Anda di halaman 1dari 55

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Serangga memiliki arti penting dalam ekosistem kita. Serangga dapat


menjaga aerasi tanah, menyerbukan bunga, mengendalikan serangga-hama dan
juga sebagai hama tanaman; serangga juga mampu menguraikan bahan organik,
sehingga mengembalikan unsur hara ke dalam tanah. Sepuluh tahun yang lalu
terdapat sekitar 750.000 spesies serangga. Saat ini, jumlahnya telah melebihi
1.000.000. Dan menurut sebuah artikel baru-baru ini, Scientific American, ahli
entomologi memperkirakan bahwa ada kemungkinan lebih dari delapan juta
spesies serangga di Bumi. Jika anda bandingkan dengan sekitar 4.809 spesies
mamalia atau 1.500.000 species jamur, maka serangga memiliki populasi yang
melebihi kelompok taksonomi hidup lainnya di Bumi.

Serangga dibagi pada beberapa ordo seperti orthoptera, isoptera,


thysanoptera, hemiptera,homoptera, lepidoptera, celeoptera, diptera, dan
hymenoptera.Serangga juga memiliki beberapa ciri yang khas yaitu diantaranya
tubuhnya dibagi menjadi 1 bagian, serangga juga termasuk kelas insekta,
tubuhnya beruas-ruas. Serangga memiliki 2 tipe metamorphosis yaitu
paurometabola dan holometabola. Serangga memiliki antena yang fungsinya
cukup beragam,yaitu sebagai peraba, pembau dan perasa. Bentuk antena serangga
bermacam-macam, dan dapat digunakan sebagai “pedoman” untuk
mengidentifikasi famili serangga.

Serangga lebih banyak menyerang tumbuhan meskipun ada juga serangga


yang tidak menyerang tanaman maka dari itu serangga termasuk kategori hama
bagi manusia. Beberapa serangga juga memiliki manfaat meskipun banyak
serangga yang merugikan manusia seperti walang sangit, wereng, ulat, dan
lainnya. Tetapi kebanyakan serangga juga sangat berguna bagi kehidupan
manusia. Banyak serangga yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, diantaranya
yaitu sebagai organisme pembusuk dan pengurai termasuk limbah, sebagai objek
estetika dan wisata, bermanfaat pada proses penyerbukan maupun sebagai musuh

1
alami hama tanaman, pakan hewan (burung) yang bernilai ekonomi tinggi, dan
penghasil madu.

Coleoptera berasal dari bahasa Latin coleos (perisai) dan pteron (sayap),
berarti insekta bersayap perisai. Anggota-anggotanya ada yang bertindak sebagai
hama tanaman, namun ada juga yang bertindak sebagai predator (pemangsa) bagi
serangga lai. Ordo Coleoptera, yang berarti "sayap berlapis", dan berisi spesies
yang sering dilukiskan di dalamnya dibanding dalam beberapa ordo lain dalam
kerajaan binatang. Empat puluh persen dari seluruh spesies serangga adalah
kumbang (sekitar 350,000 spesies), dan spesies baru masih sering ditemukan.
Perkiraan memperkirkan total jumlah spesies, yang diuraikan dan tidak diuraikan,
antara 5 dan 8 juta. Anggota-anggotanya ada yang bertindak sebagai hama
tanaman, namun ada juga yang bertindak sebagai predator (pemangsa) bagi
serangga lain. Sayap terdiri dari dua pasang. Sayap depan mengeras dan menebal
serta tidak memiliki vena sayap dan disebut elytra. Apabila istirahat, elytra seolah-
olah terbagi menjadi dua (terbelah tepat di tengah-tengah bagian dorsal). Sayap
belakang membranus dan jika sedang istirahat melipat di bawah sayap depan. Alat
mulut bertipe penggigit-pengunyah, umumnya mandibula berkembang dengan
baik. Pada beberapa jenis, khususnya dari suku Curculionidae alat mulutnya
terbentuk pada moncong yang terbentuk di depan kepala.

Sangat beragam dari segi ukuran mulai dari 75 mm di Amerika sampai


125 mm di daerah Tropis. Kumbang dapat ditemui pada berbagai habitat dimana
saja., dapat beradaptasi dengan baik pada habitat subcortical (di bawah kulit kayu
pepohonan) dan fungi. Serangga ini dinamakan demikian karena sayap luarnya
mengeras seperti seludang sedangkan sayap di dalam yang tertutup tipis seperti
membrane. Mulut pada tipe serangga ini adalah menggigit dan mengunyah.
Makanan imago dan larvanya berbeda, umumnya serangga dewasa memakan
hewan dan tanaman yang masih hidup maupun yang sudah mati sedangkan
larvanya memakan kompos batang dan akar pohon. Ordo ini berkembang biak
dengan cara holometabola atau sempurna. Dari seluruh kelas anggota serangga
40%nya merupakan ordo coleopteran yang terdiri dari 250 spesies lebih. Dalam
ordo ini banyak yang bertindak sebagai hama dan ada juga yang menjadi predator

2
larva hama. Beberapa family dari ordo ini adalah dynastidae, melolonthidae,
rutelidae, lampyridae, coccinellidae, curculionidae, histeridae, cerambycidae dan
scolytidae.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan pembuatan makalah ini adalah :

1. Sebagai tugas kelompok dalam mata kuliah dasar-dasar perlindungan


tanaman
2. Menambah wawasan pengetahuan tentang ordo coleoptera
3. Mengetahui jenis serangga dan hama secara spesifik dari ordo
coleoptera
4. Mengetahui teknik perlindungan pada ordo coleoptera.

1.3. Manfaat

Adapun manfaat yang diharapkan dari makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat pembuatan makalah ini adalah agar dapat digunakan sebagai


bahan pembelajaran.
2. Memberikan informasi mengenai ordo Coleoptera.
3. Menambah wawasan tentang serangga yang termasuk dalam ordo
Coleoptera.
4. Sebagai salah satu referensi mengenai ordo Coleoptera.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah Perkembangan Hama dan Penyakit pada Tanaman

Gambar 2.1. Hama kumbang Terhadap Tanaman

Hama merupakan suatu organisme yang mengganggu tanaman,merusak


tanaman dan menimbulkan kerugian secara ekonomi,membuat produksi suatu
tanaman berkurang dan dapat juga menimbulkan kematian pada tanaman,
serangga hama mempunyai bagian tubuh yang utama yaitu caput, abdomen,dan
thorax.serangga hama merupakan organisme yang dapat mengganggu
pertumbuhan tanaman dan mengakibatkan kerusakan dan kerugian ekonomi.
Hama dari jenis serangga dan penyakit merupakan kendala yang dihadapi oleh
setiap para petani yang selalu mengganggu perkembangan tanaman budidaya dan
hasil produksi pertanian. Hama dan penyakit tersebut merusak bagian suatu
tanaman, sehingga tanaman akan layu dan bahkan mati (harianto, 2009). Akibat
dari serangan hama, maka akan terjadi susut kuantitatif, susut kualitatif dan susut
daya tumbuh. Susut kuantitatif adalah turunnya bobot atau volume bahan karena
sebagian atau seluruhnya dimakan oleh hama. Susut kualitatif adalah turunnya
mutu secara langsung akibat dari adanya serangan hama, misalnya bahan yang
tercampur oleh bangkai, kotoran serangga atau bulu tikus dan peningkatan jumlah
butir gabah yang rusak. Susut daya tumbuh adalah susut yang terjadi karena
bagian lembaga yang sangat kaya nutrisi dimakan oleh hama yang menyebabkan
biji tidak mampu berkecambah. Secara ekonomi, kerugian akibat serangan hama
adalah turunnya harga jual komoditas bahan pangan (biji-bijian). Kerugian akibat

4
serangan hama dari segi ekologi atau lingkungan adalah adanya ledakan populasi
serangga yang tidak terkontrol (Pranata, 1982).

Kerusakan oleh serangga dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu


kerusakanlangsung dan kerusakan tidak langsung.Kerusakan langsung terdiri dari
konsumsi bahan yang disimpan oleh serangga, kontaminasi oleh serangga dewasa,
pupa, larva, telur, kulit telur, dan bagian tubuhnya, serta kerusakan wadah bahan
yang disimpan. Kerusakan tidak langsung antara lain adalah timbulnya panas
akibat metabolisme serta berkembangnya kapang dan mikroba-mikroba lainnya
(Cotton dan Wilbur, 1974)

Penyakit tanaman dapat didefinisikan sebagai penyimpangan sifat normal


yang menyebabkan tanaman tidak dapat melakukan kegiatan fisiologis seperti
biasanya (Martoredjo, 1989). Penyakit tumbuhan dapat disebabkan oleh faktor
biotik dan abiotik. Penyebab penyakit yang bersifat biotik umunya parasitik pada
tumbuahn, dapat ditularkan, dan disebut penyakit biogenik. Adapun penyakit yang
bersifat abiotik tidak parasit, tidak menular, dan biasa disebut penyakit fisiogenik.
Penyebab yang parasitik terdiri dari beberapa golongan seperti virus, viroid,
fitoplasma bakteri, cendawan, riketsia, protozoa, nematode dan tumbuhan tingkat
tinggi (Triharso. 1996). Penyakit bisa muncul karena disuatu tempat ada tanaman,
pathogen serta lingkungan. Ini yang disebut segitiga penyakit dimana munculnya
penyakit karena tiga faktor itu. Salah satu faktor tidak ada atau tidak memenuhi
syarat maka penyakit tidak akan muncul. Syarat yang harus dipenuhi oleh ketiga
faktor agar muncul penyakit adalah tanaman harus peka, penyebab penyakit harus
virulen (fitdan ganas), dan lingkungan mendukung (Nasution, 2008).

Gulma adalah tumbuhan yang tumbuh pada areal yang tidak dikehendaki
yakni tumbuh pada areal pertanaman. Gulma secara langsung maupun tidak
langsung merugikan tanaman budidaya. Gulma dapat merugikan tanaman
budidaya karena bersaing dalam mendapatkan unsur hara, cahaya matahari, dan
air. Jenis gulma yang tumbuh biasanya sesuai dengan kondisi perkebunan,
misalnya pada perkebuanan yang baru diolah, maka gulma yang dijumpai
kebanyakan adalah gulma semusim, sedang pada perkebunan yang telah lama
ditanami gulma yang banyak terdapat adalah jenis tahunan. Gulma yang terdapat

5
pada dataran tinggi relatif berbeda dengan yang tumbuh di daerah dataran rendah,
Pada daerah yang tinggi terlihat adanya kecenderungan bertambahnya
keanekaragaman jenis, sedangkan jumlah individu biasanya tidak begitu besar.
Hal yang sebaliknya terjadi pada daerah rendah yakni jumlah individu sangat
melimpah, tetapi jenis yang ada tidak begitu banyak (Soekisman, T. dkk. 1984).

Gangguan OPT dapat menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas hasil


serta kematian tanaman. Adanya ancaman OPT terhadap tanaman budi daya
mengharuskan petani dan perusahaan pertanian melakukan berbagai upaya
pengendalian. Sejarah perkembangan pengendalian hama dan penyakit di
Indonesia dimulai sejak periode sebelum kemerdekaan, 1950-1960-an, 1970-an
dan 1980 sampai sekarang. Pengendalian hama dan penyakit berdasarkan
perspektif global terdiri atas beberapa zaman, yaitu zaman prapestisida, zaman
optimisme, zaman keraguan dan zaman PHT. Zaman PHT dikelompokkan
menjadi dua era, yaitu PHT berbasis teknologi dan PHT berbasis ekologi.

1. Zaman Prapestisida

Pada zaman prapestisida, pengendalian hama dilakukan dengan cara


bercocok tanam dan pengendalian hayati berdasarkan pemahaman biologi hama.
Cara ini telah dilakukan oleh bangsa Cina lebih dari 3000 tahun yang lalu. Pada
tahun 2500 SM, orang Sumeria menggunakan sulfur untuk mengendalikan
serangga tungau (Flint dan van den Bosch 1990). Pengendalian secara bercocok
tanam dan hayati pada tanaman padi telah dilakukan di Indonesia sejak zaman
kerajaan di Nusantara, mulai dari Kerajaan Purnawarman, Mulawarman,
Sriwijaya, Majapahit, Mataram sampai era penjajahan Belanda.

6
2. Zaman Optimisme

Zaman optimisme terjadi pada tahun 1945-1962. Pada zaman itu dimulai
penggunaan insektisida diklor difenol trikloroetan (DDT), fungisida ferbam, dan
herbisida 2,4 D (Flint dan van den Bosch 1990). Selama lebih kurang 10 tahun,
penggunaan pestisida menjadi bagian rutin dari kegiatan budi daya tanaman,
seperti halnya pengolahan tanah dan pemupukan. Pada zaman optimisme,
pengendalian OPT tidak memerhatikan perkembangan pemahaman biologi hama.
Petani ingin pertanamannya bebas hama sehingga melakukan aplikasi pestisida
secara berjadwal dan berlebihan.

3. Zaman Keraguan

Zaman keraguan diawali dengan terbitnya buku Silent Spring oleh Carson
(1962) yang membuka mata dunia tentang seriusnya pencemaran lingkungan yang
disebabkan oleh DDT. Buku tersebut merupakan tangis kelahiran bayi dari
gerakan peduli lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan berbagai jenis pestisida
merusak kelestarian lingkungan biotik dan abiotik di daerah beriklim sedang
maupun tropik. Salah satu contoh adalah lalat rumah menjadi resisten terhadap
DDT sejak tahun 1946. Hal tersebut semakin menjadi perhatian pada era ini.
Kurang berhasilnya pengendalian hama secara konvensional mendorong
berkembangnya paradigma baru yang berusaha meminimalkan penggunaan
pestisida serta dampak negatifnya. Paradigma tersebut dikenal dengan istilah PHT
klasik atau PHT teknologi karena pendekatan paradigma ini berorientasi pada
teknologi pengendalian hama.

4. Zaman PHT Teknologi

Tahun 1970 merupakan awal dari revolusi hijau pestisida, pupuk sintetis,
dan varietas unggul (IR5, IR8, C4, Pelita I-1 dan Pelita I-2), yang merupakan
paket produksi. Teknologi baru ini mendorong timbulnya permasalahan wereng
coklat, yaitu munculnya biotipe baru. Revolusi hijau telah mendorong petani
makin bergantung pada pestisida dalam mengendalikan OPT. Kondisi ini telah
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. PHT
diawali dengan terbentuknya Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika

7
Serikat pada tahun 1972 dan pengalihan wewenang registrasi pestisida dari
Departemen Pertanian ke EPA. Pada tahun 1980-1990, berbagai negara
menetapkan PHT sebagai kebijakan nasional. Zaman PHT diperkuat oleh
terbentuknya KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tanggal 14 Juni 1992, mengadopsi
seksi I Integrated Pest Management and Control in Agriculture dari Agenda 21
Bab 14 tentang Promoting Sustainable Agriculture and Rural Development. PHT
dicetuskan oleh Stern et al (1959). Selanjutnya, paradigma PHT berkembang dan
diperkaya oleh banyak pakar di dunia serta telah diterapkan di seluruh dunia. Di
Indonesia, PHT didukung oleh UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman, Inpres No 3/1986 yang melarang 57 jenis insektisida, dan PP No. 6
tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman. Pada tahun 1996 keluar keputusan
bersama antara Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian tentang batas
maksimum residu, serta UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan.

5. Zaman PHT Berbasis Ekologi

Paradigma baru PHT menempatkan petani sebagai penentu dan pelaksana


utama PHT di tingkat lapangan. Kenmore (1996) menyatakan bahwa dalam
perkembangan perkembangannya, PHT tidak terbatas sebagai teknologi saja,
melainkan telah berkembang menjadi suatu konsep mengenai proses penyelesaian
masalah OPT di lapangan. PHT berbasis ekologi didorong oleh pengembangan
dan penerapan PHT berdasarkan pengertian ekologi lokal hama dan
pemberdayaan petani sehingga pengendalian hama disesuaikan dengan masalah
yang ada di tiap-tiap lokasi (local specific). Paradigma PHT berbasis ekologi lebih
menekankan pengelolaan proses dan mekanisme ekologi lokal untuk
mengendalikan hama dari pada intervensi teknologi. Ekologi lokal yang dikemas
ke dalam kearifan lokal (local wisdom) menjadi eco-farming melalui pemanfaatan
mikroorganisme lokal untuk mendapatkan agens hayati yang sesuai untuk
pengendalian hama. Selanjutnya, Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu
(SLPHT) diterapkan pada tanaman pangan, sayuran, dan perkebunan.

8
6. Pengendalian Hama Terpadu

Sejak satu abad yang lalu, para pakar perlindungan tanaman telah
mengetahui bahwa pengendalian hama dapat dilakukan dengan memanfaatkan
musuh alami, tanaman resisten, dan pengelolaan lingkungan (rotasi tanaman,
sanitasi, dan pengelolaan tanah). Pengertian PHT atau integrated pest control ata
integrated pest management adalah system pengambilan keputusan dalam
memilih dan menerapkan taktik pengendalian OPT yang dipadukan ke dalam
strategi pengelolaan usaha tani dengan berdasarkan pada analisis biaya/manfaat,
dengan mempertimbangkan kepentingan dan dampaknya pada produsen,
masyarakat, dan lingkungan.

Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) adalah semua organisme yang


dapat merusak, menggangu kehidupan atau menyebabkan kematian pada
tumbuhan. Organisme penganggu tanaman merupakan faktor pembatas produksi
tanaman baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Organisme
pengganggu tanaman secara garis besar dibagi menjadi tiga yaitu hama, penyakit
dan gulma. Organisme pengganggu tanaman merupakan salah satu penghambat
produksi dan penyebab ditolaknya produk tersebut masuk ke suatu negara, karena
dikawatirkan akan menjadi hama baru di negara yang ditujunya. Masih banyak
permasalahan OPT yang belum tuntas penanganannya dan perlu kerja keras untuk
mengatasinya dengan berbagai upaya dilakukan, seperti lalat buah pada berbagai
produk buah dan sayuran buah dan virus gemini pada cabai. Selain itu, dalam
kaitannya dengan terbawanya OPT pada produk yang akan diekspor dan dianalis
potensial masuk, menyebar dan menetap di suatu wilayah negara, akan menjadi
hambatan yang berarti dalam perdagangan internasional.

Organisme pengganggu tanaman (OPT) adalah hewan atau tumbuhan baik


berukuran mikro ataupun makro yang mengganggu, menghambat, bahkan
mematikan tanaman yang dibudidayakan. Berdasarkan jenis seranganya OPT
dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu hama, vektor penyakit, dan gulma. Hama adalah
hewan yang merusak secara langsung pada tanaman. Hama terdapat beberapa
jenis, diantaranya adalah insekta (serangga), moluska (bekicot, keong), rodenta
(tikus), mamalia (babi), nematoda, dll. Serangan hama sangat terlihat dan dapat

9
memberikan kerugian yang besar apabila terjadi secara massive. Namun serangan
hama umumnya tidak memberikan efek menular, terkecuali apabila hama tersebut
sebagai vektor suatu penyakit. Vektor penyakit atau biasa disebut sebagai faktor
pembawa penyakit adalah organisme yang memberikan gejala sakit, menurunkan
imunitas, atau mengganggu metabolisme tanaman sehingga terjadi gejala
abnormal pada sistem metabolisme tanaman tersebut. Beberapa penyakit masih
dapat ditanggulangi dan tidak memberikan efek serius apabila imunitas tanaman
dapat ditingkatkan atau varietas tersebut toleran terhadap penyakit yang
menyerangnya. Namun terdapat pula penyakit yang memberikan efek serius pada
tanaman dan bahkan menyebabkan kematian. Beberapa vektor penyakit tanaman
adalah virus, bakteri, dan cendawan. Umumnya gejala penyakit memiliki efek
menular yang sangat cepat dan sulit dibendung. Gulma adalah tumbuhan liar yang
tidak dikehendaki tumbuhnya dan bersifat mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan tanaman yang dibudidayakan. Gulma memberikan pengaruh yang
cukup signifikan pada pertumbuhan tanaman, meskipun biasanya tidak
menimbulkan kematian. Gulma bisa disebut juga sebagai kompetitor penyerap
nutrisi daerah perakaran tanaman. Apabila pertumbuhan gulma lebih cepat
dibandingkan tanaman, maka sudah dapat dipastikan tanaman yang dibudidayakan
akan mengalami pertumbuhan yang tidak optimal. Beberapa jenis gulma bahkan
ada yang memberikan efek racun pada perakaran tanaman, seperti kandungan
metabolit sekunder (cairan) pada akar alang-alang.

Penyakit tumbuhan telah ada sejak dahulu kala, mungkin sejak munculnya
dunia tumbuh-tumbuhan di atas bumi ini. Gejala bercak daun ditemukan pada
fosil daun yang berasal dari zaman purba. Orang Yunani dan Yahudi (500 – 280
SM) meyakini bahwa penyakit tanaman merupakan hukuman atas dosa yang
dilakukannya. Pada saat itu, penyakit tumbuhan juga sudah dihubungkan dengan
cuaca atau iklim yang buruk. Sekitar Tahun 875 hingga beberapa tahun kemudian,
penyakit ergot pada rye (sejenis gandum) yang disebabkan oleh cendawan
Claviceps purpurea mengalami epidemi di berbagai negara di Eropa. Sklerotium
cendawan, yang tercampur butir rye, mengandung senyawa alkaloid dan
menyebabkan ergotisme pada manusia, yaitu menyebabkan jari tangan dan kaki,
kadang-kadang hidung dan telinga penderita membengkak, dan dapat

10
menyebabkan kematian. Penyakit tumbuhan terhebat yang tercatat dalam sejarah
adalah hawar daun kentang yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora
infestans. Sejak Tahun 1845 penyakit tersebut telah tersebar di hampir semua
pertanaman kentang di Eropa yang meliputi luas jutaan hektar. Selain kisaran
serangan yang sangat luas, penyakit dengan intensitas serangan yang sangat hebat
ini menyebabkan pertanaman kentang di Eropa binasa. Di Irlandia, di mana
makanan pokok rakyatnya adalah kentang, timbul paceklik yang sangat
menyedihkan dan dikenal sebagai ”The Irish Famine”. Hal tersebut menyebabkan
kelaparan dan kematian, sehingga banyak rakyat Irlandia terpaksa merantau ke
negara lain dan sebagian besar menjadi emigran ke Amerika Serikat

Pengendalaian hama dan penyakit tanaman merupakan salah satu konsep


yang harus diterapkan dalam budidaya tanaman sehingga tercapai produksi yang
maksimal. Konsep yang diterapkan yaitu menggunakan konsep pengendalian
hama secara terpadu (PHT). Pengendalian hama dan penyakit tanaman harus
menerapkan konsep-konsep yang ramah terhadap lingkungan, meminimalkan
dampak negatif terhadap lingkungan serta mempertahankan keanekaragaman
hayati yang ada. Konsep PHT muncul dan berkembang sebagai koreksi terhadap
kebijakan pengendalian hama secara konvensional, yang sangat utama dalam
manggunakan pestisida. Kebijakan ini mengakibatkan penggunaan pestisida oleh
petani yang tidak tepat dan berlebihan, dengan cara ini dapat meningkatkan biaya
produksi dan mengakibatkan dampak samping yang merugikan terhadap
lingkungan dan kesehatan petani itu sendiri maupun masyarakat secara luas.

PHT merupakan suatu cara pendekatan atau cara berpikir tentang


pengendalian OPT yang didasarkan pada dasar pertimbangan ekologi dan efisiensi
ekonomi dalam rangka pengelolaan agro-ekosistem yang berwawasan lingkungan
yang berkelanjutan. Sebagai sasaran teknologi PHT adalah : 1) produksi pertanian
mantap tinggi, 2) Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3) Populasi
OPT dan kerusakan tanaman tetap pada aras secara ekonomi tidak merugikan dan
4) Pengurangan resiko pencemaran Lingkungan akibat penggunaan pestisida yang
berlebihan.

11
Pengendalian Hama Terpadu atau PHT adalah cara pengendalian yang
digunakan untuk mencapai stabilitas produksi, dengan kerugian seminimal
mungkin bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Timbulnya PHT merupakan
koreksi terhadap sistem pengendalian hama secara konvensional yang selalu
mengutamakan penggunaan pestisida untuk memberantas hama tanaman.
Penggunaan pestisida secara berlebihan untuk membunuh hama, sering kali juga
membunuh organisme selain hama dalam suatu ekosistem. Apabila yang terbunuh
justru organisme yang menguntungkan bagi pengendalian hama maka pada suatu
saat akan terjadi ledakan hama sekunder yang besar sehingga penggunaan
pestisida kurang efektif lagi (Budi 2007).

Ada sejumlah komponen pengendalian hama terpadu seperti yang


dikemukakan oleh Winarno sebagai berikut : Pengendalian hama dengan kultur
teknis adalah langkah–langkah yang dilakukan berkaitan dengan produksi yang
menyebabkan lingkungan yang terjadi itu tidak atau kurang cocok untuk
kehidupan pertumbuhan dan perkembangan serangga hama. Pengendalian hayati
adalah pengendalian serangga hama dengan menggunakan musuhmusuh alam
seperti parasit, predator dan patogen. Pengendalian secara fisis dan mekanis
adalah pengendalian hama yang dilakukan secara langsung membinasakan
serangga hama dengan alat-alat tertentu. Penggunaan insektisida, yakni
penggunaan senyawa kimia yang dapat mematikan serangga hama. Namun, dalam
pengendalian hama terpadu penggunaan insektisida merupakan alternatif yang
terakhir. Pengendalian hama dengan peraturan-peraturan bertujuan untuk
meningkatkan pelaksanaan pengendalian hama terpadu. Umpama saja peraturan
yang mengatur tentang : sistem bertanam serempak, pola tanam, pergiliran
varietas unggul dan lain-lain (Winarno 1987).

Peranan PHT Dalam Ekosistem Pertanian Pada sistem pertanian yang


belum tersentuh teknologi konvensional sehingga semua bentuk bahan agrokimia
tidak digunakan sama sekali, maka petani akan menggunakan bermacam-macam
cara baik langsusung maupun tak langsung untuk melindungi tanamannya dari
serangan hama dan penyakit. Dengan demikian, “Pengendalian Hama Terpadu”
merupakan salah satu komponen kearifan tradisional dalam bidang pertanian.

12
Faktor yang cukup penting dari metode tradisional perlindungan tanaman adalah
memanfaatkan perilaku hama, dengan demikianperkembangnya dapat dihambat,
dan mengurangi kemungkinan hama menyerang tanaman utama. Perlindungan
selanjutnya dengan memanfaatkan musuh alami. Perlindungan tanaman
merupakan proses yang bersifat kompleks sehingga memerlukan pemahaman
peranan masing-masing komponen lingkungan, system usaha tani, dan system
pertanaman yang dilaksanakan. Dengan demikian perlindungan tanaman tidak
dapat dilaksanakan hanya dengan mengandalkan satu tindakan saja, tetap
memerlukan kombinasi tindakan yang menyesuaikan dalam melaksanakan
tindakan sepadan dalam melindungi tanamannya. Kelebihan PHT memang tidak
sebanding dengan pestisida namun jika system ini berlangsung dalam jangka
panjang dapat dilihat kelebihannya :

1) Meningkatkan ketahanan terhadap perlakuan yang dilakukan.

2) Tidak membasmi musuh alami.

3) Tidak berdampak negative terhadap kesehatan organism sekitar.

4) Menurunkan resiko ledakan hama sekunder.

5) Menurunkan biaya produksi.

6) Menurunkan ketergantungan petani pada bahan kimia pertanian (pestisida).

7) Tidak merusak lingkungan dan sumber air (Rachman 2002).

Metode Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)


Pengendalian OPT dibedakan atau dibagi menjadi 3 bagian :

1. Pengendalian Secara Teknik Budi Daya Yaitu dengan melaksanakan


pengolahan tanah yang baik dan benar, menggunakan benih dari varietas tanaman
yang tahan OPT. benih yang bermutu dan sehat, pengaturan jarak tanam yang
ideal, pola tanam yang baik, waktu tanam yang tepat, pemupukan secara
berimbang, pengaturan drainase (tata air) yang baik, dan menanam jenis tanam
perangkat/pemikat hama.

13
2. Pengendalian Secara Fisik/Mekanik Dilakukan dengan cara sanitasi secara
selektif terhadap tanaman yang terserang OPT, sanitasi terhadap tumbuhan
pengganggu yang kemungkinan menjadi inang lain dari OPT, Pengambilan
kelompok telur/ulat dari tanaman yang diserang, dan pemasangan penghalang
berupa kelambu, rumah kaca, atau plastic transparan.

3. Pengendalian Secara Biologi Dilakukan dengan cara memanfaatkan musuh


alami dan agensia hayati. Pengendalian secara biologi ini dapat juga dilakukan
dengan sebuah peraturan, misalnya larangan terhadap pemasukan benih atau
bagian tanaman lain yang dapat membawa OPT berbahaya, baik tanaman impor
maupun tanaman dari area lain

4. Pengendalian Dengan Bahan Kimia Ditinjau dari bahan aktifnya dibagi dalam 2
macam, yakni pestisida hayati dan pestisida sintesis. Pestisida hayati adalah
pestisida yang dibuat dari makhluk hidup yang bahhan aktifnya dapat
mengendalikan OPT, dapat berupa umbuhan dan agen hayati. Sedang kan
pestisida sintesis memiliki bahan aktif dari hasil sintesa kimia yang terdiri atas
beberapa golongan. Untuk meningkatkan efektivitasnya dalam aplikasi, maka
perlu memperhatikan pemilihan jenis pestisida yang sesuai dengan OPT sasaran.
Jenis pestisida yang dipilih dan digunakan juga harus bersifat tidak persisten
(mudah terurai pada kondisi lapang) atau mempunyai paruh waktu yang pendek.
Biasanya penggunaan pestisida hanya dilakukan jika berdasarkan hasil
pengamatan terhadap OPT telah melebihi ambang batas pengendalian Aplikasi
pestisida dilakukan ketika sebagian besar OPT pada stadium yang peka terhadap
pestisida tersebut. Penggunaan pestisida dilakukan dengan dosis minimum (tidak
berlebihan), namun efektif terhadap OPT sasaran. Bagian yang disemprot
pestisida bukan bagian tanaman yang akan dikonsumsi, tetapi bagian tanaman
yang terserang secara spot atau pada populasi hama (OPT) saja (Surachman &
Widodo 2007).

14
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1995,
tentang perlindungan tanaman (LAMPIRAN 1), Perlindungan tanaman adalah
segala upaya untuk mencegah kerugian pada budidaya tanaman yang diakibatkan
oleh organisme pengganggu tumbuhan. Organisme pengganggu tumbuhan adalah
semua organisme yang dapatmerusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan
kematian tumbuhan. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lainnya. Eradikasi adalah tindakan pemusnahan
terhadaptanaman, organisme pengganggu tumbuhan, dan benda lain yang
menyebabkan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan di lokasi tertentu.
Pestisida adalah zat atau senyawa kimia, zat pengatur tumbuh danperangsang
tumbuh, bahan lain, serta organisme renik atau virus yang digunakan untuk
melakukan perlindungan tanaman (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia).

Purnomo (2010), menyatakan bahwa Ordo coleoptera adalah ordo dengan


jumlah terbesar dalam kelas insecta, mencapai lebih dari 110 famili. Banyak
diantaranya bertindak sebagai predator. Famili yang sangat penting didalam
pengendalian hayati adalah coocinellidae, carabidae, staphylinidae. Pracaya
(2008), menyatakan bahwa bentuk sayap setiap golongan serangga berbeda-beda
sehingga dijadikan penentu dalam pengklasifikasian serangga. Umumnya akhiran
kata nama ordo serangga ada kata ptera yang berarti sayap.

Gambar 2.2. Coleoptera (Kumbang)

15
Setford (2005), menyatakan bahwa ada lebih dari 300.000 jenis kumbang
diseluruh dunia. Kebanyakan kumbang memiliki dua pasang sayap. Sepasang
sayap depan bersifat keras dan berfungsi untuk menutupi sayap belakang yang
lebih halus. Sultoni (2004), menyatakan bahwa ordo coleoptera sayap depan
menanduk,sayap belakang membranaceus dan melipat dibawah sayap depan saat
tidak digunakan. Bentuk tubuh bulat, oval, oval memanjang, oval melebar,
ramping memanjang, pipih. Beberapa mempunyai moncong. Alat mulut bertipe
penggigit pengunyah. Dewasa ditemukan hampir disemua tempat terdapat
melimpah di pertanaman, dibawahbatu, kulit kayu, dalam tanah, jamur. Sedikit
yang hidup di air. Banyak bertindak sebagai hama tanaman dan biasanya akan
menyerang hampir semua bagian tanaman.
Aryulina (2004), menyatakan bahwa endopterigota terdiri dari beberapa
ordo yaitu coleoptera, hymenoptera, diptera, dan lepidoptera. Coleoptera memiliki
dua pasang sayap dengan sayap depan yang keras dan tebal. Misalnya kumbang
tanduk (Orycies rhinoceros) dan kutu gabah (Rhyzoperta dominica).
Kumbang adalah salah satu binatang yang memiliki penampilan seperti
kebanyakan spesies serangga. Ordo Coleoptera, yang berarti “sayap berlapis”, dan
berisi spesies yang sering dilukiskan di dalamnya dibanding dalam beberapa ordo
lain dalam kerajaan binatang. Empat puluh persen dari seluruh spesies serangga
adalah kumbang (sekitar 350,000 spesies), dan spesies baru masih sering
ditemukan. Perkiraan memperkirkan total jumlah spesies, yang diuraikan dan
tidak diuraikan, antara 5 dan 8 juta. Kumbang dapat ditemukan hampir di semua
habitat, namun tidak diketahui terjadi di lautan atau di daerah kutub. Interaksi
mereka dengan ekosistem mereka dilakukan dengan berbagai cara.
(www.wikipedia.com)
Coleoptera adalah kelas serangga atau yang biasanya disebut sebagai
“KUMBANG”. Nama Coleoptera diambil dari bahasa Yunani koleos-“pelindung”
dan pteron-“sayap”. Kumbang merupakan jenis serangga paling unik di dunia.
Mereka mempunyai kemampuan spesial masing-masing (tergantung dari
jenisnya). (www.kaskus.blogspot.com).

16
III. MENGENAL ORDO COLEOPTERA

3.1. Pengertian Ordo Coleoptera

Ordo Coleoptera adalah ordo yang terbesar dari serangga dengan sekitar
40% dari spesies heksapoda yang diketahui. Lebih dari seperempat juta spesies
kumbang sudah dideskripsikan dan 30.000 terdapat di Amerika dan Canada.
Sangat beragam dari segi ukuran mulai dari 75 mm di Amerika sampai 125 mm
di daerah Tropis. Kumbang dapat ditemui pada berbagai habitat dimana saja.,
dapat beradaptasi dengan baik pada habitat subcortical (di bawah kulit kayu
pepohonan) dan fungi. Coleoptera adalah insekta yang bersayap perisai, ordo
coleoptera sayap depan menanduk,sayap belakang membranaceus dan melipat
dibawah sayap depan saat tidak digunakan. Anggota-anggotanya ada yang
bertindak sebagai hama tanaman, namun ada juga yang bertindak sebagai predator
(pemangsa) bagi serangga lain.

Ordo Coleoptera di Indonesia dinamakan kumbang. Kumbang adalah salah


satu binatang yang memiliki penampilan seperti kebanyakan spesies serangga.
Ordo Coleoptera, diambil dari kata coeleos yang berarti seludang dan pteron yang
berarti sayap, maka dapat disimpulkan Coleoptera adalah serangga yang memiliki
seludang pada sayapnya. Empat puluh persen dari seluruh spesies serangga adalah
kumbang (sekitar 350,000 spesies), dan spesies baru masih sering ditemukan.
Perkiraan memperkirkan total jumlah spesies, yang diuraikan dan tidak diuraikan,
antara 5 dan 8 juta.

Coleoptera dapat ditemukan hampir di semua habitat, namun tidak


diketahui terjadi di lautan atau di daerah kutub. Interaksi mereka dengan
ekosistem mereka dilakukan dengan berbagai cara. Mereka sering makan
tumbuhan dan jamur, merusak pertahanan binatang dan tumbuhan, dan
memangsan invertebrata lain.

17
3.2. Klasifikasi Ordo Coleoptera

Gambar 3.2.1. Klasifikasi Ordo Coleotera

Klasifikasi Ordo Coleoptera terdiri atas beberapa sub ordo,yaitu :

1. Sub Ordo Adephaga

Pada serangga dewasa ruas abdomen 1 yang terlihat terpotong oleh


rongga coxae kaki belakang sehingga bagian tengahnya terpisah oleh
bagian-bagian tepinya, antara pronotum dan propleura. Terdapat sutura yang
jelas. Larva Compoideiform. Kaki terdiri dari enam ruas dan biasanya memiliki
satu pasang kuku. Imago dan larva biasanya bersifat predator.

*Familia Cicindelidae

Gambar 3.2.2. Familia Cicindelidae

Fase imago Cicindelidae hidup bebas, larvanya hidup dalam tempat


perlindungan dimana dia dapat menangkap mangsa yang lewat. Contoh: Cicindela
sp. Pada siang hari banyak berterbangan di jalan-jalan atau di tempat kering.
Larva Cicindela hidup pada lubang dalam tanah dan siap menangkap
mangsa. Bentuk kepalanya pipih dan bisa digunakan sebagai penutup liang.

18
*Familia Carabidae

Gambar 3.2.3. Familia Carabidae

Fase imago Carabidae berbentuk pipih dengan warna logam dan memiliki
mandibula yang kuat. Larva maupun imago Carabidae merupakan musuh dari
banyak serangga terutama ulat dan kepompongnya. Antena biasanya berbentuk
filiform, ada pula yang moniliform. Carabidae biasanya hidup dalam tanah atu
dekat tanah. Carabidae biasanya aktif pada malam hari (nokturnal), pada siang
hari serangga ini bersembunyi di bawah daun atau di bawah batu ataupun di
bawah batang tanaman. Beberapa spesies yang berwarna terang aktif di siang
hari (diurnal). Larva biasanya hidup sebagai predator, beberapa bersifat
fitofag (pemakan tumbuhan) atau bersifat omnivora. Beberapa serangga
dewasa dan larva dari Familia Carabidae merupakan predator hama yang
penting. Contoh: Calosoma scrutator (fabricius).

2. Sub Ordo Myxophaga

Myxophaga adalah subordo terkecil kedua dari Coleoptera setelah


Archostemata, yang terdiri dari sekitar 65 spesies kumbang kecil di empat Family.
Anggota subordo ini adalah habitat air dan semiaquatic, dan memakan alga.

19
*Familia Hydroscaphidae

Gambar 3.2.4. Familia Hydroscaphidae

Hydroscaphidae Adalah familia paling sedikit dari kumbang air yang


dikenal sebagai kumbang perahu (skiff beetles). Pada tahun 2010, ada 23 spesies
dalam familia ini. Beberapa spesies baru dideskripsikan. Kumbang ini berukuran
kecil, sekitar 2 mm. Mereka berwarna cokelat sampai coklat. Sayapnya dilapisi
dengan setae panjang. Larva berbentuk fusiform, dengan thorax lebar dan perut
yang menyempit

*Familia Lepiceridae

Gambar 3.2.5. Familia Lepiceridae

Lepiceridus adalah genus kumbang myxophagan yang mengandung tiga


spesies yang dideskripsikan dalam familia monotipik Lepiceridae. terdiri dari tiga
spesies,yaitu : Lepicerus bufo, Lepicerus inaequalis, Lepicerus pichilingue.

20
*Familia Sphaeriusidae

Sphaerius adalah genus kumbang, terdiri dari 23 spesies, yang merupakan


satu-satunya anggota familia Sphaeriusidae. Mereka biasanya ditemukan di
sepanjang tepi jembatan dan sungai, di mana mereka makan alga; ditemukan di
semua benua kecuali Antartika. Tiga spesies ditemukan di Amerika Serikat.

3. Sub Ordo Polyphaga

Ciri khas Polyphaga terletak pada coxa (dasar) kaki belakang, yaitu tidak
membagi plat abdominal/ventral pertama dan kedua yang dikenal sebagai sternit.
Juga, tidak mempunyai notopleural suture (biasanya ditemukan di bawah pronotal
shield). Polyphaga terdiri dari 144 familia dalam 16 superfamilia, dan
menunjukkan keragaman luas varietas dalam hal spesialisasi dan adaptasi, dengan
lebih dari 300.000 spesies yang tercatat, atau sekitar 90% seluruh spesies
kumbang yang pernah ditemukan. Beberapa sub familia Diantaranya yaitu
Hydrophiloidea, Staphylinoidea, Scarabaeoidea, Scirtoidea, Dascilloidea,
Buprestoidea, Byrrhoidea, Elatoriedea, Derodontoidea, Bostrichoidea,
Lymexyloidea, Cleroidea, Cucujoidea dll. Berikut penjelasan beberapa sub
familianya;

*Familia Hydrophilidae

Gambar 3.2.6. Familia Hydrophilidae

21
Hydrophilidae adalah famili kumbang air yang memiliki bentuk tubuh
lonjong atau bulat. Sebagian besar spesies yang tergolong familia ini adalah
berukuran kecil, tetapi ada juga yang sangat besar, misalnya sampai 50 mm.
Spesies dalam subfamili Hydrophilinae hidup di air, sedangkan perwakilan dari
subfamili Sphaeridiinae biasanya ditemukan pada tanah, di kotoran, atau sisa-sisa
sayuran. Sebuah fitur yang membedakan dari kumbang pemulung adalah antena
6-9 dan bagian palps maxillar lebih panjang.Hal tersebut yang dirancang untuk
melakukan tugas antena yaitu berbau dan mencicipi. Antena juga digunakan untuk
respirasi. Setelah permukaan udara segar maka antena kemudian akan disimpan.
Di seluruh dunia terdapat lebih dari 2000 spesies yang tergolong familia ini yang
telah dijelaskan dan di Jerman ada 110 spesies yang telah ditemukan. Habitat
hewan ini sebagian besar adalah di air. Subfamily Sphaeridiinae hidup di daerah
terestrial seperti di kotoran, kompos, bangkai, dan bahan organik yang membusuk
lainnya. Makanan famili serangga ini adalah tanaman dan hewan yang telah mati
dan ada pula yang predator. Beberapa spesies yang hidup di darat memakan
berbagai bahan yang telah membusuk dan belatung.

*Familia Scarabaeoidea

Gambar 3.2.7. Familia Scarabaeoidea

Sebagian besar dari mereka digolongkan subfamili Scarabaeinae dan


Aphodiinae dari keluarga Scarabaeidae (kumbang scarab). Karena kebanyakan
spesies Scarabaeinae makanan utamanya pada kotoran, subfamili tersebut sering
dijuluki kumbang kotoran sejati. Ada kumbang penyimpan makanan yang
termasuk dalam keluarga lain, seperti Geotrupidae (kumbang kotoran tanah).
Scarabaeinae sendiri terdiri dari lebih dari 5.000 spesies.

22
*Familia Staphylinidae

Gambar 3.2.8. Familia Staphylinidae

Kumbang penjelajah adalah salah satu familia kumbang (Staphylinidae),


dikenal dengan elytra pendek (penutup sayapnya) yang biasanya lebih dari
separuh perutnya terpapar. Dengan sekitar 63.000 spesies dalam ribuan genera,
kelompok ini saat ini diakui sebagai familia kumbang terbesar yang ada.
sebelumnya, menurut jejak fosil kumbang di Triassic, 200 juta tahun yang lalu,
dan mungkin bahkan lebih awal lagi jika genus Leehermania terbukti menjadi
anggota familia ini. Mereka adalah kelompok kumbang ekologis dan morfologis
yang beragam, dan biasanya ditemui di ekosistem darat.

Kumbang penjelajah hampir ditemukan disetiap jenis habitat kumbang,


Sebagian besar kumbang penjelajah adalah predator serangga dan invertebrata
lainnya, tinggal di serabut daun hutan dan bahan tanaman membusuk. Mereka
juga biasa ditemukan di bawah batu, dan sekitar batas air tawar. Hampir 400
spesies diketahui tinggal di pantai samudra yang terendam air pasang. Spesies lain
telah beradaptasi untuk hidup sebagai inquilines di semut dan koloni rayap, dan
beberapa hidup dalam hubungan mutualistik dengan mamalia dimana mereka
memakan kutu dan parasit lainnya, yang memberi manfaat pada inang. Beberapa
spesies, terutama yang berasal dari genus Aleochara, adalah pemburu bangkai,
atau parasitoid serangga lainnya.

23
4. Sub Ordo Archostemata

Archostemata adalah suborder terkecil dari kumbang , diperkirakan kurang


dari 50 spesies yang dikenal, terbagi dalam lima keluarga. Mereka mirip
morfologi pada kumbang pertama, yang muncul dalam rekaman fosil sekitar 250
juta tahun yang lalu. Antena bisa berbentuk benang (filiform) atau seperti seikat
manik-manik (moniliform). Subordo ini juga mengandung satu-satunya kumbang
paedogenik, Micromalthus debilis. terbagi dalam 5 familia;

*Familia Crowsoniellidae

Crowsoniellidae adalah familia monotipik kumbang, di sub order


Archostemata. Sejauh ini, hanya satu spesies saja, Crowsoniella relicta. disebut
juga dengan sebutan binatang menit (sekitar 1,8 mm (0,071 inci)) yang
dikumpulkan di Italia tengah dari tanah berkapur di dasar pohon kastanye. Tidak
ada spesimen lain yang ditemukan sejak itu.

*Familia Cupedidae

Gambar 3.2.9. Famili Cupedidae

Cupedidae adalah familia kecil dari kumbang, terkenal dengan pola


"jendela" di elytra (forewings) yang keras, yang mana diberi nama umum
kumbang kisi-kisi (reticulated beetles). Kumbang ini cenderung memanjang
dengan bodi sisi sejajar, panjangnya berkisar antara 10 sampai 20 mm, dengan
warna kecoklatan, kehitaman, atau abu-abu. Larva tersebut adalah penggerek
kayu, biasanya tinggal di kayu yang dipenuhi jamur, dan kadang-kadang
ditemukan dalam konstruksi kayu.

24
*Familia Jurodidae

Jurodidae pada awalnya digambarkan dari fosil, namun pada tahun 1996,
satu spesies dari Timur Jauh Rusia, digambarkan sebagai Sikhotealinia zhiltzova,
ditemukan dan kemudian dikenali sebagai perwakilan familia yang tidak punah ini
(sebuah "fosil hidup" ). Sejak saat itu, kumbang ini, yang diketahui hanya dari
satu spesimen tunggal, telah menjadi bahan perdebatan, karena dilaporkan
memiliki tiga ocelli di dahi, suatu kondisi yang tidak diketahui secara keseluruhan
di seluruh ordo Coleoptera, apakah punah atau hidup. umumnya dianggap sebagai
karakter dasar untuk serangga neopteran. Jika benar, spesies ini mungkin
mewakili kumbang hidup yang paling lama. Namun, pihak berwenang lain telah
menantang penafsiran ini, dan selanjutnya menyarankan agar kumbang ini bukan
bagian dari Archostemata. Ini mungkin tidak dapat diselesaikan sampai spesimen
tambahan dikumpulkan, dan tetap dibutuhkan analisis genetika.

*Familia Ommatidae

Gambar 3.2.10. Familia Ommatidae

Ommatidae adalah familia kumbang di sub ordo Archostemata. yang


memiliki karakteristik paling tua. Spesies yang masih bertahan dari kelompok
hanya ditemukan di Australia dan Amerika Selatan, namun distribusi geografisnya
jauh lebih luas selama mesozoik. Sejauh ini, 13 genera yang bertahan yang
diperkirakan lebih dari 100 spesies kumbang ini telah dideskripsikan. Dua genera
yang masih ada digabungkan ke familia ini adalah: Omma dan Tetraphalerus

*Familia Micromalthidae

Micromalthidae Kumbangnya memanjang, berdiameter 1,5 sampai 2,5


mm, dan warna coklat tua sampai kehitam-hitaman, dengan kaki dan antena
berwarna kecoklatan. Kepala lebih besar dari dada, dengan mata besar menonjol

25
dari kedua sisinya. Larva tersebut adalah penggerek kayu yang memakan kayu
kastang dan kayu ek yang lembab dan membusuk. Mereka juga telah dilaporkan
menyebabkan kerusakan pada bangunan dan tiang. Siklus hidup tidak biasa karena
tahap larva cerambycoid dapat berkembang menjadi induk dewasa, atau
melahirkan larva caraboid. Spesies ini telah menyebar ke berbagai belahan dunia
oleh perdagangan manusia, mungkin di kayu.

3.3. Morfologi dan Fisiologi ordo coleoptera

Gambar 3.3.1. Morfologi Ordo Coleoptera

Morfologi Ordo Coleoptera terdiri atas :

-Kumbang memiliki sayap depan yang keras, tebal dan merupakan penutup bagi
sayap belakang dan tubuhnya. Sayap depan disebut elitron. Ketika terbang sayap
depan kumbang tidak berfungsi hanya sayap belakang yang digunakan untuk
terbang. Sayap belakang berupa selaputdan pada waktu istirahat dilipat dibawah
elitra.

-Tipe alat mulut kumbang yaitu tipe penggigit dan pengunyah, kumbang juga
memiliki kepala yang bebas dan kadang memanjang ke depan atau ke bawah
sehingga berubah menjadi moncong.

26
-Kumbang memiliki mata majemuk (facet) besar, tanpa mata tunggal (ocellus).
Abdomen memiliki 10 ruas dan pada daerah sternum ruas-ruas ersebut tidak
semua terlihat.

-Pada kumbang jantan, protoraks dan mandibula kerapkali membesar dan


digunakan unuk berkelahi

Fisiologi Ordo Coleoptera terdiri atas :

*Sistem Pernapasan pada Ordo Coleoptera

Pada umumnya pernapasan pada insekta adalah sama. Insekta bernapas


dengan system trakea yang berupa tabung bercabang yang dilapisi kitin. Oksigen
masuk secara langsung dari trakea ke sel-sel tubuh. Sistem trakea membuka ke
bagian luar tubuh melalui spirakel, yaitu pori-pori yang dapat membuka dan
menutup untuk mengatur aliran udara dan membatasi hilangnya air.

Aliran udara pernapasan : oksigen masuk melalui spirakel menuju trakea.


Selanjutnya menuju trakeolus dan terjadi pertukaran gas dengan sel tubuh.
Mekanisme pernapasan : bila otot perut berkontraksi, trakea memipih sehingga
udara kaya CO2 dari dalam tubuh keluar. Bila otot perut relaksasi, trakea ke posisi
semula dan udara luar kaya O2 akan masuk melalui spirakel.

*Sistem Pencernaan Pada Ordo Coleoptera

Pada umumnya sistem pencernaan pada Insekta adalah sama. Insekta


memiliki system pencernaan yang lengkap dan organ yang jelas untuk
perombakan makanan dan penyerapan zat-zat makanan yaitu mulut, esophagus,
lambung, usus, dan anus. Mulutnya digunakan untuk mengunyah.

*Sistem Ekskresi Pada Ordo Coleoptera

Sistem pengeluaran insekta berupa tubulus malphigi yang melekat pada


bagian posterior saluran pencernaan.

27
*Sistem Sirkulasi pada Ordo Coleoptera

Sistem sirkulasi insekta berupa sistem sirkulasi terbuka dengan organ


sebuah jantung pembuluh yang berfungsi mempompa hemolimfa melalui sinus
homosol (rongga tubuh). Sistem peredaran terbuka (jantung, pembuluh pendek,
sinus / hemosol, hemolimfe) artinya darah beredar di luar pembuluh sehingga
darah bergerak bebas dari hempasan jantung keluar jantung ke sel seluruh tubuh
dan kembali ke jantung dengan tekanan otot tubuh. Darah hanya membawa Sari
makanan tanpa Oksigen karena O2 bisa langsung akses ke sel tubuh karena
dialirkan ke Tracheo hingga ke sel. Darah tidak berwarna merah karena tidak
mempunyai Hb karena memang tidak diperlukan. Darah tak mengandung
hemoglobin (Hb) sehingga tidak mengangkut oksigen atau karbondioksida tetapi
hanya berfungsi mengangkut makanan.

e. Sistem Saraf Pada Ordo Coleoptera

Sistem saraf insekta terdiri dari pasangan tali saraf ventral dengan
beberapa ganglia segmental. Beberapa segmen ganglia anterior menyatu
membentuk otak yang terletak dekat dengan anten, mata, dan organ indera lain
yang terpusat dikepala.

f. Sistem Reproduksi pada Ordo Coleoptera

Sebagian besar serangga membiak secara seksual, bagian yang lain secara
aseksual atau partenogenetik. Sistem reproduksi jantan berfungsi memproduksi
dan menyampaikan atau mengantarkan spermatozoa. Sistem reproduksi betina
berfungsi memproduksi dan menyimpan telur, menyimpan spermatozoa, sebagai
tempat pembuahan, dan meletakkan telur atau melahirkan larva atau nimfa.

28
3.4. Ciri-Ciri Ordo Coleoptera

Memiliki dua pasang sayap, yaitu sayap depan dan sayap belakang. Sayap
depan tebal dan permukaan luarnya halus yang mengandung zat tanduk sehingga
disebut elytra, sedangkan sayap belakang tipis seperti selaput.

Apabila istirahat, elytra seolah-olah terbagi menjadi dua (terbelah tepat di


tengah-tengah bagian dorsal). Sayap belakang membranus dan jika sedang
istirahat melipat di bawah sayap depan.

Mengalami metamorfosis sempurna. Metamorfose bertipe sempurna


(holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur —> larva —>
kepompong (pupa) —> dewasa (imago). Larva umumnya memiliki kaki thoracal
(tipe oligopoda), namun ada beberapa yang tidak berkaki (apoda). Kepompong
tidak memerlukan pakan dari luar (istirahat) dan bertipe bebas/libera.

Tipe mulut menggigit. Alat mulut bertipe penggigit-pengunyah, umumnya


mandibula berkembang dengan baik. Pada beberapa jenis, khususnya dari suku
Curculionidae alat mulutnya terbentuk pada moncong yang terbentuk di depan
kepala.

Beberapa contoh : Kumbang kelapa / kumbang badak / kumbang tanduk (Oryctes


rhinoceros)

Gambar 3.4.1. Kumbang kelapa/badak/tanduk

29
Kingdom Animalia
Filum Arthropoda
Kelas Insecta
Ordo Coleoptera
Famili Scarabaeidae
Genus Oryctes
Spesies : Oryctes rhinoceros L.
Tabel 3.4.1. Klasifikasi Kumbang Kelapa

*Kutu gabah (Rhyzoperta dominica)

Gambar 3.4.2. Kutu gabah

Kingdom Animalia
Filum Antropoda
Kelas insecta
Ordo Coleoptera
Family Brostrichidae
Genus Rhyzoperta
Spesies : Rhyzoperta dominica
Tabel 3.4.2. Klasifikasi Kutu Gabah

Ciri-ciri specimen : memiliki 2 pasang tungkai, berwarna coklat kemerahan, pada


kepala ada semacam duri-duri kecil

Komoditas yang diserang : gabah padi

Gejala yang ditimbulkan : biji menjadi lubang atau berlubang, terdapat


serbuk pada padi akibat gigitannya

30
*Kumbang janur kelapa (Brontispa longissima Gestr)

Kingdom Animalia
Filum Arthropoda
Kelas Hexapoda
Ordo Coleoptera
Famili Chrysomelidae
Genus Brontispa
Spesies Longissima
Tabel 3.4.3. Klasifikasi Kumbang Janur Kelapa

*Kutu beras (Sitophilus oryzae)

Kingdom Animalia
Filum Antropoda
Kelas Insecta
Ordo Coleoptera
Family Cureulionidae
Genus Sitophilus
Spesies Sitophilus oryzae
Tabel 3.4.4. Klasifikasi Kutu Beras

Ciri-ciri specimen : memiliki moncong, terdapat elytra diatas


abdomen, panjang tubuh dewasa 3,15-5 mm, dewasa
berwarna coklat dan tua menjadi hitam.

Komoditas yang diserang : Beras

Gejala yang ditimbulkan : Biji menjadi berlubang terdapat serabut setelah


terjadi gigitan hama tersebut, biji menjadi terpotong-potong

31
3.5. Gejala Serangan Hama Coleoptera

Kumbang mengebor pucuk tanaman dan biasanya juga merusak bagian


daun muda yang belum terbuka sehingga pada waktu daun terbuka akan terlihat
bekas pemotongan yang simetris berbentuk segi tiga atau seperti huruf V,
sehingga pertumbuhanya terhambat dan lama kelamaan akan mati. Kumbang
tanduk (Coleoptera: Scarabaeidae) merupakan hama yang utama menyerang
tanaman kelapa sawit di Indonesia, khususnya di areal peremajaan kelapa sawit,
menggerek pucuk kelapa sawit yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan
dan rusaknya titik tumbuh sehingga mematikan tanaman. Kumbang ini berukuran
40-50 mm, berwarna coklat kehitaman, pada bagian kepala terdapat tanduk kecil.
Pada ujung perut yang betina terdapat bulu-bulu halus, sedang pada yang jantan
tidak berbulu. Kumbang menggerek pupus yang belum terbuka mulai dari pangkal
pelepah, terutama pada tanaman muda diareal peremajaan.

Kumbang dewasa terbang ke tajuk kelapa pada malam hari dan mulai
bergerak ke bagian salah satu ketiak pelepah daun paling atas. Kumbang merusak
pelepah daun yang belum terbuka dan dapat menyebabkan pelepah patah.
Kerusakan pada tanaman baru terlihat jelas setelah daun membuka 1-2 bulan
kemudian berupa guntingan segitiga seperti huruf ”V”. Gejala ini merupakan ciri
khas kumbang O. rhinoceros (Purba, dkk. 2008). Serangan hama O. rhinoceros
dapat menurunkan produksi tandan buah segar pada panen tahun pertama hingga
60 % dan menimbulkan kematian tanaman muda hingga 25 % (Pusat Penelitian
Kelapa Sawit, 2009)

Oryctes Rhinoceros menyerang tanaman kelapa yang masih muda maupun


yang sudah dewasa. Satu serangan kemungkinan bertambah serangan berikutnya.
Tanaman tertentu lebih sering diserang. Tanaman yang sama dapat diserang oleh
satu atau lebih kumbang sedangkan tanaman di dekatnya mungkin tidak diserang..
Kumbang dewasa terbang ke pucuk pada malam hari, dan mulai bergerak ke
bagian dalam melalui salah satu ketiak pelepah bagian atas pucuk. Biasanya
ketiak pelepah ketiga, keempat, kelima dari pucuk merupakan tempat masuk yang
paling disukai. Setelah kumbang menggerek kedalam batang tanaman, kumbang
akan memakan pelepah daun mudah yang sedang berkembang. Karena kumbang

32
memakan daun yang masih terlipat, maka bekas gigitan akan menyebabkan daun
seakan-akan tergunting yang baru jelas terlihat setelah daun membuka. Bentuk
guntingan ini merupakan ciri khas serangan kumbang kelapa Oryctes (Anonim,
1989).

Serangan kumbang janur biasanya terjadi pada pelepah daun yang masih
muda. Kumbang mulai menyerang pucuk melalui jalan masuk pelepah muda yang
belum terbuka penuh. Larva dan imago Brontispa longissima memakan
permukaan dalam janur kelapa yang belum membuka, menimbulkan bercak-
bercak berwarna coklat memanjang dan menyatu sehingga janur kelapa menjadi
keriput seperti terbakar. Kumbang betina akan bertelur dan menghasilkan larva,
kemudian larva berkembang menjadi pupa dan imago. Seluruh tahap
perkembangan hama tersebut dapat ditemukan di satu tanaman. Kumbang dan
larva merupakan tahap perkembangan hama yang merusak. Gejala serangan yang
ditimbulkan oleh kumbang sama dengan gejala yang dihasilkan akibat gerekan
larva. Hama ini tidak menyukai cahaya sehingga pada saat daun terbuka, larva dan
imago akan berpindah menyerang daun yang lebih muda. Pada serangan berat
anak daun tidak membuka sempurna, asimilasi daun terhambat, buah mudah
gugur, dan dapat mematikan tanaman.

Serangan hama kumbang janur atau Brontispa longissima sendiri dapat


dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor dari dalam dari hama itu
sendiri dan faktor luar seperti iklim, makanan dan hayati. Peningkatan populasi
hama Brontispa longissima biasanya sering terjadi pada waktu musim kering jika
dibandingkan dengan musim penghujan. Hal ini disebabkan karena kecepatan
melangsungkan siklus hidup hama Brontispa longissima tersebut terjadi lebih
cepat pada musim kemarau. Faktor lainnya adalah pada musim penghujan, banyak
hama yang mati karena serangan musuh alami khususnya entomopatogen.

Hama kumbang janur ini merupakan jenis hama yang tidak menyukai
cahaya, sehingga habitatnya sangat menyukai daun muda yang belum terbuka.
Karakter ini membuat hama Brontispa longissima ini sangat sulit untuk dideteksi
keberadaannya oleh petani atau yang belum mengetahui tentang hama ini
sehingga hama bisa berkembang biak dengan leluasa menghasilkan populasi

33
dalam jumlah besar. Musuh alamipun tidak dengan mudah bisa menyerang hama
yang berada di dalam lipatan pinak daun apalagi lipatan yang masih berlekatan
erat satu dengan lainnya.

3.6. Peranan Ordo Coleoptera

Contoh peranan ordo coleoptera adalah kumbang kelapa (Orytec


rhynoceros) menyerang pucuk kelapa, pakis, sagu, kelapa sawit dan lain-lain. kutu
beras Merusak bahan makanan yang disimpan (tepung kedelai). kutu gabah
menyerang gabah Kumbang janur kelapa menyerang pada daun janur kelapa.

Peran fungsional Coleoptera dikelompokan menjadi 4 kelompok, yaitu


predator, herbivora, mycophagus (pemakan fungi), dan detritivor (pemakan bahan
organik dan scavenger). Pemerangkapan Coleoptera berdasarkan peran
memperlihatkan bahwa masing-masing umur reklamasi memiliki proporsi dan
komposisi peran fungsional yang berbeda. Pada lahan reklamasi umur 10 tahun
dan hutan, Coleoptera predator meningkat dari segi jenis terutama dari Famili
Staphilinidae. Kelimpahan Coleoptera hebivora walau tidak berbeda nyata antar
umur reklamasi, kelimpahannya meningkat pada lahan reklamasi berumur 6
hingga 8 tahun. Kumbang yang habitatnya di semak-semak atau cover-crop,
seperti Famili Chrysomelidae dan Coccinellidae banyak ditemukan di umur
reklamasi tersebut. Selain itu, juga ditemukan juga Famili Budprestidae yang
habitatnya pada pohon kayu juga ditemukan di reklamasi umur 6 tahun dan 8
tahun. Namun, pada reklamasi umur 10 tahun Coleoptera herbivora kembali
rendah karena predator kembali melimpah.

3.7. Pengendalian Hama Kumbang

Pengendalian kumbang tanduk secara terpadu selalu memberikan hasil


pengendalian yang terbaik dan dalam waktu yang relative singkat, dapat
menurunkan populasi kumbang tanduk di perkebunan Kelapa Sawit. Syarat
dilaksanakannya pengendalian terpadu adalah dilaksanakannya berbagai macam

34
cara pengendalian pada satuan luas perkebunan kelapa sawit pada saat yang
bersamaan. Beberapa cara pengendalian tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan Insektisida Marshal 5 G

Marshal 5 G merupakan insektisida sistemik yang mengandung bahan


aktif Karbosulfan 5 % sangat efektif mengendalikan kumbang tanduk (Oryctes
rhinoceros) dan telah mendapatkan rekomendasi dari Pusat Penelitian Kelapa
Sawit. Penggunaan Marshal 5 G sangat dianjurkan untuk melaksanakan
pencegahan sebelum kumbang tanduk (oryctes rhinoceros) menyerang. Dosis
penggunaanya dengan cara ditabur di bagian pucuk tanaman dengan dosis 9 – 15
gr/pucuk/pangkal pelepah muda dengan interval 3 minggu s/d 1 bulan. Marshal 5
G selain dapat meracuni kumbang tanduk yang memakan bagian pucuk yang telah
di beri perlakuan juga dapat mencegah serangan disebabkan bahan aktif Marshal 5
G juga dapat mengeluarkan uap yang dapat mencegah terjadinya serangan.
Keunggulan Marshal 5 G antara lain :

*Bahan aktif marshal 5 G bersifat kontak dan sistemik, sehingga dapat lebih cepat
mengendalikan kumbang tanduk.

*Ramah lingkungan dan selektif terhadap hama sasarandan tidak membunuh


musuh alami hama.

*Formula ampuh Marshal 5 G dengan dosis 9 – 15 gr/pohon dapat mengurangi


serangan kumbang tanduk hingga 80 % dalam waktu 4 – 8 Minggu.

2. Penggunaan Insektisida Hayati

Ada dua Insektisida hayati yang sangat efektif mengendalikan larva


kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros) diantaranya adalah :

*Metarizeb (Metarhizium anishopliae)

*BT- Plus (Bio Insektisida dan Bio Nematisida)

Metarizeb adalah insektisida hayati berbentuk tablet yang bisa dilarutkan


dalam air berbahan aktif jamur Metarizhium anisophale yang sangat efektif

35
mengendalikan kumbang tanduk pada stadium Larva. Metarizeb selain
mengandung jamur metarizium anishopale juga mengandung berbagai bahan aktif
diantaranya adalah:

*Bacillus thuringiensis.

*Beuvaria Basianna.

*Cordicep sp.

Metarizeb dapat mengendalikan kumbang tanduk dengan cara


menginveksi larva sehingga larva tidak dapat berkembang ke instar berikutnya.
Infeksi terjadi setelah terjadi kontak antara bahan aktif metarizeb dengan larva.
Waktu yang dibutuhkan mulai infeksi sampai kematian larva berkisar 3 s/d 4
minggu. Larva yang terinfeksi terlihat di penuhi miselia dari jamur metarizhium
anisophale.

BT-Plus adalah bio insektisida dan bio nematisida berbentuk serbuk


tepung yang memiliki efek ganda dalam menginfeksi hama, karena memiliki
kandungan dua jenis bakteri yaitu: Serratia marcescens dan Bacillus thuringiensis.
Setiap 50 gr (1 bks) BT-Plus mengandung 107 – 109 CFU/gram yang terdiri dari :
bakteri merah Serratia marcescens yang bersifat kontak dan Bacillus thuringiensis
sebagai penghasil racun pencernaan. Dengan demikian, BT-Plus dapat
menginfeksi hama dengan 2 cara yakni secara kontak dan melalui racun
pencernaan.

Bakteri Merah Serratia marcescens adalah entomopatogen kontak yang


bersifat fakultatif aerob dan memiliki kemampuan untuk hidup pada keadaan
ekstrim (lingkungan terkena antiseptik, desinfektant dan air destilasi), serta
menghasilkan enzym hydrolitik yang bersifat toksin. Bakteri Merah Serratia
marcescens masih dapat hidup dan berkembang dengan baik pada kedalaman 1
meter dari permukaan tanah. Hal ini dapat membuat Bakteri Merah Serratia
marcescens juga dapat menginfeksi ulat tanah dan nematoda.

36
Aplikasi insektisida hayati difokuskan untuk mengendalikan larva
kumbang tanduk yang keberadaannya terkonsentrasi utamanya di bawah
rumpukan – rumpukan di antara barisan tanaman sawit, terutama pada rumpukan
rumpukan yang masih relatif baru yang usianya masih dibawah 2 tahun. Kondisi
bawah rumpukan yang dingin dan lembab dan relatif terlindung menjadi tempat
yang sesuai bagi kumbang tanduk untuk bermetamorfosa. Populasi Larva
kumbang tanduk biasanya cukup banyak pada rumpukan ex vegetasi pohon
Nipah, berdasarkan hasil pengamatan dilapangan di beberapa perkebunan kelapa
sawit, populasi larva kumbang tanduk sangat tinggi di rumpukan lahan ex vegetasi
nipah. Sehingga problem utama perkebunan kelapa sawit yang vegetasi awalnya
pohon Nipah adalah tingkat serangan hama kumbang tanduk pada TBM relatif
tinggi.

Cara aplikasi insektisida hayati Metarizeb dan BT-Plus adalah dengan cara
injeksi rumpukan menggunakan nosel injeksi (Nosel khusus) pada kedua sisi
rumpukan dengan jarak masing masing injeksi 3 meter. Injeksi dilakukan selama
4 detik setara dengan 300 ml larutan (perlu kalibrasi ulang di Lapangan). Bila
menggunakan Knapsack Sprayer dengan kapasitas 15 liter maka 1 sprayer akan
bisa menghasilkan (15.000/300) = 50 injeksi. Untuk 1 jalur rumpukan sepanjang
300 meter total injeksi yang diperlukan [(300/3)x2] = 200 injeksi setara dengan 4
Knapsack Sprayer.Penyemprotan dan Injeksi Rumpukan BT-Plus dan Metarizeb
dimaksudkan untuk mengendalikan larva kumbang tanduk dan berdasarkan
pengamatan lapangan mortalitas larva akan semakin meningkat dimulai pada 2
Bulan setelah aplikasi (BSA) s/d 6 BSA.

3. Penggunaan Feromonas (Feromone Sex)

Feromonas adalah senyawa kimia berbahan aktif Ethyl 4-Methyloctanoate


yang dapat mengeluarkan aroma khusus sedemikian sehingga dapat mengundang
imago/kumbang dewasa untuk terbang mendekati sumber aroma yang
membangkitkan gairah sex kumbang tanduk. Imago kumbang tanduk yang berada
di sekitar feromonas akan segera berdatangan.

37
Feromonas dilapangan di pasang pada Ferotrap (Perangkap) dan di
letakkan di lapangan pada tiang gantungan khusus dengan ketinggian berkisar 1,5
– 2,0 meter di atas permukaan tanah. Pemasangan ferotrap utamanya dilakukan
untuk upaya pencegahan terhadap serangan kumbang tanduk. Hanya saja yang
sering terjadi di lapangan, ferotrap baru dipasang setelah tingkat serangan
kumbang tanduk berada pada tingkatan yang sudah sangat tinggi.

Ferotrap di pasang pada gawangan mati dan setiap 1 ferotrap dapat


mengcover 2 s/d 5 hektar. Pada tingkat pencegahan, pemasangan ferotrap di
laksanakan di tepian luar batas kebun dengan kerapatan 1 ferotrap setiap 5 hektar
lahan. Sedangkan pada tingkat serangan yang tinggi, pemasangan ferotrap
dilakukan dengan kerapatan 1 ferotrap setiap 2 hektar lahan. Feromonas di pasang
di setiap ferotrap dan mampu bertahan selama 2 – 3 bulan.

4. Pemasangan Jaring

Jaring yang terbuat dari bahan monofilamen sangat berguna untuk


pengendalian kumbang tanduk. Pemasangan jaring dilakukan bisa sebagai pagar
individu dan juga sebagai pagar di batas luar kebun. Individu di setiap tanaman
kelapa sawit, ongkos pasangnya lebih mahal dari harga bahan. Pemasangan jaring
sebagai pagar individu dimaksudkan untuk melindungi tanaman kelapa sawit dari
serangan kumbang tanduk. Upaya ini dapat melindungi tanaman dari serangan
kumbang, pemasangan jaring sebagai pagar di luar tapal batas kebun dapat
dilaksanakan untuk mencegah masuknya hama kumbang tanduk dari wilayah luar.
Jaring di pasang dengan batas bawahnya berada 1 meter di atas permukaan tanah.
Pemasangan jaring pagar ternyata juga ada kendalanya. Selain bisa menangkap
kumbang tanduk juga bisa menangkap kalelawar sehingga dapat merusak jaring.

38
3.8. Spesies Terbaru Ordo Coleoptera

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Class : Insecta

Ordo : Coleoptera

Sub ordo : Polyphaga Gambar 3.8.1. Spesies Terbaru Coleoptera

Familia : Stapilinidae

Genus : Paederini

Spesies :Paederus Sp.

Serangga Paederus Sp (tomcat) memiliki badan berwarna oranye dengan


bagian bawah perut (abdomen) dan kepala berwarna gelap. Bila merasa terancam
akan menaikkan bagian perut sehingga nampak seperti kalajengking. Ada 622
spesies yang menyebar di seluruh dunia. Spesies di Indonesia yang menyebabkan
dermatitis adalah Paederus peregrine.

Biasanya, setelah 24-48 jam akan muncul gelembung pada kulit dengan
sekitar berwarna merah (erythemato-bullous lession) yang menyerupai lesi akibat
terkena air panas atau luka bakar. Pada kasus yang jarang tidak menimbulkan
gejala kulit yang berarti. “Kulit yang terkena racun paederin (biasanya daerah
kulit yang terbuka) dalam waktu singkat akan terasa panas”, Perlu dipastikan
bahwa tidak ada riwayat terkena bahan kimia atau luka bakar. Lesi pada mata
menyebabkan periorbital conjunctivitis atau keratoconjunctivitis dan dikenal
dengan Naerobi’s Eye. Dermatitis terjadi bila bersentuhan secara langsung dengan
serangga ini, atau secara tidak langsung, misalkan melalui handuk, baju atau
barang lain yang tercemar racun paederin

39
IV. PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Coleoptera adalah insekta yang bersayap perisai, ordo coleoptera sayap


depan menanduk, sayap belakang membranaceus dan melipat dibawah sayap
depan saat tidak digunakan. Anggota-anggotanya ada yang bertindak sebagai
hama tanaman, namun ada juga yang bertindak sebagai predator (pemangsa) bagi
serangga lain. Anggota-anggotanya ada yang bertindak sebagai hama tanaman,
namun ada juga yang bertindak sebagai predator (pemangsa) bagi serangga lain.
Ordo Coleoptera adalah ordo yang terbesar dari serangga dengan sekitar 40% dari
spesies heksapoda yang diketahui. Lebih dari seperempat juta spesies kumbang
sudah dideskripsikan dan 30.000 terdapat di Amerika dan Canada. Sangat
beragam dari segi ukuran mulai dari 75 mm di Amerika sampai 125 mm di
daerah Tropis.Morfologi ordo coleoptera yaitu kumbang memiliki sayap depan
yang keras, tebal dan merupakan penutup bagi sayap belakang dan tubuhnya.
Sayap depan disebut elitron. Ketika terbang sayap depan kumbang tidak berfungsi
hanya sayap belakang yang digunakan untuk terbang. Sayap belakang berupa
selaput dan pada waktu istirahat dilipat dibawah elitra. Tipe alat mulut kumbang
yaitu tipe penggigit dan pengunyah, kumbang juga memiliki kepala yang bebas
dan kadang memanjang ke depan atau ke bawah sehingga berubah menjadi
moncong.

Pengendalian hama kumbang dapat dilakukan dengan cara, penggunaan


Insektisida Marshal 5G, Penggunaan Insektisida Hayati, aplikasi insektisida hayati
difokuskan untuk mengendalikan larva kumbang tanduk yang keberadaannya
terkonsentrasi utamanya di bawah rumpukan – rumpukan di antara barisan
tanaman sawit, Penggunaan Feromonas (Feromone Sex) yang dapat mengeluarkan
aroma khusus sedemikian sehingga dapat mengundang imago/kumbang dewasa
untuk terbang mendekati sumber aroma yang membangkitkan gairah sex kumbang
tanduk. Pemasangan Jaring yang terbuat dari bahan monofilamen Pemasangan
jaring sebagai untuk melindungi tanaman kelapa sawit dari serangan kumbang
tanduk.

40
DAFTAR PUSTAKA

Nurik, Ade. 2013. Makalah Entomologi : Ordo Coleoptera. Dikutip dari


adenurik.bolgspot.com/2013/07/makalah-entomologi-ordo-coleoptera.html.
(Diakses pada tanggal 15 September 2019 jam 08.30 WIB)

Dinarwika, Primastya. 2014. Identifikasi morfologi phyllotreta spp. (Coleoptera :


Chrysomelidae) pada tanaman sayuran di Trawas, Mojokerto. Jurnal HPT.
Vol 2, No.2, 47-57.

Falahudin, Irham. 2015. Identifikasi serangga ordo coleopteran pada tanaman


mentimin (Cucumis Sativus L) di desa Tirta Mulya kecamatan Makarti Jaya
kabupaten Banyuasin II. Jurnal Biota. Vol 1, No.2. Edisi Agustus 2015, 9-
15.

Munayya, Muna. 2012. Laporan Praktikum Sistematika Hewan Invertebrata Ordo


Coleoptera. Dikutip dari http://siemunayya.blogspot.com/. (Di akses pada
tanggal 15 September 2019 jam 09.15 WIB).

Perundangan pertanian. 1995. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6


Tahun 1995 Tentang Perlindungan Tanaman. Dikutip dari
perundangan.pertanian.go.id/admin/p_pemerintah/PP-06-95.pdf. (Diakses
pada tanggal 20 Oktober 2019 jam 14.00 WIB)

Pratama, Zulian. 2013. Ordo Coleoptera (Tomcat) (Entomologi). Dikutip dari


http://prachzpratama2.blogspot.com/2013/04/makalah-ordo-coleoptera-
tomcat.html. (Di akses pada tanggal 15 September 2019 jam 08.00 WIB)

Rahayu, Gilang Aditya. 2017. Keanekaragaman dan peran fungsional serangga


ordo coleopteran di area reklamasi pascatambang batu bara di Berau,
Kalimantan Timur. Jurnal Entomologi Indonesia. Vol 14, No.2, 97-106.

Rahmank James. 2017. Ordo coleopter; anggota subordo coleopteran; dan familia
coleoptera. Dikutip dari petanibangga.blogspot.com/2017/12/ordo-

41
coleoptera-anggota-sub-ordo.html. (Diakses pada tanggal 15 September
2019 jam 09.00 WIB).

Riyanto. 2016. Keanekaragaman dan kelimpahan serangga ordo coleopteradi


tepian sungai musi kota Palembang sebagai sumbangan materi pada mata
kuliah entomologi di pendidikan biologi fkip Universitas Sriwijaya. Jurnal
Pembelajaran Biologi. Vol 3, No.1, 88-100.

Samana Putra, Gilang. 2017. Laporan Resmi Praktikum Pengendalian Hama.


Dikutip dari https://docplayer.info/72896177-Laporan-resmi-praktikum-
pengendalian-hama-dan-penyakit-pengenalan-organisme-penggangu-
tanaman.html (Diakses pada tanggal 15 September 2019 jam 08.52 WIB).

42
Lampiran 1

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1995 TENTANG


PERLINDUNGAN TANAMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa tingkat produksi budidaya tanaman yang mantap sangat


menentukan bagi keberhasilan usaha tani, sehingga segala bentuk kerugian
yang dapat menurunkan tingkat produksi budidaya tanaman perlu dicegah
atau ditekan serendah mungkin;

b. bahwa serangan organisme pengganggu tumbuhan terhadap


tanaman dapat menimbulkan kerugian yang dapat mengganggu tingkat
produksi budidaya tanaman, sehingga perlu ditempuh berbagai upaya
untuk melindungi tanaman dari serangan organisme pengganggu
tumbuhan;

c. bahwa upaya yang ditempuh untuk melindungi tanaman dari


serangan organisme pengganggu tumbuhan harus dilakukan secara efektif
dan aman agar tidak membahayakan keselamatan manusia, kemampuan
sumberdaya alam maupun pelestarianlingkungan hidup, serta dapat
mempertahankan dan meningkatkan produksi budidaya tanaman;

d. bahwa berdasarkan hal-hal di atas dan sesuai dengan Pasal 27


dan Pasal 42 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman, dipandang perlu mengatur perlindungan tanaman
dengan Peraturan Pemerintah;

Mengingat : 1.Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2.Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan


Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2918);

3.Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang


Ketentuanketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran

43
Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3215);

4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi


Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun
1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);

5. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem


Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3478);

6. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina


Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482);

7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan


(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3495);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan


Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida (Lembaran Negara
Tahun 1973 Nomor 12);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


TENTANG PERLINDUNGAN TANAMAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Perlindungan tanaman adalah segala upaya untuk mencegah kerugian pada


budidaya tanaman yang diakibatkan oleh organisme pengganggu tumbuhan;

44
2. Organisme pengganggu tumbuhan adalah semua organisme yang
dapatmerusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan;

3. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan makhluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lainnya;

4. Eradikasi adalah tindakan pemusnahan terhadaptanaman, organisme


pengganggu tumbuhan, dan benda lain yang menyebabkan tersebarnya organisme
pengganggu tumbuhan di lokasi tertentu.

5. Pestisida adalah zat atau senyawa kimia, zat pengatur tumbuh danperangsang
tumbuh, bahan lain, serta organisme renik atau virus yang digunakan untuk
melakukan perlindungan tanaman;

6. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang budidaya tanaman.

Pasal 2

(1) Perlindungan tanaman dilaksanakan pada masa pra tanam, masa pertumbuhan
tanaman, dan atau masa pasca panen.

(2) Perlindungan tanaman pada masa pra tanam sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan sejak penyiapan lahan atau media tumbuh lainnya sampai
dengan penanaman.

(3) Perlindungan tanaman pada masa pertumbuhan tanaman sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sejakpenanaman sampai dengan panen.

(4) Perlindungan tanaman pada masa pasca panen sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan sejak sesudah panen sampai dengan hasilnya siap
dipasarkan.

45
Pasal 3

(1) Perlindungan tanaman dilaksanakan melalui sistem pengendalian hama


terpadu.

(2) Perlindungan tanaman sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan


melalui: a. pencegahan masuknya organisme pengganggu tumbuhan ke dalam dan
tersebarnya dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik
Indonesia.

b. Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan;

c. Eradikasi organisme pengganggu tumbuhan.

Pasal 4

Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan menggunakan sarana dan cara yang


tidak mengganggu kesehatan dan atau mengancam keselamatanmanusia,
menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya alam dan atau lingkungan
hidup.

BAB II

PENCEGAHAN PENYEBARAN

ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN

Pasal 5

(1) Pencegahan masuknya ke dalam atau tersebarnya organisme pengganggu


tumbuhan dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, dilaksanakan dengan cara
mengenakan tindakan karantina setiap media pembawa organisme pengganggu
tumbuhan yang dimasukkan ke dalam atau dikirim dari suatu area ke area lain di
dalamwilayah negara Republik Indonesia.

46
(2) Pemasukan mediapembawa organisme pengganggu tumbuhan karantina baik
berupatumbuhan maupun bagian-bagian tumbuhan ke dalam wilayah negara
Republik Indonesia wajib: a. dilengkapi sertifikat kesehatan dari negara asal dan
negara transit; b. dilakukan melalui tempat-tempat pemasukan yang telah
ditetapkan; c. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat-
tempat pemasukan untuk keperluan tindakan karantina.

(3) Pengiriman media organisme pengganggu tumbuhan karantina baikberupa


tumbuhanmaupun bagian-bagian tumbuhan dari suatu area ke arealain di dalam
wilayah negara Republik Indonesia wajib: a. dilengkapi sertifikat kesehatan dari
area asal; b. dilakukan melalui tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran yang
telah ditetapkan; c. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat-
tempat pemasukan dan pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina.

(4) Jenis organisme pengganggu tumbuhan karantina, tempat serta tata cara
pemasukan dan atau pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat
(3) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 6

(1) Tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) berupa: a.
pemeriksaan; b. pengasingan; c. pengamatan; d. perlakuan; e. penahanan; f.
penolakan; g. pemusnahan; h. pembebasan.

(2) Tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang karantina
tumbuhan.

Pasal 7

(1) Dalam hal ditemukan atau terdapat petunjuk terjadinya serangan organisme
pengganggu tumbuhan karantina di suatu area tertentu, Menteri dapat menetapkan
area yang bersangkutan untuk sementara waktu sebagai kawasankarantina.

(2) Pemasukan atau pengeluaran media pembawa organisme pengganggu


tumbuhan karantina baik berupa tumbuhan atau bagian-bagian dari tumbuhan ke

47
dalam dan dari kawasan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (3).

BAB III

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN

Pasal 8

Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan dilaksanakan dengan memadukan


satu atau lebih teknis pengendalian yang dikembangkan dalam satu kesatuan.

Pasal 9

(1) Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan dilaksanakan melalui tindakan


pemantauan dan pengamatan terhadap organisme pengganggu tumbuhan dan
faktor yang mempengaruhi perkembangan serta kerkiraaan serangan organisme
pengganggu tumbuhan.

(2) Apabila dari hasil pemantauan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1)diperkirakan akan timbul kerugian, maka dilakukan tindakan pengendalian
terhadap organisme pengganggu tumbuhan dengan memperhatikan faktor ekologi,
sosial dan efisiensi,

Pasal 10

(1) Tindakan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan baik


dalam rangka pencegahan maupun penanggulangan organisme pengganggu
tumbuhan.

(2) Tindakan pengendalian organisme pengganggu tumbuhan dilaksanakan


dengan: a. cara fisik, melalui pemanfaatan unsur fisika tertentu; b. cara mekanik,
melalui penggunaan alat dan atau kemampuan fisik manusia; c. cara budidaya,
melalui pengaturankegiatan bercocok tanam; d. cara biologi, melalui pemanfaatan
musuh alami organisme pengganggu tumbuhan; e. cara genetik, melalui

48
manipulasi gen baik terhadap organisme pengganggu tumbuhan maupun terhadap
tanaman; f. cara kimiawi, melalui pemanfaatan pestisida; dan atau g. cara lain
sesuai perkembangan teknologi.

(3) Pelaksanaan tindakanpengendalian organisme pengganggu tumbuhan


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai persyaratan teknis yang
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 11

(1) Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan dilaksanakan oleh: a.


perorangan atau badan hukum yang memiliki dan/atau menguasai tanaman; b.
kelompok dalam masyarakat yang dibentuk untuk mengendalikan organisme
pengganggu tumbuhan; c. pemerintah.

(2) Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan oleh Pemerintah sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) huruf c terutama dilakukan apabila terjadi eksplosi.

(3) Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan oleh perorangan atau badan


hukum dan kelompok masyarakat serta Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
yata (1) dilaksanakan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 12

Sarana pengendalian organisme pengganggu tumbuhan dalam rangka


perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berupa: a. alat dan
mesin; b. musuh alami; c. pestisida.

Pasal 13

(1) Alat dan mesin sebagaimanadimaksud dalam Pasal 12 huruf a dapat


dimanfaatkan secara langsung atau tidak langsung dalam pengendalian organisme
pengganggu tumbuhan.

(2) Alat dan mesin yang dimanfaatkan secara langsung sebagaimana


dimaksuddalam ayat (1) dimaksudkan untuk mematikan, melemahkan, mengusir,
atau mengumpulkan organisme pengganggu tumbuhan.

49
(3) Alat dan mesin yang dimanfaatkan secara tidak langsung
sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) dimaksudkan untuk mendukung
penggunaan musuh alami atau pestisida dalam rangka pengendalian organisme
pengganggu tumbuhan.

(4) Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan mengenai alat dan mesin serta tata
cara penggunaannyasebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 14

(1) Musuh alami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b dimanfaatkan


untuk pengendalian organisme pengganggu tumbuhan secara biologi.

(2) Dalam hal musuh alami yang dibutuhkan harus didatangkan dari luar negeri,
maka harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. musuh alami tersebut belum
ada di Indonesia; b. musuh alami yang ada di Indonesia belum cukup untuk
mengendalikan serangan organisme pengganggu tumbuhan; atau c.
untukkeperluan penelitian dalam rangka perlindungan tanaman.

(3) Pemasukan musuh alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
dilakukan oleh instansi Pemerintah dan atau badan hukum Indonesia berdasarkan
izin Menteri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
pemasukan musuh alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur oleh
Menteri.

Pasal 15

(1) Penggunaan pestisida dalam rangka pengendalian organisme pengganggu


tumbuhan dilakukan secara tepat guna.

(2) Penggunaan pestisida dalam rangka pengendalian organisme pengganggu


tumbuhan yang mempunyai dampak terhadap kesehatan manusia dilakukan
dengan memperhatikan persyaratan kesehatan dan keselamatan kerja.

50
Pasal 16

(1) Penggunaan pestisida untuk pengendalian organisme pengganggu tumbuhan


dapat dilakukan dengan pesawat terbang.

(2) Penggunaan pestisida dengan pesawat terbang sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) dilakukan berdasarkan izin Menteri.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penggunaan
pestisida dengan pesawat terbang dalam rangka perlindungan tanaman
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 17

Apabila diperlukan oleh pejabat yangberwenang, dalam rangka pengendalian


organisme pengganggu tumbuhan, perorangan atau badan hukum yang
menggunakan pestisida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat diwajibkan
untuk menyampaikan laporan.

Pasal 18

(1) Perorangan atau badan hukum, kelompok dalam masyarakat dan instansi
Pemerintah yang menggunakan pestisida dalam rangka pengendalian organisme
pengganggu tumbuhan wajib memantau, mencegah dan atau menanggulangi
dampak negatif yang mungkin timbul akibat penggunaan pestisida.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan, pencegahan dan atau


penanggulangansebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri setelah
berkonsultasi dengan Menteri terkait.

Pasal 19

Penggunaan pestisida dalam rangka pengendalian organisme pengganggu


tumbuhan merupakan alternatif terakhir, dan dampak negatif yang timbul harus
ditekan seminimal mungkin.

51
Pasal 20

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penggunaan pestisida dalam rangka


pengendalian organisme pengganggu tumbuhan.

(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) Menteri


dapatmenunjuk petugas pengawas pestisida.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan, persyaratan, dan tata
cara penunjukan petugas pemawasan pestisida sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

Pasal 21

Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan berupa satwa liar yang dilindungi


dilakukan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 22

Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan dilakukan secara efektif, efisien


dan aman sesuai petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Menteri.

BAB IV

ERADIKASI

Pasal 23

(1) Eradikasi dilakukan apabila serangan organisme pengganggu tumbuhan


dianggap sangat berbahaya dan mengancam keselamatan tanaman secara meluas.
(2) Organisme pengganggu tumbuhan dianggap sangat berbahaya dan mengancam
keselamatan tanaman secara meluas, apabila organisme pengganggu tumbuhan
tersebut telah atau belum pernah ditemukan di wilayah yang bersangkutan dan
sifat penyebarannya sangat cepat serta belum ada teknologi pengendaliannya tang
efektif.

52
Pasal 24

(1) Selain dilakukan terhadap organisme pengganggu tumbuhan, eradikasi dapat


puladilakukan terhadap: a. tanaman atau bagian tanaman yang terserang
organisme pengganggu tumbuhan; b. tanaman atau bagian tanaman yang belum
terserang tetapi diperkirakan akan rusak karena sifat organisme pengganggu
tumbuhan yang ganas; c. inang lain; dan atau d. benda lain yang dapat
menyebabkan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan.

(2) Pelaksanaan eradikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
selektif atau secara keseluruhan dengan tetap memperhatikan kelestaruan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara eradikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

Pasal 25

(1) Pelaksanaan eradikasi dilakukan oleh: a. perorangan atau badan hukum, yang
memiliki dan atau menguasai tanaman atau benda lain yang harus dieradikasi; dan
atau b. kelompok masyarakat yang berkepentingan, atas dasar musyawarah.

(2) Dalam hal perorangan atau badan hukum yang memiliki atau menguasai
tanaman, atau kelompok masyarakat yang berkepentingan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak mampu melakukan eradikasi, maka Pemerintah dapat
melakukan eradikasi.

Pasal 26

(1) Kepada pemilik yang tanaman dan atau benda lainnya dimusnahkan dalam
rangka eradikasi dapat diberikan kompensasi atau bantuan.

(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan atas
tanaman dan atau benda lainnya yang tidak terserang organisme pengganggu
tumbuhan tetapi harus dimusnahkan dalamrangka eradikasi.

53
(3) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan atas tanaman
dan atau benda lainnya yang dimusnahkan karena terserang organisme
pengganggu tumbuhan.

(4) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat berupa uang,
penggantian sarana produksi, dan atau kemudahan untuk melakukan usaha lain.
(5) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat berupa sarana produksi.
(6) Kompensasi atau bantuansebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan oleh
Pemerintah dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat dilakukan
eradikasi, serta upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat setempat dalam
meringankan beban pemilik yang tanaman dan ataubenda lainnya dimusnahkan
dalam rangka eradikasi.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi ataubantuan oleh


Pemerintah diatur oleh Menteri.

BAB V

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 27

(1) Dengan berlakunya Peraturan Pemerintahini, peraturan yang mengatur


penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang perlindungan tanaman
kepada Daerah Tingkat I Daerah Tingkat II dinyatakan tetap erlaku.

(2) Urusan pemerintahan di bidang perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) yang telah ditindaklanjuti dengan penyerahan secara nyata, tetap
dilaksanakan oleh Daerah Tingkat I atau Daerah Tingkat II yangbersangkutan.

Pasal 28

Peraturan pelaksanaan mengenai perlindungan tanaman yang tingkatnya dibawah


Peraturan Pemerintah yang telah ada pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah

54
ini, dinyatakan tetap berlakusepanjang tidak bertentangan dengan dan belum
diatur yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB VI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 29

Peraturan Pemerintah ini mulai erlakupada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatanya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 28 pebruari 1995

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Pebruari 1995
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1995


NOMOR 12.

55

Anda mungkin juga menyukai