Anda di halaman 1dari 3

CERITA RAKYAT KABUPATEN LEMBATA

LEGENDA PULAU ILE BATUTARA

O
L
E
H

YOHANA RITA STANIA LEBA

KELAS : IV B
SD INPRES WAIKOMO 2
LEWOLEBA
LEGENDA PULAU ILE BATUTARA

Legenda tentang Pulau Batutara yang oleh masyarakat Kedang menyebutnya Auq
Langtare. Auq Langtare (Batutara) adalah bagian dari tanah Lembata yang terpisah akibat
bencana air bah pada zaman dahulu kala.Dipuncak Gunung Uyelewun tepatnya di Opaq Lelaq
(nama tempat) hiduplah sekelompok besar masyarakat. Suatu waktu mereka ingin selenggarakan
pesta bersama seluruh warga di kampung itu. Hewan yang akan dipotong adalah seekor babi
dan seekor kambing. Babi disebut wawi nawal laleng, kambingnya disebut witing dera pu,en.
Babi dan kambing yang dipotong itu ternyata tidak cukup untuk dibagikan ke seluruh penghuni
kampung itu. Para lelaki pun pergi berburu untuk mencari babi hutan, rusa atau binatang buruan
lainnya. Dari hasil buruan dipotong dan dibagi-bagikan, namun belum cukup. Mereka pun pergi
berburu yang kedua kalinya namun hasilnya belum cukup juga.Kemudian mereka pergi berburu
yang ke tiga kalinya dengan membawa seekor anjing yang bernama au iki boyang.
Sesampainya di hutan anjing itu mencium sebuah onggokan tanah yang besar dan di atasnya
terdapat sejenis ubi hutan (rengal leq). Anjing itu lalu menggaruk garuk tanah, menyalak-nyalak
sambil angkat muka ke atas, tunduk, menyalak dan menggaruk-garuk lagi, dilakukan berulang-
ulang kali. Melihat itu para pemburu mendekati, menepuk-nepuk tanah onggokan itu sambil
bermantera : fooo…….. Sehu sara, mere mara, Epaq apu, ai uan, bapa iu, mokung balelang,
wara papa……fooo Sehu sara, mere mara, Epaq apu, ai uan, bapa iu, mokung balelang, wara
papa (menyebut beberapa jenis ikan yang terkenal). Setelah mantera diucapkan beberapa kali,
muncullah dari dalam onggokan tanah tersebut ubi raksasa diikuti berbagai jenis ikan dilaut dan
tertumpuk di atas tanah. Mereka sangat terkejut bercampur heran, namun gembira dengan ikan
ikan itu lalu membawanya untuk dibagikan pada warganya untuk berpesta pora.
Ditengah keramaian orang berpesta pora seorang mama bernama Dae dengan dua anaknya
laki laki bernama Beni Ei dan perempuan bernama Lolo Dae tidak diberi bahan makanan apapun
karena mereka dianggap orang hina dalam masyarakat (Iden Daten Mawaq Ale). Saat pesta
terus berjalan diiringi gong gendang dan tandak dalam sorak sorai pesta , awan hitam mulai
menyelimuti tempat itu. Anjing iki boyang masuk di tengah-tengah orang bertandak sambil
mengenakan sehelai kain kotor (mohoq) dipinggangnya, berlari bermain tandak dan
berpantun, E’i au iki boyang… namang noq hamang ramaq bake namang reiqte hamang, Ei au
iki boyang nedung noq ribu hedung bele nedung reiqte hedung. ( Anjing meminta untuk sama-
sama bermain tandak).
Setelah itu tiba-tiba tanah terbelah, hujan disertai badai menimpa mereka. Sebagian besar dari
mereka mati. Tanah nilung topeq (nama tempat) terputus dan hancur berantakan, sebagian tanah
itu terpisah.
Mama Dae dan anak anaknya yang disisikan dalam pesta pora itu telah jauh dari kampung. Ia
lalu berusaha menyelamatkan diri dan kedua anaknya dengan kaheq omaq amaq (mengupas biji
bengo) dan pihing uye lalan (membuang air rebusan sejenis kacang) sambil berteriak-teriak,
kaheq omaq amaq.e……pihing uye lalan e…..kaheq omaq amaq e….pihing uye lalan
e…...Dengan berteriak teriak demikian suasana malapetaka itupun berangsur angsur reda.
Suasana gelap gulita, sepi sampai akhirnya terang pun tiba. Disaat itu mereka melihat
sebagian tanah itu terpisah, kian hari kian menjauh dan tanah yang hanyut itu auq Langtare
( Batutara) sekarang ini.
Dikampung itu tinggallah mama Dae dan kedua anaknya. Ia pun menginginginkan agar
mereka bisa bertamba banyak. Karena keduanya bersaudara maka ia naik ke atas para-para
rumahnya (maka) tanggalkan kulit tuanya dan ia turun seperti seorang gadis cantik dengan
maksud agar anaknya Beni Ei bisa mengawininya namun anaknya tidak mau. Ia pun kembali
mengenakan kembali kulit tuanya. Suatu saat kedua muda mudi bersaudara Beni Ei dan Lolo
Dae melihat belalang lagi kawin dan mereka bertanya pada mama Dae, waiq taq noq ua ya..?
(sedang apa belalang ini ?) Ia menjawab, mui waiq laha name, me laha name, mui manuq laha
name me laha name, mui witing laha name me laha na me. (Kalau kamu melihat binatang buat
seperti itu kamu buat seperti itu). Mama Dae menghendaki agar walaupun bersaudara mereka
harus kawin agar punya keturunan. Suatu saat Lolo Dae pun hamil dan punya anak. Karena
mereka nikahi saudara kandung maka mereka sakit-sakit karena kena kutukan adat. Untuk
mengatasinya mereka membuat ritual Poan toba Ula loyo dengan belalang. Upacara ini masih
mendapat hukuman adat. Mereka membuat ritual lagi dengan ayam namun masih kena kutukan
adat juga. Pada akhirnya mereka membuat ritual Poan Toba Ula Loyo dengan seekor Babi dan
Seekor kambing. Dari ritual ini barulah mereka sehat dan selamat, beranak cucu hingga
menurunkan warga kampung Leunapoq (desa Normal 1 ) sekarang ini

Anda mungkin juga menyukai