Anda di halaman 1dari 14

1.

Prinsip dapat diartikan sebagai permulaan untuk suatu cara tertentu


yang akan melahirkan hal-hal lain, yang keberadaannya tergantung dari
permulaan itu. Bimbingan konseling membutuhkan suatu prinsip atau
aturan main dalam menjalankan program pelayanan bimbingan. Menurut
Prayinto dan Amti (1994:220) prinsip bimbingan konselingya itu rumusan
prinsip-prinsip bimbingan dan konseling pada umumnya berkenaan dengan
sasaran pelayanan, masalah klien, tujuan dan proses penanganan
masalah, program pelayanan dan penyelenggaraan pelayanan.
Adapun rumusan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling yang
berkenaan dengan objek dalam pelayanan bimbingan yaitu prinsip-prinsip
yang berkenaan dengan sasaran layanan, prinsip yang berkenaan dengan
permasalahan idividu, prinsip yang berkenaan dengan program pelayanan
dan yang terakhir prinsip yang berkenaan dengan tujuan dan pelaksanaan
pelayanan. Dari empat rumusan tersebut, bimbingan dan konseling akan
tercapai sesuai keinginan konselor dan klien.
1. Prinsip Umum
a. Bimbingan harus berpusat pada individu yang di bimbingnya.
b. Bimbingan diberikan kepada memberikan bantuan agar individu yang
dibimbing mampu mengarahkan dirinya dan menghadapi kesulitan-
kesulitan dalam hidupnya.
c. Pemberian bantuan disesuaikan dengan kebutuhan individu yang
dibimbing.
d. Bimbingan berkenaan dengan sikap dan tingkah laku individu.
e. Pelaksanaan bimbingan dan konseling dimulai dengan mengidentifikasi
kebutuhan yang dirasakan individu yang dibimbing.
f. Upaya pemberian bantuan harus dilakukan secara fleksibel.
g. Program bimbingan dan konseling harus dirumuskan sesuai dengan program
pendidikan dan pembelajaran di sekolah yang bersangkutan.
h. Implementasi program bimbingan dan konseling harus dipimpin oleh orang
yang memiliki keahlian dalam bidang bimbingan dan konseling dan
pe;laksanaannya harus bekerjasama dengan berbagai pihak yang terkait,
seperti dokter psikiater, serta pihak-pihak yang terkait lainnnya.
i. Untuk mengetahui hasil yang diperoleh dari upaya pelayanan bimbingan dan
konseling, harus diadakan penilaian atau ekuivalensisecara teratur dan
berkesinambungan.
2. Prinsip-Prinsip Khusus yang Berhubungan Dengan Siswa
a. Pelayanan BK harus diberikan kepada semua sisiwa.
b. Harus ada kriteria untuk mengatur prioritas pelayanan bimbingan dan
konseling kepada individu atau siswa.
c. Program pemberian bimbingan dan konseling harus berpusat pada siswa.
d. Pelayanan dan bimbingan konseling di sekolah dan madrasah harus dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu yang bersangkutan beragam dan
luas.
e. Keputusan akhir dalam proses BK dibentuk oleh siswa sendiri.
f. Siswa yang telah memperoleh bimbingan, harus secara berangsur-angsur
dapat menolong dirinya sendiri.
3. Prinsip Khusus yang Berhubungan dengan Pembimbing
a. Konselor harus melakukan tugas sesuai dengan kemampuannya masing-
masing.
b. Konselor di sekolah dipilih atas dasar kualifikasi kepribadian, pendidikan
pengalaman, dan kemampuan.
c. Sebagai tuntutan profesi, pembimbing atau konselor harus senantiasa
berusaha mengembangkan dirinya dan keahliannya melalui berbagai
kegiatan.
d. Konselor hendaknya selalu mempergunakan berbagai informasi yang
tersedia tentang siswa yang dibimbing beserta lingkungannya sebagai
bahan yang membantu innsividu yang bersangkutan kearah penyesuaian
diri yang lebih baik.
e. Konselor harus menghormati, menjaga kerahasiaan informasi tentang siswa
yang dibimbingnya.
f. Konselor harus melaksanakan tugasnya hendaknya mempergunakan
berbagai metode yang sama.
4. Prinsip yang Berhubungan dengan Organisasi dan Administrasi
(Manajemen) Pelayanan Bimbingan Konseling
a. bimbingan dan konseling harus dilaksanakan secara sistematis dan
berkelanjutan.
b. Pelaksanaan bimbingan dan konseling ada di kartu pribadi (commulative
record) bagi setiap siswa.
c. program pelayanan bimbingan dan konseling harus disusun sesuai dengan
kebutuhan sekolah atau madrasah yang bersangkutan.
d. Harus ada pembagian waktu antar pembimbing, sehingga masing-masing
pembimbing mendapat kesempatan yang sama dalam memberikan
bimbingan dan konseling.
e. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dalam situasi individu atau
kelompok sesuai dengan masalah yang dipecahkan dan metode yang
dipergunakan dalam mememcahkan masalah terkait.
f. Dalam menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling, sekolah dan
madrasah harus bekerja sama dengan berbagai pihak.
g. Kepala sekolah atau madrasah merupakan penanggung jawab utama dalam
penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah.
Prayitno dan Erman Amti (1999) mengklasifikasikan prinsip-prinsip
bimbingan dan konseling ke dalam empat bagian, yaitu:
1. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan sasaran pelayanan
2. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan individu
3. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan program pelayanan
4. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan pelaksanaan pelayanan
Dapat kita lihat dari rumusan masing-masing mempunyai poin-poin
tertentu, yaitu:
1. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan sasaran layanan
 Bimbingan dan konseling melayani semua individu tanpa memandang umur,
jenis kelamin, suku, agama dan status sosial ekonomi.
 Bimbingan dan konseling berurusan denganpribadi dan tingkah laku
individu yang unik dan dinamis.
 Bimbingan dan konseling memperhatikan sepenuhnya tahap-tahap berbagai
aspek perkembangan individu.
 Bimbingan dan konseling memberikan perhatian utama kepada
perbedaan individual yang menjadi orientasi pokok pelayanan.
2. Prinsip yang berkenaan dengan pemasalahan individu
 Bimbingan dan konseling berurusan dengan hal-hal yang menyangkut
pengaruh kondisi mental/fisik individu terhadap penyesuaian dirinya di
rumah, di sekolah, serta dalam kaitannya dengan kontak sosial dan
pekerjaan dan sebaliknya pengaruh lingkungan terhadap
kondisi mental dan fisik individu.
 Kesenjangan sosial, ekonomi, dan kebudayaan merupakan factor timbulnya
masalah pada individu yang semuanya menjadi perhatian utama pelayanan
bimbingan dan konseling.
3. Prinsip yang berkenaan dengan program layanan
 Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari upaya pendidikan
dan pengembangan induvidu; oleh karena itu program bimbingan dan
konseling harus diselaraskan dan dipadukan dengan program pendidikan
serta pengembangan peserta didik.
 Program bimbingan dan konseling harus fleksibel disesuaikan dengan
kebutuhan individu, masyarakat, dan kondisi lembaga.
 Program bimbingan dan konseling disusun secara berkelanjutan dari jenjang
pendidikan terendah sampai tertinggi.
4. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan tujuan dan pelaksanaan
pelayanan
 Bimbingan dan konseling harus mengarahkan individu mampu
menyelesaikan permasalahan pribadi.
 Dalam proses bimbingan dan konseling keputusan yang diambil dan akan
dilakukan oleh individu harusnyan atas kemauan individu sendiri, bukan
karena desakan atau kemauan orang lain.
 Permasalahan individu harus ditangani oleh tenaga ahli daa bidang yang
relevan dengan permasalahan yang dihadapi.
 Kerja sama antara pembimbing dengan guru lain dan orang tua meentukan
hasil pelayanan pembimbingan.
 Pengembangan program layanan bimbingan dan konseling ditempuh melalui
pemanfaatan yang maksimal dari hasil pengukuran dan penilaian terhadap
individu yang terlibat dalam proses pelayanan dan program bimbingan dan
konseling itu sendiri.

Refrensi : Tohrin. 2007. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah. Jakarta
:PT. Raja Grafindo Persada.

2. Asas-Asas Bimbingan dan Konseling


Menurut Prayetno (2009:115), asas-asas bimbingan dan konseling yaitu asas
kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan, kekinian, kemandirian, kegiatan,
kedinamisan, keterpaduan, kenormatifan, keahlian, alih tangan dan tut wuri
handayani. Adapun penjelasan mengenai asas-asas tersebut adalah sebagai
berikut:

1. Asas Kerahasiaan. Asas kerahasiaan ini menuntut dirahasiakannya


segenap data dan keterangan tentang peserta didik (klien) yang menjadi
sasaran layanan. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban penuh
memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga
kerahasiaannya benar-benar terjamin.
2. Asas Kesukarelaan. Jika asas kerahasiaan benar-benar sudah tertanam
pada diri siswa atau klien, maka sangat dapat diharapkan bahwa mereka
yang mengalami masalah akan dengan sukarela membawa masalahnya
itu kepada pembimbing untuk meminta bimbingan.
3. Asas Keterbukaan. Bimbingan dan konseling yang efisien hanya
berlangsung dalam suasana keterbukaan. Baik klien maupun konselor
harus bersifat terbuka. Keterbukaan ini bukan hanya sekadar berarti
bersedia menerima saran-saran dari luar tetapi dalam hal ini lebih
penting dari masing-masing yang bersangkutan bersedia membuka diri
untuk kepentingan pemecahan masalah yang dimaksud.
4. Asas Kekinian. Masalah individu yang ditanggulangi adalah masalah
yang sedang dirasakan bukan masalah yang sudah lampau, dan bukan
masalah yang akan dialami masa mendatang. Asas kekinian juga
mengandung pengertian bahwa konselor tidak boleh menunda-nunda
pemberian bantuan. Dia harus mendahulukan kepentingan klien dari
pada yang lain.
5. Asas Kemandirian. Dalam memberikan layanan pembimbing
hendaklah selalu menghidupkan kemandirian pada diri orang yang
dibimbing, jangan sampai orang yang dibimbing itu menjadi tergantung
kepada orang lain, khususnya para pembimbing/ konselor.
6. Asas Kegiatan. Usaha layanan bimbingan dan konseling akan
memberikan buah yang tidak berarti, bila individu yang dibimbing tidak
melakukan kegiatan dalam mencapai tujuan-tujuan bimbingan. Hasil-
hasil usaha bimbingan tidak tercipta dengan sendirinya tetapi harus
diraih oleh individu yang bersangkutan.
7. Asas Kedinamisan. Upaya layanan bimbingan dan konseling
menghendaki terjadinya perubahan dalam individu yang dibimbing
yaitu perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Perubahan
tidaklah sekadar mengulang-ulang hal-hal lama yang bersifat monoton,
melainkan perubahan yang selalu menuju ke suatu pembaruan, sesuatu
yang lebih maju.
8. Asas Keterpaduan. Layanan bimbingan dan konseling memadukan
berbagai aspek individu yang dibimbing, sebagaimana diketahui
individu yang dibimbing itu memiliki berbagai segi kalau keadaanya
tidak saling serasi dan terpadu justru akan menimbulkan masalah.
9. Asas Kenormatifan. Usaha bimbingan dan konseling tidak boleh
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, baik ditinjau dari
norma agama, norma adat, norma hukum/negara, norma ilmu ataupun
kebiasaan sehari-hari. Asas kenormatifan ini diterapkan terhadap isi
maupun proses penyelenggaraan bimbingan dan konseling.
10. Asas Keahlian. Usaha layanan bimbingan dan konseling secara teratur,
sistematik dan dengan mempergunakan teknik serta alat yang memadai.
Untuk itu para konselor perlu mendapatkan latihan secukupnya,
sehingga dengan itu akan dapat dicapai keberhasilan usaha pemberian
layanan.
11. Asas Alih tangan. Asas ini mengisyaratkan bahwa bila seorang petugas
bimbingan dan konseling sudah mengerahkan segenap kemampuannya
untuk membantu klien belum dapat terbantu sebagaimana yang
diharapkan, maka petugas ini mengalih-tangankan klien tersebut kepada
petugas atau badan lain yang lebih ahli.
12. Asas Tutwuri handayani. Asas ini menunjukkan pada suasana umum
yang hendaknya tercipta dalam rangka hubungan keseluruhan antara
pembimbing dan yang dibimbing.

3. C. Perbedaan Antara Konseling Dengan Psikoterapi


Apabila kita tinjau dari definisi kedua permbahasan tersebut konseling
Menurut Schertzer dan Stone (1980) Konseling adalah upaya membantu individu
melalui proses interaksi yang bersifat pribadi antara konselor dan konseli agar
konseli mampu memahami diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan
dan menentukan tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli
merasa bahagia dan efektif perilakunya.
Sedangkan psikoterapi menurut Wolberg (1967 dalam Phares dan Trull
2001), mengungkapkan bahwa psikoterapi merupakan suatu bentuk perlakuan
atau tritmen terhadap masalah yang sifatnya emosional. Dengan tujuan
menghilangkan simptom untuk mengantarai pola perilaku yang terganggu serta
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan pribadi yang positif.
Dari dua definisi di atas kita bisa tarik kesimpulan mengenai dua
pembahasan tersebut bahwa konseling lebih terfokus pada interaksi antara
konselor dan konseli dan lebih mengutamakan pembicaraan serta komunikasi
non verbal yang tersirat ketika proses konseli berlangsung dan semacam
memberikan solusi agar konseli dapat lebih memahami lingkungan serta mampu
membuat keputusan yang tepat dan juga nantinya konseli dapat menentukan
tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya.
Sedangkan psikoterapi lebih terfokus pada treatment terhadap masalah
sifatnya emosional dan juga lebih dapat diandalkan pada klien yang mengalami
penyimpangan dan juga lebih berusaha untuk menghilangkan simptom-simptom
yang di anggap mengganggu dan lebih mengusahakan agar klien dapat
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian ke arah yang positif.

Perbedaan konseling dan psikoterapi didefinisikan oleh Pallone (1977) dan


Patterson (1973) yang dikutip oleh Thompson dan Rudolph (1983), sebagai
berikut:

4.-

5. Psikologi konseling sebagai ilmu pengetahuan (scientific) memiliki

hubungan erat dengan sosiologi dan antropologi. Pada hakikatnya manusia


adalah makhluk sosial yang ditandai adanya hubungan antara manusia yang satu
dan lainnya. Hubungan antarmanusia merupakan kebutuhan manusia bersama,
sehingga tidak ada satu pun manusia yang sanggup hidup sendiri. Manusia, di
mana pun berada tidak dapat dipisahkan dari lingkungan masyarakatnya.
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang banyak mempelajari tentang
perilaku manusia dilihat dari aspek terbentuknya perilaku dan dinamika perilaku
dalam kaitannya dengan kehidupan sosial. Di sisi lain psikologi konseling juga
mempelajari perilaku konseli dalam hubungannya dengan masalah-masalah
hidupnya. Sehingga bila dipadukan dapat terjadi sentuhan objek yang dikaji
disiplin ilmu tersebut.
Manusia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, dan perilaku
manusia akan menghasilkan budaya, wlaupun dip pihak lain budaya sebagai
produk perilaku manusia akan berpengaruh terhadap perilaku manusia itu sendiri.
Dalam kaitan ini antropologi banyak bermain peran di dalam mengkaji perilaku
manusia dalam hubungannya dengan kebudayaan. Antropologi berusaha
menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, dan
untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Sumber :
Hartono dan Boy Soedarmadji. 2012. Psikologi Konseling (ed). Jakarta:
Kencana.

6.
1. Pengetahuan Mengenai Diri Sendiri (Self-knowledge)

Disini berarti bahwa konselor memahami dirinya dengan baik, dia memahami
secara nyata apa yang dia lakukan, mengapa dia melakukan itu, dan masalah apa
yang harus dia selesaikan. Pemahaman ini sangat penting bagi konselor, karena
beberapa alasan sebagai berikut.

a) Konselor yang memilki persepsi yang akurat akan dirinya maka dia juga akan
memilki persepsi yang kuat terhadap orang lain.

b) Konselor yang terampil memahami dirinya maka ia juga akan memahami


orang lain.

2. Kompetensi (Competence)

Kompetensi dalam karakteristik ini memiliki makna sebagai kualitas fisik,


intelektual, emosional, sosial, dan moral yang harus dimiliki konselor untuk
membantu klien. kompetensi sangatlah penting, sebab klien yang dikonseling
akan belajar dan mengembangkan kompetensi-kompetensi yang diperlukan
untuk mencapai kehidupan yang efektif dan bahagia. Adapun kompetensi dasar
yang seyogianya dimilki oleh seorang konselor, yang antara lain :
a. Penguasaan wawasan dan landasan pendidikan

b. Penguasaan konsep bimbingan dan konseling

c. Penguasaan kemampuan assesmen

d. Penguasaan kemampuan mengembangkan progaram bimbingan dan konseling

e. Penguasaan kemampuan melaksanakan berbagai strategi layanan bimbingan


dan konseling

f. Penguasaan kemampuan mengembangkan proses kelompok

g. Penguasaan kesadaran etik profesional dan pengembangan profesi

h. Penguasaan pemahaman konteks budaya, agama dan setting kebutuhan khusus

3. Kesehatan Psikologis yang Baik

Seorang konselor dituntut untuk dapat menjadi model dari suatu kondisi
kesehatan psikologis yang baik bagi kliennya, yang mana hal ini memiliki
pengertian akan ketentuan dari konselor dimana konselor harus lebih sehat
kondisi psikisnya daripada klien. Kesehatan psikolpgis konselor yang baik sangat
penting dan berguna bagi hubungan konseling. Karena apabila konselor kurang
sahat psikisnya, maka ia akan teracuni oleh kebutuhan-kebutuhan sendiri,
persepsi yang subjektif, nilai-nilai keliru, dan kebingungan.

4. Dapat Dipercaya (trustworthness)

Konselor yang dipercaya dalam menjalankan tugasnya memiliki kecenderungan


memilki kualitas sikap dan prilaku sebagai berikut:

a) Memilki pribadi yang konsisten

b) Dapat dipercaya oleh orang lain, baik ucapannya maupun perbuatannya.

c) Tidak pernah membuat orang lain kesal atau kecewa.

d) Bertanggung jawab, mampu merespon orang lain secara utuh, tidak ingkar
janji dan mau membantu secara penuh.

5. Kejujuran (honest)

Yang dimaksud dengan Kejujuran disini memiliki pengertian bahwa seorang


konselor itu diharuskan memiliki sifat yang terbuka, otentik, dan sejati dalam
pembarian layanannya kepada konseli. Jujur disini dalam pengertian memiliki
kongruensi atau kesesuaian dalam kualitas diri actual (real-self) dengan penilain
orang lain terhadap dirinya (public self). Sikap jujur ini penting dikarnakan:

1. Sikap keterbukaan konselor dan klien memungkinkan hubungan psikologis


yang dekat satu sama lain dalam kegiatan konseling.

2. Kejujuran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara


objektif terhadap klien.

6.Kekuatau atau Daya(strength)

Kekuatan atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling, sebab


dengan hal itu klien merasa aman. Klien memandang seorang konselor sebagi
orang yang, tabaha dalam menghadapi masalah, dapat mendorong klien dalam
mengatasi masalahnya, dan dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah
pribadi.

Konselor yang memilki kekuatan venderung menampilkan kualitas sikap dan


prilaku berikut.

1. Dapat membuat batas waktu yang pantas dalam konseling

2.Bersifatfleksibel

3. Memilki identitas diri yang jelas

7.Kehangatan(Warmth)

Yang dimaksud dengan bersikap hangat itu adalah ramah, penuh perhatian, dan
memberikan kasih sayang. Klien yang datang meminta bantuan konselor, pada
umumnya yang kurang memilki kehangatan dalam hidupnya, sehingga ia
kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikanperhatian, dan kasih
sayang. Melalui konseling klien ingin mendapatkan rasa hangat tersebut dan
melakukan Sharing dengan konseling. Bila hal itu diperoleh maka klien dapat
mengalami perasaan yang nyaman.

8.Pendengar yang Aktif (Activeresponsiveness)

Konselor secara dinamis telibat dengan seluruh proses konseling. Konselor yang
memiliki kualitas ini akan: (a) mampu berhubungan dengan orang-orang yang
bukan dari kalangannya sendiri saja, dan mampu berbagi ide-ide, perasaan, (b)
membantu klien dalam konseling dengan cara-cara yang bersifat membantu, (c)
memperlakukan klien dengan cara-cara yang dapat menimbulkan respon yang
bermakna, (d) berkeinginan untuk berbagi tanggung jawab secara seimbang
dengan klien dalam konseling.

9.Kesabaran

Melaui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu klien untuk
mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor menunjukan lebih
memperhatikan diri klien daripada hasilnya. Konselor yang sabar cenderung
menampilkan sikap dan prilaku yang tidak tergesa-gesa.

10.Kepekaan(Sensitivity)

Kepekaan mempunyai makna bahwa konselor sadar akan kehalusan dinamika


yang timbul dalam diri klien dan konselor sendiri. Kepekaan diri konselor sangat
penting dalam konseling karena hal ini akan memberikan rasa aman bagi klien
dan klien akan lebih percaya diri apabila berkonsultasi dengan konselor yang
memiliki kepekaan.

11.KesadaranHolistik

Pendekatan holistik dalam bidang konseling berarti bahwa konselor memahami


secara utuh dan tidak mendekatinya secara serpihan. Namun begitu bukan berarti
bahwa konselor seorang yang ahli dalam berbagai hal, disini menunjukan bahwa
konselor perlu memahami adanya berbagai dimensi yang menimbulkan masalah
klien, dan memahami bagaimana dimensi yang satu memberi pengaruh terhadap
dimensi yang lainnya. Dimensi-dimensi itu meliputi aspek, fisik, intelektual,
emosi, sosial, seksual, dan moral-spiritual.

7.

8. Karakteristik Pengetahuan
Dilihat dari aspek pengetahuan (knowledge), konselor adalah tenaga ahli
dalam bidang pendidikan dan psikologis (psikopedagosis). Ia memiliki
pengetahuan luas tentang teori-teori psikologi, konseling dan pendidikan,
sehingga dapat mengembangkan dan menerapkannya dalam pelayanan konseling
kepada klien.
Dari aspek psikologi, konselor memiliki pengetahuan dan pemahaman
luas tentang dinamika perilaku dan perkembangan individu yang meliputi motif
yang mendasari tingkah laku, teori-teori perkembangan, tahap-tahap
perkembangan.
Dari aspek teori konseling, konselor memiliki pengetahuan dan
pemahaman luas tentang model-model konseling. Dari aspek pendidikan,
konselor mempunyai pengetahuan dan pemahaman luas tentang: 1) hubungan
pendidikan yang di dalamnya terlibat unsur-unsur pendidikan; 2) kaidah-kaidah
belajar yang meliputi prinsip belajar, suasana belajar dan proses pembelajaran;
3) alat-alat pembelajaran mencakup kurikulum, teknologi pembelajaran, media
pembelajaran, sumber dan lingkungan belajar, dan lain-lain.

9. Karakteristik Keterampilan
Konselor sebagai tenaga profesional memiliki keterampilan (skill) yang
memadai dalam memberikan pelayanan konseling. Keterampilan konselor ini
meliputi:
 Keterampilan dalam meciptakan dan membina hubungan konseling kepada klien
(helping relationship). Dalam hubungan konseling, konselor mampu
menciptakan suasana yang hangat, simpatik, empati yang didukung sikap dan
perilaku konselor yang tulus dan ikhlas untuk membantu konseli, jujur dan
bertanggungjawab, terbuka, toleran dan setia.
 Keterampilan dalam menerapkan wawancara konseling. Menurut Hosking dan
Brammer terdapat beberapa keterampilan dasar wawancara konseling yang harus
dikuasai oleh konselor seperti keterampilan membuka percakapan, keterampilan
memberi informasi dan lain-lain.[6]

Selain itu, ada tujuh keterampilan dan kualitas seorang konselor yang
efektif yaitu:
1. Keterampilan interpersonal. Konselor yang efektif mampu mendemonstrasikan
perilaku mendengar, berkomunikasi, empati, kehadiran/present, kesadaran,
komunikasi nonverbal, sensitivitas terhadap kualitas suara, responsivitas
terhadap ekspresi emosi, pengambilalihan, menstruktur waktu, menggunakan
bahasa.
2. Keyakinan dan sikap personal. Kapasitas untuk menerima yang lain, yakin adanya
potensi untuk berubah, kesadaran terhadap etika dan moral, sensitivitas terhadap
nilai yang dipegang oleh klien dan diri.
3. Kemampuan konseptual. Kemampuan untuk memahami dan menilai masalah
klien, mengantisipasi konsekuensi tindakan di masa depan, memahami proses
kilat dalam kerangka skema konseptual yang lebih luas, mengingat informasi
yang berkenaan dengan klien, fleksibilitas kognitif dan keterampilan dalam
memecahkan masalah.
4. Ketegaran personal. Tidak adanya kebutuhan peribadi atau keyakinan irrasional
yang sangat merusak hubungan konseling, percaya diri, kemampuan untuk
menolerasi perasaan yang kuat atau tak nyaman dalam hubungan dengan klien,
batasan peribadi yang aman mampu untuk menjadi klien.
5. Menguasai teknik. Pengetahuan tentang kapan dan dimana melaksanakan
intervensi tertentu, kemampuan untuk menilai efektifitas intervensi, memahami
dasar pemikiran dibelakang teknik, memiliki simpanan intervensi yang cukup.
6. Kemampuan untuk paham dan bekerja dalam sistem sosial. Termasuk kesadaran
akan keluarga, dan hubungan kerja dengan klien, sensitif terhadap dunia klien
yang mungkin bersumber dari perbedaan gender, etnis, orientasi seks atau
kelompok umur.
7. Terbuka untuk belajar dan bertanya. Kemampuan untuk waspada terhadap latar
belakang dan masalah klien. Terbuka terhadap pengetahuan baru, menggunakan
riset untuk menginformasikan praktik.[7]

Anda mungkin juga menyukai