PENDAHULUAN
1
Berdasarkan rumusan masalah diatas adapun tujuan yang ingin dicapai, sebagai berikut
:
1. Untuk mengetahui hipertensi dalam kehamilan (pre-eklampsia/eklampsia).
2. Untuk mengetahui apa itu gawat janin.
3. Untuk mengetahui apa itu partograf melewati garis waspada.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Penyakit hipertensi dalam kehamilan adalah komplikasi yang serius pada trimester
kedua dan ketiga dengan gejala klinis seperti edema hipertensi, protein uria, kejang
sampai koma dengan umur kehamilan diatas 20 minggu dan dapat terjadi antepartum,
intrapartum, pasca partus (Manuaba, 2001).
3
3. Hipertensi Gestasional
Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang tejadi setelah 20 minggu
kehamilan tanpa proteinuria. Angka kejadiannya sebesar 6 %. Sebagian wanita
(>25%) berkembang menjadi pre-eklampsia diagnosis hipertensi gestasional
biasanya diketahui setelah melahirkan (Leslie and Collins, Malha et al.,dalam
Haidar 2019). Hipertensi gestasional berat adalah kondisi peningkatan tekanan
darah > 160/110 mmHg. Tekanan darah baru menjadi normal pada post
partum, biasanya dalam 10 hari. Pasien mungkin mengalami sakit kepala,
penglihatan kabur, dan sakit perut dan tes laboratorium abnormal, termasuk
jumlah trombosit rendah dan tes fungsi hati abnormal (Karthikeyan dalam
Haidar, 2019).
Hipertensi gestasional terjadi setelah 20 minggu kehamilan tanpa adanya
proteinuria. Kelahiran dapat berjalan normal walaupun tekanan darahnya
tinggi. Penyebabnya belum jelas, tetapi merupakan indikasi terbentuknya
hipertensi kronis di masa depan sehingga perlu diawasi dan dilakukan tindakan
pencegahan (Roberts dalam Haidar, 2019).
4
amnion tidak berkaitan dengan meningkatnya insidensi asidosis janin. Untuk
kepentingan klinik perlu ditetapkan kriteria apa yang dimaksud dengan gawat
janin. Disebut gawat janin, bila ditemukan denyut jantung janin di atas 160
per menit atau dibawah 100 per menit, denyut jantung tidak teratur, atau
keluarnya meconium yang kental pada awal persalinan.
1. Auskultasi Intermitten
Auskultasi intermiten jantung janin telah digunakan sejak abad ke-20. Sir
Adrew Clay menulis sebagai berikut.
a. DJJ, irama, dan intensitasnya harus diperiksa setiap 2 jam selama kala
I asal ketuban masih intak, dan bila telah pecah harus dilakukan
setengah jam.
b. Auskultasi harus dilakukan setelah selesai suatu kontraksi untuk
memberi suatu kesempatan kepada jantung berubah ke denyut jantung
normal.
Jelas asukultasi dengan cara demikian akan gagal menemukan deselerasi
lambat, salah satu yang paling sensitive sebagai indicator hipoksia selama
persalinan. Hipoksia merupakan suatu keadaan patologis yang ditandai
oleh berkurangnya konsentrasi atau kadar oksigen di dalam jaringan-
jaringan dan darah.
Persalinan darurat dari janin dengan takikardia (lebih dari 160
denyut per menit) atau suatu bradikardia (kurang dari 120 denyut per
menit) atau DJJ yang irregular iramanya (tanda gawat janin tradisional
lainnya) yang terdeteksi dengan penggunaan auskultasi intermiten, sering
kali menghasilkan janin dengan tanda-tanda bayi sehat, sedangkan bayi
yang lain terlebih dahulu mati inutero tanpa tanda-tanda peringatan
terlebih dahulu. Hal ini mungkin disebabkan karena auskultasi intemiten
tidak dapat menilai variabilitas DJJ dan tidak mampu mendeteksi
deselarasi. Hal ini disebabkan karena keadaan ini biasanya terjadi
berhubungan dengan kontraksi-kontraksi Rahim yang membuat bunyi-
bunyi denyut jantung janin sulit untuk didengar. Auskultasi hendaknya
dilakukan segera setelah suatu kontraksi guna mendeteksi deselarasi yang
5
ada. Bila ditemukan lebih dari 150 denyut per menit atau kurang dari 110
denyut per menit (menurut FIGO) atau lambat setelah kontraksi,
disarankan penggunaan alat pemantau janin yang elektrik untuk
mengetahui pola DJJ.
2. Pemantauan janin berkesinambungan secara elektronik (PJB)
Pada awal penggunaan PJB, antusiasme timbul untuk mengurangi
kematian intrapartum dan menurunkan kematian perinatal dan gangguan
neurologis di kemudian hari. Awal penelitian-penelitian secara
retrospektif memberi kesan ada hubungannya dengan penurunan perinatal
mortality rate (PMR) yang cukup besar, sebesar 50% dari kesakitan dan
kematian perinatal.
Walaupun demikian, penelitian lain kurang antusias, malah
melaporkan meningkatnya intervensi akibat penggunaan PJB, tanpa
manfaat yang jelas. Terdapat 12 randomized controled clinical trials dari
PJB dibandingkan auskulatsi atau catatan secara intermiten. Sembilan di
antaranya berdasarkan hasil meta analisis Vintzilleos dan kawan-kawan,
yang meliputi 18.561 penderita. Hasilnya ditemukan insidensi sesarea
meningkat dengan penggunaan PJB ini.
3. Fetal Blood Sampling (FBS) dan pengukuran pH
Sering dilupakan, FBS dan pengukuran pH ini dipergunakan di
klinik sebelum PJB yang berkesinambungan. Bagaimana FBS ini
memakan waktu, tidak nyaman nyaman pelaksanaannya, dan tidak
menyenangkan bagi penderita. Jadi dengan dipergunakannya PJB pada
akhir tahun 1960 sangat menjanjikan sebagai sarana penapisan, memilih
40% dari janin-janin dengan pola DJJ yang abnormal untuk
ditindaklanjuti pemeriksaannya. DJJ normal selama persalinan
berhubungan dengan resiko asidosis yang sangat rendah, kurang dari 2%
janin-janin pH nya kurang dari 7,20. Dengan demikian, 40% dari janin-
janin yang memperlihatkan pola DJJ abnormal pada kala persalinan yang
sama berada pada resiko dilakukannya persalinan buatan yang sebenarnya
6
tidak perlu atau tidak penting bila diagnosisnya menyandarkan diri hanya
pada kriteria “gawat janin” menurut DJJ.
7
b. Jika his adekuat (3 kali dalam 10 menit dan lamanya lebih dari 40
detik), pertimbangkan adanya disporposi obstruksi, malposisi, atau
malpresentasi.
2. Serviks Kaku
Serviks kaku adalah keadaan dimana seluruh serviks kaku, keadaan
ini sering dijumpai pada primigravida tua atau karena adanya parut-parut
bekas luka atau bekas infeksi pada karsinoma serviks. Kejang atau kaku
serviks diagi menjadi dua, yaitu kaku serviks primer yang disebabkan oleh
rasa takut atau disebabkan oleh psikis. Serviks kaku sekunder disebabkan
oleh luka-luka dan infeksi yang sembuh dan meninggalkan parut.
3. Inersia uteri
Inersia uteri adalah kelainan his yang kekuatannya tidak adekuat
untuk melakukan pembukaan serviks atau mendorong janin ke bawah.
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik
atau 90 mmHg diastolic pada dua kali pemeriksaan berjarak 4-6 jam pada wanita
yang sebelumnya normotensi (peningkatan tekanan darah sistolik). Penyakit
hipertensi dalam kehamilan adalah komplikasi yang serius pada trimester kedua
dan ketiga. Adapun jenis- jenis hipertensi, antara lain hipertensi kronis, kronis
dengan pre-eklampsi, dan gestasional.
Gawat janin adalah biasanya menandakan kekhawatiran obstetri tentang
keadaan janin. Disebut gawat janin, bila ditemukan denyut jantung janin di atas
160 per menit atau dibawah 100 per menit, denyut jantung tidak teratur, atau
keluarnya meconium yang kental pada awal persalinan.
Partograf melewati garis waspada adalah alat bantu untuk memantau
persalinan dengan cara mencatat semua pengamatan dalam suatu grafik. Garis
waspada dimulai pada pembukaan 4 cm dan berakhir pada titik dimana pembukaan
lengkap diharapkan menjadi jika laju pembukaan adalah 1 cm per jam.
3.2 Saran
Saat pemberian asuhan kepada ibu yang sedang bersalin penolong harus
selalu waspada terhadap masalah atau penyulit yang mungkin terjadi. Selama
anmnesis dan pemeriksaan fisik, tetap waspada pada timbulnya tanda bahaya kala
1 dn lakukan tindakan yang sesuai untuk memastikan proses persalinan yang aman
bagi ibu dan keselamatan bagi bagi bayi yang dilahirkan.
9
DAFTAR PUSTAKA
10