Anda di halaman 1dari 67

NEONATAL JOUNDICE ATAU HIPERBILIRUBINEMIA

A. Pengertian
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah
mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kernikterus jika tidak
segera ditangani dengan baik. Kernikterus adalah suatu kerusakan otak akibat peningkatan
bilirubin indirek pada otak terutama pada corpus striatum, thalamus, nukleus thalamus,
hipokampus, nukleus merah dan nukleus pada dasar ventrikulus ke-4. Kadar bilirubin
tersebut berkisar antara 10 mg / dl pada bayi cukup bulan dan 12,5 mg / dl pada bayi
kurang bulan (Ngastiyah, 2005).
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin
tidak dikendalikan(Mansjoer, 2008).
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut ‘Excess Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin
terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani (Etika et al,2006).

B. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat dibagi :
1. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,
misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan
darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan
oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi
hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil
transferase(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam
hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut
ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya
salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya
bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau
di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab
lain. (Hassan et al.2005).

C. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin.
Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme
sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam
air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma
terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh
dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan
larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk)
(Sacher,2004).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke
sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh
bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini
umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin (Sacher, 2004).
Pada dewasa normal level serum bilirubin 2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir
akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl (Cloherty et al, 2008).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi
kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati
(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal.
Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan
hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika
konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi
ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau
jaundice (Murray et al,2009).

D. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-
kira 6mg/dl (Mansjoer at al, 2007).
Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai
kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus
obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna kuningkehijauan atau kuning kotor.
Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat (Nelson, 2007).
Gambaran klinis ikterus fisiologis :
1. Tampak pada hari 3,4
2. Bayi tampak sehat (normal)
3. Kadar bilirubin total <12mg%
4. Menghilang paling lambat 10-14 hari
5. Tak ada faktor resiko
6. Sebab : proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis) (Sarwono et al,
2005).
Gambaran klinik ikterus patologis :
1. Timbul pada umur <36 jam
2. Cepat berkembang
3. Bisa disertai anemia
4. Menghilang lebih dari 2 minggu
5. Ada faktor resiko
6. Dasar : proses patologis (Sarwono et al, 2005).
Tampak ikterus pada sklera, kuku, dan sebagian besar kulit serta membran
mukosa. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama sejak bayi lahir disebabkan oleh
penyakit hemolitik, sepsis atau ibu dengan diabetik dan infeksi. Jaundice yang tampak
pada hari ke-2 atau ke-3 dan mencapai puncak pada hari ke-3 sampaike-4 serta menurun
pada hari ke-5 sapai hari ke-7 biasanya merupakan jaundice fisiologis.
Gejala kernikterus berupa kulit kuning kehijauan, muntah, anorexia, fatique,
warna urine gelap, warna tinja seperti dempul, letargi (lemas), kejang, tak mau menetek,
tonus otot meninggi dan akhirnya opistotonus. (Ngastiyah, 2005).
E. Pathways
F. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut :
1. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini kerjanya
lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterus yang
terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai lagi.
2. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin (misalnya
menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan albumin untuk
memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa
hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi
bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma
meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan
albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun
sesudah terapi tukar.
3. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini.
4. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik
dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.
5. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar (Mansjoer et al, 2007).

Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:


1. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤20mg%
2. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam
3. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
4. Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14mg% dan uji Coombs direct positif
(Hassan et al, 2005).
Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
1. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan
membuka pakaian bayi.
2. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.
3. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik
untuk mendapatkan energi yang optimal.
4. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang terkena
cahaya dapat menyeluruh.
5. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
6. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
7. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.

G. Pemeriksaan Penunjang
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah
beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan
terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang
kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi
apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar (Etika et al, 2006).
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk
ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,dada,lutut
dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning.
Pemeriksaan serum bilirubin(direk dan indirek) harus dilakukan pada neonatus yang
mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong
resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab
ikterus antara lain adalah golongan darah dan ‘Coombs test’, darah lengkap dan hapusan
darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk. Pemeriksaan serum bilirubin
total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin.
Kadar serum albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau
transfusi tukar(Etika et al, 2006).
INFEKSI NEONATORUM

A. Definisi
1. Infeksi neonatus adalah infeksi yang terjadi pada neonatus, dapat terjadi pada masa
antenatal, perinatal dan post partum.Infeksi neonatorum atau infeksi adalah infeksi
bakteri umum generalista yang biasanya terjadi pada bulan pertama kehidupan yang
menyebar ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Infeksi adalah sindroma yang
dikarakteristikkan oelh tanda-tanda klinis dan gejala-gejala infeksi yang parah yang
dapat berkembang ke arah septisemia dan syok septic (Doenges, Marlyn E, 2000).
2. Infeksi neonatorum adalah infeksi pada neonatus yang terjadi pada masa neonatal,
intranatal dan postnatal.Inkfesi Neonatorum atau Infeksi adalah infeksi bakteri umum
generalisata yang biasanya terjadi pada bulan pertama kehidupan. yang menyebar ke
seluruh tubuh bayi baru lahir.Infeksi adalah sindrom yang dikarakteristikan oleh tanda-
tanda klinis dan gejala-gejala infeksi yang parah yang dapat berkembang ke arah
septisemia dan syok septik. Infeksi merupakan respon tubuh terhadap infeksi yang
menyebar melalui darah dan jaringan lain. Infeksi terjadi pada kurang dari 1% bayi
baru lahir tetapi merupakan penyebab dari 30% kematian pada bayi baru lahir.
3. Infeksi neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah pada bayi selama empat
minggu pertama kehidupan. Insiden sepsis bervariasi yaitu antara 1 dalam 500 atau 1
dalam 600 kelahiran hidup (Bobak, 2005).

B. Etiologi
1. Menurut Blane (1961) infeksi pada neonatus bisa melalui beberapa cara :
a. Infeksi antenatal
Kuman mencapai janin melalui peredaran darah ibu ke placenta. Kuman melewati
placenta dan mengadakan intervilositas masuk ke vena umbilicus samapi ke janin
kuman teresebut seperti : virus : rubella, poliomelisis, koksakie, variola, dll. Spirokaeta :
sifilis. Bakteri : jarang sekali kecuali E. Colli dan listeria.
b. Infeksi intranatal
1) Pemeriksaan vaginal yang terlalu sering
2) Partus yang lama
c. Infeksi post partum.
Penggunaan alat-alat perawatan yang tidak steril
d. Cross infection
Infeksi yang telah ada di rumah sakit.

C. Tanda dan gejala.


1. Umum : panas, hipoermia, tampak tidak sehat, malas minum, letargi, sklerema.
2. Saluran cerna : distensi abdomen, anoreksia, muntah, hipotomegali.
3. Saluran nafas : apnea, dispnea, takspnea, retraksi, nafas cuping hidung, merintih sianosis.
4. Sistem kardiovaskuler : pucat, sianosis, kulit marmoratu, kulit lembab, hipotensi,
takikardi, bradikardia.
5. Sistem saraf pusat : invitabilitas, tremor, kejang, hiporeflerksi, malas minum, pernapasan
tidak teratur, ubun-ubun menonjol, high pitched cry
6. Hematologi : Ikterus, splenomegali, pucat, petekie, purpura, perdarahan(Kapita Selekta
Kedokteran Jilid II)
Gejala infeksi yang terjadi pada neonatus anatar lain, bayi tampak lesu, tidak kuat
menghisap, denyut jantung lambat, suhu tubuh naik turun. Gejala –gejala lainnya dapat
berupa gangguan pernapasan, kejang, jaundice, muntah, diare, dan perut kembung,Gejala
dan infeksi neonatorum juga tergantung kepada sumbber infeksi dan penyebaran :
1. Infeksi pada tali pusat (omfalitis) menyebabkan keluarnya nanah atau darah dari pusar.
2. Infeksi pada selaput otak (meningitis) atau abses otak menyebabkan koma, kejang,
epsitotonus (posisi tubuh melengkung ke depan) atau penonjolan pada ubun-ubun.
3. Infeksi pada tulang (ostemiolisis) menyebabkan terbatasnya pergerakan pada lengan atau
tungkai yang terkenaInfeksi pada persendian menyebabkan pembengkakan, kemerahan,
nyeri tekan dan sendi yang terkena teraba hangat.
4. Infeksi pada selaput perut (perilositis) menyebabkan pembengkakan perut dan diare
berdarah.

D. Patofisiologi
Infeksi dimulai dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik. Pelepasan endoskrin oleh
bakteri menyebabkan perubahan fungsi miokardium, perubahan ambilan dan penggunaan
oksigen, terhambatnya fungsi mitokondria, dan kekacauan metabolic yang progresif. Pada infeksi
yang tiba-tiba dan berat, complement cascade menimbulkan banyak kematian dan kerusakan sel.
Akibatnya adalah penurunan fungsi jaringan, asidosis metabolic dan syok. Yang menyebabkan
disseminated Intravaskuler Coagulation (DIC) dan kematian. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kemungkinan infeksi secara umum berasal dari tiga kelompok, yaitu :
1. Faktor maternal
a. Status social ekonomi ibu, ras dan latar belakang. Mempengaruhi kecenderungan
terjadinya infeksi dengan alas an yang tidak diketahi sepenuhnya. Ibu yang berstatus
social ekonomi rendah mungkin nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya padat dan tidak
higienis.
b. Status paritas.
Wanita multipara atau gravid lebih dari 3 dan umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih
dari 30 tahun.
c. Kurangnya perawatan prenatal.
d. Ketuban pecah dini
e. Prosedur selama persalinan
2. Faktor Neonatal
a. Prematuritas (berat badan bayi kurang dari 1500 gram)
Merupakan faktor resiko utama untuk infeksi neonatal. Umumnya immunitas bayi kurang
bulan lebih rndah dari pada bayi cukup bulan. Transfor immunoglobulin melalui placenta
terutama terjadi pada paruh terakhir trisemester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi
immunoglobulin serum terus menurun, menyebabkan hipogamaglobulinemia berat.
Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan kulit.
b. Definisi imun
Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG spesifik, khususnya terhadap streptokokus atau
haemophilus influenza. IgG dan IgA tidak melewati placenta dan hampir tidak terdeteksi
dalam darah tali pusat. Dengan adanya hal tersebut aktivitas lintasan komplemen
terhambat, dan C3 serta faktor B tidak diproduksi sebagai respon terhadap
lipopolisakarida. Kombinasi antara defisiensi imun dan penururnan antibodi total dan
spesifik bersama dengan penurunan fibronektin, menyebabkan sebagian besar penurunan
aktivitas opsonisasi.
c. Laki-laki dan kehamilan kembar
Insiden infeksi pada bayi laki-laki empat kali lebih besar dari pada bayi perempuan.
3. Faktor lingkungan
a. Pada defisiensi imun bayi cenderung mudah sakit sehingga sering memerlukan prosedur
invasive, dan memerlukan waktu perawatan dirumah sakit lebih lama. Penggunaan kateter
vena/arteri maupun kateter nutrisi parental merupakan tempat masuk bagi
mikroorganisme pada kulit yang luka. Bayi juga mungkin terinfeksi akibat alat yang
terkontaminasi.
b. Paparan terhadap obat-obatan tertentu, seperti steroid, bisa menimbulkan resiko pada
nonatus yang melebihi resiko penggunaan antibiotic spectrum luas, sehingga
menyebabkan kolonisasi spectrum luas, sehingga menyebabkan resisten berlipat ganda.
c. Kadang-kadang di ruang perawatan terhadap epidemic penyebaran mikroorganisme yang
berasal dari petugas (infeksi nosokomial), paling sering akibat kontak tangan.
d. Pada bayi yang minum ASI, spesies lactobacillus dan E. Colli di temukan hanya di
dominasi oleh E. Colli saja.
Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus melalui
beberapa cara, yaitu :
1) Pada masa antenatal atau sebelum lahir pada masa antenatal kuman dari ibu setelah
melewati placenta dan umbrilikus masuk ke dalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah
janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang dapat menembus placenta, antara
lain virus vubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis. Bakteri
yang dapat melalui jalur ini antara lain malaria, sifilis, dan toxplasma.
2) Pada masa intranatal atau saat persalinan infeksi saat persalinan terjadi karena kuman
yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai korion dan amnion. Akibatnya,
terjadi amnonitis dan korionitis , selanjutnya kuman melalui umbilicus masuk ke
tubuh bayi. Cara lain yaitu saat persalinan, cairan amnion yang sudah terinfeksi dapat
terinhalasi oleh bayi dan masuk ke dalam traktus digestives dan traktus respiratoris,
kemudian menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain melalui cara tersebut
diatas infeksi pada janin dapat melalui kulit bayi atau “ port de entre” lain saat bayi
melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman (misal : herpes genetalis,
candida albican dan gonorrhea).
3) Infeksi pascanatal atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi sesudah persalinan/
kelahiran umunya terjadi akibat infeksi nosokomial dari lingkungan di luar rahin
(misal : melalui alat-alat pengisap lendir, selang endotrakea, infus, selang nasagastrik,
botol minuman, atau dst). Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi dapat
menyebabkan terjadinya infeksi nosocomial.

E. Penatalaksanaan
1. Suportif
a. Lakukan monitoring cairan elektrolit dan glukosa.
b. Berikan koreksi jika terjadi hipovdemia, hipokalsemia dan hipoglikemia.
c. Bila terjadi SIADN (Syndrome of Inappropiate Anti Dieuretik Hormon) batasi cairan.
d. Atasi syok, hipoksia, dan asidosis metabolic.
e. Awasi adanya hiperbilirubinemia.
f.Lakukan transfuse tukar bila perlu.
g. Pertimbangkan nutrisi parenteral bila pasien tidak dapat menerima nutrisi enteral.
2. Kausatif
Antibiotik diberikan sebelum kuman penyebab diketahui. Biasanya digunakan
golongan penicillin seperti ampicilin ditambah tminoglileosida seperti Gentamicin. Pada
infeksi nosokomial, antibiotic diberikan dengan mempertimbangkan flora di ruang
perawatan, namun sebagai terapi inisial biasanya di berikan van komisin dan
aminoglikosida atau sefalosforin generasi ketiga.Setelah dapat hasil biakan dan uji
sistematis di berikan antibiotic yang sesuai. Terapi dilakukan selama 10 – 14 hari. Bila
terjadi meningitis, antibiotic diberikan selama 14 – 21 hari dengan dosis sesuai untuk
meningitis. Pada masa antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara berkala,
imunisasi, pengobatan, terhadap penyakit infeksi yang diderita ibu. Asupan gizi yang
memadai, penanganan segera terhadap keadaan yang dapat menurunkan kesehatan ibu
dan janin. Rujuk ke tempat pusat kesehatan bila diperlukan. Pada masa persalinan,
perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara akseptic. Pada masa pasca persalinan
rawta gabung bila bayi normal, pemberian ASI secepatnya, juag lingkungan dan
peralatan tetap bersih, perawatan lukan umbilicus secara steril.

F. Pemeriksaan Penunjang.
Menegakkan diagnosis infeksi perlu dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
1. Hitung darah lengkap dengan turunannya
Yang terpenting adalah jumlah sel darah merah (WBC).septik neonatus biasanya
menunjukkan penurunan jumlah white blood cell (WBC), yaitu kurang dari 500 mm.
Hitung jenis darah juga menunjukkan banyak WBC tidak matang dalam aliran darah.
Banyaknya darah tidak matang dihubungkan dengan jumlah total WBC diidentifikasikan
bahwa bayi men galami respons yang signifikan.
2. Platelet
Biasanya 150.000 sampai 300.000 mm pada keadaan sepsis platelet munurun, kultur
darah gram negatif atau positif, dan tes sensitivitas.
Hasil dari kultur harus tersedia dalam beberapa jam dan akan mengindikasikan jumlah
dan jenis bakteri. Kultur darah atau sensitivitas membutuhkan waktu 24 – 48 jam untuk
mengembangkan dan mengidentifikasikan jenis patogen serta antibiotik yang sesuai.
3. Lumbal pungsi untuk kultur dan tes sensitivitas pada cairan serebrospinal.
Hal ini dilakukan jika ada indikasi infeksi neuron.
4. Kultur urine
a. Kultur permukaan (surface culture)
Untuk mengidentifikasi kolonisasi, tidak spesifik untuk infeksi bakteri.
b. Pencegahan infeksi pada neonatus
Cara pencegahan pada neonatus dapat dibagi sebagai berikut :
1) Cara umum
a) Pencegahan infeksi neonatus sudah harus dimulai dari periode antenatal infeksi
ibu harus diobati dengan baik, misalnya infeksi umum, lekorea, dan lain –lain. Di
kamar bersalin harus ada pemisahan yang sempurna antara bagian yang sepsis
dengan aseptik. Pemisahan ini mencakup ruangan, tenaga perawatan, serta alat
kedokteran dan alat perawatan. Ibu yang akan melahirkan sebelumnya masuk
kamar bersalin. Pada kelahiran bayi, pertolongan harus dilakukan secara aseptik.
Suasana kamar bersalin harus sama dengan kamar operasi. Alat yang digunakan
harus steril.
b) Di kamar bayi yang baru lahir harus ada pemisahan yang sempurna untuk bayi
yang baru lahir dengan partus aseptik dan partus septik. Pemisahan ini harus
mencakup personalia, fasilitas perawatan, dan alat yang digunakan. Selain itu
juga dilakukan pemisahan terhadap bayi yang menderita penyakit menular.
Perawat harus mendapat pendidikan khusus dan mutu perawatan harus baik,
apalagi bila kamar perawatan bayi merupakan suatu kamar perawatan yang
khusus. Sebelum dan sesudah memegang bayi harus cuci tangan. Mencuci tangan
dengan menggunakan sabun antiseptik atau sabun biasa asal cukup lama, dalam
ruangan harus memakai jubah steril, masker, dan sandal khusus. Dalam ruangan
bayi, kita tidak boleh banyak bicara, dan bila menderita sakit saluran pernapasan
atas, tidak boleh masuk kamar bayi.
c) Dapur susu harus bersih dan cara mencampur harus aspetik air susu ibu yang
dipompa sebelum diberikan kepada bayi harus dipasteurisasi dulu. Setiap bayi
harus punya tempat pakaian tersendiri, begitu juga inkubator harus sering
dibersihkan dan lantai ruangan setiap hari harus dibersihkan serta setiap minggu
dicuci dengan menggunakan antiseptik.
2) Cara khusus
a) Pemakaian antibiotik hanya untuk tujuan dan indikasi yang jelas.
b) Pada beberapa keadaan, misalnya ketuban pecah lama (lebih dari 12 jam) air
ketuban keruh, infeksi sistemik pada ibu, partus yang lama dan banyak
manipulasi intravaginal. Resusitasi yang berat sering timbul dilema apakah akan
digunakan antibiotik secara prokfilaksis. Penggunaan antibiotik yang banyak dan
tidak terarah dapat menyebabkan timbulnya jamur yang berlebihan, misalnya
kandida albikans. Sebaliknya jika terlambat memberikan antibiotik pada penyakit
infeksi neonatus, seringmberakibat kematian.
ASFIKSIA NEONATORUM

A. Definisi
Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur,
sehingga dapat meurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk
dalam kehidupan lebih lanjut. (Manuaba, 1998)
Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas secara spontan
dan teratur dalam satu menit setelah lahir (Mansjoer, 2000)
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis, bila proses ini
berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat
mempengaruhi fungsi organ vital lainnya. (Saiffudin, 2001)
Asfiksia merupakan suatu keadaan dimana bayi tidak dapat bernapas secara spontan dan
teratur segera setelah lahir, keadaan tersebut dapat disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea
dan sampai ke asidosis (Hidayat, 2005).
Jadi, Asfiksia neonatorum adalah keadan bayi baru lahir yang tidak dapat bernapas secara
spontan dengan ditandai adanya hipoksemia (penurunan PaO2), hiperkarbia (peningkatan
PaCO2), dan asidosis (penurunan PH).

B. Etiologi
Proses terjadinya asfiksia neonatorum ini dapat terjadi pada masa kehamilan, persalinan atau
segera setelah bayi lahir. Penyebab asfiksia menurut Mochtar (1989) adalah :
1. Asfiksia dalam kehamilan
a. Penyakit infeksi akut
b. Penyakit infeksi kronik
c. Keracunan oleh obat-obat bius
d. Uraemia dan toksemia gravidarum
e. Anemia berat
f. Cacat bawaan
g. Trauma
2. Asfiksia dalam persalinan
a. Kekurangan O2
b. Partus lama (CPD, rigid serviks dan atonia/ insersi uteri)
c. Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terus-menerus mengganggu sirkulasi
darah ke uri
d. Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta.
e. Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepaladan panggul.
f. Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya.
g. Perdarahan banyak : plasenta previa dan solutio plasenta.
h. Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas (serotinus), disfungsi uteri.
i. Paralisis pusat pernafasan
j. Trauma dari luar seperti oleh tindakan forceps
k. Trauma dari dalam : akibat obat bius
Menurut Betz et al. (2001), terdapat empat faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
asfiksia, yaitu :
1. Faktor ibu
a. Hipoksia ibu
Dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau anestesi
dalam, dan kondisi ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.
b. Gangguan aliran darah uterus
Berkurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya aliran
oksigen ke plasenta dan juga ke janin, kondisi ini sering ditemukan pada gangguan
kontraksi uterus, hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, hipertensi pada
penyakit eklamsi.
2. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta, asfiksis
janin dapat terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya perdarahan
plasenta, solusio plasenta.
3. Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh
darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah
ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, melilit leher, kompresi tali pusat
antara jalan lahir dan janin.
4. Faktor neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal yaitu
pemakaian obat anestesi yang berlebihan pada ibu, trauma yang terjadi saat persalinan
misalnya perdarahan intra kranial, kelainan kongenital pada bayi misalnya hernia
diafragmatika, atresia atau stenosis saluran pernapasan, hipoplasia paru.

C. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala asfiksia dapat muncul mulai dari saat kehamilan hingga kelahiran bayi
yang berupa :
1. Pada Kehamilan
Denyut jantung janin lebih cepat dari 160 x/mnt atau kurang dari 100x/mnt, halus dan
ireguler serta adanya pengeluaran mekonium.
a. Jika DJJ normal dan ada mekonium : janin mulai asfiksia
b. Jika DJJ 160 x/mnt ke atas dan ada mekonium : janin sedang asfiksia
c. Jika DJJ 100 x/mnt ke bawah dan ada mekonium : janin dalam gawat
2. Pada bayi setelah lahir
a. Bayi pucat dan kebiru-biruan
b. Usaha bernafas minimal atau tidak ada
c. Hipoksia
d. Asidosis metabolik atau respiratori
e. Perubahan fungsi jantung
f. Kegagalan sistem multiorgan
g. Kalau sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala neurologik, kejang,
nistagmus (gerakan ritmik tanpa kontrol pada mata yang terdiri dari tremor kecil yang
cepat ke satu arah dan yang lebih besar, lebih lambat, berulang-ulang ke arah yang
berlawanan) dan menangis kurang baik/tidak baik.

D. Patofisiologi
Janin yang kekurangan O2 sedangkan kadar CO2-nya bertambah, akan menyebabkan muncul
rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat. Jika
kekurangan O2 terus berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah
kini rangsangan dari nervus simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya ireguler dan
menghilang. Janin akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita periksa kemudian
terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi
atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang.
Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut jantung mulai menurun.
Sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode
apneu primer. Apabila bayi dapat brnapas kembali secara teratur maka bayi mengalami asfiksia
ringan.
Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut jantung terus
menurun disebabkan karena terjadinya metabolisme anaerob yaitu glikolisis glikogen tubuh
yang sebelumnya diawali dengan asidosis respiratorik karena gangguan metabolisme asam basa,
Biasanya gejala ini terjadi pada asfiksia sedang - berat, tekanan darah bayi juga mulai menurun
dan bayi akan terlihat lemas (flascid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi
memasuki periode apneu sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan
kadar O2 dalam darah (PaO2) terus menurun. Pada paru terjadi pengisian udara alveoli yang tidak
adekuat sehingga menyebabkan resistensi pembuluh darah paru. Sedangkan di otak terjadi
kerusakan sel otak yang dapat menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi
selanjutnya. Pada saat ini, Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan
menunjukkan upaya pernafasan secara spontan.
Gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 selama kehamilan/ persalinan ini akan
mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian jika
resusitasi dengan pernafasan buatan dan pemberian O2 tidak dimulai segera. Kerusakan dan
gangguan ini dapat reversible atau tidak tergantung dari berat badan dan lamanya asfiksia.
Asfiksia neonatorum diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Asfiksia Ringan ( vigorus baby)
Skor APGAR 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
2. Asfiksia sedang ( mild moderate asphyksia)
Skor APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari
100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.

3. Asfiksia Berat
Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari
100x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas
tidak ada. Pada asfiksia dengan henti jantung yaitu bunyi jantung fetus menghilang tidak
lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung menghilang post partum,
pemeriksaan fisik sama pada asfiksia berat.
Pemeriksaan apgar untuk bayi :
NILAI APGAR SCORE
TANDA
0 1 2
Frekuensi Jantung Tidak ada Lambat, < 100 x/mnt > 100 x/mnt
Usaha Napas Tidak ada Tidak teratur Menangis kuat
Tonus Otot Lunglai Beberapa fleksi ekstremitas Gerakan aktif
Refleks saat jalan Tidak ada Menyeringai Batuk/bersin
napas dibersihkan
Warna Kulit Biru pucat Tubuh merah muda, Merah muda seluruhnya
ekstremitas biru
Keterangan :
Nilai 0-3 : Asfiksia berat
Nilai 4-6 : Asfiksia sedang
Nilai 7-10 : Normal
Pemantauan nilai apgar dilakukan pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5
menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7. Nilai
Apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan menentukan
prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir
bila bayi tidak menangis.

E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosisa asfiksia pada
bayi baru lahir menurut Prawirohardjo (2005), yaitu:
1. Denyut Jantung Janin
Frekuensi normal adalah antara 120 dan 160 denyutan dalam semenit. Selama his
frekuensi ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan
kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekuensi turun
sampai dibawah 100 semenit di luar his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal ini merupakan
tanda bahaya.
2. Mekonium Dalam Air Ketuban
Pada presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenasi dan harus
menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala
dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan
mudah.
3. Pemeriksaan Darah Janin
Alat yang digunakan : amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil
pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya
asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7.2, hal itu
dianggap sebagai tanda bahaya. Selain itu kelahiran bayi yang telah menunjukkan tanda-
tanda gawat janin mungkin disertai dengan asfiksia neonatorum, sehingga perlu diadakan
persiapan untuk menghadapi keadaan tersebut jika terdapat asfiksia, tingkatnya perlu dikenal
untuk dapat melakukan resusitasi yang sempurna. Untuk hal ini diperlukan cara penilaian
menurut APGAR.
4. Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin meliputi hemoglobin/hematokrit (HB/ Ht) : kadar Hb 15-20 gr dan
Ht 43%-61%), analisa gas darah dan serum elektrolit.
5. Tes combs langsung pada daerah tali pusat. Menentukan adanya kompleks antigen-antibodi
pada membran sel darah merah, menunjukkan kondisi hemolitik.

F. Penatalaksanaan
Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut resusitasi bayi baru lahir yang
bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala sisa yang
mungkin muncul. Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal
dengan ABC resusitasi :
1. Memastikan saluran nafas terbuka :
a. Meletakan bayi dalam posisi yang benar
b. Menghisap mulut kemudian hidung kalau perlu trachea
c. Bila perlu masukan ET (endotracheal tube) untuk memastikan pernapasan terbuka
2. Memulai pernapasan :
a. Lakukan rangsangan taktil Beri rangsangan taktil dengan menyentil atau menepuk
telapak kakiLakukan penggosokan punggung bayi secara cepat,mengusap atau mengelus
tubuh,tungkai dan kepala bayi.
b. Bila perlu lakukan ventilasi tekanan positif
3. Mempertahankan sirkulasi darah :
Rangsang dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi dada atau bila perlu
menggunakan obat-obatan
Cara resusitasi dibagi dalam tindakan umum dan tindakan khusus :
1. Tindakan umum
a. Pengawasan suhu
b. Pembersihan jalan nafas
c. Rangsang untuk menimbulkan pernafasan
2. Tindakan khusus
a. Asfiksia berat
Resusitasi aktif harus segera dilaksanakan, langkah utama memperbaiki ventilasi
paru dengan pemberian O2 dengan tekanan dan intermiten, cara terbaik dengan intubasi
endotrakeal lalu diberikan O2 tidak lebih dari 30 mmHg. Asphiksia berat hampir selalu
disertai asidosis, koreksi dengan bikarbonas natrium 2-4 mEq/kgBB, diberikan pula
glukosa 15-20 % dengan dosis 2-4ml/kgBB. Kedua obat ini disuntuikan kedalam intra
vena perlahan melalui vena umbilikalis, reaksi obat ini akan terlihat jelas jika ventilasi
paru sedikit banyak telah berlangsung. Usaha pernapasan biasanya mulai timbul setelah
tekanan positif diberikan 1-3 kali, bila setelah 3 kali inflasi tidak didapatkan perbaikan
pernapasan atau frekuensi jantung, maka masase jantung eksternal dikerjakan dengan
frekuensi 80-100/menit. Tindakan ini diselingi ventilasi tekanan dalam perbandingan
1:3 yaitu setiap kali satu ventilasi tekanan diikuti oleh 3 kali kompresi dinding toraks,
jika tindakan ini tidak berhasil bayi harus dinilai kembali, mungkin hal ini disebabkan
oleh ketidakseimbangan asam dan basa yang belum dikoreksi atau gangguan organik
seperti hernia diafragmatika atau stenosis jalan nafas.

b. Asfiksia sedang
Berikan stimulasi agar timbul reflek pernapasan, bila dalam waktu 30-60 detik tidak
timbul pernapasan spontan, ventilasi aktif harus segera dilakukan, ventilasi sederhana
dengan kateter O2 intranasaldengan aliran 1-2 lt/mnt, bayi diletakkan dalam posisi
dorsofleksi kepala. Kemudioan dilakukan gerakan membuka dan menutup nares dan
mulut disertai gerakan dagu keatas dan kebawah dengan frekuensi 20 kali/menit, sambil
diperhatikan gerakan dinding toraks dan abdomen. Bila bayi memperlihatkan gerakan
pernapasan spontan, usahakan mengikuti gerakan tersebut, ventilasi dihentikan jika
hasil tidak dicapai dalam 1-2 menit, sehingga ventilasi paru dengan tekanan positif
secara tidak langsung segera dilakukan, ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
dengan dari mulut ke mulut atau dari ventilasi ke kantong masker. Pada ventilasi dari
mulut ke mulut, sebelumnya mulut penolong diisi dulu dengan O2, ventilasi dilakukan
dengan frekuensi 20-30 kali permenit dan perhatikan gerakan nafas spontan yang
mungkin timbul. Tindakan dinyatakan tidak berhasil jika setelah dilakukan berberapa
saat terjasi penurunan frekuensi jantung atau perburukan tonus otot, intubasi
endotrakheal harus segera dilakukan, bikarbonas natrikus dan glukosa dapat segera
diberikan, apabila 3 menit setelah lahir tidak memperlihatkan pernapasan teratur,
meskipun ventilasi telah dilakukan dengan adekuat.
BBLR

A. Defenisi
Bayi berat badan lahir rendah ialah bayi baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang dari
2500 gram (WHO, 1961).
Berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram pada waktu
lahir. (Huda dan Hardhi, 2013).
Menurut Ribek dkk. (2011). Berat badan lahir rendah yaitu bayi yang lahir dengan berat badan
kurang dari 2500 gram tanpa memperhatikan usia gestasi (dihitung satu jam setelah melahirkan).
Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram pada
waktu lahir. (Amru Sofian, 2012).

B. Klasifikasi Bblr
Berkaitan dengan penanganan dan harapan hidupnya bayi berat lahir rendah dibedakan dalam
beberapa macam (Abdul Bari saifuddin,2001) :
1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), berat lahir 1500 gram-2500 gram.
2. Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR),berat alhir kurang dari 1500 gram.
3. Bayi Berta Lahir Ekstrem Rendah (BBLER) berat lahir kurang dari 1000 gram.
Sedangkan menurut WHO membagi Umur kehamilan dalam tiga kelompok :
1. Preterm : kurang dari 37 minggu lengkap.
2. Aterm : mulai dari 37 minggu sampai kurang dari 42 minggu lengkap.
3. Pos term : 42 minggu lengkap atau lebih.
Ada dua macam BBLR yaitu :
1. Prematuritas murni atau bayi yang kurang bulan (KB/SMK) : bayi yang dilahirkan dengan
umur kurang dari 37 minggu dengan berat badan sesuai.
2. Dismaturitas : bayi .lahir dengan berat badan kurang dari seharusnya untuk masa gestasi itu.

C. Etiologi
Menurut Huda dan Hardhi dalam NANDA NIC-NOC (2013). Penyebab kelahiran bayi
berat badan lahir rendah, yaitu:
1. Faktor genetik atau kromosom
2. Infeksi
3. Bahan toksik
4. Insufisiensi atau disfungsi plasenta
5. Radiasi
6. Faktor nutrisi
7. Factor lain seperti merokok, peminum alkohol, bekerja berat pada masa kehamilan,
plasenta previa, kehamilan ganda, obat-obatan, dan sebagainya.

Selain penyebab diatas ada beberapa penyebab kelahiran berat badan lahir rendah yang
berhubungan, yaitu:
1. Faktor ibu
a. Paritas
b. Abortus spontan sebelumnya
c. Infertilitas
d. Gizi saat hamil yang kurang, umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35 tahun
e. Jarak hamil dan persalinan terlalu dekat, pekerjaan yang terlalu berat
f. Penyakit menahun ibu : hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah, perokok
2. Faktor kehamilan
a. Hamil dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan antepartum
b. Komplikasi kehamilan : preeklamsia/eklamsia, ketuban pecah dini
3. Faktor janin
a. Cacat bawaan, infeksi dalam rahim.
b. Infeksi congenital (missal : rubella)
4. Faktor yang masih belum diketahui

D. Patofisiologi Bblr
Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram pada
waktu lahir. Secara umum penyebab dari bayi berat badan lahir rendah dipengaruhi oleh beberapa
factor antara lain gizi saat hamil yang kurang dengan umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35
tahun, jarak hamil dan persalinan terlalu dekat, pekerjaan yang terlalu berat, penyakit menahun
ibu : hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah, perokok.
BBLR biasanya disebabkan juga oleh hamil dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan,
cacat bawaan, infeksi dalam rahim. Hal ini akan menyebabkan bayi lahir dengan berat 2500 gram
dengan panjang kurang dari 45 cm, lingkar dada kurang dari 30 cm kepala lebih besar, kulit tipis,
transparan, rambut lanugo banyak, lemak kurang, otot hipotonik lemah, pernapasan tak teratur
dapat terjadi apnea biasanya terjadi pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu.
Kemungkinan yang terjadi pada bayi dengan BBLR adalah Sindrom aspirasi mekonium,
asfiksia neonatorum, sindrom distres respirasi, penyakit membran hialin, dismatur preterm
terutama bila masa gestasinya kurang dari 35 minggu, hiperbilirubinemia, patent ductus
arteriosus, perdarahan ventrikel otak, hipotermia, hipoglikemia, hipokalsemia, anemi, gangguan
pembekuan darah, infeksi, retrolental fibroplasia, necrotizing enterocolitis (NEC),
bronchopulmonary dysplasia, dan malformasi konginetal.
E. Manifestasi Klinis Bblr
Menurut Huda dan Hardhi. (2013), tanda dan gejala dari bayi berat badan lahir rendah adalah:
1. Sebelum bayi lahir
a. Pada anamnesa sering dijumpai adanya riwayat abortus, partus prematurus, dan lahir
mati.
b. Pembesaran uterus tidak sesuai tuanya kehamilan.
c. Pergerakan janin pertama terjadi lebih lambat, gerakan janin lebih lambat walaupun
kehamilannya sudah agak lanjut
d. Pertambahan berat badan ibu lambat dan tidak sesuai menurut seharusnya. Sering
dijumpai kehamilan dengan oligradramnion gravidarum atau perdarahan anterpartum.
2. Setelah bayi lahir
a. Bayi dengan retadasi pertumbuhan intra uterin
b. Bayi premature yang lahir sebelum kehamilan 37 minggu
c. Bayi small for date sama dengan bayi retardasi pertumbuhan intrauterine.
d. Bayi premature kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam tubuhnya.
Selain itu ada gambaran klinis BBLR secara umum adalah :
1. Berat kurang dari 2500 gram.
2. Panjang kurang dari 45 cm.
3. Lingkar dada kurang dari 30 cm.
4. Lingkar kepala kurang dari 33 cm.
5. Umur kehamilan kurang dari 37 minggu.
6. Kepala lebih besar.
7. Kulit tipis, transparan, rambut lanugo banyak, lemak kurang.
8. Otot hipotonik lemah.
9. Pernapasan tak teratur dapat terjadi apnea.
10. Eksremitas : paha abduksi, sendi lutut / kaki fleksi-lurus.
11. Kepala tidak mampu tegak.
12. Pernapasan 40 – 50 kali / menit.
13. Nadi 100 – 140 kali / menit.

F. Komplikasi
Ada beberapa hal yang dapat terjadi apabila BBLR tidak ditangani secepatnya menurut
Mitayanti, 2009 yaitu :
1. Sindrom aspirasi mekonium (menyababkan kesulitan bernapas pada bayi).
2. Hipoglikemia simtomatik.
3. Penyakit membrane hialin disebabkan karena surfaktan paru belum sempurna,sehingga
alveoli kolaps. Sesudah bayi mengadakan inspirasi, tidak tertinggal udara residu dalam
alveoli, sehingga selalu dibutuhkan tenaga negative yang tinggi untuk yang berikutnya.
4. Asfiksia neonetorom.
5. Hiperbulirubinemia

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan glucose darah terhadap hipoglikemia.
2. Pemantauan gas darah sesuai kebutuhan.
3. Titer torch sesuai indikasi.
4. Pemeriksaan kromosom sesuai indikasi.
5. Pemantauan elektrolit.
6. Pemeriksaan sinar X sesuai kebutuhan (mis : fhoto thorak)

H. Penatalaksaan
1. Medis
a. Resusitasi yang adekuat, pengaturan suhu, terapi oksigen
b. Pengawasan terhadap PDA (Patent Ductus Arteriosus)
c. Keseimbangan cairan dan elektrolit, pemberian nutrisi yang cukup
d. Pengelolaan hiperbilirubinemia, penanganan infeksi dengan antibiotik yang tepat
2. Penanganan secara umum:
a. Penanganan bayi
Semakin kecil bayi dan semakin premature bayi, maka semakin besar perawatan yang
diperlukan, karena kemungkinan terjadi serangan sianosis lebih besar. Semua perawatan
bayi harus dilakukan didalam incubator
b. Pelestarian suhu tubuh
Bayi dengan berat lahir rendah, mempunyai kesulitan dalam mempertahankan suhu
tubuh. Bayi akan berkembang secara memuaskan, asal suhu rectal dipertahankan antara
35,50 C s/d 370 C.Bayi berat rendah harus diasuh dalam suatu suhu lingkungan dimana
suhu normal tubuhnya dipertahankan dengan usaha metabolic yang minimal. Bayi berat
rendah yang dirawat dalam suatu tempat tidur terbuka, juga memerlukan pengendalian
lingkungan secara seksama. Suhu perawatan harus diatas 25 0 C, bagi bayi yang berat
sekitar 2000 gram, dan sampai 300C untuk bayi dengan berat kurang dari 2000 gram
c. Inkubator
Bayi dengan berat badan lahir rendah, dirawat didalam incubator. Prosedur perawatan
dapat dilakukan melalui “jendela“ atau “lengan baju“. Sebelum memasukkan bayi
kedalam incubator, incubator terlebih dahulu dihangatkan, sampai sekitar 29,4 0 C, untuk
bayi dengan berat 1,7 kg dan 32,20C untuk bayi yang lebih kecil. Bayi dirawat dalam
keadaan telanjang, hal ini memungkinkan pernafasan yang adekuat, bayi dapat bergerak
tanpa dibatasi pakaian, observasi terhadap pernafasan lebih mudah.
d. Pemberin oksigen
Ekspansi paru yang buruk merupakan masalah serius bagi bayi preterm BBLR, akibat
tidak adanya alveolo dan surfaktan. Konsentrasi O2yang diberikan sekitar 30- 35 %
dengan menggunakan head box, konsentrasi o2 yang tinggi dalam masa yang
panjangakan menyebabkan kerusakan pada jaringan retina bayi yang dapat
menimbulkan kebutaan
e. Pencegahan infeksi
Bayi preterm dengan berat rendah, mempunyai system imunologi yang kurang
berkembang, ia mempunyai sedikit atau tidak memiliki ketahanan terhadap infeksi.
Untuk mencegah infeksi, perawat harus menggunakan gaun khusus, cuci tangan sebelum
dan sesudah merawat bayi.
f. Pemberian makanan
Pemberian makanan secara dini dianjurkan untuk membantu mencegah terjadinya
hipoglikemia dan hiperbillirubin. ASI merupakan pilihan pertama, dapat diberikan
melalui kateter ( sonde ), terutama pada bayi yang reflek hisap dan menelannya lemah.
Bayi berat lahir rendah secara relative memerlukan lebih banyak kalori, dibandingkan
dengan bayi preterm.
NEONATAL DENGAN VAKUM EKSTRAKSI

A. Pengertian
Ekstraksi vakum adalah suatu tindakan bantuan persalinan di mana janin dilahirkan dengan
ekstraksi menggunakan tekanan negatif (daya hampa udara) dengan alat vakum (negative-preasure
vacuum extractor) yang dipasang dikepalanya. Hanya sebagai alat ekstraksi tidak baik sebagai alat
rotasi (Farogk, 2009)
Pada ekstraksi vakum, keadaan fisiologis yang diharapkan adalah terbentuknya kaput
suksadeneum pada kepala janin sebagai kompensasi akibat penghisapan/ tekanan negatif. Kemudian
setelah kepala menempel pada mangkuk vakum, tarikan dilakukan dengan bantuan tenaga dari ibu
(bersamaan dengan saat his/ gerakan mengejan) mengandalkan penempelan kaput tersebut pada
mangkuk vakum (Farogk, 2009)
Vakum memberi tenaga tambahan untuk mengeluarkan bayi, dan biasanya digunakan saat
persalinan sudah berlangsung terlalu lama dan ibu sudah terlalu capek serta tidak kuat meneran lagi.
Ekstraksi vakum dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
A. Janin aterm, letak kepala, atau bokong
B. Janin harus dapat lahir pervaginam ( tidak ada disproporsi sefalopelvik)
C. Pembukaan serviks sudah lengkap (pada multigravida, dapat pada pembukaan
minimal 5 - 7 )
D. Kepala janin sudah engaged
E. Selaput ketuban sudah pecah, atau jika belum harus dipecahkan
F. Harus ada kontraksi uterus (his) dan tenaga mengejan ibu (reflex mengejan baik).
G. Tidak boleh ada mukosa vagina atau jaringan servix yang terjepit antara ekstraktor
vakum dengan kepala janin
H. Penurunan kepala janin minimal Hodge II
I. Tekanan vakum sampai mencapai 50 mmHg

B. Etiologi
A. Kelelahan pada ibu : terkurasnya tenaga ibu pada saat melahirkan karena kelelahan fisik pada
ibu (Prawirohardjo, 2005).
B. Partus tak maju : His yang tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya menyebabkan bahwa
rintangan pada jalan lahir yang lazim terdapat pada setiap persalinan, tidak dapat diatasi
sehingga persalinan mengalami hambatan atau kematian (Prawirohardjo, 2005).
C. Gawat janin : Denyut Jantung Janin Abnormal ditandai dengan:
 Denyut Jantung Janin irreguler dalam persalinan sangat bereaksi dan dapat kembali
beberapa waktu. Bila Denyut Jantung Janin tidak kembali normal setelah kontraksi, hal
ini mengakibatkan adanya hipoksia.
 Bradikardia yang terjadi di luar saat kontraksi atau tidak menghilang setelah kontraksi.
 Takhikardi dapat merupakan reaksi terhadap adanya demam pada ibu (Prawirohardjo,
2005).

C. Patofisiologi
Ada 4 faktor yang mempengaruhi proses persalinan kelahiran yaitu passenger (penumpang
yaitu janin dan placenta), passagway (jalan lahir), powers (kekuatan) posisi ibu dan psikologi.
Ketika dalam proses persalinan tersebut ibu mengalami tanda-tanda indikasi seperti Power ibu
menurun: frekuensi his semakin menurun, nadi ibu cepat > 100 x/mnt, nafas cepat > 40x/mnt.
Decom tingkat I: sesak nafas yang dialami ibu setelah ibu mengejan. Tekanan darah naik: ibu
pusing, ada kenaikan tekanan sistole dan diastole (> 130/80). Tidak kuat mengejan: penurunan
kepala janin statis, saat ibu mengejan dua kali kepala tidak mengalami penrunan. Adanya kenaikan
suhu: suhu naik lebih dari normal, > 37,5. Maka harus dilakukan tindakan vakum ekstraksi.
Penumpang, cara penumpang atau janin bergerak disepanjang jalan lahir merupakan akibat interaksi
beberapa faktor yakni ukuran kepala janin, presentasi, letak, sikap dan posisi janin. Jalan lahir terdiri
dari panggul ibu, yakni bagian tulang yang padat, dasar panggul, vagina dan introitus (lubang luar
vagina). Meskipun jaringan lunak khususnya lapisanlapisan otot dasar panggul ikut menunjang
keluarnya bayi, tetapi panggul ibu lebih berperan dalam proses persalinan janin. Maka dari itu
ukuran dan bentuk panggul harus ditentukan sebelum persalinan. Kekuatan ibu melakukan kontraksi
involunter dan volunter. Posisi ibu, posisi ibu mempengaruhi adaptasi anatomi dan fisiologi
persalinan, posisi tegak memberi sejumlah keuntungan yaitu rasa letih hilang, merasa nyaman dan
memperbaiki sirkulasi. Pada kala II memanjang upaya mengedan ibu menambahi resiko pada bayi
karena mengurangi jumlah oksigen ke placenta dianjurkan mengedan secara spontan jika tidak ada
kemajuan penurunan kepala maka dilakukan ektraksi vakum untuk menyelamatkan janin dan
ibunya. Dengan tindakan vakum ekstraksi dapat menimbulkan komplikasi pada ibu seperti robekan
pada servik uteri dan robekan pada dinding vagina. Robekan servik (trauma jalan lahir) dapat
menyebabkan nyeri dan resiko terjadinya infeksi dan komplikasi pada janin dapat menyebabkan
subgaleal hematoma yang dapat menimbulkan ikterus neonatorum jika fungsi hepar belum matur
dan terjadi nekrosis kulit kepala yang menimbulkan alopenia. Pengeluaran janin pada persalinan
menyebabkan trauma pada uretra dan kandung kemih dan organ sekitarnya. Kapasitas kandung
kemih post partum meningkat sehingga pengeluaran urin pada awal post partum banyak sehingga
dapat mengakibatkan perubahan pola eliminasi urin. Mula-mula ekstraktor vakum ditarik oleh
tangan kanan pada pegangan yang berbentuk palang, sambil tangan kiri berusaha supaya mangkok
tidak lepas dari kepala. 3 jari tangan kiri dimasukkan ke dalam vagina: ibu jari ditempatkan ke
pinggir mangkok bagian depan, jari telunjuk dan jari tengah dikepala anak, ventral dari mangkok.
Apabila tangan kanan mengadakan ekstraksi, bersamaan ibu jari menekan mangkok bagian depan
kepada kepala. Jadi ada kerja sama antara tangan kanan dan tangan kiri. Penarikan ekstraktor vakum
dilakukan bersamaan dengan pegangan 3 jari ini (drei-finger griff). Arah tarikan sesuai dengan
sumbu jalan lahir. Tarikan pada ekstraktor vakum sifatnya berkala, sinkron dengan HIS dan tenaga
meneran. Setelah seluruh kepala lahir, bahu dan badan anak dilahirkan seperti biasa kemudian ventil
dilepas perlahan-lahan supaya udara masuk ke dalam botol dan tekanan negatif hilang. Mangkok
dapat dilepaskan dari kepala anak. Apabila mangkok sukar lepas karena sangat erat hubungannya
dengan kepala maka pipa karet yang menghubungkan botol dengan pegangan dilepas terlebih
dahulu. Dengan ekstraktor vakum lahirnya kepala dapat diusahakan perlahan-lahan seperti pada
partus spontan. Karena itu perlukaan jalan lahir ringan. Lamanya tindakan sebaiknya tidak melebihi
20 menit, maksimum 40 menit. Ekstraksi yang terlampau lama dianggap berbahaya bagi janin.
Apabila terjadi pelebaran jalan lahir maka lakukan: Masukkan speculum sim’s/L atas dan bawah
pada vagina. Perhatikan apakah terdapat robekan perpanjangan luka episiotomi atau robekan pada
dinding vagina di tempat lain. Ambil klem ovum sebanyak 2 buah, lakukan penjepitan secara
bergantian ke arah samping, searah jarum jam, perhatikan ada tidaknya robekan porsio. Bila terjadi
robekan di luar luka episiotomi, lakukan penjahitan. Nyeri jahitan perineum sebagai manifestasi dari
luka bekas jahitan yang dirasakan klien akibat rupture perineum pada kala pengeluaran, yaitu bagian
terdepan dari anak berada di dasar panggul. Rupture perineum tidak selalu dihindarkan, tetapi
dengan pertolongan yang baik pada waktu lahirnya anak robekan itu dapat dikurangi. Dalam
penjahitan harus dijaga kerapian dan kerapatannya, sehingga perineum dapat rata kembali sebelum
terjadi robekan. Adanya jaringan lunak yang direkontruksi akan menyebabkan jahitan semakin
nyeri. Untuk itu dibutuhkan teknik perawatan yang benar dan hati-hati untuk mencegah terjadinya
infeksi (Prawirohardjo, 2005).
Pathway

D. Manifestasi Klinik
Secara umum, tanda dan gejala dari persalinan adalah :
A. Penipisan dan pembukaan serviks
B. Kontraksi uterus yang mengakibatkan perubahan pada serviks (frekuensi minimal 2
x dalam 10 menit)
C. Keluarnya lendir bercampur darah melalui vagina
Tanda dan gejala kala I :
A. Fase laten
 Dimulai sejak awal kontraksi yang menyebabkan penipisan & pembukaan
serviks secara bertahap
 Pembukaan serviks < 4cm
 Biasanya berlangsung selama 8 jam
B. Fase aktif
 Pembukaan serviks dari 4 pembukaan lengkap (1cm/jam)
 Terjadi penurunan bagian terbawah janin
Tanda dan gejala kala II lama :
 Ibu merasa ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi
 Ibu merasakan makin meningkatnya tekanan pada rektum & vagina
 Perineum terlihat menonjol
 Vulva - vagina dan sfingter ani terlihat membuka
 Peningkatan pengeluaran lendir darah
Tanda dan gejala kala III, yakni :
 Perubahan bentuk dan ukuran uterus
 Tali pusat memanjang
 Semburan darah tiba - tiba
Tanda dan gejala kala IV persalinan, antara lain dimulai sejak lahirnya plasenta dan berakhir 2 jam
setelahnya

E. Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan dari tindakan vacum ekstraksi adalah :
A. Terhadap Ibu
 Robekan bibir cervic atau vagina karena terjepit kepala bayi dan cup
 Perdarahan akibat atonia uteri / trauma(trauma jalan lahir, infeksi)
B. Terhadap Anak
 Perdarahan dalam otak. Caput succedaneum artificialis akan hilang dalam
beberapa hari
 Abserasi dan laserasi kulit kepala
 Sefalhematoma, akan hilang dalam 3 – 4 minggu.
 Nekrosis kulit kepala
 Perdarahan intrakranial sangat jarang
 Jaundice,
 Fraktur klavikula
 Kerusakan N.VI dan VII.

F. Kontraindikasi
 Letak muka (kerusakan pada mata)
 Kepala menyusul
 Bayi premature (tarikan tidak boleh keras)
 Gawat janin
SEPSIS

A. Definisi Sepsis
Sepsis adalah suatu keadaan ketika mikroorganisme menginvasi tubuh dan menyebabkan
respon inflamasi sitemik. Respon yang ditimbulkan sering menyebabkan penurunan perfusi organ
dan disfungsi organ. Jika disertai dengan hipotensi maka dinamakan Syok sepsis. ( Linda D.U,
2006),
Sepsis adalah sindrom yang dikarakteristikan oleh tanda-tanda klinis dan gejala-gejala
infeksi yang parah yang dapat berkembang ke arah septisemia dan syok septik. (Doenges, Marylyn
E. 2000).
Sepsis adalah infeksi berat dengan gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah.
(Surasmi, Asrining. 2003).
Sepsis adalah mikrooganisme patogen atau toksinnya didalam darah. (Dorland, 2010).
Dari definisi di atas penyusun menyimpulkan bahwa sepsis adalah infeksi bakteri generalisata dalam
darah yang biasanya terjadi pada bulan pertama kehidupan dengan tanda dan gejala sistemik.

B. Patofisiologi
Sepsis disebabkan oleh bakteri gram negatip (70%), bakteri gram positip (20-40%), jamur dan
virus (2-3%), protozoa (Iskandar, 2002).Produk bakteri yang berperan penting pada sepsis adalah
lipopolisakarida (LPS) yang merupakan komponen utama membran terluar bakteri gram negatip dan
berperan terhadap timbulnya syok sepsis (Guntur, 2008; Cirioni et al., 2006). LPS mengaktifkan
respon inflamasi sistemik (Systemic Inflamatory Response Syndrome/SIRS) yang dapat
mengakibatkan syok serta Multiple Organ Failure (MOF) (Arul, 2001). Apoptosis berperan dalam
terjadinya patofisiologi sepsis dan mekanisme kematian sel pada sepsis (Hotchkiss dan Irene, 2003;
Chang et al., 2007).Pada pasien sepsis akan terjadi peningkatan apoptosis limfosit lebih besar dari
25% total limfosit di lien (Irene, 2007).
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis, masih banyak faktor lain
(nonsitokin) yang sangat berperan dalam menentukan perjalanan penyakit. Respon tubuh terhadap
patogen melibatkan berbagai komponen sistem imun dan sitokin, baik yang bersifat proinflamasi
maupun antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah tumor necrosis factor(TNF),
interleukin-1(IL-1), dan interferon-γ (IFN-γ) yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan
mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin-1 reseptor
antagonis (IL-1ra), IL-4, dan IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi
terhadap respon yang berlebihan. Sedangkan IL-6 dapat bersifat sebagai sitokin pro- dan anti-
inflamasi sekaligus.
Penyebab sepsis paling banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari endotoksin gram (-) maupun
eksotoksin gram (+). Komponen endotoksin utama yaitu lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin
glikoprotein kompleks dapat secara langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral,
bersama dengan antibodi dalam serum darah penderita membentuk lipopolisakarida antibodi
(LPSab). LPSab yang berada dalam darah penderita dengan perantaraan reseptor CD14+ akan
bereaksi dengan makrofag yang kemudian mengekspresikan imunomudulator.
Pada sepsis akibat kuman gram (+), eksotoksin berperan sebagai super-antigen setelah difagosit oleh
monosit atau makrofag yang berperan sebagai antigen processing celldan kemudian ditampilkan
sebagai antigen presenting cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari major histocompatibility complex (MHC), kemudian berikatan dengan CD42+(limposit
Th1 dan Th2) dengan perantaraan T cell receptor(TCR).
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limposit T akan mengeluarkan substansi
dari Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2, dan macrophage colony
stimulating factor (M-CSF0. Limposit Th2 akan mengeluarkan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-γ
meransang makrofag mengeluarkan IL-1ß dan TNF-α. Pada sepsis IL-2 dan TNF-α dapatmerusak
endotel pembuluh darah. IL-1ß juga berperandalam pembentukan prostaglandin E2 (PG-E) dan
meransang ekspresi intercellular adhesion molecule-1(ICAM-1). ICAM-1 berperan pada proses
adhesi neutrofil dengan endotel.Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim
yang menyebabkan dinding endotel lisis. Neutrofil juga membawa superoksidan radikal bebas yang
akan mempengaruhi oksigenasi mitokondria. Akibat proses tersebut terjadi kerusakan endotel
pembuluh darah. Kerusakan endotel akan menyebabkan gangguan vaskuler sehingga terjadi
kerusakan organ multipel.
Masuknya mikroorganisme penginfeksi ke dalam tubuh akan menimbulkan reaksi yang berlebihan
dari sistem imun dan menyebabkan aktivasi APC yang akan mempresentasikan mikroorganisme
tersebut ke limfosit. APC akan mengeluarkan mediator-mediator proinflamasi seperti TNF-α, IL-1,
IL-6, C5a dan lainnya, yang menimbulkan SIRS dan MOD yang dihasilkan oleh sel limfosit akan
menyebabkan limfosit teraktivasi dan berproliferasi serta berdiferensiasi menjadi sel efektor (Abbas
dan Litchman, 2005; Remick, 2007).
Sel limfosit yang telah berdiferensiasi ini kemudian akan mengeluarkan mediator-mediator
proinflamasi yang berlebihan tanpa diimbangi medioator antiinflamasi yang memadai.
Ketidakseimbangan antara proinflamasi dan antiinflamasi ini kemudian akan menimbulkan keadaan
hiperinflamasi sel endotel yang selanjutnya akan menyebabkan rangkaian kerusakan hingga
kegagalan organ yang merugikan (Guntur, 2008).
Sel-sel imun yang paling terlihat mengalami disregulasi apoptosis ini adalah limfosit (Wesche-
Soldato et al., 2007). Apoptosis limfosit ini terjadi pada semua organ limfoid seperti lien dan timus
(Hotchkiss et al., 2005). Apoptosis limfosit juga berperan penting terhadap terjadinya patofisiologi
sepsis (Chang et al., 2007). Apoptosis limfosit dapat menjadi penyebab berkurangnya fungsi limfosit
pada pasien sepsis (Remick, 2007).
Pathway
C. Etiologi
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat disebabkan oleh
virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur). Mikroorganisme kausal yang paling sering
ditemukan pada orang dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus,
dan Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering
ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung
dari mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap
infeksi.
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus syok septik. Dari kasus-kasus
dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies
bakteri gram positif atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme
campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin, cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat
mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin
tidak dapat diakses oleh kultur.
Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya populasi dunia, pasien-pasien
yang menderita penyakit kronis dapat bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang
relatif tinggi di antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid atau
antibiotika), prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi yang paling sering
menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering
dihubungkan dengan sepsis yaitu:
1. Infeksi paru-paru (pneumonia)
2. Flu (influenza)
3. Appendiksitis
4. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
5. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)
6. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah dimasukkan
ke dalam tubuh melalui kulit
7. Infeksi pasca operasi : Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis. Sekitar pada
satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi.
D. Manifestasi Klinis
1. Tanda dan Gejala Umum
a. Hipertermia (jarang) atau hipothermia (umum) atau bahkan normal.
b. Aktivitas lemah atau tidak ada
c. Tampak sakit
d. Menyusun buruk/intoleransi pemberian susu.
2. Sistem Pernafasan
a. Dispenu
b. Takipneu
c. Apneu
d. Tampak tarikan otot pernafasan
e. Merintik
f. Mengorok
g. Pernapasan cuping hidung
h. Sianosis
3. Sistem Kardiovaskuler
a. Hipotensi
b. Kulit lembab dan dingin
c. Pucat
d. Takikardi
e. Bradikardi
f. Edema
g. Henti jantung
4. Sistem Pencernaan
a. Distensi abdomen
b. Anoreksia
c. Muntah
d. Diare
e. Menyusu buruk
f. Peningkatan residu lambung setelah menyusu
g. Darah samar pada feces
h. Hepatomegali
5. Sistem Saraf Pusat
a. Refleks moro abnormal
b. Intabilitas
c. Kejang
d. Hiporefleksi
e. Fontanel anterior menonjol
f. Tremor
g. Koma
h. Pernafasan tidak teratur
i. High-pitched cry
6. Hematologi
a. Ikterus
b. Petekie
c. Purpura
d. Prdarahan
e. Splenomegali
f. Pucat
g. Ekimosis

E. Komplikasi
a. Hipoglikemia, asidosis metabolik
b. Koagulopati, gagal ginjal, disfungsi miokard, perdarahan intrakranial
c. Ikterus/kernikterus

F. Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi,
mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi
antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor
dan inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi
imunologi bila terjadi respons imun maladaptif host terhadap infeksi.
1) Resusitasi : Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan
oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan
transfusi bila diperlukan. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang
mengalami hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65
mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi,
saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12
mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau
pemberian dobutamin (sampai maksimal 20 μg/kg/menit).
2) Eliminasi sumber infeksi
Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada umumnya tidak
mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami obstruksi dan implan
prostesis yang terinfeksi. Tindakan ini dilakukan secepat mungkin mengikuti resusitasi
yang adekuat.
3) Terapi antimikroba : Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan
sepsis. Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak
diketahui sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat
yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke
tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh karena pada sepsis umumnya disebabkan oleh
gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin
seperti karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses
inflamasi yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan
gagal multi organ
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data
mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa
terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.
B. Terapi suportif
1) Oksigenasi : Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera
dilakukan.
a) Terapi cairan
 Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9% atau
ringer laktat) maupun koloid.
 Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik melebihi
tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
 Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar Hb
rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan renjatan
septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8-
10 g/dL.
b) Vasopresor dan inotropik : Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik
teratasi dengan pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi.
Vasopresor diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai
MAP 60 mmHg atau tekanan darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin
>8μg/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine 0.5-
8μg/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat digunakan:
dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8 μg/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5
μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan milrinone).
c) Bikarbonat : Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum
bikarbonat <9 mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan
hemodinamik.

d) Disfungsi renal : Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien


hipovolemik/hipotensi, segera diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat,
vasopresor dan inotropik bila diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 μg/kg/menit)
seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun
secara evidence based belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut
dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.
e) Nutrisi : Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis,
glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan
penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin.
Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein.
Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan
mineral perlu diberikan sedini mungkin
f) Kontrol gula darah : Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan
terdapat penurunan mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang
diberikan insulin untuk mencapai kadar gula darah antara 80-110 mg/dL
dibandingkan pada kelompok dimana insulin baru diberikan bila kadar gula
darah >115 mg/dL. Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut dapat
diaplikasikan dalam praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada risiko
hipoglikemia.
g) Gangguan koagulasi : Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya
gangguan koagulasi dan DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan
mikrotrombus di sirkulasi). Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan
aktivitas antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus
menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan,
berupa heparin, antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan
dapat diberikan, tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas.
h) Kortikosteroid : Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal.
Hidrokortison dengan dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien
dengan renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol.
Keadaan tanpa syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi
sepsis.

7. Pencegahan
A. Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni bakteri Gram-negatif2.
B. Berikan semprotan ( spray) polimiksin pada faring posterior untuk mencegah pneumonia
Gram, negatif ,nasokomial
C. Lingkungan yang protektif pasien beresiko kurang berhasil karena sebagian besar infeksi
berasaldari dalam ( endogen )
PNEUMONIA
A. Definisi
Pneumonia adalah penyakit inflamasi pada paru yang dicirikan dengan adanya konsolidasi
akibat eksudat yang masuk dalam area alveoli.(Axton & Fugate, 1993).
Peradangan akut parenkim paru yang biasanya berasal dari suatu infeksi, disebut pneumonia.
(Sylvia)
Penumonia adalah inflasi parenkim paru, biasanya berhubungan dengan pengisian cairan di
dalam alveoli.Hal ini terjadi ini terjadi akibat adanya invaksi agen atau infeksius adalah
adanya kondisi yang mengganggu tahanan saluran.Trakhabrnkialis, adalah beberapa keadaan
yang mengganggu mekanisme pertahanan sehingga timbul infeksi paru misalnya, kesadaran
menurun, umur tua, trakheastomi, pipa
endotrakheal, dan lain-lain.Dengan
demikian flora endogen yang menjadi
patogen ketika memasuki saluran
pernapasan.( Ngasriyal, Perawatan Anak
Sakit, 1997)

B. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi seperti:
1. Bakteri penyebab pneumonia yang
paling umum adalah staphylococcus
aureus, streptococus, aeruginosa, legionella, hemophillus, influenza, eneterobacter.
Bakteri-bakteri tersebut berada pada kerongkongan manusia sehat, setelah system
pertahanan menurun oleh sakit, usia tua, atau malnutrisi, bakteri tersebut segera
memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan.
2. Virus penyebab pneumonia diantaranya yaitu virus influenza, adenovirus,chicken-pox
(cacar air). Meskipun virus-virus ini menyerang saluran pernafasan bagian atas, tetapi
gangguan ini dapat memicu pneumonia, terutama pada anak-anak.
3. Organism mirip bakteri yaituMicoplasma pneumonia. Pneumonia jenis ini berbeda
dengan pneumonia pada umumnya. Karena itu pneumonia yang diduga disebabkan
oleh virus yang belum ditemukan ini sering disebut pneumonia yang tidak tipikal.
Mikoplasma ini menyerang segala jenis usia.
4. Jamur penyebab pneumonia yaitu candida albicans

C. Klasifikasi
Secara garis besar pneumonia dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
1. Aspirasi pneumonia
Terjadi bila bayi tersedak dan ada cairan /makanan masuk ke paru-paru.Pada bayi baru
lahir, biasanya tersedak karena air ketuban atau ASI.
2. Pneumonia karena infeksi virus, bakteri, atau jamur
Umumnya penyebab infeksi paru adalah virus dan bakteri seperti streptococcus pneumonia
dan haemophylus influenzae. Gejala akan muncul 1-2 hari setelah terinfeksi. Gejala yang
muncul mulai dari demam,batuk lalu sesak nafas.
3. Pneumonia akibat faktor lingkungan
Polusi udara menyebabkan sesak nafas terutama bagi yang alergi. Bila tidak segera
dilakukan pengobatan maka akan mengakibatkan bronchitis dan selanjutnya menjadi
pneumonia.

D. Patofisiologi
Sebagian besar pneumonia didapat melalui aspirasi partikel infektif seperti
menghirup bibit penyakit di uadara.Ada beberapa mekanisme yang pada keadaan normal
melindungi paru dari infeksi.Partikel infeksius difiltrasi di hidung, atau terperangkap dan
dibersihkan oleh mukus dan epitel bersilia di saluran napas. Bila suatu partikel dapat
mencapai paru-paru, partikel tersebut akan berhadapan dengan makrofag alveoler, dan juga
dengan mekanisme imun sistemik, dan humoral.
Setelah mencapai parenkim paru, bakteri menyebabkan respons inflamasi akut yang
meliputi eksudasi cairan, deposit fibrin, dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear di alveoli
yang diikuti infitrasi makrofag. Cairan eksudatif di alveoli menyebabkan konsolidasi lobaris
yang khas pada foto toraks.Virus, mikoplasma, dan klamidia menyebabkan inflamasi dengan
dominasi infiltrat mononuklear pada struktur submukosa dan interstisial.Hal ini
menyebabkan lepasnya sel-sel epitel ke dalam saluran napas, seperti yang terjadi pada
bronkiolitis.
Micoplasma
virus Bakteri (mirip bakteri) jamur

Masuk sasaluran
pernafasan

Paru-paru

Bronkus & alveoli


Reseptor peradangan

Mengganggu krj
makrofag hipothalamus

Hipertermi
Resiko penyebaran infeksi infeksi
Kringat
berlebih

Peradangan/ inflamasi Risti kekurangan


Reseptor nyeri:
cairan &elektrolit
 Histamine
 Prostaglandin
 bradikinin
produksi Difusi gas antara O2 &
odema skreet mngkat CO2 di alveoli
terganggu

Nyeri dispnea batuk Kapasitas transportasi


O2 menurun

kelelahan Gangguan pola


napas Gangguan pertukaran
gas

Nadi lemah
Bersihan jln napas
tdk efektif Pnekanan diafragma

Pe tekanan Intra
abdomen
Anureksia Saraf pusat

Nutrisi berkurang

Peningkatan Risti terhadap


Metabolisme gangguan nutrisi
E. Manifestasi Klinik
1. Menggigil, demam
2. Nyeri dada
3. Takipnea
4. Bibir dan kuku sianosis
5. Sesak nafas
6. Batuk
7. Kelelahan
F. Komplikasi
1. Efusi pleura
2. Hipoksemia
3. Pneumonia kronik
4. Bronkaltasis
5. Atelektasis (pengembangan paru yang tidak sempurna/bagian paru-paru yang diserang
tidak mengandung udara dan kolaps).
6. Komplikasi sistemik (meningitis)
G. Faktor Resiko
1. Usia diatas 65 tahun
2. Aspirasi secret orofaringeal
3. Infeksi pernapasan oleh virus
4. Penyakit pernapasan kronik
5. Kanker
6. Trakeostomi
7. Bedah abdominal
8. Riwayat merokok
9. Alkoholisme
10. Malnurisi

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar X: mengidentifikasikan distribusi struktural (misal: lobar, bronchial); dapat juga
menyatakan abses)
2. Pemeriksaan gram/kultur, sputum dan darah: untuk dapat mengidentifikasi semua
organisme yang ada.
3. Pemeriksaan serologi: membantu dalam membedakan diagnosis organisme khusus.
4. Pemeriksaan fungsi paru: untuk mengetahui paru-paru, menetapkan luas berat penyakit
dan membantu diagnosis keadaan.
5. Biopsi paru: untuk menetapkan diagnosis
6. Spirometrik static: untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi
7. Bronkostopi: untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda asing

I. Penatalaksanaan
Pengobatan umum pasien-pasien pneumonia biasanya berupa pemberian antibiotik yang
efektif terhadap organisme tertentu, terapi O2 untuk menanggulangi hipoksemia.
Beberapa contoh pemberian antibiotic seperti :
1. Penicillin G: untuk infeksi pneumonia staphylococcus.
2. Amantadine, rimantadine: untuk infeksi pneumonia virus
3. Eritromisin, tetrasiklin, derivat tetrasiklin: untuk infeksi pneumonia mikroplasma.
BAYI PREMATUR

A. Defenisi
Definisi Bayi Prematur Menurut definisi WHO, bayi prematur adalah bayi lahir hidup
sebelum usia kehamilan minggu ke 37 (dihitung dari hari pertama haid terakhir). Bayi prematur
atau bayi preterm adalah bayi yang berumur kehamilan 37 minggu tanpa memperhatikan berat
badan, sebagian besar bayi prematur lahir dengan berat badan kurang 2500 gram (Surasmi, dkk,
2003). Prematur juga sering digunakan untuk menunjukkan imaturitas. Bayi dengan berat badan
lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu kurang dari 1000 gram juga disebut sebagai neonatus
imatur. Secara historis, bayi dengan berat badan lahir 2500 gram atau kurang disebut bayi
prematur (Behrman, dkk, 2000). Umumnya kehamilan disebut cukup bulan bila berlangsung
antara 37-41 minggu dihitung dari hari pertama siklus haid terakhir pada siklus 28 hari.
Sedangkan persalinan yang terjadi sebelum usia kandungan mencapai 37 minggu disebut
dengan persalinan prematur (Sulistiarini & Berliana, 2016).
Istilah prematuritas telah diganti dengan bayi berat badan lahir rendah (BBLR) karena
terdapat dua bentuk penyebab kelahiran bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram, yaitu
karena usia kehamilan kurang dari 37 minggu, berat badan lebih rendah dari semestinya,
sekalipun umur cukup, atau karena kombinasi keduanya (Maryunani & Nurhayati, 2009). 8
Bayi berat lahir rendah (BBLR) ialah bayi baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang dari
2500 gram (sampai dengan 2499 gram). Sejak tahun 1961 WHO telah mengganti istilah
prematur dengan bayi berat lahir rendah (BBLR). Hal ini dilakukan karena tidak semua bayi
yang berat badannya kurang dari 2500 gram pada waktu lahir adalah bayi prematur (Rukiyah &
Yulianti, 2012).

B. Klasifikasi
Klasifikasi Bayi Prematur Menurut Rukiyah & Yulianti (2012), bayi dengan kelahiran
prematur dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
A. Bayi Prematur Sesuai Masa Kehamilan (SMK) Bayi prematur sesuai masa kehamilan
(SMK) adalah bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang dari 37 minggu dan berat
badannya sesuai dengan usia kehamilan. Derajat prematuritas dapat digolongkan
menjadi 3 kelompok antara lain adalah sebagai berikut:
a) Bayi sangat prematur (extremely premature) : 24-30 minggu
b) Bayi prematur sedang (moderately premature) : 31-36 minggu
c) Borderline premature : 37-38 minggu. Bayi ini mempunyai sifat prematur dan
matur. Beratnya seperti bayi matur akan tetapi sering timbul masalah seperti
yang dialami bayi prematur misalnya gangguan pernapasan,
hiperbilirubinemia dan daya isap yang lemah.
B. Bayi Prematur Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)
Bayi prematur kecil untuk masa kehamilan (KMK) adalah bayi yang lahir
dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa gestasi tersebut.
Banyak istilah yang dipergunakan untuk 9 menunjukkan bahwa bayi KMK ini dapat
menderita gangguan pertumbuhan di dalam uterus (intrauterine retardation = IUGR)
seperti pseudopremature, small for dates, dysmature, fetal malnutrition syndrome,
chronis fetal distress, IUGR dan small for gestational age (SGA). Setiap bayi baru
lahir (prematur, matur dan post matur) mungkin saja mempunyai berat yang tidak
sesuai dengan masa gestasinya. Gambaran kliniknya tergantung dari pada lamanya,
intensitas dan timbulnya gangguan pertumbuhan yang mempengaruhi bayi tersebut.
IUGR dapat dibedakan menjadi 2 yaitu sebagai berikut:
a) Proportinate IUGR : janin menderita distres yang lama, gangguan
pertumbuhan terjadi berminggu-minggu sampai berbulan-bulan sebelum bayi
lahir. Sehingga berat, panjang dan lingkaran kepala dalam proporsi yang
seimbang, akan tetapi keseluruhannya masih di bawah masa gestasi yang
sebenarnya.
b) Disproportinate IUGR : terjadi akibat distres sub akut. Gangguan terjadi
beberapa minggu atau beberapa hari sebelum janin lahir. Pada keadaan ini
panjang dan lingkaran kepala normal, akan tetapi berat tidak sesuai dengan
masa gestasi. Tanda-tandanya adalah sedikitnya jaringan lemak di bawah
kulit, kulit kering, keriput dan mudah diangkat, bayi kelihatan kurus dan lebih
panjang.
C. Etiologi
Etiologi Bayi Prematur Menurut Rukiyah & Yulianti (2012), bayi dengan kelahiran prematur
dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut:
A. Faktor ibu Faktor ibu merupakan hal dominan dalam mempengaruhi kejadian prematur,
faktor-faktor tersebut di antaranya adalah:
a) Toksemia gravidarum (preeklampsia dan eklampsia).
b) Riwayat kelahiran prematur sebelumnya, perdarahan antepartum, malnutrisi dan
anemia sel sabit
c) Kelainan bentuk uterus (misal: uterus bikurnis, inkompeten serviks).
d) Tumor (misal: mioma uteri, eistoma).
e) Ibu yang menderita penyakit seperti penyakit akut dengan gejala panas tinggi
(misal: thypus abdominalis, dan malaria) dan penyakit kronis (misal: TBC, penyakit
jantung, hipertensi, penyakit ginjal).
f) Trauma pada masa kehamilan, antara lain jatuh.
g) Kebiasaan ibu (ketergantungan obat narkotik, rokok dan alkohol).
h) Usia ibu pada waktu hamil kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun. 9) Bekerja
yang terlalu berat.
i) Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat.
B. Faktor Janin
Beberapa faktor janin yang mempengaruhi kejadian prematur antara lain kehamilan
ganda, hidramnion, ketuban pecah dini, cacat bawaan, kelainan kromosom, infeksi (misal:
rubella, sifilis, toksoplasmosis), insufensi plasenta, inkompatibilitas darah ibu dari janin
(faktor rhesus, golongan darah A, B dan O), infeksi dalam rahim.
C. Faktor Lain
Selain faktor ibu dan janin ada faktor lain yaitu faktor plasenta, seperti plasenta
previa dan solusio plasenta, faktor lingkungan, radiasi atau zat-zat beracun, keadaan sosial
ekonomi yang rendah, kebiasaan, pekerjaan yang melelahkan dan merokok.
Menurut Proverawati & Sulistyorini (2010), berdasarkan klasifikasinya penyebab
kelahiran bayi prematur dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:
a) Bayi prematur tipe SMK disebabkan oleh:
 Berat badan ibu yang rendah, ibu hamil yang masih remaja, kehamilan kembar.
 Pernah melahirkan bayi prematur sebelumnya.
 Cervical incompetence (mulut rahim yang lemah hingga tak mampu menahan
berat bayi dalam rahim).
 Perdarahan sebelum atau saat persalinan (antepartum hemorrhage).
 Ibu hamil yang sedang sakit
b) Bayi prematur tipe KMK disebabkan oleh:
 Ibu hamil yang kekurangan nutrisi.
 Ibu memiliki riwayat hipertensi, pre eklampsia dan anemia.
 Kehamilan kembar.
 Malaria kronik dan penyakit kronik lainnya.
 Ibu hamil merokok.

D. Tanda Dan Gejala


Tanda dan Gejala Bayi Prematur Menurut Rukiyah & Yulianti (2012), ada beberapa tanda
dan gejala yang dapat muncul pada bayi prematur antara lain adalah sebagai berikut:
a. Umur kehamilan sama dengan atau kurang dari 37 minggu.
b. Berat badan sama dengan atau kurang dari 2500 gram
c. Panjang badan sama dengan atau kurang dari 46 cm.
d. Lingkar kepala sama dengan atau kurang dari 33 cm.
e. Lingkar dada sama dengan atau kurang dari 30 cm.
f. Rambut lanugo masih banyak.
g. Jaringan lemak subkutan tipis atau kurang.
h. Tulang rawan daun telinga belum sempuna pertumbuhannya.
i. Tumit mengkilap, telapak kaki halus.
j. Genetalia belum sempurna, labia minora belum tertutup oleh labia mayora dan klitoris
menonjol (pada bayi perempuan). Testis belum turun ke dalam skrotum, pigmentasi dan
rugue pada skrotum kurang (pada bayi laki-laki).
k. Tonus otot lemah sehingga bayi kurang aktif dan pergerakannya lemah.
l. Fungsi saraf yang belum atau tidak efektif dan tangisnya lemah.
m. Jaringan kelenjar mamae masih kurang akibat pertumbuhan otot dan jaringan lemak
masih kurang.
n. Vernix caseosa tidak ada atau sedikit bila ada.
Menurut Proverawati & Sulistyorini (2010), bayi prematur menunjukkan belum
sempurnanya fungsi organ tubuh dengan keadaan lemah, yaitu sebagai berikut:
a. Tanda-tanda bayi prematur sesuai masa kehamilan (SMK):
a) Kulit tipis dan mengkilap.
b) Tulang rawan telinga sangat lunak, karena belum terbentuk dengan sempurna.
c) Lanugo (rambut halus atau lembut) masih banyak ditemukan terutama pada
daerah punggung.
d) Jaringan payudara belum terlihat, puting masih berupa titik.
e) Pada bayi perempuan, labia mayora belum menutupi labia minora.
f) Pada bayi laki-laki, skrotum belum banyak lipatan dan testis kadang belum turun
g) Garis telapak tangan kurang dari 1/3 bagian atau belum terbentuk.
h) Kadang disertai dengan pernapasan yang tidak teratur.
i) Aktivitas dan tangisan lemah.
j) Reflek menghisap dan menelan tidak efektif atau lemah.
b. Tanda-tanda bayi prematur kecil untuk masa kehamilan (KMK):
a) Umur bayi bisa cukup, kurang atau lebih bulan, tetapi beratnya kurang dari 2500
gram.
b) Gerakannya cukup aktif dan tangisannya cukup kuat
c) Kulit keriput, lemak bawah kulit tipis
d) Pada bayi laki-laki testis mungkin sudah turun
e) Bila kurang bulan maka jaringan payudara dan puting kecil

E. Patofisiologi
Patofisiologi Bayi Prematur Menurut Surasmi, dkk (2003), neonatus dengan imaturitas
pertumbuhan dan perkembangan tidak dapat menghasilkan kalori melalui peningkatan
metabolisme. Hal itu disebabkan karena respon menggigil pada bayi tidak ada atau kurang,
sehingga bayi tidak dapat menambah aktivitas. Sumber utama kalori bila ada stres dingin atau
suhu lingkungan rendah adalah thermogenesis nonshiver. Sebagai respon terhadap rangsangan
dingin, tubuh bayi akan mengeluarkan norepinefrin yang menstimulus metabolisme lemak dari
cadangan lemak coklat untuk menghasilkan kalori yang kemudian dibawa oleh darah ke
jaringan. Stres dapat menyebabkan hipoksia, metabolisme asidosis dan hipoglikemia.
Peningkatan metabolisme sebagai respon terhadap stres dingin akan meningkatkan kebutuhan
kalori dan oksigen. Bila oksigen yang tersedia tidak dapat memenuhi kebutuhan, tekanan
oksigen berkurang (hipoksia) dan keadaan ini akan menjadi lebih buruk karena volume paru
menurun akibat berkurangnya oksigen darah dan kelainan paru (paru yang imatur). Keadaan ini
dapat sedikit tertolong oleh haemoglobin fetal (HbF) yang dapat mengikat oksigen lebih banyak
sehingga bayi dapat bertahan lama pada kondisi tekanan oksigen yang kurang.
Stres dingin akan direspon oleh bayi dengan melepas norepinefrin yang menyebabkan
vasokontriksi paru. Akibatnya, menurunkan keefektifan ventilasi paru sehingga kadar oksigen
darah berkurang. Keadaaan ini menghambat metabolisme glukosa dan menimbulkan glikolisis
anaerob yang menyebabkan peningkatan asam laktat, kondisi ini bersamaan dengan 16
metabolisme lemak coklat yang menghasilkan asam sehingga meningkatkan kontribusi
terjadinya asidosis. Kegiatan metabolisme anaerob meghilangkan glikogen lebih banyak dari
pada metabolisme aerob sehingga mempercepat terjadinya hipoglikemia. Kondisi ini terjadi
terutama bila cadangan glikogen saat lahir sedikit, sesudah kelahiran pemasukan kalori rendah
atau tidak adekuat (Surasmi, dkk, 2003).
Bayi prematur umunya relatif kurang mampu untuk bertahan hidup karena struktur anatomi
dan fisiologi yang imatur dan fungsi biokimianya belum bekerja seperti bayi yang lebih tua.
Kekurangan tersebut berpengaruh terhadap kesanggupan bayi untuk mengatur dan
mempertahankan suhu badannya dalam batas normal. Bayi berisiko tinggi lain juga mengalami
kesulitan yang sama karena hambatan atau gangguan pada fungsi anatomi, fisiologi, dan
biokimia berhubungan dengan adanya kelainan atau penyakit yang diderita. Bayi prematur atau
imatur tidak dapat mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal karena pusat pengatur suhu
pada otak yang belum matur, kurangnya cadangan glikogen dan lemak coklat sebagai sumber
kalori. Tidak ada atau kurangnya lemak subkutan dan permukaan tubuh yang relatif lebih luas
akan menyebabkan kehilangan panas tubuh yang lebih banyak. Respon menggigil bayi kurang
atau tidak ada, sehingga bayi tidak dapat meningkatkan panas tubuh melalui aktivitas. Selain itu
kontrol reflek kapiler kulit juga masih kurang (Surasmi, dkk, 2003).
F. Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan pada Prematuritas murni
a. Pengaturan suhu badan
 Bayi prematuritas mudah dan cepat akan kehilangan panas badan dan menjadi
hipotemia, karena pusat pengaturan panas badan belum berfungsi dengan baik,
juga karena permukaan tubuh bayi yang relatif lebih luas bila dibandingkan
dengan berat badan, kurangnya jaringan lemak dibawah kulit dan kekurangan
lemak cokelat oleh karena itu bayi prematur harus dirawat di dalam incubator
sehingga panas badannya mendekati dalam rahim, bila belum memiliki incubator
bayi premature dapat dibungkus dan di sampingnya ditaruh bantal yang berisi air
panas, sehingga panas badannya bisa dipertahankan.
 Menurut mochtar, 1989: 492 bayi dimasukkan di incubator dengan suhu diatur
 Bayi berat badan < 2 kg : 35 0C
 Bayi berat badan 2 kg sampai dengan 2,5 kg : 34 0C
 Suhu incubator diturunkan 1 C setiap minggu sampai bayi dapat ditempatkan pada
suhu lungkungan
b. Makanan bayi
 Daya hisap, telan dan batuk belum sempurna, kapasitas lambung kecil, enzim
pencernaan belum matang, sedangkan kebutuhan protein 3 sampai 5 gr/ kg BB dan
kalori 110 kal/ kg BB badan, sehingga pertumbuhannya dapat meningkat.
Pemberian minum bayi sekitar 3 jam setelah lahir dan didahului dengan
menghisap cairan lambung, fefleks menghisap lemah sehingga pemberian minum
sebaiknya sedikit demi sedikit, tetapi dengan frekuensi yang lebih sering.
 ASI merupakan makanan yang utama sehingga ASI lah yang paling didahulukan,
permulaan cairan yang diberikan sekitar 50/ 60 cc/ kg BB/ hari dan terus dinaikkan
sampai mencapai 200 cc / kg BB / hari.
c. Menghindari infeksi
 Bayi prematuritas mudah sekali terkena infeksi, karena daya tahan tubuh yang
masih lemah, kemampuan leukosit masih kurang, dan pembentukan antibody
belum sempurna. Oleh karena itu upaya preventif sudah dilakukan sejak
pengawasan antenatal sehingga tidak terjadi persalinan premature dengan
demikian perawatan dan pengawasan bayi prematuritas secara khusus dan
terisolasi dengan baik.

G. Komplikasi
Masalah yang sering muncul pada BBLR adalah :
a. Suhu tubuh yang tidak stabil oleh karena kesulitan mempertahankan suhu tubuh yang
disebabkan oleh penguapan yag bertambah akibat dari kurangnya jaringan lemak
dibawah kulit, permukaan tubuh relatif lebih luas dibandingkan dengan berat badan, otot
yang tidak aktif, produksi panas yang berkurang oleh karena lemak coklat (brown fat)
yang belum cukup serta pusat pengaturan suhu yang belum berfungsi sebagaimana
mestinya.
b. Gangguan pernafasan yang sering menimbulkan penyakit berat pada BBLR. Hal ini
disebabkan kekurangan surfactant (rasio lesitin/ sfingomielin kurang dari 2),
pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna, otot pernafasan yang
masih lemah, tulang iga yang mudah melengkung (pliable thorak)
c. Penyakit gangguan pernafasan yang sering pada bayi BBLR adalah penyakit membran
hialin dan aspirasi pneumoni.
d. Gangguan alat pencernaan dan problema nutrisi, distensi abdomen akibat dari motilitas
usus berkurang, volume lambung berkurang sehingga waktu pengosongan lambung
bertambah, daya untuk mencernakan dan mengabsorbsi lemak, laktosa,vitamin yang
larut dalam lemak dan beberapa mineral tertentu berkurang. Kerja dari sfingter kardio
esofagus yang belum sempurna memudahkan terjadinya regurgitasi isi lambung ke
esofagus dan mudah terjadi aspirasi.
e. Immatur hati memudahkan terjadinya hiperbilirubinemia dan defisiensi vitamin K.
f. Ginjal yang immatur baik secara anatomis maupun fungsinya. Produksi urine yang
sedikit, urea clearence yang rendah, tidak sanggup mengurangi kelebihan air tubuh dan
elektrolit dari badan dengan akibat mudah terjadi edema dan asidosis metabolik.
g. Perdarahan mudah terjadi karena pembuluh darah yang rapuh (fragile), kekurangan
faktor pembekuan seperti protrombine, faktor VII dan faktor christmas.
h. Gangguan imunologik, daya tahan tubuh terhadap infeksi berkurang karena rendahya
kadar Ig G gamma globulin. Bayi prematur relatif belum sanggup membentuk antibodi
dan daya fagositosis serta reaksi terhadap infeksi masih belum baik.
i. Perdarahan intraventrikuler, lebih dari 50% bayi prematur menderita perdarahan
intraventrikuler. Hal ini disebabkan oleh karena bayi BBLR sering menderita apnea,
asfiksia berat dan sindroma gangguan pernafasan.
j. Retrolental Fibroplasia : dengan menggunakan oksigen dengan konsentrasi tinggi (PaO2
lebih dari 115 mmHg : 15 kPa) maka akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah retina
yang diikuti oleh proliferasi kapiler-kapiler baru ke daerah yang iskemi sehingga terjadi
perdarahan, fibrosis, distorsi dan parut retina sehingga bayi menjadi buta. Untuk
menghindari retrolental fibroplasia maka oksigen yang diberikan pada bayi prematur
tidak boleh lebih dati 40%. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan oksigen dengan
kecepatan 2 liter permenit.
Jika masalah yang ada tersebut penanganan kurang tepat dapat terjadi komplikasi :
a. Aspirasi mekonium yang sering diikuti pneumotoraks disebabkan oleh distress yang
sering dialami bayi pada proses pesalinan.
b. Jumlah hemoglobin yang tinggi sehingga sering diikuti uterus dan keras uterus.
c. Hipoglikemia janin karena berkurangnya cadangan glikogen hati dan meningginya
metabolisme bayi.
d. Keadaan klien yang dapat terjadi : aspiksia, perdarahan, panas badan tinggi, cacat
bawaan.
H. Pemeriksaan Diagnostk
Tergantung pada adanya masalah dan komplikasi sekunder
a. Darah lengkap untuk deteksi adanya penurunan atau peningkatan kadar hemoglobin.
b. Kadar darah (BS) untuk menyatakan hipoglikemi atau hiperglikemia.
c. Kalsium serum mungkin rendah.
d. Serum elektrolit biasanya normal.
e. Golongan darah dapat menyatakan potensial inkompatibilitas ABO.
f. Gas darah uteri PO2 mungkn rendah, PCO2 mungkin meningkat dan menunjukkan
asidosis ringan / sedang, sepsis atau kesulitan napas yang lama.
g. Laju sedimentasi eritrosit (ESR) meningkat, menunjukkan respons inflamasi akut,
penurunan ESR menunjukkan resdusi inflamasi.
h. Protein C reaktif (beta globulin) ada dalam serum sesuai dengan proporsi beratnya
proses radang infeksinus atau non infeksinus.
i. Jumlah trombosit : trombositopenia dapat menyertai sepsis.
j. Kadar fibrinogen : dapat menurun selama koagulasi intravascular diseminata (KID) atau
menjadi meningkat selama cidera atau inflamasi.
k. Kultur darah : mengidentifikasi organisme penyebab yang dihubungkan dengan sepsis.
l. Sinar x dada (Pa dan leteral) dengan bronkogram udara dapat menunjukkan penampilan
ground glass (RDS).
m. Sel ultrasonografi cranial : mendeteksi ada dan beratnya hemoragi intraventrikuler
(IVH).
MAS (MEKONIUM ASPIRASI SYNDROME)

A. Defenisi
Mekonium aspirasi syndrom (MAS) adalah suatu kondisi medis yang mempengaruhi bayi
baru lahir. Hal ini terjadi ketika mekonium masuk dalam paru – paru bayi selama atau sebelum
persalinan. Mekonium itu sendiri adalah tinja yang pertama kali keluar pada bayi.
Mekonium biasanya disimpan oleh usus bayi sampai setelah kelahiran, tetapi kadang –
kadang dikeluarkan kedalam cairan ketuban sebelum kelahiran atau selama persalinan. Jika
kemudian bayi menghirup cairan yang terkontaminasi, maka masalah pernafasan pada bayi mungkin
terjadi.
Pengertian dari mekonium itu sendiri yaitu suatu zat sisa yang ditinggal oleh bayi. Zat – zat
tersebuat adalah kombinasi dari rambut janin, garam empedu, enzim pankreas, getah kelenjar usus
serta feses janin dan air ketuban berwarna hijau kehitaman.
Sindroma aspirasi mekonium (SAM) merupakan sekumpulan gejala yang
diakibatkan oleh terhisapnya cairan amnion mekonial ke dalam saluran pernafasan bayi. Sindroma
aspirasi mekonium (SAM) adalah salah satu penyebab yang paling sering menyebabkan kegagalan
pernapasan pada bayi baru lahir aterm maupun post-term. Kandungan mekonium antara lain
adalah sekresi gastrointestinal, hepar, dan pancreas janin, debris seluler, cairan amnion, serta
lanugo. Cairan amnion mekonial terdapat sekitar 10-15% dari semua jumlah kelahiran cukup bulan
(aterm), tetapi SAM terjadi pada 4-10% dari bayi-bayi ini, dan sepertiga diantara membutuhkan
bantuan ventilator. Adanya mekonium pada cairan amnion jarang dijumpai pada kelahiran preterm.
Resiko SAM dan kegagalan pernapasan yang terkait, meningkat ketika mekoniumnya kental dan
apabila diikuti dengan asfiksia perinatal. Beberapa bayi yang dilahirkan dengan cairan amnion
yang mekonial memperlihatkan distres pernapasan walaupun tidak ada mekonium yang
terlihat dibawah korda vokalis setelah kelahiran. Pada beberapa bayi, aspirasi mungkin terjadi
intrauterine, sebelum dilahirkan

B. Etiologi
1. Cairan amnion yang mengandung mekonium terinhalasi / terhirup oleh bayi. Mekonium
dapat keluar (intrauterine) bila terjadi stres atau kegawatan janin intrauterine.
2. Peningkatan aktifitas usus bayi (usia kehamilan lewat 40 minggu).
3. Kesulitan dalam melahirkan, komplikasi tali pusat.
4. Asfiksia fetal.
5. Gawat janin selama persalinan.
6. Persalinan lama
7. Karenaadanya pematangan paru secara fisiologis
8. Sebuah respon terhadap peristiwa hipoksia akut
9. Sebuah respon terhadap peristiwa hipoksia intrauterus kronis

C. Faktor Resiko
Faktor resiko yang terkait kejadian SAM antara lain adalah kehamilan post-term, pre-
eklampsia, eklampsia, hipertensi pada ibu, diabetes mellitus pada ibu, bayi kecil masa
kehamilan (KMK), ibu yang perokok berat, penderita penyakit paru kronik, atau penyakit
kardiovaskular

D. Patofisiologi
Syndroma ini biasanya terjadi pada infant fullterm. Mekonium ditemukan pada cairan
amnion dari keseluruhan neonatus, mengindikasikan beberapa tingkatan asfiksia dalam
kandungan. Asfiksia menyebabkan peningkatan peristaltik intestinal karena kurangnya
oksigenasi aliran darah membuat relaksasi otot spincter anal yang menyebabkan mekonium
kluar. Mekonium tersebut terhisap saat janin dalam kandungan. Mekonium yang tebal
mengakibatkan obstruksi jalan nafas, sehingga terjadi gawat nafas.
Asfiksia dan berbagai bentuk stres intrauterine dapat meningkatkan peristaltik usus janin
disertai relaksasi spicnter ani eksterna, sehingga terjadi pengeluaran mekonium ke cairan
amnion. Saat bayi dengan asfiksi menarik nafas baik intero maupun selama persalinan, terjadi
aspirasi cairan amnion yang bercampur mekonium kedalam saluran nafas. Mekonium tersebut
mengakibatkan obstruksi jalan nafas, sehingga terjadi gawat nafas.
Aspirasi mekonium menyebabkan obstruksi jalan nafas komplit atau parsial atau
vasopasme pulmonary. Partikel garam dalam mekonium bekerja seperti ditergen,
mengakibatkan luka bakar kimia pada jaringan paru. Jika kondisi berkelanjutan akan terjadi
peneumothoraks, hipertensi pulmonal peresisten dan peneumonia karena bakteri.
Dengan intervensi yang adekuat, gangguan ini akan membaik dalam beberapa hari,
tetapi angka kematian mencapai 28% dari seluruh kejadian. Prognosis tergantung dari jumlah
mekonium yang transpirasi, drajat infiltrasi paru dan tindakan suctioning yang cukup.
Suctioning termasuk aspirasi dari nasofaring selama kelahiran dan juga suctioning langsung
pada trachea melalui selang endotracheal setelah kelahiran jika mekonium ditemukan.

Pathway
E. Gejala Klinis
1. Umumnya bayi post terem, kecil maa kehamilannya dengan kuku panjang dan kulit
terwarnai oleh mekonium menjadi kuning kehijauan dan terdapat mekonium pada cairan
ketuban.
2. Cairan amnion berwarna kehijauan dapat jernih maupun kental
3. Tanda syndrom gangguan pernafasan mulai tampak dalam 24 jam pertama setelah lahir.
4. Kadang – kadang terdengar ronchi pada kedua paru dan mungkin terlihat empishema atau
ateliktasis
5. Kesulitan bernafas saat lahir
6. Retraksi
7. Takipnea
8. Sianosis
9. Frekuensi denyut jantung rendah sebelum dilahirkan
10. Hipoksia
11. Hipoventilasi

F. Diagnosis
Bayi resiko tinggi dapat diidentifikasi dengan takikardia janin, bradikardia atau tidak adanya
percepatan janin setelah CTG dalam rahim. Saat lahir bayi mungkin terlihat cachexic dan
menunjukkan tanda – tanda pewarnaan mekonium kekuningan pada kulit, kuku dan umbilikal.
Bayi ini biasanya mengalami sindrom gangguan pernafasan dalam waktu 4 jam. Investigasi yang
dapat mengkonfirmasi diagnosis adalah dada janin x-ray, yang akan menunjukkan hiperinflasi,
diafragma merata, kardiomegali dan atelektasis pathy dan sample ABC yang akan menunjukkan
kadar oksigen menurun.
G. Komplikasi
1. Penemonia aspirasi
2. Penemonia thorax
3. Kerusakan otak akibat kekurangan oksigen
4. Gangguan pernafasan yang menetap selama beberapa hari
H. Penatalaksanaan
Sesegera setelah kepala bayi lahir, dilakukan penghisapan lendir dari mulut bayi. Jika
mekoniumnya kentaldan terjadi gawat janin, dimasukkan sebuah selang kedalam mulut bayi
hingga ke trachea bayi dan dilakukan penghisapan lendir. Prosedur ini dilakukan secara berulang
sampai didalam lendir bayi tidak terdapat mekonium.
Jika tidak ada tanda – tanda gawat janin dan bayinya aktif seta kulitnya berwarna
kebiruan, beberapa ahli menganjurkan untuk tidak melakukan penghisapan trachea yang teralalu
dalam karena mengakibatkan penemonia aspirasi
Jika mekoniumnya agak kental, kadang digunakan larutkan garam untuk mencuci saluran
udara dan jika keadaan belum membaik, maka bayi harus mendapatkan penanganan yang lebih
observatif di NICU.
Setelah lahir, bayi dimonitor secara ketat. Pengobatan lainya yang dilakukan adalah:
a. Fisioterapi dada
b. Antibiotik
c. Menempatkan bayi pada ruangan yang hangat
d. Ventilasi mekanik
Gangguan pernafasan biasanya akan membaik dalam 2 – 4 hari. Meskipun trakipneu bisa
menetap selama beberapa hari. Hipoksiaintrauterine bisa menyebabkan kerusakan pada otak.

I. Prognosa
Angka kematian akibat mekonium bayi (MAS) jauh lebih tinggi. MAS digunakan untuk
menjelaskan porposi yang signifikan dari kematian neonatal. Sisa masalah paru yang langka
tetapi termasuk gejala seperti batuk, hiperinflasi hingga tahun ke 5 – 10. Prognosa akhir
tergantung pada sejauh mana cedera spp dari asfiksia dan adanya masalah terkait seperti
hipertensi paru.

1. Pemeriksaan Penunjang
2. Pemeriksaan Laboratorium
3. Laringoskopi
4. Foto thoraks
5. Ventilasi mekanik

Anda mungkin juga menyukai