Anda di halaman 1dari 84

CKD ( CHRONIC KIDNEY DISEASE )

TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal
lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth,
2001; 1448)
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan
lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812)
Cronic kidney disease ( CKD ),pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan
cronoic renal failure ( CRF ), namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam
rangka untuk membatasi kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD
dibagi 5 grade, dengan harapan klien datang/merasa masih dalam stage – stage awal
yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat ( stage ) menggunakan
terminology CCT ( clearance creatinin test ) dengan rumus stage 1 sampai stage 5.
sedangkan CRF ( cronic renal failure ) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan klien
datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila menggunakan
istilah CRF.

B. Etiologi
1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis
2. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis
3. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa,sklerosis sistemik progresif
4. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis
tubulus ginjal
5. Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
6. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
7. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis
netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
8. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis

C. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-
nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat
disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode
adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak.
Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi
berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul
disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien
menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira
fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian
nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C
Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka
gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner
& Suddarth, 2001 : 1448).
Etiologi
(diabetes melitus, glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi yang tidak terkontrol, obstruksi traktus urinarius, penyakit ginjal
polikistik, gangguan vaskuler, medikasi, agen toksik : timah, kadmium, merkuri, kromium

Penurunan fungsi renal

Jumlah glomeruli yang berfungsi 

Kurang pengetahuan GGK

Klirensi kreatinin  Ekskresi H+ Nefron rusak


  
Kreatinin serum  Sekresi amonia  Fungsi nefron
  mengkonsentrasikan dan
BUN  Absorpsi natrium bikarbonat  mengencerkan urin 
 Uremia
Pospat serum  
 Asidosis metabolik Aktivasi renin
Kalsium serum  angiotensin Retensi natrium &
 Sistem organ  cairan
Kalsium tulang  terganggu Sekresi aldosteron 
 Hipertensi
Perubahan pada tulang Edema anasarka
 Pola nafas
Penyakit tulang uremik Toksin uremik tidak efektif Edema pulmonal 
 Gangguan kerja miokardial
Mengiritasi lapisan Sesak
perikardial Perikarditis Gagal jantung kongestif

Pada sistem gastrointestinal Pada sistem neuromuskuler Pada sistem dermatologi


  
Muntah dan diare Defisiensi nutrisi Perubahan tingkat kesadaran Penumpukan kristal urea di
   kulit
Status uremik semakin memburuk Produksi eritropoetin Tidak mampu berkonsentrasi 
 tidak adekuat  Pruritus
Risiko perdarahan Kedutan otot
 
Anemia kejang
Risiko kerusakan Risiko infeksi
integritas kulit
Intoleransi aktivitas Perubahan nutrisi Risiko cedera
kurang dari
Perubahan perfusi jaringan kebutuhan
WO
D. Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
1. Stadium 1 :
penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum normal dan
penderita asimptomatik.
2. Stadium 2 :
insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, Blood Urea
Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
3. Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat
penurunan LFG :
1. Stadium 1 :
kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG yang masih
normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2
2. Stadium 2 :
Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89
mL/menit/1,73 m2
3. Stadium 3 :
kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2
4. Stadium 4 :
kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2
5. Stadium5 :
kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal terminal.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test )
dapat digunakan dengan rumus :
GFR ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

8
E. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau
sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan,
pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
2. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat
retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin – aldosteron),
gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan
perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia,
mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak
mampu berkonsentrasi).
3. Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
1. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac dan
gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.
2. Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels,
hemoptoe
3. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein
dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan
mulut, nafas bau ammonia.
4. Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan ), burning feet
syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati
( kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas. Gangguan calsifikasi tulang
5. Gangguan Integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan
urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
6. Gangguan endokrin

9
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi
dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan
vitamin D.
7. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan
dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
8. System hematologi
anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga
rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang, hemolisis akibat
berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga
terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.
9. Systim urinalis
Polyuria, oliguria,anuria,peningkatan bj urine,hematuria,dysuria,
10. gangguan neurosensori
Disorientasi, gangguan mental,kesemutan,twitching,

F. Pemeriksaan Penunjang
Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu
pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun kolaborasi
antara lain :
1. Pemeriksaan lab.darah
a. Hematologi
Hb, Ht, Eritrosit, Lekosit, Trombosit
b. RFT ( renal fungsi test )
ureum dan kreatinin
c. LFT (liver fungsi test )
d. Elektrolit
Klorida, kalium, kalsium
e. PTT, PTTK
f. BGA
2. Urine
a) urine rutin, hematuri,protein uri,bj urine,
b) urin khusus : benda keton, analisa kristal batu
3. pemeriksaan kardiovaskuler

10
a) ECG
b) ECO
4. Radidiagnostik
a) USG abdominal
b) CT scan abdominal
c) BNO/IVP, FPA
d) Renogram
e) RPG ( retio pielografi )

G. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :
a) Konservatif
1. Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin
2. Observasi balance cairan
3. Observasi adanya odema
4. Intake nutrisi yang adekuat
5. cegah komplikasi
6. obat obat sesuai terapi
7. minimalisai beban kerja ginjal

b) Dialysis
1. peritoneal dialysis
biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency.
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut adalah
CAPD ( Continues Ambulatori Peritonial Dialysis )
2. Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan menggunakan
mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk
mempermudah maka dilakukan :
3. AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
4. Double lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke jantung )
c) Operasi
1. Pengambilan batu
2. transplantasi ginjal

11
ANEMIA
A. Pengertian
Anemia adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan kadar
hemoglobin (Hb) atau sel darah merah (eritrosit) sehingga menyebabkan
penurunan kapasitas sel darah merah dalam membawa oksigen (Badan POM,
2011)
Anemia adalah penyakit kurang darah, yang ditandai dengan kadar
hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit) lebih rendah dibandingkan
normal. Jika kadar hemoglobin kurang dari 14 g/dl dan eritrosit kurang dari 41%
pada pria, maka pria tersebut dikatakan anemia. Demikian pula pada wanita,
wanita yang memiliki kadar hemoglobin kurang dari 12 g/dl dan eritrosit kurang
dari 37%, maka wanita itu dikatakan anemia. Anemia bukan merupakan penyakit,
melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau akibat gangguan
fungsi tubuh. Secara fisiologis anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah
hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan.
Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar Hb
sampai di bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat. Anemia adalah
gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, elemen
tidak adekuat atau kurang nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah,
yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah dan ada
banyak tipe anemia dengan beragam penyebabnya. (Marilyn E, Doenges, Jakarta,
2002)
Anemia adalah keadaan dimana jumlah sel darah merah atau konsentrasi
hemoglobin turun dibawah normal.(Wong, 2003)

B. Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan pendekatan fisiologis:
1. Anemia hipoproliferatif, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah merah
disebabkan oleh defek produksi sel darah merah, meliputi:
a) Anemia aplastik
Penyebab:
1) agen neoplastik/sitoplastik
2) terapi radiasi
3) antibiotic tertentu

12
4) obat antu konvulsan, tyroid, senyawa emas, fenilbutason
5) benzene
6) infeksi virus (khususnya hepatitis)
b) Anemia pada penyakit ginjal
Gejala-gejala:
1) Nitrogen urea darah (BUN) lebih dari 10 mg/dl
2) Hematokrit turun 20-30%
3) Sel darah merah tampak normal pada apusan darah tepi
Penyebabnya adalah menurunnya ketahanan hidup sel darah merah
maupun defisiensi eritopoitin
c) Anemia pada penyakit kronis
Berbagai penyakit inflamasi kronis yang berhubungan dengan anemia
jenis normositik normokromik (sel darah merah dengan ukuran dan warna
yang normal). Kelainan ini meliputi artristis rematoid, abses paru,
osteomilitis, tuberkolosis dan berbagai keganasan
d) Anemia defisiensi besi
Penyebab:
1) Asupan besi tidak adekuat, kebutuhan meningkat selama hamil,
menstruasi
2) Gangguan absorbsi (post gastrektomi)
3) Kehilangan darah yang menetap (neoplasma, polip, gastritis, varises
oesophagus, hemoroid,
e) Anemia megaloblastik
Penyebab:
1) Defisiensi defisiensi vitamin B12 dan defisiensi asam folat
2) Malnutrisi, malabsorbsi, penurunan intrinsik faktor
3) Infeksi parasit, penyakit usus dan keganasan, agen kemoterapeutik,
infeksi cacing pita, makan ikan segar yang terinfeksi, pecandu alkohol.
2. Anemia hemolitika, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah merah
disebabkan oleh destruksi sel darah merah:
1) Pengaruh obat-obatan tertentu
2) Penyakit Hookin, limfosarkoma, mieloma multiple, leukemia
limfositik kronik
3) Defisiensi glukosa 6 fosfat dihidrigenase

13
4) Proses autoimun
5) Reaksi transfusi
6) Malaria
C. Pembagian derajat anemia menurut WHO dan NCI (National Cancer
Institute)
DERAJAT WHO NCI
Derajat 0 (nilai normal) > 11.0 g/dL Perempuan 12.0 - 16.0
g/dL
Derajat 1 (ringan) 9.5 - 10.9 g/dL Laki-laki 14.0 - 18.0 g/dL
Derajat 2 (sedang) 8.0 - 9.4 g/dL 10.0 g/dL - nilai normal
Derajat 3 (berat) 6.5 - 7.9 g/dL 8.0 - 10.0 g/dL
Derajat 4 (mengancam jiwa) < 6.5 g/dL 6.5 - 7.9 g/dL
< 6.5 g/dL

D. Etiologi
1) Hemolisis (eritrosit mudah pecah)
2) Perdarahan
3) Penekanan sumsum tulang (misalnya oleh kanker)
4) Defisiensi nutrient (nutrisional anemia), meliputi defisiensi besi, folic acid,
piridoksin, vitamin C dan copper
Menurut Badan POM (2011), Penyebab anemia yaitu:
1) Kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi, vitamin B12,
asam folat, vitamin C, dan unsur-unsur yang diperlukan untuk
pembentukan sel darah merah.
2) Darah menstruasi yang berlebihan. Wanita yang sedang menstruasi rawan
terkena anemia karena kekurangan zat besi bila darah menstruasinya
banyak dan dia tidak memiliki cukup persediaan zat besi.
3) Kehamilan. Wanita yang hamil rawan terkena anemia karena janin
menyerap zat besi dan vitamin untuk pertumbuhannya.
4) Penyakit tertentu. Penyakit yang menyebabkan perdarahan terus-menerus
di saluran pencernaan seperti gastritis dan radang usus buntu dapat
menyebabkan anemia.
5) Obat-obatan tertentu. Beberapa jenis obat dapat menyebabkan perdarahan
lambung (aspirin, anti infl amasi, dll). Obat lainnya dapat menyebabkan
14
masalah dalam penyerapan zat besi dan vitamin (antasid, pil KB,
antiarthritis, dll).
6) Operasi pengambilan sebagian atau seluruh lambung (gastrektomi). Ini
dapat menyebabkan anemia karena tubuh kurang menyerap zat besi dan
vitamin B12.
7) Penyakit radang kronis seperti lupus, arthritis rematik, penyakit ginjal,
masalah pada kelenjar tiroid, beberapa jenis kanker dan penyakit lainnya
dapat menyebabkan anemia karena mempengaruhi proses pembentukan
sel darah merah.
8) Pada anak-anak, anemia dapat terjadi karena infeksi cacing tambang,
malaria, atau disentri yang menyebabkan kekurangan darah yang parah.

E. Tanda dan gejala


1) Lemah, letih, lesu dan lelah
2) Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang
3) Gejala lanjut berupa kelopak mata, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan
menjadi pucat. Pucat oleh karena kekurangan volume darah dan Hb,
vasokontriksi
4) Takikardi dan bising jantung (peningkatan kecepatan aliran darah) Angina
(sakit dada)
5) Dispnea, nafas pendek, cepat capek saat aktifitas (pengiriman O2 berkurang)
6) Sakit kepala, kelemahan, tinitus (telinga berdengung) menggambarkan
berkurangnya oksigenasi pada SSP
7) Anemia berat gangguan GI dan CHF (anoreksia, nausea, konstipasi atau diare)
(Smeltzer & Bare, 2001)

F. Patofisiologi
Adanya suatu anemia mencerminkan adanya suatu kegagalan sumsum
atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum
(misalnya berkurangnya eritropoesis) dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi,
pajanan toksik, invasi tumor atau penyebab lain yang belum diketahui. Sel darah
merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi).
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau
dalam system retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa. Hasil samping

15
proses ini adalah bilirubin yang akan memasuki aliran darah. Setiap kenaikan
destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan peningkatan
bilirubin plasma (konsentrasi normal ≤ 1 mg/dl, kadar diatas 1,5 mg/dl
mengakibatkan ikterik pada sclera).
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi,
(pada kelainan hemplitik) maka hemoglobin akan muncul dalam plasma
(hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas
haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk mengikat
semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal dan kedalam urin
(hemoglobinuria).
Kesimpulan mengenai apakah suatu anemia pada pasien disebabkan
oleh penghancuran sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak
mencukupi biasanya dapat diperoleh dengan dasar:1. hitung retikulosit dalam
sirkulasi darah; 2. derajat proliferasi sel darah merah muda dalam sumsum tulang
dan cara pematangannya, seperti yang terlihat dalam biopsi; dan ada tidaknya
hiperbilirubinemia dan hemoglobinemia.

16
G. Pemeriksaan Diagnostik
1) Kadar Hb, hematokrit, indek sel darah merah, penelitian sel darah putih, kadar
Fe, pengukuran kapasitas ikatan besi, kadar folat, vitamin B12, hitung
trombosit, waktu perdarahan, waktu protrombin, dan waktu tromboplastin
parsial.
2) Aspirasi dan biopsy sumsum tulang. Unsaturated iron-binding capacity serum
3) Pemeriksaan diagnostic untuk menentukan adanya penyakit akut dan kronis
serta sumber kehilangan darah kronis.

H. Komplikasi
1) Komplikasi umum akibat anemia adalah:
2) gagal jantung
3) kejang
4) Perkembangan otot buruk ( jangka panjang )
5) Daya konsentrasi menurun
6) Kemampuan mengolah informasi yang didengar menurun
SmeltzerC, Suzanne, 2002 hal 1449)

I. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk mencari penyebab dan mengganti darah
yang hilang:
1. Anemia aplastik:
a. Transplantasi sumsum tulang
b. Pemberian terapi imunosupresif dengan globolin antitimosit(ATG)
2. Anemia pada penyakit ginjal
a. Pada paien dialisis harus ditangani denganpemberian besi dan asam folat
b. Ketersediaan eritropoetin rekombinan
3. Anemia pada penyakit kronis
Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala dan tidak memerlukan
penanganan untuk aneminya, dengan keberhasilan penanganan kelainan yang
mendasarinya, besi sumsum tulang dipergunakan untuk membuat darah,
sehingga Hb meningkat.
4. Anemia pada defisiensi besi
a. Dicari penyebab defisiensi besi

17
b. Menggunakan preparat besi oral: sulfat feros, glukonat ferosus dan
fumarat ferosus.
5. Anemia megaloblastik
Defisiensi vitamin B12 ditangani dengan pemberian vitamin B12, bila
difisiensi disebabkan oleh defekabsorbsi atau tidak tersedianya faktor intrinsik
dapat diberikan vitamin B12 dengan injeksi IM.
Untuk mencegah kekambuhan anemia terapi vitamin B12 harus diteruskan
selama hidup pasien yang menderita anemia pernisiosa atau malabsorbsi yang
tidak dapat dikoreksi.
Anemia defisiensi asam folat penanganannya dengan diet dan
penambahan asam folat 1 mg/hari, secara IM pada pasien dengan gangguan
absorbsi.
(Reeves, Roux, Lockhart, 2001)

18
DIABETES MELITUS

A. TINJAUAN TEORITIS
1. Definisi
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter,
dengan tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya
gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di
dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya
disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein. (Askandar, 2000)
Francis dan John (2000), Diabetes Mellitus klinis adalah suatu sindroma
gangguan metabolisme dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat
suatu defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologis dari insulin atau
keduanya.
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai
oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth,
2002).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat
kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).

2. Klasifikasi
Klasifikasi dari National Diabetes Data Group dalam Silvia A. Price (1995) :
a. DM Tipe I / DMT I (Diabetes Mellitus Tergantung Insulin)
1) Awitan terjadi pada semua usia, tetapi biasanya usia muda (<30 tahun).
2) Biasanya bertubuh kurus saat didiagnosis dan penurunan berat badan baru saja
terjadi.
3) Penyebabnya mencakup faktor genetik maupun lingkungan.
b. DM Tipe II /DMT II (Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin)
1) Awitan terjadi di segala usia, biasanya diatas 30 tahun.
2) Biasanya bertubuh gemuk saat didiagnosis.
3) Penyebabnya mencakup faktor kegemukan, keturunan, dan lingkungan.

c. DM yang berkaitan dengan keadaan / sindroma lain

19
1) Disertai dengan keadaan yang dapat menyebabkan penyakit pankreatitis
seperti obat-obatan (glukokortikoid dan preparat yang mengandung estrogen).
2) Bergantung pada kemampuan pankreas untuk menghasilkan insulin karena
mungkin memerlukan terapi dengan obat oral / insulin.
d. Diabetes Gestasional
1) Faktor resiko mencakup kegemukan, usia >30 tahun, riwayat diabetes pada
keluarga, pernah melahirkan bayi yang besar (> 4kg)

3. Patofisiologi
Pada keadaan normal kurang lebih 50 % glukosa yang dimakan mengalami
metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 10 % menjadi glikogen dan 20 %
sampai 40 % diubah menjadi lemak. Pada Diabetes Mellitus semua proses tersebut
terganggu karena terdapat defisiensi insulin. Penyerapan glukosa kedalam sel macet
dan metabolismenya terganggu. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar glukosa
tetap berada dalam sirkulasi darah sehingga terjadi hiperglikemia.
Penyakit Diabetes Mellitus disebabkan oleh karena gagalnya hormon insulin.
Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi glikogen
sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak dapat
menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah adalah 180 mg%
sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan
mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang
menyerap air maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urine yang disebut
glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine
yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intraselluler, hal ini akan
merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus sehingga
pasien akan minum terus yang disebut polidipsi.
Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya transport
glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan karbohidrat,
lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan untuk melakukan pembakaran
dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan
yang disebut poliphagia. Terlalu banyak lemak yang dibakar maka akan terjadi
penumpukan asetat dalam darah yang menyebabkan keasaman darah meningkat atau
asidosis. Zat ini akan meracuni tubuh bila terlalu banyak hingga tubuh berusaha
mengeluarkan melalui urine dan pernapasan, akibatnya bau urine dan napas penderita

20
berbau aseton atau bau buah-buahan. Keadaan asidosis ini apabila tidak segera
diobati akan terjadi koma yang disebut koma diabetik (Price, 1995).

21
DM Tipe I DM Tipe II

Reaksi Autoimun Idiopatik, usia, genetil, dll

Sel β pancreas hancur Jmh sel pancreas menurun

Defisinsi Insulin

Hiperglikemia Katabolisme protein meningkat Liposis meningkat

Penurunan BB polipagi
Glukosuria
Glukoneogenesis Gliserol asam lemak bebas
meningkat meningkat
Diuresis Osmotik
Kehilangan elektrolit urine Ketogenesis

Kehilangan cairan
hipotonik

Polidipsi Hiperosmolaritas Ketoadosis Ketonuria

Coma

22
PATOFISIOLOGI: DIFISEINSI INSULIN
- Sel dan pulau langerhans kurang peka - Faktor Herediter: - Faktor Herediter: - Kelebihan dos is insulin Mk:
terhadap rangsangan -->sentak insulin - Degenerasi/tertekannya sel/ Berkembangnya kekebalan pada - kurang jumlah kalori Kebutuhan belajar
sesudah makan tidak begitu kuat perbedaan kepekaan seseorang Diabetes Mellitus sel ß-> distruksi, autonom pada sel ß yang dikons umsi penatalaksanaan
- Menekan jumlah resptor insulin pada terhadap pertambahan umur IDDM - Degenerasi ringan pada sel ß - Meningkatnya aktivitas penyakit
target NON IDDM - Penyakit virus jasm ani lebih cepat

-Berkeringat
Kelainan Metabolism e Hipoglikem ia -Gemetar, sakit
kepala, Palpitasi

Kelainan Metabolism e Karbohidrat Kelainan Metabolism e Lemak Kelainan Metabolism e Protein

Output glukosa darah Lipogenes is m enurun, Lipolisis m eningkat Fasilitas Penurunan Proses
Input glukos a darah
menurun (glikogenolis is transmembran -Transkrips i
meningkat (glikogenolis is
menurun, glikolis is dalam as am amino -Translasi
dalam hepar meningkat,
otot m enurun, lipogenesis Mobilisasi asam lem ak meningkat berkurang -Replikasi
glukoneogenesis meningkat
di adiposa menurun -Proliterasi sel

Berat badan As etil Ko A meningkat Asam amino


Hiperglikem ia menurun sulit masuk Pertumbuhan jaringan
sel terhambat
Mk: Penurunan Ketogenesis meningkat Sintesis kolesterol m eningkat
Glikosilasi Glikosuria dtt, kelelahan
Sis ntes is
koles terol meningkat protein - Luka tidak terkontrol
Benda keton m eningkat
menurun - Sukar sem buh
Lensa mata Retina PK Berat badan Osmolalitas
Arterosklerosis menurun urine m eningkat Nafs u makan meningkat Hiperkolesterolemia dan
ketonimia PK: Ketoasidosis
PK Infeks i
katarak lentis Retina angiopati Volume urine Masalah Kesehatan:
Angiopati Mk: Penurunan meningkat Gangguan pola makan Arterosklerosis
dtt, kelelahan
Masalah kesehatan:
Diuresis Resiko tinggi perluasan
Pem buluh darah bes ar/ Pem buluh Ganggren infeksi dan Kelelahan
makrovas kuler/m akroangiopati darah kecil dengan arkus
kecil Osmotik diuresis Poliori Dehidrasi
(air dan glukosa
terbuangan
PK: Gagal Trombos is dengan Perubahan Am putasi m inor Rasa haus MK:
Neuropati jantung oklus i p.d kulit, atropi meningkat -Gangguan pola
elim inas i PK: Koma
-Gangguan Diabetikum
MK: Gangguan luas Ulserasi MK: Kerusakan volume cairan
-Potensial cedera jaringan perifer MK: Gangguan
-Potensial kerusakan pemenuhan
jaringan kulit kebutuhan O2

31
4. Etiologi
a. Diabetes Mellitus Tipe 1 (Type 1 diabetes 10% in the US)
1) Faktor Genetik
Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe (Human
Leukocyte Antigens) HLA. Herediter: identical twins 25% - 50%, sibling 6%,
offspring 5% of inheriting the disease.
2) Faktor Imunologi
Adanya respons autoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi
terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan
tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu autoantibodi
terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
3) Faktor Lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan
destruksi sel beta. Islet Cell Antibodies (ICAs) muncul, meningkat dari bulan ke
tahun lalu merusak sel beta. Mengakibatkan perusakan pada 80%-90% sel beta.
Contoh: coxsacie virus (yang merupakan etiologi juga pada pancreatitis herediter)
b. Diabetes Mellitus 2 (Type 2 diabetes 90% - 95% in the US)
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang
peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
1) Usia
Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th, hal ini karena
sensitivity terhadap hormone insulin menurun karena proses penuaan dan
kemunduran organ.
2) Obesity (85% of all people with type 2 DM)
Pada pasien obesitas terjadi kenaikan kadar asam lemak bebas didalam plasma
sehingga meningkatkan sekresi VLDL oleh hati yang melibatkan keluaran triasil
gliserol dan kolesterol tambahan di dalam sirkulasi darah. Sehingga menghambat
terjadinya glikolisis dan meningkatkan kejadian glukoneogenesis, sehingga
sensitivity terhadap insulin menurun.
3) Riwayat keluarga
32
Factor keturunan / hereditas (pada keturunan pertama atau kedua) dan factor
lingkungan. Kembar identik (58% - 78% dari seluruh orang).
4) Kebiasaan aktivitas fisik
Gaya hidup yang kurang baik dapat meningkatkan kolesterol serum. Sirkulasi
Islet Cell Antibodies (ICA) terjadi pada diabetes tipe 2. Merusak hati dan otot
sehingga menurunkan sekresi insulin dan merusak sekresi insulin.
c. Diabetes Mellitus karena penyakit lain
1) Penyakit di pankreas akut dan kronis contoh : pancreatitis
2) Obat dan bahan kimia
a) Hubungan definitive: Sulfonamide, estrogen (kontasepsi oral), pentamidine,
azotiopirin 6-merkaptopurin, diuretic, tiazida, furosemide, tetrasiklin, asam
voalpoat, dideoksinosin (ddi).
b) Hubungan Mungkin (jika pemakaian jangka panjang) : Asetaminofen,
klortalidon, asam etakrinat, prokainamid, eritromisin, L-asparaginase,
metronidazole, obat anti inflamasi non steroid, penghambat angiotensin
converting enzyme (ACVE) (1% – 2% of all diagnosed cases of diabetes).
3) Penyakit autoimun yang merusak sel beta
d. Diabetes Mellitus Gestasional
1) Wanita dengan riwayat diabetes.
2) Obesity (2% - 5% of all pregnant women).
3) Riwayat melahirkan anak lebih dari 4 kg.
4) Umur penderita makin tua.
5) Riwayat kehamilan : Sering meninggal dalam rahim, Sering mengalami lahir
mati, sering mengalami keguguran.
6) Awitan setelah kehamilan, biasanya terjadi pada trimester ke-2 / ke-3.

5. Manifestasi Klinis
Keluhan umum pasien DM adalah poliuria, polidipsia, dan polifagia. Sebaliknya
yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik
pada pembuluh darah dan saraf. Keluhan lain yang dapat muncul adalah adanya
gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot
(neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
33
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM yang sering ditemukan adalah :
a. Sering haus
b. Rasa lapar terus menerus
c. Sering buang air kecil terutama pada malam hari
d. Berat badan berkurang drastic
e. Kesemutan
f. Cepat merasa lelah dan mengantuk
g. Infeksi yang sering kambuh
h. Penglihatan kabur
i. Gatal-gatal terutama bagian luar kelamin
Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang
tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan
inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya
mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau
baru terjadi pada stadium lanjut.
a. Diabetes Mellitus Tipe 1 (Type 1 diabetes 10% in the US)
Gejala diabetes mellitus tipe 1 antara lain sering haus, poliuria, penurunan
nafsu makan dan berat badan, fatigue, mual, muntah. Keadaan ketoasidosis lebih
rentan terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1. Penumpukan keton dalam
darah dapat berakibat munculnya nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi dan
berlanjut menjadi ketoasidosis berat yang mengakibatkan penurunan kesadaran yang
berakhir pada koma dan bahkan kematian (Milcohovich et al, 1999).
Gejala klasik diabetes mellitus adalah lelah, sering kencing, haus dan lapar,
dan penurunan berat badan. Semua manisfestasi itu merupakan konsekuensi dari
tanda utama diabetes yaitu hiperglikemia. Hiperglikemia dalam kadar tertentu
mengakibatkan glukosuria karena kapasitas absorpsi renal terlewati, sehingga
mengakibatkan poliuria atau peningkatan frekuensi urinasi. Poliuria dan glukosuria
mengakibatkan peningkatan rasa haus dan lapar dan terjadi peningkatan produksi
glukosa dari bahan non-karbohidrat, sehingga terjadi mobilisasi dan katabolisme
lemak dan protein, ditunjukkan penurunan berat badan drastis dan kelelahan fisik.
Mobilisasi lemak dan proses oksidasi parsial hepatik menghasilkan keton body,
karena melebihi kapasitas oksidasi lemak dengan sempurna, mengakibatkan
34
ketonemia dan ketonuria. Hal ini menyebabkan eksresi masif kation, mengingat
keton body adalah anion. Keadaan ketonemia tanpa penanganan berlanjut menjadi
ketoasidosis dan bisa berakibat koma dan bahkan kematian.
b. Diabetes Mellitus 2 (Type 2 diabetes 90% - 95% in the US)
Sedangkan gejala diabetes mellitus tipe 2 antara lain sering haus, poliuria,
peningkatan nafsu makan, fatigue, penglihatan kabur, penyembuhan luka lambat,
impotensi pada pria.
Gejala diabetes mellitus tipe 2 berkembang lebih lambat dan terdiagnosa
lambat sehingga keadaan hiperglikemia tidak teratasi dalam waktu yang lama dan
mengakibatkan terjadinya deposisi bahan yang mengandung glikogen,
mukopolisakarida, atau glikoprotein di antara sel, jaringan atau membran basalis
kapiler. Proses ini berkaitan dengan terjadinya angiopati dan neuropati. Pada keadaan
yang paling buruk terjadi penyakit jantung, infeksi gusi dan saluran kemih,
penglihatan kabur, mati rasa pada tungkai bawah, dan penyembuhan luka yang
lambat (Milcohovich et al, 1999).
c. Diabetes Mellitus karena penyakit lain
Karena disebabkan oleh penyakit lain biasanya timbul gula darah yang tinggi
jika diperiksa, mual muntah, komplikasi diabete mellitus seperti neuropati. Kalau
polifagi, polidipsi, poliuri jarang muncul.

d. Diabetes Mellitus Gestasional


Gejala diabetes mellitus gestasional antara lain sering haus, poliuria,
peningkatan nafsu makan dan berat badan, fatigue, mual, muntah. Pengaruh diabetes
mellitus dalam kehamilan, antara lain :
1) Pengaruh kehamilan, persalinan dan nifas terhadap DM.
a) Keadaan pre diabetes lebih jelas menimbulkan gejala pada kehamilan,
persalinan dan kala nifas.
b) Penyakit Diabetes (gula) makin berat.
c) Saat partus terjadi koma diabetikum perlu tenaga besar.
2) Pengaruh penyakit gula terhadap kehamilan di antaranya adalah dapat terjadi
gangguan pertumbuhan janin dalam rahim : keguguran, persalinan premature,
kematian dalam rahim, lahir mati/bayi besar, hidramnion, preeklamsia –
35
eklamsia.
3) Pengaruh penyakit terhadap persalinan.
a) Gangguan kontraksi otot rahim partus lama / partus kasep.
b) Janin besar sehingga harus dilakukan tindakan operasi.
c) Gangguan pembuluh darah plasenta sehingga terjadi asfiksia sampai dengan
lahir mati.
d) Perdarahan post partum karena gangguan kontraksi otot rahim.
e) Post partum mudah terjadi infeksi.
f) Bayi mengalami hypoglicemi post partum sehingga dapat menimbulkan
kematian.
4) Pengaruh penyakit gula terhadap kala nifas.
a) Mudah terjadi in feksi post partum.
b) Kesembuhan luka terlambat dan cendrung infeksi mudah menyebar.
5) Pengaruh penyakit terhadap janin (bayi) diantaranya
a) Abortus, premature, IUFD/> 36 minggu, lahir mati.
b) Bayi dengan: dismatur, cacat bawaan, potensial penyakit saraf dan jiwa,
potensial mengidap penyakit gula.

6. Komplikasi
Beberapa komplikasi dari Diabetes Mellitus (Mansjoer dkk, 1999) adalah :
a. Akut
1) Hipoglikemia dan hiperglikemia
b. Komplikasi menahun Diabetes Mellitus
1) Penyakit makrovaskuler : mengenai pembuluh darah besar, penyakit jantung
koroner (cerebrovaskuler, penyakit pembuluh darah kapiler).
2) Penyakit mikrovaskuler, mengenai pembuluh darah kecil, retinopati, nefropati.
3) Neuropati saraf sensonik (berpengaruh pada ekstrimitas), saraf otonom
berpengaruh pada gastro intestinal, kardiovaskuler (Suddarth and Brunner, 1990).
4) Proteinuria
5) Kelainan coroner
6) Ulkus / gangrene (Soeparman, 1987, hal 377)
Terdapat lima grade ulkus diabetikum antara lain :
36
a) Grade 0 : Tidak ada luka
b) Grade I : Kerusakan hanya sampai pada permukaan kulit
c) Grade II : Kerusakan kulit mencapai otot dan tulang
d) Grade III : Terjadi abses
e) Grade IV : Gangren pada kaki dan bagian distal
f) Grade V : Gangren pada seluruh kaki dan tungkai bawah distal

7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Glukosa darah sewaktu
b. Kadar glukosa darah puasa
c. Tes toleransi glukosa
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu
- Plasma vena < 100 100-200 >200
- Darah kapiler <80 80-200 >200
Kadar glukosa darah puasa
- Plasma vena <110 110-120 >126
- Darah kapiler <90 90-110 >110

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
a. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr
karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

8. Penatalaksanaan Medik
Tujuan utama terapi DM adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan
kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta
neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa darah
normal (euglikemia) tanpa terjadi hipoglikemia dan gangguan series pada pola aktivitas
37
pasien. Dengan kata lain dalam jangka pendek penatalaksanaan DM bertujuan untuk
menghilangkan keluhan atau gejala sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk
mencegah komplikasi. Tujuan tersebut dilaksanakan dengan cara menormalkan kadar
glukosa. Penatalaksanaan pada diabetes melitus yaitu :
a. Perencanaan makan
Menurut Tjokro Prawiro (1999) Pada Konsensus Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia (PERKENI) telah ditetapkan bahwa standar yang dianjurkan adalah
makanan dengan komposisi seimbang berupa :
1) Karbohidrat : 60-70 %
2) Protein : 10-15 %
3) Lemak : 20-25 %
Pada diet DM harus memperhatikan jumlah kalori, jadwal makan, dan jenis makan yang
harus dihindari adalah gula. Menurut Tjokro Prawiro (1999), penentuan gizi penderita
dilakukan dengan menghitung prosentase Relatif Body Weigth dan dibedakan menjadi :
1) Kurus : berat badan relatif : <90%
2) Normal : berat badan relatif : 90-110%
3) Gemuk : berat badan relatif : >110 %
4) Obesitas : berat badan relatif : >120 %
a) Obesitas ringan 120 – 130 %
b) Obesitas sedang 130 – 140 %
c) Obesitas berat 140 – 200 %
d) Obesitas morbid > 200 %
Apabila sudah diketahui relatif body weigthnya maka jumlah kalori yang diperlukan
sehari-hari untuk penderita DM adalah sebagai berikut :
1) Kurus : BB x 40-60 kalori / hari
2) Normal ; BB x 30 kalori / hari
3) Gemuk : BB x 20 kalori / hari\
4) Obesitas : BB x 10-15 kalori / hari
b. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secar teratur 3 - 4 x tiap minggu selama ½ jam. Latihan
dapat dijadikan pilihan adalah jalan kaki, joging, lari, renang, bersepeda dan
mendayung. Tujuan latihan fisik bagi penderita DM :
38
1) Insulin dapat lebih efektif
2) Menambah reseptor insulin
3) Menekankenaikan berat badan
4) Menurunkan kolesterol trigliseriid dalam darah
5) Meningkatkan aliran darah
c. Terapi Obat (jika diperlukan)
1) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
a) Golongan sulfonilurea seringkali dapat menurunkan kadar gula darah secara
adekuat pada penderita diabetes tipe II, tetapi tidak efektif pada diabetes tipe
I. Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid dan klorpropamid. Obat ini
menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh
pankreas dan meningkatkan efektivitasnya.
b) Obat lainnya, yaitu metformin, tidak mempengaruhi pelepasan insulin tetapi
meningkatkan respon tubuh terhadap insulinnya sendiri. Akarbos bekerja
dengan cara menunda penyerapan glukosa di dalam usus.
c) Obat hipoglikemik per-oral biasanya diberikan pada penderita diabetes tipe II
jika diet dan oleh raga gagal menurunkan kadar gula darah dengan
cukup.Obat ini kadang bisa diberikan hanya satu kali (pagi hari), meskipun
beberapa penderita memerlukan 2-3 kali pemberian.
d) Jika obat hipoglikemik per-oral tidak dapat mengontrol kadar gula darah
dengan baik, mungkin perlu diberikan suntikan insulin.
d. Terapi Sulih Insulin
Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga
harus diberikan insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan melalui
suntikan, insulin dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat diberikan per-
oral (ditelan).
Bentuk insulin yang baru (semprot hidung) sedang dalam penelitian. Pada
saat ini, bentuk insulin yang baru ini belum dapat bekerja dengan baik karena laju
penyerapannya yang berbeda menimbulkan masalah dalam penentuan dosisnya.
Insulin disuntikkan dibawah kulit ke dalam lapisan lemak, biasanya di lengan,
paha atau dinding perut. Digunakan jarum yang sangat kecil agar tidak terasa terlalu
nyeri.
39
Insulin terdapat dalam 3 bentuk dasar, masing-masing memiliki kecepatan
dan lama kerja yang berbeda:
1) Insulin kerja cepat.
Contohnya adalah insulin reguler, yang bekerja paling cepat dan paling sebentar.
Insulin ini seringkali mulai menurunkan kadar gula dalam waktu 20 menit,
mencapai puncaknya dalam waktu 2-4 jam dan bekerja selama 6-8 jam. Insulin
kerja cepat seringkali digunakan oleh penderita yang menjalani beberapa kali
suntikan setiap harinya dan disutikkan 15-20 menit sebelum makan.
2) Insulin kerja sedang.
Contohnya adalah insulin suspensi seng atau suspensi insulin isofan. Mulai
bekerja dalam waktu 1-3 jam, mencapai puncak maksimun dalam waktu 6-10 jam
dan bekerja selama 18-26 jam. Insulin ini bisa disuntikkan pada pagi hari untuk
memenuhi kebutuhan selama sehari dan dapat disuntikkan pada malam hari untuk
memenuhi kebutuhan sepanjang malam.
3) Insulin kerja lambat.
Contohnya adalah insulin suspensi seng yang telah dikembangkan. Efeknya baru
timbul setelah 6 jam dan bekerja selama 28-36 jam.
Sediaan insulin stabil dalam suhu ruangan selama berbulan-bulan
sehingga bisa dibawa kemana-mana.
Pemilihan insulin yang akan digunakan tergantung kepada :
a) Keinginan penderita untuk mengontrol diabetesnya.
b) Keinginan penderita untuk memantau kadar gula darah dan menyesuaikan
dosisnya.
c) Aktivitas harian penderita.
d) Kecekatan penderita dalam mempelajari dan memahami penyakitnya.
e) Kestabilan kadar gula darah sepanjang hari dan dari hari ke hari.
Sediaan yang paling mudah digunakan adalah suntikan sehari sekali dari
insulin kerja sedang. Tetapi sediaan ini memberikan kontrol gula darah yang paling
minimal.
Kontrol yang lebih ketat bisa diperoleh dengan menggabungkan 2 jenis
insulin, yaitu insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang. Suntikan kedua diberikan
pada saat makan malam atau ketika hendak tidur malam.
40
Kontrol yang paling ketat diperoleh dengan menyuntikkan insulin kerja
cepat dan insulin kerja sedang pada pagi dan malam hari disertai suntikan insulin
kerja cepat tambahan pada siang hari.
Beberapa penderita usia lanjut memerlukan sejumlah insulin yang sama
setiap harinya; penderita lainnya perlu menyesuaikan dosis insulinnya tergantung
kepada makanan, olah raga dan pola kadar gula darahnya. Kebutuhan akan insulin
bervariasi sesuai dengan perubahan dalam makanan dan olah raga.
Beberapa penderita mengalami resistensi terhadap insulin. Insulin tidak
sepenuhnya sama dengan insulin yang dihasilkan oleh tubuh, karena itu tubuh bisa
membentuk antibodi terhadap insulin pengganti. Antibodi ini mempengaruhi aktivitas
insulin sehingga penderita dengan resistansi terhadap insulin harus meningkatkan
dosisnya.
e. Penyuluhan kesehatan
Penyuluhan kesehatan meliputi pengertian, penyebab, tanda gejala, jenis atau
macamnya, komplikasi, penatalaksanaan pada penderita DM dan pemantauan kadar
gula darah.
Pemantauan kadar gula darah penting karena membantu menentukan
penanganan medis yang tepat sehingga mengurangi resiko komplikasi yang berat,
dan dapat meningkatkan kualitas hidup penderita diabetes.
Pemeriksaan kadar gula darah dapat dilakukan dengan berbagai cara baik di
laboratorium, klinik bahkan dapat dilakukan pemantauan kadar gula mandiri yang
dapat dilakukan pasien dirumah dengan menggunakan alat yang bernama Glukometer

41
DISPEPSIA

A. TINJAUAN TEORITIS
1. Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys) berarti sulit dan Pepse berarti
pencernaan. Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinisyang terdiri dari rasa
tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalamikekambuhan. Keluhan
refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam
lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia. Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :
a. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya.Sindroma dispepsi organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ
tubuh misalnyatukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas, radang
empedu, dan lain-lain.
b. Dispepsia nonorganik atau dispepsia fungsional, atau dispesia nonulkus (DNU), bila
tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan
struktur organberdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi
(teropong saluran pencernaan).
Dispepsia atau sakit maag adalah sekumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari
nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau
cepat kenyang, dan sering bersendawa. Biasanya berhubungan dengan pola makan yang
tidak teratur, makanan yang pedas, asam, minuman bersoda, kopi, obat-obatan tertentu,
ataupun kondisi emosional tertentu misalnya stress (Wibawa, 2006).
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan / gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak
enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan keluhan
refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam
lambung kini tidak lagi termasuk dispepsia (Mansjoer A edisi III, 2000).
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan / gejala klinis (sindrom) yang terdiri dari
rasa tidak enak / sakit diperut bagian atas yang dapat pula disertai dengan keluhan lain,
perasaan panas di dada daerah jantung (heartburn), regurgitasi, kembung, perut terasa
penuh, cepat kenyang, sendawa, anoreksia, mual, muntah, dan beberapa keluhan lainnya
(Warpadji Sarwono, et all, 1996, hal. 26)

42
2. Patofisiologi
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat
seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan makanan
menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat
mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung,
kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan
merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla
oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan
maupun cairan.

43
Pathway

DISPEPSIA

Dispepsia
Organik

Merokok Kopi & alkohol

DISPEPSIA Stress
Fungsional Sel epitel kolumner
(-) prduksinya

Kecemasan b/d Perangsangan


perubahan status saraf simpatis Respon mukosa lambung
kesehatan NV (Nervus
Vagus)
Vaso dilatasi mukosa Eksfeliasi
gaster (Pengelupas
↑ Produksi HCL
an)
di lambung

HCL kontak
dengan mukosa
Mual, gaster
Perubahan muntah,
keseimbngan anoreksia
cairan & Nyeri
elektrolit b/d
adanya mual&
Nutrisi kurang
muntah dari kebutuhan Nyeri akut (nyeri epigastrium) b/d
tubuh iritasi pd mukosa lambung

44
3. Etiologi
Beberapa perubahan dapat terjadi pada saluran cerna atas akibat proses penuaan,
terutama pada ketahanan mukosa lambung (Wibawa, 2006). Kadar asam lambung lansia
biasanya mengalami penuruna hingga 85%.
Dispepsia dapat disebabkan oleh kelainan organik, yaitu :
a. Gangguan penyakit dalam lumen saluran cerna: tukak gaster atau duodenum,
gastritis, tumor, infeksi bakteri Helicobacter pylori.

Gambar 1. Infeksi bakteri H. Pylori

b. Obat-obatan: anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa jenis antibiotik,
digitalis, teofilin dan sebagainya.
c. Penyakit pada hati, pankreas, maupun pada sistem bilier seperti hepatitis,
pankreatitis, kolesistitis kronik.
d. Penyakit sistemik seperti diabetes melitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner.
Dispepsia fungsional dibagi 3, yaitu :
a. Dispepsia mirip ulkus bila gejala yang dominan adalah nyeri ulu hati.
b. Dispepsia mirip dismotilitas bila gejala dominan adalah kembung, mual, cepat
kenyang.
c. Dispepsia non-spesifik yaitu bila gejalanya tidak sesuai dengan dispepsia mirip ulkus
maupun dispepsia mirip dismotilitis.

45
Peranan pemakaian OAINS dan infeksi H. Pylori sangat besar pada kasus-kasus dengan
kelainan organik (Panchmatia, 2010).

4. Manifestasi Klinis
a. Nyeri perut (abdominal discomfort)
b. Rasa perih di ulu hati
c. Mual, kadang-kadang sampai muntah
d. Nafsu makan berkurang
e. Rasa lekas kenyang
f. Perut kembung
g. Rasa panas di dada dan perut
h. Regurgitasi (keluar cairan dari lambung secara tiba-tiba).

5. Komplikasi
Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun dapat memicu adanya
komplikasi yang tidak ringan. Salah satunya komplikasi dispepsia yaitu luka di dinding
lambung yang dalam atau melebar tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam
lambung. Bila keadaan dispepsia ini terus terjadi luka akan semakin dalam dan dapat
menimbulkan komplikasi pendarahan saluran cerna yang ditandai dengan terjadinya
muntah darah, di mana merupakan pertanda yang timbul belakangan. Awalnya penderita
pasti akan mengalami buang air besar berwarna hitam terlebih dulu yang artinya sudah
ada perdarahan awal. Tapi komplikasi yang paling dikuatirkan adalah terjadinya kanker
lambung yang mengharuskan penderitanya melakukan operasi.

6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang harus bias menyingkirkan kelainan serius, terutama
kanker lambung, sekaligus menegakkan diagnosis bila mungkin. Sebagian pasien
memiliki resiko kanker yang rendah dan dianjurkan untuk terapi empiris tanpa
endoskopi.
a. Tes Darah

46
Hitung darah lengkap dan LED normal membantu menyingkirkan kelainan
serius. Hasil tes serologi positif untuk Helicobacter pylori menunjukkan ulkus
peptikum namun belum menyingkirkan keganasan saluran pencernaan.
b. Endoskopi (esofago-gastro-duodenoskopi)
Endoskopi adalah tes definitive untuk esofagitis, penyakit epitellium Barret,
dan ulkus peptikum. Biopsi antrum untuk tes ureumse untuk H.pylori (tes CLO)
(Davey,Patrick, 2006).
Endoskopi adalah pemeriksaan terbaik masa kini untuk menyingkirkan kausa
organic pada pasien dispepsia. Namun, pemeriksaan H. pylori merupakan pendekatan
bermanfaat pada penanganan kasus dispepsia baru. Pemeriksaan endoskopi
diindikasikan terutama pada pasien dengan keluhan yang muncul pertama kali pada
usia tua atau pasien dengan tanda alarm seperti penurunan berat badan, muntah,
disfagia, atau perdarahan yang diduga sangat mungkin terdapat penyakit struktural.
Pemeriksaan endoskopi adalah aman pada usia lanjut dengan kemungkinan
komplikasi serupa dengan pasien muda. Menurut Tytgat GNJ, endoskopi
direkomendasikan sebagai investigasi pertama pada evaluasi penderita dispepsia dan
sangat penting untuk dapat mengklasifikasikan keadaan pasien apakah dispepsia
organik atau fungsional. Dengan endoskopi dapat dilakukan biopsy mukosa untuk
mengetahui keadaan patologis mukosa lambung (Wibawa, I Dewa Nyoman, 2006).
c. DPL : Anemia mengarahkan keganasan
d. EGD : Tumor, PUD, penilaian esophagitis (Pierce.A.Grace & Neil.R.Borley, 2006)
e. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium termasuk hitung darah
lengkap, laju endap darah, amylase, lipase, profil kimia, dan pemeriksaan ovum dan
parasit pada tinja. Jika terdapat emesis atau pengeluaran darah lewat saluran cerna
maka dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan barium pada saluran cerna bgian atas
(Schwartz, M William, 2004).

7. Pemeriksaan Fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien dyspepsia yang belum diinvestigasi
terutama hasrus ditujukan untuk mencari kemungkinan adanya kelainan organik sebagai
kausa dispepsia. Pasien dispepsia dengan alarm symptoms kemungkinan besar didasari
kelainan organik. Menurut Wibawa (2006), yang termasuk keluhan alarm adalah :
47
a. Disfagia,
b. Penurunan Berat Badan (weight loss),
c. Bukti perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena, hematochezia, anemia
defisiensi besi,atau fecal occult blood),
d. Tanda obstruksi saluran cerna atas (muntah, cepat penuh).
Pasien dengan alarm symptoms perlu dilakukan endoskopi segera untuk
menyingkirkan penyakit tukak peptic dengan komplikasinya, GERD (gastroesophageal
reflux disease), atau keganasan.

8. Penatalaksanaan Medik
Adapun beberapa pencegahan terjadinya dyspepsia, antara lain : pola makan yang
normal, dan teratur, pilih makanan yang seimbang dengan kebutuhan dan jadwal makan
yang teratur, sebaiknya tidak mengkonsumsi makanan yang berkadar asam tinggi, cabai,
alkohol dan, pantang rokok, bila harus makan obat karena sesuatu penyakit, misalnya
sakit kepala, gunakan obat secara wajar dan tidak mengganggu fungsi lambung.

48
URETEROLITHIASIS
(BATU URETER)
A. Pengertian
Ureterolithiasis adalah suatu keadaan terjadinya penumpukan oksalat, calculi (batu
ginjal) pada ureter atau pada daerah ginjal. Ureterolithiasis terjadi bila batu ada di dalam saluran
perkemihan. Batu itu sendiri disebut calculi. Pembentukan batu mulai dengan kristal yang
terperangkap di suatu tempat sepanjang saluran perkemihan yang tumbuh sebagai pencetus larutan
urin. Calculi bervariasi dalam ukuran dan dari fokus mikroskopik sampai beberapa centimeter dalam
diameter cukup besar untuk masuk dalam pelvis ginjal. Gejala rasa sakit yang berlebihan pada
pinggang, nausea, muntah, demam, hematuria. Urine berwarna keruh seperti teh atau merah.
(Brunner and Suddarth, 2002: 1460).
Batu ureter pada umumnya berasal dari batu ginjal yang turun ke ureter. Batu ureter mungkin
dapat lewat sampai ke kandung kemih dan kemudian keluar bersama kemih. Batu ureter juga bisa
sampai ke kandung kemih dan kemudian berupa nidus menjadi batu kandung kemih yang besar.
Batu juga bisa tetap tinggal di ureter sambil menyumbat dan menyebabkan obstruksi kronik dengan
hidroureter yang mungkin asimtomatik. Tidak jarang terjadi hematuria yang didahului oleh serangan
kolik. (R. Sjamsuhidajat, 1998 Hal. 1027).
Urolithiasis adalah kalsifikasi dengan sistem urinari kalkuli, seringkali disebut batu ginjal. Batu
dapat berpindah ke ureter dan kandung kemih (Black, Joyce, 1997, hal. 1595).
Urolithiasis adalah benda zat padat yang dibentuk oleh presipitasi berbagai zat terlarut dalam
urine pada saluran kemih. Batu dapat berasal dari kalsium oksalat (60%), fosfat sebagai campuran
kalsium, amonium, dan magnesium fosfat (batu tripel fosfat akibat infeksi) (30%), asam urat (5%),
dan sistin (1%).( Pierce A. Grace & Neil R. Borley 2006, ILMU BEDAH, hal. 171).
Urolithiasis adalah penyakit diamana didapatkan batu di dalam saluran air kemih, yang dimulai
dari kaliks sampai dengan uretra anterior.(DR. Nursalam, M. Nurs & Fransica B.B, Sistem
Perkemihan, hal. 76).

B. Etiologi
Sampai saat sekarang penyebab terbentuknya batu belum diketahui secara pasti.
Beberapa faktor predisposisi terjadinya batu :
1. Ginjal : Tubular rusak pada nefron, mayoritas terbentuknya batu

49
2. Immobilisasi : Kurang gerakan tulang dan muskuloskeletal menyebabkan penimbunan kalsium.
Peningkatan kalsium di plasma akan meningkatkan pembentukan batu.
3. Infeksi : infeksi saluran kemih dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan menjadi inti
pembentukan batu.
4. Kurang minum : sangat potensial terjadi timbulnya pembentukan batu.
5. Pekerjaan : dengan banyak duduk lebih memungkinkan terjadinya pembentukan batu
dibandingkan pekerjaan seorang buruh atau petani.
6. Iklim : tempat yang bersuhu dingin (ruang AC) menyebabkan kulit kering dan pemasukan cairan
kurang. Tempat yang bersuhu panas misalnya di daerah tropis, di ruang mesin menyebabkan
banyak keluar keringat, akan mengurangi produksi urin.
7. Diuretik : potensial mengurangi volume cairan dengan meningkatkan kondisi terbentuknya batu
saluran kemih.
8. Makanan, kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi kalsium seperti susu, keju, kacang polong,
kacang tanah dan coklat. Tinggi purin seperti : ikan, ayam, daging, jeroan. Tinggi oksalat seperti
: bayam, seledri, kopi, teh, dan vitamin D.

C. Klasifikasi
Teori pembentukan batu renal :
1. Teori Intimatriks
2. Terbentuknya Batu Saluran Kencing memerlukan adanya substansi organik Sebagai inti.
Substansi ini terdiri dari mukopolisakarida dan mukoprotein A yang mempermudah
kristalisasi dan agregasi substansi pembentukan batu.
3. Teori Supersaturasi
4. Terjadi kejenuhan substansi pembentuk batu dalam urine seperti sistin, santin, asam urat,
kalsium oksalat akan mempermudah terbentuknya batu.
5. Teori Presipitasi-Kristalisasi
6. Perubahan pH urine akan mempengaruhi solubilitas substansi dalam urine. Urine yang
bersifat asam akan mengendap sistin, santin dan garam urat, urine alkali akan mengendap
garam-garam fosfat.
7. 4. Teori Berkurangnya Faktor Penghambat

50
8. Berkurangnya Faktor Penghambat seperti peptid fosfat, pirofosfat, polifosfat, sitrat
magnesium, asam mukopolisakarida akan mempermudah terbentuknya Batu Saluran
Kencing.

D. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis adanya batu dalam traktus urinarius bergantung pada adanya obstruksi,
infeksi dan edema.
1. Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik dan distensi piala ginjal serta ureter proksimal. Infeksi (pielonefritis dan sistitis yang
disertai menggigil, demam dan disuria) dapat terjadi dari iritasi batu yang terus menerus.
Beberapa batu menyebabkan sedikit gejala namun secara perlahan merusak unit fungsional
(nefron) ginjal. Nyeri yang luar biasa dan ketidak nyamanan.
2. Batu di piala ginjal
a. Nyeri dalam dan terus-menerus di area kastovertebral.
b. Hematuri dan piuria dapat dijumpai.
c. Nyeri berasal dari area renal menyebar secara anterior dan pada wanita nyeri ke bawah
mendekati kandung kemih sedangkan pada pria mendekati testis.
d. Bila nyeri mendadak menjadi akut, disertai nyeri tekan di area kostoveterbal, dan muncul
Mual dan muntah.
e. Diare dan ketidaknyamanan abdominal dapat terjadi. Gejala gastrointestinal ini akibat dari
reflex renoinstistinal dan proksimitas anatomic ginjal ke lambung pancreas dan usus besar.
3. Batu yang terjebak di ureter
a. Menyebabkan gelombang Nyeri yang luar biasa, akut, dan kolik yang menyebar ke paha dan
genitalia.
b. Rasa ingin berkemih namun hanya sedikit urine yang keluar
c. Hematuri akibat aksi abrasi batu.
d. Biasanya batu bisa keluar secara spontan dengan diameter batu 0,5-1 cm.
4. Batu yang terjebak di kandung kemih
a. Biasanya menyebabkan gejala iritasi dan berhubungan dengan infeksi traktus urinarius dan
hematuri.
b. Jika batu menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih akan terjadi retensi urine.
51
E. Patofisiologi
Mekanisme terbentuknya batu pada saluran kemih atau dikenal dengan urolitiasis belum
diketahui secara pasti. Namun ada beberapa faktor predisposisi terjadinya batu antara lain :
Peningkatan konsentrasi larutan urin akibat dari intake cairan yang kurang dan juga peningkatan
bahan-bahan organik akibat infeksi saluran kemih atau stasis urin menyajikan sarang untuk
pembentukan batu.
Supersaturasi elemen urin seperti kalsium, fosfat, oxalat, dan faktor lain mendukung
pembentukan batu meliputi : pH urin yang berubah menjadi asam, jumlah solute dalam urin dan
jumlah cairan urin. Masalah-masalah dengan metabolisme purin mempengaruhi pembentukan batu
asam urat. pH urin juga mendukung pembentukan batu. Batu asam urat dan batu cystine dapat
mengendap dalam urin yang asam. Batu kalsium fosfat dan batu struvite biasa terdapat dalam urin
yang alkalin. Batu oxalat tidak dipengaruhi oleh pH urin.
Imobilisasi yang lama akan menyebabkan pergerakan kalsium menuju tulang akan
terhambat. Peningkatan serum kalsium akan menambah cairan yang akan diekskresikan. Jika cairan
masuk tidak adekuat maka penumpukan atau pengendapan semakin bertambah dan pengendapan ini
semakin kompleks sehingga terjadi batu.
Batu yang terbentuk dalam saluran kemih sangat bervariasi, ada batu yang kecil dan batu
yang besar. Batu yang kecil dapat keluar lewat urin dan akan menimbulkan rasa nyeri, trauma pada
saluran kemih dan akan tampak darah dalam urin. Sedangkan batu yang besar dapat menyebabkan
obstruksi saluran kemih yang menimbulkan dilatasi struktur, akibat dari dilatasi akan terjadi refluks
urin dan akibat yang fatal dapat timbul hidronefrosis karena dilatasi ginjal.
Kerusakan pada struktur ginjal yang lama akan mengakibatkan kerusakan pada organ-organ
dalam ginjal sehingga terjadi gagal ginjal kronis karena ginjal tidak mampu melakukan fungsinya
secara normal.
Maka dapat terjadi penyakit GGK yang dapat menyebabkan kematian.

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Urinalisa : warna kuning, coklat gelap, berdarah. Secara umum menunjukkan adanya sel
darah merah, sel darah putih dan kristal(sistin,asam urat, kalsium oksalat), serta serpihan,
mineral, bakteri, pus, pH urine asam(meningkatkan sistin dan batu asam urat) atau alkalin
meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat.
2. Urine (24 jam) : kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistin meningkat.
52
3. Kultur urine : menunjukkan adanya infeksi saluran kemih (stapilococus aureus,
proteus,klebsiela,pseudomonas).
4. Survei biokimia : peningkatan kadar magnesium, kalsium, asam urat, fosfat, protein dan
elektrolit.
5. BUN/kreatinin serum dan urine : Abnormal ( tinggi pada serum/rendah pada urine) sekunder
terhadap tingginya batu okkstuktif pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis.
6. Kadar klorida dan bikarbonat serum : peningkatan kadar klorida dan penurunan kadar
bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal.
7. Hitung Darah lengkap : sel darah putih mungkin meningkat menunjukan infeksi/septicemia.
8. Sel darah merah : biasanya normal.
9. Hb, Ht : abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia terjadi ( mendorong presipitas
pemadatan) atau anemia(pendarahan, disfungsi ginjal).
10. Hormon paratiroid : mungkin meningkat bila ada gagal ginjal. (PTH merangsang reabsorbsi
kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urine).
11. Foto rontgen : menunjukkan adanya kalkuli atau perubahan anatomik pada area ginjal dan
sepanjang ureter.
12. IVP : memberikan konfirmasi cepat urolithiasis, seperti penyebab nyeri abdominal atau
panggul. Menunjukan abdomen pada struktur anatomik ( distensi ureter) dan garis bentuk
kalkuli.
13. Sistoureterokopi : visualisasi langsung kandung kemih dan ureter dapat menunjukan batu
dan efek obstruksi.
14. Stan CT : mengidentifikasi/ menggambarkan kalkuli dan massa lain, ginjal, ureter, dan
distensi kandung kemih.
15. USG Ginjal : untuk menentukan perubahan obstruksi, lokasi batu.

G. Komplikasi
1. Sumbatan : akibat pecahan batu
2. Infeksi : akibat desiminasi partikel batu ginjal atau bakteri akibat obstruksi
3. Kerusakan fungsi ginjal : akibat sumbatan yang lama sebelum pengobatan dan pengangkatan
batu ginjal

53
H. Pencegahan
a. Usahakan diuresis yang adekuat: minum air 2-3 liter per hari dapat di capai diuresis 1,5
liter/hari.
b. Pelaksanaan diet bergantung dari jenis penyakit batu (rendah kalsium tinggi sisa asam,
diet tinggi sisa basa, dan diet rendah purin).
c. Eradikasi infeksi saluran kemih khususnya untuk batu struvit.

I. Penatalaksanaan
1. Pengurangan nyeri, mengurangi nyeri sampai penyebabnya dapat dihilangkan, morfin
diberikan untuk mencegah sinkop akibat nyeri luar biasa. Mandi air hangat di area panggul
dapat bermanfaat. Cairan yang diberikan, kecuali pasien mengalami muntah atau menderita
gagal jantung kongestif atau kondisi lain yang memerlukan pembatasan cairan. Ini
meningkatkan tekanan hidrostatik pada ruang belakang batu sehingga mendorong passase batu
tersebut ke bawah. Masukan cairan sepanjang hari mengurangi kosentrasi kristaloid urine,
mengencerkan urine dan menjamin haluaran urine yang besar.
2. Pengangkatan batu, pemeriksaan sistoskopik dan passase kateter ureteral kecil untuk
menghilangkan batu yang menyebabkan obstruksi ( jika mungkin), akan segera mengurangi
tekanan belakang pada ginjal dan mengurangi nyeri.
3. Terapi nutrisi dan Medikasi. Terapi nutrisi berperan penting dalam mencegah batu ginjal.
Masukan cairan yang adekuat dan menghindari makanan tertentu dalam diet yang merupakan
bahan utama pembentuk batu(mis.kalsium), efektif untuk mencegah pembentukan batu atau
lebih jauh meningkatkan ukuran batu yang telah ada. Minum paling sedikit 8 gelas sehari
untuk mengencerkan urine, kecuali dikontraindikasikan.
a. Batu kalsium, pengurangan kandungan kalsium dan fosfor dalam diet dapat membantu
mencegah pembentukan batu lebih lanjut.
b. Batu fosfat, diet rendah fosfor dapat diresepkan untuk pasien yang memiliki batu fosfat,
untuk mengatasi kelebihan fosfor, jeli aluminium hidroksida dapat diresepkan karena
agens ini bercampur dengan fosfor, dan mengeksikannyamelalui saluran intensial bukan
ke system urinarius.
c. Batu urat, untuk mengatasi batu urat, pasien diharuskan diet rendah purin, untuk
mengurangi ekskresi asam urat dalam urine.

54
d. Batu oksalat, urine encer dipertahankan dengan pembatasan pemasukan oksalat.
Makanan yang harus dihindari mencakup sayuran hijau berdaun banyak, kacang,seledri,
coklat,the, kopi.
e. Jika batu tidak dapat keluar secara spontan atau jika terjadi komplikasi, modaritas
penanganan mencakup terapi gelombang kejut ekstrakorporeal, pengankatan batu
perkutan, atau uteroroskopi.
4. Lithotrupsi Gelombang Kejut Ekstrakorporeal, adalah prosedur noninvasive yang digunakan
untuk menghancurkan batu kaliks ginjal. Setelah batu itu pecah menjadi bagian yang kecil
seperti pasir, sisa batu-batu tersebut dikeluarkan secara spontan
5. Metode Endourologi Pengangkatan batu, bidang endourologi menggabungkan keterampilan
ahli radiologi dan urologi untuk mengankat batu renal tanpa pembedahan mayor.
6. Uteroskopi, mencakup visualisasi dan askes ureter dengan memasukan suatu alat ureteroskop
melalui sistoskop. Batu dihancurkan dengan menggunakan laser, lithotripsy elektrohidraulik,
atau ultrasound kemudian diangkat.
7. Pelarutan batu, infuse cairan kemolitik, untuk melarutkan batu dapat dilakukan sebagai
alternative penanganan untuk pasien kurang beresiko terhadap terapi lain, dan menolak
metode lain, atau mereka yang memiliki batu yang mudah larut (struvit).
8. Pengangkatan Bedah,sebelum adanya lithotripsy, pengankatan batu ginjal secara bedah
merupakan terapi utama. Jika batu terletak di dalam ginjal, pembedahan dilakukan dengan
nefrolitotomi (Insisi pada ginjal untuk mengangkat batu atau nefrektomi, jika ginjal tidak
berfungsi akibat infeksi atau hidronefrosis. Batu di piala ginjal diangat dengan pielolitotomi,
sedangkan batu yang diangkat dengan ureterolitotomi, dan sistostomi jika batu berada di
kandung kemih., batu kemudian dihancur dengan penjepit alat ini. Prosedur ini disebut
sistolitolapaksi

55
PNEUMONIA
A. Definisi
Pneumonia adalah penyakit inflamasi pada paru yang dicirikan dengan adanya konsolidasi
akibat eksudat yang masuk dalam area alveoli.(Axton & Fugate, 1993).
Peradangan akut parenkim paru yang biasanya berasal dari suatu infeksi, disebut pneumonia.
(Sylvia)
Penumonia adalah inflasi parenkim paru, biasanya berhubungan dengan pengisian cairan di
dalam alveoli.Hal ini terjadi ini terjadi akibat adanya invaksi agen atau infeksius adalah
adanya kondisi yang mengganggu tahanan saluran.Trakhabrnkialis, adalah beberapa keadaan
yang mengganggu mekanisme pertahanan sehingga timbul infeksi paru misalnya, kesadaran
menurun, umur tua, trakheastomi, pipa
endotrakheal, dan lain-lain.Dengan
demikian flora endogen yang menjadi
patogen ketika memasuki saluran
pernapasan.( Ngasriyal, Perawatan Anak
Sakit, 1997)

B. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi seperti:
1. Bakteri penyebab pneumonia yang
paling umum adalah staphylococcus
aureus, streptococus, aeruginosa, legionella, hemophillus, influenza, eneterobacter.
Bakteri-bakteri tersebut berada pada kerongkongan manusia sehat, setelah system
pertahanan menurun oleh sakit, usia tua, atau malnutrisi, bakteri tersebut segera
memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan.
2. Virus penyebab pneumonia diantaranya yaitu virus influenza, adenovirus,chicken-pox
(cacar air). Meskipun virus-virus ini menyerang saluran pernafasan bagian atas, tetapi
gangguan ini dapat memicu pneumonia, terutama pada anak-anak.
3. Organism mirip bakteri yaituMicoplasma pneumonia. Pneumonia jenis ini berbeda
dengan pneumonia pada umumnya. Karena itu pneumonia yang diduga disebabkan

56
oleh virus yang belum ditemukan ini sering disebut pneumonia yang tidak tipikal.
Mikoplasma ini menyerang segala jenis usia.
4. Jamur penyebab pneumonia yaitu candida albicans

C. Klasifikasi
Secara garis besar pneumonia dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
1. Aspirasi pneumonia
Terjadi bila bayi tersedak dan ada cairan /makanan masuk ke paru-paru.Pada bayi baru
lahir, biasanya tersedak karena air ketuban atau ASI.
2. Pneumonia karena infeksi virus, bakteri, atau jamur
Umumnya penyebab infeksi paru adalah virus dan bakteri seperti streptococcus pneumonia
dan haemophylus influenzae. Gejala akan muncul 1-2 hari setelah terinfeksi. Gejala yang
muncul mulai dari demam,batuk lalu sesak nafas.
3. Pneumonia akibat faktor lingkungan
Polusi udara menyebabkan sesak nafas terutama bagi yang alergi. Bila tidak segera
dilakukan pengobatan maka akan mengakibatkan bronchitis dan selanjutnya menjadi
pneumonia.

D. Patofisiologi
Sebagian besar pneumonia didapat melalui aspirasi partikel infektif seperti
menghirup bibit penyakit di uadara.Ada beberapa mekanisme yang pada keadaan normal
melindungi paru dari infeksi.Partikel infeksius difiltrasi di hidung, atau terperangkap dan
dibersihkan oleh mukus dan epitel bersilia di saluran napas. Bila suatu partikel dapat
mencapai paru-paru, partikel tersebut akan berhadapan dengan makrofag alveoler, dan juga
dengan mekanisme imun sistemik, dan humoral.
Setelah mencapai parenkim paru, bakteri menyebabkan respons inflamasi akut yang
meliputi eksudasi cairan, deposit fibrin, dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear di alveoli
yang diikuti infitrasi makrofag. Cairan eksudatif di alveoli menyebabkan konsolidasi lobaris
yang khas pada foto toraks.Virus, mikoplasma, dan klamidia menyebabkan inflamasi dengan
dominasi infiltrat mononuklear pada struktur submukosa dan interstisial.Hal ini
menyebabkan lepasnya sel-sel epitel ke dalam saluran napas, seperti yang terjadi pada
bronkiolitis.
57
Micoplasma
virus Bakteri (mirip bakteri) jamur

Masuk sasaluran
pernafasan

Paru-paru

Bronkus & alveoli


Reseptor peradangan

Mengganggu krj
makrofag hipothalamus

Hipertermi
Resiko penyebaran infeksi infeksi
Kringat
berlebih

Peradangan/ inflamasi Risti kekurangan


Reseptor nyeri:
 Histamine cairan &elektrolit
 Prostaglandin
 bradikinin
produksi Difusi gas antara O2 &
odema skreet mngkat CO2 di alveoli
terganggu

Nyeri dispnea batuk Kapasitas transportasi


O2 menurun

kelelahan Gangguan pola


napas Gangguan pertukaran
gas

Nadi lemah
Bersihan jln napas
tdk efektif Pnekanan diafragma

Pe tekanan Intra
abdomen
Anureksia Saraf pusat

Nutrisi berkurang

58
Peningkatan Risti terhadap
Metabolisme gangguan nutrisi
E. Manifestasi Klinik
1. Menggigil, demam
2. Nyeri dada
3. Takipnea
4. Bibir dan kuku sianosis
5. Sesak nafas
6. Batuk
7. Kelelahan
F. Komplikasi
1. Efusi pleura
2. Hipoksemia
3. Pneumonia kronik
4. Bronkaltasis
5. Atelektasis (pengembangan paru yang tidak sempurna/bagian paru-paru yang diserang
tidak mengandung udara dan kolaps).
6. Komplikasi sistemik (meningitis)
G. Faktor Resiko
1. Usia diatas 65 tahun
2. Aspirasi secret orofaringeal
3. Infeksi pernapasan oleh virus
4. Penyakit pernapasan kronik
5. Kanker
6. Trakeostomi
7. Bedah abdominal
8. Riwayat merokok
9. Alkoholisme
10. Malnurisi

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar X: mengidentifikasikan distribusi struktural (misal: lobar, bronchial); dapat juga
menyatakan abses)

59
2. Pemeriksaan gram/kultur, sputum dan darah: untuk dapat mengidentifikasi semua
organisme yang ada.
3. Pemeriksaan serologi: membantu dalam membedakan diagnosis organisme khusus.
4. Pemeriksaan fungsi paru: untuk mengetahui paru-paru, menetapkan luas berat penyakit
dan membantu diagnosis keadaan.
5. Biopsi paru: untuk menetapkan diagnosis
6. Spirometrik static: untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi
7. Bronkostopi: untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda asing

I. Penatalaksanaan
Pengobatan umum pasien-pasien pneumonia biasanya berupa pemberian antibiotik yang
efektif terhadap organisme tertentu, terapi O2 untuk menanggulangi hipoksemia.
Beberapa contoh pemberian antibiotic seperti :
1. Penicillin G: untuk infeksi pneumonia staphylococcus.
2. Amantadine, rimantadine: untuk infeksi pneumonia virus
3. Eritromisin, tetrasiklin, derivat tetrasiklin: untuk infeksi pneumonia mikroplasma.

60
GASTROENTERITIS
1. Tinjauan Teoritis
a. Definisi
Gastroenteritis adalah suatu keadaan pengeluaran feses yang tidak normal atau
seperti biasanya, ditandai dengan peningkatan volume, keenceran, frekuensi lebih dari 3
kali dan pada neonatus lebih dari 4 kali sehari dengan atau tanpa lendir darah (Hidayat,
2006).
Gastroenteritis adalah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi
dan lebih dari 3 kali pada anak, konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau atau dapat
pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja (Ngastiyah, 2005).
Gastroenteritis adalah inflamasi lambung dan usus yang disebabkan oleh berbagai
bakteri, virus dan pathogen parasitik (Wong, 2003).

b. Patofisiologi
Gastroenteritis akut ditandai dengan muntah dan diare berakibat kehilangan cairan
dan elektrolit. Penyebab utama gastroenteritis akut adalah virus (roba virus, adeno virus
enterik, norwalk virus serta parasit (blardia lambia) patogen ini menimbulkan penyakit
dengan menginfeksi sel-sel). Organisme ini menghasilkan enterotoksin atau kritotoksin
yang merusak sel atau melekat pada dinding usus pada gastroenteritis akut. Usus halus
adalah organ yang palilng banyak terkena.
Gastroenteritis akut ditularkan melalui rute rektal, oral dari orang ke orang.
Beberapa fasilitas perawatan harian yang meningkatkan resiko gastroenteritas dapat pula
merupakan media penularan. Transpor aktif akibat rangsang toksin bakteri terhadap
elektrolit ka dalam usus halus. Sel intestinal mengalami iritasi dan meningkatkan sekresi
cairan dan elektrolit, mikroorganisme yang masuk akan merusak sel mukosa intestinal
sehingga akan menurunkan area permukaan intestinal.
Perubahan kapasitas intestinal dan terjadi gangguan absorpsi cairan dan elektrolit.
Peradangan dapat mengurangi kemampuan intestinal mengabsorpsi cairan dan elektrolit
hal ini terjadi pada sindrom mal absorpsi yang meningkatkan motilitas usus intestinal.
Meningkatnya motilitas dan cepatnya pengosongan pada intestinal merupakan gangguan
dari absorbsi dan sekresi cairan dan elektroli yang berlebihan. Cairan potasium dan

61
dicarbonat berpindah dari rongga ekstra seluler ke dalam tinja sehingga menyebabkan
dehidrasi, kekurangan elektrolit dapat terjadi asidosis metebolik (Suriadi,2004: 83).
Iritasi usus oleh suatu patogen mempengaruhi lapisan mukosa usus sehingga
terjadi produk sekretonik termasuk mukus. Iritasi mikroba juga mempengaruhi lapisan
otot sehingga terjadi peningkatan motiltas menyebabkan banyak air dan elektrolit
terbuang, karena waktu yang tersedia untuk penyerapan zat-zat tersebut di colon
berkurang (Corwin,2000:321).

62
63
c. Etiologi
Penyebab diare dibagi dalam beberapa factor yaitu:
1) Infeksi
a) Infeksi internal yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab
utama pada anak yang disebabkan infeksi bakteri vibrio E.coli atau salmonella,
Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dan sebagainya; Infeksi virus :
yaitu enterovirus; Infeksi parasit : cacing,protozoa, jamur
b) Infeksi parenteral yaitu infeksi dari bagian tubuh lain di luar alat pencernaan
seperti otitis media akut, tonsilofaringitis, bronkopneumonia, encefalitis, dll.
Keadaan ini terjadi pada bayi dan anak umur dibawah 2 tahun.
2) Malabsorsi
a) Mal absorpsi kalbohidrat, misalnya disakarida ( intoleransi laktosa, maltosa dan
sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi
dan anak-anak yang terpenting dan tersering adalah intoleransi laktosa.
b) Mal absorpsi lemak
c) Mal absorpsi protein
3) Makanan
Makanan basi, baeracun, alergi terhadap makanan
4) Psikologik
Rasa takut dan cemas walaupun jarang dapat menimbulkan diare terutama pada anak
yang telah besar.

( Corwin, 2001 : 521 )

d. Manifestasi Klinis
Gejala awal adalah anak menjadi cengeng dan gelisah, suhu badan mungkin
meningkat, nafsu makan menurun kemudian timbul diare tinja cair, mungkin
mengandung darah atau lendir, warna tinja berubah menjadi kehijau-hijauan karena
tercampur empedu, anus dan sekitarnya menjadi lecet karena tinja menjadi asam
akibatnya, banyaknya asam laktat yang terjadi dari pemecahan laktosa yang tidak dapat
diabsorpsi oleh usus. Gejala muntah dapat terjadi setelah atau sebelum diare dan dapat
disebabkan karena lambung turut meradang atau akibat gangguan asam basa dan
64
elektrolit. Bila penderita telah banyak kehilangan air dan elektrolit terjadilah gejala
dehidrasi.berat badan menurun pada bayi, ubun-ubun besar dan cekung, tonus dan turgor
otot kulit berkurang, selaput lendir mulut dan bibir menjadi kering.
Frekuensi BAB pada bayi lebih dari 3 kali sehari dan pada neonatus lebih dari 4
kali sehari, bentuk cair pada buang air besarnya kadang – kadang disertai lendir dan
darah, nafsu makan menurun, warna lama kelaman menjadi kehijauan karena bercampur
empedu, muntah, rasa haus, malaise, adanya lecet pada daerah sekitar anus, feses
bersifat banyak asam laktat yang berasal dari laktosa yang dapat diserap oleh usus,
adanya tanda dehidrasi, kemudian dapat terjadi diuresis yang berkurang (oliguri sampai
dengan anuria) atau sampai dengan terjadi asidosis metabolik seperti tampak pucat
dengan pernafasan kusmaul.

e. Komplikasi
Salah satu komplikasi dari gastroenteritis adalah dehidrasi. Klasifikasi tingkat
dehidrasi menurut Hidayat (2006) adalah :
1) Dehidrasi Ringan
Apabila kehilangan 2 – 5 % dari berat badan atau rata – rata 25ml/kg BB dengan
gambaran klinik turgor kulit kurang elastis, suara serak, penderita belum jatuh pada
keadaan syok.
2) Dehidrasi Sedang
Apabila kehilangan cairan 5 – 8% dari berat badan atau rata – rata 75 ml/kg BB
dengan gambaran klinik turgor kulit jelek, suara sera, penderita jatuh syok, nadi
cepat dan dalam.
3) Dehidrasi Berat
Apabila kehilangan cairan 8 – 10% dari berat badanatau rata – rata 125ml/kg BB,
pada dehidrasi berat volume darah berkurang sehingga terjadi renjatan
hipovolemikdengan gejala denyut jantung menjadi cepat, nadi cepat dan kecil,
tekanan darah menurun, pasien sangat lelah,m kesadaranmenurun ( apatis,
somnolen, kadang sampai soporokomateus)

65
f. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam menegakkan diagnosis yang tepat
sehingga kita dapat memberikan obat yang tepat pula. Adapun pemeriksaan yang perlu
dikerjakan :
1) Pemeriksaan feses
Tes tinja untuk mengetahui makroskopis dan mikroskopis, biakan kuman unuk
mengetahui kuman penyebab, tes resistensi terhadap berbagai antibiotik serta untuk
mengetahui pH dan kadar gula jikia diduga ada intoleransi glukosa. Karakteristik
hasil pemeriksaan feses sebagai berikut :
a) feses berwarna pekat/putih kemungkinan disebabkan karena adanya pigmen
empedu (obstruksi empedu)
b) fese berwarna hitam disebabkan karena efek dari obat seperti Fe, diet tinggi
buah merah dan sayur hijau tua seperti bayam.
c) Feses berwarna pucat disebabkan karena malabsorbsi lemak, diet tinggi susu
dan produk susu.
d) Feses berwarna orange atau hijau disebabkan karena infeksi usus.
e) Feses cair dan berlendir disebabkan karena diare yang penyebabnya bakteri.
f) Fese seperti tepung berwarna putih disebabkan karena diare yang penyebabnya
adalah parasit.
g) Feses yang di dalam terdapat unsur pus atau mukus disebabkan karena
malabsorbsi lemak dalam usus halus.
2) Pemeriksaan darah
Darah perifer lengkap, analisa gas darah dan elektrolit ( terutama Na, Ca, K dan P
serum pada diare yang disertai kejang ), anemia ( hipokronik ), kadang – kadang
nikrosiotik ) dan dapat terjadi karena malnutrisi/ malabsorbsi tekanan fungsi sum-
sum tulang (prose inflamasi kronis) peningkatan sel – sel darah putih, pemeriksaan
kadar ureum dan kreatinindarah untuk mengetahui faal ginjal.
3) Pemeriksaan elektrolit tubuh
Unuk mengetahui kadar Natrium, kalium, kalsium dan bikarbonat
4) Doudenal intubation
Untuk mengetahui kuman penyebab secara kuantitatif dan kualititatif terutama pada
diare kronik
66
g. Penatalaksanaan Medis
Dasar pengobatan diare adalah :
1) Pemberian Cairan (Rehidrasi)
Hal – hal yang harus diperhatikan dalam rehidrasi adalah jenis cairan, cara
memberikan cairan, dan jumlah pemberiannya. Cara memberikan cairan dalam terapi
rehidrasi adalah jika belum ada dehidrasi dianjurkan anak untuk minum ( ad libitum )
atau sati gelas tiap defekasi. Dehidrasi ringan pada 1 jam pertama 25-50 ml/kg BB
peroral (intragastrik). Selanjutnya 125 ml/kg BB/hari ad libitum. Dehirasi sedang
pada 1 jam pertama 50-100 ml/kg BB peroral/intragastrik (sonde), selanjutnya 125
ml/kg BB/hari ad libitum. Dehidrasi berat dilakukan rehidrasi sesuai dengan umur
dan berat badan pasien sebagai berikut :
a) Anak usia 1 bulan – 2 tahun berat badan 3-10kg
(1) 1 jam pertama = 40ml/kg BB/jam = 10 tetes/kg BB/menit (set infus ukuran 1
ml = 15 tetes atau 13 tetes/kg BB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).
(2) 7 jam berikutnya= 12 ml/kg BB/jam= 3 tetes/kg BB/menit (set infus 1 ml= 15
tetes)_atau 4 tetes/kg BB/menit (set infus 1 ml= 20 tetes)
(3) 16 jam berikutnya 125 ml/kg BB oralit peroralatau intragastrik bila anak tidak
mau minum teruskan dengan intravena 2 tetes/kg BB/menit (set infus 1 ml=
15 tetes) atau 3 tetes/kg BB/menit (set infus 1 ml= 20 tetes).
b) Anak lebih dari 2-5 tahun dengan berat badan 10-15 kg
(1) 1 jam pertama = 30ml/kg BB/jam = 8 tetes/kg BB/menit (set infus ukuran 1
ml = 15 tetes atau 10 tetes/kg BB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).
(2) 7 jam berikutnya= 10 ml/kg BB/jam= 3 tetes/kg BB/menit (set infus 1 ml= 15
tetes)_atau 4 tetes/kg BB/menit (set infus 1 ml= 20 tetes)
(3) 16 jam berikutnya 125 ml/kg BB oralit peroralatau intragastrik bila anak tidak
mau minum teruskan dengan intravena 2 tetes/kg BB/menit (set infus 1 ml=
15 tetes) atau 3 tetes/kg BB/menit (set infus 1 ml= 20 tetes).
c) Anak lebih 5-10tahun dengan berat badan 15 – 25 kg
(1) 1 jam pertama = 20ml/kg BB/jam = 5 tetes/kg BB/menit (set infus ukuran 1
ml = 15 tetes atau 7 tetes/kg BB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).
(2) 7 jam berikutnya= 10 ml/kg BB/jam= 2 ½ tetes/kg BB/menit (set infus 1 ml=
15 tetes)_atau 3 tetes/kg BB/menit ( set infus 1 ml= 20 tetes)
67
(3) 16 jam berikutnya 105 ml/kg BB oralit peroral atau intragastrik bila anak tidak
mau minum teruskan dengan intravena 1 tetes/kg BB/menit (set infus 1 ml=
15 tetes) atau 1 ½ tetes/kg BB/menit (set infus 1 ml= 20 tetes).
d) Bayi baru lahir (neonatus) dengan berat badan 2-3 kg
Kebutuhan cairannya 125 ml + 100ml+ 25ml = 250 ml/kg BB/24 jam. Jenis
cairan adalah cairan 4 : 1 ( 4 bagian glukosa 5% + 1 bagian NaHCO3 1 ½ %).
Kecepatan pemberian cairan yaitu :
(1) 4 jam pertama = 25ml/kgBB/jam atau 6 tetes/kgBB/menit (1 ml=15 tetes) 8
tetes/kgBB/menit (1 ml= 20 tetes).
(2) 20 jam berikutnya 150ml/kgBB/20 jam atau 2 tetes/kgBB/menit (1ml=15
tetes) atau 2 ½ tetes/kgBB/menit (1ml= 20 tetes).
e) Bayi dengan berat badan lahir rendah, dengan berat badan kurang dari 2 kg.
Kebutuhan cairannya adalah 250 ml/kgBB/24 jam. Jenis cairan yang diberikan
yaiti 4:1 (4 bagian glukosa 10% : NaCHO3 1 ½). Kecepatan pemberian terapi
rehidrasi sama dengan bayi baru lahir. Cairan untuk pasien MEP sedang dan
bereat dengan diare dehidrasi berat
2) Dietetic ( cara pemberian makanan )
Tujuan diit pada pasien gastroenteritis adalah secukupnya untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi tanpa memberatkan kerja usus, mencegah dan mengurangi resiko
dehidrasi, mengupayakan agar anak segera mendapat makanan sesuai dengan umur
dan berat badan.
Syarat diit pada pasien gastroenteritis adalah pasien tidak dipuasakan setelah
tertjadi rehidrasi, diberi makanan peroral dalam 24b jam pertama, pemberian ASI
diutamakan, makanan cukup energi dan protein, makanan tidak merangsang saluran
pencernaan yaitu tidak mengandung bumbu tajam, tidak menimbulkan gas, makanan
diberikan bertahap dari makanan ringan ( mudah dicerna ) dalam bentuk yang sesuai
menurut umut dan keadaan penyakit, makanan diberikan dalam porsi kecil dengan
frekuensi sering.
Jenis diit untuk penderita gastroenteritis pada anak adalah susu LLM dan
merupakan susu yang rendah laktosa sehingga sangat baik bagi anak yang menderita
gastroenteritis karena intoleransi laktosa. Manfaat dari bubur tempe adalah
memenuhi kebutuhan nutrisi. Keuntungan dari diit bubur tempe adalah makanan
68
mudah dicerna dan diabsorbsi dalam usus halus sehingga tidak memperberat kerja
usus.
3) Obat – obatan
a) Obat anti sekresi. Asetosal. Dosis 25mg/tahun dengan dosis minimum 30
mg/kgBB/hari.
b) Antibiotik. Umumnya tidak diberikan bila tidak ada penyebab yang jelas. Bila
penyebabnya kolera, diberikan tetrasiklin 25-50 mg/kgBB/hari. Antibiotik juga
diberikan bila terdapat penyakit penyerta seperti : OMA, faringitis, bronkitis,
atau bronkopneumonia

69
Benigna prostat hiperplasia (bph)
A. Tinjauan teoritis
1. Pengertian
istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi adalah
hiperplasia kelenjar periuretra yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan
menjadi kapsul bedah. (anonim fk ui 1995).
Prostat adalah jaringan fibromuskuler dan jaringan kelenjar yang terlihat persis di
inferior dari kandung kencing. Prostat normal beratnya + 20 gr, didalamnya berjalan
uretra posterior + 2,5 cm.
pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum puboprostatikum dan sebelah
inferior oleh diafragma urogenitale. Pada prostat bagian posterior bermuara duktus
ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir pada verumontanum pada dasar uretra
prostatika tepat proksimal dari spingter uretra eksterna.

2. Patofisiologi
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan
pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah
terjadinya pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat
meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi
atau divertikel. Fase penebalan destrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila
keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio.

70
Pathway

71
3. Etiologi
Penyebab secara pasti belum diketahui, namun terdapat faktor resiko umur
dan hormon androgen (anonim,fk ui,1995). Pada umur diatas 50 tahun, pada orang
laki-laki akan timbul mikronodule dari kelenjar prostatnya.

4. Manifestasi klinis
Gejala-gejala pembesaran prostat jinak dikenal sebagai lower urinary tract symptoms
(luts),yang dibedakan menjadi:
a. Gejala iritatif, yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun pada malam hari untuk
miksi (nokturia),perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi),dan nyeri
pada saat miksi (disuria).
b. Gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa tidak puas setelah miksi, kalau
mau miksi harus menunggu lama, harus mengedan,kencing terputus-putus,dan
waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinen
karena overflow. (anonim,fk ui,1995).

5. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan colok dubur


Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus,
mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan dalam rektum dan prostat. Pada perabaan
melalui colok dubur dapat diperhatikan konsistensi prostat, adakah asimetri, adakah
nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat obstruksi dapat diukur
dengan menentukan jumlah sisa urine setelah miksi spontan. Sisa miksi ditentukan
engan mengukur urine yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urine dapat
pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi.

72
Berdasarkan gambaran klinik hipertrofi prostat dapat dikelompokan dalam empat (4)
derajat gradiasi sebagai berikut :
Derajat Colok dubur Sisa volume urine
I Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba. < 50 ml
Ii Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat mudah 50 – 100 ml
Iii dicapai. > 100 ml
Iv Batas atas prostat tidak dapat diraba Retensi urine total
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin, elektrolit, kadar ureum kreatinin.
b. Bila perlu prostate spesific antigen (psa), untuk dasar penentuan biopsi.
3. Pemeriksaan radiologi :
A. Foto polos abdomen
B. Bno-ivp
C. Systocopy
D. Cystografi
4. Usg.

6. Penatalaksanaan
1. Terapi medikamentosa
a. Penghambat andrenergik a, misalnya prazosin, doxazosin, alfluzosin atau a 1a
(tamsulosin).
b. Penghambat enzim 5-a-reduktase, misalnya finasteride (poscar)
c. Fitoterapi, misalnya eviprostat

2. Terapi bedah : waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya
gejala dan komplikasi. Indikasi terapi bedah yaitu :
a. Retensio urin berulang
b. Hematuria
c. Tanda penurunan fungsi ginjal
d. Infeksi saluran kencing berulang
e. Tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel, hidroureter, dan hidronefrosis.
f. Ada batu saluran kemih.

73
3. Macam-macam tindakan pada klien bph :
a. Prostatektomi
Ada berbagai macam prostatektomi yang dapat dilakukan yang masing –
masing mempunyai kelebihan dan kekurangan antara lain :
1) Prostatektomi supra pubis.

adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.


Yaitu suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat
diangkat dari atas. Pendekatan ini dilakukan untuk kelenjar dengan berbagai
ukuran dan beberapa komplikasi dapat terjadi seperti kehilangan darah lebih
banyak dibanding metode yang lain. Kerugian lainnya adalah insisi abdomen
akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor, seperti kontrol
perdarahan lebih sulit, urin dapat bocor disekitar tuba suprapubis, serta
pemulihan lebih lama dan tidak nyaman. Keuntungan yang lain dari metode ini
adalah secara teknis sederhana, memberika area eksplorasi lebih luas,
memungkinkan eksplorasi untuk nodus limfe kankerosa, pengangkatan kelenjar
pengobstruksi lebih komplit, serta pengobatan lesi kandung kemih yang
berkaitan.
2) Prostatektomi perineal.
a. Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini
lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi
terbuka. Keuntungan yang lain memberikan pendekatan anatomis langsung,
drainage oleh bantuan gravitasi, efektif untuk terapi kanker radikal,
hemostatik di bawah penglihatan langsung,angka mortalitas rendah, insiden
syok lebih rendah, serta ideal bagi pasien dengan prostat yang besar, resiko
bedah buruk bagi pasien sangat tua dan ringkih. Pada pasca operasi luka
bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rektal.
Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin
terjadi dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada
rectum dan spingter eksternal serta bidang operatif terbatas.

74
3) Prostatektomi retropubik.
a. adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik
dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara
arkus pubis dan kandung kemih tanpa tanpa memasuki kandung kemih.
Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis.
Meskipun darah yang keluar dapat dikontrol dengan baik dan letak bedah
labih mudah untuk dilihat, infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis.
Kelemahan lainnya adalah tidak dapat mengobati penyakit kandung kemih
yang berkaitan serta insiden hemorargi akibat pleksus venosa
b. Prostat meningkat juga osteitis pubis. Keuntungan yang lain adalah periode
pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih
sedikit.

b. Insisi prostat transuretral ( tuip ).

yaitu suatu prosedur menangani bph dengan cara memasukkan instrumen melalui
uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk
mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral. Cara ini
diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang ) dan efektif
dalam mengobati banyak kasus bph. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan
dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.

c. Turp ( transuretral reseksi prostat )

turp adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra


menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung

75
10-3-f untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter
yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum
maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih dianggap aman dan
tingkat morbiditas minimal.
turp merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek
merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang
mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi
digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah
dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars
prostatika (anonim,fk ui,1995).
setelah dilakukan turp, dipasang kateter foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi
balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih.
Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan
darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat
setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar.
turp masih merupakan standar emas. Indikasi turp ialah gejala-gejala dari
sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk
menjalani operasi. Komplikasi turp jangka pendek adalah perdarahan, infeksi,
hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka
panjang adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%).
Karena pembedahan tidak mengobati penyebab bph, maka biasanya penyakit ini akan
timbul kembali 8-10 tahun kemudian.

7. Komplikasi
a. Perdarahan.
b. Pembentukan bekuan
c. Obstruksi kateter
d. Disfungsi seksual tergantung dari jenis pembedahan.
a. Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi meskipun aktifitas seksual
dapat dilakukan kembali setelah 6-8 minggu karena fossa prostatik sudah sembuh.
e. Komplikasi yang lain yaitu perubahan anatomis pada uretra posterior menyebabkan ejakulasi
retrogard yaitu setelah ejakulasi cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan
76
diekskresikan bersama urin. Selain itu vasektomi mungkin dilakukan untuk mencegah
penyebaran infeksi dari uretra prostatik melalui vas deference dan ke dalam epidedemis.
Setelah prostatektomi total ( biasanya untuk kanker ) hampir selalu terjadi impotensi. Bagi
pasien yang tak mau kehilangan aktifitas seksualnya, implant prostetik penis mungkin
digunakan untuk membuat penis menjadi kaku guna keperluan hubungan seksual.
f. Infeksi

77
CHF (CONGESTIVE HEART FAILURE)/
GAGAL JANTUNG KONGESTIF

Konsep Dasar Penyakit


A. Pengertian
Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana jantung mengalami kegagalan
dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel tubuh akan nutrien dan oksigen
secara adekuat. Hal ini mengakibatkan peregangan ruang jantung (dilatasi) guna menampung
darah lebih banyak untuk dipompakan ke seluruh tubuh atau mengakibatkan otot jantung kaku
dan menebal. Jantung hanya mampu memompa darah untuk waktu yang singkat dan dinding
otot jantung yang melemah tidak mampu memompa dengan kuat. Sebagai akibatnya, ginjal
sering merespons dengan menahan air dan garam. Hal ini akan mengakibatkan bendungan cairan
dalam beberapa organ tubuh seperti tangan, kaki, paru, atau organ lainnya sehingga tubuh klien
menjadi bengkak (congestive) (Udjianti, 2010).
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi
jantung sehingga jantung tidak mampu memom pada darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolis mejaringan dan/ kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik
secara abnormal (Mansjoerdan Triyanti, 2007).
Gagal jantung adalah sindrom klinik dengan abnormalitas dari struktur atau fungsi jantung
sehingga mengakibatkan ketidakmampuan jantung untuk memompa darah ke jaringan dalam
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (Darmojo, 2004 cit Ardini 2007).

B. Etiologi
Menurut Wajan Juni Udjianti (2010) etiologi gagal jantung kongestif (CHF) dikelompokan
berdasarkan faktor etiolgi eksterna maupun interna, yaitu:
1. Faktor eksterna (dari luar jantung); hipertensi renal, hipertiroid, dan anemia kronis/ berat.
2. Faktor interna (dari dalam jantung):
a. Disfungsi katup: Ventricular Septum Defect (VSD), Atria Septum Defect (ASD),
stenosis mitral, dan insufisiensi mitral.
b. Disritmia: atrial fibrilasi, ventrikel fibrilasi, dan heart block.
c. Kerusakan miokard: kardiomiopati, miokarditis, dan infark miokard.
d. Infeksi: endokarditis bacterial sub-akut
78
C. Patofisiologi

Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan


kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari normal. Dapat
dijelaskan dengan persamaan CO = HR x SV di mana curah jantung (CO: Cardiac output)
adalah fungsi frekuensi jantung (HR: Heart Rate) x Volume Sekuncup (SV: Stroke Volume).
Frekuensi jantung adalah fungsi dari sistem saraf otonom. Bila curah jantung
berkurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan
curah jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan perfusi jaringan
yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk
mempertahankan curah jantung.
Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi, yang
tergantung pada 3 faktor, yaitu: (1) Preload (yaitu sinonim dengan Hukum Starling pada
jantung yang menyatakan bahwa jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung
dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung); (2) Kontraktilitas
(mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan
dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium); (3) Afterload (mengacu pada
besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan
tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriole).
Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi yang terjadi baik pada
jantung dan secara sistemik. Jika volume sekuncup kedua ventrikel berkurang akibat penekanan
kontraktilitas atau afterload yang sangat meningkat, maka volume dan tekanan pada akhir
diastolik di dalam kedua ruang jantung akan meningkat. Hal ini akan meningkatkan panjang
serabut miokardium pada akhir diastolik dan menyebabkan waktu sistolik menjadi singkat. Jika
kondisi ini berlangsung lama, maka akan terjadi dilatasi ventrikel. Cardiac output pada saat
istirahat masih bisa berfungsi dengan baik tapi peningkatan tekanan diastolik yang berlangsung
lama (kronik) akan dijalarkan ke kedua atrium, sirkulasi pulmoner dan sirkulasi sitemik.
Akhirnya tekanan kapiler akan meningkat yang akan menyebabkan transudasi cairan dan timbul
edema paru atau edema sistemik.
Penurunan cardiac output, terutama jika berkaitan dengan penurunan tekanan arterial
atau penurunan perfusi ginjal, akan mengaktivasi beberapa sistem saraf dan humoral.
79
Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan memacu kontraksi miokardium, frekuensi
denyut jantung dan vena; yang akan meningkatkan volume darah sentral yang selanjutnya
meningkatkan preload. Meskipun adaptasi-adaptasi ini dirancang untuk meningkatkan cardiac
output, adaptasi itu sendiri dapat mengganggu tubuh. Oleh karena itu, takikardi dan peningkatan
kontraktilitas miokardium dapat memacu terjadinya iskemia pada pasien dengan penyakit arteri
koroner sebelumnya dan peningkatan preload dapat memperburuk kongesti pulmoner.
Aktivasi sitem saraf simpatis juga akan meningkatkan resistensi perifer. Adaptasi ini
dirancang untuk mempertahankan perfusi ke organ-organ vital, tetapi jika aktivasi ini sangat
meningkat malah akan menurunkan aliran ke ginjal dan jaringan. Salah satu efek penting
penurunan cardiac output adalah penurunan aliran darah ginjal dan penurunan kecepatan filtrasi
glomerolus, yang akan menimbulkan retensi sodium dan cairan. Sitem rennin-angiotensin-
aldosteron juga akan teraktivasi, menimbulkan peningkatan resistensi vaskuler perifer
selanjutnya dan penigkatan afterload ventrikel kiri sebagaimana retensi sodium dan cairan.
Gagal jantung berhubungan dengan peningkatan kadar arginin vasopresin dalam
sirkulasi, yang juga bersifat vasokontriktor dan penghambat ekskresi cairan. Pada gagal jantung
terjadi peningkatan peptida natriuretik atrial akibat peningkatan tekanan atrium, yang
menunjukan bahwa disini terjadi resistensi terhadap efek natriuretik dan vasodilator.

80
D. Klasifikasi

1. Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan, gagal jantung terbagi
atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, dan gagal jantung kongestif. Klasifikasi
berdasarkan derajat sakitnya dibagi dalam 4 kelas, yaitu:
a. Kelas 1 : Penderita kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas
sehari-hari tidak menyebabkan keluhan.
b. Kelas 2 : Penderita dengan kelainan jantung yang mempunyai akti vitas fisik
terbatas. Tidak ada keluhan sewaktu istirahat, tetapi aktivitas sehari - hari akan
menyebabkan capek, berdebar, sesak nafas.
c. Kelas 3 : Penderita dengan aktivitas fisik yang sangat terbatas. Pada keadaan istirahat
tidak terdapat keluhan, tetapi aktivitas fisik ringan saja akan menyebabkan capek,
berdebar, sesak nafas.
d. Kelas 4 : Penderita yang tidak mampu lagi mengadakan aktivitas fisik tanpa rasa
terganggu. Tanda-tanda dekompensasi atau angina malahan telah terdapat pada
keadaan istirahat.
2. Berdasarkan lokasi terjadinya terbagi menjadi 2, yaitu :
a) Gagal jantung kiri
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri, karena ventrikel kiri tidak mampu
memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru
menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru. Manifestasi klinis yang terjadi
meliputi dispnea, batuk, mudah lelah, takikardi dengan bunyi jantung S3, kecemasan
kegelisahan, anoreksia, keringat dingin, dan paroxysmal nocturnal dyspnea, ronki
basah paru di bagian basal.
b) Gagal jantung kanan
Bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah kongestif visera dan jaringan
perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan
volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah
yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang tampak
meliputi: edema ekstremitas bawah yang biasanya merupakan pitting edema,
pertambahan berat badan, hepatomegali (pembesaran hepar), distensi vena leher,
81
asites (penimbunan cairan di dalam rongga peritonium), anoreksia dan mual, dan
lemah.

E. Manifestasi klinik
1. Gagal jantung kiri : Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri karena ventrikel
kiri tak mampu memompa darah yang datang dari paru. Manifestasi klinis yang terjadi
yaitu :
a) Dispnea : Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu
pertukaran gas. Dapat terjadi ortopnu. Beberapa pasien dapat mengalami ortopnu
pada malam hari yang dinamakan Paroksimal Nokturnal Dispnea (PND)
b) Ortopnea : Yakni kesulitan bernafas saat penderita berbaring.
c) Paroximal : Yakni nokturna dispnea. Gejala ini biasanya terjadi setelah pasien
duduk lama dengan posisi kaki dan tangan dibawah atau setelah pergi berbaring ke
tempat tidur.
d) Batuk : Yaitu batuk kering maupun batuk basah sehingga menghasilkan
dahak/lendir (sputum) berbusa dalam jumlah banyak, kadang disertai darah dalam
jumlah banyak.
e) Mudah lelah : Terjadi karena curah jantung yang kurang yang
menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya
pembuangan sisa hasil katabolisme. Juga terjadi karena meningkatnya energi yang
digunakan untuk bernafas dan insomnia yang terjadi karena distress pernafasan dan
batuk.
f) Kegelisahan dan kecemasan : Terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress
akibat kesakitan bernafas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan
baik.

2. Disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan, dengan tanda dan gejala berikut:
a) Kongestif jaringan perifer dan viseral.
b) Edema ekstrimitas bawah (edema dependen), biasanya edema pitting, penambahan
berat badan.
c) Hepatomegali. dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat
pembesaran vena di hepar.
82
d) Anorexia dan mual. Terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam
rongga abdomen.
e) Nokturia, yang terjadi karena perfusi renal dan didukung oleh posisi penderita
pada saat berbaring.
f) Kelemahan, yang diakibatkan oleh menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi,
dan pembuangan produk sampah katabolisme yang tidak adekuat dari jaringan.
F. Pemeriksaan Penunjang
a) Hitung sel darah lengkap: anemia berat atau anemia gravis atau polisitemia vera
b) Hitung sel darah putih: Lekositosis atau keadaan infeksi lain
c) Analisa gas darah (AGD): menilai derajat gangguan keseimbangan asam basa baik
metabolik maupun respiratorik.
d) Fraksi lemak: peningkatan kadar kolesterol, trigliserida, LDL yang merupakan resiko
CAD dan penurunan perfusi jaringan
e) Serum katekolamin: Pemeriksaan untuk mengesampingkan penyakit adrenal
f) Sedimentasi meningkat akibat adanya inflamasi akut.
g) Tes fungsi ginjal dan hati: menilai efek yang terjadi akibat CHF terhadap fungsi hepar
atau ginjal
h) Tiroid: menilai peningkatan aktivitas tiroid
i) Echocardiogram: menilai senosis/ inkompetensi, pembesaran ruang jantung, hipertropi
ventrikel
j) Cardiac scan: menilai underperfusion otot jantung, yang menunjang penurunan
kemampuan kontraksi.
k) Rontgen toraks: untuk menilai pembesaran jantung dan edema paru.
l) Kateterisasi jantung: Menilai fraksi ejeksi ventrikel.
m) EKG: menilai hipertropi atrium/ ventrikel, iskemia, infark, dan disritmiaSumber: Wajan
Juni Udjianti (2010)

G. Penatalaksanaan
Tujuan dasar penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung adalah:
1. Meningkatkan oksigenasi dengan terapi O2 dan menurunkan konsumsi oksigen dengan
pembatasan aktivitas.
2. Meningkatkan kontraksi (kontraktilitas) otot jantung dengan digitalisasi.
83
3. Menurunkan beban jantung dengan diet rendah garam, diuretik, dan vasodilator.

H. Penatalaksanaan Medis
1. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi O2 melalui
istirahat/ pembatasan aktifitas
2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung :
a. Mengatasi keadaan yang reversible, termasuk tirotoksikosis, miksedema, dan aritmia.
b. Digitalisasi:
1) dosis digitalis
 Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5 mg dalam 4 - 6 dosis selama 24 jam
dan dilanjutkan 2x0,5 mg selama 2-4 hari.
 Digoksin IV 0,75 - 1 mg dalam 4 dosis selama 24 jam.
 Cedilanid IV 1,2 - 1,6 mg dalam 24 jam.
2) Dosis penunjang untuk gagal jantung: digoksin 0,25 mg sehari. untuk pasien usia
lanjut dan gagal ginjal dosis disesuaikan.
3) Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg.
4) Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang berat:
 Digoksin: 1 - 1,5 mg IV perlahan-lahan.
 Cedilamid 0,4 - 0,8 IV perlahan-lahan (Mansjoer dan Triyanti, 2007)
3. Terapi Lain:
a. Koreksi penyebab-penyebab utama yang dapat diperbaiki antara lain: lesi katup
jantung, iskemia miokard, aritmia, depresi miokardium diinduksi alkohol, pirau
intrakrdial, dan keadaan output tinggi.
b. Edukasi tentang hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
c. Posisi setengah duduk.
d. Oksigenasi (2-3 liter/menit).
e. Diet: pembatasan natrium (2 gr natrium atau 5 gr garam) ditujukan untuk mencegah,
mengatur, dan mengurangi edema, seperti pada hipertensi dan gagal jantung. Rendah
garam 2 gr disarankan pada gagal jantung ringan dan 1 gr pada gagal jantung berat.
Jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.

84
f. Aktivitas fisik: pada gagal jantung berat dengan pembatasan aktivitas, tetapi bila pasien
stabil dianjurkan peningkatan aktivitas secara teratur. Latihan jasmani dapat berupa
jalan kaki 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama
20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan
atau sedang.
g. Hentikan rokok dan alkohol

85
LAPORAN PENDAHULUAN PTEREGIUM

1. Definisi

Pterigium adalah suatu timbunan atau benjolan pada selaput lendir atau konjungtiva yang
bentuknya seperti segitiga dengan puncak berada di arah kornea. Timbunan atau benjolan ini
membuat penderitanya agak kurang nyaman karena biasanya akan berkembang dan semakin
membesar dan mengarah ke daerah kornea, sehingga bisa menjadi menutup kornea dari arah nasal
dan sampai ke pupil, jika sampai menutup pupil maka penglihatan kita akan terganggu. Suatu
pterygium merupakan massa ocular eksternal superficial yang mengalami elevasi yang sering kali
terbentuk diatas konjungtiva perilimbal dan akan meluas ke permukaan kornea. Pterygia ini bisa
sangat bervariasi, mulai dari yang kecil, jejas atrofik yang tidak begitu jelas sampai yang besar
sekali, dan juga jejas fibrofaskular yang tumbuhnya sangat cepat yang bisa merusakkan topografi
kornea dan dalam kasus yang sudah lanjut, jejas ini kadangkala bisa menutupi pusat optik dari
kornea.2,5
Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi merah dan
meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan mata atau yang
disebut dry eye syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut atau apabila kelainan
ini didiamkan lama akan menyebabkan hilangnya penglihatan si penderita. Evakuasi medis dari
dokter mata akan menentukan tindakan medis yang maksimal dari setiap kasus, tergantung dari
banyaknya pembesaran pterygium. Dokter juga akan memastikan bahwa tidak ada efek samping dari
pengobatan dan perawatan yang diberikan.

2. Epidemiologi
Distribusi pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah dengan sinar
matahari yang tinggi dan udara yang kering serta tingginya angin dan debu yang merupakan
karakteristik dari daerah di sekitar khatulistiwa. Istilah umum yang dipakai untuk menunjukkan
daerah dengan peningkatan prevalensi pterigium adalah “sabuk pterigium”, yang terletak di antara
37 derajat lintang utara dan selatan. (Saerang, 2013). Di populasi, prevalensi pterigium bervariasi,
mulai 1,2% di daerah perkotaan pada penduduk berkulit putih, sampai 23,4% pada populasi berkulit
hitam di Barbados (Gazzar, 2002). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, prevalensi
86
pterigium di Indonesia pada kedua mata didapatkan 3,2% sedangkan pterigium pada satu mata 1,9%
dengan prevalensi yang meningkat dengan bertambahnya umur. Jawa timur menduduki peringkat
keenam di Indonesia dengan prevalensi 4,9% pada kedua mata, dan 2,7% pada satu mata (Erry dkk,
2011).
Suatu penelitian epidemiologi di Adelaide (Australia) menemukan faktor risiko independen
terjadinya pterigium berhubungan dengan umur, jenis kelamin (laki-laki), daerah tinggal (desa) dan
paparan sinar matahari. Prevalensinya lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, karena laki-
laki lebih banyak melakukan aktivitas di luar ruangan sehingga lebih sering berhubungan dengan
faktor risiko terjadi pterigium seperti sinar ultraviolet, debu, angin dan udara yang kering (Erry dkk,
2011).

3. Mortalitas/Morbiditas
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual atau
penglihatan bila kasusnya telah lanjut. Mata ini bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan
irritasi okuler dan mata merah.
Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :
1. Jenis Kelamin,
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak
dibandingkan wanita.
2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterygia umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien
umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang
berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygia yang paling tinggi.
Pasien yang menderita pterygia sering mempunyai berbagai macam keluhan, yang
mulai dari tidak ada gejala yang berarti sampai mata menjadi merah sekali, pembengkakan
mata, mata gatal, iritasi, dan pandangan kabur disertai dengan jejas pada konjungtiva yang
membesar dan kedua mata terserang penyakit ini.

4. Etiologi
Penyebab pterigium belum dapat dipahami secara jelas, diduga merupakan suatu neoplasma
radang dan degenerasi. Namun, pterigium banyak terjadi pada mereka yang banyak menghabiskan
waktu di luar rumah dan banyak terkena panas terik matahari. Faktor resiko terjadinya pterigium
87
adalah tinggal di daerah yang banyak terkena sinar matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau
anginnya besar. Penyebab paling umum adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari
yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, dan angin (udara panas) yang
mengenai konjungtiva bulbi berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh
faktor2 lain seperti zat allegen, kimia dan zat pengiritasi lainnya. Pterigium Sering ditemukan pada
petani, nelayan dan orang-orang yang tinggal di dekat daerah khatulistiwa. Jarang menyerang anak-
anak.

5. Patofisiologi
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan ploriferasi
fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormal pada
daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan
ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang
sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.
Secara histopalogis ditemukan epitel konjungtiva irrekuler kadang-kadang berubah menjadi
gepeng. Pada puncak pteregium, epitel kornea menarik dan pada daerah ini membran bauman
menghilang. Terdapat degenerasi stauma yang berfoliferasi sebagai jaringan granulasi yang penuh
pembulih darah. Degenerasi ini menekan kedalam kornea serta merusak membran bauman dan
stoma kornea bagian atas.

6. Manifestasi Klinis
1. Mata irritatatif, merah dan mungkin menimbulkan astigmatisme
2. Kemunduran tajam penglihatan akibat pteregium yang meluas ke kornea (Zone Optic)
3. Dapat diserati keratitis Pungtata, delen (Penipisan kornea akibat kering) dan garis besi yang
terletak di ujung pteregium.

7. Klasifikasi dan Grade


1. Klasifikasi Pterygium:
a. Pterygium Simpleks; jika terjadi hanya di nasal/ temporal saja.
b. Pterygium Dupleks; jika terjadi di nasal dan temporal.
2. Grade pada Pterygium :

88
· a. Grade 1
 tipis (pembuluh darah konjungtiva yang menebal dan konjungtiva sklera masih dapat
dibedakan), pembuluh darah sklera masih dapat dilihat.
b. Grade 2
 pembuluh darah sklera masih dapat dilihat.
·c. Grade
 resiko kambuh, ngganjel, hiperemis, pada orang muda (20-30 tahun), mudah kambuh.

8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari pterygium adalah pseudopterygium, pannus dan kista dermoid.

9. Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Pterygium bisa berupa berbagai macam perubahan fibrofaskular pada permukaan
konjungtiva dan pada kornea. Penyakit ini lebih sering menyerang pada konjungtiva nasal dan akan
meluas ke kornea nasal meskipun bersifat sementara dan juga pada lokasi yang lain.
Gambaran klinis bisa dibagi menjadi 2 katagori umum, sebagai berikut :
1. Kelompok kesatu pasien yang mengalami pterygium berupa ploriferasi minimal dan
penyakitnya lebih bersifat atrofi. Pterygium pada kelompok ini cenderung lebih pipih dan
pertumbuhannya lambat mempunyai insidensi yang lebih rendah untuk kambuh setelah
dilakukan eksisi.
2. Pada kelompok kedua pterygium mempunyai riwayat penyakit tumbuh cepat dan terdapat
komponen elevasi jaringan fibrovaskular. Ptrerygium dalam grup ini mempunyai
perkembangan klinis yang lebih cepat dan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi untuk
setelah dilakukan eksisi.
10. Faktor Resiko
Yang pasti belum di ketahui dengan jelas, namun banyak di jumpai di daerah pantai sehingga
kemungkinan pencetusnya adalah adanya rangsangan dari udara panas, juga bagi orang yang sering
berkendara motor tapa helm penutup atau kacamata pelindung, sehingga adanya rangsangan debu

89
jalanan yang kotor bisa mengakibatkan timbunan lemak tersebut. Secara umum faktor resiko
pterygium meliputi:
· Meningkatnya terkena sinar ultraviolet, termasuk tinggal di daerah yang beriklim subtropis dan
tropis. Melakukan pekerjaan dan memerlukan kegiatan di luar rumah.
· Faktor predisposisi genetika timbulnya pterygia cenderung pada keluarga tertentu. Kecenderungan
laki-laki mengalami kasus ini lebih banyak dibandingkan dengan perempuan, meskipun disini hasil
temuan demikian ini lebih banyak disebabkan oleh peningkatan terkena sinar ultraviolet dalam
kelompok populasi tertentu.
Gangguan yang lain yang mungkin ikut berperan yaitu berupa Pseudopterygia (misalnya
disebabkan oleh bahan kimia atau luka bakar, trauma, penyakit kornea marginal). Neoplasma
(misalnya karsinoma in situ yang menyebabkan konjungtiva perilimbal yang tidak meluas sampai ke
kornea).

11. Penatalaksanaan
Pterygium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterygium
meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Pengobatan pterygium adalah
dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat
terjadinya astigmatisme ireguler atau pterygium yang telah menutupi media penglihatan.
Lindungi mata dengan pterygium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan
kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata buatan dan bila perlu dapat diberi
steroid. Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi
vasokontriktor maka perlu kontrol 2 minggu dan bila terdapat perbaikkan maka pengobatan
dihentikan.

a. Tindakan Operatif
Tindakan pembedahan adalah suatu tindak bedah plastik yang dilakukan bila pterygium telah
mengganggu penglihatan. Pterygium dapat tumbuh menutupi seluruh permukaan kornea atau bola
mata.
Tindakan operasi, biasanya bedah kosmetik, akan dilakukan untuk mengangkat pterygium
yang membesar ini apabila mengganggu fungsi penglihatan atau secara tetap meradang dan
teriritasi. Paska operasi biasanya akan diberikan terapi lanjut seperti penggunaan sinar radiasi B atau
terapi lainnya.
90
Jenis Operasi pada Pterygium antara lain :
1. Bare Sklera
Pterygium diambil, lalu dibiarkan, tidak diapa-apakan. Tidak dilakukan untuk pterygium
progresif karena dapat terjadi granuloma → granuloma diambil kemudian digraph dari amnion.
2 Subkonjungtiva
Pterygium setelah diambil kemudian sisanya dimasukkan/disisipkan di bawah konjungtiva bulbi
→ jika residif tidak masuk kornea.
3 Graf
Pterygium setelah diambil lalu di-graf dari amnion/selaput mukosa mulut/konjungtiva forniks.
Tindakan pembedahan untuk eksisi pterygium biasanya bisa dilakukan pada pasien rawat
jalan dengan menggunakan anastesi topikal ataupun lokal, bila diperlukan dengan memakai sedasi.
Perawatan pasca operasi, mata pasien biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat memakai obat
tetes mata atau salep mata antibiotika atau antiinflamasi.

b. Kategori Terapi Medikamentosa


 Pemakaian air mata artifisial (obat tetes topikal untuk membasahi mata) untuk membasahi
permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air mata.

Nama obat Merupakan obat tetes mata topikal


atau air mata artifisial (air mata
penyegar, Gen Teal (OTC)—air mata
artifisial akan memberikan pelumasan
pada permukaan mata pada pasien
dengan permukaan kornea yang tak
teratur dan lapisan permukaan air
mata yang tak teratur. Keadaan ini
banyak terjadi pada keadaan
pterygium.
Dosis dewasa 1 gtt empat kali sehari dan prn untuk

91
irritasi
Dosis anak-anak Berikan seperti pada orang dewasa

Kontra indikasi Bisa menyebabkan hipersensitivitas


Interaksi Tak ada (tak pernah dilaporkan ada
interaksi )
Untuk ibu hamil Derajat keamanan A untuk ibu hamil

Perhatian Bila gejala masih ada dan terus


berlanjut pemakaiannya

b. Salep untuk pelumas topikal – suatu pelumas yang lebih kental pada permukaan okular

Nama obat Salep untuk pelumas mata topikal


(hypotears,P.M penyegar (OTC).
Suatu pelumas yang lebih kental untuk
permukaan mata. Sediaan ini
cenderung menyebabkan kaburnya
penglihatan sementara; oleh karena itu
bahan ini sering dipergunakan pada
malam hari.
Dosis obatnya Pergunakan pada cul de sac inferior
pada mata yang terserang. Hs
Dosis anak-anak Sama dengan dewasa

Kontra indikasi Bisa menyebabkan terjadinya


hipersensitivitas
Interaksi Tidak ada
Untuk ibu hamil Tingkat keamanan A untuk ibu hamil

Perhatian Karena menyebabkan kabur


penglihatan sementara dan harus
menghindari aktivitas yang

92
memerlukan penglihatan jelas sampai
kaburnya hilang.

c. Obat tetes mata anti – inflamasi – untuk mengurangi inflamasi pada permukaan mata dan jaringan
okular lainnya. Bahan kortikosteroid akan sangat membantu dalam penatalaksanaan pterygium yang
inflamasi dengan mengurangi pembengkakan jaringan yang inflamasi pada permukaan okular di
dekat jejasnya.

Nama obat Prednisolon asetat (Pred Forte 1%)


– suatu suspensi kortikosteroid
topikal yang dipergunakan untuk
mengu-rangi inflamasi mata.
Pemakaian obat ini harus dibatasi
untuk mata dengan inflamasi yang
sudah berat yang tak bisa
disembuhkan dengan pelumas
topikal lain.
Dosis dewasa 1 gtt empat kali sehari pada mata
yang terserang, biasanya hanya 1- 2
minggu dengan terapi yang terus
menerus.
Dosis anak-anak Tidak boleh dipergunakan untuk
anak-anak oleh karena kasus
pterygia sangat jarang pada anak-
anak
Kontra indikasi Pasien dengan riwayat kasus herpes
simpleks keratitis dentritis atau
glaukoma steroid yang responsif.
Interaksi Tak ada laporan interaksi
Kehamilan Tingkat keamanan B, biasanya
aman akan tetapi kegunaannya harus

93
di perhitungkan dengan resiko yang
di akibatkan
Perhatian Bisa diserap secara sistemik akan
tetapi efek samping sistemik
biasanya tak diketemukan pada
pasien yang mempergunakan obat
tetes mataprednisolon asetat topikal
, yang bisa diekskresi pada ASI
yang sedang menyusui.

- Perawatan Lanjut pada Pasien Rawat Jalan


Sesudah operasi, eksisi pterygium, steroid topikal pemberiannya lebih di tingkatkan secara
perlahan-lahan. Pasien pada steroid topikal perlu untuk diamati, untuk menghindari permasalahan
tekanan intraocular dan katarak.

- Pencegahan Kekambuhan Pterygium


Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko
berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi. Pasien di sarankan
untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai tambahan terhadap radiasi ultraviolet
sebaiknya menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari. Tindakan pencegahan ini
bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada pasien
yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet (misalnya,
memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya
para pekerja lapangan menggunakan kacamata atau topi pelindung.

12. Komplikasi
Komplikasi dari pterygium meliputi sebagai berikut:
 Penyimpangan atau pengurangan pusat penglihatan
 Kemerahan
 Iritasi
 Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea

94
Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi penglihatan dan memberi kontribusi
terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada ditengah otot rektus umumnya menyebabkan diplopia
pada pasien dengan pterygium yang belum dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan pterygia
yang sudah diangkat, terjadi pengeringan focal kornea mata akan tetapi sangat jarang terjadi.
Komplikasi postooperasi pterygium meliputi:
 Infeksi
 Reaksi material jahitan
 Diplopia
 Conjungtival graft dehiscence
 Corneal scarring
 Komplikasi yang jarang terjadi meliputi perforasi bola mata perdarahan vitreous, atau retinal
detachment.
Komplikasi akibat terlambat dilakukan operasi dengan radiasi beta pada pterygium adalah
terjadinya pengenceran sclera dan kornea. Sebagian dari kasus ini dapat memiliki tingkat kesulitan
untuk mengatur.

13. Prognosis
Eksisi pada pterygia pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur baik saat
dipahami oleh pasien dan pada awal operasi pasien akan merasa terganggu setelah 48 jam pasca
perawatan pasien bisa memulai aktivitasnya. Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat
mengulangi pembedahan eksisi dan pencangkokan, kedua-duanya dengan konjungtival limbal
autografts atau selaput amniotic, pada pasien yang telah ditentukan. Pasien yang ada memiliki resiko
tinggi pengembangan pterygia atau karena di perluas ekspose radiasi sinar ultraviolet, perlu untuk
dididik penggunaan kacamata dan mengurangi ekspose mata dengan ultraviolet.

95
96

Anda mungkin juga menyukai