Anda di halaman 1dari 16

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Perspektif Teori
1. Pengertian Perspektif
Perspektif adalah suatu kerangka konseptual (conceptual framework), suatu
perangkat asumsi, nilai, atau gagasan yang mempengaruhi persepsi kita, dan pada
gilirannya mempengaruhi cara kita bertindak dalm suatu situasi. Oleh karena itu, tidak ada
seorang ilmuwan yang berhak mengklaim, bahwa perspektifnya yang benar atau sah,
sedangkan perspektif lainnya salah. Meskipun suatu perspektif mungkin lebih mendekati
realitas yang dimaksud, tapi pada dasarnya perspektif itu mungkin hanya menangkap
sebagian dari realitas tersebut. Tidak satupun perspektif dapat menangkap leseluruhan
realitas yang diamati, jadi suatu perspektif bersifat terbatas, karena hanya memungkinkan
manusia melihat satu sisi saja dari realitas “di luar sana”.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa perspektif itu merupakan suatu pandangan dari suatu dasar
pemikiran atau yang menjadi dasar pemikiran.

2. Pengertian Teori
Teori adalah seperangkat gagasan (konsep), defenisi-defenisi dan proposisi-
proposisi yang berhubungan satu sama lain yang menunjukkan fenomena-fenomena yang
sistematis dengan menetapkan hubungan-hubungan antara variabel-variabel dengan tujuan
untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena-fenomena.
Arti lain dari teori, diambil dari kamus istilah pendidikan dan umum yaitu:
1. Pendapat yang dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu pristiwa.
2. Ajaran tentang kaidah-kaidah dasar atau azas-azas tentang sesuatu.
3. Pengetahuan tentang sesuatu masalah yang hanya bersifat perenungan saja.
Teori dapat juga disebut sebagai data yang tersusun dalam suatu sistem pemikiran.
Kerlinger mengatakan bahwa teori adalah:
“Seperangkat konstruk (konsep), defenisi, dan proposisi yang berfungsi untuk
melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antar variabel sehingga
dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena. Dengan kata lain, teori
adalah generalisasi atau kumpulan generalisasi yang dapat digunanakan untuk menjelaskan
berbagai fenomena secara sistematik.”

Cooper dan Schindler pada tahun 2003, mengemukakan:


“A theory is a set of systematically interrelated consepts, defenition, and
proposisition, that all advanced to explain and predict phenomena. Teori adalah
seperangkat konsep, defenisi, dan proposisi yang tersusun secara sistematis sehingga dapat
digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.”

Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel pada tahun 1991 mengemukakan bahwa:
“Teori adalah alur logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat konsep, defenisi,
dan komposisi yang disusun secara sitematis.”

Berdasarkan pengertian teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori adalah


seperangkat konsep, defenisi, dan proporsi yang tersusun secara sistematis dan digunakan
untuk melihat serta menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi.

3. Kriteria, Fungsi dan Tujuan Teori


Terdapat 3 kriteria terhadap teori yang digunakan sebagai landasan dalam
penelitian, yaitu relevansi, kemutakhiran, dan keaslian. Semakin banyak fokus penelitian
yang ditetapkan maka akan semakin banyak teori yang dikemukakan. Validasi awal bagi
peneiti kualitatif adalah sejauh mana kemampuan peneliti mendeskripsikan teori-teori yang
terkait dengan bidang serta konteks sosial yang diteliti. Dalam penelitian kualitatif, teori
yang dikembangkan masih bersifat sementara dan berkembang selama penelitian
dilakukan.
Secara umum teori mempunyai 3 fungsi, yakni fungsi menjelaskan, meramalkan,
dan pengendalian suatu gejala. Dalam kaitannya dalam kegiatan penelitian, maka fugsi
teori yang pertama digunakan untuk memperjelas dan mempertajam ruang lingkup, atau
konstruk variabel yang akan diteliti. Fungsi teori yang kedua adalah untuk merumuskan
hipotesis dan menyusun instrumen penelitian, karena pada dasarnya hipotesis itu
merupakan pernyataan yang bersifat prediktif. Sedangkan fungsi teori yang ketiga
digunakan untuk membahas hasil penelitian, sehingga selanjutnya digunakan untuk
memberikan saran dalam upaya pemecahan masalah.
Para peneliti kualitatif menggunakan teori dalam penelitian untuk tujuan-tujuan
yang berbeda. Pertama, dalam penelitian kualitatif, teori sering kali digunakan sebagai
penjelasan atas prilaku dan sikap-sikap tertentu. Kedua, para peneliti kualitatif sering kali
menggunakan perspektif teoritis sebagai panduan umum untuk meneliti gender, kelas, dan
ras. Ketiga, dalam penelitian kualitatif, teori sering digunakan sebagai poin akhir
penelitian. Dengan menjadikan teori sebagai poin terakhir penelitian, berarti peneliti
menerapkan proses penelitiannya secara induktif yang berlangsung mulai dari data, lalu ke
tema-tema umum, kemudian menjadi teori atau model tertentu. Keempat, beberapa
penelitian kualitatif tidak menggunakan teori yang eksplisit.
B. Teori Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Pengertian ”keluarga” menurut siti partini , keluarga adalah sekelompok manusia
yang terdiri atas suami, istri, anak-anak (bila ada) yang terikat atau didahului dengan
perkawinan (Partini, 1997 : 11). Menurut St. Vembriarto, keluarga adalah kelompok sosial
yang terdiri atas dua orang atau lebih yang mempunyai ikatan darah, perkawinan atau
adopsi. Sedang fan fay Tjhian (jiwa baru No. 17 Th. Ke XV : 11 ) menulis bahwa keluarga
adalah kesatuan sosial yang meliputi dua orang dewasa yang berlainan jenis kelamin serta
ada anak-anak mereka.
Dari beberapa pengertian keluarga menurut para ahli diatas maka dapat
dikemukakan bahwa pengertiaan keluarga adalah sebagai berikut :
Keluarga adalah suatu ikatan persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang
dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang
perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak-anak, baik anaknya sendiri atau
adopsi, dan tinggal dalam sebuah rumah tangga (Pujosuwarno, 1994:17).
Burgest dan Locke (1960) mengemukakan 4 (empat) ciri keluarga yaitu :
(a) Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan
(pertalian antar suami dan istri), darah (hubungan antara orangtua dan anak) atau
adopsi;
(b) Anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama dibawah satu atap dan
merupakan susunan satu rumahtangga. Tempat kos dan rumah penginapan bisa
saja menjadi rumahtangga, tetapi tidak akan dapat menjadi keluarga, karena
anggota-anggotanya tidak dihubungkan oleh darah, perkawinan atau adopsi,
(c) Keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan
berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial bagi si suami dan istri,
ayah dan ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki dan saudara
perempuan; Peranan-peranan tersebut diperkuat oleh kekuatan tradisi dan
sebagian lagi emosional yang menghasilkan pengalaman; dan
(d) Keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama yang diperoleh dari
kebudayaan umum. Stephens mendefiniskan keluarga sebagai suatu susunan
sosial yang didasarkan pada kontrak perkawinan termasuk dengan pengenalan
hak-hak dan tugas orangtua; tempat tinggal suami, istri dan anak-anak; dan
kewajiban ekonomi yang bersifat reciprocal antara suami dan istri (Eshelman
1991).
2. Konsep Ekologi Keluarga Berkaitan dengan Interaksi Keluarga
Konsep Ekologi manusia menyangkut saling ketergantungan antara manusia
dengan lingkungan, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan. Pendekatan
ekologi atau ekosistem menyangkut hubungan interdependensi antara manusia dan
lingkungan di sekitarnya sesuai dengan aturan norma kultural yang dianut. Konsep ekologi
manusia juga dikaitkan dengan pembangunan. Keberhasilan pembangunan yang
berkelanjutan sangat bergantung pada faktor manusianya yaitu seluruh penduduk dan
sumberdaya alam yang dimiliki serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kaidah
ekologi menetapkan adanya ketahanan/ ketegaran (resilience) suatu sistem yang
dipengaruhi oleh dukungan yang serasi dari seluruh subsistem (Soerjani 2000).
Mengingat manusia adalah makhluk sosial, dan keluarga merupakan lembaga sosial
terkecil yang menyangkut hubungan antar pribadi dan hubungan antara manusia dengan
lingkungan di sekitarnya, maka keluarga tidak dapat berdiri sendiri. Keluarga sangat
tergantung dengan lingkungan di sekitarnya (baik lingkungan mikro, meso, ekso dan
makro) dan keluarga juga mempengaruhi lingkungan di sekitarnya (baik lingkungan mikro,
meso, ekso dan makro).
Bronfenbrenner (Bronfenbrenner, 1981; Santrock dan Yussen, 1989), Deacon dan
Firebaugh (1988), Melson (1980), Holman (1983), Klein dan White (1996) menyajikan
model pandangan dari segi ekologi keluarga dalam mengerti proses sosialisasi anak-anak.
Model tersebut menempatkan posisi anak atau keluarga inti pada pusat di dalam model
yang secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada di sekitarnya,
yaitu lingkungan mikrosistem (the microsystem) yang merupakan lingkungan terdekat
dengan anak berada, meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya, dan tetangga. Lingkungan
yang lebih luas disebut lingkungan mesosistem (the mesosystem) yang berupa hubungan
antara lingkungan mikrosistem satu dengan mikrosistem yang lainnya, misalnya hubungan
antara lingkungan keluarga dengan sekolahnya, dan hubungan antara lingkungan keluarga
dengan teman sebayanya. Lingkungan yang lebih luas lagi disebut dengan lingkungan
exosystem yang merupakan lingkungan tempat anak tidak secara langsung mempunyai
peranan secara aktif, misalnya lingkungan keluarga besar (extended family) atau
lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas adalah lingkungan
makrosistem (the macrosystem) yang merupakan tingkatan paling luas yang meliputi
struktur sosial budaya suatu bangsa secara umum. Model Bronfenbrenner menjelaskan
mengenai pendekatan ekosistem dalam menganalisis ekologi keluarga dalam sosialisasi
anak yang dikenal dengan Model Ekologi dari Bronfenbrenner (Bronfenbrenner 1981;
Santrock dan Yussen 1989). Model tersebut menyajikan tahapan-tahapan pengaruh
lingkungan pada sosialisasi anak yang tediri atas lingkungan paling dekat yaitu lingkungan
mikrosistem (the microsystem), lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan mesosistem
(the mesosystem), kemudian lingkungan yang lebih luas lagi disebut dengan lingkungan
exosystem, dan akhirnya lingkungan yang paling luas yaitu lingkungan makrosistem (the
macrosystem).
Jelas sekali disini bahwa pendekatan ekosistem dan keluarga menyangkut
hubungan interdependensi antara manusia yang berada dalam satu unit keluarga inti dengan
lingkungan sosial maupun fisik yang ada di sekitarnya sesuai dengan aturan norma kultural
yang dianut. Menurut Holland et al. (Kilpatrick dan Holland 2003) bahwa perspektif
ekosistem (sistem ekologi) merupakan pendekatan teoretikal yang dominan dalam melihat
perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang berhubungan dengan
lingkungan sosialnya (mulai dari tingkatan mikro ke makro). Pendekatan lain dari
Megawangi (1999) menjelaskan bahwa keluarga dijabarkan sebagai suatu sistem yang
diartikan sebagai suatu unit sosial dengan keadaan yang menggambarkan individu secara
intim terlibat untuk saling berhubungan timbal balik dan saling mempengaruhi satu dengan
lainnya setiap saat dengan dibatasi oleh aturan-aturan di dalam keluarga. Sistem ekologi
juga menganalisis keterkaitan antara keluarga dan lingkungan dalam melihat perubahan
budaya, seperti peran ganda ibu, tren perceraian, dan efek perceraian dalam pengasuhan
(Harris dan Liebert 1992).

Model tersebut menempatkan posisi anak atau keluarga inti pada pusat di dalam model
yang secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada di sekitarnya,
yaitu lingkungan mikrosistem (the microsystem) yang merupakan lingkungan terdekat
dengan anak berada, meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya, dan tetangga. Model ini
juga dapat diterapkan berdasarkan perspektif gender, yaitu lingkungan yang dapat
mendorong/ menghambat interaksi lingkungan dengan kaum laki-laki atau perempuan,
mulai dari masa bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa sampai lanjut usia. Lingkungan
yang lebih luas disebut lingkungan mesosistem (the mesosystem) yang berupa hubungan
antara lingkungan mikrosistem satu dengan mikrosistem yang lainnya, misalnya hubungan
antara lingkungan keluarga dengan sekolahnya, dan hubungan antara lingkungan keluarga
dengan teman sebayanya. Lingkungan yang lebih luas lagi disebut dengan lingkungan
exosystem yang merupakan lingkungan tempat anak tidak secara langsung mempunyai
peranan secara aktif, misalnya lingkungan keluarga besar (extended family) atau
lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas adalah lingkungan
makrosistem (the macrosystem) yang merupakan tingkatan paling luas yang meliputi
struktur sosial budaya suatu bangsa secara umum.
Berikut ini menyajikan berbagai landasan Teori Keluarga dari lingkup makro (terdiri
atas Teori Struktural Fungsional/ Sistem, Teori Konflik Sosial, Teori Gender dan Teori
Perkembangan multilineal dengan tingkatan masyarakat) dan lingkup mikro (terdiri atas
Teori Pertukaran Sosial, Teori Interaksi Simbolik dan Teori Perkembangan Unilineal
(Individu dan Keluarga).

3. Teori Keluarga: Struktural-Fungsional/Sistem


Salah satu teori yang melandasi studi keluarga diantaranya adalah Teori
Strukturalfungsional/ Teori Sistem. Pendekatan teori sosiologi struktural-fungsional biasa
digunakan oleh Spencer dan Durkheim yang menyangkut struktur (aturan pola sosial) dan
fungsinya dalam masyarakat (Skidmore 1979; Spencer dan Inkeles 1982; Turner 1986;
Schwartz dan Scott 1994; Macionis 1995; Winton 1995) dan pada kehidupan sosial secara total
(McQuarie 1995). Penganut pandangan teori struktural-fungsional melihat sistem sosial
sebagai suatu sistem yang seimbang, harmonis dan berkelanjutan.
Pendekatan teori ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial yang
kemudian diakomodasi dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah
sistem (Megawangi 1999). Talcott Parsons (Klein & White 1996) terkenal dengan konsep
pendekatan sistem melalui AGIL (Adaptation; Goal Attainment; Integration; and Latency),
yaitu adaptasi dengan lingkungan, adanya tujuan yang ingin dicapai, integrasi antar sub-sub
sistem, dan pemeliharaan budaya atau norma/ nilai-nilai/ kebiasaan.
Pendekatan struktural-fungsional menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil
dalam keluarga dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat. Eshleman (1991), Gelles
(1995), Newman dan Grauerholz (2002) menyatakan bahwa pendekatan teori struktural-
fungsional dapat digunakan dalam menganalisis peran keluarga agar dapat berfungsi dengan
baik untuk menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat.
Adapun Farrington dan Chertok (Boss et al. 1993), Winton (1995), dan Klein dan White
(1996) menyatakan bahwa konsep keseimbangan mengarah kepada konsep homeostasis suatu
organisme yaitu suatu kemampuan untuk memelihara stabilitas agar kelangsungan suatu sistem
tetap terjaga dengan baik meskipun di dalamnya mengakomodasi adanya adaptasi dengan
lingkungan.
Sebagai asumsi dasar dalam teori struktural fungsional adalah (Klein & White 1996;
Megawangi 1999):
(1) Masyarakat selalu mencari titik keseimbangan,
(2) Masyarakat memerlukan kebutuhan dasar agar titik keseimbangan terpenuhi,
(3) Untuk memenuhi kebutuhan dasar, maka fungsi-fungsi harus dijalankan dan
(4) Untuk memenuhi semua ini, maka harus ada struktur tertentu demi berlangsungnya
suatu
keseimbangan atau homeostatik.
Konsep Struktural Fungsional adalah:
1. Sistem: Suatu set obyek dan hubungan antar obyek dengan atributnya (Hall & Fagan
1956).
2. Boundaries: Suatu batas antara sistem dan lingkungannya yang mempengaruhi aliran
informasi dan energinya (tertutup atau terbuka).
3. Aturan Transformasi: memperlihatkan hubungan antara elemen-elemen dalam suatu
sistem. 4. Feedback: Suatu konsep dari teori sistem yang menggambarkan aliran sirkulasi
dari output kembali sebagai input (positif, negatif/ penyimpangan).
5. Variety: merujuk pada derajat variasi adaptasi perubahan dimana sumberdaya dari
sistem dapat memenuhi tuntutan lingkungan yang baru.
6. Equilibrium: Merujuk pada keseimbangan antara input dan output (homeostatis=
mempertahankan keseimbangan secara dinamis antara feedback dan kontrol).
7. Subsistem: Variasi tingkatan dari suatu sistem yang merupakan bagian dari suatu sistem.
8. Struktur keluarga.
9. Pembagian peran, tugas dan tanggung jawab, hak dan kewajiban.
10. Menjalankan fungsi.
11. Mempunyai aturan dan nilai/ norma yang harus diikuti.
12. Mempunyai tujuan.

Aplikasi Struktural Fungsional dalam Keluarga:


1. Berkaitan dengan pola kedudukan dan peran dari anggota keluarga tersebut, hubungan
antara orangtua dan anak, ayah dan ibu, ibu dan anak perempuannya, dll.
2. Setiap masyarakat mempunyai peraturan-peraturan dan harapan-harapan yang
menggambarkan orang harus berperilaku.
3. Tipe keluarga terdiri atas keluarga dengan suami istri utuh beserta anak-anak (intact
families), keluarga tunggal dengan suami/istri dan anak-anaknya (single families),
keluarga dengan anggota normal atau keluarga dengan anggota yang cacat, atau keluarga
berdasarkan tahapannya, dan lain-lain.
4. Aspek struktural menciptakan keseimbangan sebuah sistem sosial yang tertib (social
order). Ketertiban keluarga akan tercipta kalau ada struktur atau strata dalam keluarga,
dimana masing-masing mengetahui peran dan posisinya dan patuh pada nilai yang
melandasi struktur tersebut. 5. Terdapat 2 (dua) Bentuk keluarga yaitu: (1) Keluarga Inti
(nuclear family), dan (2) Keluarga Luas (extended family).
6. Struktur dalam keluarga dapat dijadikan institusi keluarga sebagai sistem kesatuan
dengan elemen- elemen utama yang saling terkait:
a. Status sosial: Pencari nafkah, ibu rumahtangga, anak sekolah, dan lain-lain.
b. Fungsi dan peran sosial: Perangkat tingkah laku yang diharapkan dapat
memotivasi tingkah laku seseorang yang menduduki status sosial tertentu (peran
instrumental/ mencari nafkah; peran emosional ekspresif / pemberi cinta, kasih
sayang).
c. Norma sosial: Peraturan
4. Teori Keluarga: Konflik Sosial
Teori konflik sosial muncul pada Abad ke-18 dan 19 sebagai respon dari lahirnya
dual revolution, yaitu demokratisasi dan industrialisasi, sehingga kemunculan sosiologi
konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan pengikutan, atau akibat dari, realitas
konflik dalam masyarakat Amerika (Mc Quarrie 1995). Teori konflik sosial mulai populer
pada Tahun 1960an sejalan dengan gelombang kebebasan individu di Barat, tetapi
sebetulnya telah berkembang sejak Abad 17. Selain itu teori sosiologi konflik adalah
alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme struktural Talcott Parsons
dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan
integralistiknya.
Beberapa kritikan terhadap teori strukturalfungsional berkisar pada sistem sosial
yang berstruktur, dan adanya perbedaan fungsi atau diferensiasi peran (division of labor).
Institusi keluarga dalam perspektif struktural-fungsional dianggap melanggengkan
kekuasaan yang cenderung menjadi cikal bakal timbulnya ketidakadilan dalam masyarakat
Teori konflik lebih menitikberatkan analisisnya pada asal-usul terjadinya suatu
aturan atau tertib sosial. Teori ini tidak bertujuan untuk menganalisis asal usulnya
terjadinya pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang berperilaku menyimpang.
Perspektif konflik lebih menekankan sifat pluralistik dari masyarakat dan
ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompoknya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konflik adalah fenomena sosial biasa dan
merupakan kenyataan bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya. Konfllik dipandang
sebagai suatu proses sosial, proses perubahan dari tatanan sosial yang lama ke tatanan
sosial yang baru yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Perspektif
konflik dianggap sebagai “the new sociology” sebagai kritik terhadap teori struktural
fungsional yang berkaitan dengan sistem social.
Paradigma sosial konflik yang dikembangkan oleh Karl Marx didasarkan pada dua
asumsi, yaitu: (1) Kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama semua kegiatan
masyarakat, dan (2) Melihat masyarakat manusia dari sudut konflik di sepanjang
sejarahnya. Marx, dalam Materialisme Historis-nya memasukkan determinisme ekonomi
sebagai basis struktur yang dalam proses relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan
menimbulkan konflik antara kelas atas dan kelas bawah.
Ringkasnya, ada sedikitnya empat hal yang penting dalam memahami teori konflik
sosial, antara lain:
1. Kompetisi (atas kelangkaan sumberdaya seperti makanan, kesenangan, partner
seksual, dan sebagainya. Dasar interaksi manusia bukanlah konsensus seperti yang
ditawarkan fungsionalisme, namun lebih kepada kompetisi.
2. Terdapat ketidaksamaan struktural dalam hal kekuasaan.
3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan maksimal.
4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interest)
yang saling berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi.
Perubahan sosial sering terjadi secara cepat dan revolusioner daripada evolusioner.
Dengan demikian:
1. Teori struktural fungsional lebih dijadikan pegangan untuk keluarga konservatif.
2. Teori konflik sosial lebih dijadikan pegangan bagi keluarga kontemporer.
3. Contoh-contoh konflik dalam keluarga: a. Konflik peran suami dan istri di dalam
keluarga. b. Konflik komunikasi antara suami dan istri atau antara orangtua dan anak. c.
Konflik kelas dalam masyarakat (kelas borjuis vrsus proletar; kelas gender; kelas sosial
ekonomi) d. Konflik antara keluarga inti dan keluarga luasnya.
5. Teori Keluarga: Pertukaran Sosial
Teori keluarga lain yang sering dipakai sebagai landasan analisis keluarga adalah
Teori Pertukaran Sosial. George Homans (1958; 1961) adalah orang yang dikenal
membawa Teori Social Exchange ke disiplin Ilmu Sosial. Homans fokus pada hubungan
interpersonAl diantara orang-orang di keluarga dan masyarakat. Konsep pemikiran George
Homans adalah adanya karakteristik sifat manusia yang universal di seluruh dunia, yaitu
bahwa perilaku manusia (konsep behaviorism di psychology) ada yang “Positive
Reinforcement and Negative Reinforcement”. Homans juga menyatakan adanya “ The rule
of distributive justice “ artinya : adanya harapan bahwa rewards pada masing-masing orang
yang berhubungan akan “proporsional“ dengan biaya yang dikeluarkan oleh masing-
masing orang tersebut, sehingga net result dari masing-masing orang itu akan proporsional
dengan investasinya dalam hubungan tersebut.
Apabila peraturan ini dilanggar, maka orang-orang yang dirugikan akan marah, dan
orang-orang yang diuntungkan akan merasa bersalah. Teori pertukaran sosial menjelaskan
keberadaan dan ketahanan kelompok sosial, termasuk keluarga melalui bantuan selfinterest
dari individu anggotanya. Fokus sentral teori adalah motivasi (hal yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu kegiatan), yang berasal dari keinginan diri sendiri.
Teori ini didasari paham utilitarianisme (individu dalam menentukan pilihan secara
rasional menimbang antara imbalan (rewards) yang akan diperoleh, dan biaya (cost) yang
harus dikeluarkan.
Para sosiolog penganut teori ini berpendapat bahwa seseorang akan berinteraksi
dengan pihak lain jika dianggapnya menghasilkan keuntungan (selisih antara imbalan yang
diterima dengan biaya yang dikeluarkan)
Konsep Teori Pertukaran Sosial:
1. Pemikiran filosofi utilitarian adalah kerelaan (voluntaristic), interest dan teori tentang
nilai (value). Penekanan terbesar pada kebebasan individu untuk memilih.
2. Adam Smith, salah seorang pelopor dari perspektif ini, menggunakan pandangan
ekonomi bahwa manusia bertindak secara rasional untuk memaksimumkan manfaat
(benefits) atau kepuasan (utilitas).
3. Paham utilitarian yang lain adalah pendekatan teori ekonomi mikro dalam keluarga
(Becker 1981), dan psikologi sosial (Emerson 1976).
4. Levi-Straouss dalam Johnson (1990), terdapat dua sistem pertukaran sosial, yaitu
bersifat langsung dan tidak langsung:
a. Pada sistem pertukaran langsung, kedua belah pihak terjalin hubungan timbal
balik, cenderung menekankan pada keseimbangan, atau persamaan yang saling
menguntungkan sehingga aspek emosional ikut terlibat di dalamnya.
b. Pada pertukaran tidak langsung, terjadi secara berantai. Masing-masing anggota
masyarakat dituntut memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, dan melakukan
kewajibannya masing-masing, sehingga pada akhirnya dapat diperoleh keuntungan
secara bersama-sama.
5. Imbalan dapat berupa materi maupun non materi (seperti perilaku, kesenangan dan
kepuasan).
6. Biaya dapat barupa materi maupun non materi (seperti status, hubungan, interaksi,
perasaan yang tidak disukai).
7. Keuntungan (selisih antara imbalan dan biaya) dan individu selalu mencari keuntungan
maksimum dengan cara memaksimumkan imbalan atau meminimumkan biaya.
8. Tingkat evaluasi atau perbandingan alternatif, yaitu suatu standar yang mengevaluasi
imbalan dan biaya dari suatu hubugan atau kegiatan.
9. Norma timbal balik adalah suatu gagasan yang menyangkut pertukaran timbal balik,
tanpa timbal balik tidak mungkin akan terbentuk kehidupan sosial.
10. Pilihan bahwa setiap manusia harus menentukan pilihan, merupakan output yang
dijanjikan oleh pengambil keputusan.
6. Teori Keluarga: Interaksi Simbolik
Teori interaksi simbolik merupakan salah satu teori keluarga yang terkait dengan ilmu
psikologi dan komunikasi. Menurut kerangka psikologi sosial, terdapat dua hal yang sangat penting
dalam keluarga, yaitu sosialisasi dan personalitas. Sosialisasi menitik beratkan pada bagaimana
cara manusia menerima sesuatu, kemudian menerapkan perilaku menurut pola dan cara berfikir
serta perasaan masyarakat. Sedangkan personalitas menitikberatkan pada sikap, nilai, dan perilaku
yang telah diorganisir. Teori ini terfokus pada hubungan antara simbol (pemberian makna) dan
interaksi (aksi verbal, non verbal, dan komunikasi).
Klein dan White (1996) mengemukakan empat asumsi yang mendasari teori interaksi
simbolik, yaitu:
1. Perilaku manusia harus dipahami melalui arti/makna dari aktor (pelaku). Mustahil
seseorang dapat menjelaskan perilaku manusia tanpa mengetahui makna atau arti dari
perilaku tersebut. Para penganut teori ini percaya bahwa untuk menjadi manusia pasti
menggunakan simbol.Manusia hidup dalam dunia simbol dan apa yang kita lakukan
memiliki bentuk fisik dan simbol.
2. Aktor (pelaku) mendefinisikan arti atau makna dari konteks dan situasi.
3. Individu memiliki mind (jiwa). Mind adalah kemampuan seseorang untuk merefleksikan
proses dalam dirinya sehingga dapat membangun dirinya sendiri sebagai aktor (I) dan
sebagai objek (me).
4. Masyarakat mendahului individu. Asumsi yang pertama bahwa manusia hidup dalam
dunia simbol dan dengan pikirannya ia akan memanipulasi dan menginterpretasikan simbol
tersebut. Dengan kata lain, ketika seorang manusia lahir, ia berada di tengahtengah
masyarakat yang sudah memiliki simbol. Menurut konsep Mead tentang mind, pikiran
individu merupakan hasil dari masyarakat, bukan sebaliknya.
7. Teori Keluarga: Perkembangan
Cikal bakal perkembangan Teori Perkembangan Keluarga adalah pada saat era depressi
tahun 30-an di USA dengan kebijakan Presiden Franklin D Roosevelt untuk memberikan
kesempatan pada para ahli untuk meneliti dampak dari depresi pada populasi dengan studi
longitudinal “Family Life Cycle and Family Development”. Teori Perkembangan keluarga
menjelaskan proses perubahan dalam keluarga dengan unsur “waktu’ sebagai sumberdaya yang
sangat signifikan dalam perspektif perkembangan keluarga (Family Life Cycle).
Teori Perkembangan Keluarga merupakan multilevel theory yang berhubungan dengan
individualis, dan institusi keluarga. Hal-hal yang sering dibahas pada teori ini adalah konsep
perkembangan tugas (the Development of task) sepanjang siklus kehidupan keluarga (Family life
cycle). Tahapan Perkembangan Keluarga menurut Duvall (1957) ada 8 tahapan yaitu:
(1) Tahapan perkawinan (married couple),
(2) Tahapan mempunyai anak (childbearing),
(3) Tahapan anak berumur preschool (Preschool age),
(4) Tahapan anak berumur Sekolah Dasar (school age),
(5) Tahapan anak berumur remaja (teenage),
(6) Tahapan anak lepas dari orangtua (launching center),
(7) Tahapan orangtua umur menengah (middle-aged parents) dan
(8) Tahapan orangtua umur manula (aging parents).
Teori perkembangan merupakan teori yang menjelaskan perubahan baik yang terjadi pada
individu atau kelompok. Individu, kelompok dan masyarakat mengalami perkembangan melalui
tahapan-tahapan yang terjadi sepanjang waktu. Salah satu model teori perkembangan adalah
unilinier, yang menganalisis perkembangan atau perubahan institusi dan masyarakat sepanjang
waktu.

Konsep Teori Perkembangan:


1. Perkembangan Konsep Statik (Norma statik, peran statik, posisi dan tahapan serta
kejadian statik)
2. Perkembangan Konsep Dinamik:
a. Terjadi transisi (kombinasi antara tahapan, kejadian dan waktu)
b. Konsep waktu sebagai normatif (dalam analisis 3 (tiga) tahapan, individu,
keluarga, dan hubungan-hubungan)
c. Umur 3. Tingkatan Perkembangan mempunyai 2 elemen, yaitu komponen
normative dan kejadian transitional.
8. Berbagai Pemahaman Ringkas dari Teori Keluarga

Menurut perspektif Teori konflik sosial, hubungan yang penuh konflik terjadi juga dalam
keluarga. Peran yang dilembagakan oleh institusi keluarga, menurut persepsi konflik sosial telah
menciptakan pola relasi yang opresif. Menurut teori ini, situasi konflik dalam kehidupan sosial
tidak dianggap sebagai sesuatu yang abnormal atau disfungsional, tetapi bahkan dianggap sesuatu
yang alami dalam setiap proses sosial. Adanya konflik bersumber dari struktur dan fungsi keluarga
itu sendiri. Seorang suami dengan kedudukannya sebagai kepala keluarga akan menimbulkan
konflik terbuka dengan istrinya yang mempunyai kedudukan ibu rumahtangga.
Teori sosial konflik menawarkan keluarga sebagai wahana alternatif efektif untuk
pengembangan sumberdaya manusia tanpa resiko penolakan dan tantangan. Pendukung teori dan
ideologi konflik justru menganggap keluarga sebagai sumber malapetaka, kesengsaraan dan
ketidakadilan, terutama bagi perempuan.
Contoh perbedaan praksis/ aplikasi Teori Struktural-Fungsional dan Sosial-Konflik dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat.
9. Perbedaan Pendekatan

Anda mungkin juga menyukai