PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah penyakit sitemik akut akibat infeksi Salmonella typhi. Demam
tifoid masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia. Penyakit ini
merupakan penyakit menular yang menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah.1
Di Indonesia, demam tifoid bersifat endemik. Penderita dewasa muda sering mengalami
komplikasi berat berupa perdarahan dan perforasi usus. Di Indonesia insidens penyakit tersebut
tergolong masih tinggi. Penyakit tersebut diduga erat hubungannya dengan hygiene perorangan
yang kurang baik, sanitasi lingkungan yang jelek (penyediaan air bersih yang kurang,
pembuangan sampah dan kotoran manusia yang kurang memenuhi syarat kesehatan, pengawasan
makanan dan minuman yang belum sempurna), serta fasilitas kesehatan yang kurang terjangkau
oleh sebagian besar masyarakat. 1
Organisme yang menyebabkan keadaan ini mampu bertahan hidup lama di lingkungan
kering dan beku. Bakteri ini juga mampu bertahan beberapa minggu di dalam air, es, debu
sampah kering dan pakaian, dan berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau produknya
tanpa merubah warna atau bentuknya.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan
bakteremia tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus
dan Payer’r. patch.3,4
Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella. Salmonella memiliki
dua spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica terbagi
dalam enam subspesies, yaitu : I. Salmonella enterica subsp. enterica; II. Salmonella enterica
subsp. salamae; IIIa. Salmonella enterica subsp. arizonae; IIIb. Salmonella enterica subsp.
diarizonae; IV. Salmonella enterica subsp. hotenae; V. Salmonella enterica subsp. indica. 5
Salmonella enterica subsp. enterica memiliki setidaknya 1454 serotipe, beberapa
diantaranya adalah : Salmonella Choleraesuis, Salmonella Dublin, Salmonella Enteritis,
Salmonella Gallinarum, Salmonella Hadar, Salmonella Heidelberg, Salmonella Infantis,
Salmonella Paratyphi, Salmonella Typhi, Salmonella Typhimurium, dan Salmonella Genrus.5
Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi adalah bakteri penyebab demam tifoid.
Bakteri ini berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan
mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di
dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 66o C)
selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan klorinasi.6
2
1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman. Bagian ini
mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak
tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula
pembentukan 3 macam antibodi yang disebut aglutinin.
3
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan
Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh
kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan
tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada dalam bakterimia kepada bayinya. Penelitian yang dilakukan oleh Heru
Laksono (2009) dengan desain case control , mengatakan bahwa kebiasaan jajan di
luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar
dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar dan anak yang mempunyai
kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan beresiko terkena penyakit demam
tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum
makan.
- Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat
menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 –109 kuman yang tertelan melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi
yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.
- Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis
terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar
hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya
penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum
dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Berdasarkan
hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain case control,
mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai resiko terkena
penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene
perorangan yang baik dan kualitas air minum yang tercemar berat coliform beresiko
6,4 kali lebih besar terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas
air minumnya tidak tercemar berat coliform.
4
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia melalui
makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita tifoid. 4,7
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :
1) Penderita Demam Tifoid, yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu
mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit
maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada
umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya.
2) Karier Demam Tifoid, penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses
atau urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa
disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 –3 bulan
masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut
karier pasca penyembuhan. Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah
kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu
apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk
menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya. Karier dapat dibagi dalam
beberapa jenis, yaitu :
- Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah
menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi mengandung unsur
penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti pada penyakit poliomyelitis,
hepatitis B dan meningococcus.
- Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas, tetapi telah
mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber penularan, seperti pada
penyakit cacar air, campak dan pada virus hepatitis.
- Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh dari
penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan penyakit tersebut
untuk masa tertentu, yang masa penularannya kemungkinan hanya sampai tiga bulan
umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan pada dipteri.
- Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama seperti pada
penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.
Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
5
dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel usus dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia
kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.3
Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk
ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) kemudian
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Dengan periode
waktu yang bervariasi antara 1-3 minggu, kuman bermultiplikasi di organ-organ ini
kemudian meninggalkan makrofag dan kemudian berkembang biak di luar makrofag dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.3
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara intermiten. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus
usus. Proses yang sama terulang kembali, oleh karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya
6
maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1,
IL-6, IL-8, TNF-β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.3
Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perforasi usus.3
7
karier asimptomatik dan memiliki potensi untuk menyebarkan kuman untuk jangka waktu
yang tidak terbatas.3
8
kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif; (2) Jumlah darah yang
diambil terlalu sedikit (diperlukan kurang lebih 10 cc darah). Bila darah yang dibiak
terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif; (3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau
menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteremia
sehingga biakan darah dapat negatif; dan (4) Waktu pengambilan darah yang dilakukan
setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat. 4,6
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur
hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi
oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini mendukung teori bahwa kultur
sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun
dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika
sebelumnya.4 Media pembiakan yang direkomendasikan untuk Salmonella Typhi adalah
media empedu dari sapi. Media ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya
Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.4
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 70-90% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika
dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang
dipakai.4
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga
minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu
pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode yang mempunyai sensitivitas paling
tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama
perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur
darah negatif sebelumnya.8 Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai
dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen
empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi
tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. 8
9
3) Uji serologis
a. Uji Widal
Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella
Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella Typhi
terdapat dalam serum penderita demam tifoid, orang yang pernah tertular Salmonella
Typhi, dan orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang
digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella Typhi yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.3
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum, aglutinin O mulai muncul pada
hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak hari
timbulnya demam. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula
kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif,
titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan pada selang
waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3
minggu memastikan diagnosis demam tifoid.3
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
- Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut.
- Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah pernah mendapat
imunisasi atau pernah menderita infeksi.
- Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier.
b. Uji Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi.8 Uji ini sering dipakai
untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen O9 LPS, antibodi IgG
terhadap antigen flagela d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi Salmonella Typhi.
Chaicumpa dkk mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%
pada sampel feses, dan 40% pada sampel sumsum tulang.11
c. Pemeriksaan Dipstik
10
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella Typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella Typhi
sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen
kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai
fasilitas laboratorium yang lengkap.11
d. Uji Tubex®
Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh IDL
Biotech, Broma, Sweden.11 Tes ini sangat cepat, hanya membutuhkan waktu 5-10
menit, sederhana dan akurat. Tes ini mendeteksi serum antibodi IgM terhadap antigen
O9 LPS yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella Typhi. Pada orang yang
sehat normalnya tidak memiliki IgM anti-O9 LPS.11
Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semi kuantitatif dengan cara
membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex® color scale yang
tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah) hingga nilai
10 (warna paling biru).
Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut menurut IDL Biotech
2008: 3
1.Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam tifoid).
2.Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan ulang.
3. Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).
Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan gejala
klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi demam tifoid
yang sangat kuat.
e. Uji Typhidot®
Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh
Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji Typhidot® dinilai positif apabila
didapatkan reaksi dengan intensitas yang sama dengan atau lebih besar dari reaksi
11
kontrol, terlihat pada kertas saring komersial yang telah disiapkan. Tes ini
memperingatkan, jika hasil yang diperoleh tak tentu, tes harus diulang setelah 48
jam.3
1) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.3,12,13,14
2) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi
usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi.
Diet untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak,
tim, dan nasi biasa.
3) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran
serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
4) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke
hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas
di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat
dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor
12
pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior
sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/
kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi
penurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat
dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat
pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka
pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.
Medika Mentosa
1) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan
dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya
karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang
masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak
mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah
yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin. 3, 4, 7
2) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :
- Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra
Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder
pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah
mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
- Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan
sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan
Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2
13
minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan
granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah
dilaporkan resisten.
- Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
- Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan
Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone
merupakan prototipnya dengan dosis 50-100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis
(maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat
diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis
awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan
tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan
laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.
H. Pencegahan Demam Tifoid
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap
sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat
dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid,
yaitu : 5,7,8
1. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum
selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada
14
wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5
tahun.
2. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine
(Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk
dewasa 0,5 ml, anak 6 –12 tahun 0,25 ml dan anak 1 –5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis
dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan
nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada
pemberian pertama.
3. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara
intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui,
sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi
daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas
laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan
pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya
cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman
berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian
makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan
perbaikan sanitasi lingkungan.
Pencegahan sekunder dapat berupa :
1. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans
demam tifoid.
2. Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit
atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan.Penderita yang dirawat harus tirah
baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi.
Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka dilakukan
mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita.
Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet. Penderita harus
mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral
diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit
15
makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Sedangkan diet harus
mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk mencegah
perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas : diet cair,
bubur lunak, tim dan nasi biasa.
3. Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol
masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka
waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps.
Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena
dapat menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat
yang paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.
I. Komplikasi Demam Tifoid
Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan mengancam nyawa,
terggantung dari faktor inang ( terapi imunosupresi, terapi antasida, riwayat vaksinasi),
virulensi dari bakteri dan pemilihan terapi antibiotik. Pendarahan gastrointestinal *10-20%)
dan perforasi intestinal (1-3%), hal ini biasa terjadi minggu ke-3 dan minggu ke-4.
Pendarahan gastrointestinal dan perforasi intestinal terjadi akibat hiperplasia, ulsersi dan
nekrosis dari plak peyeri ileocecal. Keuda komplikasi ini dapat mengancam nyawa dan
membutuhkan resusistasi cairan segera dan intervensi bedah dengan pemberian antibiotik
spektrum luas untu periotinits polimikrobial. Manifestasi neurologikal dapat ditemukan pada
2 -40% berupa, meningitis, guillain-barre syndrome, neuritits dan gejala neuropsikiatrik.10
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa disseminated intravascular coagulation,
hematophagotic syndrome, pankreatitis, hepatitis, miokarditis, orkitis, glomerulonefritis,
pieloneftitis, pneumonia berat, arthritis, osteomielitis. Namun komplikasi ini sudah jarnag
terjadi akibat pemberian antibiotik yang tepat.8
16
Gambar 3.7 : Perforasi ileum akibat infeksi S. typhi
J. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.4,7
Relaps dapat timbul beberapa kali. Ind bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis.
Resiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik
terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.4
17
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Data Demografi
Nama :S
Jenis kelamin : Laki-laki
Tempat / Tanggal lahir : Makassar. 01 Juni 2001
Alamat : Jln. Andi Tonro Lr IV No.11 RT
002 RW 008 Kelurahan Pa’baeng Baeng
No. KTP/Tanda pengenal: 7371100106010011
No. Telpon/HP : 082346716239
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pelajar
Agama/Kepercayaan : Islam
Status perkawinan : Belum Kawin
Suku/ bangsa : Makassar
B. Data Biologis
Tinggi badan :177 cm
Berat badan : 49 kg
Deskripsi rambut : Pendek, hitam, lurus, tidak mudah dicabut
Deskripsi hidung : mancung, sadle nose (-)
Deskripsimata : konjunctiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik
Deskripsi warna kulit : Sawo Matang
Kelainan bawaan : Tidak ada
Tanda khusus : Tidak ada
C. Anamnesis
Seorang pasien laki-laki usia 17 tahun datang ke Poli Umum Puskesmas Jongaya
dengan keluhan demam yang dialami sejak 3 hari yang lalu. Demam dirasakan memberat
18
mulai sore hari dan semakin tinggi pada malam hari, kemudian demam turun pada pagi
hari. Selain itu pasien mengeluhkan nyeri kepala(+), batuk (-), flu (-), menggigil(-).
Selain itu pasien mengeluhkan mual (+), muntah(-), nyeri perut bagian atas (+), dan
nafsu makan pasien menurun. BAK frekuensi sekitar 5-6 kali per hari, warna kuning
jernih, dan tidak terasa sakit. Pasien mengeluhkan BAB 4x konsitensi encer(+),
lendir(+), ampas(+). Pasien tidak pernah melakukan perjalanan keluar kota (daerah
edemik).
Dalam keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit yang sama. Pasien memiliki
kebiasaan jarang mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar. Selain itu,
pasien sering melakukan aktifitas di luar rumah berupa kegiatan organisasi disekolah,
sehingga pasien kurang beristirahat.
ANAMNESIS KELUARGA :
1) Bentuk Keluarga
Keluarga terdiri dari kepala keluarga (KK) yang merupakan Nenek pasien
bernama Ny. A 56 tahun, An. S sebagai pasien berusia 17 tahun, cucu kedua
Family) yaitu keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak kandung, juga
sanak saudara lainnya, baik menurut garis vertical (ibu, bapak, kakek, nenek,
19
mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak, adik, ipar) yang
2) Fungsi Keluarga
a) Fungsi biologis
b) Fungsi Psikologis
c) Fungsi Sosial
d) Fungsi Ekonomi
20
Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
keluarga.
Keluarga ini telah memenuhi fungsi keluarga secara lengkap baik dari segi fungsi
biologis, psikologis, sosial sedangkan dari segi ekonomi kurang baik dikarenakan anak
b. Siklus Keluarga
dalam tahap ke 4 yaitu keluarga dengan anak usia sekolah. Dimana keluarga ini
memiliki 2 orang cucu. Dimana cucu pertama berusia sekolah dan cucu kedua berusia
sekolah.
B. Pemeriksaan Fisik
21
- Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik(- /-), Pupil bulat, isokor
- Mulut :
Simetris
Bibir : sianosis (-) kering (+)
Gusi : hiperemis (-), perdarahan (-)
Lidah : glositis (-), atrofi papil lidah (-) kotor (+)
- THT (tonsil) : Hiperemis(-) T1-T1
- Leher : Pembesaran KGB dan tiroid (-)
- Paru-paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanandan kiri
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler kanan dan kiri, rhonki halus (-/-),
wheezing (-/-)
- Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak nampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula
sinistra, Nyeri Tekan (-)
22
3) Status Gizi
BB : 49 Kg
TB : 177 cm
BB Ideal : (177 - 100) – (10 % x 77) = 69,3 kg
IMT : BB/TB2 = 49/1,772 = 15,6 kg/m2 (Berat badan kurang)
≥ 30,0 Obes II
F. Diagnosis Kerja
Demam Tifoid
G. Terapi
Farmakologi
Terapi dari Puskesmas
Non Farmakologi
24
5. Penyuluhan cuci tangan yang efektif, terutama setelah BAB dan BAK, dan sebelum
menyiapkan makanan atau makan.
6. Penyuluhan higiene perorangan, keluarga dan lingkungan serta pola hidup bersih dan sehat.
H.Prognosis
Quo ad vitam dan fungsional : dubia ad bonam
25
PEMBAHASAN
A. Genogram
Keterangan :
26
B. Apgar Keluarga
Apgar keluarga adalah suatu penentu sehat / tidaknya keluarga dikembangkan oleh
Rosen, Geymon, dan Leyton dengan menilai 5 fungsi pokok keluarga / tingkat kesehatan
keluarga yaitu :
27
Skoring : Hampir selalu=2 , kadang-kadang=3 , hampir tidak pernah=0
Total skor
Dari tabel APGAR keluarga diatas total nilai skoringnya adalah 7, ini menunjukan
fungsi keluarga kurang sehat.
28
C. Mandala Of Healthy
GAYA HIDUP
Pemenuhan kebutuhan
primer dapat tercukupi
dengan baik.
PASIEN
PELAYANAN - Datang dengan keluhan demam sejak LINGK. KERJA
KESEHATAN 3hari yang lalu. Demam memberat
- Jarak rumah mulai sore hari dan semakin tinggi - Hygine
dengan tempat malam hari. Nyeri kepala (+), mual lingkungan
pelayanan (+), neri perut bagian atas (+)
sekolah
kesehatan tidak - TD: 110/70 mmHg
terlalu jauh. - Lidah kotor (+)
- Pemeriksaan tambahan:widal
- test (+)
LING. FISIK
FAKTOR BIOLOGI
- Keadaan rumah dan
- Riwayat tifoid di lingkungan cukup baik.
keluarga (-)
KOMUNITAS
29
D. Kegiatan Kunjungan Rumah
Home Visit I (tanggal 14 September 2019)
- 1 (satu) hari setelah pasien berobat dipuskesmas dilakukan pemeriksaan tanda-tanda
vital, diperoleh suhu : 36,7 derajat celcius: pasien sudah tidak demam lagi.
- Melakukan pemeriksaan di regio abdomen: nyeri tekan (-)
- Melakukan pemeriksaan gigi dan mulut: lidah kotor (+)
- Memantau kepatuhan pasien meminum obatnya. Pasien patuh meminum obatnya.
- Menggali informasi mengenai penyakit yang diderita oleh pasien, riwayat berobat
dan kebiasaan sehari-hari. Saat itu keluhan mual dan muntah sudah tidak ada.
Sebelum berobat ke puskesmas pasien sudah minum obat penurun panas tapi
keluhan masih ada.
- Pasien menyukai membeli jajanan di depan sekolah.
- Pasien sering melakukan aktivitas organisasi di sekolah, sehingga pasien kurang
beristirahat.
- Pasien jarang melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktifitas.
- Keadaan rumah pasien terlihat cukup bersih, pasien tinggal bersama nenek dan
adik kandungnya. Kondisi halaman dan lorong cukup bersih.
- Mengedukasi pasien dan keluarganya mengenai pola hidup bersih dan sehat dalam
keluarga, salah satunya dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan
memakai sabun.
- Mengedukasi pasien dan keluarganya untuk pasien tinggal di rumah dan tidak ke
sekolah sampai pemulihan.
- Mengajak keluarga untuk memulai memasak dengan pola makan gizi seimbang
dan sehat. Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah
serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus, seperti diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
- Saat itu pasien masih izin tidak pergi ke sekolah.
- Home Visit II (tanggal 16 September 2019)
- 2 hari setelah pasien berobat di Puskesmas.
- Memantau kepatuhan minum obat yang diberikan dari puskesmas, sudah diminum
secara teratur.
30
- Keluhan nyeri perut sudah tidak ada.
- Mengedukasi kepada ibu dan juga pasien untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut
dengan cara rutin menggosok gigi pagi dan sebelum tidur.
- Mengajak keluarga untuk mempertahankan memasak dengan pola makan gizi
seimbang dan sehat.
- Kondisi pasien sudah membaik karena pada saat melakukan kunjungan nampak
pasien sudah dapat beraktifitas seperti biasa.
- Saat itu pasien masih izin tidak pergi ke sekolah.
- Home visit III (tanggal 19 September 2019)
- Ditingkatkan kembali sikap disiplin keluarga agar pasien patuh minum obat.
- Menurut keterangan neneknya, pasien sudah mulai rajin mencuci tagan dengan
benar menggunakan sabun dan menggosok giginya.
- Mengingatkan pasien dan keluarganya untuk selalu melakukan pola hidup bersih
dan sehat.
- Mengingatkan pasien untuk kembali ke puskesmas untuk mengambil obat jika
persediaan sudah habis.
- Saat itu pasien belum mulai kembali bersekolah meski kondisi sehat dan ceria.
E. DIAGNOSA HOLISTIK
- Aspek personal
Alasan berobat : Tubuh pasien demam dialami 3 hari, dirasakan demam timbul
pada sore dan malam hari. Disertai adanya, nyeri perut, rasa mual.
Harapan : Berobat dengan harapan keluhan cucunya teratasi, dan dapat
pulih kembali.
Kekhawatiran : Takut terjadi komplikasi yang berat.
- Aspek Klinis
Diagnosa kerja : Demam Thyfoid
Diagnosa Banding : Demam Dengue
- Aspek Faktor Intrinsik
(merupakan faktor-faktor internal yang mempengaruhi masalah kesehatan pasien)
- Pola makan pasien, pasien suka mengkonsumsi makanan yang dijual di depan
sekolah. Namun, makanan tiap hari di rumah dimasak oleh nenek pasien sendiri.
31
- Gaya hidup pasien; pasien jarang mencuci tangan sebelum makan dan sesudah
buang air besar.
- Akitivitas bermain di luar rumah sangat sering dilakukan oleh pasien, sehingga
pasien kurang beristirahat.
- Aspek Psikososial Keluarga
(merupakan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi masalah kesehatan pasien)
- Peran keluarga dalam mendukung pasien seperti nenek mengantar pasien berobat
ke puskesmas dan memantau pasien untuk patuh meminum obatnya.
Penilaian Status sosial dan kesejahteraan hidup
Lingkungan tempat tinggal
Status kepemilikan rumah : Milik sendiri
Daerah perumahan : Tidak padat dan tidak berjauhan.
Luas rumah 4x7m
Bertingkat Ya
Jumlah penghuni rumah 3orang
Luas halaman -
Lantai rumah terbuat dari Keramik
Dinding rumah terbuat dari Tembok
Kondisi dalam rumah Sedang
Penerangan listrik Ada
Jamban Ada
Ketersediaan air bersih Ada (air PAM)
32
o Pekerjaan sehari-hari Nenek pasien adalah seorang buruh harian . Tempat tinggal
pasien menetap dengan kondisi rumah yang cukup baik. Pendapatan keluarga
dirasa cukup oleh pasien.
33
Data sarana pelayanan kesehatan dan lingkungan kehidupan keluarga
34
imunisasi dasar
lengkap
Bayi
4. mendapatkan N
ASI eksklusif
Balita dipantau
5. pertumbuhanny N
a
Penderita TB
paru
6. mendapatkan N
pengobatan
sesuai standar
Penderita
hipertensi
7. melakukan N
pengobatan
secara teratur
Anggota
keluarga tidak
8. Y Y Y 1
ada yang
merokok
Keluarga sudah
9. menjadi Y Y Y 1
anggota JKN
Keluarga
mempunyai
10. Y Y Y Y 1
akses sarana air
bersih
Keluarga
mempunyai
11. akses dan Y Y Y Y 1
menggunakan
jamban sehat
Penderita N
gangguan jiwa
mendapatkan
12.
pengobatan dan
tidak
diterlantarkan
4/(12-
Total 8)=4/
4
Indeks Keluarga 1
Sehat (IKS)
35
Jumlah N : 8
Jumlah Y : 4
Jumlah T : 0
Kategori keluarga :
Tidak sehat < 0,5
Pra Sehat 0,5 – 0,8
Sehat > 0,8
Berdasarkan data yang diperoleh maka kelarga pasien didapatkan hasil satu dan
dapat digolongkan kedalam kategori keluarga sehat.
36
BAB IV
KESIMPULAN
Tn. S didiagnosis Demam Tifoid dengan Tes Widal +. Penatalaksanaan yang diberikan
berupa antibiotic golongan Fluoroquinolone. Terdapat perubahan perilaku pada Tn.S setelah
diberikan intervensi yaitu Tn.S telah menerapkan pola hidup bersih dan sehat yang terlihat dari
pola makan yang sehat, istirahat yang cukup, dan aktivitas latihan jasmani yang baik.
37
BAB V
LAMPIRAN
Ruang Tamu
38
Kamar Tidur
39
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Widodo, D. 2009, Demam tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. editor: Aru W. Sudoyo,
3. Soedarmo SS et al. Demam tifoid dalam Buku ajar infeksi & pediatri tropis, Ed. 2. Jakarta :
4. Vollaard AM et al. Risk factors for typhoid and paratyphoid fever in Jakarta, Indonesia.
Indonesia; 2010.
6. Tumbelaka AR. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update, Edisi
8. Zulkarnain I. Diagnosis demam tifoid dalam Buku panduan dan diskusi demam tifoid.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2000.
9. Richard ES, Behrman RM, Ann MA. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC;
2000.
10. Michael E. Salmonella: A model for bacterial pathogenesis. Annu. Rev. Med. 2001; 52: 259-
274.
11. Departemen kesehatan Indonesia ; Program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga ;
indonesia-sehat-dengan-pendekatan-keluarga.html.
41
12. World Health Organization [internet]. [unknown place]: World Health Organization; 2008.
13. American Public Health Association. Typhoid fever in: Control of Communicable Diseases,
An officialreport of the American public health association, 17th edition. Washington DC:
14. Sumarmo, dkk. Infeksi & Penyakit Tropis. Jakarta: FKUI; 2002.
42