Definisi Etika Audit
Definisi Etika Audit
Etika (praksis) diartikan sebagai nilai-nilai atau norma-norma moral yang mendasari perilaku
manusia. Etos didefinisikan sebagai ciri-ciri dari suatu masyarakat atau budaya. Etos
kerja,dimaksudkan sebagai ciri-ciri dari kerja, khususnya pribadi atau kelompok yang
melaksanakan kerja, seperti disiplin, tanggung jawab, dedikasi, integritas, transparansi dsb.
Etika (umum) didefinisikan sebagai perangkat prinsip moral atau nilai. Dengan kata lain, etika
merupakan ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma moral. Etika (luas) berarti
keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui
bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.Etika (sempit) berarti seperangkat
nilai atau prinsip moral yang berfungsi sebagai panduan untuk berbuat, bertindak atau berperilaku.
Karena berfungsi sebagai panduan, prinsip-prinsip moral tersebut juga berfungsi sebagaikriteria
untuk menilai benar/salahnya perbuatan/perilaku.
Kode Etik
Pengertian Kode etik adalah nilai-nilai, norma-norma, atau kaidah-kaidah untuk mengatur perilaku
moral dari suatu profesi melalui ketentuan-ketentuan tertulis yg harus dipenuhi dan ditaati setiap
anggota profesi.
Dilema Etika
Dilema etika adalah situasi yang dihadapi seseorang di mana keputusan mengenai perilaku
yang pantas harus dibuat.
Auditor banyak menghadapi dilema etika dalam melaksanakan tugasnya. Bernegosiasi dengan
auditan jelas merupakan dilema etika.
Ada beberapa alternatif pemecahan dilema etika, tetapi harus berhati-hati untuk menghindari
cara yang merupakan rasionalisasi perilaku tidak beretika.
Berikut ini adalah metode rasionalisasi yang biasanya digunakan bagi perilaku tidak beretika:
1. Semua orang melakukannya. Argumentasi yang mendukung penyalahgunaan pelaporan pajak,
pelaporan pengadaan barang/jasa biasanya didasarkan pada rasionalisasi bahwa semua orang
melakukan hal yang sama, oleh karena itu dapat diterima.
2. Jika itu legal, maka itu beretika. Menggunakan argumentasi bahwa semua perilaku legal adalah
beretika sangat berhubungan dengan ketepatan hukum. Dengan pemikiran ini, tidak ada kewajiban
menuntut kerugian yang telah dilakukan seseorang.
3. Kemungkinan ketahuan dan konsekuensinya. Pemikiran ini bergantung pada evaluasi hasil
temuan seseorang. Umumnya, seseorang akan memberikan hukuman (konsekuensi) pada temuan
tersebut.
Hal yang berkaitan dengan obyektif dinyatakan dalam paragraph 2.15, yaitu
– “pemeriksa harus obyektif dan bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dalam
menjalankan tanggung jawab profesionalnya.
Berdasarkan aturan etika ini, seorang profesional akuntan sektor publik harus memiliki
karakteristik yang mencakup:
1. Penguasaan keahlian intelektual yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
2. Kesediaan melakukan tugas untuk masyarakat secara luas di tempat instansi kerja maupun untuk
auditan.
3. Berpandangan obyektif.
4. Penyediaan layanan dengan standar pelaksanaan tugas dan kinerja yang tinggi.
Penerapan aturan etika ini dilakukan untuk mendukung tercapainya tujuan profesi akuntan yaitu:
– bekerja dengan standar profesi yang tinggi,
– mencapai tingkat kinerja yang diharapkan dan
– mencapai tingkat kinerja yang memenuhi persyaratan kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu, menurut aturan etika IAI-KASP, ada tiga kebutuhan mendasar yang harus
dipenuhi, yaitu:
1. Kredibilitas akan informasi dan sistem informasi.
2. Kualitas layanan yang didasarkan pada standar kinerja yang tinggi.
3. Keyakinan pengguna layanan bahwa adanya kerangka etika profesional dan standar teknis yang
mengatur persyaratan-persyaratan layanan yang tidak dapat dikompromikan.
Aturan etika IAI-KASP memuat tujuh prinsip-prinsip dasar perilaku etis auditor dan empat
panduan umum lainnya berkenaan dengan perilaku etis tersebut.
Ketujuh prinsip dasar tersebut adalah: integritas, obyektivitas, kompetensi dan kehati-hatian,
kerahasiaan, ketepatan bertindak, dan standar teknis dan profesional.
Empat panduan umum mengatur hal-hal yang terkait dengangood governance, pertentangan
kepentingan, fasilitas dan hadiah, serta penerapan aturan etika bagi anggota profesi yang bekerja
di luar negeri.
Integritas
Integritas berkaitan dengan profesi auditor yang dapat dipercaya karena menjunjung tinggi
kebenaran dan kejujuran. Integritas tidak hanya berupa kejujuran tetapi juga sifat dapat dipercaya,
bertindak adil dan berdasarkan keadaan yang sebenarnya.
Hal ini ditunjukkan oleh auditor ketika memunculkan keunggulan personal ketika memberikan
layanan profesional kepada instansi tempat auditor bekerja dan kepada
auditannya. Misalnya, auditor seringkali menghadapi situasi di mana terdapat berbagai
alternatif penyajian informasi yang dapat menciptakan gambaran keuangan atau kinerja yang
berbeda-beda. Dengan berbagai tekanan yang ada untuk memanipulasi fakta-fakta, auditor yang
berintegritas mampu bertahan dari berbagai tekanan tersebut sehingga fakta-fakta tersaji
seobyektif mungkin.
Auditor perlu mendokumentasikan setiap pertimbangan-pertimbangan yang diambil dalam
situasi penuh tekanan tersebut.
Obyektivitas
Auditor yang obyektif adalah auditor yang tidak memihak sehingga independensi profesinya
dapat dipertahankan. Dalam mengambil keputusan atau tindakan, ia tidak boleh bertindak atas
dasar prasangka atau bias, pertentangan kepentingan, atau pengaruh dari pihak lain.
Obyektivitas dipraktikkan ketika auditor mengambil keputusan2 dalam kegiatan
auditnya. Auditor yang obyektif adalah auditor yang mengambil keputusan berdasarkan seluruh
bukti yang tersedia, dan bukannya karena pengaruh atauberdasarkan pendapat atau prasangka
pribadi maupun tekanan dan pengaruh orang lain.
Obyektivitas auditor dapat terancam karena berbagai hal. Situasisituasi tertentu dapat
menghadapkan auditor pada tekanan yang mengancam obyektivitasnya, seperti hubungan
kekerabatan antara auditor dengan pejabat yang diaudit. Obyektivitas auditor juga dapat terancam
karena tekanantekanan pihak-pihak tertentu, seperti ancaman secara fisik. Untuk itu, auditor harus
tetap menunjukkan sikap rasional dalam mengidentifikasi situasi-situasi atau tekanan-tekanan
yang dapat mengganggu obyektivitasnya.
Ketidakmampuan auditor dalam menegakkan satu atau lebih prinsip-prinsip dasar dalam
aturan etika karena keadaan atau hubungan dengan pihak-pihak tertentu menunjukkan indikasi
adanya kekurangan obyektivitas.
Hubungan finansial dan non-finansial dapat mengganggu kemampuan auditor dalam
menjalankan prinsip obyektivitas. Misalnya, auditor memegang jabatan komisaris bersama-sama
dengan auditan pada suatu perusahaan sedikit banyak akan mempengaruhi obyektivitas auditor
tersebut ketika mengaudit auditan.
Transaksi peminjaman dari auditan atau investasi pada auditan dapat mendorong auditor
menyajikan temuan audit yang berbeda dengan keadaan sebenarnya, terutama bila temuan tersebut
berpengaruh terhadap keuangannya.
Kompetensi dan Kehati-hatian
Agar dapat memberikan layanan audit yang berkualitas, auditor harus memiliki dan
mempertahankan kompetensi dan ketekunan. Untuk itu auditor harus selalu meningkatkan
pengetahuan dan keahlian profesinya pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa
instansi tempat ia bekerja atau auditan dapat menerima manfaat dari layanan profesinya
berdasarkan pengembangan praktik, ketentuan, dan teknik-teknik yang terbaru.
Berdasarkan prinsip dasar ini, auditor hanya dapat melakukan suatu audit apabila ia memiliki
kompetensi yang diperlukan atau menggunakan bantuan tenaga ahli yang kompeten untuk
melaksanakan tugas-tugasnya secara memuaskan.
Berkenaan dengan kompetensi, untuk dapat melakukan suatupenugasan audit, auditor harus
dapat memperoleh kompetensi melalui pendidikan dan pelatihan yang relevan. Pendidikan dan
pelatihan ini dapat bersifat umum dengan standar tinggi yang diikuti dengan pendidikan khusus,
sertifikasi, serta pengalaman kerja. Kompetensi yang diperoleh ini harus selalu dipertahankan dan
dikembangkan dengan terus-menerus mengikutiperkembangan dalam profesi akuntansi, termasuk
melalui penerbitan penerbitan nasional dan internasional yang relevan dengan akuntansi, auditing,
dan keterampilan-keterampilan teknis lainnya.
Kerahasiaan
Auditor harus mampu menjaga kerahasiaan atas informasi yang diperolehnya dalam
melakukan audit, walaupun keseluruhan proses audit mungkin harus dilakukan secara terbuka dan
transparan
Dalam prinsip kerahasiaan ini juga, auditor dilarang untukmenggunakan informasi yang
dimilikinya untuk kepentingan pribadinya, misalnya untuk memperoleh keuntungan finansial.
Bila auditor memutuskan untuk mengungkapkan informasi karena situasisituasi di atas, ada
tiga hal yang harus dipertimbangkan, yaitu:
– Fakta-fakta yang diungkapkan telah mendapat dukungan bukti yang kuat atau adanya
pertimbangan profesional penentuan jenis pengungkapan ketika fakta-fakta tersebut tidak
didukung dengan bukti yang kuat.
– Pihak-pihak yang menerima informasi adalah pihak yang tepat dan memiliki tanggung jawab
untuk bertindak atas dasar informasi tersebut.
– Perlunya nasihat hukum yang profesional atau konsultasi dengan organisasi yang tepat sebelum
melakukan pengungkapan informasi.
Ketepatan Bertindak
Auditor harus dapat bertindak konsisten dalam mempertahankan reputasi profesi serta lembaga
profesi akuntan sektor publik dan menahan diri dari setiap tindakan yang dapat mendiskreditkan
lembaga profesi atau dirinya sebagai auditor profesional.
Tindakan-tindakan yang tepat ini perlu dipromosikan melalui kepemimpinan dan keteladanan.
Apabila auditor mengetahui ada auditor lain melakukan tindakan yang tidak benar, maka auditor
tersebut harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi masyarakat,
profesi, lembaga profesi, instansitempat ia bekerja dan anggota profesi lainnya dari tindakan-
tindakan auditor lain yang tidak benar tersebut.
Untuk itu, ia harus mengumpulkan bukti-bukti dari tindakan yang tidak benar tersebut dan
menuangkannya dalam suatu laporan yang dibuat secara jujur dan dapat dipertahankan
kebenarannya. Auditor kemudian melaporkan kepada pihak yang berwenang atas tindakan yang
tidak benar ini, misalnya kepada atasan dari auditor yang melakukan tindakan yang tidak benar
tersebut atau kepada pihak yang berwajib apabila pelanggarannya menyangkut tindak pidana.
Good Governance
Auditor diharapkan mendukung penerapan good governance pada organisasi atau instansi
tempat ia bekerja, yang meliputi prinsip-prinsip berikut:
– Tidak mementingkan diri sendiri
– Integritas
– Obyektivitas
– Akuntabilitas
– Keterbukaan
– Kejujuran
– Kepemimpinan
Struktur dan proses organisasi atau instansi tempat ia bekerja harus memiliki hal-hal berikut
yaitu: akuntabilitas keberadaan organisasi, akuntabilitas penggunaan dana publik, komunikasi
dengan stakeholders, dan peran dan tanggung jawab dan keseimbangan kekuasaan antara
stakeholders dan pengelola.
Instansinya juga harus memiliki mekanisme pelaporan keuangan dan pengendalian intern yang
mencakup: pelaporan tahunan, manajemen risiko dan audit internal, komite audit, komite penelaah
kinerja, dan audit eksternal. Instansinya juga harus memiliki standar perilaku yang mencakup
kepemimpinan dan aturan perilaku.
Pertentangan Kepentingan
Beberapa hal yang tercantum dalam aturan etika yang dapat mengindikasikan adanya pertentangan
kepentingan yang dihadapi oleh auditor sektor publik adalah:
1. Adanya tekanan dari atasan, rekan kerja, maupun auditan di tempat kerja (instansinya).
2. Adanya tekanan dari pihak luar seperti keluarga atau relasi.
3. Adanya tuntutan untuk bertindak yang tidak sesuai dengan standar atau aturan.
4. Adanya tuntutan loyalitas kepada organisasi atau atasan yangbertentangan dengan kepatuhan atas
standar profesi.
5. Adanya publikasi informasi yang bias sehingga menguntungkan instansinya.
6. Adanya peluang untuk memperoleh keuntungan pribadi atas beban instansi tempat ia bekerja atau
auditan.
Selain itu, termasuk pula korupsi adalah penyalahgunaan wewenang, kesempatan dan sarana
yang ada karena jabatan atau kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain atau
korporasi, dan perbuatan tersebut merugikan negara
Dalam era reformasi sekarang ini, penggunaan istilah korupsi selalu disandingkan dengan kata
kolusi dan nepotisme. Kolusi, seperti halnya definisi yang digunakan dalam Undang-Undang No.
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, mengacu kepada permufakatan atau kerja sama (secara melawan hukum) dengan
sesama pegawai atau pejabat publik atau dengan pihak lain yang merugikan orang lain,
masyarakat, dan atau negara.
Sementara itu, nepotisme diartikan sebagai perbuatan oleh pegawai/pejabat publik (secara
melawan hukum) yang menguntungkan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan
masyarakat, bangsa, dan negara.
Dalam konteks administrasi publik, kolusi dan nepotisme merupakan bentuk pelanggaran etika
pelayanan publik, dan sebenarnya keduanya dapat dipandang sebagai bentuk-bentuk dari tindakan
korupsi, atau sebagai bagian dari tindak korupsi.
Peer review dalam SPKN dinyatakan dalam paragraph 4.38 yaitu “Organisasi pemeriksa
yang melaksanakan pemeriksaan berdasarkan standar pemeriksaan harus direviu paling tidak
sekali dalam 5 (lima) tahun oleh organisasi pemeriksa eksternal yang berwenang yang tidak
mempunyai kaitan dengan organisasi pemeriksa yang direviu.
Penilaian atas penegendalian mutu pemeriksaan oleh pihak luar yang kompeten adalah untuk
menentukan apakah sistem pengendalian mutu pemeriksaan sudah dibuat dan dilaksanakan dengan
efektif, sehingga dapat memberikan keyakinan yang memadai bahwa kebijakan dan prosedur
pemeriksaan yang ditetapkan dan standar peemriksaan yang berlaku telah dipatuhi.”