasilkan keuntungan yang berlanjut selama tahun-tahun sekolah kemudian dan
seterusnya. Sayangnya, saat ini hanya satu dari lima anak usia prasekolah di keluarga yang
berada di bawah garis kemiskinan menghadiri program prasekolah berkualitas tinggi. Pendidikan
awal adalah elemen kunci dalam mencegah kekurangan pendidikan, tidak hanya di kalangan
anak-anak dari latar belakang yang kurang beruntung, namun juga untuk semua anak.

Desegregasi

Upaya untuk meringankan beberapa masalah yang dibahas dalam bagian ini berpusat
pada integrasi rasial, atau, lebih tepatnya, desegregasi. Sebagian besar tekanan untuk perubahan
di daerah ini berasal dari keputusan pengadilan dan mandat hukum. Desegregasi secara efektif
dimulai dengan keputusan Mahkamah Agung 1954 di Brown v. Board of Education of Topeka,
Kansas, yang sebagian didasarkan pada argumen bahwa segregasi memiliki dampak negatif pada
siswa kulit hitam bahkan ketika fasilitas sekolah mereka setara dengan siswa kulit putih. Murid-
murid kulit hitam di sekolah-sekolah terpisah tahu bahwa sekolah mereka lebih rendah dan
cenderung percaya bahwa mereka sendiri juga inferior. Untuk menghindari terbentuknya konsep
diri negatif semacam itu, Mahkamah Agung memutuskan bahwa anak-anak kulit hitam harus
berasosiasi dengan anak-anak kulit putih sedini mungkin dan harus diajar oleh guru kulit putih
dan kulit hitam.

REFORMASI SEKOLAH: PERMASALAHAN PERUBAHAN INSTITUSI

Hambatan utama terhadap perubahan signifikan dalam sistem pendidikan adalah bahwa
institusi pendidikan memiliki kecenderungan untuk menolak perubahan. Dalam beberapa aspek,
hal ini memiliki keuntungan tersendiri : Sekolah cenderung menggunakan nilai-nilai sosial dan
tidak mudah menghasilkan sistem yang cacat. Namun, institusi pendidikan itu sendiri harus
mampu merespon perubahan-perubahan yang sedang terjadi dalam lingkar sosial masyarakat dan
juga dari sistem pendidikan itu sendiri.
Salah satu contoh perubahannya adalah dari aspek tatanan ekonomi, dimana terjadi peningkatan
dalam angka pekerja buruh wanita. Dalam hal tersebut, wanita. Karena adanya perubahaan
inilah, institusi pendidikan, khususnya sekolah, memiliki kewajiban untuk mempersiapkan
generasi selanjutnya untuk bisa bekerja dengan kemampuan dasar yang harus dimiliki, tanpa
membedakaan gender individu.
Sekolah saat ini disamakan dengan institusi formal ; seperti penjara, rumah sakit, dan
institusi dengan karyawan dalam jumlah besar dan adanya “klien” yang terpaksa harus hadir
dalam institusi tersebut. Permasalahan utama yang dihadapi institusi macam ini mengarah pada
sulitnya menjaga struktur dan jalur otoritas serta kontrol, yang menyebabkan adanya peningkatan
pada sektor aturan serta sistem pengawasan yang lebih ketat. Meskipun sekolah bukan institusi
formal, yang memaksakan kliennya untuk selalu beraktivitas dalam lingkup dan batas intitusi itu
sendiri, sekolah memiliki satu ciri yang membuat mereka dapat diartikan sebagai institusi formal
: Pengurus institusi memiliki kecenderungan untuk meletakkan posisi mereka sebagai otoritas
yang paling tinggi dan absolut.
Sekolah sebagai Birokrasi

Sosiologist edukasi telah mendeteksi adanya birokrasi dalam sistem pendidikan US,
dmana meningkatan birokrasi itu sendiri di asosiasikan dengan peningkatan ukuran organisasi
dan compleksitas sistem yang dipergunakan. Karakteristik birokrasi lain dari sistem sekolah
modern adalah pengembangan hierarki kewenangan yang rumit.Hubungan antara orang-orang di
berbagai tingkat hierarki memiliki pengaruh penting pada kebijakan pendidikan di tingkat
kabupaten dan sekolah. Jika kita lihat di US, sekolah memiliki birokrasi yang kelewat rumit
dalam menetapkan suatu prosedur ataupun aturan. Pertama-tama, dewan sekolah melakukan
rapat dalam membahas sebuah fenomena yang terjadi, lalu hasilnya di berikan pada pengacara
kota, sehingga hal tersebut bisa dilegalkan, setelah itu, harus ada peresmian yang harus disetujui
oleh seluruh civitas akademi sekolah, dan intinya adalah untuk membuta sebuah peraturan
ataupun keputusan di sekolah yang berada di US itu cukup sulit.

Kelas dan Ukuran Sekolah

Bagi para guru dan serikat pekerja mereka, terutama di kota-kota besar dan daerah yang
kurang makmur, isu utama dalam reformasi sekolah adalah ukuran kelas. Persatuan guru di US
menyetujui bahwa 25 siswa adalah jumlah siswa yang ideal bagi 1 orang guru untuk melakukan
suatu proses pembelajaran. Bahkan sebuah penelitian di Tennesse menyebutkan bahwa jumlah
yang ideal adalah 17 siswa per 1 guru. Namun pada kenyataanya, jumlah siswa yang biasanya
ada dalam sebuah kelas adalah lebih dari 30 siswa per 1 guru, menyebabkan adanya
ketidakefesienan dan juga kurangnya intimasi hubungan antara masing-masing siswa dengan
guru, sehingga guru tidak dapat memanta perkembangan tiap siswa secara individu.
Orang tua yang mampu menyekolahkan anaknya dalam sekolah private (swasta) dengan
jumlah murid lebih kecil perkelasnya, menunjukkan adanya perbedaan nilai dan performa di
bandingkan dengan siswa yang disekolahkan disekolah negeri dengan total siswa yang relative
lebih besar. Masyarakat US dan juga institusi pendidikan sebenarnya mengharapkan adanya
perubahan dalam jumlah siswa perkelas itu sendiri, sehingga guru dapat memberikan impact
yang lebih besar bagi tiap individu, serta adanya pengingkatan bagi guru dan wali murid untuk
memiliki pengaruh yang lebih besar dalam penetapan langkah sekolah dalam beroperasi.
Pilihan Sekolah
Meskipun hampir semua individu yang terkait dalam proses pembelajaran menyetujui
bahwa kelas dengan siswa yang lebih sedikit memberikan keuntungan yang lebih besar, tidak
semua orang tua mampu menyekolahkan siswanya di sekolah private ataupun sekolah-sekolah
kekhususan agama yang mengadopsi sistem jumlah siswa yang sedikit dalam kelas. Sekolah
negeri memiliki kelemahan dalam usaha untuk memenuhi keinginan tersebut, dimana pemerintah
dan negara berusaha untuk menyediakan pendidikan yang setara bagi seluruh generasi masa
depannya dengan harga yang paling murah dan bisa terjangkau, namun jika pemerintah
mengubah kebijakan dalam penerimaan jumlah siswa, maka akan lebih banyak anak yang tidak
dapat bersekolah karena tidak mendapatkan kuota untuk bisa duduk di bangku sekolah.
Meskipun negara mampu membuat sekolah lebih banyak lagi, hal tersebut akan memberatkan
keuangan negara dalam jangka waktu panjang, karena perawatan sekolah dalam jumlah banyak
dan standart yang sama akan membutuhkan uang yang sangat banyak.

Di US, sebenarnya ada bantuan dana agar siswa dapat memilih sekolah mana mau
mereka datangi, sehinga hal tersebut dalam memudahkan wali murid dalam masalah pembayaran
sekolah. Namun hal ini menjadi sebuah kontroversi karena orang tua konservatif (anggaplah
sebagai orang tua agamis) menganggap bahwa beasiswa tersebut akan membuat penurunan
dalam penerimaan siswa di sekolah Christiani, karena sekolah Christiani yang selama ini
memiliki jumlah siswa terbesar dibandingkan sekolah negeri, selalu dianggap “murah” dan
“mudah” untuk dimasuki oleh siswa dari golongan keluarga kurang mampu.

Sekolah dengan Hak Khusus

Diartikan sebagai sekolah yang mendapatkan suntikan dana dari pemerintah dan
dorongan yang amat kuat untuk menghasilkan siswa berprestasi dan briliant dengan berbagai
metode pembelajaran yang berbeda dengan sekolah negeri pada umumnya. Sekolah dengan hak
khusus ini biasanya memiliki filosofi, teknik pengajaran, serta program yang berbeda satu sama
lainnya, sehingga tiap sekolah menjadi unik satu sama lainnya. Meskipun pada kenyataannya
siswa yang bersekolah di sekolah khusus ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam
performa belajar siswa dari sekolah negeri ataupun sekolah private lainnya, pemerintah tidak
bisa serta merta menutup program tersebut, karena tingginya kebutuhan dari orang tua untuk bisa
menyekolahkan anaknya di sekolah yang “bagus”.

Homeschooling

Homeschooling adalah sistem pembelajaran dimana siswa melaksanakan pembejalaran di


rumah dengan orang tua ataupun pembimbing khusus dari pada melakukan pembelajaran di
sekolah negeri ataupun lainnya. Sistem ini biasanya di gunakan oleh orang tua yang memiliki
keinginan untuk memasukkan nilai-nilai keagaamaan yang biasanya tidak diajarkan di sekolah
negeri karena adanya perbedaan agama itu sendiri. Banyak orang tua lainnya juga mempercayai
bahwa mereka memiliki kemampuan yang lebih baik dari pada guru untuk bisa mendidik dan
mengajar anak-anaknya, atau malah berkeinginan untuk mengajarkan sebuah kemampuan khusus
yang memang tidak diajarkan di sekolah. Ada peningkatan signifikan dari jumlah siswa yang
melakukan homeschooling di US, dengan peningkatan hampir 1 juta siswa hanya dalam waktu 4
tahun.
Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang homeschooling tidak memiliki perbedaan signifikan
dalam performa mereka dalam melakukan tugas dengan siswa sekolah negeri ataupun lainnya.
Namun banyak masyarakat yang menyatakan bahwa sistem homeschooling membuat anak tidak
mampu mempersiapkan dirinya di lingkungan masyarakat karena mereka tidak terbiasa hidup
dalam lingkar sosial yang lebih besar dari pada keluarga dan tetangga yang ada di rumah. Karena
permasalahan inilah, banyak orang tua yang menjalani homeschooling bagi anaknya meminta
keringanan dari pengadilan untuk memperbolehkan anak-anak mereka untuk bermain di sekolah
negeri dan lainnya.

Pengaruh Teknologi
Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi saat ini menjadi bagian hidup dari setiap umat
manusia yang ada di dunia, tak terkecuali dengan sekolah. Pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan untuk menambahkan komputer di setiap sekolah, memaksa siswa untuk belajar dengan
metode baru. Meskipun hal ini di anggap postitif oleh banyak orang, namun nyatanya, sistem ini
memiliki banyak kekurangan. Karena guru diwajibkan untuk mengajar dengan sebuah teknologi
yang asing, mereka dipaksa untuk belajar dar nol, sehingga gurumembutuhkan waktu yang amat
lama untuk bisa beradaptasi, dan jelas hal itu mengganggu situasi pembelajaran. Permasalahan
juga muncul saat sekolah-sekolah pinggiran (yang tidak mendapatkan dana setara dengan
sekolah negeri yang ada di pusat kota) tidak memiliki dana yang mencukupi untuk memenuhi
perubahaan yang ada. Sehingga sekolah tersebut mengalami kemunduran dan telat dalam
menyesuaikan dirinya dengan sekolah lainnya.

Persatuan Guru
Persatuan guru kini menjadi sebuah kewajiban untuk diikuti oleh setiap guru dari segala
lapisan, karena persatuan ini dinilai dapat membantu menjaga kesejahteraan guru dan membantu
memperbaiki sistem persekolahan menjadi lebih sempurna dan efisien. Namun pada
kenyataannya, persatuan guru sering kali memfokuskan diri pada bagian mensejahterahkan
gurunya saja, bukan pada peningkatan sistem sekolah.

Kekerasan Dalam Sekolah


Beberapa faktor yang dapat meningkatkan angka kekerasan yang terjadi disekolah, antara
lain :
• Kegagalan orang tua untuk memantau anak
• Munculnya kekerasan dimedia
• Penghinaan pada siswa yang tidak konformis
• Rendahnya self esteem yang dibawa dari isolasi sosial

Sekolah Umum

Sekolah umum adalah lembaga pendidikan terbesar bangsa, menawarkan pendidikan


dasar untuk anak-anak. Namun, seperti dicatat sebelumnya dalam bab ini, terdapat kritik untuk
pendidikan umum pada beberapa bidang. Rekomendasi kebijakan yang muncul dari kritik
tersebut mengambil dua bentuk utama, apakah para pendukung mereka memiliki pandangan
konservatif atau liberal terhadap kebijakan pendidikan. Seperti disebutkan sebelumnya, skema
populer di kalangan kritikus konservatif adalah rencana untuk memberikan orang tua dengan
voucher yang akan memungkinkan mereka untuk memilih di antara sekolah negeri dan swasta
yang menawarkan segala macam pilihan pendidikan. Teorinya adalah bahwa meningkatnya
persaingan di antara sekolah-sekolah untuk menarik siswa akan meningkatkan efisiensi atau
merangsang pasar yang lebih terbuka untuk pendidikan. Kritik utama dari rencana voucher
adalah bahwa mereka mungkin untuk digunakan secara efektif oleh orang tua lebih
berpendidikan dan kaya, meninggalkan sekolah miskin untuk orang tua yang kurang mampu, ini
akan memperburuk situasi yang ada mengenai ketidaksetaraan dalam pendidikan. Di kota-kota
besar, di mana pendapatan dari pajak properti lebih rendah, sistem ini sebagian besar
bertanggung jawab ketidakadilan dalam pendanaan antara sekolah pinggiran kota dan perkotaan,
dan menjelaskan mengapa sekolah-sekolah perkotaan sering kekurangan seni, musik, program
atletik, dan ilmu pengetahuan biasanya ditemukan di sekolah-sekolah pinggiran kota. Di masa
lalu, anggaran pendidikan negara digunakan untuk mengimbangi perbedaan ini, tetapi sebagai
negara mengurangi pengeluaran publik, sekolah-sekolah di masyarakat pusat-kota miskin
menderita.

Pendidikan konservatif percaya bahwa pekerjaan sekolah adalah untuk melestarikan budaya
masa lalu dan diberikan ke generasi berikutnya. Ini berarti bahwa sekolah harus berkonsentrasi
pada satu set mata pelajaran dasar dan keterampilan serta siswa diharapkan untuk menguasaisatu
set mata pelajarna tersebut. Ini juga berarti bahwa sekolah adalah lembaga-lembaga kontrol
sosial dan karena itu harus menekankan ketertiban, disiplin, dan ketaatan. Kritikus mengklaim
bahwa alih-alih berkonsentrasi pada matematika, sejarah, bahasa asing, dan disiplin ilmu lainnya,
sekolah tinggi mendorong siswa untuk mengalihkan diri dengan subyek sepele
sepertiketerampilan dan seni. Hal ini juga mengusulkan bahwa guru menerima kenaikan gaji
berdasarkan prestasi bukan senioritas, dengan asumsi bahwa ini akan memotivasi guru untuk
melakukan pekerjaan yang lebih baik di kelas.
Pada tingkat yang lebih umum, walaupun sudah ada banyak perdebatan tentang perlunya untuk
mencurahkan lebih banyak sumber daya untuk pendidikan umum, prospek tidak cerah. Seperti
disebutkan, dukungan federal untuk pendidikan tinggi (terutama bantuan finansial bagi siswa)
telah sangat berkurang. Pada saat yang sama, ide sistem voucher belum dihasilkan banyak
dukungan. Sepanjang buku ini kita telah melihat banyak contoh pentingnya pendidikan dalam
masyarakat berteknologi maju dan cepat berubah. Kami juga telah mencatat bahwa mengajar
menjadi lebih menarik sebagai pilihan karir. Tapi jika pendidikan adalah untuk memenuhi
tantangan yang dihadapi dan jika orang-orang muda untuk serius mempertimbangkan mengajar
sebagai suatu panggilan, peningkatan pendanaan yang diperlukan

III. KONTEKS DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI, PSIKOLOGI SOSIAL, DAN


LEVEL PATOLOGI SOSIAL
A. PERSPEKTIF FUNGSIONALIS
a. MasalahSosial
Bila dipandang dari perspektif ini, yang menjadi sumber masalah
mengenai diberlakukannya kurikulum baru ini yakni kurikulum 2013 adalah
pemerintah sebagai sumber dari adanya kurikulum itu sendiri, pemerintah kurang
melakukan sosialisai dalam penerapan perubahan kurikulum baru ini, karena yang
dinamakan perubahan selalu membutuhkan penyesuaian untuk dapat akhirnya
diterima. Dalam hal ini pemerintah minim dalam mengadakan sosialisasi
mengenai kurikulum baru, terutama sosialisasi kepada guru-guru yang merupakan
eksekutor dari kurikulum yang ada, yang akan disampaikan kepada murid-
muridnya.
b. SumberMasalah
Yang menjadi sumber masalah adalah institusi penyelenggara pendidikan
yang tidak berjalan sesuai fungsinya dalam rangka mengadakan sosialisasi
mengenai perubahan kurikulum yang baru.
c. Solusi
Pemerintah seharusnya mengadakan sosialisasi secara maksimal menganai
perubahan kurikulum baru yang akan diterapkan, baik itu kepada guru, murid
maupun orang tua murid.
B. PERSPEKTIF KONFLIK
a. MasalahSosial
Masalah social menurut
perspektifkonflikadalahkarenaadanyaperbedaanpandanganantarapemerintah
dengan guru dalammemandangperubahankurikulumdarikurikulum 2006 (KTSP)
ke kurikulum 2013, dimanaadanyaperubahandalamcaramengajar guru. Mengubah
mindset guru seperti itu tidak mudah, karena sudah berpuluh tahun guru mengajar
dengan model ala bank. Bukanhal yang mudah bila tiba-tiba guru harus berubah
menjadi seorang fasilitator dan motivator.

b. SumberMasalah

Kegagalanmengubah mindset guru


akanmenjadisumberkegagalanimplementasikurikulum 2013. Yang
menjadisumbermasalahnyaadalahbahwakurikulum 2013 yang
diberlakukanolehpemerintahtidakcukuptersosialisasikanterlebihdahuludanmenuntu
tadanyaperubahan mindset guru mengenaicaramengajarsiswadenganwaktusingkat,
sedangkanmengubah mindset guru yang sudahmengajardenganala bank
selamabertahun-tahunperluwaktubertahun-tahun pula, dankurikulum 2013
harussegeradilaksanakansecepatnya.

c. Solusi

Solusi yang dapatdiberikanadalahsebaiknyaantaraKemendikbuddan guru


melakukanpertemuandannegosiasimengenaikurikulumbaru yang
akansegeradiberlakukan.
SebaiknyaKemendikbudmelakukansosialisasiterlebihdahulusebelummemberlakuka
nsetiapperubahandalamkependidikanatauapa pun, dankalau pun
kurikulumbarutetapdiberlakukan, makapemerintahharusmemberikanwaktukepada
guru sebagai proses pembelajarandan proses merubah mindset guru
mengenaicaramengajarala bank menjadi mindset kurikulum 2013 yang
mengharapkan guru dapatmenjadifasilitatoratau motivator.
Berikandorongankepada guru untukterusbelajar.

C. PERSPEKTIF INTERAKTIONIS
a. MasalahSosial
Menurut pemerintah Kurikulum 2013 hanya mungkin sukses bila ada
perubahan paradigma atau lebih tepatnya mindset para guru dalam proses
pembelajaran. Perubahan dari Kurikulum 2006 (KTSP) ke kurikulum 2013 adalah
perubahan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang mendorong siswa
untuk aktif tersebut hanya mungkin terwujud bila mindset guru telah berubah.
Mengubah mindset guru seperti itu tidak mudah, karena sudah berpuluh tahun
guru mengajar dengan model sebelumnya.
b. SumberMasalah
Perubahan mindset guru tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat,
melainkan butuh waktu bertahun-tahun, padahal Kurikulum 2013 itu harus
dilaksanakan dalam waktu secepatnya. Persoalan teknis dilatihkan dalam waktu
satu minggu, tapi perubahan mindset harus dilakukan terus-menerus dengan cara
mendorong guru untuk terus belajar. Tidak mudah bila tiba-tiba guru harus
berubah menjadi seorang fasilitator dan motivator.
Perubahan struktur kurikulum yang menyebabkan adanya pelajaran yang
hilang maupun bertambahnya jam. Semuanya itu berimplikasi pada nasib guru.
Penghapusan mata pelajaran TIK (teknologi informasi dan komputer) di SMP
berimplikasi besar terhadap eksistensi para pengampu bidang TIK yang latar
belakang pendidikannya TIK.
Penjurusan di SMA yang dimulai pada saat kelas 1 menyebabkan para
kepala sekolah/guru di SMA harus cermat sekali dalam menampung minat para
calon murid agar tidak sering terjadi perpindahan jurusan/minat, karena
diperbolehkan pindah minat, akan tetapi pindah minat akan menyulitkan
pengelolaan sekolah
Penambahan jam pelajaran per minggu itu adalah makin menghilangkan
otonomi sekolah, karena waktu yang tersedia untuk mengembangkan kurikulum
sendiri makin sempit. Bagi sekolah-sekolah swasta, kurikulum baru jelas
menimbulkan beban baru bagi yayasan, karena harus memfasilitasi peningkatan
kualitas guru lewat pelatihan, pengadaan perpustakaan yang lengkap, dan
pendidikan tambahan agar guru dapat mengimplementasikan kurikulum baru
tersebut secara baik,
c. Solusi
Adanya interaksi dan kerjasama yang dibangun antara pemerintah dengan
guru. Adanya sosialisasi ulang terkait perubahan kurikulum yang dibarikan oleh
pemerintah kepada para guru. Juga mengubah mindset para guru dalam
memandang proses pembelajaran bahwa mengajar bisa dilakukan di
perpustakaan, kebun, tanah lapang, atau juga di sungai. Media pembelajaran pun
tidak harus buku, alat peraga, atau komputer. Tanam-tanaman dan pohon di
kebun, sungai, dan sejenisnya juga dapat menjadi media pembelajaran.

D. PSIKOLOGI SOSIAL
a. MasalahSosial
Bila dipandang dari perspektif psikologis, adanya kurikulum 2013 ini dapat
menyebabkan perubahan perilaku, baik perilaku guru maupun perilaku muridnya
karena secara tidak langsung kurikulum 2013 ini mengubah kebiasaan kegiatan
belajar dan mengajar. Bila dilihat dari sisi urid, efek psikologis yang mungkin dapat
muncul akibat adanya kurikulum baru ini adalah frustasi, yang disebabkan
ketidakmampuan murid untuk beradaptasi dengan kurikulum dan metode pengajaran
yang baru. Misalnya dalma kurikulum 2013 murid diharus mencari materi sendiri dan
lebih banyak metode presesntasi. Untuk murid yang terbiasa dengan metode cermah
tentunya akan mengalami sedikit kesulitan dalam perubahan metode belajar ini, jika ia
tidak merasa tidak mampu untuk mengikuti metode belajar yang baru, mak ia akan
dapat merasa frustasi.
Sulitnyapenyesuaiandiriolehpara guru dalamperubahankurikulum yang
dapatmembuatfrustasiapabilatidakdapatmenyesuaikandiridenganperubahankurikulum.
b. SumberMasalah
Ketikaadanyapenghapusanmatapelajaran, misalnyamatapelajaran TIK
maka guru TIK akansulitmenyesuaikandiriketikaharusmengajarmatapelajaran yang
kurangsesuaidenganlatarbelakangnyasebagai guru matapelajar TIK. Apabila guru
TIK yang berlatarbelakangpendidikannya IPA atauMatematikamaka guru
tersebutdapatmengajarmatapelajarantersebut, namunsulitketika guru TIK yang
memangberlatarbelakangpendidikan TIK
menjadibingunguntukdialihkandalammatapelajaranapa.
c. Solusi
Memfasilitasi kualitas guru dengan mengadakan pelatihat untuk para guru
dan membantu para pihak sekolah dengan mengelola sistem pembelajaran berbasis
komputer. Perubahan proses pembelajaran berubah secara perlahan, diberikan
secara bertahap dan dikondisikan sesuai dengan fenomena yangada pada
mahasiswa.

E. LEVEL PATOLOGI SOSIAL


Level patologisocialdalamkasusiniberadadalamtingkatorganisasi.

IV. ANALISA MASALAH

Didalam negara demokratis salah satunya di Indonesia pendidikan merupakan


kebutuhan sosial dan memiliki banyak masalah di dalamnya salah satunya adalah
permasalahan yang timbul akibat adanya perubahan kurikulum dari kurikulum 2006 menjadi
kurikulum 2013. Sekolah dan institusi yang lebih tinggi diharapkan dapat memecahkan
masalah dalam hal ketidakseimbangan. Mereka tidak diharapkan untuk membuat semua
orang seimbang, semua masyarakat dilahirkan dengan berbeda ketertarikan dan
kemampuannya masing2, tapi mereka diharapkan memberikan kesempatan yang sama untuk
belajar dan mengasah kemampuan yang masyarakat butuhkan. Seperti yang diberikan oleh
kurikulum 2013 yaitu siswa dapat memilih jurusannya sesuai munatnya mulai sejak SMA
kelas 1. Pandangan fungsionalis, pendidikan seharusnya merupakan satu dari beberapa
bagian yang saling bergantungan anatara pemerintah yang menciptakan kurikulum baru
dengan guru sebagai pihak yang menerapkan kurikulum tersebut.
Hambatan utama terhadap perubahan signifikan dalam sistem pendidikan adalah
bahwa institusi pendidikan memiliki kecenderungan untuk menolak perubahan. Seperti pada
perubahan Kurikulum 2013. Namun, institusi pendidikan itu sendiri harus mampu merespon
perubahan-perubahan yang sedang terjadi dalam lingkar sosial masyarakat dan juga dari
sistem pendidikan itu sendiri.

Hambatan utama terhadap perubahan signifikan dalam sistem pendidikan adalah


bahwa institusi pendidikan memiliki kecenderungan untuk menolak perubahan. Dalam
beberapa aspek, hal ini memiliki keuntungan tersendiri : Sekolah cenderung menggunakan
nilai-nilai sosial dan tidak mudah menghasilkan sistem yang cacat. Namun, institusi
pendidikan itu sendiri harus mampu merespon perubahan-perubahan yang sedang terjadi
dalam lingkar sosial masyarakat dan juga dari sistem pendidikan itu sendiri.

Berdasarkanteori di atas, fenomenaperubahannyaadalahadanyaperubahankurikulum,


dimanakurikulum 2006 (KTSP) akandigantimenjadikurikulum 2013,
danadanyaperubahandanperbedaancaramengajar guru yang signifikan, yaitu guru yang
biasanyamengajardengancaraala bank, seperticeramah, akandiubahdanmenuntut guru
untukmenjadifasilitatorataumotivatiordanmenuntutsiswauntuktidakterusdisuapi,
tapisiswaharusbereksplorasi, mengamati, danlebihberinisiatif. Dalamhaltersebut,
artinyasekolahberkewajibanmempersiapkan guru-guru yang memangbetul-
betulberkompetendansiapmenghadapisetiapperubahanapa pun dalamsistempendidikan.

Perunahan kurikulum dalam fenomena diatas bila dilihat dari teori yang ada dapat
disebabkan oleh pengaruh teknologi, dimana teknologi kini yang semakin canggih. Semakin
camnggihnya teknologi dapat dimanfaatkan dan medorong manusia untuk dapat berinovasi
dalam berbagai hal, termasuk dalam hal pendidikan. Teknologi yang semakin maju dinilai
akan dapat membuat proses belajat mengajar menjadi lebih efiesien dan efektif serta
menghemat waktu dan dapat memaksimalkan materi yang akan diberikan.

V. REKOMENDASI
Solusi yang dapatdiberikanadalahsebaiknyaantarapemerintahdan guru
melakukanpertemuandannegosiasimengenaikurikulumbaru yang akansegeradiberlakukan.
Sebaiknyapemerintahmelakukansosialisasiterlebihdahulusebelummemberlakukansetiapperuba
handalamkependidikanatauapa pun, dankalau pun kurikulumbarutetapdiberlakukan,
makapemerintahharusmemberikanwaktukepada guru untuk proses pembelajarandan proses
merubah mindset guru mengenaicaramengajarala bank menjadi mindset kurikulum 2013 yang
mengharapkan guru dapatmenjadifasilitatoratau motivator. Berikandorongankepada guru
untukterusbelajar.
Adanya interaksi dan kerjasama yang dibangun antara pemerintah dengan guru.
Adanya sosialisasi ulang terkait perubahan kurikulum yang dibarikan oleh pemerintah kepada
para guru. Juga mengubah mindset para guru dalam memandang proses pembelajaran bahwa
mengajar bisa dilakukan di perpustakaan, kebun, tanah lapang, atau juga di sungai. Media
pembelajaran pun tidak harus buku, alat peraga, atau komputer. Tanam-tanaman dan pohon di
kebun, sungai, dan sejenisnya juga dapat menjadi media pembelajaran
Sosialisasi yang dilakukan pemerintah seharusnya dilakukan lebih maksimal agar pihak-
pihak yang terkait dapat menegtahui dan menyesuaikan dengan perubahan yang akan
diberlakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Konblum, Willyam dan Joseph Julian. Social Problems
Darmaningtyas.” Problematika implementasi kurikulum 2013”. 1 April 2017.

Darmaningtyas, Tamansiswa. Tempo: Jakarta


https://www.tempo.co/read/kolom/2013/07/10/762/Problematika-Implementasi-
Kurikulum-2013 . Diakses pada: Sabtu, 1 April 2017 01.00 Wib

Anda mungkin juga menyukai