Anda di halaman 1dari 32

Referat Demam Dengue

1.1. Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dimana
mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3, dan den-4, melalui
perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopticus. Infeksi virus dengue
sendiri dapat mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara
penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam dengue,
demam berdarah dengue (DBD), hingga demam berdarah dengue disertai syok
(DSS = dengue shock syndrome).1,2

1.2. Epidemiologi
Sekitar 2,5 milyar penduduk mempunyai risiiko untuk terjangkit
penyakit ini, terutama di daerah tropis dan subtropis. Daerah-daerah yang
tercatat endemis diantaranya adalah Indonesia, Bangladesh, India, Maladewa,
Myanmar, Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste termasuk ke dalam kategori
endemic A (endemik tinggi).
Pada tahun 2015 dilaporkan 129.650 kasus dengan angka kematian
sekitar 0,83%, dimana angka ini meningkat dari tahun sebelumnya. Provinsi
dengan angka morbiditas tertinggi tahun 2015 adalah Bali, Kalimantan Timur,
dan Kalimantan Utara. Sedangkan kabupaten dengan angka mortalitas tertinggi
adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur.

1
Gambar 2.1 Angka Kesakitan DBD Di Indonesia Tahun 2008-2018.3

Gambar 2.1.1 Prevalensi DBD berdasarkan Geografis di Indonesia 2015

1.3. Etiologi
Virus dengue termasuk grup B arthropod borne virus (arbovirus) dan
sekarang dikenal flavivirus, famili Flaviviridae, yang mempunyai 4 jenis

2
serotipe yaitu den-1, den-2, den-3, dan den-4. Infeksi dengan salahs satu
serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang
bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain.
Seseorang yang berdomisili di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan
3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotipe virus dengue
dapat ditemukan di Indonesia. Serotipe den-3 merupakan serotipe yang
dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat. 1,2,3,4
Beberapa serotipe virus dengue ditularkan ke manusia melalui gigitan
nyamuk aedes yang terinfeksi, terutama Aedes Aegypti. Nyamuk tersebut
merupakan spesies tropik dan subtropik. Invasi nyamuk tersebut lebih banyak
pada bulan-bulan yang hangat dan nyamuk cenderung tidak dapat bertahan
hidup di suhu dingin. Stadium imatur bisa ditemukan di habitat berisi air,
dimana kebanyakan berada pada kontainer tertutup dekat dengan tempat tinggal
manusia dan sebagian besar indoor. Manusia sendiri merupakan host utama
yang mengamplifikasi virus dengue Virus dengue yang bersirkulasi di darah
manusia teringesti oleh nyamuk perempuan saat makan. Virus kemudian
menginfeksi usus mid-gut nyamuk dan kemudian menyebar secara sistemik
selama 8-12 hari. Setelah periode inkubasi ekstrinsik ini, virus dapat ditularkan
ke manusia lain ketika nyamuk menusuk kulit manusia. 5

3
Gambar 2.2. Penularan Virus Dengue 5

1.5. Patogenesis
Terdapat teori yang dapat menjelaskan patogenesis DBD, yaitu the
secondary heterologous infection hypothesis atau the sequential infection
hypothesis yang menyatakan bahwa DBD terjadi akibat seseorang setelah
terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus
dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan – 5 tahun. 1,2
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang
berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu
enhancing-antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe
antibodi yaitu (1) kelompok monklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat
menetralisasi namun memicu replikasi virus, dan (2) antibodi yang dapat
menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus.
Perbedaan ini berdasarkan terdapatnya viiont determinant specificity. Antibodi
non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memicu
replikasi virus. Teori ini yang mendasari bahwa infeksi sekunder virus dengue
oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat,
1. Sel fagosit mononuklear (monosit, makrofag, histiosit, dan sel kuppfer)
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer.
2. Non-neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun
yang melekat pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk
melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear.
Mekanisme pertama ini disebut mekanisme aferen,
3. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear
yang telah terinfeksi.
4. Sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus,
hati, limpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut sebagai
mekanisme eferen.

4
5. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan
sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya
mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi
sistem koagulasi, disebut juga sebagai mekanisme efektor. 1,2
Limfosit T juga memegang peran penting dalam patogenesis DBD.
Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus
dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon (IFN-ά dan ɣ). IFN-ά
selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan
monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4+ dan CD8+ spesifik
virus dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang
menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan. 1,2

1.6. Patofisiologi
1.6.1. Volume Plasma
Yang membedakan DD dengan DBD adalah peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah, penurunan volume darah, terjadinya hipotensi,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Plasma mengalami perembesan
selama perjalanan penyakit dari mulai masa demam dan mencapai puncaknya
pada masa syok. Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya
plasma melalui endotel dinding pembuluh darah, sehingga menimbulkan teori
bahwa syok terjadi akbat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular (ruang
interstitial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak akibat mediator
farmakolois yang bekerja cepat. Tanda-tanda yang dapat ditemukan muncul
adalah meningkatnya berat badan, dan cairan yang tertimbun di rongga
interstitial, peritoneum, pleura, dan pericardium. 2
1.6.2. Trombositopenia
Trombositopeni adalah kelainan yang sebagian besar ditemukan pada
kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai
nilai terendah pada masa syok. Namun jumlah trombosit dapat meningkat pada
masa konvalesens dan nilai normal dapat tercapai 7-10 hari sejak permulaan

5
sakit. Akibat meningkatnya destruksi trombosit, menyebabkan meningkatnya
megakariosit muda pada sumsumtulang dan pendeknya masa hidup trombosit.
Penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa, dan hati.
Penyebab dari peningkatan destruksi ini adalah komponen aktif sistem
komplemen, kerusakan sel endotel, dan aktivasi sistem pembekuan baik secara
bersamaan maupun secara terpisah. Dugaan lain dari trombositopenia adalah
depresi fungsi megakariosit akibat aktivasi komplemen di sumsum tulang. 2
1.6.3. Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi berperan dalam perdarahan DBD. Beberapa
faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X, dan fibrinogen.
Selain itu dapat ditemukan terjadinya peningkatan fibrinogen degradation
products (FDP) dan menurunnya aktivitas antitrombin III. Semua ini
diakibatkan oleh konsumsi dari sistem koagulasi dan sistem fibrinolisis.
Kelainan dari fibrinolisis dibuktikan dengan penurunan aktivitas ά-2 plasmin
inhibitor dan penurunan aktivitas plasminogen. DIC (disseminated
intravascular coagulation) dapat terjadi juga pada DBD. Pada masa dini DBD,
peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan volume plasma,
namun pada syok dan asidosis, akan menyebabkan terjadinya DIC sehingga
perannya dapat mencolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga
penyakit memasuki syok ireversibel disertai perdarahan hebat. 2
Untuk perdarahan kulit umumnya disebabkan oleh faktor kapiler,
gangguan fungsi trombosit, dan trombositopeni; sedangkan pada perdarahan
massif, mekanisme lebih kompleks yaitu trombositopeni, gangguan faktor
pembekuan, dan faktor DIC, terutama pada kasus syok lama yang tidak dapat
diatasi dengan asidosis metabolik. 2

1.6.4. Sistem Komplemen


Terdapat penurunan dari sistem komplemen, yaitu penurunan kadar C3,
C3 proaktivator, C4 dan C5, baik pada kasus yang disertai syok atau tidak.
Penurunan ini menjelaskan bahwa terjadi aktiasi komplemen baik malalui jalur

6
klasik maupun jalur alternatif. Aktivasi dari komplemen tersebut menhasilkan
anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast
dan melepas histamin, dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan
peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan vlume plasma, dan syok
hipovolemik. Komplemen juga bereaksi pada virus pada sel endotel,
permukaan trombosit, dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paru
trombosit memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan. Komplemen
juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti TNF, interferon
gamma, dan interleukin (IL-2 dan IL-1). 2
1.6.5. Respons Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ke-3 terjadi
peningkatan limfosit atopic yang berlangsung sampai hari kedelapan, yang
disebut sebagai transformed lymphocytes. Penelitian yang lebih mendalam
menyebutkan limfosit tersebut sebagai limfosit plsma biru (LPB), dimana pada
infeksi dengue mencapai puncak pada hari ke-6. LPB merupakan campuran
antara limfosit B dan limfosit T. Definisi dari LPB sendiri adalah sitoplasma
biru tua,, mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan limfosit besar,
sitoplasma lebar dengan vakuloisasi halus sampai sangat nyata, dengan daerah
perinuclear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk bulat
oval. Kromosom inti kasar dan kadang di dalam inti terdapat nucleoli. 2

7
Gambar 2.3. Patofisiologi DBD6

1.6. Tanda dan Gejala Klinis


Spektrum klinis dari infeksi dengue bervariasi, dari mulai infeksi taanpa gejala
atau asimtomatik dengan infeksi yang bergejala. Infeksi dengue bergejla berikutnya
dibagi menjadi empat, yaitu undifferentiated fever (sindrom infeksi virus), demam
dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD) yang disertai perembesan plasma, dan
Expanded dengue syndrome; Isolated organopathy; dan Unusual manifesations.
Berikut adalah skema dari spektruk klinis infeksi dengue. 1,4,5,6

8
Klasifikasi Diagnosis Dengue menurut WHO SEARO 2011

Gambar 2.4. Spektrum Klinis Infeksi Dengue1,4,5,6

1.6.1. Undifferentiated Fever (Sindrom Infeksi Virus)


Sindrom ini berupa kumpulan gejala infeksi biasa dimana sederhana
yang tidak dapat dapat dibedakan dengan penyebab virus lain. Gejala berupa
demam tinggi, kemerahan berupa makulopapular yang timbul saat demam reda,
dan gejala saluran nafas dan saluran cerna. 1,4,5,6
1.6.2. Demam Dengue (DD)
Pada anamnesis ditemukan gejala berupa demam mendadak tinggi yang
disertai nyeri kepala, nyeri otot & sendi/tulang, nyeri retroorbita fotofobia,
nyeri pada punggung, facial flushed, lesu, tidak mau makan, konstipasi, nyeri
perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum. Dijumpai trias sindrom, yaitu
demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan timbulnya ruam (rash). 1,4,5,6
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan demam dengan suhu 39-40oC,
yang berakhir 5-7 hari. Pada hari 1-3 tampak flushing pada muka (muka
kemerahan), leher, dan dada. Pada hari sakit ke 3-4 timnbul ruam kulit
makulopapular/rubeoliform. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik
pertama kali, yaitu pada hari sakit ke 3-5 berlangsung 3-4 hari. Ruam

9
menghilang pada tekanan, dapat muncul pada di dada, tubuh serta abdomen,
menyebar ke anggota gerak dan muka. Mendekati akhir dari fase demam
dijumpai adanya petekie pada kaki bagian dorsal, lengan atas, dan tangan.
Dapat ditemukan convalescent rash berupa petekie mengelilingi daerah yang
pucat pada kulit yang normal, dapat disertai rasa gatal (dikenal dengan whole
island in the sea of red). Terakhir dapat ditemukan manifestasi perdarahan
berupa uji bending positif dan//atau petekie, mimisan hebat, menstrusai yang
lebih banyak (untuk anak yang telah mengalami menstruasi), dan perdarahan
saluran cerna. 1,4,5,6
Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopenia selama periode
pre-demam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia, namun disusul oleh
neutropeni relatif dan limfositosis pada permulaan dan pada puncak penyakit
dan pada masa konvalesens. Eosinofil menurun atau menghilang pada
permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis neutrophil bergeser ke kiri
selama periode demam, sel plasma meningkat pada perode memuncaknya
penyakit dan terdapatnya trombositopenia. Darah tepi menjadi normal dalam
waktu 1 minggu. 2

10
2.6.3. Demam Berdarah Dengue
Pada DBD terdapat 3 fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam,
kritis, dan masa penyembuhan (convalescence/recovery).

 Fase Demam
Pada anamnesis dapat ditemukan demam tinggi, 2-7 hari, dapat
mencapai 40iC, serta dapat terjadi kejang demam. Dapat
dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi,
nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri dibawah
lengkung iga kanan, dan nyeri perut.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :
1. Manifestasi perdarahan

11
a. Uji bending positif (≥10 petekie/inch2)
merupakan manifestasi perdarahan yang paling
banyak pada fase demam awal.
b. Mudah lebam dan berdarah pada daeraj tusukan
untuk jalur vena
c. Epistaksis, perdarahan gusi
d. Perdarahan saluran cerna
e. Hematuria (jarang)
f. Menorrhagia
2. Hepatomegali teraba 2-4 jam di bawah arcus costae dan
kelainan fungsi hati (transaminase) lebih sering
ditemukan pada DBD. 1,4,5,6
 Fase Kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal
pada masa transisi (dsebut juga sebagai fase time of fever
defervescence) yang ditandai dengan :
1. Peningkatan hematokrit 10-20% di atas nilai dasar
2. Tanda perembesan plasma seperti efusi pleuran dana
sites, edema pada dinding kandung empedu. Foto dada
(dengan posisi right lateral decubitus = RLD) dan USG
dapat mendeteksi kelainan perembesan plasma tersebut.
3. Terjadi penurunan kadar albumin >0,5 g/dL dari nilai
dasar <3,5 g% yang merupakan bukti tidak langsung dan
tanda perembesan plasma.
4. Tanda-tanda syok dimana anak gelisah sampai terjadi
penurunan kesadaran, sianosis, nafas cepat, nadi teraba
lembut hingga tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi ≤20
mmHg, dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral
dingin,, CRT memanjang (>3 detik). Diuresis menurun
(<1ml/kg berat badan/jam), hingga anuria.

12
5. Dapat timbul komplikasi berupa asidosis metabolik,
hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit, kegagalan
multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak
dapat segera diatasi. 1,4,5,6
 Fase Penyembuhan (convalescence/recovery)
Ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali.
Dua tanda ini juga merupakan indikasi untuk menghentikan
cairan pengganti. Gejala umum dapat ditemukan sinus
bradikardia/aritmia dan karakteristik confluent petechial rash
seperti pada DD. 1,4,5,6

Gambar 2.5. Perjalanan Klinis DBD1

2.6.4. Expanded Dengue Syndrome

13
Berupa manifestasi berat yang tidak umum melipuiti organ seperti hati,
ginjal, otak, dan jantung. Kelainan dari organ disebabkan oleh adanya infeksi
penyerta, komorbiditas, atau komplikasi dari syok yang berkepanjangan1,4,5,6.
Tabel 2. Manifestasi Expanded Dengue Syndrome4

2.7. Penegakkan Diagnosis DBD


Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan
laboratorium WHO 2011 sebagai berikut :
 Kriteria Klinis
o Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung
teru-menerus selma 2-7 hari
o Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji bending positif,
petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis, dan atau melena
o Pembesaran hati
o Syok yang ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan
tekanan nadi (≤20 mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin,
kulit lembab, dan pasien tampak gelisah. 1,4
 Kriteria Laboratorium
o Trombositopenia (≤100.000/microliter)
o Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit ≥20%
dari nilai dasar atau menurut standar umur dan jenis kelamin.

14
Diagnosis dikonfirmasi dengan pemeriksaan deteksi antigen dengue
(NS-1) atau uji serologi IgM/IgG anti dengue. 1,4

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan :


 Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan
hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit ≥20%
 Terdapat hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma.
 Dijumpai tanda perembesan plasma
o Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)
o Hipoalbuminemia

 Perhatian
o Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia
yang jelas, mendukung diagnosis DSS
o Nilai LED yang rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan
DSS dari syok sepsis. 1,4

Tabel 3. Derajat DBD1,4,6

15
Tanda Kegawatan/Warning Signs
Tanda kegawatan dapat terjadi pada tiap fase perjalanan penyakit infeksi
dengue, yaitu sebagai berikut :
1. Tidak adanya perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa
transisi ke fase bebas demam/sejalan dengan proses penyakit.
2. Muntah yang menetap dan tidak mau minum
3. Nyeri perut hebat
4. Letargi dan atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak.
5. Perdarahan : epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi yang
hebat, warna urin gelap (hemoglobinuria)/hematuria.
6. Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)
7. Pucat, tangan-kaki dingn dan lembab
8. Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam. 1,4,6

16
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan laboratorium rutin dapat dilakukan pemeriksaan darah
perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis, hematokrit, dan
trombosit.

b. Untuk antigen sendiri NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah
demam, namun akan menurun dan tidak terdeteksi setelah hari sakit ke
5-6. Deteksi ini digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya
infeksi dengue, namun tidak dapat membedakan penyakit DD/DBD.
c. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue.
i. Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5,
mencapai puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan
menurun/menghilang pada akhir minggu keempat sakit.
ii. Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi
mulai minggu ke-2 sakit dan menghilang setelah 6 bulan sampai

17
4 tahun. Sedangkan pada infeksi sekunder IgG antidengue akan
terdeteksi sejak awal sakit

iii. Rasio IgM/IgG diugnakan untuk membedakan infeksi primer


dari infeksi sekunder. Apabila rasio IgM : IgG >1,2
menunjukkan infeksi primer namun apabila IgM : IgG rasio <1,2
menunjukkan infeksi sekunder.1,4,6
Tabel 4. Interpretasi Uji Serologi DBD

d. Jika tidak ada perbaikan klini meskipun penggantian volume sudah


cukup, perhatikan ABCS, yang berarti A – asidosis, B – bleeding

18
(hematokrit), C – calcium (elektrolit, Ca dan S), dan S – sugar (gula
darah) 1

Tabel 5. Jenis Pemeriksaan Laboratorium A-B-C-S1

2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan jika
terdapat indikasi sebagai berikut :
 Distress pernafasan/sesak
 Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat
kelainan radiologis terjadi apabila pada perembesn plasma telah
mencapai 20-40%
 Pemantauan klinis, untuk pedoman pemberian cairan, dan juga untuk
menilai edema paru karena overload pemberian cairan.
 Gambaran radiologis yang terjadi adalah dilatasi pembuluh darah paru
terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak

19
dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi dibanding
kanan, dana efusi pleura.
 Pada pemeriksa USG dapat ditemukan efusi pleura, kelainan dinding
vesika felea, dan dinding buli-buli. 1

2.8. Diagnosis Banding


Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari demam
dengue dan penyakit virus lain yang ditemukan di daerah tropis (campak,
rubella, demam chikungunya, leptospirosis, malaria, demam tifoid). Penyakit
darah seperti ITP (trombositopenia purpura idiopatik), leukemia, atau anemia
aplastic, dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap
disertai pemeriksaan pungsi sumsum tulang apabila diperlukan. Penyakit
infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis, perlu difikirkan apabila anak
mengalami demam disertai syok. 1,2,3
 Malaria
o Malaria merupakan infeksi yang disebabkan oleh plasmodium
yang ditransmisikan oleh nyamuk Anopheles perempuan. 1
minggu setelah infeksi, menjadi simtomatik dengan gejala klinis
berupa nyeri kepala, batuk, lemah, malaise, menggigil, nyeri
sendi, nyeri otot, demam naik-turun (tiap 48-72 jam, tergantung
spesies), anoreksia, letargi, mual, muntah, diare, dan kuning.
Untuk pemeriksaan fisik dapat ditemukan splenomegali.
Malaria berat dapat bermanifestasi sebagai malaria cerebral,
anemia berat, kelainan respirasi (asidosis metabolik, RD, edem
paru), gagal ginjal. Untuk riwayat harus ditemukan bepergian ke
daerah endemik, status imunitas, usia, status pregnansi, alergi,
dan medikasi. 1,2,3
 Demam Chikungunya
o Demam chikungunya merupakan penyakit self-remitting febrile
viral illness. Demam chikungunya merupakan penyakit demam

20
akut dengan periode inkubasi 3-7 hari. Demam dirasakan tinggi,
dengan menggigil yang bertahan 2-3 hari. Demam dapat
kembali untuk 1-2 hari setelah periode afebril 4-10 hari (saddle-
back fever). Gejala berupa radang tenggorokan, nyeri kepala,
nyeri perut, konstipasi, dan nyeri retro-orbita dapat ditemukan
ketika penyakit fase akut. PF ditemukan suhu tinggi hingga 40
derajat, faringitis, konjungtivitis, dan fotofobia, nyeri sendi,
manifestasi kulit, dan manifestasi neurologis. Nyeri sendi
biasanya poliartikular dan berpindah-pindah dan menyangkut
sendi kecil yaitu sendi di tangan, pergelangan tangan,
pergelangan lutut, dan jarang mengenai sendi besar. Bengkak
disertai nyeri tekan dengan tenosinovis dan arthritis dapat
terlihat. Nyeri sendi lebih parah saat pagi hari, namum membaik
dengan latihan ringan dan gerakan dan memberat jika aktivitas
berat. Pasien biasanya dalam postur fleksi akibat nyeri yang
timbul. Pasien dengan demam chikungunya dapat timbul
kemerahan (flushed) pada wajah dan badan, yang dilanjutkan
dengan ruam makulopapular difus dari badan dan ekstremitas.
Ruam lalu mulai menghilang, menjadi petekie, urtikaria,
xerosis, hipermelanosis, atau membaik dengan deskuamasi.
Untuk gejala neurologi dapat berupa perubahan status mental,
nyeri kepala, kejang, disfungsi motor, dan abnormalitas
sensorineural. 1,2,3
 Leptospirosis
o Leptospirosis adalah penyakit infeksi manusia dan binatang
yang disebabkan oleh spiroketa yaitu leptospira. Penyakit ini
berhubungan dengan tikus pada daerah dengan sanitasi buruk,
okupasi agrikultur, peningkatan olahraga ekstrim yang
menyangkut air, lumpur, atau tanah. Gejala klinis berupa onset
akut yaitu demam (38-40 derajat), kaku, nyeri kepala, nyeri

21
retroorbita, fotofobia, batuk kering, mata berair, mual dan
muntah, diare, dan nyeri otot yang berlokasi di lumbar dan betis.
Penyakit yang lebih berat dapat berupa ikterik leptospirosis
(Weil disease) dengan gejala berupa ikterus, gagal ginjal dengan
oliguria, gambaran hemoragik, dan sindrom inflamasi sistemik
atau syok. 1,2,3
 Demam Tifoid
o Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang
disebabkan oleh infeksi sitemik Salmonella, dimana 96% kasus
disebabkan oleh S.typhi, sisanya disebabkan oleh S.paratyphi.
Pada anamnesis demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai
suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua
demam terus-menerus tinggi. Anak sering mengigau (delirium),
malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau
konstipasi, muntah, perut kembung. Pemeriksaan fisik dapat
ditemukan kesadaran menurun, delirium, lidah tifoid (bagian
tengah kotor, bagian pinggir hiperemis), meteorismus,
hepatomegali. 1,2,3
2.9. Tatalaksana
2.9.1. Monitor Perjalanan Penyakit DD/DBD
Parameter yang harus dimonitor mencakup,
a. Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda gejala
lain.
b. Perfusi perifer sesering mungkin (merupakan indikator awal tanda syok,
serta mudah dan cepat untuk dilakukan)
c. Tanda vital : suhu, nadi, pernafasan, tekanan darah, diperiksa minimal
2-4 jam pada pasien non-syok & 1-2 jam pada pasien syok.
d. Periksa hematokrit serial tiap 4-6 jam pada kasus labil dan lakukan lebih
sering pada pasien yang tidak stabil.

22
e. Diuresis tiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan tiap jam pada pasien
dengan syok yang berkepanjangan atau pada pemberian cairan
berlebihan. Jumlah urin harus 1ml/kgBB/jam (berdasarkan berat badan
ideal). 1,4

2.9.2. Indikasi Pemberian Cairan Intravena


a. Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral atau
muntah
b. Hematokrit meningkat 10-20% meskipun dengan rehidrasi oral
c. Ancaman syok atau dalam keadaan syok. 1,4
2.9.3. Prinsip Umum Terapi Cairan pada DBD
a. Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis.
b. Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan
tidak ada respon pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.
c. Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk menjaga volume
dan cairan intravascular yang adekuat.
d. Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan untuk
menghitung volume cairan. 1,4

23
2.9.4. Tatalaksana Infeksi Dengue Berdasarkan Fase Perjalanan Penyakit
Fase Demam
Dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan/ cairan oral apabila anak masih
mau minum, pemantauan dilakukan tiap 12-24 jam.
 Medikamentosa
o Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan untuk pemberian
paracetamol dan bukan aspirin.
o Usahakan untuk tidak memberikan obat-obat yang tidak
diperlukan (antasid, anti emetik) untuk mengurangi beban
detoksifikasi obat dalam hati.
o Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati namun bila
terdapat perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak
diberikan. 1,4
 Suportif
o Cairan : cairan per oral + cairan intravena rumatan per hari + 5%
defisit, diberikan untuk 48 jam atau lebih.
o Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan
plasma, sesuai keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan
hematokrit. 1,4

24
Fase Kritis
Pemberian cairan sangat diperlukan untuk kebutuhan rumatan + defisit, disertai
monitor keadaan klinis dan laboratorium tiap 4-6 jam. Kecepatan cairan
intravena harus disesuaikan dengan keadaan klinis.
 DBD dengan syok terkompensasi (DBD derajat III)
o Berikan oksigen 2-4l/menit
o Berikan cairan resusitasi kristaloid 10-20 mL/kgBB dalam
waktu 10-20 menit, periksa hematokrit
o Bilas syok teratasi, berikan cairan 10 mL/kgBB selama 1-2 jam,
lalu jika sirkulasi stabil cairan dapat diturunkan bertahap
menjadi 7;5;3;1,5 mL/kgBB/jam. Umumnya cairan diberikan
24-48 jam pasca resusitasi. Jika cairan per oral sudah adekuat,
pemberian cairan intravena dikurangi dengan asupan oral.
o Bila syok tidak teratasi, periksa A-B-C-S. 1,4

25
Gambar 2.6. Penatalaksanaan Sindrom Syok Dengue Terkompensasi1

 DBD dengan syok berkepanjangan/dekompensasi (DBD derajat IV)


o Berikan oksigen 2-4l/menit
o Cairan : 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-20 menit, bila tekanan
darah sudah didapat cairan selanjutnya sesuai algoritma pada
derajat III
o Bila syok belum teratasi, cek A-B-C-S, koreksi bila ada
kelainan, cek hematokrit. Jika hematokrit masih meningkat
berikan cairan resusitasi kedua kristaloid atau koloid 10-20
mL/kgBB dalam waktu 10-20 menit, bila tetap tidak teratasi
dapat diberikan resusitasi cairan koloid kembali 10-20
mL/kgBB dalam 10-20 menit.

26
o Jika hematokrit menurun namun anak tetap tidak stabil,
kemungkinan besar terdapat perdarahan dan pertimbangkan
untuk melakukan transfusi darah. 1,4

Gambar 2.7. Penatalaksanaan Sindrok Syok Dengue Dekompensasi1

 Perdarahan Hebat
o Apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi, segera
hentikan. Transfusi darah segera adalah darurat tidak dapat
ditunda sampai hematokrit turun terlalu rendah. Hitung darah
yang hilang untuk kebutuhan jumlah transfusi. Apabila tidak
dapat diukur, 10ml/kg darah segar atau 5 ml/kg PRC harus
diberikan dan dievaluasi.
o Pada perdarahan saluran cerna, H2 antagonis dan penghambat
pompa proton dapat digunakan.

27
o Tidak ada bukti untuk penggunaan komponen darah seperti
suspense trombosit, plasma darah segar/cryoprecipitate untuk
profilaksis. Penggunaan larutan dapat menyebabkan kelebihan
cairan. 1,4
 DBD Ensefalopati
o Dapat terjadi bersamaan dengan syok atau tidak :
 Ensefalopati yang terjadi bersamaan dengan syok
hipovolemik, penilaian ensefalopati harus diulang
setelah syok teratasi.
 Apabila kesadaran membaik setelah syok
teratasi, maka kesadaran menurun atau kejang
disebabkan karena hipoksia yang terjadi pada
syok.
 Pertahankan oksigenasi jalan nafas yang adekuat
dengan terapi oksigen. 1,4
 Jika ensefalopati terjadi pada DBD tanpa syok dan masa
krisis sudah dilewati maka,
 Cegah/turunkan peningkatan tekanan
intrakranial dengan,
o Cairan intravena minimal untuk
pertahankan volume intravascular, total
cairan intravena tidak boleh >80% cairan
rumatan
o Ganti ke cairan kristaloid dengan koloid
segera apabila hematokrit terus
meningkat dan volume cairan intravena
dibutuhkan pada kasus perembesan
plasma hebat
o Diuretik berikan apabila terdapat tanda
dan gejala kelebihan cairan

28
o Posisikan kepala lebih tinggi 30 derajat
o Intubasi segera untuk mencegah
hiperkarbia dan melindungi jalan nafas.
o Pertimbangkan steroid untuk
menurunkan tekanan intrakranial, dengan
pemberian deksamethasone 0,15
mg/kgBB/dosis intravena tiap 6-8 jam.
 Menurunkan produksi ammonia
 Pertahankan gula darah 80-100 mg/dl, kecepatan
infus glukosa yang dianjurkan 4-6 mg/kg/jam
 Perbaiki asam basa dan ketidakseimbangan
elektrolit
 Vitamin K1 IV dengan dosis : umur < 1tahun
(3mg), <5 tahun (5mg), > 5 tahun (10mg)
 Antikejang fenobarbital, fenitoin, atau diazepam
IV sesuai indikasi
 Transfusi darah PRC diberikan sesuai indikasi
 Terapi antibiotik empirik apabila disertai infeksi
bakterial
 Berikan H2 antagonis dan PPI untuk cegah
perdarahan saluran cerna
 Hindari obat yang tidak diperlukan karena
sebagian besar obat dimetabolisme di hati.
 Hemodialisis pada kasus perburukan klinis dapat
dipertimbangkan. 1,4
 Indikasi untuk pulang
o Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik
o Nafsu makan telah kembali

29
o Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distress
pernafasan, dan nadi teratur
o Diuresis baik
o Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok
o Tidak ada kegawatan nafas karena efusi pleura, tidak ada asites
o Trombosit >50.000/mm3 . Pada kasus DBD tanpa komplikasi,
umumnya jumlah trombosit meningkat ke nilai normal dalam 3-
5 hari. 1,4
Edukasi
Jumlah kasus DBD meningkat sesuai dengan peningkatan curah hujan. Di
Indonesia kasus meningkat saat musim hujan, sejak bulan Desember sampai
dengan April-Mei setiap tahun. Untuk pencegahan DBD dan pemberantasan
dengan membasmi nyamuk dapat dilakukan 3M, yaitu :
a. Menguras tempat penampungan air secara teratur seminggu sekali atau
menaburkan bubuk larvasida (abate)
b. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air
c. Mengubur/menyingkirkan barang bekas yang dapat menampung air. 1,4

2.10. Komplikasi
Untuk demam dengue, komplikasi yang dapat terjadi dapat berubah
perdarahan akibat ulkus peptik, trombositopenia hebat, dan trauma.
Untuk DBD, komplikasi dapat berupa :
 Ensefalopati dengue, baik dengan atau tanpa syok
 Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan
 Edema paru dana tau gagal jantung akibat overloading
pemberian cairan plasma
 Asidosis metabolik dan perdarahan hebat (DIC, kegagalan
organ multipel) akibat syok berkepanjangan.

30
 Hipoglikemia/hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia
akibat syok berkepanjangan dan terapi cairan yang tidak sesuai.
1,4

2.10. Prognosis
Demam dengue merupakan penyakit self-limiting dengan tingkat
mortalitas kurang dari 1%. Ketika diobati, DBD memiliki tingkat mortalitas 2-
5%. Namun ketika tidak diobati, DBD memiliki tingkat mortalitas 50%. Pada
20-30% pasien DBD, pasien mengalami syok (DSS). 1,4

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Pelayanan Medis RSCM Ilmu Kedokteran Anak. Infeksi virus


dengue. Jakarta. 2015.
2. Hadinegoro SR. Dengue virus. Dalam : Hadinegoro SR, Moedjito M, Hapsari
MM, Alam A, penyunting. Buku ajar infeksi dan penyakit tropis. Edisi ke-4.
Jakarta : IDAI. 2018.
3. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Situasi penyakit demem
berdarah di Indonesia tahun 2017. Kementrian Kesehatan RI. 2017
4. Kamat, Nield LS. Fever. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St-Geme JW, Schor NF,
Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-20. Philadelphia:
Elseiver; 2016. h. 1278–86.
5. Regional Office for South-East Asia. Comprehensive guidelines for
prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever (Revised
and Expanded Edition). WHO. 2011
6. World Health Organization. Dengue : guidelines for diagnosis, treatment,
prevention, and control. France : WHO. 2009
7. Prasad, Prof. Jagdish, et al. Natonal Guidelines for Clinical Management of
Dengue Fever. India : WHO. 2015

32

Anda mungkin juga menyukai