Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah penyakit sitemik akut akibat infeksi Salmonella typhi. Demam
tifoid masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia. Penyakit ini
merupakan penyakit menular yang menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah.1

Di Indonesia, demam tifoid bersifat endemik. Penderita dewasa muda sering mengalami
komplikasi berat berupa perdarahan dan perforasi usus. Di Indonesia insidens penyakit tersebut
tergolong masih tinggi. Penyakit tersebut diduga erat hubungannya dengan hygiene perorangan
yang kurang baik, sanitasi lingkungan yang jelek (penyediaan air bersih yang kurang,
pembuangan sampah dan kotoran manusia yang kurang memenuhi syarat kesehatan, pengawasan
makanan dan minuman yang belum sempurna), serta fasilitas kesehatan yang kurang terjangkau
oleh sebagian besar masyarakat. 1

Organisme yang menyebabkan keadaan ini mampu bertahan hidup lama di lingkungan
kering dan beku. Bakteri ini juga mampu bertahan beberapa minggu di dalam air, es, debu
sampah kering dan pakaian, dan berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau produknya
tanpa merubah warna atau bentuknya.1

World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah kasus Demam tifoid di


seluruh dunia sekurang–kurangnya 12,5 juta kasus terjadi per tahun. Besarnya angka kejadian
demam tifoid di negara maju seperti Amerika Serikat tergolong rendah, hanya menunjukkan <0,2
/ 100.000, sedangkan di negara berkembang seperti Indonesia bisa mencapai 500 /100.000
penduduk dan angka kematian tinggi. Rata–rata di Indonesia, rentang usia 3–19 tahun
memberikan angka sebesar 91% terhadap kasus demam tifoid. Anak sekolah merupakan
kelompok yang rentan terhadap penularan bakteri dan virus yang disebarkan melalui makanan.
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011 memperlihatkan bahwa demam tifoid menempati urutan
ke 3 dari 10. 2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi demam tifoid

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan
bakteremia tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus
dan Payer’r. patch.3,4

B. Etiologi demam tifoid

Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella. Salmonella memiliki
dua spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica terbagi
dalam enam subspesies, yaitu : I. Salmonella enterica subsp. enterica; II. Salmonella enterica
subsp. salamae; IIIa. Salmonella enterica subsp. arizonae; IIIb. Salmonella enterica subsp.
diarizonae; IV. Salmonella enterica subsp. hotenae; V. Salmonella enterica subsp. indica. 5
Salmonella enterica subsp. enterica memiliki setidaknya 1454 serotipe, beberapa
diantaranya adalah : Salmonella Choleraesuis, Salmonella Dublin, Salmonella Enteritis,
Salmonella Gallinarum, Salmonella Hadar, Salmonella Heidelberg, Salmonella Infantis,
Salmonella Paratyphi, Salmonella Typhi, Salmonella Typhimurium, dan Salmonella Genrus.5
Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi adalah bakteri penyebab demam tifoid.
Bakteri ini berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan
mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di
dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 66o C)
selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan klorinasi.6

Salmonella Typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : 3

2
1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman. Bagian ini
mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak
tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula
pembentukan 3 macam antibodi yang disebut aglutinin.

C. Epidemiologi demam tifoid


Distribusi dan Frekuensi
- Orang
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata
antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan
usia 12 –30 tahun 70 –80 %, usia 31 –40 tahun 10 –20 %, usia > 40 tahun 5 –10 %.
Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 %
penderita demam tifoid pada umur 3 –19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun
dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 –3 tahun
sebesar 263 per 100.000 penduduk.
- Tempat dan Waktu
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam tifoid
di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000
penduduk. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta
Utara pada tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan
pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan)


- Faktor Host

3
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan
Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh
kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan
tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada dalam bakterimia kepada bayinya. Penelitian yang dilakukan oleh Heru
Laksono (2009) dengan desain case control , mengatakan bahwa kebiasaan jajan di
luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar
dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar dan anak yang mempunyai
kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan beresiko terkena penyakit demam
tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum
makan.
- Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat
menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 –109 kuman yang tertelan melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi
yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.
- Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis
terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar
hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya
penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum
dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Berdasarkan
hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain case control,
mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai resiko terkena
penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene
perorangan yang baik dan kualitas air minum yang tercemar berat coliform beresiko
6,4 kali lebih besar terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas
air minumnya tidak tercemar berat coliform.

D. Mekanisme penularan dan Patogenesis demam tifoid

4
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia melalui
makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita tifoid. 4,7
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :
1) Penderita Demam Tifoid, yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu
mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit
maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada
umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya.
2) Karier Demam Tifoid, penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses
atau urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa
disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 –3 bulan
masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut
karier pasca penyembuhan. Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah
kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu
apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk
menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya. Karier dapat dibagi dalam
beberapa jenis, yaitu :
- Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah
menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi mengandung unsur
penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti pada penyakit poliomyelitis,
hepatitis B dan meningococcus.
- Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas, tetapi telah
mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber penularan, seperti pada
penyakit cacar air, campak dan pada virus hepatitis.
- Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh dari
penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan penyakit tersebut
untuk masa tertentu, yang masa penularannya kemungkinan hanya sampai tiga bulan
umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan pada dipteri.
- Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama seperti pada
penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.
Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman

5
dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel usus dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia
kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.3

Gambar 3.2. Mekanisme infeksi Salmonella Typhi .4

Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk
ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) kemudian
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Dengan periode
waktu yang bervariasi antara 1-3 minggu, kuman bermultiplikasi di organ-organ ini
kemudian meninggalkan makrofag dan kemudian berkembang biak di luar makrofag dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.3
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara intermiten. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus
usus. Proses yang sama terulang kembali, oleh karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya

6
maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1,
IL-6, IL-8, TNF-β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.3
Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perforasi usus.3

E. Manifestasi klinis demam tifoid


Pengetahuan tentang gambaran klinis demam tifoid sangatlah penting untuk membantu
mendeteksi secara dini. Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-
gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimptomatik
hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.3
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Pada minggu
pertama, ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut umumnya yaitu
demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.6
Karakteristik demamnya adalah demam yang meningkat secara perlahan-lahan berpola
seperti anak tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke hari, lebih rendah pada pagi hari
dan tinggi terutama pada sore hingga malam hari. Pada akhir minggu pertama, demam akan
bertahan pada suhu 39-40°C. Pasien akan menunjukkan gejala rose spots, yang warnanya
seperti salmon, pucat, makulopapul 1-4 cm lebar dan jumlahnya kurang dari 5; dan akan
menghilang dalam 2-5 hari. Hal ini disebabkan karena terjadi emboli oleh bakteri di dermis.3
Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin berkembang jelas, berupa demam,
bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1o C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8
kali per menit, kemudian didapatkan pula lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan
ujung lidah merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental
berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Beberapa penderita dapat menjadi

7
karier asimptomatik dan memiliki potensi untuk menyebarkan kuman untuk jangka waktu
yang tidak terbatas.3

F. Diagnosis Demam Tifoid


Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat
oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai
penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode
terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis
dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara
molekuler.4

1) Pemeriksaan darah tepi


Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal,
bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis
biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan
limfositosis.8 Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan
jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan
nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam
tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis menjadi dugaan kuat
diagnosis demam tifoid.9

2) Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri Salmonella
Typhi dalam biakan dari darah, urine, feses dan sumsum tulang. Bakteri akan lebih
mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine dan feses.4,10 Hasil biakan yang positif memastikan
demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
hasilnya tergantung pada beberapa faktor, seperti : (1) Telah mendapat terapi antibiotik.
Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan

8
kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif; (2) Jumlah darah yang
diambil terlalu sedikit (diperlukan kurang lebih 10 cc darah). Bila darah yang dibiak
terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif; (3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau
menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteremia
sehingga biakan darah dapat negatif; dan (4) Waktu pengambilan darah yang dilakukan
setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat. 4,6
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur
hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi
oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini mendukung teori bahwa kultur
sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun
dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika
sebelumnya.4 Media pembiakan yang direkomendasikan untuk Salmonella Typhi adalah
media empedu dari sapi. Media ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya
Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.4
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 70-90% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika
dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang
dipakai.4
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga
minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu
pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode yang mempunyai sensitivitas paling
tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama
perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur
darah negatif sebelumnya.8 Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai
dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen
empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi
tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. 8

9
3) Uji serologis
a. Uji Widal
Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella
Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella Typhi
terdapat dalam serum penderita demam tifoid, orang yang pernah tertular Salmonella
Typhi, dan orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang
digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella Typhi yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.3
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum, aglutinin O mulai muncul pada
hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak hari
timbulnya demam. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula
kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif,
titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan pada selang
waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3
minggu memastikan diagnosis demam tifoid.3
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
- Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut.
- Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah pernah mendapat
imunisasi atau pernah menderita infeksi.
- Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier.
b. Uji Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi.8 Uji ini sering dipakai
untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen O9 LPS, antibodi IgG
terhadap antigen flagela d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi Salmonella Typhi.
Chaicumpa dkk mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%
pada sampel feses, dan 40% pada sampel sumsum tulang.11
c. Pemeriksaan Dipstik

10
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella Typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella Typhi
sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen
kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai
fasilitas laboratorium yang lengkap.11

d. Uji Tubex®
Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh IDL
Biotech, Broma, Sweden.11 Tes ini sangat cepat, hanya membutuhkan waktu 5-10
menit, sederhana dan akurat. Tes ini mendeteksi serum antibodi IgM terhadap antigen
O9 LPS yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella Typhi. Pada orang yang
sehat normalnya tidak memiliki IgM anti-O9 LPS.11
Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semi kuantitatif dengan cara
membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex® color scale yang
tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah) hingga nilai
10 (warna paling biru).
Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut menurut IDL Biotech
2008: 3
1.Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam tifoid).
2.Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan ulang.
3. Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).
Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan gejala
klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi demam tifoid
yang sangat kuat.
e. Uji Typhidot®
Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh
Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji Typhidot® dinilai positif apabila
didapatkan reaksi dengan intensitas yang sama dengan atau lebih besar dari reaksi

11
kontrol, terlihat pada kertas saring komersial yang telah disiapkan. Tes ini
memperingatkan, jika hasil yang diperoleh tak tentu, tes harus diulang setelah 48
jam.3

4) Identifikasi kuman secara molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella Typhi dalam darah dengan teknik
hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA.3

G. Terapi Demam Tifoid

Non Medika Mentosa

1) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.3,12,13,14
2) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi
usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi.
Diet untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak,
tim, dan nasi biasa.
3) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran
serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
4) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke
hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas
di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat
dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor

12
pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior
sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/
kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi
penurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat
dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat
pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka
pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.

Medika Mentosa
1) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan
dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya
karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang
masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak
mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah
yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin. 3, 4, 7
2) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :
- Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra
Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder
pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah
mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
- Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan
sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan
Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2

13
minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan
granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah
dilaporkan resisten.
- Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
- Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan
Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone
merupakan prototipnya dengan dosis 50-100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis
(maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat
diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis
awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan
tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan
laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.
H. Pencegahan Demam Tifoid
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap
sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat
dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid,
yaitu : 5,7,8

1. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum
selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada

14
wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5
tahun.
2. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine
(Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk
dewasa 0,5 ml, anak 6 –12 tahun 0,25 ml dan anak 1 –5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis
dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan
nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada
pemberian pertama.
3. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara
intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui,
sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi
daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas
laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan
pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya
cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman
berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian
makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan
perbaikan sanitasi lingkungan.
Pencegahan sekunder dapat berupa :
1. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans
demam tifoid.
2. Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit
atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan.Penderita yang dirawat harus tirah
baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi.
Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka dilakukan
mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita.
Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet. Penderita harus
mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral
diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit

15
makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Sedangkan diet harus
mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk mencegah
perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas : diet cair,
bubur lunak, tim dan nasi biasa.
3. Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol
masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka
waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps.
Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena
dapat menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat
yang paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.
I. Komplikasi Demam Tifoid
Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan mengancam nyawa,
terggantung dari faktor inang ( terapi imunosupresi, terapi antasida, riwayat vaksinasi),
virulensi dari bakteri dan pemilihan terapi antibiotik. Pendarahan gastrointestinal *10-20%)
dan perforasi intestinal (1-3%), hal ini biasa terjadi minggu ke-3 dan minggu ke-4.
Pendarahan gastrointestinal dan perforasi intestinal terjadi akibat hiperplasia, ulsersi dan
nekrosis dari plak peyeri ileocecal. Keuda komplikasi ini dapat mengancam nyawa dan
membutuhkan resusistasi cairan segera dan intervensi bedah dengan pemberian antibiotik
spektrum luas untu periotinits polimikrobial. Manifestasi neurologikal dapat ditemukan pada
2 -40% berupa, meningitis, guillain-barre syndrome, neuritits dan gejala neuropsikiatrik.10
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa disseminated intravascular coagulation,
hematophagotic syndrome, pankreatitis, hepatitis, miokarditis, orkitis, glomerulonefritis,
pieloneftitis, pneumonia berat, arthritis, osteomielitis. Namun komplikasi ini sudah jarnag
terjadi akibat pemberian antibiotik yang tepat.8

16
Gambar 3.7 : Perforasi ileum akibat infeksi S. typhi

J. Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.4,7
Relaps dapat timbul beberapa kali. Ind bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis.
Resiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik
terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.4

17
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Data Demografi
 Nama :S
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Tempat / Tanggal lahir : Makassar. 01 Juni 2001
 Alamat : Jln. Andi Tonro Lr IV No.11 RT
002 RW 008 Kelurahan Pa’baeng Baeng
 No. KTP/Tanda pengenal: 7371100106010011
 No. Telpon/HP : 082346716239
 Pendidikan : SMA
 Pekerjaan : Pelajar
 Agama/Kepercayaan : Islam
 Status perkawinan : Belum Kawin
 Suku/ bangsa : Makassar

B. Data Biologis
 Tinggi badan :177 cm
 Berat badan : 49 kg
 Deskripsi rambut : Pendek, hitam, lurus, tidak mudah dicabut
 Deskripsi hidung : mancung, sadle nose (-)
 Deskripsimata : konjunctiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik
 Deskripsi warna kulit : Sawo Matang
 Kelainan bawaan : Tidak ada
 Tanda khusus : Tidak ada

Tanggal kunjungan puskesmas :

a. Tanggal kunjungan rumah I : 14 September 2019


b. Tanggal kunjungan rumah II : 16 September 2019
c. Tanggal kunjungan rumah II : 19 September 2019

C. Anamnesis
Seorang pasien laki-laki usia 17 tahun datang ke Poli Umum Puskesmas Jongaya
dengan keluhan demam yang dialami sejak 3 hari yang lalu. Demam dirasakan memberat

18
mulai sore hari dan semakin tinggi pada malam hari, kemudian demam turun pada pagi
hari. Selain itu pasien mengeluhkan nyeri kepala(+), batuk (-), flu (-), menggigil(-).
Selain itu pasien mengeluhkan mual (+), muntah(-), nyeri perut bagian atas (+), dan
nafsu makan pasien menurun. BAK frekuensi sekitar 5-6 kali per hari, warna kuning
jernih, dan tidak terasa sakit. Pasien mengeluhkan BAB 4x konsitensi encer(+),
lendir(+), ampas(+). Pasien tidak pernah melakukan perjalanan keluar kota (daerah
edemik).

Riwayat Penyakit Sebelumnya


Berdasarkan pernyataan pasien dan keluarga pasien, pasien belum pernah mengalami
keluhan yang sama.

Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial:

Dalam keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit yang sama. Pasien memiliki
kebiasaan jarang mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar. Selain itu,
pasien sering melakukan aktifitas di luar rumah berupa kegiatan organisasi disekolah,
sehingga pasien kurang beristirahat.

ANAMNESIS KELUARGA :

a. Bentuk & Fungsi Keluarga

1) Bentuk Keluarga

- Bentuk Keluarga menurut Goldenberg

Keluarga terdiri dari kepala keluarga (KK) yang merupakan Nenek pasien

bernama Ny. A 56 tahun, An. S sebagai pasien berusia 17 tahun, cucu kedua

bernama R berusia 16 tahun. Bentuk keluarga adalah Keluarga Besar (Extended

Family) yaitu keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak kandung, juga

sanak saudara lainnya, baik menurut garis vertical (ibu, bapak, kakek, nenek,

19
mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak, adik, ipar) yang

berasal dari pihak suami atau pihak istri.

- Bentuk keluarga menurut Sussman

Menurut sussmann, bentuk keluarga ini adalah Keluarga Tradisional,

adalah keluarga yang pembentukannya sesuai atau tidak melanggar norma-norma

kehidupan masyarakat yang secara tradisional dihormati bersama. Hal yang

terpenting adalah keabsahan ikatan perkawinan antara suami dan istri.

2) Fungsi Keluarga

a) Fungsi biologis

 Untuk meneruskan keturunan.

 Memelihara dan membesarkan anak.

 Memenuhi kebutuhan gizi keluarga.

 Memelihara dan merawat anggota keluarga.

b) Fungsi Psikologis

 Memberikan kasih sayang dan rasa aman.

 Memberikan perhatian diantara anggota keluarga.

 Membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga.

 Memberikan Identitas anggota keluarga.

c) Fungsi Sosial

 Membina sosialisasi pada anak.

 Membentuk norma-norma perilaku sesuai dengan tingkat perkembangan anak.

 Meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.

d) Fungsi Ekonomi

20
 Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

 Pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan

keluarga.

 Menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga di masa yang akan datang,

misalnya pendidikan anak-anak, jaminan hari tua, dsb.

Keluarga ini telah memenuhi fungsi keluarga secara lengkap baik dari segi fungsi

biologis, psikologis, sosial sedangkan dari segi ekonomi kurang baik dikarenakan anak

mereka yang tidak mendapatkan pendidikan secara tuntas.

b. Siklus Keluarga

Tahapan siklus keluarga menurut Duvall pada keluarga Ny. A termasuk ke

dalam tahap ke 4 yaitu keluarga dengan anak usia sekolah. Dimana keluarga ini

memiliki 2 orang cucu. Dimana cucu pertama berusia sekolah dan cucu kedua berusia

sekolah.

B. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan umum dan tanda-tanda vital


- Kesadaran : Composmentis
- GCS : 15
- Tekanan darah : 110/70 mmhg
- Frekuensi nadi : 88 x/mnt
- Frekuensi Pernapasan : 20 x/mnt
- Suhu : 37,90 C
- Berat Badan : 49 kg
- Tinggi Badan : 177 cm
2) Status Generalis
- Kepala : Normocephal

21
- Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik(- /-), Pupil bulat, isokor
- Mulut :

Simetris
Bibir : sianosis (-) kering (+)
Gusi : hiperemis (-), perdarahan (-)
Lidah : glositis (-), atrofi papil lidah (-) kotor (+)
- THT (tonsil) : Hiperemis(-) T1-T1
- Leher : Pembesaran KGB dan tiroid (-)
- Paru-paru
 Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanandan kiri
 Palpasi : Fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri
 Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler kanan dan kiri, rhonki halus (-/-),
wheezing (-/-)
- Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak nampak
 Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula
sinistra, Nyeri Tekan (-)

 Perkusi : Batas jantung kanan ICS IV linea sternalis dextra,


batas jantung kiri ICS V linea midklavikula sinistra

 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, murmur(-)


- Abdomen
 Inspeksi : Simetris, datar, kelainan kulit (+), pelebaranvena (-)
 Auskultasi : Bising usus normal
 Palpasi : Nyeri tekan (+) region atas, nyeri ketuk (-), hepatomegali (-)
spleenomegali (-)
 Perkusi : Timpani di semua lapang abdomen, nyeri ketuk (+)
- Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)

22
3) Status Gizi
 BB : 49 Kg
 TB : 177 cm
 BB Ideal : (177 - 100) – (10 % x 77) = 69,3 kg
 IMT : BB/TB2 = 49/1,772 = 15,6 kg/m2 (Berat badan kurang)

Tabel 10. Kriteria Indeks Massa Tubuh (IMT)


IMT KATEGORI

< 18,5 Berat badan kurang

18,5 – 22,9 Berat badan normal

≤ 23,0 Kelebihan berat badan

23,0 – 24,9 Berisiko menjadi obesitas

25,0 – 29,9 Obes I

≥ 30,0 Obes II

Sumber : Centre for Obesity Research and Education 2007

D. Pemeriksaan Penunjang Yang Diperlukan


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosis
yakni:
1. Pemeriksaan Darah Rutin
2. Pemeriksaan Uji Widal

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG YANG DIDAPATKAN


Hasil pemeriksaan Lab. tanggal Selasa 11/ 9 /2019
 Hasil Pemeriksaan Widal Slide :
S. typhi O = 1/320
S. typhi H = 1/320
 Hasil pemeriksaan Trombosit : 149000 mm3
23
E. Diagnosis Banding

1. Demam Berdarah Dengue ( ICD X : A.91)


2. Malaria (ICD X : B.54)

F. Diagnosis Kerja

Demam Tifoid

G. Terapi

Farmakologi
Terapi dari Puskesmas

 Paracetamol 500 mg 3x1


 Chloramphenicol 500 mg 4 x 1
 Omeprazole 10 mg 1x1
 Bcom 2x1

Non Farmakologi

Intervensi yang dilakukan secara non-medikamentosa yaitu:

1. Tirah baring, dimana penderita harus mengurangi aktifitasnya, diharuskan istirahat.


2. Minum air putih yang cukup dan diet rendah serat, cukup vitamin dan mineral.
Diet untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim,
dan nasi biasa.
3. Menjaga kebersihan makanan, mengurangi kebiasaan makan dan minum di luar rumah yang
kebersihannya diragukan dan membiasakan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan
dan menjaga kebersihan kuku.
4. Edukasi kepada keluarga atau orang yang kontak dengan pasien diberikan penjelasan
mengenai penyakit pasien, rute tranmisi, gejala-gejala, dan komplikasi.

24
5. Penyuluhan cuci tangan yang efektif, terutama setelah BAB dan BAK, dan sebelum
menyiapkan makanan atau makan.
6. Penyuluhan higiene perorangan, keluarga dan lingkungan serta pola hidup bersih dan sehat.

H.Prognosis
Quo ad vitam dan fungsional : dubia ad bonam

25
PEMBAHASAN

A. Genogram

Keterangan :

= Laki-laki = Perempuan = Meninggal

= Tinggal Serumah = Penderita

26
B. Apgar Keluarga
Apgar keluarga adalah suatu penentu sehat / tidaknya keluarga dikembangkan oleh
Rosen, Geymon, dan Leyton dengan menilai 5 fungsi pokok keluarga / tingkat kesehatan
keluarga yaitu :

TABEL NILAI APGAR


Respons
Hampir
KRITERIA PERTANYAAN Hampir
Kadang tidak
selalu
pernah
Apakah pasien puas dengan
keluarga karena masing-masing
Adaptasi anggota keluarga sudah √
menjalankan kewajiban sesuai
dengan seharusnya
Apakah pasien puas dengan
keluarga karena dapat membantu
Kemitraan √
memberikan solusi terhadap
permasalahan yang dihadapi
Apakah pasien puas dengan
kebebasan yang diberikan
Pertumbuhan √
keluarga untuk mengembangkan
kemampuan yang pasien miliki
Apakah pasien puas dengan
Kasih Sayang kehangatan / kasih sayang yang √
diberikan keluarga
Apakah pasien puas dengan
Kebersamaan waktu yang disediakan keluarga √
untuk menjalin kebersamaan
TOTAL

27
Skoring : Hampir selalu=2 , kadang-kadang=3 , hampir tidak pernah=0

Total skor

8-10 = fungsi keluarga sehat

4-7 = fungsi keluarga kurang sehat

0-3 = fungsi keluarga sakit

Dari tabel APGAR keluarga diatas total nilai skoringnya adalah 7, ini menunjukan
fungsi keluarga kurang sehat.

28
C. Mandala Of Healthy

GAYA HIDUP

Pemenuhan kebutuhan
primer dapat tercukupi
dengan baik.

PERILAKU KESEHATAN LINGK. PSIKO-SOSIO-


- Jarang mencuci tangan EKONOMI
sebelum makan dan sesudah buang
air besar.
- Akitivitas di luar
- Pendapatan keluarga
Rumah berupa kegiatan organisasi cukup.
sekolah dilakukan oleh pasien, - Kehidupan sosial baik.
sehingga pasien kurang beristirahat.

PASIEN
PELAYANAN - Datang dengan keluhan demam sejak LINGK. KERJA
KESEHATAN 3hari yang lalu. Demam memberat
- Jarak rumah mulai sore hari dan semakin tinggi - Hygine
dengan tempat malam hari. Nyeri kepala (+), mual lingkungan
pelayanan (+), neri perut bagian atas (+)
sekolah
kesehatan tidak - TD: 110/70 mmHg
terlalu jauh. - Lidah kotor (+)
- Pemeriksaan tambahan:widal
- test (+)

LING. FISIK
FAKTOR BIOLOGI
- Keadaan rumah dan
- Riwayat tifoid di lingkungan cukup baik.
keluarga (-)

KOMUNITAS

- Pemukiman padat penduduk

29
D. Kegiatan Kunjungan Rumah
 Home Visit I (tanggal 14 September 2019)
- 1 (satu) hari setelah pasien berobat dipuskesmas dilakukan pemeriksaan tanda-tanda
vital, diperoleh suhu : 36,7 derajat celcius: pasien sudah tidak demam lagi.
- Melakukan pemeriksaan di regio abdomen: nyeri tekan (-)
- Melakukan pemeriksaan gigi dan mulut: lidah kotor (+)
- Memantau kepatuhan pasien meminum obatnya. Pasien patuh meminum obatnya.
- Menggali informasi mengenai penyakit yang diderita oleh pasien, riwayat berobat
dan kebiasaan sehari-hari. Saat itu keluhan mual dan muntah sudah tidak ada.
Sebelum berobat ke puskesmas pasien sudah minum obat penurun panas tapi
keluhan masih ada.
- Pasien menyukai membeli jajanan di depan sekolah.
- Pasien sering melakukan aktivitas organisasi di sekolah, sehingga pasien kurang
beristirahat.
- Pasien jarang melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktifitas.
- Keadaan rumah pasien terlihat cukup bersih, pasien tinggal bersama nenek dan
adik kandungnya. Kondisi halaman dan lorong cukup bersih.
- Mengedukasi pasien dan keluarganya mengenai pola hidup bersih dan sehat dalam
keluarga, salah satunya dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan
memakai sabun.
- Mengedukasi pasien dan keluarganya untuk pasien tinggal di rumah dan tidak ke
sekolah sampai pemulihan.
- Mengajak keluarga untuk memulai memasak dengan pola makan gizi seimbang
dan sehat. Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah
serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus, seperti diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
- Saat itu pasien masih izin tidak pergi ke sekolah.
- Home Visit II (tanggal 16 September 2019)
- 2 hari setelah pasien berobat di Puskesmas.
- Memantau kepatuhan minum obat yang diberikan dari puskesmas, sudah diminum
secara teratur.

30
- Keluhan nyeri perut sudah tidak ada.
- Mengedukasi kepada ibu dan juga pasien untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut
dengan cara rutin menggosok gigi pagi dan sebelum tidur.
- Mengajak keluarga untuk mempertahankan memasak dengan pola makan gizi
seimbang dan sehat.
- Kondisi pasien sudah membaik karena pada saat melakukan kunjungan nampak
pasien sudah dapat beraktifitas seperti biasa.
- Saat itu pasien masih izin tidak pergi ke sekolah.
- Home visit III (tanggal 19 September 2019)
- Ditingkatkan kembali sikap disiplin keluarga agar pasien patuh minum obat.
- Menurut keterangan neneknya, pasien sudah mulai rajin mencuci tagan dengan
benar menggunakan sabun dan menggosok giginya.
- Mengingatkan pasien dan keluarganya untuk selalu melakukan pola hidup bersih
dan sehat.
- Mengingatkan pasien untuk kembali ke puskesmas untuk mengambil obat jika
persediaan sudah habis.
- Saat itu pasien belum mulai kembali bersekolah meski kondisi sehat dan ceria.
E. DIAGNOSA HOLISTIK
- Aspek personal
 Alasan berobat : Tubuh pasien demam dialami 3 hari, dirasakan demam timbul
pada sore dan malam hari. Disertai adanya, nyeri perut, rasa mual.
 Harapan : Berobat dengan harapan keluhan cucunya teratasi, dan dapat
pulih kembali.
 Kekhawatiran : Takut terjadi komplikasi yang berat.
- Aspek Klinis
Diagnosa kerja : Demam Thyfoid
Diagnosa Banding : Demam Dengue
- Aspek Faktor Intrinsik
(merupakan faktor-faktor internal yang mempengaruhi masalah kesehatan pasien)
- Pola makan pasien, pasien suka mengkonsumsi makanan yang dijual di depan
sekolah. Namun, makanan tiap hari di rumah dimasak oleh nenek pasien sendiri.

31
- Gaya hidup pasien; pasien jarang mencuci tangan sebelum makan dan sesudah
buang air besar.
- Akitivitas bermain di luar rumah sangat sering dilakukan oleh pasien, sehingga
pasien kurang beristirahat.
- Aspek Psikososial Keluarga
(merupakan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi masalah kesehatan pasien)
- Peran keluarga dalam mendukung pasien seperti nenek mengantar pasien berobat
ke puskesmas dan memantau pasien untuk patuh meminum obatnya.
 Penilaian Status sosial dan kesejahteraan hidup
 Lingkungan tempat tinggal
Status kepemilikan rumah : Milik sendiri
Daerah perumahan : Tidak padat dan tidak berjauhan.
Luas rumah 4x7m
Bertingkat Ya
Jumlah penghuni rumah 3orang
Luas halaman -
Lantai rumah terbuat dari Keramik
Dinding rumah terbuat dari Tembok
Kondisi dalam rumah Sedang
Penerangan listrik Ada
Jamban Ada
Ketersediaan air bersih Ada (air PAM)

 Kepemilikan barang – barang berharga


o An.S memiliki beberapa barang elektronik di rumahnya antara lain yaitu, 1 buah
tv, 1 buah kipas angin, 1 buah rice cooker, 1 buah kompor, 1 buah blender , 1
buah kulkas, dan 1 buah mesin cuci.
 Penilaian perilaku kesehatan keluarga
o An.S dibawa oleh neneknya berobat ke puskesmas dengan menggunakan jaminan
kesehatan berupa kartu BPJS.
 Status Sosial dan Kesejahteraan Keluarga

32
o Pekerjaan sehari-hari Nenek pasien adalah seorang buruh harian . Tempat tinggal
pasien menetap dengan kondisi rumah yang cukup baik. Pendapatan keluarga
dirasa cukup oleh pasien.

 Pola Konsumsi Makanan Keluarga


o Pola makan 3 kali sehari dengan menu sayur dan ikan yang dimasak oleh nenek di
rumah.
 Psikologi Dalam Hubungan Antar Anggota Keluarga
o Pasien memiliki hubungan yang baik dengan sesama anggota keluarga terutama
nenek dan adik kandung. Meskipun tidak tinggal sama ibu dan ayahnya namun
hubungannya juga sama baiknya.
 Kebiasaan
o Pasien mempunyai kebiasaan jajan di warung sekolah dan beraktivitas di luar
rumah
 Lingkungan
o Lingkungan tempat tinggal cukup baik. Tata pemukiman di sekitar rumah padat
penduduk. Namun, kebersihan lingkungan luar dan dalam rumah cukup baik.
Ventilasi rumah pasien sangat minim, sehingga pertukaran udara tidak terlalu
baik, terutama saat nenek, pasien memasak. Di ruang belakang tidak ada jendela
sehingga udara tidak mengalami pertukaran. Pencahayaan cukup baik. Ada WC
yang baik. Sumber air bersih diperoleh pasien dari air PAM. Jalanan di depan
rumah dalam kondisi setapak dan cukup baik.

33
Data sarana pelayanan kesehatan dan lingkungan kehidupan keluarga

Faktor Keterangan Kesimpulan tentang faktor


pelayanan kesehatan
Sarana pelayanan Puskesmas Pelayanan dengan
kesehatan yang menggunakan kartu BPJS
digunakan oleh
keluarga
Cara mencapai sarana Naik bentor Jarak puskesmas degan
pelayanan kesehatan kediaman an.S cukup dekat
tersebut
Tarif pelayanan Gratis Semua pelayanan dengan
kesehatan yang menggunakan BPJS
dirasakan
Kualitas pelayanan Baik Pasien merasa pelayanan baik
kesehatan yang karena dimulai dari
dirasakan pendaftaran , pengambilan
kartu, konsul dokter,
pengambilan obat berjalan
dengan lancar.

F. Indikator Keluarga Sehat


Untuk menetukan apakah keluarga pasien merupakan keluarga sehat, maka
dilakukan penilaian berdasarkan indikator keluarga sehat sebagai berikut :
No Aminah Sultan (17 Rohit (16
Keterangan Keluarga Poin
. (56 th) th) th)
Keluarga
1. mengikuti N
program KB
Ibu melakukan
2. persalinan di N
faskes
Bayi
3. N
mendapatkan

34
imunisasi dasar
lengkap
Bayi
4. mendapatkan N
ASI eksklusif
Balita dipantau
5. pertumbuhanny N
a
Penderita TB
paru
6. mendapatkan N
pengobatan
sesuai standar
Penderita
hipertensi
7. melakukan N
pengobatan
secara teratur
Anggota
keluarga tidak
8. Y Y Y 1
ada yang
merokok
Keluarga sudah
9. menjadi Y Y Y 1
anggota JKN
Keluarga
mempunyai
10. Y Y Y Y 1
akses sarana air
bersih
Keluarga
mempunyai
11. akses dan Y Y Y Y 1
menggunakan
jamban sehat
Penderita N
gangguan jiwa
mendapatkan
12.
pengobatan dan
tidak
diterlantarkan
4/(12-
Total 8)=4/
4
Indeks Keluarga 1
Sehat (IKS)

35
Jumlah N : 8
Jumlah Y : 4
Jumlah T : 0
Kategori keluarga :
Tidak sehat < 0,5
Pra Sehat 0,5 – 0,8
Sehat > 0,8

Berdasarkan data yang diperoleh maka kelarga pasien didapatkan hasil satu dan
dapat digolongkan kedalam kategori keluarga sehat.

G . Identifikasi Masalah Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat

No. Kriteria yang dinilai Jawaban Skor


1. Persalinan ditolong oleh tenaga kerja TIDAK 0
2. Memberi ASI Ekslusi - -
3. Menimbang balita setiap bulan - -
4. Menggunakan air bersih YA 1
5. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun YA 1
6. Menggunakan jamban sehat YA 1
7. Memberntas jentik dirumah sekali seminggu YA 1
8. Makan buah dan sayur setiap hari YA 1
9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari YA 1
10. Tidak merokok didalam rumah YA 1
Total jawaban
Interpretasi: Total skor adalah 7 yang berarti keluara Tn.S cukup menerapkan PHBS.

36
BAB IV

KESIMPULAN

Tn. S didiagnosis Demam Tifoid dengan Tes Widal +. Penatalaksanaan yang diberikan
berupa antibiotic golongan Fluoroquinolone. Terdapat perubahan perilaku pada Tn.S setelah
diberikan intervensi yaitu Tn.S telah menerapkan pola hidup bersih dan sehat yang terlihat dari
pola makan yang sehat, istirahat yang cukup, dan aktivitas latihan jasmani yang baik.

37
BAB V

LAMPIRAN

Kondisi bagian depan rumah

Ruang Tamu

38
Kamar Tidur

Dapur dan kamar mandi

39
40
DAFTAR PUSTAKA

1. Widodo, D. 2009, Demam tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. editor: Aru W. Sudoyo,

dkk. Interna Publishing. Jakarta. Hal: 435-441.

2. Alladany N. 2010. Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Perilaku Kesehatan terhadap

kejadian Demam Tifoid di kota Semarang. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro;

3. Soedarmo SS et al. Demam tifoid dalam Buku ajar infeksi & pediatri tropis, Ed. 2. Jakarta :

Badan Penerbit IDAI; 2008.

4. Vollaard AM et al. Risk factors for typhoid and paratyphoid fever in Jakarta, Indonesia.

JAMA. 2004; 291: 2607-15.

5. Tim Penyusun. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik

Indonesia; 2010.

6. Tumbelaka AR. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update, Edisi

1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2003.

7. Widoyono. Penyakit Tropis. Jakarta: Erlangga; 2011.

8. Zulkarnain I. Diagnosis demam tifoid dalam Buku panduan dan diskusi demam tifoid.

Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2000.

9. Richard ES, Behrman RM, Ann MA. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC;

2000.

10. Michael E. Salmonella: A model for bacterial pathogenesis. Annu. Rev. Med. 2001; 52: 259-

274.

11. Departemen kesehatan Indonesia ; Program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga ;

tahun 2017. Diunduh : http://www.depkes.go.id/article/view/17070700004/program-

indonesia-sehat-dengan-pendekatan-keluarga.html.

41
12. World Health Organization [internet]. [unknown place]: World Health Organization; 2008.

Available from: www.who.int/immunization/topics/typhoid/en/index.html.

13. American Public Health Association. Typhoid fever in: Control of Communicable Diseases,

An officialreport of the American public health association, 17th edition. Washington DC:

American Public Health Association; 2000.

14. Sumarmo, dkk. Infeksi & Penyakit Tropis. Jakarta: FKUI; 2002.

42

Anda mungkin juga menyukai